Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KOSEP KONSEP ALAMIAH PADA LINGKUNGAN LAHAN BASAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Lingkungan Lahan


Basah

Dosen Pengampu

Dr. Sidharta Adyatama M.Si

Disusun Oleh

Hamidayanti

2110115120015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Esa,
karena berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah
mata kuliah Geografi dan lingkungan dengan tepat waktu.

Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di Universitas Lambung


Mangkurat Banjarmasin Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Penyusunan makalah ini
dapat terlaksana dengan baik. Walaupun di dalam penyusunannya terdapat banyak
kekurangan yang telah dilewati, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak laporan ini dapat
diselesaikan dengan tepat waktu. Untuk itu pada kesempatan ini mengucapkan banyak
terima kasih kepada Bapak Dr. Sidharta Adyatama M .Si selaku dosen pengampu pada
mata kuliah geografi tanah dan Lingkungan.

Semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi orang lain dan dapat
digunakan sebagai referensi sumber ilmu. Tetapi seperti yang kita ketahui tidak ada yang
sempurna masih banyak kekurangan di dalam makalah yang telah saya susun, oleh karena
itu penulis berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun dari penulis untuk agar lebih baik laporan ini ke depan nya. Akhir kata saya
mengucapkan terima kasih.

Banjarbaru, 27 Agustus 2022

Hamidayanti
DAFTAR PUSTAKA

BAB I.............................................................................................................................4

PENDAHULUAN...........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang....................................................................................................4

1.2 Tujuan..................................................................................................................5

BAB II............................................................................................................................6

PEMBAHASAN.............................................................................................................6

2.1 Lingkungan Lahan Basah...................................................................................6

2.2 Klasifikasi lahan basah........................................................................................8

2.3 Manfaat lahan basah...........................................................................................9

2.4 Pemilihan Lahan Basah untuk Pemantauan.......................................................9

2.5 Status Dan Tren Wilayah Lahan Basah............................................................10

2.6 Luas dan distribusi lahan basah........................................................................10

2.7 peran lahan basah dan sumber hayatinya........................................................11

BAB III.........................................................................................................................13

PENUTUP...................................................................................................................13

3.1 Kesimpulan........................................................................................................13

3.2 Saran.................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan basah merupakan salah satu wilayah terbesar di permukaan bumi.
Lahan basah merupakan salah satu wilayah terbesar di permukaan bumi. Lahan
basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh denan air,
baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian
atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya adalah rawa-
rawa (termasuk rawa bakau), payau, dan gambut. Air yang menggenangi lahan
basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau, atau asin.

Berbeda dengan perairan, lahan basah umumnya bercirikan tinggi muka air
yang dangkal, dekat dengan permukaan tanah, dan memiliki jenis tumbuhan
yang khas. Berbedasarkan sifat dan ciri cirinya tersebut, lahan basah sebagai
bioma ataupun ekosistem, lahan basah memiliki tingkat keanekaragaman hayati
yang tinggi. Lahan basah memiliki jenis tumbuhan dan satwa yang lebih banyak
dibandingkan dengan wilayah lain di muka bumi. Maka dari itu, lahan basah
mempunyai peran dan fungsi yang penting secara ekologi, ekonomi, maupun
budaya.
Berbeda dengan perairan, lahan basah umumnya bercirikan tinggi muka air
yang dangkal, dekat dengan permukaan tanah, dan memilik jenis tumbuh yang
khas. Berdasarkansifat dan ciri cirinya tersebut, lahan basah kerap disebut juga
sebagai wilayah perairan antara daratan dan perairan. Baik sebagai bioma
ataupun ekosistem, lahan basah memilik tingkat keanekaragaman hayati yang
tinggi. Lahan basah memiliki jenis tumbuhan dan satwa yang lebih banyak
dibandingkan dengan wilayah lain di muka bumi. Maka dari itu, lahan basah
mempunyai peran dan fungsi yang penting secara ekologi, ekonomi, maupun
budaya.
Macam jenis lahan basah dibedakan menjadi dua yaitu lahan basah alami
dan buatan. Lahan basah alami meliputi rawa rawa air tawar, hutan bakau
(mangrove), rawa gambut, hutan gambut, paya paya, dan riparian (tepian
sungai). Sedangkan lahan basah buatan meliputi waduk, sawah, saluran irigasi,
dan kolam. Saat ini, lahan gambut dan mangrove, menjadi dua jenis lahan basah
yang mengalami kerusakan serius di berbagai wilayah Indonesia. Hutan rawa
gambut di sumatra dan Kalimantan, banyak di konversi menjadi perkebunan dan
lahan pertanian. Pun ribuan hektar hutan mangrove, telah ditebengi dan
dikonversi untuk kegiatan budidaya perairan. (Amin, 2016)

1.2 Tujuan
Tujuan untuk mengetahu apa saja konsep konsep lingkungan basah, dan untuk
memenuhi tugas mata kuliah pengantar lingkungan basah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Lingkungan Lahan Basah


Indonesia adalah negara tropis yang terletak di antara benua Asia dan
Australia, memiliki tidak kurang dari 17.000 pulau besar dan kecil yang diapit dua
samudra besar, Pasifik dan India. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia. Kombinasi antara pulau dan laut menjadikan Indonesia
memiliki sekurang-kurangnya 42 ekosistem yang berbeda satu dengan lainnya
(Moeljopawiro, 1999 dalam Hilman dan Romadoni, 2001).

Ada beberapa tindakan manusia yang diketahui berdampak merusak


langsung. Aktivitas dimaksud adalah: 1. pengatusan (drainage) untuk pertanian,
kehutanan dan pengendalian nyamuk; 2. pembuatan bendung (dyke), bendungan
(dam), tanggul, dinding laut (seawall), jaringan saluran, dan pengubahan aliran
sungai untuk mengendalikan banjir, menata air, irigasi, mencegah intrusi air laut,
bekalan air, dan navigasi; 3. konservasi untuk akuakultur dan marinkultur; 4.
pelepasan pestisida, herbisida, hara dan sedimen dari lahan pertanian serta
kawasan permukiman; 5. penimbunan untuk pembuatan jalan dan pembangunan
kawasan permukiman, perdagangan, dan industri; serta 6. penambangan gambut
untuk bahan pembangkit energi (Notohadiprawiro, 1996).

Hal lain yang juga layak dikemukakan, berkenaan dengan lahan basah di
Nusantara, adalah keberadaannya sebagai tempat tinggal kelompok masyarakat
Melayu. Berkenaan dengan gelombang migrasi yang ada, kelompok masyarakat
dimaksud disebut Melayu Muda atau Deutero Melayu. Kelompok ini meliputi
masyarakat Aceh, Tamiang, Melayu Deli, Melayu Riau, Minangkabau, Melayu
Jambi, Orang Penghulu, Melayu Bengkulu, Palembang, Melayu Pontianak, Melayu
Sambas, Melayu Kutai, Melayu Berau, Minahasa, Bugis, Makassar, Bali, Sasak, dan
lainnya. Sebagian dari sukubangsa-sukubangsa itu yang masih mengidentifikasikan
diri sebagai Melayu dan sebagian besar menempati lahan basah antara lain adalah
Melayu Tamiang, Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jambi, Melayu Bengkulu,
Melayu Biliton, Melayu Betawi, Melayu Banjar, Melayu Pontianak, Melayu Kutai, dan
Melayu Berau. Ciri utama kelompok-kelompok masyarakat itu adalah penggunaan
bahasa Melayu dalam kesehariannya. Melalui sumber yang ada, dapat disebutkan
bahwa setidaknya sejak abad ke-7 bahasa Melayu sudah menjadi lingua-franca di
antara berbagai anggota masyarakat di kawasan Nusantara, terutama dalam dunia
perdagangan. Dalam kenyataannya, bahasa yang digunakan oleh anggota
masyarakat yang sebagian besar mendiami lahan basah itu tidak hanya dipakai dan
dikembangkan oleh anggota masyarakatnya saja melainkan juga oleh kelompok
masyarakat lainnya. Ini yang menjadikannya cikal bakal bahasa Indonesia yang
dalam perkembangannya diperkaya dengan khasanah bahasa daerah lainnya.

Lahan basah merupakan habitat utama di Kalimantan yang luasnya meliputi


lebih dari 10 juta ha, kira-kira 20% massa daratan Kalimantan (MakJinnon & Artha,
1981). Habitat lahan basah di Kalimantan terutama berupa rawa air tawar dan rawa
gambut serta lahan bakau di pesisir. Sungai Kapuas, S. Mahakam, dan S. Barito
(sungai-sungai terpanjang di Indonesia), memiliki dataran banjir yang luas dan
berasosiasi dengan sistem rawa dan danau. Lahan basah alami menyediakan
berbagai kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk secara langsung atau tidak
langsung: tumbuhan penghasil makanan pokok, kayu perdagangan, lahan
penggembalaan yang subur, penunjang perikanan darat dan perikanan laut, tempat
perkembang biakan unggas air, dan bahan bakar dari gambut. Danau-danau dan
ekosistem air tawar lainnya di Kalimantan merupakan sumber ikan yang paling
penting untuk konsumsi masyarakat setempat dan pemasok utama ikan kering air
tawar ke Jawa.

Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat dan pembangunan


ekonomi yang semakin maju menyebabkan habitat lahan basah menjadi pusat
perhatian dalam strategi pembangunan daerah. Lahan basah di Kalimantan,
khususnya lahan rawa pasang-surut, telah lama menarik perhatian para pakar
pembangunan karena potensinya untuk budidaya padi. Lahan rawa seluas 1,2 juta
ha di Kalimantan telah dikembangkan untuk pertanian dan kira-kira 1,4 juta ha lagi
dianggap sesuai untuk pembangunan pertanian (Euroconsult, 1986).

Identifikasi dan delineasi lahan basah memerlukan pemahaman konsep dasar


tertentu, karena pekerjaan ini melibatkan lebih dari sekadar mengikuti panduan
dalam manual pemerintah. Menggunakan penilaian profesional terbaik biasanya
diperlukan untuk menafsirkan ketentuan utama, terutama untuk situasi bermasalah.
Oleh karena itu, delineator lahan basah perlu mengetahui hubungan tanaman-tanah-
air dan ekologi lahan basah secara umum buku teks ekologi lahan basah merupakan
awal yang sangat baik titik yang teknis seperti Mitsch dan Gosselink (2015), Batzer
dan Shartiz (2014), Tiner (2013), dan Keddy (2010) atau buku panduan yang lebih
umum seperti Tiner (2005). Ada pengakuan universal bahwa fungsi pemaksaan
lahan basah adalah hidrologi, yaitu, kelimpahan air yang cukup untuk memberikan
pengaruh pengendalian pada kehidupan tanaman atau hewan atau perkembangan
tanah (Dewan Riset Nasional, 1995). Belum untuk benar-benar memahami
pengaruh dominan ini, ada banyak masalah yang berkaitan dengan hidrologi lahan
basah yang penting untuk identifikasi dan delineasi lahan basah. Beberapa masalah
telah menjadi akar dari kontroversi tentang habitat apa yang sebenarnya merupakan
lahan basah, setidaknya dari sudut peraturan dari pandangan. Konsep ekologi yang
berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan lahan basah juga telah
mempengaruhi konsep lahan basah saat ini. (Hatta, 2016)

2.2 Klasifikasi lahan basah


Istilah lahan-basah (wetland) diangkat setelah penandatanganan Konvensi
tentang Lahan-basah Penting Internasional, terutama sebagai Habitat Burung Air
(The Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl
Habitat) di kota Ramsar, Iran yang terletak di tepi Laut Kaspia pada tanggap 2
Februari 1971. Karena nama kota itu konvensi dikenal luas sebagai Konvensi
Ramsar. Tanggal 2 Feburari pun ditetapkan sebagai Hari Lahan-basah Sedunia,
walaupun peringatan pertama kalinya baru dilaksanakan pada tahun 1997

Terdapat beberapa klasifikasi lahan-basah. Klasifikasi itu tampaknya bersifat


dinamis. Tidak mustahil klasifikasi berubah, ketika kondisi lapangan dan pandangan
seseorang atau masyarakat tentang lahan-basah itu berubah pada masa
mendatang. Perubahan klasifikasi dapat berupa penambahan atau pengurangan
jumlah atau pemodifikasian istilah (jumlahnya tetap seperti semula, tetapi dengan
istilah atau kriteria berbeda dari yang pernah dikemukakan sebelumnya. (Soendjoto
& Dharmono, 2016)

Terdapat 3 kategori lahan-basah berdasarkan pada letaknya secara umum


dan kaitannya dengan aktivitas manusia, yaitu lahan basah laut, lahan-basah
daratan, dan lahan buatan.
 Klafikasi
1. Lahan-basah laut (marine wetlands)
2. Lahan-basah estuarin (estuarine wetlands)
3. Lahan-basah riparian (riverine wetlands)
4. Lahan-basah palustrin (palustrine wetlands)

(Tejoyuwono & Notohadiprawiro, 2006)

2.3 Manfaat lahan basah


Manfaat langsung dari lahan basah bagi kehidupan dapat kita lihat di pesisir
pantai. Mangrove dan terumbu karang dapat mencegah abrasi air laut. Jika
wilayah pesisir pantai rusak maka resapan air laut akan masuk ke lahan
pertanian sehingga dapat merusaknya. Jika air laut meresap ke wilayah
permukiman maka air sumur penduduk akan berubah menjadi asin. Terjadi
proses fisika-kimia dan biologi di suatu ekosistem. Yaitu pergerakan air melalui
lahan basah ke sungai atau laut; pembusukan bahan organik; pelepasan unsur
nitrogen, sulfur, dan karbon ke atmosfir; pengambilan unsur hara, sedimen dan
bahan organik dari air ke dalam lahan basah.; dan pertumbuhan serta
perkembangan seluruh organisme yang memerlukan lahan basah untuk
kehidupannya.
Jika wilayah pesisir pantai rusak maka resapan air laut akan masuk ke lahan
pertanian sehingga dapat merusaknya. Jika air laut meresap ke wilayah
pemukiman maka air sumur penduduk akan berubah menjadi asin. Terjadi
proses fisika-kimia dan biologi di suatu ekosistem. Yaitu pergerakan air melalui
lahan basah ke sungai atau laut; pembusukan bahan organik; pelepasan unsur
nitrogen, sulfur, dan karbon ke atmosfir; pengambilan unsur hara, sedimen dan
bahan organik dari air ke dalam lahan basah; dan pertumbuhan serta
perkembangan seluruh organisme yang memerlukan lahan basah untuk
kehidupannya. Memelihara lahan basah pesisir akan mendukung fungsi ekologi.
Karena lahan basah itu akan menahan sedimen darat yang dapat mencemari
laut. (Becker et al., 2015)
2.4 Pemilihan Lahan Basah untuk Pemantauan
Pemilihan lahan basah untuk pemantauan akan tergantung pada persyaratan
spesifik dari proyek pemantauan. Dalam beberapa kasus, proyek dapat terdiri dari
semua lahan basah di dalam daerah yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam
kasus lain, khususnya di tingkat wilayah atau subwilayah, sub sampel lahan basah
mungkin lebih tepat. Jika sub-sampel digunakan, lahan basah dipilih untuk
pemantauan harus menjadi contoh yang representatif dari ekologi alam
keanekaragaman ekosistem lahan basah di wilayah tersebut. Ini dapat didasarkan
pada kerangka kerja atau filter seperti lingkungan darat (domain), wilayah dan distrik
ekologis, zona bioklimatik, kelas hidro-ekologi, sistem lahan, dll (lihat Myers et al.
1987).

Pemilihan lahan basah yang representatif harus mencerminkan tipe lahan


basah sebelumnya dan luas, ketinggian dan jangkauan geografis, dan struktur
vegetasi dan komposisi yang ada di wilayah tersebut. Ini akan memastikan langka
dan umum lahan basah dan habitat lahan basah tercakup dalam program
pemantauan. Peta (khususnya peta berbasis GIS) dari luas lahan basah dulu dan
sekarang, kelas, dan jika memungkinkan, tipe vegetasi, mengikuti klasifikasi lahan
basah Fase 1 dan sistem pemetaan, merupakan prasyarat untuk pemilihan lahan
basah yang representatif. Terkadang, pemantauan yang lebih intensif mungkin
diperlukan di lahan basah tertentu. Untuk misalnya, pemantauan dapat dilakukan di
lahan basah yang berdekatan dengan usulan pengembangan untuk menilai dampak
pembangunan yang sedang berlangsung.

2.5 Status Dan Tren Wilayah Lahan Basah


Lima poin kunci tentang status lahan basah konsisten dengan pengalaman
kami dan literatur, Area dan kondisi lahan basah terus berubah, tanaman
pengganggu mudah menyerang banyak lahan basah, setengah dari luas lahan
basah global telah hilang, lahan basah mencakup kurang dari 9% dari luas daratan
global, dan sebagian besar lahan basah yang tersisa terdegradasi. Poin-poin ini,
diuraikan di bawah, mengarah pada diskusi selanjutnya tentang jasa ekosistem yang
hilang seperti luas lahan basah dan penurunan kualitas. (Zedler & Kercher, 2005)
2.6 Luas dan distribusi lahan basah
Sumber yang ditinjau memberikan data tentang luas dan distribusi lahan
basah pada berbagai skala, dari: perkiraan global untuk luas areal tipe lahan basah
tertentu di lokasi tertentu. Ada inkonsistensi yang cukup besar dalam informasi yang
diperoleh untuk ditinjau, dengan data tidak tersedia untuk beberapa situs atau
negara karena kurangnya inventaris atau peta yang memadai. Perkiraan yang
diperoleh memiliki telah ditabulasi, termasuk area lahan basah global, area lahan
basah regional dan lahan basah nasional . (Holland et al., 1990)

lahan basah di Kanada bagian barat dan Alaska, yang dikatakan sama
dengan seperempat luas dunia luas lahan basah keseluruhan. Sayangnya, metode
penghitungan ini tidak jelas dan data asli tidak disediakan, tetapi pernyataan ini
menyiratkan bahwa luas lahan basah dunia adalah perkiraan 5,6 juta km2 (560 juta
ha). Dugan (1993) menggunakan definisi Ramsar tentang lahan basah, dan
mengacu pada lahan basah non-laut saja. Studi emisi metana terpisah telah
menghitung luas global lahan basah air tawar alami sebesar 530 juta ha (Matthews
& Fung 1987), dan 570 juta ha (Aselmann & Crutzen 1989) masing-masing. (Tiner,
2016)

Distribusi global lahan basah telah dipetakan oleh NASA (1999),


menggunakan data dari Matthews dan Fung (1987). Sebagai bagian dari tinjauan
inventarisasi lahan basah, ekologi dan pengelolaan, Whigham et al (1993)
memberikan perkiraan luas lahan basah untuk bagian Afrika, wilayah Mediterania,
utara Australia, Papua Nugini, Asia Selatan, Kanada, Greenland, Amerika Serikat,
Meksiko dan Amerika Selatan tropis. Seri ini dimaksudkan untuk melengkapi
regional sebelumnya inventaris dan direktori, dengan cakupan global dan
penekanan pada negara dan lahan basah signifikansi tertentu. Perkiraan regional
dan nasional dari Whigham et al (1993) adalah termasuk dalam tabel 2 dan 3
(terdaftar sebagai Britton & Crivelli 1993, Denny 1993, Glooschenko et al 1993,
Olmsted 1993, Wilen & Tiner 1993).

2.7 peran lahan basah dan sumber hayatinya


Lahan basah menyediakan makanan, menyimpan karbon, mengatur aliran
air, menyimpan energi, dan sangat penting bagi keanekaragaman hayati.
Manfaatnya bagi orang yang penting adalah untuk keamanan masa depan umat
manusia. Konservasi dan pemanfaatan yang bijaksana pada lahan basah sangat
penting bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang miskin. Kesejahteraan
manusia bergantung pada manfaat yang banyak diberikan kepada mereka oleh
ekosistem, beberapa di antaranya berasal dari lahan basah yang sehat. Kebijakan,
perencanaan, pengambilan keputusan dan tindakan manajemen di berbagai sektor,
di semua tingkatan dari lokal sampai internasional, mampu mendapatkan
keuntungan dari konsensus masukan global. Hal ini termasuk identifikasi relevansi
lahan basah, pentingnya konservasi dan pemanfaatan yang bijaksana, dan
menjamin keamanan dari manfaat dimana lahan basah menyediakan dalam hal ini
adalah air, penyimpanan karbon, pangan, energi, keanekaragaman hayati dan mata
pencaharian. Ini juga mencakup pengetahuan teknis, panduan, model dan jaringan
pendukung untuk membantu dalam menempatkan pengetahuan ini untuk
penggunaan secara praktis. Degradasi dan hilangnya lahan basah lebih cepat
daripada ekosistem lainnya, dan tren ini Lahan basah menyediakan makanan,
menyimpan karbon, mengatur aliran air, menyimpan energi, dan sangat penting bagi
keanekaragaman hayati. Manfaatnya bagi orang yang penting adalah untuk
keamanan masa depan umat manusia. Konservasi dan pemanfaatan yang bijaksana
pada lahan basah sangat penting bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang
miskin. Kesejahteraan manusia bergantung pada manfaat yang banyak diberikan
kepada mereka oleh ekosistem, beberapa di antaranya berasal dari lahan basah
yang sehat. Kebijakan, perencanaan, pengambilan keputusan dan tindakan
manajemen di berbagai sektor, di semua tingkatan dari lokal sampai internasional,
mampu mendapatkan keuntungan dari konsensus masukan global. (Finlayson &
Davidson, 1999)

Hal ini termasuk identifikasi relevansi lahan basah, pentingnya konservasi dan
pemanfaatan yang bijaksana, dan menjamin keamanan dari manfaat dimana lahan
basah menyediakan dalam hal ini adalah air, penyimpanan karbon, pangan, energi,
keanekaragaman hayati dan mata pencaharian. Ini juga mencakup pengetahuan
teknis, panduan, model dan jaringan pendukung untuk membantu dalam
menempatkan pengetahuan ini untuk penggunaan secara praktis.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lahan basah (wetland) adalah lingkungan yang produktif di dunia. Kawasan
ini merupakan sumber keanekaragaman biologis, penyedia air dan produktivitas
primer bagi banyak jenis tumbuhan dan satwa yang bergantung padanya. Lahan
basah juga mendukung pemusatan jenis burung, mamalia, reptil, amfibi, ikan dan
hewan tak bertulang belakang. Selain itu lebih dari 50% penduduk Indonesia tinggal
di daerah pesisir dan sepanjang aliran sungai. Itu sebabnya jutaan orang bergantung
pada keberadaan lahan basah. Masyarakat juga bergantung pada lahan basah
karena danau, muara, hutan rawa dan lahan basah lainnya menyediakan air, kayu,
buah, padi, ikan, daging dan sagu. Pohon nipah, nibung (Caryota rumphiana) dan
rotan yang tumbuh di lahan basah merupakan sumber bahan bangunan yang
sederhana. Selain itu, lahan basah juga merupakan sarana transportasi bagi
penduduk sekitar. Lahan basah (wetland) memiliki peranan yang penting dalam
menyumbang keragaman hayati, pengatur iklim dunia, sumber pangan, sumber
sirkulasi air, sumber perikanan, obat-obatan bagi masyarakat setempat.

Dalam dunia penelitian arkeologi, menjadi suatu tantangan untuk


membuktikan bahwa lahan basah, merupakan suatu tempat yang layak dan ideal
dengan tersedianya sumberdaya alam yang melimpah untuk bermukim sepanjang
masa. Di balik itu, kajian arkeologis juga mengingatkan bahwa kehidupan masa lalu
di lahan basah membutuhkan suatu strategi yang sangat ketat, sistem adaptasi
menjadi penentu kelanjutan hidup di lahan basah bagi manusia masa lalu.

Disadari bahwa manusia hidup dan berkembang menempati suatu


lingkungan, di mana lingkungan tersebut (tanah, air, flora, fauna, energi, mineral,
dan atmosfir) memberikan segala yang diperlukan untuk manusia. Apabila suatu
bagian keperluannya tidak dapat terpenuhi dari lingkungannya, maka mereka akan
bergerak mencari lingkungan baru yang mampu mendukung kehidupannya. Sesuai
dengan perkembangan pengetahuan dan kebudayaan, manusia memanfaatkan
sumber daya alam di lingkungannya dari cara yang sederhana sampai dengan cara
yang paling canggih. Ini dapat berarti secara arif dan juga destruktif. (Clarkson et al.,
2004)

3.2 Saran
Mungkin, dalam penulisan makalah saya kali ini mempunyai kekurangan,
saya mohon untuk diberikan saran oleh pembaca, agar saya bisa mengembankan
lagi dan memperbaiki lagi kesalahan saya dalam karya tulis maupun tugas saya
berikutnya.Jika pembaca mempunyai saran maupun kritiknya bisa disampaikan
melalui email. 2110115120015@mhs.ulm.ac.id agar saya bisa memperbaiki dan
mengembangkan kemampuan saya dalam penulisan. Mungkin ini saja yang bisa
saya sampaikan, kekurangan dan kelebihannya mohon dimaafkan
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. (2016). Potensi, Eksploitasi dan Konservasi Berkelanjutan Lahan Basah di


Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah, 1, 14–22.
Becker, F. G., Cleary, M., Team, R. M., Holtermann, H., The, D., Agenda, N.,
Science, P., Sk, S. K., Hinnebusch, R., Hinnebusch A, R., Rabinovich, I.,
Olmert, Y., Uld, D. Q. G. L. Q., Ri, W. K. H. U., Lq, V., Frxqwu, W. K. H., Zklfk,
E., Edvhg, L. V, Wkh, R. Q., … )2015( .‫ ح‬,‫فاطمی‬. No 主観的健康感を中心とした
在宅高齢者における 健康関連指標に関する共分散構造分析 Title. Syria Studies,
7(1), 37–72.
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/
link/548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/
~reynal/Civil
wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-asia.org/handle/11540/8282%0Ahtt
ps://www.jstor.org/stable/41857625
Clarkson, B., Sorrell, B., Reeves, P., Champion, P., & Partridge, T. (2004).
Handbook for Monitoring Wetland Conditions. Coordinated Monitoring of New
Zealand Wetlands. 73. https://doi.org/10.7931/J2Z60KZ3
Finlayson, C. M., & Davidson, N. (1999). Global Review of Wetland Resources and
Priorities for Wetland Inventory. Global Review of Wetland Resources and
Priorities for Wetland Inventory, 1–8.
Hatta, G. M. (2016). Lahan Basah, Kearifan Lokal, dan Teknologi. Seminar Nasional
Universitas Lambung Mangkurat, 7–13.
Holland, M. M., Whigham, D. F., & Gopal, B. (1990). The ecology and management
of aquatic-terrestrial ecotones - The Characteristics of Wetland Ecotones.
Unesco Paris, 4, 171–198.
Soendjoto, M. A., & Dharmono. (2016). Potensi, Peluang, dan Tantangan
Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah Secara Berkelanjutan. Prosiding
Seminar Universitas Lambung Mangkurat 2015, 1–20.
Tejoyuwono, & Notohadiprawiro. (2006). Lahan Basah. Repro : Ilmu Tanah UGM,
Lahan Basah, 1–10.
Tiner, R. (2016). Wetland Indicators: A Guide to Wetland Formation, Identification,
Delineation, Classification, and Mapping, Second Edition. In Wetland Indicators.
https://www.routledge.com/Wetland-Indicators-A-Guide-to-Wetland-Formation-
Identification-Delineation/Tiner/p/book/9781439853696
Zedler, J. B., & Kercher, S. (2005). Wetland resources: Status, trends, ecosystem
services, and restorability. Annual Review of Environment and Resources, 30,
39–74. https://doi.org/10.1146/annurev.energy.30.050504.144248

Anda mungkin juga menyukai