Kelompok 5
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
3
Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem lahan basah (wetlands)
yang terluas di Asia Tenggara yakni sekitar 37 juta Ha, sehingga menempatkan
Indonesia sebagai salah satu kawasan terkaya di dunia dalam hal potensi
keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya,
baik secara ekologis maupun ekonomis. Berdasarkan fungsi dan tatanan
lingkungannya, tipologi lahan basah Indonesia secara garis besar terdiri dari empat
macam yakni :
1) lahan basah pesisir dan lautan yang meliputi antara lain hutan bakau, hutan
payau, hutan mangrove, terumbu karang dan dataran pasir
2) lahan basah Rawa yang meliputi hutan rawa gambut, rawa padang, rawa
rumput dan rawa herba
3) Lahan basah dataran sungai yang meliputi sungai, dataran banjir, lebak-
lebung dan muara sungai, serta
4) Lahan basah danau, bendungan dan lahan basah bentukan seperti sawah,
tambak garam, danau, situ, dan bendungan.
Mengingat cukup bervariasinya tipe dan sifat ekosistem lahan basah Indonesia,
maka ekosistem lahan basah tersebut mempunyai potensi yang sangat besar untuk
dapat dikembangkan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Secara garis besar fungsi
dan manfaat lahan basah terhadap manusia dan lingkungan adalah sebagai berikut :
4
2. Sumber Pendapatan dan Kesempatan Kerja
Produk hutan dikawasan lahan basah merupakan komoditi yang dapat
memberikan penghasilan dan pendapatan negara antara lain melalui industri chip dan
kertas. tidak sedikit masyarakat yang telah memanfaatkannya sebagai sumber mata
pencaharian baik dari kayu, kulit kayu, madu maupun berbagai hasil estuaria yang
sangat beranekaragam seperti udang, ikan, kepiting, moluska dan lainnya.
3. Penyangga dan Pendukung sistem kehidupan (life supporting system)
Peranan lahan basah juga mencakup sebagai pemenuhan manfaat lingkungan
yang berkaitan erat dengan stabilisasi dan kesehatan lingkungan, juga meningkatkan
dan memelihara produktifitas perairan estuaria dan kegiatan ekotourism.
Lahan basah di Asia terdiri dari bermacam-macam jenis, seperti habitat alami dan
buatan (Scott 1989; Watkins & Parish 1999) termasuk:
Daerah inter-tidal dan muara, seperti danau, pesisir, batu karang yang berada didaerah
terbuka, endapan lumpur dan pasir, danau air asin (di daerah yang bertemperatur
rendah) dan hutan bakau (di daerah tropis dan sub-tropis);
Sungai dan rawa yang terbentuk dari genangan banjir, anak sungai dan danau;
Danau air tawar dan hamparan ilalang baik yang bersifat temporer maupun
permanen
Hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar, serta
Gambut dan lumpur Sedikit sekali jenis lahan basah yang termasuk dalam
jenis musiman, seperti danau air asin dan/atau yang mengandung alkalin. Di
Asia juga memiliki lahan basah buatan, seperti sawah yang bersifat musiman,
ladang garam, kolam aquakultur dan waduk.
5
Dari contoh tersebut di atas, dapat terlihat bahwa betapa sulitnya dalam
mendefinisikan lahan basah. Hal ini telah berlangsung sejak lama (Finlayson & Van
der Valk 1995), Meskipun demikian, ketika ditegaskan oleh Finlayson (1999) saat
mengembangkan protokol untuk inventarisasi lahan basah di Australia, definisi
tentang lahan basah ini cenderung meluas, seperti lahan basah di pesisir pantai dan
laut, mengingat keduanya berada dalam perairan dalam dan terjadi karena adanya
penggenangan air secara musiman dan sporadis. Namun pencantuman daerah laut
telah menimbulkan banyak perdebatan.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui potensi lahan
basah baik secara biofisik maupun ekologis dengan merujuk kepada fungsi-fungsinya.
Sedangkan kegunaannya adalah sebagai bahan informasi bagai mahasiswa dalam
meninjau sejauh mana potensi dan fungsi lahan basah.
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
B. Fungsi Lahan Basah
Nilai lahan merupakan gabungan tiga parameter, yaitu fungsi yang dapat
dikerjakan, hasilan (product) yang dapat dibangkitkan, dan tanda pengenal (attribute)
berharga pada skala ekosistem yang dapat disajikan. Tiap lahan basah tersusun atas
sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan
hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antarkomponen dan di dalam tiap
komponen membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat
membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala
ekosistem. Tidak semua ciri (characteristic) ada pada tiap lahan basah. Maka tidak
semua lahan basah dapat menjalankan semua fungsi dan tidak semua fungsi dapat
dikerjakan sama di tiap lahan hasah (Dugan, 1990).
Fungsi khusus terpenting lahan basah mencakup pengimbuhan (recharge) dan
pelepasan (discharge) air bumi (ground water), penqendalian banjir, melindungi garis
pantai terhadap abrasi laut, penambatan sedimen, toksikan, dan hara, serta
pemendaman (sequestering) karbon khususnya di lahan gambut. Hasilan yang dapat
dibangkitkan ialah sumberdaya hutan, sumberdaya pertanian, perikanan, dan pasokan
air. Tanda pengenal berharga pada skala ekosistem ialah keanekaan hayati, keunikan
warisan alami (geologi, tanah, margasatwa, ikan, edafon, vegetasi), dan bahan untuk
penelitian ilmiah. Lahan basah, khususnya lahan gambut, merupakan gudang
penyimpan informasi, sangat berguna tentang lingkungan purba (paleoenvironment)
berkenaan dengan ragam vegetasi, keadaan iklim, lingkungan pengendapan, dan
pembentukan gambut sendiri (dimodifikasi dari Dugan, 1990; dan Page, 1995).
8
Soal fungsi dan tanda pengenal berharga mensyaratkan konservasi penuh,
sedang persyaratan dalam soal hasilan berkisar antara kenservasi penuh dan konversi
lengkap. Pasokan air memerlukan konservasi penuh. Pengembangan sumberdaya
pertanian menghendaki konversi lengkap. Pengembanqan sumberdaya hutan dan
ikan dapat mensyaratkan konversi lengkap, cukup dengan konversi terbatas, atau
tidak perlu konversi. Pengembangan sumberdaya hutan untuk hasilan alami, seperti
bahan tumbuhan obat atau rempah, damar, getah, dan madu, tidak memerlukan
konversi.
Untuk hasilan kayu dari hutan alam tidak diperlukan konversi, akan tetapi
dapat mengakibatkan konversi tanpa diniati karena mengusik ekosistem
melampaui batas daya 1entingnya (resilience). Diperlukan konversi lengkap untuk
hasilan kayu dan hutan tanaman. Pengusahaan akuakultur tambak mengkonversi
lengkap lahan basah mangrove. Pengembangan sumberdaya perikanan di perairan
umum tidak memerlukan konversi. Dalam sistem tertentu, antara lain beje
masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. dipenlukan konversi terbatas dengan
menggali handil yang berujung di cekungan berair. Handil digunakan untuk
menggiring ikan dari sungai masuk ke dalam cekungan berair dan kolam alami
digunakan untuk menjebak dan menangkap ikan.
Menurut Dugan (1990), fungsi lahan basah ialah:
1) Pengisian kembali air tanah, yang terutama dijalankan oleh dataran banjir,
rawa air tanah, danau, lahan gambut dan hutan rawa.
2) Pelepasan air tanah
3) Penambatan sedimen, bahan beracun dan hara.
4) Rekreasi dan turisme.
5) Pengendalian banjir, yang dijalankan oleh semua bentuk lahan basah, kecuali
sistem pantai terbuka (Dijalankan Oleh semua bentuk lahan basah).
6) Pengukuran garis tepilaut (shoreline) dan pengendalian erosi, yang terutama
dijalankan oleh estuari, kewasan mangrove, sistem pantai terbuka, dataran
banjir dan rawa air tawar.
9
7) Ekspor biomassa, yang dijalankan oleh semua bentuk lahan basah, kecuali
lahan gambut.
8) Perlindungan terhadap badai dan pematah angin, yang terutama dijalankan
oleh estuari, kawasan mangrove, sistem pantai terbuka dan hutan rawa.
9) Pengukuhan iklim mikro, yang terutama dijalankan oleh kawasan mangrove,
dataran banjir, rawa air tawar, danau dan hutan rawa.
10) Pengangkutan air, yang terutama dijalankan oleh estuari, kawasan mangrove,
dataran banjir dan danau. Imbuhan (pengisian kembali) air tanah terjadi pada
waktu air bergerak dari lahan basah ke bawah dan masuk ke dalam akuifer.
Selama pergerakan ini terjadi pembersihan air.
Air dalam akuifer dapat mengalir ke samping dan akhirnya dapat naik ke
permukaan lahan basah lain. Jadi, imbuhan air tanah di lahan basah yang satu
bergandengan dengan pelepasan air tanah di lahan basah yang lain.
Fungsi imbuhan dan pelepasan air tanah antarlahan basah dalam setahun dapat
tertukarkan, tergantung pada kenaikan dan penurunan permukaan air tanah
setempat yang mengubah arah landaian permukaan air tanah.
Kinerja lahan basah membangkitkan hasilan dan jasa lingkungan dan ekonomi.
Masyarakat umum masih sulit memahami kepentingan hasilan dan jasa lingkungan
berhubung hasilan dan jasa tersebut sulit dihargai dengan uang karena tidak biasa
dipertukarkan dengan mekanisme pasar. Padahal banyak hasilan atau jasa lingkungan
Iahan basah yang secara ekonomi penting sekali bagi hanyak bentuk kegiatan
manusia (Burbridqe, 1996). Sebagai contoh, jasa lingkungan lahan basah menambat
air membantu mengurangi kerusakan karena banjir yang dapat dinilai dengan uang
milyaran rupiah. Contoh lain, jasa lingkungan lahan basah membersihkan air dapat
dinilai dengan uang menurut pengurangan pengeluaran untuk memelihara kesehatan
penduduk.
10
Nilai lahan basah ditentukan oleh fungsi yang dapat dijalankan, produk yang
dapat dihasilkan, dan maknanya sebagai wujud. Perbedaan ciri biofisik membawa
serta perbedaan nilai. Fungsi-fungsi terpenting yang dapat dijalankan oleh bagian
besar atau semua kategori lahan basah alami ialah imbuhan (recharge) air tanah,
mengatur pelepasan (discharge) air tanah, mengendalikan banjir, mengukuhkan
(stabilize) garis pantai, mengendalikan erosi, menambat sedimen, hara dan bahan
beracun, dan mengukuhkan iklim mikro.
Kemampuan menambat bahan meracun dapat dimanfaatkan untuk
membersihkan limbah cair dan mengendalikan pencemaran oleh sumber baur
(nonpoint source). Di Amerika Serikat juga digunakan lahan basah buatan yang
dirancang khusus untuk keperluan tersebut (Mitsch, 1922; Hammer, 1992).
Lahan gambut berperan dalam mengendalikan emisi CO2 ke atmosfer dengan
memendam (sequester) C dalam bahan organik gambut, berarti membantu menekan
efek rumah kaca. Fungsi-fungsi yang dapat dijalankan menunjukkan bahwa lahan
basah alami berperan penting dalam menjaga keselamatan dan kelestarian lingkungan.
Produk-produk yang dapat dihasilkan lahan basah alami berasal dari
sumberdaya hutan (kayu, damar, buah, bahan obat), sumbedaya satwa liar (kulit, telur,
madu), sumberdaya akuatik (ikan), sumberdaya nabati yang menghasilkan hijauan
pakan, dan bekalan (supply) air dari air yang ditambat. Gambut berkemampuan
menambat air sangat besar. Setiap m3 gambut secara rerata dapat menambat air yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan air rumahtangga satu orang selama 10 hari.
Lahan basah alami dapat dikembangkan untuk budidaya tanaman, ternak dan
ikan. orang Bugis dan Banjar mengembangkan lahan rawa pasang surut untuk
budidaya padi sawah. Orang Banjar juga mengembangkan budidaya padi sawah di
lahan lebak, demikian pula orang Palembang. Lahan lebak oleh orang Banjar juga
dikembangkan untuk budidaya ikan.
Orang Jawa di Kedu, Bojonegoro dan Lamongan mengembangkan budidaya
tanaman pangan di lahan bonorowo. Lahan gambut di Palembang dan Kalimantan
Barat oleh penduduk setempat dikembangkan untuk hortikultura (nenas, sayuran).
11
Di Malaysia dan Amerika Serikat banyak lahan gambut dikembangkan untuk
budidaya sayuran. Di Malaysia lahan gambut juga dikembangkan untuk perkebunan
kelapa sawit. Di Riau perkebunan kelapa berkembang baik di lahan gambut. Sejarah
pertanian berawal di dataran banjir, seperti di dataran banjir S. Nil di Mesir, S.
Mekong di Vietnam dan Kamboja, dan S. Yangtze-kiang di Cina. Berdasarkan
pengalaman tersebut kemudian orang mengembangkan lahan basah buatan untuk
budidaya padi (sawah) dan ikan (kolam, tambak). Sebagai wujud, lahan basah alami
merupakan warisan alam khas berkenaan dengan keanekaan hayati, plasma nutfah,
ekosistem langka, dan gejala alam yang memikat. Semuanya ini menjadikan lahan
basah alami suatu kimah keilmuan (scientific asset) yang sangat berharga.
Masih banyak watak, perilaku, dan kegunaan sebenarnya lahan basah yang
belum kita ketahui dan fahami. Tanpa pengetahuan yang memadai, pengelolaan lahan
basah tidak mungkin menghasilkan kemaslahatan menyeluruh yang berkelanjutan,
baik dari perspektif ekonomi, sosial-budaya, maupun lingkungan. Indonesia memiliki
lahan basah terluas di kawasan tropika. Belum ada angka luas lahan basah dan luas
lahan gambut di Indonesia yang darat diterima umum. Ada yang menyebut luas lahan
gambut Indonesia 17 juta ha dan ada yang mengatakan 27 juta ha (Rieley. dkk., 1996).
Barangkali dapat diterima kalau yang 27 juta ha adalah seluruh lahan basah, sedang
yang 7 juta ha adalah lahan gambut. Angka luas lahan gambut Indonesia yang
lebih sening diajukan dalam pustaka internasional ialah 17 juta ha (Maltby, 1986).
RePPProt mengajukan dua angka luas lahan gambut Indonesia yang berbeda
menurut pengukuran tahun 1988 dan 1990. Luas pada tahun 1988 dan 1990 masing-
masing ialah 20.072.825 ha dan 17.852.925 ha. Menurut Rieley, dkk. (1996),
perbedaan antara kedua angka tersebut barangkali berkaitan dengan perubahan
penggunaan lahan dan kehilangan lahan gambut karena penebangan hutan,
pengatusan, dan pengembangan untuk produksi dan pemukiman.
12
Kehilangan lahan gambut paling besar selama dua tahun tersebut (1988-1990)
terjadi di Sumatera dari 8.253.450 ha berkurang nenjadi 6.941.250 ha, berarti
menyusut sehanyak 16%. Diantara begitu banyak masalah yang perlu ditelaah
dan ditangani untuk mengungkapkan hakikat lahan basah selengkapnya dan
untuk menentukan sistem Pengelolaannya yang berkelanjutan ada beberapa masalah
yang perlu diprioritaskan. Dimana-mana 1ahan basah hilang atau berubah karena
perusakan proses atau oleh intensifikasi pertanian, urbanisasi, pencemaran,
pembangunan bendung, pengalihan air regional dan intervensi atas sistem ekologi dan
hidrologi. Di negara-negara sedang berkembang, kehilangan lahan basah pada
gilirannya memberikan dampak berat atas masyarakat Setempat yang hidupnya
bergantung pada sumberdaya tersebut.
Untuk dapat menyelesaikan persoalannya, sebab-sebab pasti kehilangan lahan basah
perlu diaalisis.
Dilihat dari segi luasnya yang potensial bagi budidaya pertanian, dan asas
penghematan air irigasi, lahan basah di Indonesia perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Untuk perencanaan pengembangannya perlu dikenali kendala-kendalanya. Kendala
pokok ialah: (1) ketercapaian dan keterlintasannya biasanya buruk,
(2) kekurangan tenaga kerja setempat, (3) kesulitan penyediaan air rumah tangga
yang memenuhi syarat, (4) persoalan sanitasi dan kesehatan lingkungan untuk orang,
tanaman dan ternak, (5) sistem layanan yang sepadan belum siap, (6) nilainya sebagai
cagar alam khas selalu menjadi sumber pertentangan antara kebutuhan pelestarian
(preservation) dan kebutuhan produksi serta pemukiman penduduk, (7) merupakan
ekosistem yang peka terhadap usikan karena kemaujudannya dikendalikan oleh
hidrologi, padahal pengaturan tata air justru menjadi dasar pengembangannya, (8)
tanahnya masih menjalani proses perkembangan aktif, sehingga keterandalan data
tanah cepat usang,
(9) oleh karena pada jalur hirarki katener lahan basah berada di hilir, keadaannya
13
dipengaruhi sangat kuat oleh kejadian di hulu, dan (10) perhatian terhadap tumbuhan
yang secara alami beradaptasi pada lingkungan lahan basah dan upaya
pembudidayaannya untuk pangan masih langka.
Tidak semua bentuk lahan basah, bahkan tidak semua lahan basah yang
sebentuk dapat menjalankan semua fungsi secara maksimal. Sehingga diperlukan
pengaturan penggunaan dengan sistem tata guna lahan. Sehingga dapat dilakukan
reservasi terhadap lahan basah tertentu yang membutuhkan sesuai dengan fungsi
perlindungan maupun fungsi lanjutan (sustaining) produksi yang berlangsung di
lahan lain maupun lahan basah. Sehingga ada lahan basah yang boleh dikembangkan
untuk produksi dengan teknik konservasi yang baik.
Untuk dapatmenetapkan tata guna lahan yang baik yang dapat manjamin preservasi,
konservasi dan produksi diperlukan informasi lengkap tentang watak lahan basah
masing-masing dan perilakunya dalam asosiasinya antar lahan basah.
Untuk menyelamatkan selaku sumberdaya marjinal maka diperlukan
pembaharuan sikap dan pola pikir. Dengan jelas Maltby (1986) mengemukakan
bahwa ekonomi, rekayasa, ekologi, dan lingkungan bukanlah hal yang terpisah
melainkan suatu kesatuan yang disebut ekosistem. Maka pengembangan lahan basah
harus berlandaskan konsep holistik dan perencanaan yang serba cukup
(Comprehensive).
14
F. Hasil Pengamatan
Vegetasinya ada pohon kelapa dan beberapa tanaman lain yang ada disekitar
pantai kura kura, Pada lokasi di erria ada pohon kelapa juga dan pohon piapi serta ada
belukar di sekitarnya, Untuk di Parit demang vegetasinya ada nanas dan belukar di
sekitar lokasi.
Potensi pada pantai kura kura adalah tempat wisata dimanan pelancong dapat
menikmati pasir yang bersih serta keindahan alam dan membantu penduduk setempat
mendapatkan penghasilan. Pada Erria juga sebagai tempat wisata dimana
pengunjung dapat menikmati segarnya air yang mengalir di sungai yang ada di Erria.
Pada Parit demang potensi nya adalah tempat pertanian yang dapat membantu
menambah penghasilan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Burbridge, P. 1996. Social. Cultural and economic factors that influence the
sustainable development of peatlands. Dalam: E. Maltby. C.P Immirzi & R.J
Safford (eds). Tropical Lawland Peatlands of Southeast Asia. IUCN. Gland,
Switzerland. H 163 171
Cassel. D.K, 1997. Foreword. Dalam: M.J Vaprekas & S.W . Spracher (eds). Aquic
condition and Hydric soils: The Problem Soil. SSSA Spesial Publication
Number 50. h vii
Dugan. P.J. (ed). 1990. Wetland conservation. The World conservation Union. Gland,
Switzerland. 96 h
Rieley, J.O. A.A. Ahmad-Shah. & M.A. Brady. 1996. The Extent and nature of
tropical peat swamps. Dalam: E. Maltby. C.P Immirzi & R.J Safford (eds).
Tropical Lawland Peatlands of Southeast Asia. IUCN. Gland, Switzerland. H
7 - 53
Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta.
www.puslittan.bogor.net/berkasPDF/JurnalPP/2006/Nomor-1/08-Sanchez- 2006.pdf
Las, Surmaini. 2010. Variabilitas dan Perubahan Iklim Dalam Sistem Produksi
Padi Nasional: Dampak dan Tantangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogar.
17
LAMPIRAN
18