Anda di halaman 1dari 11

Penambangan batu bara terbuka menyebabkan pembukaan lahan yang luas dan pemindahan lapisan

batuan penutup (overburden) dalam jumlah yang besar. Oleh karenanya, reklamasi wajib dilaksanakan
untuk:

1. Mengembalikan daerah bekas tambang ke kondisi yang aman, stabil, dan produktif.
2. Menyediakan tanah yang secara ekologi memiliki kegunaan produktif untuk masa depan.
Untuk memastikan bahwa tahapan reklamasi dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan,
ditetapkanlah spesifikasi rehabilitasi yang didukung oleh audit rehabilitasi yang ketat.

Tahapan Reklamasi
Di perusahaan batu bara PT Kaltim Prima Coal (KPC), kegiatan reklamasi terdiri atas tahapan sebagai
berikut :

1.Perencanaan Reklamasi

Reklamasi merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap sekuen/tahapan penambangan. Oleh

karenanya, perencanaan reklamasi menjadi terintegrasi dengan perencanaan tambang, baik jangka

panjang maupun pendek. Perencanaan reklamasi jangka panjang merupakan perencanaan sampai

berakhirnya masa tambang (life of mine). Masa tambang ini kemudian dijabarkan lebih terperinci ke

dalam perencanaan lima dan satu tahunan. Perencanaan lebih terperinci per area rehabilitasi dan akses

jalan ini dijabarkan dalam dump drainage rehabilitation (DDR). Untuk melakukan reklamasi lahan
bekas tambang diperlukan perencanaan

yang baik agar dalam pelaksanaannya dapat tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki.
Hal-hal yang harus diperhatikan didalam perencanaan reklamasi adalah sebagai berikut :
1. Mempersiapkan rencana reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan
2. Luas areal yang direklamasikan sama dengan luas areal penambangan.
3. Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian
rupa untuk keperluan revegetasi.
4. Mengembalikan/memperbaiki pola drainase alam yang rusak
5. Menghilangkan/memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun sampai tingkat yang aman
sebelum dapat dibuang ke suatu tempat pembuangan.
6. Mengembalikan lahan seperti keadaan semula dan/atau sesuai dengan tujuan penggunaannya.
7. Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi.
8. Memindahkan semua peralatan yang tidak digunakan lagi dalam aktifitas penambangan.
9. Permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak memungkinkan agar ditanami
dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras.
10. Setelah penambangan maka pada lahan bekas tambang yang diperuntukkan bagi revegetasi,
segera dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman yang sesuai dengan rencana
rehabilitasi dari Departemen Kehutanan dan RKL yang dibuat.
11. Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya.
12. Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Setiap lokasi pertambangan mempunyai kondisi tertentu yang mempengaruhi
pelaksanaan reklamasi. Pelaksanaan reklamasi umumnya merupakan gabungan dari pekerjaan
teknik sipil dan teknik re vegetasi. Pelaksanaan reklamasi meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Persiapan lahan yang berupa pengamanan lahan bekas tambang, pengaturan bentuk lahan
(“landscaping”), pengaturan/penempatan bahan tambang kadar rendah (“lowgrade”) yang belum
dimanfaatkan.
2. Pengendalian erosi dan sidementasi
3. Pengelolaan tanah pucuk (“top soil”).
4. Revegetasi (penanaman kembali) dan/atau pemanfaatan lahan bekas tambang untuk tujuan
lainnya.

2. Survei Keanekaragaman Hayati


Prosedur pengelolaan keanekaragaman hayati telah disusun untuk menjamin terlaksananya kegiatan ini.
Tahapan ini mengharuskan dilaksanakannya survei flora dan fauna pada daerah rencana penambangan
lima tahun ke depan sebagai dasar pengembangan jenis bibit di kebun pembibitan “nursery” dan
pengembangan arboretum. Arboretum ini telah dikembangkan sejak 2006 di suatu daerah reklamasi
bekas tambang di D2 Surya dengan luas 22 hektare.
Sementara itu, nursery memiliki koleksi bibit tanaman sebanyak 67 spesies. Di antara jumlah itu, ada 33
jenis yang merupakan spesies lokal yang banyak diperoleh dari hutan sekitar. Dari 33 jenis lokal tersebut,
ada 9 spesies tanaman Dipterocarpaceae dan 15 spesies yang merupakan tanaman buah-buahan.

3. Pengelolaan Tanah
a. Pengelolaan tanah sebelum penambangan.
Ini dilakukan dengan menggunakan alat dan kendaraan khusus untuk pemadatan agar benih-benih
tanaman yang terdapat pada tanah tersebut bisa tumbuh lagi di daerah penyebaran. Lalu, tanah
dipindahkan dan disebarkan kembali di daerah yang akan direhabilitasi atau disimpan untuk sementara.
b. Penimbunan sementara tanah.

Penimbunan sementara ini dilakukan jika daerah yang akan direhabilitasi belum siap. Untuk menjaga
kualitas tanah di tempat penimbunan, dilakukan penyebaran biji-biji tanaman.

4. Penyiapan Daerah Reklamasi


a. Pembangunan tempat penimbunan. Ini dilakukan di daerah bekas tambang atau daerah-daerah lain
untuk penimbunan dengan memperhatikan aspek geoteknik dan lingkungan.
b. Penempatan batuan penutup di daerah bekas pit dan daerah penimbunan. Klasifikasi dan pemisahan
batuan penutup dilakukan berdasarkan pada potensi penimbunan asam batuan, yaitu dengan analisis
geokimia net acid generation (NAG) yang dilakukan di Laboratorium Lingkungan KPC. Berdasarkan tes
NAG, batuan yang berpotensi menghasilkan asam (potential acid forming atau PAF) dilapisi oleh batuan
yang tidak berpotensi menghasilkan asam (non-acid forming atau NAF). Hal ini sangat penting untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi pembentukan air asam batuan.

Tipe penutup timbunan di KPC adalah:


- DC01 (1 meter tanah liat dipadatkan 2 meter NAF tidak dipadatkan)
- DC02 (2 meter NAF dipadatkan 2 meter NAF tidak dipadatkan)
- DC03 (10-20 meter NAF tidak dipadatkan)

5. Pembentukan Lereng Bagian Luar


Pembentukan lereng bagian luar dengan menggunakan dozer. Penimbunan dilakukan dengan tinggi tiap
tingkatan mencapai 10 meter dengan sudut kemiringan lereng maksimum 4 :1 dan panjang lereng 40
meter.

6. Penimbunan dan Penyebaran Topsoil


Topsoil sangat penting sebagai media tumbuh tanaman. Penyebaran topsoil pada timbunan final
dilakukan dengan ketebalan 1 meter atau ditentukan sesuai persetujuan manager environment.

7. Penggaruan dan Pembuatan Saluran Air


- Penggaruan dilakukan tegak lurus arah kemiringan lereng untuk mencegah timbulnya erosi permukaan
yang dapat melarutkan zat organik yang ada di dalam tanah
- Tata kelola air di areal rehabilitasi diperlukan untuk mengarahkan aliran ke tempat yang aman sesuai
rencana, sehingga erosi lahan dapat dicegah
- Untuk mencegah terjadinya erosi lahan, bangunan pengendalian erosi sangat diperlukan, antara lain
dengan contour drain dan drop structures

8. Penanaman dan Perawatan Tanaman


Kegiatan penanaman dan perawatan tanaman dilakukan oleh beberapa kontraktor lokal di bawah
pengawasan supervisor reklamasi.
a. Penanaman. Penanaman di areal reklamasi dilaksanakan dalam tiga tahapan.
Tahap pertama: Penanaman tanaman penutup tanah (cover crop).
Tujuan: Pengendalian erosi unsur hara tanah, peningkatan kandungan organik tanah.
Tahap kedua: Penanaman tanaman pelindung dan buah-buahan.
Tujuan: Menciptakan iklim mikro yang stabil dan ketersediaan tanaman buah-buahan.
Tahap ketiga: Penanaman tanaman Dipterocarpaceae.
Tujuan: Menciptakan kembali ekosistem yang menyerupai hutan semula.
Komposisi jenis tumbuhan yang ditanam adalah 20-50 jenis dalam satu area yang meliputi: pionir 40%,
primer 40%, dan wild life 20%.

b. Perawatan. Perawatan tanaman dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan ke-3,
6, dan 12 setelah penanaman. Kegiatan ini meliputi pemangkasan dahan, pembersihan gulma,
penggemburan tanah, dan pemberian pupuk.

9. Pemantauan Rehabilitasi dalam Keanekaragaman Hayati


Program pemantauan daerah rehabilitasi KPC dibentuk untuk:
- Mengevaluasi perkembangan daerah rehabilitasi.
- Memastikan perkembangan daerah rehabilitasi mengarah pada terbentuknya kembali ekosistem yang
secara fungsi dan struktur dapat memenuhi kriteria keberhasilan daerah rehabilitasi.

Kegiatan pemantauan tanaman meliputi:


- Pemantauan awal (initial monitoring): Dilakukan pada tanaman berumur 3, 6, 9, dan 12 bulan setelah
penanaman.
- Pemantauan jangka panjang (long-term monitoring): Dilakukan pada tanaman berumur 3, 6, dan 12
tahun setelah penanaman.

Apabila ditemukan hasil yang tidak sesuai dengan kriteria keberhasilan, maka dilakukan tindakan-
tindakan perbaikan seperti penumpukan dan tambal sulam.

Beberapa kegiatan monitoring lainnya meliputi:


- Monitoring fauna (insects, aves, mammals, reptiles)
- Studi perkembangan sifat fisik dan kimia tanah
- Produksi biomassa tegakan

Kendala Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara


Lahan pasca tambang batubara terbuka pada umumnya mengalami perubahan
karakteristik dari aslinya. Apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi lahan kritis.
Ditinjau dari faktor penyebabnya lahan pasca tambang batubara yang termasuk kategori
lahan kritis secara fisik, kimia dan secara hidro-orologis, dapat diuraikan sebagai berikut : secara
fisik, lahan telah mengalami kerusakan, ciri yang menonjol dan dapat dilihat di lapangan, adalah
kedalaman efektip tanah sangat dangkal. Terdapat berbagai lapisan penghambat pertumbuhan
tanaman seperti pasir, kerikil, lapisan sisa-sisa tailing dan pada kondisi yang parah dapat pula
terlihat lapisan cadas. Bentuk permukaan tanah biasanya secara topografis sangat ekstrem, yaitu
antara permukaan tanah yang berkontur dengan nilai rendah dan berkontur dengan nilai tinggi
pada jarak pendek bedanya sangat menonjol, Dengan kata lain terdapat perbedaan kemiringan
tanah yang sangat mencolok pada jarak pendek. Secara kimia, lahan tidak dapat lagi memberikan
dukungan positif terhadap penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Secara hidro-
orologis, lahan pasca tambang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pengatur
tata air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan lahan untuk menahan, menyerap air dan
menyimpan air, karena tidak ada vegetasi atau tanaman penutup lahan. (Sitorus,2003).
Aktifitas eksploitasi batubara yang dilakukan oleh penambang yang tidak resmi (illegal
mining) tidak pernah melakukan rehabilitasi lahan. Permasalahan rehabilitasi lahan pasca
penambangan, menurut Lubis (1997) adalah hal yang paling rumit, karena disamping
menyangkut masalah biaya, waktu juga diperlukan keahlian khusus. Hal ini terkait dengan
bagaimana melakukan reklamasi lahan sekaligus sebagai media tumbuh vegetasi agar tercipta
kelestarian lingkungan alam tetap terjaga.
Menurut David (2013) Masalah reklamasi atau pengembalian fungsi awal lahan yang
telah digunakan sektor pertambangan belum satu suara. Kementerian Kehutanan meminta agar
pengembalian fungsi lahan yang telah digunakan sektor pertambangan harus dihijaukan dengan
cara menanam pepohonan. Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
menilai upaya reklamasi bisa dialihkan dengan membuat danau pasca eksplorasi tambang.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumberdaya
Mineral (ESDM), proses reklamasi yang diharapkan Kementrian Kehutanan selama ini
mengharuskan lahan tambang perlu dihijaukan dengan ditumbuhi pepohonan setelah
eksploitasi, padahal aspek tersebut bisa dialihkan dengan membuat aksi lain sehingga lahan
bekas tambang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kajian ini dapat didiskusikan bersama antara Kementrian ESDM dengan Kemenhut.
Pihaknya ingin kegiatan sektor tambang tetap meningkat seiring implementasi proses hilirisasi
karena itu upaya yang justru menambah beban biaya di sektor ini perlu diperhatikan. "Mereka itu
kan ingin tetap ada profitnya. Kalau mereka tidak ada penerimaan negara juga nihil. Setidaknya
kita harus sama-sama untung," .
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 146 tahun 1999; reklamasi bekas tambang perlu dilakukan guna memperbaiki atau
memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalarn kawasan hutan yang rusak sebagai akibat
kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya.
Sementara itu, Ketua Umum Forum Rehabilitasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang,
menyebutkan bahwa reklamasi lahan bekas tambang tidak hanya sekedar dihijaukan namun
harus memiliki nilai tambah dan memberikan manfaat kepada berbagai stokeholder di
lingkungan bekas tambang tersebut. "Usaha pertambangan memiliki peranan yang sangat penting
untuk mendukung perekonomian nasional, serta dapat memberikan kontribusi yang signifikan
kepada masyarakat”, Maka dari itu, pertambangan harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan
diawasi oleh orang yang ahli lingkungan yang menyangkut pertambangan. Hal ini dilakukan agar
lingkungan juga bisa dinikmati oleh anak cucu di masa mendatang.
Deputi Bidang Pengendalian Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan
bahwa , program reklamasi lahan bekas tambang tidak lagi harus mengembalikan fungsi lahan
sebagai hutan. "Bekas tambang itu dapat dijadikan kawasan hutan, terutama kalau memang
asalnya hutan. Tapi seiring dengan perkembangan kawasan itu, bekas tambang dapat juga
dijadikan perkebunan, kolam budidaya ikan, pertanian palawija, irigasi, air baku, atau taman
wisata air," paparnya.
Berdasarkan definisi Peraturan Menteri ESDM, reklamasi adalah kegiatan perusahaan
yang bertujuan memperbaiki atau menata lahan yang terganggu agar dapat berfungsi dan berguna
kembali sesuai peruntukannya. Secara umum kegiatan pertambangan seperti tambang batubara
dapat memberikan keuntungan ekonomis namun juga dapat menimbulkan dampak kerusakan
lingkungan dan ekosistem tanah.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan dengan pertambangan terbuka, akan
menimbulkan tumpukan bahan non-batubara. Tanah sisa galian pertambangan batubara terdiri
dari sisa batubara (batubara muda) dan batuan-batuan seperti batu liat (clay stone), batu lanau
(silt stone), batu pasir (sand stone) atau tufa vulkan (Tala’ohu [dkk], 1995).
Tanah galian batubara umumnya tersusun terbalik dari susunan awalnya. Tanah lapisan
atas (top soil) berada di bawah tanah lapisan bawah (sub soil). Umumnya bahan-bahan ini
ditumpuk diatas tanah-tanah yang produktif sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman
dan menurunkan produktivitas tanah.
Umumnya areal bekas timbunan batubara ini dalam beberapa tahun pertama sulit ditumbuhi
vegetasi karena berbagai macam kendala.
Beberapa kendala fisik yang dihadapi dalam upaya reklamasi tanah bekas penambangan
batubara yakni: tanah terlalu padat, struktur tanah tidak mantap, aerasi dan drainase tanah jelek,
serta lambat meresapkan air. Selain itu kendala kimia seperti pH sangat masam, tingginya kadar
garam, dan rendahnya tingkat kesuburan tanah merupakan pembatas utama dalam mereklamasi
area tanah timbunan. Konsekuensinya diperlukan input yang relatif besar (seperti: pupuk buatan
dan pupuk organik, berbagai senyawa senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit,
sarana dan prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman) untuk memperbaiki
kualitas atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.
Kegiatan pascapenambangan berupa kegiatan reklamasi yang terencana sejak
sebelum penambangan dapat memiliki banyak kendala yaitu (1) curah hujan tinggi yang
mengakibatkan hambatan daerah penyiapan untuk reklamasi, (2) potensi terjadinya erosi
permukaan yang mempengaruhi kestabilan daerah timbunan, (3) kondisi lapisan tanah yang
masam dan tingkat hara yang rendah (umumnya di Kalimantan) dan (4) keterbatasan
material overburden NAF (Non Acid Forming). penggunaan alat berat dalam kegiatan
penambangan dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga menurunkan porositas,
permeabilitas dan kapasitas penahan air tanah. masalah yang dijumpai dalam mereklamasi lahan
bekas tambang adalah masalah fisik, kimia (berupa nutrisi maupun keracuanan hara) dan biologi.
Kegiatan pertambangan mempengaruhi solum tanah dan terjadinya pemadatan tanah,
mempengaruhi stabilitas tanah dan bentuk lahan.
Kegiatan pertambangan dan kegiatan reklamasi harus terencana dengan baik agar dalam
pelaksanaanya tercapai sasaran yang diinginkan atau sesuai tata ruang yang telah direncanakan.
Pada proses akhir penambangan batasan tanah secara alamiah sudah tidak jelas lagi karena dalam
proses penimbunan kembali tidak dapat dibedakan hubungan genetis antara bahan
induk, overburden dantop soil. Lahan bekas penambangan umumnya mengalami dampak
penurunan kesuburan tanah, khususnya kandungan bahan organik tanah.

2.4. Alternatif Solusi yang Ditawarkan.


Pemerintah gencar menggali potensi perolehan devisa dari sektor pertambangan sebagai
akibat semakin terbatasnya kemampuan negara untuk memperoleh pendapatan dari sektor
lainnya. Deposit bahan galian (bahan mineral, batubara, bahan fosil, dan lain-lain) banyak
tersebar diberbagai daerah dengan berbagai jenis dan kapasitas, potensial untuk dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menopang kebutuhan negara. Hal ini penting karena
Indonesia berada di kawasan vulkanik tropika basah dengan zone penunjaman (subduction zone)
yang membujur di pantai barat, pantai selatan dan pantai utara bagian timur, sehingga memiliki
erupsi indeks 99% (Munir, 1996). Laju pasokan mineral berlangsung intensif, sehingga
Indonesia banyak memiliki deposit mineral bahan tambang. Di lain pihak laju pelapukan mineral
juga berlangsung intensif, sehingga apabila tidak segera ditambang/ dimanfaatkan sebagai bahan
baku industri, deposit bahan mineral ini akan cepat mengalami pelapukan/kerusakan dan apabila
dibiarkan akan hilang terbawa aliran air yang dapat mencemari lingkungan (Subowo, 2012).
Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak
lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relative tidak berubah, yang
berubah adalah skala kegiatannya. Mekanisasi peralatan pertambangan telah menyebabkan skala
pertambangan semakin membesar. Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan
ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam
mencapai lapisan bumi jauh di bawah permukaan (Sabtanto, 2010).
Simarmata (2005) menyebutkan salah satu strategi dan upaya yang ramah lingkungan
untuk mengembalikan vitalitas (kualitas dan kesehatan) tanah adalah dengan sistem pertanian
ekologis terpadu. Pengembangan pertanian ekologis ini didukung dengan kemajuan dalam
bidang bioteknologi tanah yang ramah lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati
(biofertilizers). Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas tanah dan mempertahankan kualitas tersebut sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan dan menaikkan hasil maupun kualitas dari berbagai tanaman secara
signifikan.
Pupuk hayati yang sering digunakan dalam rehabilitasi lahan bekas pertambangan adalah
mikoriza. Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualisme antara jamur dan akar
tanaman tingkat tinggi. Dimana jamur mendapatkan keuntungan dari suplai karbon (C) dan zat-
zat essensial dari tanaman inang dan tanaman inang mendapatkan berbagai nutrisi, air, dan
proteksi biologis (Turjaman [dkk], 2005).
Penggunaan mikoriza telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman
kehutanan (revegetasi) pada lahan bekas pertambangan maupun lahan kritis secara signifikan.
Selain itu mikoriza juga memiliki peranan yang sangat penting untuk melindungi tanaman dari
serangan patogen, dan kondisi tanah dan lingkungan yang kurang kondusif seperti: pH rendah,
stress air, temperatur ekstrim, salinitas yang tinggi, dan tercemar logam berat (Setiadi, 2004).
Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di Indonesia menunjukkan bahwa aplikasi
pupuk biologis seperti mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan berbagai tanaman (Jagung,
Kedelai, Kacang Tanah, Tomat, Padi, dan tanaman lainnya) dan ketersediaan hara bagi tanaman
antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004). Tanaman jagung sendiri merupakan
salah satu jenis tanaman yang banyak dijadikan objek dalam penelitian mengenai
mikoriza. Berdasarkan hasil penelitian Margaretha (2010) diperoleh hasil Pemberian mikoriza
dapat mempengaruhi kolonisasi mikoriza pada rhizosfer, derajat infeksi akar, C-organik, P
tersedia dan tinggi tanaman , namun belum berpengaruh terhadap pH tanah, N-total tanah, dan
berat kering tanaman. Pemberian mikoriza pada takaran 200 g pot-1 memberikan pengaruh
tertinggi terhadap derajat infeksi akar, dan perlakuan 100 g pot-1 memberikan pengaruh tertinggi
terhadap kolonisasi mikoriza di rhizosfer tanaman jagung manis.
Menurut Mursyidin (2009) menyimpulkan bahwa Upaya perbaikan lahan bekas tambang
merupakan hal yang sangat mendesak dilakukan. Hal ini karena sistem perbaikan (reklamasi)
lahan yang sudah ada masih dilaksanakan secara konvensional, yaitu dengan menanami areal
bekas tambang tersebut dengan tumbuhan. Upaya perbaikan dengan cara ini dirasakan kurang
efektif, hal ini karena tanaman secara umum kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan ekstrim,
termasuk bekas lahan tambang. Teknologi alternatif perbaikan lahan bekas tambang
menggunakan mikroorganisme terutama jamur (fungi) merupakan hal yang sangat menarik dan
penting dilakukan. Hal ini karena jamur memiliki keistimewaan, selain adaptif terhadap berbagai
kondisi tanah juga kemampuannya dalam menguraikan bahan organik dan membantu proses
mineralisasi di dalam tanah.

KESIMPULAN

Di Indonesia sektor pertambangan dapat dikatakan sebagai motor penggerak


perekonomian nasional, karena kontribusi pertambangan untuk pembangunan regional cukup
besar, pertambangan merupakan opsi menarik untuk optimalisasi penggunaan lahan, menambah
lapangan kerja, memenuhi kebutuhan dalam negeri dan penerimaan Negara, namun demikian
dampak yang ditimbulkan akibat penambangan batubara akan menimbulkan ketidak seimbangan
ekologi `atau ekosistem, hal ini akan menyebabkan kerusakan lingkungan, krisis lingkungan,
konflik sosial dan lain sebagainya.
Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak
sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
kemampuannya, sehingga reklamasi mutlak harus dilakukan mengingat saat ini banyak masalah
atau musibah yang muncul sebagai akibat dari lahan pasca tambang yang dibiarkan begitu saja
tanpa ada upaya untuk reklamasi, seperti ; bencana banjir, pencemaran lingkungan,
sedimentasi daerah aliran sungai, konflik sosial, hilangnya lahan-lahan produktif, sulitnya pada
daerah pertambangan mendapatkan air bersih dan lain sebagainya, hal ini apabila dibiarkan
begitu saja, maka akan menjadi ancaman baru terhadap kehidupan diatas muka bumi ini.
Pada umumnya reklamasi yang dilakukan oleh para perusahaan pertambangan saat ini
ditemukan beberapa kendala diantaranya, memerlukan biaya yang sangat besar dan teknologi
modern, sehingga sanggup melakukan hal ini hanya perusahaan besar saja dan luasan yang
reklamasi hanya sebagian kecil saja, apakah sebanding antara lahan yang rusak dengan yang
direklamasi, dan nampaknya kegiatan reklamasi dilakukan tidak serius, terkesan tanam buang
karena terkendala oleh iklim.
Sementara itu ada alternatif yang ditawarkan dalam rangka reklamasi lahan bekas
tambang batubara dengan konsep tidak memerlukan biaya yang besar dan jangkauan reklamasi
lebih luas, mudah dan murah ; yakni dengan konsep kembali kealam atau reklamasi lahan bekas
tambang batubara secara hayati.

Anda mungkin juga menyukai