Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Reklamasi dan Tata Air Lahan Basah
dan Gambut
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Ir. Tino Orciny Chandra, MS.
Disusun Oleh :
DEWI SUCIATI
C1051191015
Ilmu Tanah – A
Puji syukur kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis karena atas izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Penulsan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Reklamasi dan Tata Air Lahan Basah
dan Gambut.
Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan makalah mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua yang membacanya dan menambah wawasan serta keilmuan di bidang Ilmu
Tanah.
Dewi Suciati
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Tujuan..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Teknologi di Lahan Basah dan Gambut................3
1. Pengertian Teknologi di Lahan Basah dan Gambut.......................................3
2. Tujuan Teknologi di Lahan Basah dan Gambut.............................................4
3. Fungsi Teknologi di Lahan Basah dan Gambut..............................................5
B. Teknologi yang diterapkan pada Lahan Basah dan Gambut...................................6
1. Sistem Parit/Handil di Tepi Sungai.................................................................7
2. Sistem Saluran Model Garpu di Lahan Pasang Surut.....................................9
3. Sistem Aliran Satu Arah...............................................................................10
C. Teknologi Pengelolaan Air Tanah dan Tanaman.................................................12
1. Teknologi Pengelolaan Tanah dan Air.........................................................13
2. Teknologi Pengelolaan Lahan.......................................................................16
D. Studi Kasus Sistem Pengelolaan Air di Lahan Basah dan Gambut.......................21
BAB III PENUTUP...................................................................................................25
A. Kesimpulan........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air merupakan unsur penting bagi tanaman. Disamping berfungsi langsung
dalam proses pertumbuhan, unsur ini juga berfungsi dalam mengendalikan gulma,
mencuci senyawa-senyawa beracun, dan mensuplai unsur hara. Di lain pihak, air
juga menjadi kendala jika keberadaannya tidak bisa diatur dan kualitasnya kurang
baik (beracun). Pengelolaan air pada lahan khususnya lahan basah apabila
dilakukan dengan baik da optimal merupakan faktor kunci terwujudnya system
lahan basah yang berkelanjutan. Dalan hal ini lahan basah yang dimaksud adalah
lahan gambut. Lahan gambut tidak lepas dari lahan rawa, karena lahan gambut
selalu berada di lahan rawa baik itu rawa pasang surut maupun non pasang surut
(rawa lebak). Untuk lahan gambut yang terletak di kawasan pantai dan peralihan
umumnya di lahan rawa pasang surut, sedangkan gambut pedalaman merupakan
lahan rawa lebak. Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama
waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated water), atau
tergenang (waterlogged) (Suriadikarta. 2012).
Pemanfaatan lahan basah harus direncanakan dan dirancang secara cermat
dengan asas tataguna lahan yang berperspektif jangka panjang. Bentang-lahan
(landscape) dari lahan basah jauh dari serbasama (homogeneous) dalarn hal
hidrologi, tanah dan vegetasi. Hidrologi dan tanah sangat rentan perubahan oleh
usakan (disturbance), baik karena peristiwa alam, maupun karena ulah manusia.
Pemanfaatannya harus memperhatikan tiga aspek lahan basah yang menentukan
nilainya, yaitu: fungsi, hasil dan ciri khas Sebab-sebab yang dapat merusak lahan
basah yang selanjutnya dapat meng-hilangkannya, harus dapat dicegah
(Hardjoamidjo dan Setiawan, 2001).
Selain dari pada pemanfaatannya adapun tata pengelolaan air pada lahan
basah tersebut harus mempertimbangkan beberapa karakteristik gambut yang
sangat spesifik, diantaranya kemampuan gambut yang sangat tinggi dalam
1
menyerap air (bersifat hidrofilik) bisa berubah menjadi hidrofobik (menolak air),
jika gambut telah mengalami proses kering tak balik (irreversible drying). Kondisi
ini terjadi jika gambut mengalami kekeringan yang sangat ekstrim.
Oleh karena itu, prinsip utama dari pengaturan tata air di lahan gambut yang
dibudidayakan untuk tanaman pertanian adalah harus mampu menekan terjadinya
penurunan fungsi lingkungan dari lahan gambut akibat dilakukannya proses
drainase/penurunan muka air tanah, namun tetap bisa memenuhi syarat tumbuh
tanaman yang dibudidayakan. tinggi muka air tanah harus diatur sampai batas
minimal dimana tanaman masih mampu tumbuh dengan baik. Artinya tinggi muka
air tanah harus diatur supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam. Hal ini
dapatdilakukan jika tersedia fasilitas pengendali berupa pintu air di setiap saluran,
terutama jika pengembangan lahan gambut dilakukan dalam skala luas.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan
memaparkan berbagai teknologi pengelolaan air, tanah, tanaman, dan saluran pada
lahan basah dan gambut bagi pertanian serta dapat menambah ilmu pengetahuan
khususnya pada bidang Ilmu Tanah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
lahan gambut diantaranya adalah moor, bog, mires, hutan rawa gambut dan
permafrost tundra. Luas lahan gambut secara keseluruhan mencapai setengah
dari luas lahan basah di dunia, dan menutupi 3% dari total luas permukaan
bumi . Semua lahan gambut dapat dijumpai di berbagai belahan dunia.
Sementara itu, lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau
selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated
water), atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Pada lahan rawa
umumnya dijumpai tanah mineral dan tanah gambut. Teknologi pengelolaan
lahan rawa antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata air
mikro dan penataan lahan), teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan,
penggunaan varietas yang adaptif, teknologi pengendalian hama dan
penyakit, pengembangan Alsintan, serta pemberdayaan kelembagaan
petani.
4
2) Mencuci asam-asam organik dan anorganik serta senyawa lainnya yang
bersifat racun terhadap tanaman dan masukkan air segar untuk
memberikan oksigen;
3) Memanfaatkan keberadaan air di dalam saluran sebagai media
budidaya ikan, baik budidaya aktif (dimana benih ikan ditebarkan di
dalam saluran) maupun budidaya pasif (dimana parit/saluran digunakan
sebagai perangkap ikan ketika sungan di sekitarnya meluap). Selain itu
keberadaan air di dalam parit akan berfungsi sebagai sekat bakar yang
dapat mencegah terjadinya kebakaran di lahan gambut.
4) Sebagai sarana transportasi hasil panen.
5
B. Teknologi yang diterapkan pada Lahan Basah dan Gambut
Pada pengembangan lahan basah dan gambut diperlukan teknologi yang
memadai demi meningkatkan produktivitas serta menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang sering kali menjadi penghambat dalam budidaya di lahan
basah dan gambut. Peningkatan produktivitas usahatani pada lahan gambut
dilaksanakan dengan menerapkan teknologi pengelolaan lahan rawa dan gambut
yang bertujuan sebagai pertanian yang berkelanjutan.
Tabel 1. Perkiraan Luas Lahan Gambut Menurut Beberapa Sumber
6
Sebagai salah satu jenis lahan rawa, keberadaan air di lahan gambut sangat
dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut/luapan air sungai. Tingkah laku
dari keduanya akan berpengaruh terhadap tinggi dan lama genangan air di lahan
gambut dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan lahan
serta pola budidaya tanaman yang akan diterapkan di atasnya. Lahan gambut
yang sering menerima luapan air sungai relatif lebih subur dibandingkan lahan
gambut yang semata-mata hanya menerima limpasan/curahan air hujan. Sifat
luapan/pasang surut air sungai yang jangkauannya dapat mencapai lahan
gambut dapat disiasati untuk mengatasi berbagai kendala pertanian di lahan
gambut, misalnya untuk mencuci zat-zat beracun atau asam kuat yang berasal
dari teroksidasinya pirit dan mengatur keberadaan air sehingga tanaman dapat
tumbuh dengan baik. Beberapa teknik pengelolaan air yang telah lama
dikembangkan dan diterapkan di lahan rawa (termasuk gambut) antara lain:
(1) Sistem parit/handil di tepi sungai; dan
(2) Sistem saluran model garpu di lahan pasang surut (dikembangkan oleh
Universitas Gajah Mada).
Kedua sistem ini mempunyai kelemahan yaitu aliran air yang masuk/keluar
dari petakan lahan gambut (pada saat pasang dan surut/luapan) terjadi pada satu
saluran, dan pada saluran ini sering terjadi pendangkalan yang diakibatkan oleh
endapan lumpur sungai. Kondisi demikian menyebabkan penyumbatan saluran
sehingga proses penggantian air di dalam petakan lahan tidak berlangsung
sempurna, akibatnya bahan-bahan beracun dan juga senyawa asam
menumpuk/terakumulasi di dalam saluran dan menyebabkan mutu air menjadi
jelek. Kondisi di atas dapat diatasi dengan membuang endapat dari dalam saluran
atau memisahkan saluran masuk/irigasi (inlet) dengan air keluar/drainase (outlet).
1. Sistem Parit/Handil di Tepi Sungai
Pengelolaan lahan pertanian dengan sistem parit/handil ini, telah
dikembangkan sejak dahulu kala oleh petani di lahan gambut pedalaman
Kalimantan. Parit dibuat dari pinggir sungai yang mengarah tegak lurus ke
7
arah daratan (Gambar 1), di kiri dan kanan parit dibuat pematang-pematang
yang umumnya digunakan sebagai jalan sekaligus sebagai batas kepemilikan
lahan. Parit dapat dipandang sebagai saluran sekunder bila sungai dipandang
sebagai saluran primer. Parit dibuat secara bertahap dan diselaraskan dengan
kondisi perubahan lahan, pengaruh pasang surut (kedalaman muka air) dan
ketebalan gambut. Penerapan sistem parit biasanya diawali dengan usaha
pembukaan lahan (reklamasi) dengan merintis dan memotong/menebang
pohon-pohon besar. Pekerjaan ini dilakukan secara berkelompok dan bertahap
serta dimulai dari tepi sungai tegak lurus ke arah pedalaman.
8
(mengairi) apabila air pasang. Aliran air dalam parit adalah dua arah atau
bolak balik;
d) Untuk mempertahankan keberadaan air di lahan/petakan, maka pada parit
dipasang tabat untuk mencegah keluarnya air sewaktu surut tetapi
sewaktu pasang air dapat mudah masuk dalam petakan;
e) Untuk mencegah agar parit tidak tersumbat oleh endapan lumpur, maka
perlu dilakukan pengangkatan/pembuangan lumpur secara rutin setiap
bulan sekali;
f) Lebar parit/handil berukuran 5 meter dan semakin menyempit ke arah
hulu parit. Pada kanan dan kiri parit dibuat tanggul/pematang untuk
ditanami buah-buah yang berfungsi sebagai penguat tanggul agar tidak
longsor. Di atas pematang ini, juga dapat dibuat pondok- pondok;
g) Pada setiap jarak 500 meter dibuat parit cacing yang berfungsi untuk
memasukan dan mengeluarkan air pada petakan pertanaman. Parit ini
berukuran lebar dan dalam masing-masing 1 meter;
h) Untuk meningkatkan mutu air di dalam parit dapat dilakukan dengan
menanami tumbuhan air yang terbenam didalamnya. Jika mutu air dalam
parit membaik, maka ke dalamnya dapat ditebarkan ikan. Tapi
keberadaan tumbuhan air yang terlalu banyak dapat mempercepat
pendangkalan.
9
Struktur tinggi/operasional pintu-pintu air tersebut disesuaikan dengan
penggunaan lahannya, apakah untuk sawah, surjan atau lahan kering.
10
3. Sistem Aliran Satu Arah
Pada sistem ini (Gambar 3), setidaknya memerlukan 2 buah saluran
tersier, dimana tersier yang satu berfungsi sebagai saluran irigasi (inlet) dan
yang lainnya sebagai saluran pembuang air/drainase (outlet). Kedua saluran
tersier ini harus dilengkapi dengan pintu air otomatis (flapgate) yang dapat
membuka dan menutup dengan tenaga arus air. Saluran irigasi akan membuka
ketika air pasang, tapi saluran drainase akan tetap tertutup. Kondisi demikian
diciptakan dengan meletakkan posisi pintu yang berlawanan arah [lihat
Gambar 4]. Tinggi rendahnya muka air di dalam saluran di atur dengan
mengatur pembukaan pintu outlet (drainase). Keuntungan sistem aliran satu
arah adalah: terjadi pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar,
potensi endapan lumpur di dalam saluran kuater lebih kecil karena tercuci
lebih mudah serta penumpukan senyawa beracun dan air asam akan dapat
dihindari.
Hasil penelitian reklamasi lahan pasang surut pada tanah sulfat masam
di lokasi Tatas, Kalimantan Tengah (Subagyono, 1994), dengan sistem aliran
satu arah, diperoleh rata-rata produksi padi sekitar 3,53 ton/ha, sementara
pada lahan yang dibiarkan tergenang menghasilkan 2,61 ton/ha. Sedangkan di
lokasi Tabunganen di Kalimantan Selatan, dengan sistem aliran satu arah,
(AARD and LAWWO, 1990 dalam Subagyono, 1994) produksi padi varietas
11
Musi mencapai 3,8 ton/ha, padahal sebelum diterapkan sistem aliran satu arah
rata-rata hasil padi petani adalah 0,5 - 1,5 ton/ha (varietas lokal) dan 2 - 2,5
ton/ha (varietas unggul).
12
gambut.Kunci pengendalian muka air tanah adalah mengatur dimensi saluran
drainase, terutama kedalamannya, dan mengatur pintu air. Kedalaman drainase,
selain faktor waktu dan spasial, dapat mempengaruhi emisi karbon. Lahan gambut
diusahakan memiliki kedalaman drainase antara 30-120 cm, dan pada setiap
penambahan kedalaman drainase satu centimeter berpotensi meningkatkan emisi
sebesar 0,91 ton CO2/ha/tahun. Sabiham S. et al (2012) menganjurkan untuk
mengkonservasi kecukupan kandungan air di lahan gambut pada kedalaman
drainase 40 cm untuk mengurangi emisi CO2 (ICCC, 2013).
Sejak proyek P4S pada tahun 70-adan dilanjutkan dengan proyek penelitian
Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan Belanda
(LAWOO) tahun delapan puluhan, serta Proyek Penelitian Pengembangan
Lahan Rawa Terpadu (ISDP), telah menghasilkan banyak teknologi pengelolaan
lahan rawa (Suriadikarta dan Abdurachman, 1999).
Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata air
mikro dan penataan lahan), teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan,
penggunaan varietas yang adaptif, teknologi pengendalian hama dan
penyakit, pengembangan Alsintan, serta pemberdayaan kelembagaan petani.
Keberhasilan juga telah banyak dicapai dalam pengembangan lahan rawa pasang
surut di beberapa daerah, yaitu di Kalsel, Kalbar, Sumsel, dan Riau. Kawasan PLG
juga dengan inovasi teknologi lahan rawa yang tepat dan berkelanjutan maka
diharapkan bisa berkembang seperti kawasan pasang surut lainnya yang telah
berhasil menjadi sentra-sentra produksi tanaman pangan, sayuran dan buah-
buahan, maupun tanaman perkebunan.
1. Teknologi Pengelolaan Tanah dan Air
Teknologi pengelolaan tanah dan air (soil and water management) terbagi
menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
a. Tata Air Makro
Tata air makro yang dibawah tanggung jawab Kementerian PU, mulai
dari saluran primer, sekunder dan tersier sangat mempengaruhi kondisi
tanah di lahan pertanian. Pembuatan saluran yang terlalu dalam dan lebar
13
akan mempercepat proses drainase dan pada musim kemarau air tanah cukup
dalam sehingga menyebabkan tanah akan menjadi kering. Keadaan ini akan
sangat berbahaya untuk tanah gambut dan tanah Sulfat Masam Pada tanah
gambut penurunan permu kaan air tanah secara berlebihan (overdrain) akan
menyebabkan gambut mengering tak balik atau mati dan penurunan
permu kaan tanah gambut (subsidence) terlalu cepat. Pada tanah sulfat
masam akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit dan pada saat hujan
datang terjadi proses pemasaman sehingga dapat meracuni tanaman dan
biota lainnya. Oleh karena itu dalam pembuatan saluran harus betul-betul
memperhatikan kondisi fisiografi, topografi dan hidrologi di kawasan pasang
surut tersebut. Faktor inilah yang men jadi latar belakang dari kegagalan
proyek PLG.
Pembukaan lahan rawa yang ditujukan untuk pengembangan budidaya
pertanian khususnya pencetakan sawah melalui Proyek PLG seluas satu juta
hektar di Propvinsi Kalimantan Tengah, sejak 4 Januari 1996 telah dimulai
dengan pembuatan jaringan irigasi yang memotong dan menghubungkan
Sungai Sebangau, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta
anak-anak sungainya. Sistem tata air yang di kembangkan pada Kawasan eks-
PLG adalah sistem tata air tertutup, artinya air yang masuk dan keluar dari
sistem tata air dapat dikontrol untuk optimasi proses pencucian (leaching)
gambut. Dalam sistem tata air tertutup ini dilengkapi dengan tanggul dan
bangunan pintu air.
Menurut laporan Kementerian PU (2002), jaringan irigasi yang telah
dibangun hingga saat proyek PLG dihentikan pada tahun 1999, diantaranya :
Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 km, saluran primer utama
(SPU) sepanjang 958,18 km, saluran sekunder (913,28 km), dan saluran
tersier (900 km), telah dibangun di daerah kerja Blok A (di Palingkau,
Dadahup, dan Lamunti).
Pintu air yang dibangun pada saat proyek PLG berjalan dari tahun 1997
s.d. 1999 sudah tidak berfungsi lagi dan banyak yang sudah dijarah diambil
14
besinya. Kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian baru dilakukan di
daerah kerja (Blok A), sedangkan untuk Blok B, C dan Blok D belum
dilaku kan penyiapan lahan dan belum ditempatkan petani transmig ran
kecuali penempatan lama Pangkoh dan Jabireun. Namun telah
dibangun Saluran Primer Utama (SPU) sepanjang 958,18 km.
Perbaikan tata air makro di kawasan PLG satu juta ha, khususnya di
wilayah kerja A, sampai saat ini terus dilakukan oleh Kementerian PU,
seperti memperbaiki saluran primer, sekunder, dan tersier. Selain itu
memperbaiki pintu air di saluran tersier yang rusak dan mengubahnya dari
sistem ulir men jadi pintu-pintu tabat yang bisa mengatur kedalaman air di
saluran sesuai kebutuhan. Pada daerah banjir seperti di Dadahup telah dibuat
tanggul-tanggul untuk menahan bajir pada musim penghujan.
15
10 dan 5 – 9 tabukan. Tabukan biasanya ditanami padi sawah , sedangkan
guludan ditanami palawija, sayuran dan buah-buahan, atau tanaman
industri seperti kencur, kopi, dan kelapa. Dalam pengembangan sistem surjan
perlu diperhat ikan tipologi lahannya dan tipe luapan. Penataan dan pola
pemanfaatan lahan rawa pasang surut dianjurkan berdasarkan kepada
typologi lahan dan tipe luapan Secara umum bahwa lahan dengan tipe luapan
A dianjurkan d itata sebagai sawah, sedangkan untuk tipe lu apan B ditata
sebagai sawah sistem surjan. Lahan dengan tipe luapan C ditata sebagai
sawah tadah hujan atau surjan bertahap dan lahan dengan tipe luapan D
sebagai sawah tadah hujan atau tegalan atau perkebunan. Penataan lahan
selain memperhatikan t ipologi lahan dan tipe luapan. Untuk tanah gambut
harus memperhatikan lapisan di bawah gambut (bahan subtratum), bisa
pasir kuarsa, atau tanah sulfat masam, bila demikian maka lapisan diatasnya
harus dipertahankan.
Sistem surjan mempunyai beberapa keuntungan yaitu: 1) stabilitas
produksi lebih mantap, terutama untuk tanaman padi ditabukan; 2) intensitas
tanam lebih tinggi, dan 3) diversifikasi tanaman sekaligus dapat terlaksana
(Badan Penelit ian dan Pengembangan Pertanian, 1993). Ukuran surjan
tergantung kepada kepada tipologi lahan, tipe luapan, kedalaman p irit, dan
kedalaman air tanah. Hasil penelitian penerapan drainase (saluran cacing) di
tabukan menunjukan adanya korelasi yang nyata antara jarak saluran cacing
dengan perubahan pH tanah, yang akhirnya berpengaruh terhadap produksi
tanaman padi. Pada lahan yang saluran cacing terlalu jarang (12 m) jaraknya
intensitas keracunan besi lebih tinggi, dan produksi lebih rendah
dibandingkan dengan lahan yang saluran cacingnya lebih rapat.
Oleh karena itu pada lahan yang ditata dengan sistem surjan, maka pada
lahan tabukan dianjurkan untuk membuat saluran cacing sedalam 20 cm
dengan jarak interval 6 m, dan dibuat pula saluran keliling. Untuk
memperlancar pencucian maka sebaiknya dilakukan pencucian petakan setiap
2 minggu . Pengembangan tata air mikro di lahan gambut dalam jangka
16
panjang perlu dikembangkan agar lahan terhindar keracunan besi dan unsur-
unsur bahan beracun lainya seperti asam-asam organik agar terjadi
peningkatan produktivitas lahan yang nyata.
17
mpur laut. Abu sekam dan abu gergajian, dan limbah tanaman mempuyai
keunggulan dengan yang lain karena harganya relatif murah dan
tersedia setempat (Suriadikarta, et.al., 1999). Untuk mengatasi asam-
asam organik yang meracun pada tanah gambut yang disawahkan telah
banyak dilakukan penelitian oleh para peneliti bidang kesuburan tanah
seperti penggunaan tanah mineral berkadar besi tinggi dan terak baja.
Penggunaan kation besi tiga (Fe3+) dan zeolit serta penggunaan dolomit
dan Rock Phosfate. Penggunaan lumpur laut dan kapur, untuk tanah
gambut lahan kering yang ditanami tanaman kedelai. Hasil penelit
ian di laboratoriu m menunjukkan bahwa bahan amelioran yang baru
untuk tanah gambut yaitu abu terbang mempunyai harapan untuk
digunakan karena dapat meningkatkan pH, P, kadar basa-basa (K, Na,
Ca, Mg), dan kejenuhan basa meningkat, namun masih perlu diuji di
lapangan.
Tanaman yang ditanam dilahan gambut atau sulfat masam sering
tanggap terhadap pemupukan N, P, K, dan unsur mikro terutama Cu
(Widjaya Adhi, 1976, dalam Suriad ikarta, et al. 1999). Oleh karena itu
setelah bahan amelioran d iberikan maka harus diikuti dengan
pemupukan pupuk anorganik seperti Urea, SP-36, dan KCl, kemudian
unsur mikro Cu (Terusi 20 kg/ha), dan Zn. Pemberian Zn dilaku
kan dengan cara perendaman benih padi kedalam larutan Zn SO4
5% sebelum bibit ditanam. Hasil penelitian di lahan rawa pasang
surut telah diketemukan dosis-dosis anjuran untuk beberapa komodit
i sesuai dengan tipologi lahanya. Untuk tanaman padi pada lahan
potensial berkisar antara 45-45-50 sampai 90-45-50 kg/ha (N-P2O5-
K2O), sedangkan untuk lahan sulfat masam dan bergambut adalah 90 kg
N/ha, 45 kg P2O5/ha , dan 75 kg K2O/ha. Pupuk N berupa Urea prill
diberikan 3 kali, yaitu 1/3 dosis pada saat tanam, 1/3 pada umur tanaman
28 hari setelah tanam, dan sisanya pada umur tamaman 42 hari
setelah tanam. Pupuk P dan K d iberikan sekaligus pada waktu tanam.
18
Untuk tanaman jagung secara umum yang dianjurkan adalah: 67,5
kg N/ha , 90 kg P2O5/ha , dan 50 kg K2O/ha . Selain itu untuk tanah
gambut perlu ditambahkan ZnSO4 dan CuSO4 masing-masing sebanyak
5 – 10 kg ha-1. Pemupukan untuk tanaman kedelai yang dianjurkan
adalah 22,5 kg N/ha , 45 kg P2O5/ha , dan 50 kg K2O/ha , sedangkan
untuk kacang tanah adalah 22,5 kg N/ha , 90 kg P2O5/ha , dan 50 kg
K2O/ha. Untuk kacang hijau sama dengan untuk tanaman kedelai, namun
untuk tanaman kedelai perlu ditambahkan Rhizobium (legin/nitragen)
sebanyak 15 g/kg benih. Untuk tanaman sayuran diperlukan bahan
amelioran sebelum dilakukan pemupukan seperti kapur, dolomit, dan
kompos. Takaran bahan amelioran dan pupuk sangat bervariasi
tergantung jenis tanaman sayuran yang ditanam. Seperti untuk cabai
keriting pada lahan gambut dangkal atau bergambut diperlukan 2 t
kapur/ha dan 4 t/ha pupuk kandang, dengan pupuk 60 kg N/ha, 120 kg
P2O5/ha , dan 50 kg K2O/ha.
C. Varietas yang Adaptif
Varietas yang ditanam di lahan gambut sebaiknya tanaman yang
adaptif untuk mengurangi input sarana produksi yang dibutuhkan
sehingga terjadi efisiensi biaya. Menurut Sabiham (2006), diusulkan ada
dua pendekatan dalam mengusahakan tanaman di lahan gambut, yaitu: 1)
Pendekatan pada kondisi drainase alami, dengan tanaman adaptif padi
jenis lokal, dan sagu dari spesies rawa gambut yaitu Metroxylon sago, 2)
Pendekatan pada kondisi drainase buatan. Pada kondisi ini ada dua
pendekatan yaitu, pertama kedalaman muka air tanah (40-60 cm) tanaman
yang baik untuk kondisi sepeti ini adalah: padi, sayuran, buah- buahan,
dan rumput sebagai pakan ternak. Kedua pada kedalaman air tanah > 60-
100 cm adalah: kelapa sawit, kelapa, dan karet yang diusahakan dalam
bentuk perkebunan, dan Accasia crasicarpa yang diusahakan dalam
Hutan Tanaman Industri.
19
Hasil penelitian di lahan gambut, khususnya lahan bergambut
sampai gambut dangkal ada beberapa varietas padi yang adaptif antara
lain Kapuas, Cisanggarung, Sei Lilin, IR-42, Lematang, dan Cisadane
(Badan Litbang Pertanian, 2003). Selain varietas di atas ada be- berapa
varietas baru yang dapat dikembangkan di lahan gambut yaitu
Indragiri, Punggur, Margasari, Martapura, Air Tenggulang, Lambur, dan
Mendawak (Suriadikarta et al., 1999). Produksi beberapa varietas padi
tersebut men- capai sekitar 4-6 t/ha GKP, dan umumnya tahan terhadap
penyakit blas, dan sebagian tahan terhadap hawar daun, seperti varietas
Punggur, dan Air Tenggulang. Selain tanaman padi unggul, juga padi
lokal seperti: Talang, Ceko, Mesir, Jalawara, Siam Lemo, Siam Unus,
Siam Pandak, Semut, Pontianak, Sepulo, Pance, Salimah, Jambi Rotan,
dan Tumbaran, dengan potensi hasil antara 2-3 t/ha GKP dengan umur
120-150 hari.
Selain tanaman padi juga telah diteliti beberapa varietas tanaman
palawija, sayuran dan buah-buahan yang adaptif di lahan gambut.
Tanaman palawija antara lain: kedelai varietas Willis, Rinjani, Lokon,
Dempo Galunggung, Slamet, Lawit, dan Kerinci, dengan produksi
rata-rata antara 1,5-2,4 t/ha. Untuk tanaman jagung varietas Arjuna,
Kalingga, Wiyasa, Bisma Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga,
H6, dan Bisi-2, dengan rata-rata hasil 4-5 t/ha. Untuk tanaman kacang
hijau adalah varietas: Betet, Walik, dan Gelatik, dengan rata-rata hasil
1,5 t/ha, sedangkan untuk kacang tanah varietas yang adaptif cukup
banyak yaitu: Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo, dan
Mahesa, dengan rata-rata hasil 1,8-3,5 t/ha (Badan Litbang Pertanian,
2003). Tanaman sayuran juga banyak yang menunjukkan kesesuaian di
lahan gambut seperti: cabai, tomat, terung, kubis, kacang panjang,
buncis, timun, bawang merah, sawi, selada, bayam, dan kangkung. Untuk
tanaman buah-buahan semangka, dan nenas. Selanjutnya tanaman industri
20
juga ada yang bisa berkembang di lahan gambut antara lain jahe dan
kencur, kelapa dalam, dan kelapa sawit.
D. Alat dan Mesin Pertanian
Salah satu alternatif pemecahan masalah tenaga kerja di lahan rawa
pasang surut atau lahan gambut adalah penerapan alat mesin pertanian
(Alsintan) pra dan pasca panen, baik yang digerakan oleh ternak kerja
maupun motor penggerak. Namun dalam pengembangan alsintan
memerlukan persyaratan tertentu, baik teknis maupun sosial ekonomi.
Pengembangan alsintan di lahan rawa ditentukan oleh faktor biofisik
lahan, seperti kekerasan tanah, sisa tunggul kayu, jenis vegetasi
permukaan, kedalaman gambut, dan lapisan pirit, bekas parit alam atau
bekas nipah. Pada awalnya petani transmigran di lahan gambut
menggunakan tenaga manusia sebagai penarik bajak untuk mengolah
tanahnya, namun hasilnya belum sesuai untuk pertumbuhan tanaman
padi. Pengolahan tanah di lahan gambut pasang surut, selain untuk
menggemburkan tanah dan pengendalian gulma, juga untuk pelumpuran
untuk meningkatkan daya menahan air, khususnya sawah (Ananto dan
Alihamsyah, 1992).
Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan kerja
ternak sapi untuk membajak tanah adalah 10 jam/ha, dengan 4-5 jam/hari,
dan sesuai dikembangkan untuk lahan yang bertipe luapan B, C, dan D
atau yang berlumpur dangkal dan lahan siap olah (Badan Litbang
Pertanian, 2003). Sedangkan hasil pengujian berbagai tipe traktor pada
lahan pasang surut bertipe luapan B/C, kebutuhan waktu kerja
pengolahan tanah sampai siap tanam adalah 19 jam/ha untuk traktor
tangan lokal; 25,25 jam/ha untuk traktor tangan impor (tipe rotari) dan
20,5 jam/ha untuk traktor mini impor. Sedangkan untuk lahan bertipe
luapan A dan B masing-masing 18 jam/ha, dan 15 jam/ha untuk traktor
tangan lokal dan impor (Komarudin (1991) dalam Ananto dan
Alihamsyah, 1992).
21
Untuk meningkatkan kemampuan dan hasil kerja ternak sapi, telah
dirakit dan diuji berbagi alat pengolah tanah yang lebih baik. Pada
pengolahan tanah sistim kering, garu pisau dan garu piringan dapat
dianjurkan untuk mengganti garu tradisional. Pada pengolahan sistim
basah dianjurkan pemakaian glebeg, terutama yang bermata trapesium,
karena menghasilkan pelumpuran yang paling baik.
22
Lokasi studi dan sistem lahan gambut di wilayah Perkebunan Kelapa Sawit PT JV Kabupaten Kayong Utara
Kalimantan Barat.
23
pengaruh limpasan air sungai). Sistem tata air yang mengendalikan muka air
saluran dilakukan dengan mengatur muka air disaluran utama (primer) hingga
saluran yang paling kecil (kuarter) serta saluran cacing. Pola tata air di saluran
untuk pengaturan kelembapan tanah di tingkatan lahan diilustrasikan pada gambar
4.
24
Pengamatan kondisi muka air saluran merupakan parameter yang diamati
dalam penelitian ini. Hasil pengukuran dari pemboran tanah gambut di beberapa
titik Blok, muka air dilahan bervariasi antara 39 cm hingga 130 cm (Gambar 5).
Gambar 5. Kedalaman gambut dan muka air tanah pada beberapa Blok di wilayah kebun Sawit PT. Jalin
Vaneo, Kabupaten Kayong Utara
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peningkatan produktivitas usahatani pada lahan gambut dilaksanakan dengan
menerapkan teknologi pengelolaan lahan rawa dan gambut yang bertujuan sebagai
pertanian yang berkelanjutan. Sebagai salah satu jenis lahan rawa, keberadaan air
di lahan gambut sangat dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut/luapan air
sungai. Tingkah laku dari keduanya akan berpengaruh terhadap tinggi dan lama
genangan air di lahan gambut dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
tingkat kesuburan lahan serta pola budidaya tanaman yang akan diterapkan di
atasnya. Sehingga terdapatlah teknik pengelolaan air yang telah lama
dikembangkan dan diterapkan di lahan rawa (termasuk gambut) yaitu sistem
parit/handil di tepi sungai dan sistem saluran model garpu di lahan pasang surut
Selain itu, teknologi dalam pengelolaan tanah dan air (soil and water
management) merupakan kunci utama keberhasilan usahatani pertanian di lahan
rawa pasang surut. Apabila bisa mengendalikan keluar masuknya air ke lahan
maka sudah dapat dipastikan usahatani itu akan mendekati keberhasilan.
Sebaliknya, bila tata air tidak bisa dikuasai maka kegagalan yang akan diperoleh.
Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata air
mikro dan penataan lahan), teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan,
penggunaan varietas yang adaptif, serta pengembangan Alsintan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Legowo, A. C., Maharani, D. M., Khamidah, N., & Hamzani, S. (2021). Teknologi
Pengolahan Air Gambut Untuk Santri Ponpes Al Mursyidul Amin
Gambut. Jurnal Pengabdian ILUNG (Inovasi Lahan Basah Unggul), 1(1),
116-124.
https://ppjp.ulm.ac.id/journals/index.php/ilung/article/view/3581
Hatta, Gusti Muhammad. "Lahan basah, kearifan lokal, dan teknologi." (2020).
https://repo-dosen.ulm.ac.id//handle/123456789/8528
Waluyo, E. A., & Nurlia, A. (2017). Potensi Pengembangan Kopi Liberika (Coffea
libericca) Pola Agroforestry dan Prospek Pemasarannya untuk Mendukung
Restorasi Lahan Gambut di Sumatera Selatan. Pengembangan Ilmu dan
Teknologi Pertanian Bersama Petani Lokal Untuk Optimasi Lahan Sub
Optimal. In Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal (pp. 255-264).
https://www.bpk-palembang.org/publikasi/prosiding/potensi-pengembangan-
kopi-liberika-coffea-liberica-pola-agroforestry-dan-prospek-pemasarannya-
untuk-.html
27
https://www.researchgate.net/publication/329968330_KAJIAN_PENGELOL
AAN_TATA_AIR_DAN_PRODUKTIVITAS_SAWIT_DI_LAHAN_GAMB
UT_Studi_Kasus_Lahan_Gambut_Perkebunan_Sawit_PT_Jalin_Vaneo_di_K
abupaten_Kayong_Utara_Propinsi_Kalimantan_Barat
Ismail Inu G., Trip Alihamsyah., IPG Widjaja Adhi., Suwarno., Tati herawati.,
Ridwan Thahir., D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian Di Lahan
Rawa 1985-1993. Proyek Penelitian Pertanian Pasang Surut dan rawa-
SWAMP II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Kasdi S,. H. Suwardjo Dan IP.G. Widjaja- Adhi. 1994. Reklamasi Lahan Pasang
Surut Bertanah Sufat Masam di Kalimantan: Tinjauan Hasil Penelitian dan
Pengembangan di Lahan Petani. In Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya
Lahan Untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Palangkaraya 5-6 Oktober
1993. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat.
28