Anda di halaman 1dari 11

Reklamasi Lahan Bekas Tambang

Oleh:
Dominikus Hariawan Akhadi
Perekayasa Madya
Balai Teknologi Lingkungan
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Geostech Gedung 820 Kompleks Perkantoran Puspiptek
Kota Tangerang Selatan
Pendahuluan
Kegiatan pertambangan selain memberikan manfaat langsung bagi pemenuhan
kebutuhan manusia juga tidak dipungkiri dapat meninggalkan beban bagi lingkungan baik
berupa perubahan bentang alam maupun fungsi lahan dan hutan. Pengaruh negatif
aktivitas pertambangan bagaimanapun juga harus diperbaiki dan dipulihkan agar dunia ini
dapat dinikmati tidak hanya oleh kita yang hidup pada masa ini tetapi juga oleh keturunan
kita nantinya. Perubahan konsep dunia sebagai 'warisan untuk' menjadi 'pinjaman dari'
anak cucu merubah cara manusia memandang kerusakan lingkungan yang ditimbulkan
dari seluruh aktivitasnya saat ini sebagai sebuah tanggung jawab untuk segera
memperbaikinya kembali.
Kalangan industri pertambangan seyogyanya menyadari bahwa masa depan industri
mereka sangat tergantung dari kondisi yang ditinggalkan pasca aktivitas mereka di lokasi.
Reputasi perusahaan tidak saja dinilai dari manfaat langsung ketika beroperasi namun
juga dari seberapa jauh tanggung jawab perusahaan dalam proses penutupan tambang.
Untuk mendapatkan akses ke sumber daya di masa depan, mereka harus menunjukkan
kemampuan mereka untuk menutup tambang (mine closure) secara efektif sehingga akan
memperoleh dukungan dari para pemangku kepentingan (stakeholders), khususnya
masyarakat tempat tambang beroperasi. Pentupan tambang yang buruk atau bahkan
ditelantarkan akan menyebabkan masalah warisan yang sulit bagi pemerintah,
masyarakat, perusahaan dan pada akhirnya akan merusak citra industri pertambangan
secara keseluruhan.
Sudah saatnya setiap perusahaan tambang mempunyai konsep bahwa setiap langkah

yang dilakukan memberikan manfaat bagi manusia. Dengan demikian program penutupan
tambang justru telah dimulai sejak aktivitas operasi dilakukan dan terus dilakukan hingga
menjelang areal tersebut siap untuk dikembalikan ke pemerintah setelah memenuhi
kriteria keberhasilan pasca tambang.

Pengertian dan Prinsip Reklamasi


Reklamasi didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata
kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar
dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi lahan bekas
tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang
juga untuk menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik bahkan diupayakan menjadi
lebih baik dibandingkan rona awalnya. Kegiatan reklamasi lahan bekas tambang dilakukan
dengan mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal.
Beberapa prinsip yang wajib dipenuhi dalam melakukan reklamasi lahan pasca tambang:
1. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, laut, tanah dan udara.
2. Perlindungan atas keanekaragaman hayati.
3. Penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam
tailing, lahan bekas tambang dan struktur buatan lainnya.
4. Pemanfaatan lahan bekas tambang.
5. Memperhatikan nilai sosial dan budaya masyarakat setempat.6
6. Perlindungan terhadap kuantitas air tanah.
Kegiatan reklamasi merupakan akhir dari kegiatan pertambangan. Dengan melakukan
aktivitas reklamasi diharapkan lahan bekas tambang dapat dikembalikan ke kondisi
semula, bahkan jika mungkin lebih baik dari kondisi sebelum aktivitas penambangan
dilakukan.
Kegiatan reklamasi meliputi pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan
yang terganggu ekologinya akibat kegiatan penambangan. Sasaran akhir dari reklamasi
adalah kondisi lahan bekas tambang yang aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga
dapat dimanfaatkan kembali.
Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri dari recontouring / regrading /
resloping pada lubang bekas tambang disertai pembuatan saluran-saluran drainase
sehingga diperoleh bentuk wilayah dengan kemiringan yang stabil. Langkah selanjutnya
adalah pemberian tanah pucuk (top soil spreading) agar lahan tersebut memenuhi syarat

sebagai media pertumbuhan tanaman, yang diikuti dengan penanaman kembali


(revegetasi) dengan tanaman yang cepat tumbuh, baik tanaman asli lokal maupun
tanaman kehutanan introduksi. Jika dimungkinkan dalam perencanaan penggunaan lahan,
perlu direncanakan pula pengembangan tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun
tanaman hutan industri di lahan bekas tambang tersebut tersebut.
Penentuan jenis pemanfaatan lahan bekas tambang perlu didasarkan antara lain atas
status kepemilikan, kondisi biologis dan fisik lahan, serta kebutuhan masyarakat atau
pemerintah setempat terhadap lahan tersebut. Dengan demikian persyaratan pengelolaan
lahan tambang tidak cukup hanya dengan studi kelayakan pembukaan usaha
penambangan namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan penutupannya (planning
of closure), yang mencakup perlindungan lingkungan serta penanggulangan masalah
sosial-ekonomi masyarakat setempat khususnya yang selama masa produksi tambang
tergantung pada aktivitas penambangan. Dalam banyak kasus bekas lahan tambang yang
telah direklamasi kembali dibongkar oleh masyarakat setempat untuk diambil bahan
tambangnya sehingga reklamasi yang dilakukan oleh perusahaan menjadi gagal. Hal ini
misalnya terjadi di lokasi bekas tambang timah di Pulau Bangka dan tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi di lokasi bekas tambang lainnya.

Teknologi dan Langkah-Langkah Reklamasi


Reklamasi lahan bekas tambang memerlukan pendekatan dan teknologi yang berbeda
beda tergantung atas sifat dan kondisi gangguan yang terjadi di lahan tersebut serta
tujuan peruntukan lahan setelah proses reklamasi. Namun demikian secara umum
tahapan reklamasi lahan bekas tambang adalah sebagai berikut:
1. Konservasi Tanah Pucuk (Top Soil)
Lapisan tanah paling atas atau tanah pucuk (top soil) merupakan lapisan tanah yang perlu
dikonservasi karena di lapisan inilah tanaman mampu tumbuh dengan baik. Untuk alasan
itulah mengapa proses reklamasi harus sudah dirancang dan dimulai sejak proses
penambangan dilakukan, karena konservasi tanah pucuk dilakukan sebagai aktivitas awal
penggalian. Jika langkah pertama ini tidak dilakukan maka akan berakibat
membengkaknya biaya reklamasi lahan secara keseluruhan karena harus mengangkut
tanah pucuk dari luar lokasi serta tercampurnya top soil dengan berbagai komponen
pengganggu.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menangani top soil adalah:
(a). menghindarkan tercampurnya top soil oleh subsoil yang mengandung unsur atau

senyawa beracun (misalnya pirit) dengan cara mengenali sifat-sifat lapisan tanah sebelum
penggalian dilakukan,
(b). menggali top soil hingga lapisan yang memenuhi persyaratan untuk tumbuh tanaman,
(c). menempatkan galian top soil pada areal yang aman dari erosi dan penimbunan bahan
galian lainnya,
(d). menanami top soil dengan tanaman penutup tanah (cover crops) khususnya dari
keluarga leguminosae yang cepat tumbuh untuk mencegah terjadinya erosi dan menjaga
kesuburan top soil.
2. Penataan Lahan
Aktivitas ini dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang alam yang berubah akibat
kegiatan produksi, antara lain dilakukan dengan cara:
(a). menutup lubang galian (kolong) dengan menggunakan limbah tambang (tailing), yang
dikenal dengan istilah overburden. Kolong yang sangat dalam dapat dibiarkan terbuka
sebagai tempat penampungan air.
(b). membuat saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan air,
(c). menata lahan agar aktivitas penanaman ulang (revegetasi) lebih mudah dilakukan dan
erosi dapat lebih terkendali, diantaranya dengan cara meratakan permukaan tanah. Jika
kondisi lahan sangat bergelombang maka penataan dilakukan bersamaan dengan
penerapan suatu teknik konservasi bagi lahan rawan longsor misalnya dengan pembuatan
teras,
(d). menempatkan top soil secara efisien misalnya hanya pada areal yang ditanami atau
pada lubang tanam. Hal ini disebabkan karena pada umumnya jumlah top soil terbatas.
Selain itu dapat pula ditambahkan bahan organik berupa kompos atau pupuk kandang
maupun bahan pembenah tanah lainnya seperti polimer penyimpan air ke lubang tanam.
3. Pengelolaan Sedimen dan Pengendalian Erosi
Pengelolaan sedimen dapat dilakukan dengan membuat bangunan penangkap sedimen
yang di bagian menjelang outlet dibuat bangunan penangkap dengan ukuran relatif besar.
Penggunaan tanaman golongan rumput rumputan yang berakar dalam seperti vetiver
dapat diterapkan pada areal bekas tambang yg rawan erosi. Vetiver merupakan pilihan
yang terbukti tepat, karena selain efektif menahan erosi, juga karena tanaman ini toleran
terhadap kondisi lahan dengan aerasi buruk dan tergenang air sehingga dapat berfungsi
sebagai tumbuhan pioner di lokasi tersebut.

Tanaman vetiver di lahan bekas tambang timah


4. Penanaman Tanaman Penutup Tanah
Penanaman tanaman penutup tanah (cover crops) merupakan usaha untuk memulihkan
kesuburan tanah sekaligus untuk mengendalikan erosi. Itulah sebabnya mengapa
keberhasilan melakukan penanaman tanaman penutup tanah sangat menentukan
keberhasilan reklamasi lahan bekas penambangan. Untuk itu disarankan penanaman
cover crop dilakukan pada tahun pertama dan kedua dari proses reklamasi lahan (Santoso
et al., 2008).
Karakteristik cover crops yang dibutuhkan, antara lain mudah ditanam, cepat tumbuh dan
cepat menutupi permukaan tanah, bersimbiosis dengan mikrobia tanah yang
menguntungkan seperti rhizobium, frankia, azospirilum, mikoriza dsb, menghasilkan
biomassa secara cepat, berlimpah dan mudah terdekomposisi, serta tidak berkompetisi
dengan tanaman utama.
Beberapa jenis tanaman yang sering digunakan sebagai cover crops di lahan bekas
tambang adalah Echinocloa sp. dan Cynodon dactylon dari keluarga rumput rumputan
sedangkan dari golongan legum adalah Macroptilium bracteatum dan Chamaecrista sp.
Beberapa tanaman legum lokal juga sering digunakan sebagai cover crops di lahan bekas
tambang, antara lain orok orok (Clotalaria sp.), turi (Sesbania sp.), bunga merak (Calindra
sp.).

Echinochloa crusgali

Orok orok (Clotalaria sp.)

Turi (Sesbania sesban)

Bunga merak (Calindra sp.

Tanaman sereh wangi (Cymbopogon nardus) tumbuh subur di lahan


bekas tambang timah

Tanaman sereh wangi (Cymbopogon nardus) merupakan salah satu jenis tanaman
potensial untuk digunakan sebagai tanaman penutup tanah di lahan bekas tambang.
Tanaman jenis rumput rumputan yang sangat toleran terhadap panas dan kekeringan ini
terbukti dapat tumbuh dengan baik di lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka meski
dengan pemeliharaan yang rendah. Disamping berfungsi sebagai cover crop, sereh wangi
juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman pengusir hama tanaman dan sebagai bahan
baku dalam industri minyak atsiri yang bernilai ekonomis tinggi.
5. Penanaman Tanaman Perintis
Untuk mengurangi kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit, serta untuk lebih
banyak menarik binatang penyebar benih, khususnya burung, lebih baik jika dilakukan
penanaman menggunakan lebih dari satu jenis tanaman (sistem multikultur). Beberapa
jenis tanaman pionir yang sering digunakan dalam reklamasi lahan adalah : sengon
(Paraserianthes falcataria), johar (Casia siamea), sengon buto (Enterrolobium
cylocarpum), cemara (Casuarina sp.), lamtoro (Leucaena glauca), gamal (Gliricidia
sepium) dan jenis jenis eukaliptus seperti kayu putih. Dalam waktu dua tahun kerapatan
tajuk yang dibentuk tanaman-tanaman tersebut mampu mencapai 50-60% sehingga
kondusif untuk melakukan restorasi tanaman tanaman lokal yang umumnya lebih rendah
sifat toleransinya terhadap cekaman lingkungan.
Tanaman pioner umumnya ditanam dalam lubang berukuran 60 x 60 x 60 cm yang telah
diisi dengan top soil, pupuk organik, pupuk dan bahan-bahan lainnya. Keberhasilan
tumbuh tanaman pionir dipengaruhi oleh kondisi tanah dan iklim setempat. Seringkali
tanaman yang pada awalnya tumbuh dengan baik akhirnya mengalami kematian setelah
beberapa bulan di tanaman karena kekeringan yang panjang di musim kemarau maupun
akibat kekurangan hara karena media yg diberikan ke dalam lubang tanam tidak lagi
mampu menunjang pertumbuhannya. Untuk itu disarankan penanaman tanaman pioner
sebaiknya dilakukan pada tahun ke 3 - 5, setelah tanaman penutup tanah tumbuh dengan
baik dan jumlah bahan organik di dalam tanah mencukupi.
6. Penanggulangan Logam Berat
Pada lahan bekas tambang yang mengandung logam berat dengan kadar di atas ambang
batas maka diperlukan perlakuan khusus untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Keberadaan tanaman penutup tanah (cover crops) yang digunakan untuk memantapkan
timbunan buangan tambang maupun menumpuk kandungan bahan organik ke dalam
tanah terbukti dapat mengurangi kandungan logam berat yang terdapat di lahan brkas
tambang melalui mekanisme penyerapan ke dalam jaringan (Notohadiprawiro, 2006).

Demikian pula keberadaan bahan organik di dalam tanah baik yang berasal dari kompos
maupun hasil degradasi rontokan dedaunan berkorelasi negatif terhadap kelarutan logam
berat di dalam tanah melalui mekanisme peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) tanah
(Haryono dan Soemono, 2009).
Toleransi tanaman terhadap kandungan logam berat tinggi selain bersifat genetis juga
dipengaruhi oleh asosiasinya dengan mikoriza (Notohadiprawiro, 2006). Penanganan
logam berat dengan mikroorganisme tanah (bioakumulsi, bioremediasi, atau bioremoval),
menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi keracuan elemen logam berat
di lingkungan perairan (Mursyidin, 2006). Beberapa tanaman air seperti eceng gondok,
teki tekian (Scirpus sp.) serta typha (Typha latifolia) serta alga renik jenis Chlorella sp.
diketahui mampu menyerap logam berat dari media tumbuhnya.

Scirpus microcarpus)

Typha latifolia

Kendala Reklamasi Lahan Tambang


Lahan pasca tambang pada umumnya mengalami perubahan karakteristik dari aslinya
yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi lahan kritis.
Ditinjau dari faktor penyebabnya lahan pasca tambang yang termasuk kategori lahan kritis
secara fisik, kimia dan secara hidro-orologis, dapat diuraikan sebagai berikut :
(a). Secara fisik, lahan telah mengalami kerusakan, dengan ciri yang menonjol dan dapat
dilihat di lapangan berupa sangat dangkalnya kedalaman efektif tanah bagi pertumbuhan
tanaman. Di lahan bekas tambang tersebut dapat dijumpai berbagai lapisan penghambat
pertumbuhan tanaman seperti pasir, kerikil, batuan sisa tambang (tailing) dan pada kondisi
tertentu dapat ditemui pula lapisan cadas.
(b). Bentuk permukaan tanah lahan bekas tambang biasanya secara topografis sangat
ekstrem berupa kontur tanah yang perbedaannya sangat menonjol dengan kemiringan

tanah yang curam.


(c). Secara kimia, lahan tidak mampu memberikan dukungan positif berupa penyediaan
unsur hara maupun bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Di
beberapa lokasi kondisi ini seringkali diperparah dengan tingginya tingkat kemasaman
yang sangat tinggi serta keberadaan logam berat yang bersifat toksik bagi pertumbuhan
tanaman.
(d). Secara hidro-orologis, lahan pasca tambang kehilangan kemampuannya sebagai
pengatur tata air karena karakteristik partikel penyusunnya serta hilangnya vegetasi di
atasnya.
Permasalahan rehabilitasi lahan pasca tambang merupakan permasalahan yang sangat
rumit bagi perusahaan karena disamping menyangkut masalah biaya dan waktu juga
diperlukan keahlian khusus. Hal ini terkait dengan teknis melakukan reklamasi lahan
sekaligus pemanfaatannya sebagai media tumbuh tanaman untuk terciptanya kelestarian
lingkungan alam.
Kegiatan reklamasi lahan bekas tambang yang terencana sejak sebelum penambangan
dapat memiliki banyak kendala teknis antara lain:
(1). Curah hujan tinggi yang mengakibatkan hambatan daerah penyiapan untuk reklamasi,
(2). Potensi terjadinya erosi permukaan yang mempengaruhi kestabilan daerah timbunan,
(3). Kondisi lapisan tanah yang masam dan tingkat hara yang rendah,
(4). Keterbatasan material overburden yang bersifat tidak asam (NAF=Non Acid Forming).
Selain itu penggunaan alat berat dalam kegiatan penambangan dapat mengakibatkan
pemadatan tanah, sehingga menurunkan porositas, permeabilitas dan kapasitas penahan
air tanah.
Salah satu strategi dan upaya yang bersifat ramah lingkungan untuk mengembalikan
kondisi tanah adalah dengan melakukan sistem pertanian ekologis terpadu.
Pengembangan pertanian ekologis ini didukung dengan kemajuan dalam bidang
bioteknologi tanah yang ramah lingkungan, antara lain dengan penggunaan pupuk hayati
(biofertilizers). Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat untuk memperbaiki,
meningkatkan dan mempertahankan kualitas tanah sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan dan menaikkan hasil dan kualitas produk tanaman secara signifikan.
Pupuk hayati yang sering digunakan dalam rehabilitasi lahan bekas pertambangan adalah
mikoriza. Mikoriza merupakan mikroorganisme tanah dari golongan fungi yang
membentuk suatu hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) dengan

tanaman tingkat tinggi. Dalam hal ini si jamur mendapatkan keuntungan dari suplai karbon
(C) dan zat-zat essensial dari tanaman inang sementara tanaman inang memperoleh
unsur hara, air, dan proteksi biologis (Turjaman et al., 2005).
Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan mikoriza mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman dalam kegiatan revegatasi lahan bekas tambang maupun lahan
kritis secara signifikan. Hal tersebut terjadi karena mikoriza memiliki peranan penting
dalam melindungi tanaman dari serangan patogen, dan kondisi tanah dan lingkungan
yang kurang kondusif seperti: pH rendah, kekeringan, temperatur ekstrim, salinitas yang
tinggi dan cemaran logam berat (Setiadi, 2004).
Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di Indonesia menunjukkan bahwa aplikasi
pupuk biologis seperti mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan berbagai tanaman
pangan antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004).

Bentuk spora mikoriza jenis Glomus sp. di bawah


mikroskop
Masalah reklamasi lahan bekas tambang semakin diperumit karena belum satu suaranya
para pemangku kepentingan baik itu lembaga pemerintah, pengusaha maupun
masyarakat. Sebagai contoh, Kementerian Kehutanan meminta agar pengembalian fungsi
lahan bekas tambang harus dilakukan dengan cara revegatasi dengan tanaman
pepohonan. Sebaliknya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai
upaya reklamasi bisa dialihkan dengan membuat aksi lain seperti pemanfaatan lokasi
genangan sebagai danau yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
lokasi.
Sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa, program reklamasi
lahan bekas tambang tidak lagi harus mengembalikan fungsi lahan sebagai hutan. Lahan
bekas tambang dapat saja dijadikan kawasan hutan, terutama kalau memang asalnya

hutan, namun seiring dengan perkembangan kawasan tersebut, bekas tambang dapat
juga dijadikan perkebunan, kolam budidaya ikan, pertanian palawija, irigasi, air baku, atau
taman wisata air.
Salah satu contoh keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang melalui penataan ulang
peruntukan lahan adalah Bangka Botanical Garden (BBG) yang terdapat di dekat kota
Pangkal Pinang Propinsi Bangka Belitung, dimana lahan bekas tambang timah dijadikan
sebagai lokasi pertanian terpadu sekaligus lokasi wisata yang nyaman dan mendidik.
Tantangan lain dalam reklamasi lahan bekas tambang khususnya pasca reformasi 1998
berasal dari masyarakat sekitar. Banyak lahan bekas tambang yang telah direklamasi dan
ditanami dengan tanaman pionir kembali dibongkar untuk diambil bahan tambang yang
masih tersisa. Secara ekonomis kandungan bahan tambang tersebut sudah tidak
memadai bagi perusahaan pemilik hak kelola sehingga dilakukan reklamasi, namun bagi
para penambang tanpa ijin maupun masyarakat ternyata masih menguntungkan.
Akibatnya terjadi kerusakan lahan yang sangat masif karena cara eksploitasi oleh para
penambang liar yang tanpa rencana dan tidak dapat dikendalikan tersebut.

Penambangan liar di lahan bekas tambang timah yang telah


direklamasi

Anda mungkin juga menyukai