Sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, tidak ada kata yang
dapat kami ucapkan selain kata maaf yang sebesar-besarnya apabila
dalam penulisan buku ini terdapat kesalahan baik dari segi penulisan
maupun isi dari penulisan buku ini. Kami sangat membutuhkan kritik
dan saran para pembaca yang bersifat membangun demi penulisan
buku selanjutnya. Harapan kami semoga apa yang kami sajikan
dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi
seluruh pihak yang membaca. Dan semoga Allah senantiasa
memberi hidayah kepada setiap hamba-Nya yang mau selalu
berusaha dan belajar.
Penulis,
2021
ii
Daftar Isi
Daftar Isi.................................................................................................................iii
Daftar Gambar.......................................................................................................v
BAB 1......................................................................................................................1
Pendahuluan..........................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Permasalahan................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian...........................................................................................4
D. Manfaat Penelitian........................................................................................4
E. Metode Penelitian.........................................................................................5
F. Gambaran Isi Buku........................................................................................5
BAB 2......................................................................................................................7
Profil Hutan Desa Campaga Kabupaten Bantaeng......................................7
A. Meneropong Kabupaten Bantaeng...............................................................7
B. Hutan Desa Campaga..................................................................................10
Daftra Pustaka.....................................................................................................14
BAB 3....................................................................................................................15
Pengolahan Konservasi Hutan Desa Campaga berbasis Kearifan Lokal
................................................................................................................................15
A. Pengertian dan Fungsi Hutan Konservasi....................................................15
B. Pengertian Pengelolaan Hutan....................................................................18
C. Konservasi Berbasis Kearifan Lokal..............................................................21
Daftar Pustaka.....................................................................................................29
BAB 4....................................................................................................................31
Mitos Yang Hidup dan Diyakini Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan
Desa Campaga....................................................................................................31
A. Pengertian Mitos.........................................................................................31
B. Asal Mula Mitos Hutan Keramat..................................................................33
iii
Daftar Pustaka.....................................................................................................36
BAB 5....................................................................................................................37
Mitos Merupakan Salahsatu Kearifan Lokal di Indonesia yang Perlu
Dilestarikan..........................................................................................................37
A. Pengertian Kearifan Lokal............................................................................37
B. Mitos Sebagai Salah Satu Kearifan Lokal di Inonesia...................................39
Daftar Pustaka.....................................................................................................42
BAB 6....................................................................................................................44
Penutup................................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................46
Daftar Gambar
iv
Gambar 2. 1 Letak Bantaeng di Peta Sulawesi
Gambar 2. 2 Peta Kabupaten Bantaeng
Gambar 2. 3 Papan Nama Hutan Desa Campaga
Gambar 2. 4 Das Biangloe Hutan Desa Campaga
Gambar 3. 1 Konsolidasi Bumdes Tahun 2011
Gambar 3. 2 Hutan Desa Campaga3
Gambar 3. 3 Papan Larangan yang Berbatasan dengan Hutan
Campaga
Gambar 3. 4 Petani Perempuan yang sedang Memanen Kacang di
Sekitar Kawasan Hutan Desa Campaga
Gambar 3. 5 Wisata Lebah Desa Campaga6
Gambar 4. 1 Hutan Keramat di Kalimantan Barat yang dijadikan Area
Konservasi Salah Satu Perusahaan HTI/Dok 3
v
BAB 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
1
daerah dan masyarakat setempat selalu berusaha untuk melakukan
konservasi terhadap hutan desa Campaga yang sudah dilakukan
melalui kegiatan Reboisasi dan memberikan beberapa peraturan
yang harus ditaati bagi orang yang akan ke hutan untuk mencari
sumber penghasilan ataupun yang hanya mengunjungi. Sehingga,
hutan disana masih dapat dikatakan masih terjaga dengan baik, dan
salah satu alasannya yaitu dikarenakan keberadaan sebuah mitos
yang menyebutkan hutan sebagai hutan keramat.
2
kontribusi sekitar 15% bagi PDAM Kabupaten Bantaeng. Selain
menjadi sumber air, Hutan Campaga juga menjadi sumber mata
pencaharian bagi masyarakat setempat.Masyarakat setempat
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa pemungutan buah
pangi dan buah kemiri sebagai sumber penghasilan tambahan
keluarga.
B. Permasalahan
3
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah
2. Bagi Masyarakat
4
dan kecil diyakini memiliki jiwa dan dapat memberi
perlindungan kepada manusia.
3. Bagi Pelajar/Mahasiswa
E. Metode Penelitian
5
punah, guna menguntungkan bagi masyarakat dan pemerintah
setempat.
6
BAB 2
Gambar 2.1 Letak Bantaeng di Peta Gambar 2.2 Peta Kabupaten Bantaeng
Sulawesi Selatan
7
A. Meneropong Kabupaten Bantaeng
Berdasarkan data yang yang diunggah dpmptsp provinsi
Sulawesi selatan tentang profil kabupaten Bantaeng. Secara
geografis Kabupaten Bantaeng terletak 5 021’13” - 5035’26” LS dan
119051’42” - 120005’27” BT,
8
Kabupaten Bantaeng adalah sebanyak 196.716 jiwa. Dibandingkan
dengan jumlah penduduk hasil sensus penduduk tahun 2010,
penduduk Kabupaten Bantaeng mengalami pertumbuhan sebesar
10,79 persen selama kurun waktu 10 tahun 4 bulan atau rata-rata
tumbuh sebesar 1,04 persen setiap tahunnya. Kepadatan penduduk
di Kabupaten Bantaeng berdasarkan data hasil sensus penduduk
tahun 2020 mencapai 497 jiwa/km2, yang berarti bahwa dalam satu
km2 di huni oleh 497 penduduk. Kepadatan Penduduk di 8
kecamatan cukup beragam, dan kepadatan penduduk tertinggi
terletak di Kecamatan Bantaeng dengan kepadatan sebesar 1.373
jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Uluere sebesar 172 jiwa/km2.
Angka rasio jenis kelamin tahun 2020 berdasarkan data sensus
penduduk tahun 2020 adalah 97,86 artinya setiap 100 orang
penduduk perempuan terdapat 97 sampai 98 orang penduduk laki-
laki. Berdasarkan kelompok umur, jumlah penduduk Kabupaten
Bantaeng tertinggi berada pada kelompok umur 10-14 tahun yaitu
sebanyak 17.611 jiwa dan terendah berada pada kelompok umur 70-
74 tahun yaitu sebanyak 3.127 jiwa.
Bagian Hutan, Pertanian dataran tinggi dan Agrowisata Daerah
pegunungan atau dataran tinggi, kawasan ini difungsikan sebagai
daerah konservasi air dan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu,
daerah dataran tinggi dikembangkan menjadi hutan desa seperti yang
ada di Kecamatan Tompobulu serta Agrowisata di Kecamatan Uluere.
Objek wisata agro di kabupaten Bantaeng menjadi salah satu wisata
unggulan, sekalligus bagian dari upaya pelestarian lingkungan dan
hutan daerah ini, sehingga objek wisata di Kabupaten Bantaeng
tergolong cukup lengkap, baik di dataran tinggi berhawa sejuk sampai
daerah pesisir pantai.
Kabupaten Bantaeng memiliki kekayaan sumber daya hutan
yang relatif kecil dibanding kabupaten lain di Sulawesi Selatan, yakni
hanya 0,2% dari total kawasan hutan Sulawesi Selatan. Namun
demikian, kawasan hutan tersebut mempunyai arti penting bagi
masyarakat Kabupaten Bantaeng dan wilayah-wilayah di sekitarnya
karena dari sekitar 6.222 ha luas kawasan hutan Kabupaten
Bantaeng, terdapat kawasan hutan lindung yang mempunyai fungsi
hidroorologis penting seluas 2.773 ha atau sekitar 44,6%. Kabupaten
Bantaeng secara geografis memiliki kekhasan lengkap dengan
persoalan hulu dan hilirnya, di bagian hilir kebagian banjir tahunan
(bahkan setiap 5 tahun terjadi banjir besar) dan dibagian hulu
9
kebagian rusaknya hutan dan masyarakatnya termasuk kategori
marjinal. Daerah ini memiliki 3 Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) yang
kesemuanya menuju kota Bantaeng sebagai hilirnya. Sub DAS itu
adalah Sub DAS Lantebong, Sub DAS Biangloe dan Sub DAS Sinoa.
Ketiga Sub DAS ini memerlukan penanganan khusus, guna
penyelamatan ekosistemnya maupun kesejahteraan masyarakat yang
bergantung pada kelestariannya.
Sebagian besar (54,4%) kawasan hutan Kabupaten Bantaeng
saat ini dalam kondisi kritis yang perlu direhabilitasi dan ditingkatkan
kualitasnya. Di luar kawasan hutan terdapat pula lahan kritis seluas
5.423 ha. Laju pertumbuhan luas lahan kritis di Kabupaten Bantaeng
selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar -0,84%/tahun di dalam
kawasan hutan dan sebesar 12,2 %/tahun di luar kawasan hutan.
Penurunan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan rata-rata sebesar
0,84%/tahun merupakan suatu indikasi laju pertumbuhan lahan kritis
yang lebih kecil dibanding keberhasilan kegiatan reboisasi yang
dilakukan dengan luas rata-rata seluas 100 ha/tahun selama lima
tahun terakhir, sedangkan peningkatan luas lahan kritis di luar
kawasan hutan rata-rata sebesar 12,2%/tahun menunjukkan hal yang
sebaliknya.
Konversi kawasan hutan menjadi lahan budidaya pertanian
dan perkebunan rakyat merupakan pemicu utama terjadinya
degradasi hutan. Sedangkan faktor pemicu laju degradasi lahan di
luar kawasan hutan adalah meningkatnya aktivitas penebangan hutan
rakyat baik untuk tujuan produksi kayu maupun untuk tujuan konversi
lahan hutan rakyat menjadi areal tanaman semusim. Aktivitas-
aktivitas tersebut didukung dengan sistem tenure tradisional yang
sangat kuat sehingga akan berpotensi menjadi sumber-sumber konflik
apabila sistem tenure tradisional tersebut tidak diadaptasi dan
disinergikan dengan sistem tenure formal pengelolaan hutan berbasis
masyarakat.
Pada saat pertama kali Program Pembangunan Hutan Desa
disosialisasikan kepada kepala desa dan tokoh masyarakat di
Kabupaten Bantaeng, mereka tidak percaya bahwa masyarakat akan
diberikan hak pengelolaan atas kawasan hutan yang ada di desa.
Malah sebaliknya, mereka curiga jangan sampai program ini akan
mengambil lahan-lahan kawasan hutan yang telah dikelola oleh
masyarakat secara turun temurun dan tidak boleh lagi dimanfatkan
oleh masyarakat. Namun demikian, setelah dilakukan diskusi informal
10
beberapa kali dengan masyarakat, sudah dapat ditemukan
kesepamahan awal bahwa pembangunan Hutan Desa adalah
kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan hak pengelolan kawasan
hutan secara legal, mengelola kawasan hutan secara terencana dan
berkelanjutan, serta mendapatkan manfaat yang lebih besar untuk
kesejahteraan rumah tangga petani dan kesejahteraan desa
(Supratman dan Sahide, 2010)
11
hutan keramat yang tidak boleh ada aktivitas penebangandi
dalamnya. Dalam konteks ini, hutan desa borong lompoa menjadi
menarik untuk dikaji, terutama guna untuk memahami model
pelestarian hutan yang dilakukan di kawasan hutan tersebut.
Lestarinya hutan desa borung lompoa, diasumsikan terkait dengan
pelibatan yang intensif oleh masyarakat yang memiliki keyakinan kuat
dengan mitos yang ada di dalam masyarakatnya.
12
keyakinan pada mitos itu, masyarakat adat memahami bahwa
hutan yang berupa gugusan pohon-pohon besar dan kecil diyakini
memiliki jiwa dan dapat memberi perlindungan kepada manusia.
Gambar 2.3 Papan Nama Hutan Desa Gambar 2.4 Das Biangloe Hutan Desa
Campaga Campaga
C. Kesimpulan
14
Daftra Pustaka
Angelin, Mia. 2015. Mitos dan Budaya. Jakarta Barat: Universitas
BINUS.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
P.89/Menhut-II/2014 tentang Kebijakan Mengenai Hutan Desa.
PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dan UU No. 41
Tahun 1999 Tentang Hutan Lindung
Supratman dan Sahid, M.A.K. 2010. Pembangunan Hutan Desa di
Kabupaten Bantaeng: Konsep, Proses, dan Refleksi.
Makassar.RECOFT
Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang
Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.55/Menhut-II/2010 tentang
Penetapan Kawasan Hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa pada
Hutan Lindung Seluas 345 Hektar Terletak Dalam Wilayah
Adminisrasi Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan.
Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Wilkinson, P., & Philip, N. (2007). Mythology. London: Dorling
Kindersley.
15
BAB 3
16
perlindungan terhadap hutan tersebut. Hutan berdasarkan statusnya
di bagi dua macam, yaitu :
1) Hutan Hak, adalah hutan yang berada pada tanah yang di
bebani hak atas tanah (Pasal 5, Undang- Undang Nomor 41
Tahun 1999).
2) Hutan Negara, adalah hutan yang berada pada tanah yang
tidak dibebani hak keatas tanah. Yang termasuk dalam
kulifikasi hutan negara yaitu :
a) Hutan adat, adalah hutan negara yang diserahkan
pengelolaanya kepada masyarakat hukum
adat( rechtgemeenschap).
b) Hutan desa, adalah hutan negara yang dikelola oleh
desa dan di manfaatkan untuk kesejateraan desa.
c) Hutan Kemasyarakatan, adalah hutan negara yang
pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat.
b. Hutan berdasasarkan fungsinya ( Pasal 6 sampai dengan
Pasal 7 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi
Undang- Undang). Hutan berdasarkan fungsinya adalah
penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaanya.
Hutan ini dapat di golongkan menjadi tiga macam, di
antraranya :
1) Hutan konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari tiga macam
antara lain :
a) Kawasan hutan suaka alam, adalah hutan dengan ciri
khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai
pengawassan pengawetan keankekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.
b) Kawasan hutan pelestarian alam, adalah hutan
dengan ciri khas yang tertent yang mempunyai fungsi
17
pokokperlindungan sistem penyangga penghidupan
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
c) Taman buru, adalah kawasan hutan yang di tetapkan
sebagai tempat wisata berburu.
2) Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.
3) Hutan produksi, adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
c. Hutan berdasarkan tujuan khusus
19
serta berbagai nilai lain yang termasuk dalam kelompok sumberdaya
hutan.
Pengelolan hutan mengandung arti penanganan hutan dengan
fungsi tertentu yaitu pengelolaan hutan lindung, pengelolaan hutan
produksi dan pengelolaan hutan konservasi serta yang lebih khusus
lagi adalah pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan
hutan (management unit) tertentu.
Pengelolaan hutan oleh negara yang diserahkan haknya
kepada pengusaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara dalam
bentuk Hak pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri
(HTI), dinilai gagal oleh banyak pihak. Hakekatnya memberi
pemasukan negara, namun lebih menguntungkan pihak pengusaha
dan oknum-oknum tertentu di pemerintahan. Masyarakat di sekitar
hutan seakan tidak berdaya dan harus menanggung beban kerusakan
hutan dan lingkungan yang tidak kunjung pulih. Sementara itu
desakan untuk melaksanakan otonomi sampai tingkat desa terus
digelindingkan. Meskipun secara eksplisit UU No. 22/1999 tidak
menyebutkan desa sebagai daerah otonom, tetapi secara implisit dari
definisi desa yang baru dalam undang undang itu, jelas menyebutkan
desa sebagai kesatuan wilayah hukum yang bisa mengatur dirinya
sendiri (Hardiyanto, 2013).
20
dari pemerintah pusat yaitu pada tahun 2009. Pelaksanaan program
hutan desa selain melibatkan pemerintah juga perguruan tinggi
(Universitas Hasanuddin) dan RECOFTC (Regional Community
Forestry Training Centre for Asia and Pacific) yang merupakan
organisasi nirlaba internasional yang memiliki kekhususan pada
peningkatan kapasitas kehutanan masyarakat dan pengelolaan hutan
di Kawasan Asia-Pasifik.
21
hubungan antara masyarakat tradisional dengan ekosistem
disekitarnya, yang memiliki kepercayaan, hukum dan pranata adat,
pengetahuan dan cara mengelola sumberdaya alam secara lokal.
Pada masyarakat tradisional apabila terjadi pelanggaran terhadap
adat istiadat, maka perasaan bersalah akan selalu menghantuinya.
Sahlan (2009) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa masyarakat
lokal memiliki kearifan lokal yang mengedepankan prinsip
keseimbangan dan keberlanjutan hutan, yang dapat mendorong
warganya terlibat secara sukarela dan kolektif dalam melestarikan
hutan kemasyarakatan di sekitarnya.
22
pengetahuan tentang lingkungannya. Hasil proses interaksi yang
menghasilkan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam
dengan didasari saling ketergantungan tersebut telah mendorong
manusia menemukan bentuk penyikapan terhadap alam dan
lingkungan yang paling ideal. Dalam tataran ini manusia menemukan
apa yang disebut dengan kearifan lokal tersebut, terutama terkait
dengan penyikapan manusia dengan alam serta pola adaptasi dan
proses interaksi mereka.
23
konservasi dan kelestarian sumber daya alam khususnya dalam
bidang pertanian.
24
Gambar 3.2 Hutan Desa Campaga
25
hingga saat ini. Bahkan pohon-pohon yang tumbangpun tak tersentuh
dan masih nampak di dalamnya. Pemerintah kabupaten Bantaeng
yaitu Dinas Pertanian dan Peternakan sendiri telah mengeluarkan
peraturan pengenai larangan-larangan yang diatur dalam Perda Irgasi
Kabupaten Bantaeng nomor 4 tahun 2012 pasal 71.
27
Gambar 3.5 Wisata Lebah Desa Campaga
D. Kesimpulan
28
memiliki kesempatan untuk memperoleh hak kelola dalam hutan desa
karena hal tersebut dilakukan secara bertahap dan diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan tentang hutan desa yang selanjutnya
dijabarkan dalam Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan
Peraturan Desa.
Daerah yang memiliki potensi kearifan lokal dalam bidang
pertanian dan masyarakat masih tetap memiliki pengetahuan dan
kearifan lokal dan masih tetap eksis dan belum mengalami pelunturan
dan sebagai penyangga sosial (social buffer) bagi upaya konservasi
dan kelestarian sumber daya alam khususnya dalam bidang pertanian
sangat tepat menjadi fokus perhatian pengkajian ini. Upaya
konservasi dan kelestarian sumber daya alam khususnya dalam
bidang pertanian yang berdasarkan kearifan lokal saat ini menjadi isu
lingkungan yang hangat dalam tataran masyarakat internasional dan
memiliki korelasi yang signifikan dengan penyelamatan lingkungan
masyarakat setempat. Masyarakat sekitar menyebut hutan ini dengan
nama Hutan Borong Lompoa yang artinya Hutan Besar. Keberadaan
mitos hutan keramat di Hutan Campaga menjadi salah satu alasan
hutan ini masih sangat terjaga dengan baik.Hasil identifikasi yang
dilakukan LPHD (Lembaga Pengelolaan Hutan Desa) bersama
Balang Institute dan Article 33 menemukan terdapat sekitar 30 jenis
hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan warga.
29
Daftar Pustaka
Alif dan Supratman. 2010. Pembangunan Hutan Desa di Kabupaten
Bantaeng. Fakultas Kehutanan UNKAR Makassar.
Awang, S.A. 2004. Dekontsruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat
dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta : BIGRAF Publishing.
Chandra, Wahyu. 2020. Hutan Desa Campaga yang Dijaga Tradisi
dan Hidupi Warga Sekitar Hutan. Bantaeng: MONGABAY SITUS
BERITA LINGKUNGAN.
(https://www.mongabay.co.id/2020/11/15/hutan-desa-campaga-
yang-dijaga-tradisi-dan-hidupi-warga-sekitar-hutan/), diakses pada
4 November 2021
30
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3. Universitas
Jenderal Sudirman. Porwokerto.
Suharjito D., Khan Azis, Djatmiko WA., Sirait MT., Evelyna S. 2000.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta : Kerjasama
FKMM-Ford Foundation, Adityamedia
Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang
Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.
31
BAB 4
A. Pengertian Mitos
Jadi secara sadar atau tidak mitos yang sampai sekarang masih juga
dipercayai merupakan mitos yang telah ada sedari dulu dan
berkembang. Maka hal tersebut menjadi sesuatu yang dipercayai
bersama.
32
mengekspresikan adanya nilai moral budaya dalam kehidupan
manusia. Mitos memberi perhatian pada kekuatan yang
mengontrol kehidupan manusia dan relasi antara kekuatan
tersebut dengan keberadaan manusia. Meski mitos kerap
memiliki nilai religi dalam bentuk dan fungsinya, namun mitos
ditengarai merupakan bentuk awal dari sejarah, sains, atau
filsafat.” (Audifax, 2005)
33
bagaimana kondisi masyarakat di daerah tersebut. Apabila
masyarakat di daerah tersebut mayoritas masih tradisional atau
bersifat konservatif maka mitos akan cepat berkembang dan di
percaya oleh masyarakat. Namun apabila sebagian besar masyarakat
dalam daerah tersebut adalah masyarakat yang berfikiran modern
maka akan sulit menerima apalagi mempercayai mitos-mitos tersebut.
Padahal seperti yang sudah di paparkan di atas, bahwa sebenarnya
mitos memiliki fungsi atau keguanaan positif seperti salah satu
contohnya adalah untuk menjaga kearifan lokal.
34
Batu Babang Tangaya merupakan penanda batas wilayah dua
orang yang berkuasa di Hutan Borong Lompoa pada zaman dulu.
Konon, hutan di Campaga dikuasai oleh dua orang yang di kemudian
terlibat perselisihan. Perselisihan tersebut kemudian didamaikan oleh
seorang pendamai yang dikenal dengan Petta Lanre Daeng
Massenga. Petta Lanre Daeng Massenga kemudian memindahkan
sebuah batu ke tengah-tengah hutan sebagai tanda batas wilayah.
35
aliran sungai pun tak dibolehkan. Sejumlah tradisi dan ritual masih
dilakukan di kawasan hutan.
“Kalau ada yang menjarah hutan bisa kena masalah. Bisa sakit,
hidupnya susah, dan bahkan bisa meninggal. Pernah ada kejadian
seperti itu, makanya warga takut menebang kayu ataupun berburu di
dalam hutan,” ungkap Rahman.
C. Kesimpulan
36
Daftar Pustaka
Angelin, Mia. 2015. Mitos dan Budaya. Jakarta Barat: Universitas
BINUS.
Christensen, P. (2008). The "Wild West": The life and death of a myth.
Southwest Review, 310.
Rafiek. 2010. Teori Sastra kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika
Aditama.
Salaka, Fentie Jullianti. 2020. Kearifan Lokal Penjaga Hutan. KABAR
ALAM News & Nature. (https://kabaralam.com/tapak/kearifan-lokal-
penjaga-hutan), diakses tanggal 4 November 2021.
37
BAB 5
38
bermasyarakat di suatu tempat atau daerah yang merujuk pada
lokalitas dan komunitas tertentu. Sedangkan Fajarini (2014)
mengartikan kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Negara
(2011) menyatakan bahwa kearifan lokal bukan hanya menyangkut
pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat/lokal tentang
manusia dan bagaimana relasi yang baik diantara manusia,
melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat
kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi diantara
semua, dimana seluruh pengetahuan itu dihayati, dipraktikkan,
diajakkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada di masyarakat menurut
Aulia dan Dharmawan (2010) dapat berupa nilai, norma,
kepercayaan, dan aturanaturan khusus. Bentuk yang bermacam-
macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-
macam pula. Fungsi kearifan lokal tersebut antara lain untuk: (1)
konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2) mengembangkan
sumberdaya manusia; (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan; serta (4) petunjuk tentang petuah, kepercayaan, sastra,
dan pantangan. Selain itu, ditambahkan oleh Sartini (2004) yang
mengemukakan fungsi dan makna kearifan lokal diantaranya: (1)
berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2)
berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia misalnya
berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate; (3)
berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya pada upacara Saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada
pura Panji; (4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan
pantangan; (5) bermakna sosial, misalnya upacara integrasi
komunal/kerabat; (6) bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam
upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur; serta (7) bermakna
politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron
client.
Beberapa definisi kearifan lokal di atas pada dasarnya memiliki
konsep yang sama, dimana kearifan lokal diartikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang berupa nilai, norma, dan aturan-aturan khusus
yang berkembang, ditaati, dan dilaksanakan oleh masyarakat di suatu
39
tempat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pengetahuan-
pengetahuan tersebut bersifat lokal, dapat berbeda antara satu
daerah dengan daerah yang lain, meskipun memiliki makna yang
sama.
40
tentang asal-mulanya, tetapi bukan seperti ilmu sejarah modern.
Ruang dan waktu mitologis hanyalah konteks untuk berbicara tentang
awal dan akhir, atau asalmuasal dan tujuan kehidupan, dan bukan
ruang dan waktu faktual. (Simon, 2006).
Tentunya ada beberapa mitos yang sengaja diciptakan sebagai
upaya menjaga kestabilan lingkungan atau kehidupan manusia.
Dipilihnya mitos sebagai salah satu medianya adalah karena mitos
berasal dari zaman nenek moyang yang sudah dipercaya secara
turun temurun sehingga sebagian masyarakat pasti tunduk dan patuh
terhadap mitos tersebut. Melalui mitos manusia dapat turut serta
mengambil bagian dalam kejadiankejadian di sekitarnya, serta dapat
menanggapi daya-daya kekuatan alam. Hal tersebut harapannya agar
manusia dan alam bisa saling bersahabat, sebab alam merupakan
komponen yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Jika
manusia tidak bisa menjaga kerifan lokal maka keberlangsungan
hidup manusia juga bisa terancam.
C. Model Pelestarian hutan melalui Mitos
Berdasarkan kajian dalam penelitian ini, dapat ditegaskan
kembali bahwa mitos bagi masyarakat pendukungnya dianggap
memiliki fungsi sosial yang sangat besar. Oleh karena itu, dengan
keyakinan pada mitos yang ada dan masih hidup masyarakat jadi
berpedoman pada mitos. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa
mitos memiliki fungsi sosial dalam menggerakkan tindakan sosial
masyarakatnya untuk selalu bertanggung jawab, bersahabat, dan
mendoakan keselamatan, serta kelestarian hutan beserta isinya.
Model yang ditawarkan adalah model pelestarian hutan yang
berdasarkan pada mitos yang diyakini masyarakat kawasan hutan.
Masyarakat yang masih meyakini mitos, menjadi potensi kekuatan
budaya yang turut dapat melestarikan hutan. Model ini tentu saja
perlu dikembangkan di daerah-daerah Indonesia yang memiliki hutan
yang sedang mengalami perusakan.
Jika suatu daerah sudah lama tidak melibatkan masyarakat
adat dalam pelestarian hutan, maka perlu dibangkitkan lagi agar
kekuatan budaya yang ada pada masyarakat adat itu dapat tumbuh
kembali. Hal itu juga dapat dikatakan bahwa kerusakan hutan terjadi
pada masyarakat sekitar kawasan hutan yang tidak lagi mempercayai
mitos. Ketika suatu masyarakat menafsirkan mitos atau tidak
41
menganggap penting keberadaan mitos, orang cenderung akan
bebas dan liar untuk melakukan perusakan hutan. Perusakan hutan
ini akan diperparah lagi dengan kepentingan bisnis kayu. Dengan
demikian, penelitian ini merekomendasikan perlunya mitos yang ada
tetap dilestarikan dari generasi ke generasi agar hutan juga tetap
lestari. Hutan sebagai paru-paru kehidupan, tidak hanya akan
melindungi manusia, tetapi juga melindungi jagat ini secara
keseluruhan. Untuk lebih konkretnya, model pelestarian hutan yang
ditawarkan sebagai hasil penelitian ini dapat digambarkan dalam
model 1.
LELUHUR
Sesepuh
Masyarakat Desa
MITOS PEMERINTAH
Nilai Kearifan Lokal: Pemerintah Kab. Bantaeng
‐ pedoman hidup BUMDES
‐ kesederhanaan Polisi Hutan
‐ keharmonian Penjaga Hutan
‐ tradisi/adat‐istiadat
‐ kesadaran
‐ kebijakan
MASYARAKAT DESA
Sikap hidup masyarakat PELESTARIAN,
Keyakinan/Kepercayaan KELESTARIAN, DAN
Pewarisan PENGEMBANGAN
Tindakan Sosial HUTAN
D. Kesimpulan
Secara etimologis, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Pada KBBI, lokal berarti setempat,
sedangkan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Sehingga jika
dilihat secara etimologis, kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan
sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana,
42
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Istilah kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh
HG. Quaritch Wales (dalam Budiwiyanto 2006) yang menyebut
kearifan lokal sebagai “local genius” yang berarti sejumlah ciri
kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai
suatu akibat pengalamannya di masa lalu. Yunus (2012) mengartikan
kearifan lokal sebagai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu
dan ditempattempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam
menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut
mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana
pembangunan karakter bangsa.
Kearifan lokal dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Lebih
lanjut dalam undang-undang tersebut, pada Pasal 70 ayat (1)
disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang
sama dan seluasluasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan
dan pengelolaan hidup yang pada ayat (3e) disebutkan salah satu
peran masyarakat adalah mengembangkan dan menjaga budaya dan
kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Maka dari itu, dengan adanya mitos yang beredar dan secara tidak
langsung dapat membantu menjaga kelestarian hutan kita harus
memanfaatkannya, model yang ditawarkan adalah model pelestarian
hutan yang berdasarkan pada mitos yang diyakini masyarakat
kawasan hutan. Karena kerusakan pada hutan dapat dikatakan terjadi
pada masyarakat sekitar kawasan hutan yang tidak lagi mempercayai
mitos.
Daftar Pustaka
Aulia, T.O.S; A.H., Dharmawan. 2010. Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumberdaya Air di Kampung Kuta. Sodality: Jurnal
Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4 (3):
345-355.
Budiwiyanto. 2005. Tinjauan Tentang Perkembangan Pengaruh Local
Genius dalam Seni Bangunan Sakral (Keagamaan) di Indonesia.
Ornamen. 2(1): 25-35.
43
Dimyati. 2010. Manusia dan Kebudayaan.
(dimyati.staff.gunadarma.ac.id/.../bab2-manusiadan-kebudayaan),
diunduh pada 8 November 2021
Fajarini, U. 2014. Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter.
Sosio Didaktika 1(2): 123- 130.
Iskandar, J. 2014. Manusia dan Lingkungan dengan Berbagai
Perubahannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Manuaba, I.B. Putera, Trisna Kumala Satya Dewi, dan Sri Endah
Kinasih. 2012. Mitos, Masyarakat Adat, dan Pelestarian Hutan.
Surabaya: Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga,
Maridi. 2015. Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem
Konservasi Tanah dan Air. Surakarta: Prodi P. Biologi FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Negara, P.D. 2011. Rekonstruksi Kebijakan Pengelolaan Kawasan
Konservasi Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kontribusi Menuju
Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Indonesia. Jurnal Konstitusi.
IV(2): 91-138.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian
Filsafati. Jurnal Filsafat. 37(2): 111-120.
Simon, H. (2006). Hutan Jati dan Kemakmuran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA
Universitas Negeri Yogyakarta yang diselenggarakan pada 16 Mei
2009.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Yunus, R. 2012. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) sebagai
Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris tentang Huyula.
Yogyakarta: CV. Budi Utama.
44
BAB 6
Penutup
A. Kesimpulan
Dari penjelasan awal sampai akhir buku ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai beriut.
1. Keberadaan mitos hutan keramat di Hutan Campaga menjadi
salah satu alasan hutan ini masih sangat terjaga dengan baik.
Larangan penebangan pohon di dalamnya masih dipatuhi
masyarakat hingga saat ini. Bahkan pohon-pohon yang
tumbangpun tak tersentuh dan masih nampak di dalamnya.
Keberadaan mitos menjadi salah satu bentuk kearifan lokal
dalam pengelolaan hutan yang merupakan modal utama
masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan
sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya.
B. Saran
1. Penelitian kecil ini baru merupakan bentuk inventarisasi untuk
memberikan keyakinan akan banyaknya sumber kekayaan
budaya, khususnya yang terdapat di Indonesia, yang dapat
berkontribusi bagi penyelsaian persoalan modern dan
diharapkan peran pemerintah setempat juga ikut membantu
mensistematiskan secara tertulis ajaran para leluhur setempat
yang perlu dilestarikan.
2. Persoalan ekologis tidak semata-mata masalah fisik tetapi
merupakan rangkaian hal fisik dan sosial budaya. Harapan
kami semoga pemerintah setempat lebih sering melakukan
45
pendekatan, serta mendukung pengetahuan dan keterampilan
pengelolaan hasil hutan desa.
3. Pendokumentasian kearifan lokal ini diharapkan bisa menjadi
panduan bagi generasi mendatang dalam mengelola hutan dan
lingkungan secara berkelanjutan. Harapan kami, jangan
sampai kearifan lokal yang ada tergerus zaman dan dilupakan
oleh generasi muda. Kajian ini merupakan kajian pustaka, akan
sangat kaya apabila kajian lapangan dilakukan lebih mendalam
untuk secara nyata melihat bagaimana kontribusi kekayaan
sosial budaya dapat ikut menyelesaikan persoalan real.
4. Pemerintah juga diharapkan agar dapat lebih memperhatikan
tentang penjagaan hutan yang letaknya terpencil, karena hal
tersebut sangat beresiko terhadap kelestarian hutan, terutama
bagi masyarakat yang tidak percaya lagi pada mitos yang ada.
5. Pelestarian hutan diharapkan tetap berbasiskan kearifan lokal,
karena melestarikan hutan merupak ajaran turuntemurun yang
tentunya akan mendatangkan banyak manfaat, tidak hanya
bagi pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat terutama yang
berada di daerah sekitar hutan desa.
46
DAFTAR PUSTAKA
Alif dan Supratman. 2010. Pembangunan Hutan Desa di Kabupaten
Bantaeng. Fakultas Kehutanan UNKAR Makassar.
Angelin, Mia. 2015. Mitos dan Budaya. Jakarta Barat: Universitas
BINUS.
Christensen, P. (2008). The "Wild West": The life and death of a myth.
Southwest Review, 310.
Dimyati. 2010. Manusia dan Kebudayaan.
(dimyati.staff.gunadarma.ac.id/.../bab2-manusiadan-kebudayaan),
diunduh pada 8 November 2021
Fajarini, U. 2014. Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter.
Sosio Didaktika 1(2): 123- 130.
47
Hardiyanto, G. 2013. Idealita dan realita pengelolaan hutan desa di
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Yayasan Damar. Yogyakarta.
48
PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dan UU No. 41
Tahun 1999 Tentang Hutan Lindung
Rafiek. 2010. Teori Sastra kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika
Aditama.
Sahlan, Mr. 2004. Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang
Dalam Mengkonservsi Hutan di Provinsi Sulawesi Tengah.Mimbar
Hutan 24(2).187.375
Salaka, Fentie Jullianti. 2020. Kearifan Lokal Penjaga Hutan. KABAR
ALAM News & Nature. (https://kabaralam.com/tapak/kearifan-lokal-
penjaga-hutan), diakses tanggal 4 November 2021.
Santoso 2006. Ekosistem Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan
Dalam Memelihara Kelestarian Ekositem Sumbe Daya Hutan.
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3. Universitas
Jenderal Sudirman. Porwokerto.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian
Filsafati. Jurnal Filsafat. 37(2): 111-120.
Simon, H. (2006). Hutan Jati dan Kemakmuran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Suharjito D., Khan Azis, Djatmiko WA., Sirait MT., Evelyna S. 2000.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta : Kerjasama
FKMM-Ford Foundation, Adityamedia
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA
Universitas Negeri Yogyakarta yang diselenggarakan pada 16 Mei
2009.
Supratman dan Sahid, M.A.K. 2010. Pembangunan Hutan Desa di
Kabupaten Bantaeng: Konsep, Proses, dan Refleksi.
Makassar.RECOFT
Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang
Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.
49
Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang
Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.
50
Undri. 2016. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di
Desa Tabala Jaya Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Banyuasin
Propinsi Sumatera Selatan.Sumatera:Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sumatera Barat.
(https://media.neliti.com/media/publications/317143-kearifan-lokal-
masyarakat-dalam-pengelol-508e081d.pdf ), diakses tanggal 4
November 2021.
Wilkinson, P., & Philip, N. (2007). Mythology. London: Dorling
Kindersley.
Wulansari, Rosalia Ayuning, dan Iqlima Safa Nur. 2018. Reaktualisasi
Mitos Lokal Sebagai Upaya Konservasi Kawasan Hutan Bambu
Lereng Semeru Kabupaten Lumajang. Jawa Timur: PS PBSI FKIP
Universitas Jember.
Yunus, R. 2012. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) sebagai
Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris tentang Huyula.
Yogyakarta: CV. Budi Utama.
51
GLOSARIUM
52
Interaksi Suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu
dua atau lebih objek mempengaruhi atau memiliki
efek satu sama lain.
53
Program Kumpulan instruksi, rencana kegiatan, pedoman,
acara ataupun daftar yang berurutan. Program
nantinya memiliki beragam pengertian tergantung di
aspek mana istilah tersebut dipakai.
Sumber daya Suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi
atau unsur tertentu dalam kehidupan.
54