Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“PENGELOLAAN LAHAN BASAH WILAYAH PESISIR”


( Mangrove)
Dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengelolaan Lahan Basah
( ABKA541)

Dosen Pengampu :
Dr. H. SIDHARTA ADYATMA, M.Si.
MUHAMMAD MUHAIMIN, S.Pd., M.Sc.

Disusun Oleh :
MUHAMMAD ARIQ RIFKI
1810115110004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkat, rahmat, serta bimbingan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah Pengelolaan
Lingkungan Lahan Basah dengan judul “Pengelolaan Lahan Basah Pesisir Mangrove” ini dengan
baik..

Dalam kesempatan ini, saya sampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang telah
memberikan bantuannya, sehingga Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini
berisi tentang pembahasan tentang topik yang diberikan Pengelolaan Lahan Basah Pesisir
Mangrove

Saya menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan Makalah ini. Oleh karena itu
saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca maupun penulis

Banjarmasin 4 Juli 2020

Muhammad Ariq Rifki

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3
A.Pengertian Lahan Basah...........................................................................................................3
B. Fungsi Manfaat Lahan Basah..................................................................................................4
C . Lahan Basah Mangrove..........................................................................................................5
BAB III PEMBAHASAN...............................................................................................................8
A. Konservasi Mangrove.............................................................................................................8
B. Rehabilitasi Mangrove..........................................................................................................10
C. Pemanfaatan Berkelanjutan...................................................................................................11
D. Azas Manfaat Dan Prioritas..................................................................................................12
E. Berbasis Masyarakat..............................................................................................................14
F. Terpadu..................................................................................................................................16
G. Tata Laksana Yang Baik.......................................................................................................17
BAB IV PENUTUP......................................................................................................................19
A. Kesimpulan...........................................................................................................................19
B. Saran......................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan marin yang
memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah yang
penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990). Lahan basah adalah wilayah rawa,
lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung
(stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air
marin yang di dalamnya pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter.

Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai air,
dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat yang
cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain yang
teradaptasi khusus (Maltby. E., 1996). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga
parameter, yaitu hidrologi, vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997)

(Rieley, J.O & Ahmad-Shah, 1996) Lahan basah merupakan komponen penting beraneka
ekosistem karena berfungsi menyimpan air banjir, memperbaiki mutu air, dan menyediakan
habitat bagi margasatwa (Cassel, 1997). Dalam kenyataan lahan basah dapat menyediakan
sederetan barang dan jasa penting bagi manusia dalam penggunaan langsung dan tidak langsung,
kesejahteraan margasatwa, dan pemeliharaan mutu lingkungan. Proses biofisik yang menjadi
gantungan penyediaan barang dan jasa, juga menopang fungsi dan struktur ekosistem.

(BADERAN, 2013)Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dan


keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada keberadaan
ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berjenis-jenis ikan,
baik ikan hias maupun ikan konsumsi . Perlindungan hutan mangrove merupakan hal yang
penting dilakukan mengingat mangrove memiliki manfaat yang luas ditinjau dari aspek fisik,
kimia, biologi, dan sosial ekonomi. Tidak diketahuinya nilai pasti dari nilai ekonomi yang
bersumber dari nilai ekologi hutan mangrove mengakibatkan kerusakan atau kehilangan
sumberdaya ini tidak dirasakan sebagai suatu kerugian, sehingga banyak komponen ekologi.

1
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan
bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini
memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting; misalnya
menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati
lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan,
ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk
Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran
lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai/tsunami,
dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-
ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati
mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga
biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002)

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan topik bahasan dalam latar belakang diatas, rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari lahan basah ?

2. Bagaimana permasalahan lahan basah Mangrove ?

3. Bagaimana pengelolan lahan basah Mangrove ?

C. Tujuan Penulisan
Rumusan Masalah dari makalah ini sebagai berikut;

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan lahan basah Mangrove

2. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan lahan basah Mangrove

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Pengertian Lahan Basah
Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai air,
dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat yang
cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain yang
teradaptasi khusus (Maltby, 1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga parameter,
yaitu hidrologi, vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997)

Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan marin yang
memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah yang
penting secara internasional sebagai berikut(Dugan, 1990). Lahan basah adalah wilayah rawa,
lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung
(stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air
marin yang di dalamnya pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter.

Konvensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan fisik dasar
menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah buatan. Ketigapuluh kategori
lahan basah alami dipilahkan lebih lanjut menjadi 13 kategori berair asin dan 17 kategori berair
tawar. Lahan basah buatan mencakup waduk, lahan sawah, jejaring irigasi, dan lahan akuakultur
(perkolaman tawar dan tambak). Untuk meringkus tinjauan, penggolongan lahan basah alami
boleh dikurangi menjadi 7 satuan bentanglahan (landscape) yang seluruhnya merupakan
komponen penting bagi penetapan kerangka perencanaan konservasi lahan basah. Ketujuh satuan
bentanglahan tersebut adalah estuari, pantai terbuka, dataran banjir, rawa air tawar, danau, lahan
gambut, dan hutan rawa.

Sesungguhnya, lahan basah merupakan komponen penting beraneka ekosistem karena


berfungsi menyimpan air banjir, memperbaiki mutu air, dan menyediakan habitat bagi
margasatwa (Cassel, 1997). Dalam kenyataan lahan basah dapat menyediakan sederetan barang
dan jasa penting bagi manusia dalam penggunaan langsung dan tidak langsung, kesejahteraan
margasatwa, dan pemeliharaan mutu lingkungan. Proses biofisik yang menjadi gantungan
penyediaan barang dan jasa, juga menopang fungsi dan struktur ekosistem. Namun demikian,
kenyataan penting tersebut tidak tercerapi oleh masyarakat umum, termasuk para pemimpinnya.

3
Kegandaan gatra (aspect) yang nengisyaratkan bahwa kelestarian lahan basah memerlukan
pengimbangan cermat antara produksi dan konservasi, luput dari perhatian. Akibatnya,
pemeliharaan lahan basah alami di kebanyakan negara memperoleh prioritas rendah. Sikap masa
bodoh dan ketidakperdulian akan konservasi, membuat konversi lahan basah terus berlanjut
dengan alasan “menggunakan lahan basah secara lebih baik” (Maltby. E., 1996)

Indonesia mempunyai peraturan penundang-undangan yang mengatur penggunaan 1ahan,


antara lain UURI No. 5 Th. 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, UURI No. 5
Th. 1990 tentang Konsenvasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Keppres RI No. 32
Th. 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan yang terbaru UURI No. 23 Th. 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan-peraturan tersebut tidak mengatur lahan basah
secara khusus, akan tetapi mencakupnya sebagai bagian dari lahan secara umum atau
pencakupannya tertafsirkan secara tersirat. Berbeda dengan peraturan-peraturan tadi yang
berkonsep konservasi, terbit Keppres RI No. 82 Th. 1995 yang jnstru berkonsep konvensi lahan,
khususnya lahan gambut dan lahan basah lain yang berasosiasi. Penerbitan Keppres ini
nempertajam kontroversi antara konversi dan konsenvasi di Indonesia.

B. Fungsi Manfaat Lahan Basah


Fungsi khusus terpenting lahan basah mencakup pengimbuhan (recharge) dan pelepasan
(discharge) air bumi (ground water), penqendalian banjir, melindungi garis pantai terhadap
abrasi laut, penambatan sedimen, toksikan, dan hara, serta pemendaman (sequestering) karbon
khususnya di lahan gambut. Hasilan yang dapat dibangkitkan ialah sumberdaya hutan,
sumberdaya pertanian, perikanan, dan pasokan air. Tanda pengenal berharga pada skala
ekosistem ialah keanekaan hayati, keunikan warisan alami (geologi, tanah, margasatwa, ikan,
edafon, vegetasi), dan bahan untuk penelitian ilmiah. Lahan basah, khususnya lahan gambut,
merupakan gudang penyimpan informasi, sangat berguna tentang lingkungan purba
(paleoenvironment) berkenaan dengan ragam vegetasi, keadaan iklim, lingkungan pengendapan,
dan pembentukan gambut sendiri.

4
C . Lahan Basah Mangrove
Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan umumnya
dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung di daerah tropika dan
subtropika. Kata mangrove sendiri berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue,
dan bahasa Inggris yaitu grove (MACNAE, 1968)

Hutan mangrove yang lebih dikenal sebagai hutan bakau. Secara umum hutan mangrove
didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh pada daerah pasang surut (terutama pantai yang
terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada
saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove
merupakan eksosistem utama pendukung kehidupan masyarakat pesisir. Selain mempunyai
fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut, penahan abrasi pantai, penahan
gelombang pasang dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga
bisa berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya. Tumbuhan yang
hidup di hutan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri- ciri tumbuhan yang
hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol
yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi
terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Mangrove tersebar di seluruh
lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang;
bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menancapkan
akarnya.

Secara umum, (Seanger, Hergerl, & Davie, 1983) memberikan pengertian bahwa hutan
mangrove adalah sebagai suatu formasi hutan yang dipengaruhi oleh adanya pasang-surut air
laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Sedangkan (Sukardjo, 1996), mendefinisikan hutan
mangrove sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis tumbuhan dari
famili yang berbeda, namun memiliki persamaan daya adaptasi morfologi dan fisiologi yang
sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut

5
Sementara (I Soerianegara, 1987) memberi definisi hutan mangrove sebagai hutan yang
terutama tumbuh pada lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai, yang eksistensinya
selalu dipengaruhi oleh air pasang-surut, dan terdiri dari jenis Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa.
(Tomlinson, 2016) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang tumbuh di daerah
pasang-surut maupun sebagai komunitas.

Di Indonesia, hutan mangrove tumbuh dan tersebar diseluruh Nusantara, mulai dari Pulau
Sumatera sampai dengan Pulau Irian. Menurut (Darsidi, 1984) luas hutan mangrove
diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar, sedangkan menurut laporan (Giesen, 1993) luas hutan
mangrove pada tahun 1993 diperkirakan sekitar 2,49 juta hektar. Dari seluruh hutan mangrove
yang ada di Indonesia tersebut, ditemukan sekitar 202 jenis tumbuhan yang hidup pada hutan
mangrove, yakni meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palm, 19 jenis pemanjat, 44 jenis terna, 44 jenis
epifit, 1 jenis paku-pakuan (Noor, Khazali, & I NN, 1999)

Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove

Dari sejumlah jenis tersebut, sebanyak 43 merupakan jenis tumbuhan mangrove sejati,
sementara jenis lainnya merupakan jenis tumbuhan yang biasanya berasosiasi dengan hutan
mangrove jenis. Dari 43 jenis mangrove tersebut, 33 jenis termasuk klasifikasi pohon dan
sisanya adalah termasuk jenis perdu. Sebagai daerah peralihan antara laut dan daratan, hutan
mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang sangat ekstrim. Pasangsurut air laut
menyebabkan terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan
salinitas. Oleh karena itu, hanya beberapa jenis tumbuhan yang memiliki daya toleransi yang
tinggi terhadap lingkungan yang ekstrim tersebut saja yang mampu bertahan hidup dan
berkembang didalamnya. Kondisi yang terjadi tersebut juga menyebabkan rendahnya
keanekaragaman jenis, namun disisi lain kepadatan populasi masing-masing jenis umumnya
tinggi.(Ishemat Soerianegara, 1971)

Pengaruh tipe tanah atau substrat tersebut, sangat jelas terlihat pada jenis Rhizophora,
misalnya pada tanah lumpur yang dalam dan lembek akan tumbuh dan didominasi oleh
Rhizophora mucronata yang kadang-kadang tumbuh berdampingan dengan Avicennia marina,

6
kemudian untuk Rhizophora stylosa lebih menyukai pada pantai yang memiliki tanah pasir atau
pecahan terumbu karang, dan biasanya berasosiasi dengan jenis Sonnerafia alba. Sedangkan
untuk jenis Rhizophora apiculata hidup pada daerah transisi.

Selain tipe tanah, kondisi kadar garam atau salinitas pada substrat juga mempunyai
pengaruh terhadap sebaran dan terjadinya permintakatan. Berbagai macam jenis tumbuhan
mangrove mampu bertahan hidup pada salinitas tinggi, namun jenis Avicennia merupakan jenis
yang mampu hidup bertoleransi terhadap kisaran salinitas yang sangat besar. (MACNAE, 1968)
menyebutkan bahwa Avicennia marina mampu tumbuh pada salinitas sangat rendah sampai
90‰, sedangkan Sonneratia sp. umumnya hidup pada salinitas yang tinggi, kecuali Sonnerafia
casiolaris (sekitar 10 ‰). Jenis Bruguiera sp biasanya tumbuh pada salinitas maksimum sekitar
25‰, sedangkan jenis Ceriops tagal, Rhizophora mucronafa dan Rhizophora stylosa mampu
hidup pada salinitas yang relatif tinggi.

Disamping faktor-faktor tersebut di atas, pasang-surut air laut juga mempunyai pengaruh
terhadap jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh pada suatu daerah. WATSON dalam
KARTAWINATA ddk. (1979) memberikan gambaran tentang lima kelas genangan yang
merupakan korelasi antara tingginya genangan air pasang dan lama genangan, dengan jenis
tumbuhan mangrove. Adapun klasifikasi kelas genangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kawasan pantai digenangi oleh setiap air pasang (all high tides). Di tempat seperti ini
jarang jenis mangrove yang mampu hidup, kecuali Rhizophora mucronata.
2. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang agak besar (medium high tide). Di tempat
seperti ini yang muncul adalah jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp.
3. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang rata-rata (normal high tide). Tempat ini
mencakup sebagian besar hutan mangrove, yang ditumbuhi jenis Rhizopora
mucronata, Rhizophora apiculata, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora
4. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang perbani (spring tides). Di daerah ini jenis
tumbuh jenis Bruguiera sp., dan umumnya adalah Bruguiera cylindrica membentuk
tegakan murni, namun kadang-kadang pada areal yang baik drainasinya ditumbuhi
oleh Bruguiera parviflora dan Bruguiera sexangula.

7
5. Kawasan pantai yang kadang-kadang digenangi oleh pasang tertinggi (excep tional or
equinoctial tides). Di tempat ini Bruguiera gymnorrhiza berkembang dengan baik,
dan kadang berasosiasi dengan paku-pakuan Acrostichum sp.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Konservasi Mangrove
Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi
alam. Konservasi (conservation) adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi
berasal dari bahasa Inggris conservation, yang artinya pelestarian atau perlindungan. Ekosistem
hutan mangrove adalah suatu sistem ekologi yang terdiri dari komunitas vegetasi pantai tropis
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen & Aziz, 2002).

Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun abiotik
didalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang disebabkan oleh
faktor alam dan faktor manusia (Tirtakusumah, 1994). Pada umumnya kerusakan ekosistem
hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam penyalahgunaan sumberdaya alam di
wilayah pantai tidak memperhatikan kelestarian, seperti : penebangan untuk keperluan kayu
bakar2 yang berlebihan, tambak, permukiman, industri dan pertambangan (Kehutanan, 2004)

Kualitas lingkungan pesisir saat ini terus mengalami penurunan seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk di kawasan pesisir. Kenaikan jumlah penduduk di kawasan
pesisir secara otomatis meningkatkan kebutuhan terhadap sandang, pangan, papan, air bersih dan
energi, hal ini mengakibatkan eksploitasi terhadap sumber daya pesisir semakin meningkat.
Dalam pengeksploitasiannya masyarakat cenderung mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan
bersifat merusak. Salah satu sumber daya pesisir yang saat ini mulai terancam adalah ekosistem
mangrove yang mempunyai fungsi sebagai penyeimbang kawasan pesisir. Ekosistem mangrove
sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir, saat ini di seluruh dunia terus
mengalami tekanan.

8
Ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat disebabkan oleh dua faktor,
yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh
faktor manusia berupa aktivitas ekonomi penduduk yang memanfaatkan sumberdaya alam yang
terdapat didalam ekosistem hutan mangrove tersebut. Aktivitas ekonomi penduduk yang
menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mangrove, yaitu pengalih fungsian kawasan ekosistem
hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, pertanian, perumahan, permukiman, dan raklamasi
pantai untuk kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, pohon mangrove dimanfaatkan sebagai
bahan bakar (kayu bakar, dan arang), bahan bangunan (balok perancah, atap rumah, tonggak, dan
bahan kapal) dan bahan baku industri (makanan, minuman, pupuk, obat – obatan dan kertas)
(Seanger et al., 1983)

B. Rehabilitasi Mangrove
Rehabilitasi ekosistem mangrove adalah tindakan sebagian atau (lebih jarang)
sepenuhnya menggantikan karakteristik struktural atau fungsional dari suatu ekosistem
mangrove yang telah berkurang atau hilang, atau pengganti yang berkualitas atau
karakteristik ekosistem mangrove hasil rehabilitasi memiliki lebih banyak nilai sosial,
ekonomi atau ekologi dibandingkan dengan keadaan lahan mangrove yang terganggu atau
terdegradasi. Dengan demikian, rehabilitasi ekosistem mangrove merupakan kegiatan
pemulihan lahan mangrove yang terdegradasi ke ekosistem mangrove yang dapat berfungsi
kembali terlepas dari keadaan asli dari lahan yang terdegradasi tersebut.

Restorasi mangrove adalah tindakan membawa ekosistem mangrove ke, sedekat


mungkin, dengan kondisi aslinya. Dengan demikian, restorasi merupakan kasus khusus dari
rehabilitasi (Field, 1999). Rehabilitasi termasuk didalamnya restorasi ekologi merupakan
salah satu cabang ekologi yang paling menantang (Bradshaw, 1987). Namun demikian,
rehabilitasi ekosistem mangrove memiliki tantangan yang lebih lagi karena merupakan
ekosistem alam yang sangat dinasmis sebagai akibat pengaruh pasang surut air laut serta
gangguan akibat manusia dan alam (natural and anthropogenic disturbances) (Biswas,
Mallik, Choudhury, & Nishat, 2009)

Faktor Kunci Keberhasilan Rehabilitasi Mangrove Ketepatan dalam menerjemahkan


konsep rehabilitasi ekosistem mangrove ke dalam praktek rehabilitasi merupakan faktor kunci
keberhasilan rehabilitasi mangrove. Penyusunan perencanaan, implementasi dan monitoring

9
serta evaluasi program rehabilitasi dengan memperhatikan secara utuh ketiga aspek terkait,
yakni ekologi, sosial dan ekonomi. Konsep rehabilitasi ekosistem mangrove dapat
diuraikan menjadi 6 langkah utama sebagai panduan dalam praktek rehabilitasi ekosistem
mangrove (Biswas et al., 2009), yaitu:

1. Identifikasi permasalahan dan garis besar tujuan rehabilitasi


2. Mensitesis kondisi ekosistem masa lalu dan sekarang, terutama struktur ekologi dan
fungsinya dan ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya mangrove
3. Menyusun garis besar rencana rehabilitasi yang sistematis (rekayasa ekologi; ecological
engineering)
4. Mengembangkan keterlibatan masyarakat dan rencana subsidi pendapatan (rekayasa
ekonomi-sosial; economic-social engineering)
5. Mengembangkan rencana detil implementasi (tata letak bagaimana menerapkan berbagai
aktivitas di bawah rencana yang berbeda)
6. Mengembangkan dan menerapkan mekanisme pengawasan yang ketat untuk
manajemen adaptif yang logis.

C. Pemanfaatan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat


ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk mernenuhi
kebutuhan hidupnya. Selanjutnya(Bengen & Aziz, 2002) berpendapat bahwa pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) merupakan visi dunia internasional sudah saatnya juga
merupakan visi nasional. Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang aktivitas
pembangunan ekonomi, tetapi meganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju (tingkat) kegiatan
pembangunan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam. Dengan
demikian generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) yang sama atau kalau dapat lebih baik dari pada generasi yang hidup
sekarang.

Sebagai bagian dari wilayah pesisir, pengelolaan mangrove secara terpadu dapat
mengacu kepada pengertian dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu pengelolaan yang mengintegrasikan

10
kegiatan: (a) antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (b). antar-Pemerintah Daerah; (c).
antarsektor; (d). antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; ( e ). antara Ekosistem darat
dan Ekosistem laut; dan (f). antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

D. Azas Manfaat Dan Prioritas


Masyarakat umum belum begitu mengenal akan potensi hutan mangrove sebagai
penghasil cadangan pangan untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat pesisir.
Bagi masyarakat yang tinggal dan berinteraksi dengan hutan mangrove dalam kehidupan sehari-
hari, sudah sangat paham akan manfaat mangrove sebagai sumber cadangan pangan. Masyarakat
pesisir secara tradisional sudah sejak dulu telah memanfaatkan mangrove sebagai pengganti nasi.
Ketika negara Indonesia mengalami krisis pangan pada tahun 1963 sampai 1965, masyarakat
pesisir memanfaatkan mangrove sebagai bahan pangan. Masyarakat meyakini bahwa buah
mangrove bisa dimakan dan tidak beracun karena secara logika buah ini sering dimakan oleh
satwa yang hidup didalamnya misalnya kera, burung dan ular pohon.

Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara tidak langsung (non
economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia (economic vallues).
Beberapa manfaat mangrove antara lain adalah:

1. Menumbuhkan pulau dan menstabilkan pantai.


Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem mangrove, adalah adanya sistem
perakaran mangrove yang kompleks dan rapat, lebat dapat memerangkap sisa-sia bahan
organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian daratan. Proses ini menyebabkan
air laut terjaga kebersihannya dan dengan demikian memelihara kehidupan padang lamun
(seagrass) dan terumbu karang. Karena proses ini maka mangrove seringkali dikatakan
pembentuk daratan. karena endapan dan tanah yang ditahannya menumbuhkan
perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove memperluas
batas pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan
berkembang di wilayah daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai
dari bahaya erosi. Buah vivipar yang dapat berkelana terbawa air hingga menetap di dasar
yang dangkal dapat berkembang dan menjadi kumpulan mangrove di habitat yang baru.
Dalam kurun waktu yang panjang habitat baru ini dapat meluas menjadi pulau sendiri.
2. Menjernihkan air.

11
Akar pernafasan (akar pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya berfungsi untuk
pernafasan tanaman saja, tetapi berperan juga dalam menangkap endapan dan bisa
membersihkan kandungan zat-zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke
laut. Air sungai yang mengalir dari daratan seringkali membawa zat-zat kimia atau
polutan. Bila air sungai melewati akar-akar pasak pohon api-api, zat-zat kimia tersebut
dapat dilepaskan dan air yang terus mengalir ke laut menjadi bersih. Banyak penduduk
melihat daerah ini sebagai lahan marginal yang tidak berguna sehingga menimbunnya
dengan tanah agar lebih produktif. Hal ini sangat merugikan karena dapat menutup akar
pernafasan dan menyebabkan pohon mati.
3. Mengawali rantai makanan
Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai dasar teruraikan
oleh mikro organisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian ini merupakan makanan bagi
larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang lebih besar
serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di habitat mangrove.
4. Melindungi dan memberi nutrisi.
Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah nursery bagi
hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan udang yang ditangkap di
laut dan di daerah terumbu karang sebelum dewasa memerlukan perlindungan dari
predator dan suplai nutrisi yang cukup di daerah mangrove ini. Berbagai jenis hewan
darat berlindung atau singgah bertengger dan mencari makan di habitat mangrove.
5. Manfaat bagi manusia.
Masyarakat daerah pantai umumnya mengetahui bahwa hutan mangrove sangat berguna
dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai cara untukmmemenuhi kebutuhan hidup. Pohon
mangrove adalah pohon berkayu yang kuat dan berdaun lebat. Mulai dari bagian akar,
kulit kayu, batang pohon, daun dan bunganya semua dapat dimanfaatkan manusia.

E. Berbasis Masyarakat
Ekosistem mangrove mempunyai peranan penting dalam pembangunan berkelanjutan
baik secara ekologis, ekonomis maupun sosial. Pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan dapat
dicapai jika mempertimbangkan seluruh aspek, baik aspek fisik maupun non fisik. Banyaknya
stakeholder yang berkepentingan terhadap ekosistem mangrove berpotensi sebagai sumber
konflik yang menyebabkan strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan

12
menjadi tidak efektif dan seringkali menemui kegagalan. Kegagalan pengelolaan mangrove
diindikasikan dengan minimnya pelibatan masyarakat dan kebijakan manajemen yang bersifat
top down.

Mangrove merupakan sumber daya alam yang sangat penting dalam mengelola kualitas
lingkungan muara sebagai habitat berbagai jenis biota laut. Sifat mangrove yang sangat rentan
terhadap perubahan lingkungan, mudah rusak dan kondisinya sulit untuk dipulihkan, menuntut
kehati-hatian dalam pengelolaannya. Pengelolaan mangrove perlu mempertimbangkan aspek
fisik dan non fisik mengingat ekosistem mangrove memberikan manfaat bagi kehidupan sosial
ekonomi dan budaya masyarakat.

Pengelolaan hutan mangrove tidak terlepas dari pelibatan masyarakat. Tidak dipungkiri
terdapat masyarakat yang tergantung pada keberadaan mangrove untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Masyarakat yang hidup di sekitar mangrove memanfaatkan ikan, udang, kepiting, dan
kayu bakar yang tersedia. Pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh Sebagai pihak yang
bersentuhan langsung dengam ekosistem mangrove, masyarakat sekitar perlu dilibatkan dalam
pengelolaannya. Pemerintah perlu memberi kesempatan kepada masyarakat sekitar kawasan
untuk turut berpartisipasi dalam upaya pengelolaan mangrove dan pengawasannya, juga untuk
meminimalisasi konflik yang menjadi penghambat dalam pengelolaan mangrove. Maka dari itu,
diperlukan strategi pengelolaan mangrove berbasis masyarakat yang partisipatif dan
memperhatikan persepsi dan nilai magrove bagi masyarakat.

masyarakat lokal dengan menerapkan kearifan lokal menjadi terganggu tatkala ada pihak-
pihak yang berkepentingan terhadap lahan mangrove seperti untuk pengembangan tambak
perikanan skala besar, pariwisata, pemukiman (khususnya pemukiman mewah), dan kegiatan
pertambang an minyak . Terganggunya ekosistem mangrove yang disebabkan oleh proses
ekstraksi hutan mangrove menyebabkan laju kerusakan mangrove menjadi jauh lebih cepat
dibandingkan dengan kemampuan mangrove untuk memulihkan dirinya sendiri.

F. Terpadu
Urgensi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola secara Terpadu

13
1. Umumnya mangrove berada di wilayah pesisir yang merupakan wilayah yang unik
(peralihan anatara ekosistem daratan dan ekosistem lautan).
2. Penggunaan lahan dan proses-proses yang terjadi, baik proses alamiah maupun proses
antropogenik di daratan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) begitu juga yang
terjadi di lautan berpengaruh signifikan terhadap karakteristik ekosistem pesisir dimana
mangrove berada.
3. Adanya interaksi ekologis antara jenis ekosistem pesisir yang satu dengan yang
lainnya. Seperti sudah dikemukakan di muka bahwa mangrove, padang lamun dan
terumbu karang merupakan jenis-jenis ekosistem pesisir yang paling produktif .
(Kusmana, 2009) dari jumlah jenis ikan di laut bergantung pada habitat estuarin paling
tidak sebagian dari siklus hidupnya sehingga habitat estuarin berfungsi sebagai feeding
ground dan nursery ground bagi juvenil berbagai jenis ikan. Produktivitas habitat
estuarin bergantung sebagian besar pada produksi bahan organik dari tumbuhan
mangrove dan padang lamun (Snedaker dan Lugo, 1973). Oleh karena itu, selama banyak
jenis ikan bergantung pada habitat estuarin dan sebagian besar produksi habitat estuarin
tersebut berasal dari bahan organic tumbuhan maka keberadaan mangrove dan padang
lamun sangatlah penting bagi perikanan.

Perencanaan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove secara Terpadu

(Dahuri, 2001)mengatakan bahwa perencanaan sumberdaya alam secara terpadu diartikan


sebagai suatu upaya .secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem
sumberdaya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang
mungkin timbul. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan pemanfaatan optimal adalah suatu
cara pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat menhasilkan keuntungan ekonomis
secara berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat. Menurut Sorensen dan(Sorensen &
McCreary, 1990), keterpaduan diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di
wilayah pesisir dan lautan yang meliputi pengumpulan dan analisis data, perencanaan,
implementasi, dan kegiatan konstruksi.

G. Tata Laksana Yang Baik


Tata laksana yang baik (good governance) meliputi usaha-usaha bagaimana suatu
keputusan dibuat, siapa yang membuat, siapa yang bertanggung jawab (accountable) atas

14
keputusan yang dibuat, apa dampaknya serta bagaimana struktur organisasinya dalam pembuatan
keputusan serta pembiayaan atas keputusan-keputusan yang dibuat. Secara nasional, lahan basah
mempunyai nilai dan fungsi yang penting baik ditinjau dari segi lingkungan maupun
perkonomian. Good governance sangat penting dalam pelaksanaan pengelolaan lahan basah
secara terpadu untuk mengakomodasi berbagai kelompok masyarakat yang mempunyai
kepentingan yang berbeda. Pelaksanaan prinsip-prinsip pengelolaan secara bijaksana dan
transparan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuanketentuan yang telah disepakati bersama
yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (baik yang berasal dari kearifan tradisional
maupun hasil penggalian dan pengembangan baru), bersifat terbuka dan bukan berdasarkan pada
kepentingan kelompok tertentu saja.

Tata kelola mangrove menggunakan karakteristik dalam good governance mencerminkan


terjadinya proses pengambilan keputusan stakeholders, dengan menerapkan prinsip good
governance, yaitu : partisipasi, kepastian hukum, transparansi, akuntabilitas dan efektifitas dan
efisiensi. Pada tata kelola hutan mangrove belum diterapkan dengan baik, pentingnya penerapan
menjadi tolak ukur dan karakteristik kepemerintahan yang baik. Secara teoritis prinsip good
governance dalam tata kelola mangrove belum diaplikasikan melibatkan stakeholders dan
masyarakat, prinsip good governance ada yang masih kurang, yaitu kurang terlibatnya pihak
swasta dalam pengelolaan hutan mangrove dan partisipasi masyarakat yang belum terarah.
Stakeholders mempunyai peran yang berbeda dalam melaksanakan tata kelola hutan mangrove.

15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh pada daerah
pasang surut (terutama pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat
pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam. Hutan mangrove merupakan eksosistem utama pendukung kehidupan masyarakat pesisir.
Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut, penahan abrasi
pantai, penahan gelombang pasang dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut,
hutan mangrove juga bisa berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di
sekitarnya. Tumbuhan yang hidup di hutan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan
dari ciri- ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem
perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini
merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan
anaerob. Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai
yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu
tumbuh dengan sempurna dan menancapkan akarnya.

B. Saran
Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan penjelasan tentang “Pengelolaan Lahan
BasahMangrove .untuk itu bagi pembaca agar mencari literatur, yang lebih lengkap. Maka dari
itu kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini,
semoga kawan-kawan yang membantu di balas Allah SWT dengan kebaikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahyar, A., & Wardhani, M. K. (2014). KAJIAN POTENSI EKOWISATA PESISIR NEPA
KABUPATEN SAMPANG DENGAN KONSEP MANGROVE PARK. Jurnal Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 7(2), 94–99.
BADERAN, D. W. (2013). MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK
REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI WILAYAH PESISIR
KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI
GORONTALO. UNIVERSITAS GADJAH MADA.
Bengen, & Aziz. (2002). wilayah pesisir dan hutan mangrove. 2, 8–16.
Biswas, S. R., Mallik, A. U., Choudhury, J. K., & Nishat, A. (2009). A unified framework for the
restoration of Southeast Asian mangroves—bridging ecology, society and economics.
Wetlands Ecology and Management, 17(4), 365–383.
Bradshaw, A. D. (1987). Restoration: an acid test for ecology.
Cassel, D. . (1997). Aquic Conditions and Hydric Soils: The Problem Soils. 1–5.
Dahuri, R. (2001). Decentralizing and delegating ICM to regional and local communities: a
precarious balance of authority, capacity and consistency. UNESCO Oceans and Coasts
Pre-World Summit on Sustainable Development ….
Darsidi, A. (1984). Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II
Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Dugan, P. J. (1990). Wetland conservation. Ito World Cnnservation Union. 15–79.
Field, C. D. (1999). Rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview. Marine Pollution
Bulletin, 37(8–12), 383–392.
Giesen, W. (1993). Indonesia’s Mangroves: An Update on Remaining Area & Main
Management Issues. Asian Wetland Bureau (AWB).
Kehutanan, K. (2004). Peraturan Menteri Kehutanan No. Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam, 19.
Kusmana, C. (2009). Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Prosiding Workshop
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Jawa Barat. Jatinangor, 18.

17
MACNAE, W. (1968). A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and
forests in the Indo-West Pacific Region. Adv. Mar. Biol. 6: 73-270.
Maltby. E., & C. P. I. (1996). Introduction: the sustainable utilisation of tropical peatlands.
Dalam: E. Maltby. C.P. Immirzi, & R.J. Safford (eds.), Tropical Lowland Peatlands of
Southeast Asia. VI, 39–47.
Maltby, E. (1986). Waterlogged wealth. An Earthscan Paperback. (04), 1–5.
Noor, Y. R., Khazali, M., & I NN, S. (1999). Panduan pengenalan mangrove di Indonesia.
PKA/WI-IP (Wetlands International-Indonesia Programme).
Rieley, J.O, A. A., & Ahmad-Shah, & M. A. B. (1996). The extent and nature of tropical peat
swamps.
Seanger, P., Hergerl, E. J., & Davie, J. D. S. (1983). Global status of mangrove ecosystems. By
the working group on mangrove ecosystems on the IUCN Commission on Ecology. The
Environmentalist, 3.
Setyawan, A. . (2002). Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan
Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.
Soerianegara, I. (1971). Characteristics and classification of mangrove soil of Java. Rimba
Indonesia Vol. XVI. No. 3-4. Forest Research Institut, Bogor.
Soerianegara, I. (1987). Masalah Penentuan Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosiding Seminar III
Ekosystem Mangrove. MAB-LIPI, 3947.
Sorensen, J. C., & McCreary, S. T. (1990). Institutional arrangements for managing coastal
resources and environments. National Park Service, US Department of the Interior.
Sukardjo, S. (1996). Gambaran umum ekologi mangrove di Indonesia Lokakarya Strategi
Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Direktorat Jenderal Reboisasi Dan
Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta, 26.
Tirtakusumah, R. (1994). Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan Beberapa Pemikiran
untuk Tindak Lanjut. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove Di Jember, 3–6.
Tomlinson, P. B. (2016). The botany of mangroves. Cambridge University Press.

18

Anda mungkin juga menyukai