Dosen Pengampu :
Dr. H. SIDHARTA ADYATMA, M.Si.
MUHAMMAD MUHAIMIN, S.Pd., M.Sc.
Disusun Oleh :
MUHAMMAD ARIQ RIFKI
1810115110004
Dalam kesempatan ini, saya sampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang telah
memberikan bantuannya, sehingga Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini
berisi tentang pembahasan tentang topik yang diberikan Pengelolaan Lahan Basah Pesisir
Mangrove
Saya menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan Makalah ini. Oleh karena itu
saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca maupun penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3
A.Pengertian Lahan Basah...........................................................................................................3
B. Fungsi Manfaat Lahan Basah..................................................................................................4
C . Lahan Basah Mangrove..........................................................................................................5
BAB III PEMBAHASAN...............................................................................................................8
A. Konservasi Mangrove.............................................................................................................8
B. Rehabilitasi Mangrove..........................................................................................................10
C. Pemanfaatan Berkelanjutan...................................................................................................11
D. Azas Manfaat Dan Prioritas..................................................................................................12
E. Berbasis Masyarakat..............................................................................................................14
F. Terpadu..................................................................................................................................16
G. Tata Laksana Yang Baik.......................................................................................................17
BAB IV PENUTUP......................................................................................................................19
A. Kesimpulan...........................................................................................................................19
B. Saran......................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan marin yang
memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah yang
penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990). Lahan basah adalah wilayah rawa,
lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung
(stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air
marin yang di dalamnya pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter.
Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai air,
dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat yang
cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain yang
teradaptasi khusus (Maltby. E., 1996). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga
parameter, yaitu hidrologi, vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997)
(Rieley, J.O & Ahmad-Shah, 1996) Lahan basah merupakan komponen penting beraneka
ekosistem karena berfungsi menyimpan air banjir, memperbaiki mutu air, dan menyediakan
habitat bagi margasatwa (Cassel, 1997). Dalam kenyataan lahan basah dapat menyediakan
sederetan barang dan jasa penting bagi manusia dalam penggunaan langsung dan tidak langsung,
kesejahteraan margasatwa, dan pemeliharaan mutu lingkungan. Proses biofisik yang menjadi
gantungan penyediaan barang dan jasa, juga menopang fungsi dan struktur ekosistem.
1
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan
bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini
memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting; misalnya
menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati
lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan,
ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk
Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran
lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai/tsunami,
dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-
ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati
mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga
biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan topik bahasan dalam latar belakang diatas, rumusan masalah sebagai berikut :
C. Tujuan Penulisan
Rumusan Masalah dari makalah ini sebagai berikut;
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Pengertian Lahan Basah
Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai air,
dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat yang
cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain yang
teradaptasi khusus (Maltby, 1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga parameter,
yaitu hidrologi, vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997)
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan marin yang
memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah yang
penting secara internasional sebagai berikut(Dugan, 1990). Lahan basah adalah wilayah rawa,
lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung
(stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air
marin yang di dalamnya pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter.
Konvensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan fisik dasar
menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah buatan. Ketigapuluh kategori
lahan basah alami dipilahkan lebih lanjut menjadi 13 kategori berair asin dan 17 kategori berair
tawar. Lahan basah buatan mencakup waduk, lahan sawah, jejaring irigasi, dan lahan akuakultur
(perkolaman tawar dan tambak). Untuk meringkus tinjauan, penggolongan lahan basah alami
boleh dikurangi menjadi 7 satuan bentanglahan (landscape) yang seluruhnya merupakan
komponen penting bagi penetapan kerangka perencanaan konservasi lahan basah. Ketujuh satuan
bentanglahan tersebut adalah estuari, pantai terbuka, dataran banjir, rawa air tawar, danau, lahan
gambut, dan hutan rawa.
3
Kegandaan gatra (aspect) yang nengisyaratkan bahwa kelestarian lahan basah memerlukan
pengimbangan cermat antara produksi dan konservasi, luput dari perhatian. Akibatnya,
pemeliharaan lahan basah alami di kebanyakan negara memperoleh prioritas rendah. Sikap masa
bodoh dan ketidakperdulian akan konservasi, membuat konversi lahan basah terus berlanjut
dengan alasan “menggunakan lahan basah secara lebih baik” (Maltby. E., 1996)
4
C . Lahan Basah Mangrove
Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan umumnya
dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung di daerah tropika dan
subtropika. Kata mangrove sendiri berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue,
dan bahasa Inggris yaitu grove (MACNAE, 1968)
Hutan mangrove yang lebih dikenal sebagai hutan bakau. Secara umum hutan mangrove
didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh pada daerah pasang surut (terutama pantai yang
terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada
saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove
merupakan eksosistem utama pendukung kehidupan masyarakat pesisir. Selain mempunyai
fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut, penahan abrasi pantai, penahan
gelombang pasang dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga
bisa berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya. Tumbuhan yang
hidup di hutan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri- ciri tumbuhan yang
hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol
yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi
terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Mangrove tersebar di seluruh
lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang;
bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menancapkan
akarnya.
Secara umum, (Seanger, Hergerl, & Davie, 1983) memberikan pengertian bahwa hutan
mangrove adalah sebagai suatu formasi hutan yang dipengaruhi oleh adanya pasang-surut air
laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Sedangkan (Sukardjo, 1996), mendefinisikan hutan
mangrove sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis tumbuhan dari
famili yang berbeda, namun memiliki persamaan daya adaptasi morfologi dan fisiologi yang
sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut
5
Sementara (I Soerianegara, 1987) memberi definisi hutan mangrove sebagai hutan yang
terutama tumbuh pada lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai, yang eksistensinya
selalu dipengaruhi oleh air pasang-surut, dan terdiri dari jenis Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa.
(Tomlinson, 2016) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang tumbuh di daerah
pasang-surut maupun sebagai komunitas.
Di Indonesia, hutan mangrove tumbuh dan tersebar diseluruh Nusantara, mulai dari Pulau
Sumatera sampai dengan Pulau Irian. Menurut (Darsidi, 1984) luas hutan mangrove
diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar, sedangkan menurut laporan (Giesen, 1993) luas hutan
mangrove pada tahun 1993 diperkirakan sekitar 2,49 juta hektar. Dari seluruh hutan mangrove
yang ada di Indonesia tersebut, ditemukan sekitar 202 jenis tumbuhan yang hidup pada hutan
mangrove, yakni meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palm, 19 jenis pemanjat, 44 jenis terna, 44 jenis
epifit, 1 jenis paku-pakuan (Noor, Khazali, & I NN, 1999)
Dari sejumlah jenis tersebut, sebanyak 43 merupakan jenis tumbuhan mangrove sejati,
sementara jenis lainnya merupakan jenis tumbuhan yang biasanya berasosiasi dengan hutan
mangrove jenis. Dari 43 jenis mangrove tersebut, 33 jenis termasuk klasifikasi pohon dan
sisanya adalah termasuk jenis perdu. Sebagai daerah peralihan antara laut dan daratan, hutan
mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang sangat ekstrim. Pasangsurut air laut
menyebabkan terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan
salinitas. Oleh karena itu, hanya beberapa jenis tumbuhan yang memiliki daya toleransi yang
tinggi terhadap lingkungan yang ekstrim tersebut saja yang mampu bertahan hidup dan
berkembang didalamnya. Kondisi yang terjadi tersebut juga menyebabkan rendahnya
keanekaragaman jenis, namun disisi lain kepadatan populasi masing-masing jenis umumnya
tinggi.(Ishemat Soerianegara, 1971)
Pengaruh tipe tanah atau substrat tersebut, sangat jelas terlihat pada jenis Rhizophora,
misalnya pada tanah lumpur yang dalam dan lembek akan tumbuh dan didominasi oleh
Rhizophora mucronata yang kadang-kadang tumbuh berdampingan dengan Avicennia marina,
6
kemudian untuk Rhizophora stylosa lebih menyukai pada pantai yang memiliki tanah pasir atau
pecahan terumbu karang, dan biasanya berasosiasi dengan jenis Sonnerafia alba. Sedangkan
untuk jenis Rhizophora apiculata hidup pada daerah transisi.
Selain tipe tanah, kondisi kadar garam atau salinitas pada substrat juga mempunyai
pengaruh terhadap sebaran dan terjadinya permintakatan. Berbagai macam jenis tumbuhan
mangrove mampu bertahan hidup pada salinitas tinggi, namun jenis Avicennia merupakan jenis
yang mampu hidup bertoleransi terhadap kisaran salinitas yang sangat besar. (MACNAE, 1968)
menyebutkan bahwa Avicennia marina mampu tumbuh pada salinitas sangat rendah sampai
90‰, sedangkan Sonneratia sp. umumnya hidup pada salinitas yang tinggi, kecuali Sonnerafia
casiolaris (sekitar 10 ‰). Jenis Bruguiera sp biasanya tumbuh pada salinitas maksimum sekitar
25‰, sedangkan jenis Ceriops tagal, Rhizophora mucronafa dan Rhizophora stylosa mampu
hidup pada salinitas yang relatif tinggi.
Disamping faktor-faktor tersebut di atas, pasang-surut air laut juga mempunyai pengaruh
terhadap jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh pada suatu daerah. WATSON dalam
KARTAWINATA ddk. (1979) memberikan gambaran tentang lima kelas genangan yang
merupakan korelasi antara tingginya genangan air pasang dan lama genangan, dengan jenis
tumbuhan mangrove. Adapun klasifikasi kelas genangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kawasan pantai digenangi oleh setiap air pasang (all high tides). Di tempat seperti ini
jarang jenis mangrove yang mampu hidup, kecuali Rhizophora mucronata.
2. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang agak besar (medium high tide). Di tempat
seperti ini yang muncul adalah jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp.
3. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang rata-rata (normal high tide). Tempat ini
mencakup sebagian besar hutan mangrove, yang ditumbuhi jenis Rhizopora
mucronata, Rhizophora apiculata, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora
4. Kawasan pantai digenangi oleh air pasang perbani (spring tides). Di daerah ini jenis
tumbuh jenis Bruguiera sp., dan umumnya adalah Bruguiera cylindrica membentuk
tegakan murni, namun kadang-kadang pada areal yang baik drainasinya ditumbuhi
oleh Bruguiera parviflora dan Bruguiera sexangula.
7
5. Kawasan pantai yang kadang-kadang digenangi oleh pasang tertinggi (excep tional or
equinoctial tides). Di tempat ini Bruguiera gymnorrhiza berkembang dengan baik,
dan kadang berasosiasi dengan paku-pakuan Acrostichum sp.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Konservasi Mangrove
Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi
alam. Konservasi (conservation) adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi
berasal dari bahasa Inggris conservation, yang artinya pelestarian atau perlindungan. Ekosistem
hutan mangrove adalah suatu sistem ekologi yang terdiri dari komunitas vegetasi pantai tropis
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen & Aziz, 2002).
Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun abiotik
didalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang disebabkan oleh
faktor alam dan faktor manusia (Tirtakusumah, 1994). Pada umumnya kerusakan ekosistem
hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam penyalahgunaan sumberdaya alam di
wilayah pantai tidak memperhatikan kelestarian, seperti : penebangan untuk keperluan kayu
bakar2 yang berlebihan, tambak, permukiman, industri dan pertambangan (Kehutanan, 2004)
Kualitas lingkungan pesisir saat ini terus mengalami penurunan seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk di kawasan pesisir. Kenaikan jumlah penduduk di kawasan
pesisir secara otomatis meningkatkan kebutuhan terhadap sandang, pangan, papan, air bersih dan
energi, hal ini mengakibatkan eksploitasi terhadap sumber daya pesisir semakin meningkat.
Dalam pengeksploitasiannya masyarakat cenderung mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan
bersifat merusak. Salah satu sumber daya pesisir yang saat ini mulai terancam adalah ekosistem
mangrove yang mempunyai fungsi sebagai penyeimbang kawasan pesisir. Ekosistem mangrove
sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir, saat ini di seluruh dunia terus
mengalami tekanan.
8
Ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat disebabkan oleh dua faktor,
yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh
faktor manusia berupa aktivitas ekonomi penduduk yang memanfaatkan sumberdaya alam yang
terdapat didalam ekosistem hutan mangrove tersebut. Aktivitas ekonomi penduduk yang
menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mangrove, yaitu pengalih fungsian kawasan ekosistem
hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, pertanian, perumahan, permukiman, dan raklamasi
pantai untuk kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, pohon mangrove dimanfaatkan sebagai
bahan bakar (kayu bakar, dan arang), bahan bangunan (balok perancah, atap rumah, tonggak, dan
bahan kapal) dan bahan baku industri (makanan, minuman, pupuk, obat – obatan dan kertas)
(Seanger et al., 1983)
B. Rehabilitasi Mangrove
Rehabilitasi ekosistem mangrove adalah tindakan sebagian atau (lebih jarang)
sepenuhnya menggantikan karakteristik struktural atau fungsional dari suatu ekosistem
mangrove yang telah berkurang atau hilang, atau pengganti yang berkualitas atau
karakteristik ekosistem mangrove hasil rehabilitasi memiliki lebih banyak nilai sosial,
ekonomi atau ekologi dibandingkan dengan keadaan lahan mangrove yang terganggu atau
terdegradasi. Dengan demikian, rehabilitasi ekosistem mangrove merupakan kegiatan
pemulihan lahan mangrove yang terdegradasi ke ekosistem mangrove yang dapat berfungsi
kembali terlepas dari keadaan asli dari lahan yang terdegradasi tersebut.
9
serta evaluasi program rehabilitasi dengan memperhatikan secara utuh ketiga aspek terkait,
yakni ekologi, sosial dan ekonomi. Konsep rehabilitasi ekosistem mangrove dapat
diuraikan menjadi 6 langkah utama sebagai panduan dalam praktek rehabilitasi ekosistem
mangrove (Biswas et al., 2009), yaitu:
C. Pemanfaatan Berkelanjutan
Sebagai bagian dari wilayah pesisir, pengelolaan mangrove secara terpadu dapat
mengacu kepada pengertian dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu pengelolaan yang mengintegrasikan
10
kegiatan: (a) antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (b). antar-Pemerintah Daerah; (c).
antarsektor; (d). antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; ( e ). antara Ekosistem darat
dan Ekosistem laut; dan (f). antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara tidak langsung (non
economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia (economic vallues).
Beberapa manfaat mangrove antara lain adalah:
11
Akar pernafasan (akar pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya berfungsi untuk
pernafasan tanaman saja, tetapi berperan juga dalam menangkap endapan dan bisa
membersihkan kandungan zat-zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke
laut. Air sungai yang mengalir dari daratan seringkali membawa zat-zat kimia atau
polutan. Bila air sungai melewati akar-akar pasak pohon api-api, zat-zat kimia tersebut
dapat dilepaskan dan air yang terus mengalir ke laut menjadi bersih. Banyak penduduk
melihat daerah ini sebagai lahan marginal yang tidak berguna sehingga menimbunnya
dengan tanah agar lebih produktif. Hal ini sangat merugikan karena dapat menutup akar
pernafasan dan menyebabkan pohon mati.
3. Mengawali rantai makanan
Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai dasar teruraikan
oleh mikro organisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian ini merupakan makanan bagi
larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang lebih besar
serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di habitat mangrove.
4. Melindungi dan memberi nutrisi.
Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah nursery bagi
hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan udang yang ditangkap di
laut dan di daerah terumbu karang sebelum dewasa memerlukan perlindungan dari
predator dan suplai nutrisi yang cukup di daerah mangrove ini. Berbagai jenis hewan
darat berlindung atau singgah bertengger dan mencari makan di habitat mangrove.
5. Manfaat bagi manusia.
Masyarakat daerah pantai umumnya mengetahui bahwa hutan mangrove sangat berguna
dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai cara untukmmemenuhi kebutuhan hidup. Pohon
mangrove adalah pohon berkayu yang kuat dan berdaun lebat. Mulai dari bagian akar,
kulit kayu, batang pohon, daun dan bunganya semua dapat dimanfaatkan manusia.
E. Berbasis Masyarakat
Ekosistem mangrove mempunyai peranan penting dalam pembangunan berkelanjutan
baik secara ekologis, ekonomis maupun sosial. Pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan dapat
dicapai jika mempertimbangkan seluruh aspek, baik aspek fisik maupun non fisik. Banyaknya
stakeholder yang berkepentingan terhadap ekosistem mangrove berpotensi sebagai sumber
konflik yang menyebabkan strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan
12
menjadi tidak efektif dan seringkali menemui kegagalan. Kegagalan pengelolaan mangrove
diindikasikan dengan minimnya pelibatan masyarakat dan kebijakan manajemen yang bersifat
top down.
Mangrove merupakan sumber daya alam yang sangat penting dalam mengelola kualitas
lingkungan muara sebagai habitat berbagai jenis biota laut. Sifat mangrove yang sangat rentan
terhadap perubahan lingkungan, mudah rusak dan kondisinya sulit untuk dipulihkan, menuntut
kehati-hatian dalam pengelolaannya. Pengelolaan mangrove perlu mempertimbangkan aspek
fisik dan non fisik mengingat ekosistem mangrove memberikan manfaat bagi kehidupan sosial
ekonomi dan budaya masyarakat.
Pengelolaan hutan mangrove tidak terlepas dari pelibatan masyarakat. Tidak dipungkiri
terdapat masyarakat yang tergantung pada keberadaan mangrove untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Masyarakat yang hidup di sekitar mangrove memanfaatkan ikan, udang, kepiting, dan
kayu bakar yang tersedia. Pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh Sebagai pihak yang
bersentuhan langsung dengam ekosistem mangrove, masyarakat sekitar perlu dilibatkan dalam
pengelolaannya. Pemerintah perlu memberi kesempatan kepada masyarakat sekitar kawasan
untuk turut berpartisipasi dalam upaya pengelolaan mangrove dan pengawasannya, juga untuk
meminimalisasi konflik yang menjadi penghambat dalam pengelolaan mangrove. Maka dari itu,
diperlukan strategi pengelolaan mangrove berbasis masyarakat yang partisipatif dan
memperhatikan persepsi dan nilai magrove bagi masyarakat.
masyarakat lokal dengan menerapkan kearifan lokal menjadi terganggu tatkala ada pihak-
pihak yang berkepentingan terhadap lahan mangrove seperti untuk pengembangan tambak
perikanan skala besar, pariwisata, pemukiman (khususnya pemukiman mewah), dan kegiatan
pertambang an minyak . Terganggunya ekosistem mangrove yang disebabkan oleh proses
ekstraksi hutan mangrove menyebabkan laju kerusakan mangrove menjadi jauh lebih cepat
dibandingkan dengan kemampuan mangrove untuk memulihkan dirinya sendiri.
F. Terpadu
Urgensi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola secara Terpadu
13
1. Umumnya mangrove berada di wilayah pesisir yang merupakan wilayah yang unik
(peralihan anatara ekosistem daratan dan ekosistem lautan).
2. Penggunaan lahan dan proses-proses yang terjadi, baik proses alamiah maupun proses
antropogenik di daratan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) begitu juga yang
terjadi di lautan berpengaruh signifikan terhadap karakteristik ekosistem pesisir dimana
mangrove berada.
3. Adanya interaksi ekologis antara jenis ekosistem pesisir yang satu dengan yang
lainnya. Seperti sudah dikemukakan di muka bahwa mangrove, padang lamun dan
terumbu karang merupakan jenis-jenis ekosistem pesisir yang paling produktif .
(Kusmana, 2009) dari jumlah jenis ikan di laut bergantung pada habitat estuarin paling
tidak sebagian dari siklus hidupnya sehingga habitat estuarin berfungsi sebagai feeding
ground dan nursery ground bagi juvenil berbagai jenis ikan. Produktivitas habitat
estuarin bergantung sebagian besar pada produksi bahan organik dari tumbuhan
mangrove dan padang lamun (Snedaker dan Lugo, 1973). Oleh karena itu, selama banyak
jenis ikan bergantung pada habitat estuarin dan sebagian besar produksi habitat estuarin
tersebut berasal dari bahan organic tumbuhan maka keberadaan mangrove dan padang
lamun sangatlah penting bagi perikanan.
14
keputusan yang dibuat, apa dampaknya serta bagaimana struktur organisasinya dalam pembuatan
keputusan serta pembiayaan atas keputusan-keputusan yang dibuat. Secara nasional, lahan basah
mempunyai nilai dan fungsi yang penting baik ditinjau dari segi lingkungan maupun
perkonomian. Good governance sangat penting dalam pelaksanaan pengelolaan lahan basah
secara terpadu untuk mengakomodasi berbagai kelompok masyarakat yang mempunyai
kepentingan yang berbeda. Pelaksanaan prinsip-prinsip pengelolaan secara bijaksana dan
transparan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuanketentuan yang telah disepakati bersama
yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (baik yang berasal dari kearifan tradisional
maupun hasil penggalian dan pengembangan baru), bersifat terbuka dan bukan berdasarkan pada
kepentingan kelompok tertentu saja.
15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh pada daerah
pasang surut (terutama pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat
pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam. Hutan mangrove merupakan eksosistem utama pendukung kehidupan masyarakat pesisir.
Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut, penahan abrasi
pantai, penahan gelombang pasang dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut,
hutan mangrove juga bisa berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di
sekitarnya. Tumbuhan yang hidup di hutan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan
dari ciri- ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem
perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini
merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan
anaerob. Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai
yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu
tumbuh dengan sempurna dan menancapkan akarnya.
B. Saran
Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan penjelasan tentang “Pengelolaan Lahan
BasahMangrove .untuk itu bagi pembaca agar mencari literatur, yang lebih lengkap. Maka dari
itu kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini,
semoga kawan-kawan yang membantu di balas Allah SWT dengan kebaikan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahyar, A., & Wardhani, M. K. (2014). KAJIAN POTENSI EKOWISATA PESISIR NEPA
KABUPATEN SAMPANG DENGAN KONSEP MANGROVE PARK. Jurnal Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 7(2), 94–99.
BADERAN, D. W. (2013). MODEL VALUASI EKONOMI SEBAGAI DASAR UNTUK
REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI WILAYAH PESISIR
KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI
GORONTALO. UNIVERSITAS GADJAH MADA.
Bengen, & Aziz. (2002). wilayah pesisir dan hutan mangrove. 2, 8–16.
Biswas, S. R., Mallik, A. U., Choudhury, J. K., & Nishat, A. (2009). A unified framework for the
restoration of Southeast Asian mangroves—bridging ecology, society and economics.
Wetlands Ecology and Management, 17(4), 365–383.
Bradshaw, A. D. (1987). Restoration: an acid test for ecology.
Cassel, D. . (1997). Aquic Conditions and Hydric Soils: The Problem Soils. 1–5.
Dahuri, R. (2001). Decentralizing and delegating ICM to regional and local communities: a
precarious balance of authority, capacity and consistency. UNESCO Oceans and Coasts
Pre-World Summit on Sustainable Development ….
Darsidi, A. (1984). Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II
Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta.
Dugan, P. J. (1990). Wetland conservation. Ito World Cnnservation Union. 15–79.
Field, C. D. (1999). Rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview. Marine Pollution
Bulletin, 37(8–12), 383–392.
Giesen, W. (1993). Indonesia’s Mangroves: An Update on Remaining Area & Main
Management Issues. Asian Wetland Bureau (AWB).
Kehutanan, K. (2004). Peraturan Menteri Kehutanan No. Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam, 19.
Kusmana, C. (2009). Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Prosiding Workshop
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Jawa Barat. Jatinangor, 18.
17
MACNAE, W. (1968). A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and
forests in the Indo-West Pacific Region. Adv. Mar. Biol. 6: 73-270.
Maltby. E., & C. P. I. (1996). Introduction: the sustainable utilisation of tropical peatlands.
Dalam: E. Maltby. C.P. Immirzi, & R.J. Safford (eds.), Tropical Lowland Peatlands of
Southeast Asia. VI, 39–47.
Maltby, E. (1986). Waterlogged wealth. An Earthscan Paperback. (04), 1–5.
Noor, Y. R., Khazali, M., & I NN, S. (1999). Panduan pengenalan mangrove di Indonesia.
PKA/WI-IP (Wetlands International-Indonesia Programme).
Rieley, J.O, A. A., & Ahmad-Shah, & M. A. B. (1996). The extent and nature of tropical peat
swamps.
Seanger, P., Hergerl, E. J., & Davie, J. D. S. (1983). Global status of mangrove ecosystems. By
the working group on mangrove ecosystems on the IUCN Commission on Ecology. The
Environmentalist, 3.
Setyawan, A. . (2002). Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan
Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.
Soerianegara, I. (1971). Characteristics and classification of mangrove soil of Java. Rimba
Indonesia Vol. XVI. No. 3-4. Forest Research Institut, Bogor.
Soerianegara, I. (1987). Masalah Penentuan Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosiding Seminar III
Ekosystem Mangrove. MAB-LIPI, 3947.
Sorensen, J. C., & McCreary, S. T. (1990). Institutional arrangements for managing coastal
resources and environments. National Park Service, US Department of the Interior.
Sukardjo, S. (1996). Gambaran umum ekologi mangrove di Indonesia Lokakarya Strategi
Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Direktorat Jenderal Reboisasi Dan
Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta, 26.
Tirtakusumah, R. (1994). Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan Beberapa Pemikiran
untuk Tindak Lanjut. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove Di Jember, 3–6.
Tomlinson, P. B. (2016). The botany of mangroves. Cambridge University Press.
18