Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR PADA LAHAN BASAH DAN


GAMBUT BAGI PERTANIAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Reklamasi dan Tata Air Lahan Basah
dan Gambut

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Ir. Tino Orciny Chandra, MS.

Disusun Oleh :

DEWI SUCIATI
C1051191015
Ilmu Tanah – A

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


JURUSAN ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis karena atas izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Penulsan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Reklamasi dan Tata Air Lahan Basah
dan Gambut.
Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan makalah mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua yang membacanya dan menambah wawasan serta keilmuan di bidang Ilmu
Tanah.

Pontianak, 12 November 2021

Dewi Suciati

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Tujuan..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Teknologi di Lahan Basah dan Gambut................3
1. Pengertian Teknologi di Lahan Basah dan Gambut.......................................3
2. Tujuan Teknologi di Lahan Basah dan Gambut.............................................4
3. Fungsi Teknologi di Lahan Basah dan Gambut..............................................5
B. Teknologi yang diterapkan pada Lahan Basah dan Gambut...................................6
1. Sistem Parit/Handil di Tepi Sungai.................................................................7
2. Sistem Saluran Model Garpu di Lahan Pasang Surut.....................................9
3. Sistem Aliran Satu Arah...............................................................................10
C. Teknologi Pengelolaan Air Tanah dan Tanaman.................................................12
1. Teknologi Pengelolaan Tanah dan Air.........................................................13
2. Teknologi Pengelolaan Lahan.......................................................................16
D. Studi Kasus Sistem Pengelolaan Air di Lahan Basah dan Gambut.......................21
BAB III PENUTUP...................................................................................................25
A. Kesimpulan........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Air merupakan unsur penting bagi tanaman. Disamping berfungsi langsung
dalam proses pertumbuhan, unsur ini juga berfungsi dalam mengendalikan gulma,
mencuci senyawa-senyawa beracun, dan mensuplai unsur hara. Di lain pihak, air
juga menjadi kendala jika keberadaannya tidak bisa diatur dan kualitasnya kurang
baik (beracun). Pengelolaan air pada lahan khususnya lahan basah apabila
dilakukan dengan baik da optimal merupakan faktor kunci terwujudnya system
lahan basah yang berkelanjutan. Dalan hal ini lahan basah yang dimaksud adalah
lahan gambut. Lahan gambut tidak lepas dari lahan rawa, karena lahan gambut
selalu berada di lahan rawa baik itu rawa pasang surut maupun non pasang surut
(rawa lebak). Untuk lahan gambut yang terletak di kawasan pantai dan peralihan
umumnya di lahan rawa pasang surut, sedangkan gambut pedalaman merupakan
lahan rawa lebak. Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama
waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated water), atau
tergenang (waterlogged) (Suriadikarta. 2012).
Pemanfaatan lahan basah harus direncanakan dan dirancang secara cermat
dengan asas tataguna lahan yang berperspektif jangka panjang. Bentang-lahan
(landscape) dari lahan basah jauh dari serbasama (homogeneous) dalarn hal
hidrologi, tanah dan vegetasi. Hidrologi dan tanah sangat rentan perubahan oleh
usakan (disturbance), baik karena peristiwa alam, maupun karena ulah manusia.
Pemanfaatannya harus memperhatikan tiga aspek lahan basah yang menentukan
nilainya, yaitu: fungsi, hasil dan ciri khas Sebab-sebab yang dapat merusak lahan
basah yang selanjutnya dapat meng-hilangkannya, harus dapat dicegah
(Hardjoamidjo dan Setiawan, 2001).
Selain dari pada pemanfaatannya adapun tata pengelolaan air pada lahan
basah tersebut harus mempertimbangkan beberapa karakteristik gambut yang
sangat spesifik, diantaranya kemampuan gambut yang sangat tinggi dalam

1
menyerap air (bersifat hidrofilik) bisa berubah menjadi hidrofobik (menolak air),
jika gambut telah mengalami proses kering tak balik (irreversible drying). Kondisi
ini terjadi jika gambut mengalami kekeringan yang sangat ekstrim.
Oleh karena itu, prinsip utama dari pengaturan tata air di lahan gambut yang
dibudidayakan untuk tanaman pertanian adalah harus mampu menekan terjadinya
penurunan fungsi lingkungan dari lahan gambut akibat dilakukannya proses
drainase/penurunan muka air tanah, namun tetap bisa memenuhi syarat tumbuh
tanaman yang dibudidayakan. tinggi muka air tanah harus diatur sampai batas
minimal dimana tanaman masih mampu tumbuh dengan baik. Artinya tinggi muka
air tanah harus diatur supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam. Hal ini
dapatdilakukan jika tersedia fasilitas pengendali berupa pintu air di setiap saluran,
terutama jika pengembangan lahan gambut dilakukan dalam skala luas.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan
memaparkan berbagai teknologi pengelolaan air, tanah, tanaman, dan saluran pada
lahan basah dan gambut bagi pertanian serta dapat menambah ilmu pengetahuan
khususnya pada bidang Ilmu Tanah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Teknologi di Lahan Basah dan Gambut


1. Pengertian Teknologi di Lahan Basah dan Gambut
Lahan basah adalah daerah rawa-rawa, payau, lahan gambut, dan
perairan tetap atau sementara dengan air tergenang atau mengalir baik tawar,
payau, atau asin yang termasuk wilayah perairan laut dengan kedalaman tidak
lebih dari 6 meter pada waktu surut (Triana, 2012). Lahan basah memiliki
karakter khusus yang identik dengan air. Oleh karena itu, sistem penataan
lahan dan penentuan jenis komoditas di lahan basah sangat bergantung pada
tipe lahan dan kondisi airnya (Najiyati et al. 2005) Lahan basah memiliki
peran penting dalam kehidupan umat manusia. Ekosistemnya menyediakan air
bersih, keanekaragaman hayati, pangan, berbagai material, mengendalikan
banjir, menyimpan cadangan air tanah, dan mitigasi perubahan iklim.
Ekosistem lahan basah terbentuk akibat adanya genangan air yang
terjadi secara terus menerus, baik permanen maupun musiman. Kemudian
biota yang ada di areal tersebut beradaptasi terhadap kondisi yang basah.
Keadaan alam dan biota tersebut membentuk sebuah ekosistem khas disebut
lahan. Lahan basah alami menyediakan berbagai kebutuhan barang dan jasa
bagi penduduk secara langsung atau tidak langsung: tumbuhan penghasil
makanan pokok, kayu perdagangan, lahan penggembalaan yang subur,
penunjang perikanan darat dan perikanan laut, tempat perkembang
biakan unggas air, dan bahan bakar dari gambut. Lahan basah terjadi dimana
air bertemu dengan tanah. Contoh dari lahan basah antara lain bakau, lahan
gambut, rawa-rawa, sungai, danau, delta, daerah dataran banjir, sawah, dan
terumbu karang. Lahan basah ada di setiap negara dan di setiap zona iklim,
dari daerah kutub sampai daerah tropis, dan dari dataran tinggi sampai daerah
kering. Lahan gambut adalah lahan basah dengan lapisan tanah berair yang
terdiri dari bahan tanaman mati dan membusuk. Yang termasuk kedalam

3
lahan gambut diantaranya adalah moor, bog, mires, hutan rawa gambut dan
permafrost tundra. Luas lahan gambut secara keseluruhan mencapai setengah
dari luas lahan basah di dunia, dan menutupi 3% dari total  luas permukaan
bumi . Semua lahan gambut dapat dijumpai di berbagai belahan dunia.
Sementara itu, lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau
selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated
water), atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Pada lahan rawa
umumnya dijumpai tanah mineral dan tanah gambut. Teknologi pengelolaan
lahan rawa antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata air
mikro dan penataan lahan), teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan,
penggunaan varietas yang adaptif, teknologi pengendalian hama dan
penyakit, pengembangan Alsintan, serta pemberdayaan kelembagaan
petani.

2. Tujuan Teknologi di Lahan Basah dan Gambut


Adanya teknologi di lahan basah dan gambut khususnya dalam
pengelolaan air di lahan gambut bertujuan untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya air secara optimal sehingga didapatkan hasil/produktivitas lahan
yang maksimal, serta sekaligus mempertahankan kelestarian sumber daya
lahan. Salah satu teknik pengelolaan air di lahan gambut dapat dilakukan
dengan membuat parit/saluran, dengan tujuan:
1) Mengendalikan keberadaan air tanah di lahan gambut sesuai dengan
kebutuhan tanaman yang akan dibudidayakan. Artinya: gambut tidak
menjadi kering di musim kemarau, tapi juga tidak tergenang di musim
hujan. Hal demikian dapat dicapai dengan membuat pintu air (flapgate)
yang dapat mengatur tinggi muka air tanah gambut sekaligus menahan air
yang keluar dari lahan;

4
2) Mencuci asam-asam organik dan anorganik serta senyawa lainnya yang
bersifat racun terhadap tanaman dan masukkan air segar untuk
memberikan oksigen;
3) Memanfaatkan keberadaan air di dalam saluran sebagai media
budidaya ikan, baik budidaya aktif (dimana benih ikan ditebarkan di
dalam saluran) maupun budidaya pasif (dimana parit/saluran digunakan
sebagai perangkap ikan ketika sungan di sekitarnya meluap). Selain itu
keberadaan air di dalam parit akan berfungsi sebagai sekat bakar yang
dapat mencegah terjadinya kebakaran di lahan gambut.
4) Sebagai sarana transportasi hasil panen.

3. Fungsi Teknologi di Lahan Basah dan Gambut


Teknologi pengelolaan tanah dan air (soil and water management)
merupakan kunci utama keberhasilan usahatani pertanian di lahan rawa
pasang surut termasuk juga pada lahan basah dan gambut. Apabila bisa
mengendalikan keluar masuknya air ke lahan maka sudah dapat dipastikan
usahatani itu akan mendekati keberhasilan. Sebaliknya, bila tata air tidak bisa
dikuasai maka kegagalan yang akan diperoleh.
Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, hayati, dan
kimia berupa tanah, air, spesies, tumbuhan dan hewan serta hara. Proses-
proses diantara dan di dalam komponen-komponen tersebut memungkinkan
lahan basah menjalankan fungsi-fungsi serta membangkitkan hasil, disamping
adanya ciri-ciri berharga pada ekosistem (Tim PLBT,1999).
Fungsi-fungsi teknologi yang dimaksud antara lain yaitu teknologi yang
dapat membantu pengendalian banjir dan erosi, mengisi dan melepas kembali
air tanah, pengukuhan gari stepi laut, penambatan sedimen, bahan beracun dan
hara, penahan angin, pengukuhan iklim mikro, transportasi air, rekreasi dan
pariwisata.

5
B. Teknologi yang diterapkan pada Lahan Basah dan Gambut
Pada pengembangan lahan basah dan gambut diperlukan teknologi yang
memadai demi meningkatkan produktivitas serta menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang sering kali menjadi penghambat dalam budidaya di lahan
basah dan gambut. Peningkatan produktivitas usahatani pada lahan gambut
dilaksanakan dengan menerapkan teknologi pengelolaan lahan rawa dan gambut
yang bertujuan sebagai pertanian yang berkelanjutan.
Tabel 1. Perkiraan Luas Lahan Gambut Menurut Beberapa Sumber

Pengelolaan lahan gambut harus dilakukan secara terencana dan penuh


kehati-hatian agar mutu dan kelestarian sumber daya lahan dan lingkungannya
dapat dipertahankan secara berkesinambungan. Kegiatan pengelolaan lahan rawa
gambut untuk pertanian harus diprioritaskan pada kawasan lahan gambut yang
telah mengalami kerusakan tetapi memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi
dengan batas kedalaman tidak lebih dari 1 meter. Kegiatan pertanian dengan
membuka lahan baru, apalagi yang masih berhutan, harus dihindari/dilarang.

6
Sebagai salah satu jenis lahan rawa, keberadaan air di lahan gambut sangat
dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut/luapan air sungai. Tingkah laku
dari keduanya akan berpengaruh terhadap tinggi dan lama genangan air di lahan
gambut dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan lahan
serta pola budidaya tanaman yang akan diterapkan di atasnya. Lahan gambut
yang sering menerima luapan air sungai relatif lebih subur dibandingkan lahan
gambut yang semata-mata hanya menerima limpasan/curahan air hujan. Sifat
luapan/pasang surut air sungai yang jangkauannya dapat mencapai lahan
gambut dapat disiasati untuk mengatasi berbagai kendala pertanian di lahan
gambut, misalnya untuk mencuci zat-zat beracun atau asam kuat yang berasal
dari teroksidasinya pirit dan mengatur keberadaan air sehingga tanaman dapat
tumbuh dengan baik. Beberapa teknik pengelolaan air yang telah lama
dikembangkan dan diterapkan di lahan rawa (termasuk gambut) antara lain:
(1) Sistem parit/handil di tepi sungai; dan
(2) Sistem saluran model garpu di lahan pasang surut (dikembangkan oleh
Universitas Gajah Mada).
Kedua sistem ini mempunyai kelemahan yaitu aliran air yang masuk/keluar
dari petakan lahan gambut (pada saat pasang dan surut/luapan) terjadi pada satu
saluran, dan pada saluran ini sering terjadi pendangkalan yang diakibatkan oleh
endapan lumpur sungai. Kondisi demikian menyebabkan penyumbatan saluran
sehingga proses penggantian air di dalam petakan lahan tidak berlangsung
sempurna, akibatnya bahan-bahan beracun dan juga senyawa asam
menumpuk/terakumulasi di dalam saluran dan menyebabkan mutu air menjadi
jelek. Kondisi di atas dapat diatasi dengan membuang endapat dari dalam saluran
atau memisahkan saluran masuk/irigasi (inlet) dengan air keluar/drainase (outlet).
1. Sistem Parit/Handil di Tepi Sungai
Pengelolaan lahan pertanian dengan sistem parit/handil ini, telah
dikembangkan sejak dahulu kala oleh petani di lahan gambut pedalaman
Kalimantan. Parit dibuat dari pinggir sungai yang mengarah tegak lurus ke

7
arah daratan (Gambar 1), di kiri dan kanan parit dibuat pematang-pematang
yang umumnya digunakan sebagai jalan sekaligus sebagai batas kepemilikan
lahan. Parit dapat dipandang sebagai saluran sekunder bila sungai dipandang
sebagai saluran primer. Parit dibuat secara bertahap dan diselaraskan dengan
kondisi perubahan lahan, pengaruh pasang surut (kedalaman muka air) dan
ketebalan gambut. Penerapan sistem parit biasanya diawali dengan usaha
pembukaan lahan (reklamasi) dengan merintis dan memotong/menebang
pohon-pohon besar. Pekerjaan ini dilakukan secara berkelompok dan bertahap
serta dimulai dari tepi sungai tegak lurus ke arah pedalaman.

Gambar 1. Pengelolaan Air Sistem Parit/Handil

Sistem parit/handil dicirikan oleh:


a) Lahan usahatani umumnya berjarak 0,5 - 4 km dari tepi sungai ke arah
pedalaman, atau sampai ke ketebalan gambut maksimum 1 meter;
b) Di bagian tepi sungai biasanya tidak dibuatkan pematang, karena sudah
ada tanggul sungai yang terbentuk secara alami sehingga bila sungai
pasang atau banjir, luapan air akan tertahan dan genangan pada lahan
usaha yang ditimbulkan terbatas;
c) Parit dibuat biasanya berfungsi ganda, pertama sebagai saluran drainase
(pembuangan) apabila air surut dan kedua sebagai saluran irigasi

8
(mengairi) apabila air pasang. Aliran air dalam parit adalah dua arah atau
bolak balik;
d) Untuk mempertahankan keberadaan air di lahan/petakan, maka pada parit
dipasang tabat untuk mencegah keluarnya air sewaktu surut tetapi
sewaktu pasang air dapat mudah masuk dalam petakan;
e) Untuk mencegah agar parit tidak tersumbat oleh endapan lumpur, maka
perlu dilakukan pengangkatan/pembuangan lumpur secara rutin setiap
bulan sekali;
f) Lebar parit/handil berukuran 5 meter dan semakin menyempit ke arah
hulu parit. Pada kanan dan kiri parit dibuat tanggul/pematang untuk
ditanami buah-buah yang berfungsi sebagai penguat tanggul agar tidak
longsor. Di atas pematang ini, juga dapat dibuat pondok- pondok;
g) Pada setiap jarak 500 meter dibuat parit cacing yang berfungsi untuk
memasukan dan mengeluarkan air pada petakan pertanaman. Parit ini
berukuran lebar dan dalam masing-masing 1 meter;
h) Untuk meningkatkan mutu air di dalam parit dapat dilakukan dengan
menanami tumbuhan air yang terbenam didalamnya. Jika mutu air dalam
parit membaik, maka ke dalamnya dapat ditebarkan ikan. Tapi
keberadaan tumbuhan air yang terlalu banyak dapat mempercepat
pendangkalan.

2. Sistem Saluran Model Garpu di Lahan Pasang Surut


Pengaturan tata air dengan sistem garpu (Gambar 2) telah
dikembangkan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) pada lahan pasang surut,
yaitu lahan-lahan yang terletak di dataran pantai atau dataran dekat sungai;
baik terpengaruh secara langsung maupun tidak langsung oleh pasang surut.
Untuk mengatur air pasang surut, maka dibuat pintu-pintu air yang dikenal
dengan sebutan flapgate yaitu pintu otomatis yang ketika pasang, air akan
mendorong pintu sehingga air dapat masuk ke dalam parit-parit petakan lahan;
tetapi sewaktu surut, air akan tertahan di dalam parit-parit petakan lahan.

9
Struktur tinggi/operasional pintu-pintu air tersebut disesuaikan dengan
penggunaan lahannya, apakah untuk sawah, surjan atau lahan kering.

Gambar 2. Pengelolaan Air dengan Sistem Garpu

Kelemahan sistem garpu yaitu :


a) Biaya pembuatan sistem garpu terlalu mahal, karena dirancang untuk
areal pertanian yang cukup luas dan menggunakan alat-alat berat;
b) Lumpur yang mengendap di dalam ruas-ruas saluran harus sering
diangkat/dipindahkan, kalau tidak, maka akan terjadi pendangkalan di
dalam parit dan ini akan mempersulit proses pergantian air segar. Jika
pada saluran terdapat pirit yang telah teroksidasi dan tidak tercuci keluar,
maka senyawa asam kuat yang terbentuk akan membahayakan tanaman di
atasnya.
Untuk mengatasi kelemahan ini, beberapa pakar menyarankan adanya
pembuatan saluran yang terpisah antara saluran irigasi (pemasukan air/inlet)
dan drainase (pengeluaran air/outlet), atau dikenal dengan istilah “Sistem
aliran satu arah”. Dengan pemisahan ini diharapkan sistem pergantian air
dapat berlangsung lebih lancar dan penumpukan bahan beracun di dalam
saluran dapat dicegah.

10
3. Sistem Aliran Satu Arah
Pada sistem ini (Gambar 3), setidaknya memerlukan 2 buah saluran
tersier, dimana tersier yang satu berfungsi sebagai saluran irigasi (inlet) dan
yang lainnya sebagai saluran pembuang air/drainase (outlet). Kedua saluran
tersier ini harus dilengkapi dengan pintu air otomatis (flapgate) yang dapat
membuka dan menutup dengan tenaga arus air. Saluran irigasi akan membuka
ketika air pasang, tapi saluran drainase akan tetap tertutup. Kondisi demikian
diciptakan dengan meletakkan posisi pintu yang berlawanan arah [lihat
Gambar 4]. Tinggi rendahnya muka air di dalam saluran di atur dengan
mengatur pembukaan pintu outlet (drainase). Keuntungan sistem aliran satu
arah adalah: terjadi pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar,
potensi endapan lumpur di dalam saluran kuater lebih kecil karena tercuci
lebih mudah serta penumpukan senyawa beracun dan air asam akan dapat
dihindari.

Gambar 3. Pengelolaan Air pada Tingkat Petakan Sawah Petani

Hasil penelitian reklamasi lahan pasang surut pada tanah sulfat masam
di lokasi Tatas, Kalimantan Tengah (Subagyono, 1994), dengan sistem aliran
satu arah, diperoleh rata-rata produksi padi sekitar 3,53 ton/ha, sementara
pada lahan yang dibiarkan tergenang menghasilkan 2,61 ton/ha. Sedangkan di
lokasi Tabunganen di Kalimantan Selatan, dengan sistem aliran satu arah,
(AARD and LAWWO, 1990 dalam Subagyono, 1994) produksi padi varietas

11
Musi mencapai 3,8 ton/ha, padahal sebelum diterapkan sistem aliran satu arah
rata-rata hasil padi petani adalah 0,5 - 1,5 ton/ha (varietas lokal) dan 2 - 2,5
ton/ha (varietas unggul).

C. Teknologi Pengelolaan Air Tanah dan Tanaman


Pemanfaatan yang tepat, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan
yang sesuai dengan karakteristik, sifat serta kelakuan lahan rawa, dapat
menjadikan lahan rawa gambut sebagai lahan pertanian yang produktif, berkelan
jutan dan berwawasan lingkungan. Teknologi pengelolaan tanah dan air (soil and
water management) merupakan kunci utama keberhasilan usahatani pertanian di
lahan rawa pasang surut. Apabila bisa mengendalikan keluar masuknya air ke
lahan maka sudah dapat dipastikan usahatani itu akan mendekati keberhasilan.
Sebaliknya, bila tata air tidak bisa dikuasai maka kegagalan yang akan diperoleh.
Pengelolaan sumber daya air pada lahan gambut begitu penting. Selain untuk
penyerapan C, keberadaan air pada lahan gambut juga berfungsi sebagai sumber
air tawar dalam volume yang signifikan, yaitu mencapai 8 hingga 13 kali dari
volume gambut itu sendiri. Air merupakan faktor penting dalam proses
pembentukan kubah gambut; dan drainase (walaupun tidak selalu) menjadi
penyebab terjadinya subsidensi/penurunan permukaan tanah. Disamping itu,
gambut akan menjadi sangat rapuh setelah mengalami proses pengeringan (fragile)
dan mudah terbakar, sehingga pengelolaan air di lahan gambut sangat penting
untuk diperhatikan.
Dalam pengelolaan air di lahan gambut yang paling penting diperhatikan
adalah tinggi muka air tanah. Tinggi muka air tanah harus sedemikian hingga
lahan tidak terlalu basah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik tetapi juga
harus dapat menjaga kelembaban lahan gambut sehingga gambut tidak
mengalami kekeringan. Lahan gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi,
baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, diperlukan saluran yang
dapat membantu kelancaran pengairan dan drainase kawasan lahan

12
gambut.Kunci pengendalian muka air tanah adalah mengatur dimensi saluran
drainase, terutama kedalamannya, dan mengatur pintu air. Kedalaman drainase,
selain faktor waktu dan spasial, dapat mempengaruhi emisi karbon. Lahan gambut
diusahakan memiliki kedalaman drainase antara 30-120 cm, dan pada setiap
penambahan kedalaman drainase satu centimeter berpotensi meningkatkan emisi
sebesar 0,91 ton CO2/ha/tahun. Sabiham S. et al (2012) menganjurkan untuk
mengkonservasi kecukupan kandungan air di lahan gambut pada kedalaman
drainase 40 cm untuk mengurangi emisi CO2 (ICCC, 2013).
Sejak proyek P4S pada tahun 70-adan dilanjutkan dengan proyek penelitian
Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan Belanda
(LAWOO) tahun delapan puluhan, serta Proyek Penelitian Pengembangan
Lahan Rawa Terpadu (ISDP), telah menghasilkan banyak teknologi pengelolaan
lahan rawa (Suriadikarta dan Abdurachman, 1999).
Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata air
mikro dan penataan lahan), teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan,
penggunaan varietas yang adaptif, teknologi pengendalian hama dan
penyakit, pengembangan Alsintan, serta pemberdayaan kelembagaan petani.
Keberhasilan juga telah banyak dicapai dalam pengembangan lahan rawa pasang
surut di beberapa daerah, yaitu di Kalsel, Kalbar, Sumsel, dan Riau. Kawasan PLG
juga dengan inovasi teknologi lahan rawa yang tepat dan berkelanjutan maka
diharapkan bisa berkembang seperti kawasan pasang surut lainnya yang telah
berhasil menjadi sentra-sentra produksi tanaman pangan, sayuran dan buah-
buahan, maupun tanaman perkebunan.
1. Teknologi Pengelolaan Tanah dan Air
Teknologi pengelolaan tanah dan air (soil and water management) terbagi
menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
a. Tata Air Makro
Tata air makro yang dibawah tanggung jawab Kementerian PU, mulai
dari saluran primer, sekunder dan tersier sangat mempengaruhi kondisi
tanah di lahan pertanian. Pembuatan saluran yang terlalu dalam dan lebar

13
akan mempercepat proses drainase dan pada musim kemarau air tanah cukup
dalam sehingga menyebabkan tanah akan menjadi kering. Keadaan ini akan
sangat berbahaya untuk tanah gambut dan tanah Sulfat Masam Pada tanah
gambut penurunan permu kaan air tanah secara berlebihan (overdrain) akan
menyebabkan gambut mengering tak balik atau mati dan penurunan
permu kaan tanah gambut (subsidence) terlalu cepat. Pada tanah sulfat
masam akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit dan pada saat hujan
datang terjadi proses pemasaman sehingga dapat meracuni tanaman dan
biota lainnya. Oleh karena itu dalam pembuatan saluran harus betul-betul
memperhatikan kondisi fisiografi, topografi dan hidrologi di kawasan pasang
surut tersebut. Faktor inilah yang men jadi latar belakang dari kegagalan
proyek PLG.
Pembukaan lahan rawa yang ditujukan untuk pengembangan budidaya
pertanian khususnya pencetakan sawah melalui Proyek PLG seluas satu juta
hektar di Propvinsi Kalimantan Tengah, sejak 4 Januari 1996 telah dimulai
dengan pembuatan jaringan irigasi yang memotong dan menghubungkan
Sungai Sebangau, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta
anak-anak sungainya. Sistem tata air yang di kembangkan pada Kawasan eks-
PLG adalah sistem tata air tertutup, artinya air yang masuk dan keluar dari
sistem tata air dapat dikontrol untuk optimasi proses pencucian (leaching)
gambut. Dalam sistem tata air tertutup ini dilengkapi dengan tanggul dan
bangunan pintu air.
Menurut laporan Kementerian PU (2002), jaringan irigasi yang telah
dibangun hingga saat proyek PLG dihentikan pada tahun 1999, diantaranya :
Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 km, saluran primer utama
(SPU) sepanjang 958,18 km, saluran sekunder (913,28 km), dan saluran
tersier (900 km), telah dibangun di daerah kerja Blok A (di Palingkau,
Dadahup, dan Lamunti).
Pintu air yang dibangun pada saat proyek PLG berjalan dari tahun 1997
s.d. 1999 sudah tidak berfungsi lagi dan banyak yang sudah dijarah diambil

14
besinya. Kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian baru dilakukan di
daerah kerja (Blok A), sedangkan untuk Blok B, C dan Blok D belum
dilaku kan penyiapan lahan dan belum ditempatkan petani transmig ran
kecuali penempatan lama Pangkoh dan Jabireun. Namun telah
dibangun Saluran Primer Utama (SPU) sepanjang 958,18 km.
Perbaikan tata air makro di kawasan PLG satu juta ha, khususnya di
wilayah kerja A, sampai saat ini terus dilakukan oleh Kementerian PU,
seperti memperbaiki saluran primer, sekunder, dan tersier. Selain itu
memperbaiki pintu air di saluran tersier yang rusak dan mengubahnya dari
sistem ulir men jadi pintu-pintu tabat yang bisa mengatur kedalaman air di
saluran sesuai kebutuhan. Pada daerah banjir seperti di Dadahup telah dibuat
tanggul-tanggul untuk menahan bajir pada musim penghujan.

b. Tata Air Mikro dan Penataan Lahan


Pengelolaan air di tingkat saluran tersier sangat berpengaruh terhadap
tata air mikro dilahan pertanian, kesalahan dalam mengatur tata air di
saluran tersier akan menyebabkan kegagalan panen karena air tidak
sampai ke lahan. Oleh karena itu pengaturan tata air mikro di lahan petani
sangat berkaitan dengan tipe luapan air pasang. Jika saluran tersier berada
pada tipe luapan A, maka dilahan petani bisa diatur sistem aliran satu arah
(one way flow system), jika pada tipe luapan B maka dapat diatur sistem
aliran satu arah plus tabat, jika pada tipe luapan C maka sistem tabat, dan jika
berada pada tipe luapan D maka dapat dilakukan sistem tabat plus irigasi
tambahan dari kawasan tampung hujan yang berada diujung tersiernya
(Suriadikarta, et al. 1999).
Penataan lahan sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan
produktivitas lahan rawa. Sistem surjan adalah salah satu usaha
penataan lahan untuk melaksanakan diversifikasi tanaman di lahan rawa.
Guludan dibuat 3 – 5 m dan tinggi 0,5 – 0,6 m, sedang tabukan dibuat
dengan lebar 15 m, dengan demikian setiap ha dapat dibuat guludan 6 –

15
10 dan 5 – 9 tabukan. Tabukan biasanya ditanami padi sawah , sedangkan
guludan ditanami palawija, sayuran dan buah-buahan, atau tanaman
industri seperti kencur, kopi, dan kelapa. Dalam pengembangan sistem surjan
perlu diperhat ikan tipologi lahannya dan tipe luapan. Penataan dan pola
pemanfaatan lahan rawa pasang surut dianjurkan berdasarkan kepada
typologi lahan dan tipe luapan Secara umum bahwa lahan dengan tipe luapan
A dianjurkan d itata sebagai sawah, sedangkan untuk tipe lu apan B ditata
sebagai sawah sistem surjan. Lahan dengan tipe luapan C ditata sebagai
sawah tadah hujan atau surjan bertahap dan lahan dengan tipe luapan D
sebagai sawah tadah hujan atau tegalan atau perkebunan. Penataan lahan
selain memperhatikan t ipologi lahan dan tipe luapan. Untuk tanah gambut
harus memperhatikan lapisan di bawah gambut (bahan subtratum), bisa
pasir kuarsa, atau tanah sulfat masam, bila demikian maka lapisan diatasnya
harus dipertahankan.
Sistem surjan mempunyai beberapa keuntungan yaitu: 1) stabilitas
produksi lebih mantap, terutama untuk tanaman padi ditabukan; 2) intensitas
tanam lebih tinggi, dan 3) diversifikasi tanaman sekaligus dapat terlaksana
(Badan Penelit ian dan Pengembangan Pertanian, 1993). Ukuran surjan
tergantung kepada kepada tipologi lahan, tipe luapan, kedalaman p irit, dan
kedalaman air tanah. Hasil penelitian penerapan drainase (saluran cacing) di
tabukan menunjukan adanya korelasi yang nyata antara jarak saluran cacing
dengan perubahan pH tanah, yang akhirnya berpengaruh terhadap produksi
tanaman padi. Pada lahan yang saluran cacing terlalu jarang (12 m) jaraknya
intensitas keracunan besi lebih tinggi, dan produksi lebih rendah
dibandingkan dengan lahan yang saluran cacingnya lebih rapat.
Oleh karena itu pada lahan yang ditata dengan sistem surjan, maka pada
lahan tabukan dianjurkan untuk membuat saluran cacing sedalam 20 cm
dengan jarak interval 6 m, dan dibuat pula saluran keliling. Untuk
memperlancar pencucian maka sebaiknya dilakukan pencucian petakan setiap
2 minggu . Pengembangan tata air mikro di lahan gambut dalam jangka

16
panjang perlu dikembangkan agar lahan terhindar keracunan besi dan unsur-
unsur bahan beracun lainya seperti asam-asam organik agar terjadi
peningkatan produktivitas lahan yang nyata.

2. Teknologi Pengelolaan Lahan


Teknologi pengelolaan lahan di rawa pasang surut meliputi pengolahan
tanah, ameliorasi dan pemupukan.
A. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk penyiapan lahan diperlukan untuk memperbaiki
kondisi lahan agar men jadi seragam dan rata melalui penggemburan
atau pelumpuran dan perataan tanah, juga untuk mempercepat
proses pencucian bahan beracun dan pencampuran bahan ameliorasi
dan pupuk dengan tanah . Pengolahan tanah yang secara konsisten
memberikan hasil baik dari segi fisik lahan maupun hasil tanaman
adalah pengolahan tanah dengan bajak singkal d iikuti dengan rotari
memakai t raktor tangan. Pada tanah mineral yang keras dan
berbongkah atau pada lahan bergambut sebaiknya tanah diolah sampai
gembur atau melu mpur dengan mencampurkan lapisan gambut dan
tanah mineral d ibawahnya (Djajusman et al. 1995). Pengolahan tanah ini
diperlukan untuk lahan gambut atau lahan rawa pasang surut yang di
sawahkan. Bila la han sudah rata dan bersih dari bekas akar-akar kayu
maka penanaman berikutnya dapat dilakukan dengan pengolahan
tanah minimum (min imum/ zero tillage). Hal ini akan sangat
mengurangi biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani.
B. Ameliorasi dan Pemupukan
Pemberian bahan ameliorasi dan pupukan memegang peranan
penting dalam rangka meningkat kan kualitas dan produktivitas lahan
pasang surut, mengingat kondisi lahannya yang masam dengan tingkat
kesuburan tanah alami rendah. Berbagai macam bahan ameliorasi
dapat digunakan untuk meningkat kan kualitas lahan, antara lain:
dolomit, abu sekam, atau abu gergajian, tanah mineral, abu volkan dan lu

17
mpur laut. Abu sekam dan abu gergajian, dan limbah tanaman mempuyai
keunggulan dengan yang lain karena harganya relatif murah dan
tersedia setempat (Suriadikarta, et.al., 1999). Untuk mengatasi asam-
asam organik yang meracun pada tanah gambut yang disawahkan telah
banyak dilakukan penelitian oleh para peneliti bidang kesuburan tanah
seperti penggunaan tanah mineral berkadar besi tinggi dan terak baja.
Penggunaan kation besi tiga (Fe3+) dan zeolit serta penggunaan dolomit
dan Rock Phosfate. Penggunaan lumpur laut dan kapur, untuk tanah
gambut lahan kering yang ditanami tanaman kedelai. Hasil penelit
ian di laboratoriu m menunjukkan bahwa bahan amelioran yang baru
untuk tanah gambut yaitu abu terbang mempunyai harapan untuk
digunakan karena dapat meningkatkan pH, P, kadar basa-basa (K, Na,
Ca, Mg), dan kejenuhan basa meningkat, namun masih perlu diuji di
lapangan.
Tanaman yang ditanam dilahan gambut atau sulfat masam sering
tanggap terhadap pemupukan N, P, K, dan unsur mikro terutama Cu
(Widjaya Adhi, 1976, dalam Suriad ikarta, et al. 1999). Oleh karena itu
setelah bahan amelioran d iberikan maka harus diikuti dengan
pemupukan pupuk anorganik seperti Urea, SP-36, dan KCl, kemudian
unsur mikro Cu (Terusi 20 kg/ha), dan Zn. Pemberian Zn dilaku
kan dengan cara perendaman benih padi kedalam larutan Zn SO4
5% sebelum bibit ditanam. Hasil penelitian di lahan rawa pasang
surut telah diketemukan dosis-dosis anjuran untuk beberapa komodit
i sesuai dengan tipologi lahanya. Untuk tanaman padi pada lahan
potensial berkisar antara 45-45-50 sampai 90-45-50 kg/ha (N-P2O5-
K2O), sedangkan untuk lahan sulfat masam dan bergambut adalah 90 kg
N/ha, 45 kg P2O5/ha , dan 75 kg K2O/ha. Pupuk N berupa Urea prill
diberikan 3 kali, yaitu 1/3 dosis pada saat tanam, 1/3 pada umur tanaman
28 hari setelah tanam, dan sisanya pada umur tamaman 42 hari
setelah tanam. Pupuk P dan K d iberikan sekaligus pada waktu tanam.

18
Untuk tanaman jagung secara umum yang dianjurkan adalah: 67,5
kg N/ha , 90 kg P2O5/ha , dan 50 kg K2O/ha . Selain itu untuk tanah
gambut perlu ditambahkan ZnSO4 dan CuSO4 masing-masing sebanyak
5 – 10 kg ha-1. Pemupukan untuk tanaman kedelai yang dianjurkan
adalah 22,5 kg N/ha , 45 kg P2O5/ha , dan 50 kg K2O/ha , sedangkan
untuk kacang tanah adalah 22,5 kg N/ha , 90 kg P2O5/ha , dan 50 kg
K2O/ha. Untuk kacang hijau sama dengan untuk tanaman kedelai, namun
untuk tanaman kedelai perlu ditambahkan Rhizobium (legin/nitragen)
sebanyak 15 g/kg benih. Untuk tanaman sayuran diperlukan bahan
amelioran sebelum dilakukan pemupukan seperti kapur, dolomit, dan
kompos. Takaran bahan amelioran dan pupuk sangat bervariasi
tergantung jenis tanaman sayuran yang ditanam. Seperti untuk cabai
keriting pada lahan gambut dangkal atau bergambut diperlukan 2 t
kapur/ha dan 4 t/ha pupuk kandang, dengan pupuk 60 kg N/ha, 120 kg
P2O5/ha , dan 50 kg K2O/ha.
C. Varietas yang Adaptif
Varietas yang ditanam di lahan gambut sebaiknya tanaman yang
adaptif untuk mengurangi input sarana produksi yang dibutuhkan
sehingga terjadi efisiensi biaya. Menurut Sabiham (2006), diusulkan ada
dua pendekatan dalam mengusahakan tanaman di lahan gambut, yaitu: 1)
Pendekatan pada kondisi drainase alami, dengan tanaman adaptif padi
jenis lokal, dan sagu dari spesies rawa gambut yaitu Metroxylon sago, 2)
Pendekatan pada kondisi drainase buatan. Pada kondisi ini ada dua
pendekatan yaitu, pertama kedalaman muka air tanah (40-60 cm) tanaman
yang baik untuk kondisi sepeti ini adalah: padi, sayuran, buah- buahan,
dan rumput sebagai pakan ternak. Kedua pada kedalaman air tanah > 60-
100 cm adalah: kelapa sawit, kelapa, dan karet yang diusahakan dalam
bentuk perkebunan, dan Accasia crasicarpa yang diusahakan dalam
Hutan Tanaman Industri.

19
Hasil penelitian di lahan gambut, khususnya lahan bergambut
sampai gambut dangkal ada beberapa varietas padi yang adaptif antara
lain Kapuas, Cisanggarung, Sei Lilin, IR-42, Lematang, dan Cisadane
(Badan Litbang Pertanian, 2003). Selain varietas di atas ada be- berapa
varietas baru yang dapat dikembangkan di lahan gambut yaitu
Indragiri, Punggur, Margasari, Martapura, Air Tenggulang, Lambur, dan
Mendawak (Suriadikarta et al., 1999). Produksi beberapa varietas padi
tersebut men- capai sekitar 4-6 t/ha GKP, dan umumnya tahan terhadap
penyakit blas, dan sebagian tahan terhadap hawar daun, seperti varietas
Punggur, dan Air Tenggulang. Selain tanaman padi unggul, juga padi
lokal seperti: Talang, Ceko, Mesir, Jalawara, Siam Lemo, Siam Unus,
Siam Pandak, Semut, Pontianak, Sepulo, Pance, Salimah, Jambi Rotan,
dan Tumbaran, dengan potensi hasil antara 2-3 t/ha GKP dengan umur
120-150 hari.
Selain tanaman padi juga telah diteliti beberapa varietas tanaman
palawija, sayuran dan buah-buahan yang adaptif di lahan gambut.
Tanaman palawija antara lain: kedelai varietas Willis, Rinjani, Lokon,
Dempo Galunggung, Slamet, Lawit, dan Kerinci, dengan produksi
rata-rata antara 1,5-2,4 t/ha. Untuk tanaman jagung varietas Arjuna,
Kalingga, Wiyasa, Bisma Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga,
H6, dan Bisi-2, dengan rata-rata hasil 4-5 t/ha. Untuk tanaman kacang
hijau adalah varietas: Betet, Walik, dan Gelatik, dengan rata-rata hasil
1,5 t/ha, sedangkan untuk kacang tanah varietas yang adaptif cukup
banyak yaitu: Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo, dan
Mahesa, dengan rata-rata hasil 1,8-3,5 t/ha (Badan Litbang Pertanian,
2003). Tanaman sayuran juga banyak yang menunjukkan kesesuaian di
lahan gambut seperti: cabai, tomat, terung, kubis, kacang panjang,
buncis, timun, bawang merah, sawi, selada, bayam, dan kangkung. Untuk
tanaman buah-buahan semangka, dan nenas. Selanjutnya tanaman industri

20
juga ada yang bisa berkembang di lahan gambut antara lain jahe dan
kencur, kelapa dalam, dan kelapa sawit.
D. Alat dan Mesin Pertanian
Salah satu alternatif pemecahan masalah tenaga kerja di lahan rawa
pasang surut atau lahan gambut adalah penerapan alat mesin pertanian
(Alsintan) pra dan pasca panen, baik yang digerakan oleh ternak kerja
maupun motor penggerak. Namun dalam pengembangan alsintan
memerlukan persyaratan tertentu, baik teknis maupun sosial ekonomi.
Pengembangan alsintan di lahan rawa ditentukan oleh faktor biofisik
lahan, seperti kekerasan tanah, sisa tunggul kayu, jenis vegetasi
permukaan, kedalaman gambut, dan lapisan pirit, bekas parit alam atau
bekas nipah. Pada awalnya petani transmigran di lahan gambut
menggunakan tenaga manusia sebagai penarik bajak untuk mengolah
tanahnya, namun hasilnya belum sesuai untuk pertumbuhan tanaman
padi. Pengolahan tanah di lahan gambut pasang surut, selain untuk
menggemburkan tanah dan pengendalian gulma, juga untuk pelumpuran
untuk meningkatkan daya menahan air, khususnya sawah (Ananto dan
Alihamsyah, 1992).
Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan kerja
ternak sapi untuk membajak tanah adalah 10 jam/ha, dengan 4-5 jam/hari,
dan sesuai dikembangkan untuk lahan yang bertipe luapan B, C, dan D
atau yang berlumpur dangkal dan lahan siap olah (Badan Litbang
Pertanian, 2003). Sedangkan hasil pengujian berbagai tipe traktor pada
lahan pasang surut bertipe luapan B/C, kebutuhan waktu kerja
pengolahan tanah sampai siap tanam adalah 19 jam/ha untuk traktor
tangan lokal; 25,25 jam/ha untuk traktor tangan impor (tipe rotari) dan
20,5 jam/ha untuk traktor mini impor. Sedangkan untuk lahan bertipe
luapan A dan B masing-masing 18 jam/ha, dan 15 jam/ha untuk traktor
tangan lokal dan impor (Komarudin (1991) dalam Ananto dan
Alihamsyah, 1992).

21
Untuk meningkatkan kemampuan dan hasil kerja ternak sapi, telah
dirakit dan diuji berbagi alat pengolah tanah yang lebih baik. Pada
pengolahan tanah sistim kering, garu pisau dan garu piringan dapat
dianjurkan untuk mengganti garu tradisional. Pada pengolahan sistim
basah dianjurkan pemakaian glebeg, terutama yang bermata trapesium,
karena menghasilkan pelumpuran yang paling baik.

D. Studi Kasus Sistem Pengelolaan Air di Lahan Basah dan Gambut


Pengembangan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit sudah
demikian pesatnya akibat terbatasnya lahan mineral yang tersedia dalam hamparan
yang luas. Tidak sedikit pemahaman akan karakteristik lahan gambut untuk
pengembangan kebun kelapa sawit juga sangat terbatas baik aspek ekologi
maupun agronomi dan tanah. Salah satu pengembangan lahan gambut untuk
perkebunan kelapa sawit yaitu terjadi pada lahan gambut perkebunan sawit di PT.
Jalin Vaneo di Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat.

22
Lokasi studi dan sistem lahan gambut di wilayah Perkebunan Kelapa Sawit PT JV Kabupaten Kayong Utara
Kalimantan Barat.

Lahan gambut di lokasi studi yaitu di PT Jalin Vaneo Kabupaten Kayong


Utara merupakan jenis lahan gambut dari sistem lahan gambut Mendawai (MDW)
dan Gambut (GBT). GBT merupakan daerah rawa gambut dalam, biasanya
merupakan kubah gambut, dengan slope kurang dari 2%. Secara litologi, tipe
batuan yang dominan adalah gambut dengan jenis tanahnya adalah Tropohemists
dan Tropofibrists. Sedangkan MDW merupakan daerah rawa gambut dangkal,
memiliki slope kurang dari 2%. Secara litologi, tipe batuan yang dominan adalah
gambut, dengan jenis tanahnya adalah Troposaprists, dan Tropohemists.
Berdasarkan sebarannya, sistem lahan yang ada di wilayah studi ini lebih dominan
MDW. Sistem lahan MDW terdiri dari asosiasi tanah Troposaprist, Tropohemist
dan Tropaquents.
Di lokasi studi pada gambut dangkal pertumbuhan tanaman sawit relatif
lebih baik dibandingkan dengan pada gambut pedalaman (lebih jauh dari

23
pengaruh limpasan air sungai). Sistem tata air yang mengendalikan muka air
saluran dilakukan dengan mengatur muka air disaluran utama (primer) hingga
saluran yang paling kecil (kuarter) serta saluran cacing. Pola tata air di saluran
untuk pengaturan kelembapan tanah di tingkatan lahan diilustrasikan pada gambar
4.

Gambar 4. Sistem Tata Air di Lahan Gambut (Haerani & Nusyamsi,2012

Pengelolaan tata air pada perkebunan kelapa sawit, utamanya dimaksudkan


untuk mengkondisikan lahan pertanaman jangan sampai selalu sering tergenang
ataupun jangan terlalu kering. Artinya pengelolaan tata air utamanya adalah
mengkondisikan lahan dalam kondisi tanah pada kapasitas lapang. Kondisi pada
kapasitas lapang, tanah bisa mendukung ketersediaan air bagi pertumbuhan
tanaman sawit.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa saluran dalam kondisi
overdrainage. Paradigma pencucian saluran kurang dipahami secara benar.
Pencucian saluran sebenarnya dimaksudkan untuk mengkondisikan saluran tetap
mengalir akan tetapi dipertahankan pada kedalaman tertentu, sehingga saluran
tetap berisi air dan selalu mengalir. Pengaturan sistem tata air tetap
mempertimbangkan kondisi topografi areal kebun, sehingga pergerakan air
didesain sedemikian selalu mengalir, dan dipertahankan pada kedalaman sesuai
dengan hasil pemetaan kedalaman lapisan pirit. Banyak yang harus dibenahi
secara total manajemen tata air ini, pembuatan stoplog (bendung kecil/sederhana),
perlu segera dibangun untuk mencegah saluran dalam kondisi kering.

24
Pengamatan kondisi muka air saluran merupakan parameter yang diamati
dalam penelitian ini. Hasil pengukuran dari pemboran tanah gambut di beberapa
titik Blok, muka air dilahan bervariasi antara 39 cm hingga 130 cm (Gambar 5).

Gambar 5. Kedalaman gambut dan muka air tanah pada beberapa Blok di wilayah kebun Sawit PT. Jalin
Vaneo, Kabupaten Kayong Utara

Kisaran ideal sebaran kedalaman muka air pada kedalaman 40 cm hingga


60 cm. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan saluran tata air banyak dalam
kondisi overdrainage. Saluran dalam kondisi overdrainage adalah saluran
sekunder dan saluran blok pertanaman seperti di Blok L53, Q47, P94 dan Q69.
Kegiatan pembersihan saluran dari gulma dan pendalaman saluran dari dampak
sedimentasi menyebabkan overdrainage. Overdrainage ini menyebabkan lapisan
pirit teroksidasi dan berakibat memunculkan jerosit. muka air tertentu (kisaran 50
cm). Overdrainage pada tanah Sulfaquents, Tropohemist dan Troposaprist yang
mengandung lapisan pirit berimplikasi pada munculnya lapisan pirit yang
teroksidasi serta kekeringan di lahan pada saat musim kemarau yang bisa menjadi
ancaman bagi kelangsungan pertumbuhan dan produktivitas tanaman serta
ancaman kebakaran lahan gambut. Overdrainage yang terus menerus
terjadi, mengakibatkan percepatan mineralisasi gambut dan terbukti mengubah
lahan gambut menjadi sumber karbon dioksida dan methane yang berakibat
terhadap kontribusi pemanasan global (Vermaata et al., 2016). Pengaturan muka
air di saluran dengan stop log/stop block mengkondisikan air di lahan
pertanaman menjaga tanah dalam kondisi kapasitas lapang yang
berkesinambungan.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Peningkatan produktivitas usahatani pada lahan gambut dilaksanakan dengan
menerapkan teknologi pengelolaan lahan rawa dan gambut yang bertujuan sebagai
pertanian yang berkelanjutan. Sebagai salah satu jenis lahan rawa, keberadaan air
di lahan gambut sangat dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut/luapan air
sungai. Tingkah laku dari keduanya akan berpengaruh terhadap tinggi dan lama
genangan air di lahan gambut dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
tingkat kesuburan lahan serta pola budidaya tanaman yang akan diterapkan di
atasnya. Sehingga terdapatlah teknik pengelolaan air yang telah lama
dikembangkan dan diterapkan di lahan rawa (termasuk gambut) yaitu sistem
parit/handil di tepi sungai dan sistem saluran model garpu di lahan pasang surut
Selain itu, teknologi dalam pengelolaan tanah dan air (soil and water
management) merupakan kunci utama keberhasilan usahatani pertanian di lahan
rawa pasang surut. Apabila bisa mengendalikan keluar masuknya air ke lahan
maka sudah dapat dipastikan usahatani itu akan mendekati keberhasilan.
Sebaliknya, bila tata air tidak bisa dikuasai maka kegagalan yang akan diperoleh.
Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata air
mikro dan penataan lahan), teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan,
penggunaan varietas yang adaptif, serta pengembangan Alsintan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Suriadikarta, D. A. (2012). Teknologi pengelolaan lahan gambut


berkelanjutan. Jurnal Sumberdaya Lahan Pertanian, 6(2), 197-211.
http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jsl/article/view/6301

Legowo, A. C., Maharani, D. M., Khamidah, N., & Hamzani, S. (2021). Teknologi
Pengolahan Air Gambut Untuk Santri Ponpes Al Mursyidul Amin
Gambut. Jurnal Pengabdian ILUNG (Inovasi Lahan Basah Unggul), 1(1),
116-124.
https://ppjp.ulm.ac.id/journals/index.php/ilung/article/view/3581

Hafizianor, H. (2016). PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN


AGROFORESTRI LAHAN BASAH BERBASIS PENGETAHUAN DAN
TEKNOLOGI EKOLOGI LOKAL.
http://eprints.ulm.ac.id/3964/

Hatta, Gusti Muhammad. "Lahan basah, kearifan lokal, dan teknologi." (2020).
https://repo-dosen.ulm.ac.id//handle/123456789/8528

Waluyo, E. A., & Nurlia, A. (2017). Potensi Pengembangan Kopi Liberika (Coffea
libericca) Pola Agroforestry dan Prospek Pemasarannya untuk Mendukung
Restorasi Lahan Gambut di Sumatera Selatan. Pengembangan Ilmu dan
Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal Untuk Optimasi Lahan Sub
Optimal. In Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal (pp. 255-264).
https://www.bpk-palembang.org/publikasi/prosiding/potensi-pengembangan-
kopi-liberika-coffea-liberica-pola-agroforestry-dan-prospek-pemasarannya-
untuk-.html

Hardjoamidjojo, S., & Setiawan, B. I. (2001). Pengembangan dan pengelolaan Air di


Lahan basah.
https://media.neliti.com/media/publications/22116-EN-development-and-
management-of-water-in-wetland.pdf

Soewandita, H. (2018). KAJIAN PENGELOLAAN TATA AIR DAN


PRODUKTIVITAS SAWIT DI LAHAN GAMBUT (Studi Kasus: Lahan
Gambut Perkebunan Sawit PT Jalin Vaneo di Kabupaten Kayong Utara,
Propinsi Kalimantan Barat). Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi
Cuaca, 19(1), 41-50.

27
https://www.researchgate.net/publication/329968330_KAJIAN_PENGELOL
AAN_TATA_AIR_DAN_PRODUKTIVITAS_SAWIT_DI_LAHAN_GAMB
UT_Studi_Kasus_Lahan_Gambut_Perkebunan_Sawit_PT_Jalin_Vaneo_di_K
abupaten_Kayong_Utara_Propinsi_Kalimantan_Barat

Ismail Inu G., Trip Alihamsyah., IPG Widjaja Adhi., Suwarno., Tati herawati.,
Ridwan Thahir., D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian Di Lahan
Rawa 1985-1993. Proyek Penelitian Pertanian Pasang Surut dan rawa-
SWAMP II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Kasdi S,. H. Suwardjo Dan IP.G. Widjaja- Adhi. 1994. Reklamasi Lahan Pasang
Surut Bertanah Sufat Masam di Kalimantan: Tinjauan Hasil Penelitian dan
Pengembangan di Lahan Petani. In Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya
Lahan Untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Palangkaraya 5-6 Oktober

1993. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat.

28

Anda mungkin juga menyukai