Anda di halaman 1dari 59

Sinopsis :

Keberadaan mitos hutan keramat di Hutan Campaga menjadi salah


satu alasan hutan ini masih sangat terjaga dengan baik. Keberadaan
mitos menjadi salah satu bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan
hutan yang merupakan modal utama masyarakat dalam membangun
dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan
alam sekitarnya. Pelestarian hutan berbasis mitos (kearifan lokal)
hutan desa campaga dianggap memiliki fungsi sosial yang sangat
besar. Oleh karena itu, dengan keyakinan pada mitos yang ada dan
masih hidup, mitos dapat menggerakkan tindakan sosial
masyarakatnya untuk selalu bertanggung jawab, bersahabat, dan
mendoakan keselamatan, serta kelestarian hutan beserta isinya.
Kata Pengantar
Segala puji kami panjatkan kepada Allah swt yang dengan segala
kasih sayang serta ridha-Nya sehingga kami mampu menulis dan
menyelesaikan buku ‘Kepercayaan Masyarakat Hutan Desa
Campaga Kabupaten Bantaeng’ dengan lancar tanpa adanya
kendala.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan


kepada Dr. Erman Syarif, S.Pd., M.Pd yang telah membimbing kami
pada mata kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup. Dan kepada seluruh
anggota kelompok atas kerja samanya yang kompak dalam
menyelesaikan tugas ini serta kapada pihak-pihak lain yang turut
memberikan dukungan demi terselesainya buku ini.

Buku ini disusun berdasarkan hasil kajian penelitian, sebagai bentuk


kepekaan terhadap fenomena sumber daya hutan yang terdapat di
Indonesia. Buku ini secara komprehensif menjelaskan tindakan
masyarakat kabupaten Bantaeng dalam menjaga konservasi sumber
daya hutan. Besar harapan kami, buku ini dapat menjadi ideologi
baru dalam menjaga dan melestarikan sumber daya hutan di
Indonesia agar tetap terjaga dan lestari.

Sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, tidak ada kata yang
dapat kami ucapkan selain kata maaf yang sebesar-besarnya apabila
dalam penulisan buku ini terdapat kesalahan baik dari segi penulisan
maupun isi dari penulisan buku ini. Kami sangat membutuhkan kritik
dan saran para pembaca yang bersifat membangun demi penulisan
buku selanjutnya. Harapan kami semoga apa yang kami sajikan
dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi
seluruh pihak yang membaca. Dan semoga Allah senantiasa
memberi hidayah kepada setiap hamba-Nya yang mau selalu
berusaha dan belajar.

Penulis,

2021

ii
Daftar Isi

Daftar Isi.................................................................................................................iii
Daftar Gambar.......................................................................................................v
BAB 1......................................................................................................................1
Pendahuluan..........................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Permasalahan................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian...........................................................................................4
D. Manfaat Penelitian........................................................................................4
E. Metode Penelitian.........................................................................................5
F. Gambaran Isi Buku........................................................................................5
BAB 2......................................................................................................................7
Profil Hutan Desa Campaga Kabupaten Bantaeng......................................7
A. Meneropong Kabupaten Bantaeng...............................................................7
B. Hutan Desa Campaga..................................................................................10
Daftra Pustaka.....................................................................................................14
BAB 3....................................................................................................................15
Pengolahan Konservasi Hutan Desa Campaga berbasis Kearifan Lokal
................................................................................................................................15
A. Pengertian dan Fungsi Hutan Konservasi....................................................15
B. Pengertian Pengelolaan Hutan....................................................................18
C. Konservasi Berbasis Kearifan Lokal..............................................................21
Daftar Pustaka.....................................................................................................29
BAB 4....................................................................................................................31
Mitos Yang Hidup dan Diyakini Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan
Desa Campaga....................................................................................................31
A. Pengertian Mitos.........................................................................................31
B. Asal Mula Mitos Hutan Keramat..................................................................33

iii
Daftar Pustaka.....................................................................................................36
BAB 5....................................................................................................................37
Mitos Merupakan Salahsatu Kearifan Lokal di Indonesia yang Perlu
Dilestarikan..........................................................................................................37
A. Pengertian Kearifan Lokal............................................................................37
B. Mitos Sebagai Salah Satu Kearifan Lokal di Inonesia...................................39
Daftar Pustaka.....................................................................................................42
BAB 6....................................................................................................................44
Penutup................................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................46

Daftar Gambar

iv
Gambar 2. 1 Letak Bantaeng di Peta Sulawesi
Gambar 2. 2 Peta Kabupaten Bantaeng
Gambar 2. 3 Papan Nama Hutan Desa Campaga
Gambar 2. 4 Das Biangloe Hutan Desa Campaga
Gambar 3. 1 Konsolidasi Bumdes Tahun 2011
Gambar 3. 2 Hutan Desa Campaga3
Gambar 3. 3 Papan Larangan yang Berbatasan dengan Hutan
Campaga
Gambar 3. 4 Petani Perempuan yang sedang Memanen Kacang di
Sekitar Kawasan Hutan Desa Campaga
Gambar 3. 5 Wisata Lebah Desa Campaga6
Gambar 4. 1 Hutan Keramat di Kalimantan Barat yang dijadikan Area
Konservasi Salah Satu Perusahaan HTI/Dok 3

v
BAB 1

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Sumber daya hutan dan lahan sebagai sumber kekayaan alam


yang penting untuk suatu kehidupan, perlu dikelola dengan baik agar
bermanfaat bagi masyarakat dengan tetap menjaga kelangsungan
fungsi dan kemampuannya. Pendayagunaan dilakukan secara
rasional disertai upaya pelestarian sebagai perwujudan dari
pembangunan berwawasan lingkungan dengan mengikutsertakan
masyarakat secara luas. (I Made Tamba, 2012). Sehubungan
dengan hal itu, pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk
mempertahankan keberadaan dan keseimbangan yang dinamis
melalui berbagai usaha perlindungan, rehabilitasi dan pemeliharaan.
Hal itu dimaksudkan agar pemanfaatan sumber daya alam,
utamanya hutan dan lahan tidak menimbulkan gangguan terhadap
ekosistem, yang antara lain mengakibatkan terjadinya lahan kritis.

Pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati


memiliki keterkaitan yang erat dengan kekayaan keanekaragaman
budaya lokal yang dimiliki. Adanya sumber daya alam hayati yang
terkandung di dalam hutan sudah selayaknya dikelola dengan baik
dan dijaga kelestariannya. Ketergantungan antara pengelolaan
sumberdaya dan keanekaragaman hayati dengan sistem-sistem lokal
yang hidup ditengah masyarakat bisa dilihat dalam kehidupan sehari-
hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas
masyarakat adat maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya
yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan
pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional (Nababan, 2003).

Usaha konservasi telah dilakukan oleh pemerintah dan


sebagian orang untuk hutan sekitar agar tetap lestari dan
dimanfaatkan,di Propinsi Sulawesi selatan tepatnya di Kabupaten
Bantaeng, Kecamatan Tompbulu,Kelurahan Campaga, pemerintah

1
daerah dan masyarakat setempat selalu berusaha untuk melakukan
konservasi terhadap hutan desa Campaga yang sudah dilakukan
melalui kegiatan Reboisasi dan memberikan beberapa peraturan
yang harus ditaati bagi orang yang akan ke hutan untuk mencari
sumber penghasilan ataupun yang hanya mengunjungi. Sehingga,
hutan disana masih dapat dikatakan masih terjaga dengan baik, dan
salah satu alasannya yaitu dikarenakan keberadaan sebuah mitos
yang menyebutkan hutan sebagai hutan keramat.

Mitos berasal dari bahasa Yunani muthos yang berarti dari


mulut ke mulut, atau dengan kata lain cerita informal suatu suku yang
diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Christensen,
2008). Sesungguhnya sebuah mitos dibangun memiliki tujuan
tertentu. Mitos yang berkembang dalam lingkungan masyarakat ada
yang diarahkan untuk tujuan-tujuan positif. Contohnya adalah mitos
yang dapat digunakan untuk menjaga kearifan lokal. Biasanya mitos-
mitos tersebut berkaitan dengan wilayah-wilayah konservasi,
kawasan hutan lindung, dan wilayah-wilayah pariwisata. Mitos
dipercaya ampuh oleh masyarakat karena mitos telah ditanamkan
sejak awal oleh para nenek moyang dan akan selalu dipercaya
meskipun zaman telah berubah.

Keberadaan mitos hutan keramat di Hutan Campaga menjadi


salah satu alasan hutan ini masih sangat terjaga dengan baik.
Larangan penebangan pohon di dalamnya masih dipatuhi masyarakat
hingga saat ini. Bahkan pohon-pohon yang tumbang pun tak
tersentuh dan masih nampak di dalamnya (Fentie Jullianti
Salaka,2020)

Masih banyak pohon besar yang bisa ditemui di dalam hutan


tersebut.Beberapa jenis pohon yang bisa ditemui di hutan di
antaranya adalah binuang (Octomeles sumatrana),
kaloa/pangi (Pangium edule), suren (Toona sureni), kemiri (Aleurites
moluccana), dan campaga/meranti merah (shorea spp).Kawasan
hutan tersebut diapit oleh dua anak sungai yang mengalir sepanjang
tahun.Air yang berasal dari Hutan Campaga merupakan sumber air
irigasi bagi lingkungan di sekitarnya.Air dari hutan ini memberikan

2
kontribusi sekitar 15% bagi PDAM Kabupaten Bantaeng. Selain
menjadi sumber air, Hutan Campaga juga menjadi sumber mata
pencaharian bagi masyarakat setempat.Masyarakat setempat
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa pemungutan buah
pangi dan buah kemiri sebagai sumber penghasilan tambahan
keluarga.

Menurut Supratman dan Sahide, unit usaha pemungutan buah


pangi dikelola oleh 17 kepala keluarga dengan total produksi rata-rata
sebesar 917 kg setiap tahun. Sementara itu, unit usaha pemungutan
buah kemiri dikelola oleh 5 rumah tangga dengan total produksi 280
liter setahun. Cerita lokal yang berkembang di masyarakat Campaga
adalah salah satu dari kearifan lokal yang berkembang di Indonesia.
Kearifan lokal ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
menjaga hutan.Pengelolaan Hutan Desa di Kelurahan Campaga ini
juga mengakomodir keberadaan perempuan yang bahkan berperan
aktif dalam berbagai program ataupun kegiatan kelompok. Mereka
juga dilibatkan dalam program strategis yang sedang digagas berupa
pemanfaatan hutan desa sebagai hutan wisata dan Pendidikan.

B. Permasalahan

Berisi tentang konservasi hutan desa masyarakat campaga


kabupaten Bantaeng. Fokus penelitian yaitu pada mitos hutan
keramat yang berkembang di tengan masyarakat desa campaga.

a. Bagaimana kondisi di dalam hutan desa campaga?

b. Apa saja manfaat hutan bagi masyarakat sekitar dan pemerintah


serta bagaimana peran masyarakat sekitar dalam mengolah dan
menjaga Hutan Desa Campaga!

c. Apakah  mitos merupakan salah satu kearifan lokal di Indonesia


yang perlu dilestarikan?

d. Bagaimana mitos yang hidup dan diyakini masyarakat sekitar


kawasan hutan desa cempaga?

3
C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian buku ini antara lain:

a. Menelusuri kondisi di dalam hutan desa campaga


b. Mengetahui peran serta Masyarakat sekitar dalam mengolah
dan menjaga Hutan Desa
c. Mengidentifikasi mitos yang hidup dan diyakini masyarakat
sekitar kawasan hutan desa cempaga.
d. Mengkaji mitos sebagai salah satu kearifan lokal di Indonesia;
yang perlu dilestarikan.

D. Manfaat Penelitian

Buku ini diharapkan dapat menjadi model landskap untuk


pemanfaatan areal hutan desa, dengan mempertimbangkan aspek
hutan dalam mendukung fungsi lindung, agar tercipta pengelolaan
hutan desa secara berkelanjutan dan lestari. Manfaatnya antaralain:

1. Bagi Pemerintah

Sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam


pengelolaan sumber daya hutan desa.

2. Bagi Masyarakat

Diharpkan dapat memberikan informasi yang dapat


meningkatkan kesadaran bahwa kearifan lokal yang merupakan
budaya lokal dalam hal ini mitos juga penting untuk dilestarikan
selama memberikan dampak positif bagi lingkungan dan
masyarakat, sehingga dapat menimbulkan keyakinan
masyarakat pada mitos itu,dan tergerakkan kesadarannya untuk
menunjukkan  sikap bersahabat dengan  kehidupan. Dengan 
keyakinan  pada  mitos  itu,  masyarakat  adat  memahami 
bahwa  hutan  yang  berupa  gugusan  pohon-pohon besar

4
dan kecil  diyakini  memiliki jiwa dan dapat memberi
perlindungan kepada manusia.

3. Bagi Pelajar/Mahasiswa

Buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan


kesadaran tentang pengelolaan hutan yang lestari dan
berdasarkan kearifan lokal daerah setempat.

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menerapkan


metode observasi lapangan, guna untuk mengetahui kondisi hutan
saat ini. Selan itu, kami juga melakukan kajian literature dengan
mengumpulkan data pustaka, membaca, serta mengelolah bahan
penelitian. Data yang diambil bisa bersumber dari internet serta
berasal dari jurnal penelitian yang berkaitan dengan focus penelitian.
Diterapkannya metode ini bertujuan untuk mendapatkan informasi
terkait permasalahan yang akan di kaji dalam fokus peneltian ini.

F. Gambaran Isi Buku

Buku ini merupakan hasil peneitian dan kerjasama dari salah


satu kelompok mahasiswa Univeritas Negeri Makassar (UNM). Buku
ini menjelaskan tentang bagaimana mitos hutan borong lompoa bisa
diyakini oleh masyarakat sampai saat ini serta bagaimana peran
masyaraka dan pemerintah setempat dalam mengelola dan menjaga
hutan sehingga kondisi hutan bisa terjaga kelestariannya dan menjadi
kearifan lokal. Penulisan buku ini didasarkan pada sebuah mitos
yang diyakini dan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh masyarakat
sekitar, tetapi kami para peneliti disini berusaha mengumpulkan
pendapat-pendapat dari narasumber yang tidak lain adalah tokoh
masyarakat penting seperti pejabat yang tinggal di sekitar wilayah
hutan campaga, bahwa hutan tersebut bukanlah tempat yang harus
ditakuti, melainkan dijaga kelestariannya agar selalu menjadi hutan
yang sehat dan mitos yang berkembang di masyarakat pun tak

5
punah, guna menguntungkan bagi masyarakat dan pemerintah
setempat.

Masyarakat dan pemerintah juga berperan penting dalam


mengelola dan menjaga hutan, dibuku ini kami akan memberitahukan
bagaimana peran mereka sehingga hutan campaga dikenal bukan
hanya karena mitos yang beredar tentang sering terjadi peristiwa
aneh dan dikatakan sebagai hutan keramat. Masyarakat dan
pemerintah juga bekerjasama atas pelestariannya dalam menjaga
hutan sehingga menghasilkan hasil hutan yang berkualitas .

Buku ini terdiri dari enam bab, yakni Bab 1 Pendahuluan,


didalamnya terdapat latar belakang hingga tujuan penulisan buku,
Bab 2 Profil Hutan Desa Campaga Kabupaten Bantaeng, Bab 3
Pengelolaan Konservasi Hutan Desa Campaga Berbasis Kearifan
Lokal, Bab 4 Mitos yang Hidup dan Diyakini Masyarakat Sekitar
Kawasan Hutan Desa Campaga, Bab 5 Mitos Sebagai Salah Satu
Kearifan Lokal Di Indonesia yang Perlu Dilestarikan, dan Bab 8
Penutup.

6
BAB 2

Profil Hutan Desa Campaga Kabupaten Bantaeng

Gambar 2.1 Letak Bantaeng di Peta Gambar 2.2 Peta Kabupaten Bantaeng
Sulawesi Selatan

7
A. Meneropong Kabupaten Bantaeng
Berdasarkan data yang yang diunggah dpmptsp provinsi
Sulawesi selatan tentang profil kabupaten Bantaeng. Secara
geografis Kabupaten Bantaeng terletak 5 021’13” - 5035’26” LS dan
119051’42” - 120005’27” BT,

berjarak 120 km ke arah selatan dari Kota Makassar (Ibukota Provinsi


Sulawesi Selatan). Letak Kabupaten berbatasan di utara dengan
Kabupaten Gowa dan Bulukumba, di timur dengan Bulukumba,
selatan dengan Laut Flores, dan barat berbatasan dengan Kabupaten
Jeneponto.
Ketinggian antara 100-500 m dari permukaan laut merupakan
wilayah yang terluas atau 29,6% dari luas wilayah seluruhnya, dan
terkecil adalah wilayah dengan ketinggian 0 – 25 m atau hanya 10,3%
dari luas wilayah. Luas wilayah admisitratif Kabupaten Bantaeng
sekitar 398,70km2 terdiri dari 82% adalah lahan kering dan sisanya
adalah lahan sawah. Keadaan jenis tanah yang cocok untuk lahan
perkebunan dan lahan tanaman pangan. Berdasarkan hasil
pemantauan 10 hari perubahan di tahun 2017 terjadi hujan dengan
rata-rata curah hujan 21mm, sebagian besar di wilayah Kab.
Bantaeng merupakan desa bukan pesisir yaitu sebanyak 46 desa,
hanya 16 desa yang terletak di daerah pesisir.
Kabupaten Bantaeng terdiri dari 8 wilayah kecamatan yang
terbagi menjadi 46 desa dan 21 kelurahan, yaitu: Kecamatan
Bissappu (4 desa dan 7 kelurahan), Uluere (6 desa), Sinoa (6 desa),
Bantaeng (1 desa dan 8 kelurahan), Eremerasa (9 desa), Tompobulu
(6 desa dan 4 kelurahan), Pajjukukang (10 desa), dan Gantarangkeke
(4 desa dan 2 kelurahan). 
Berdasarkan hasil dari pendataan sensus penduduk 2020
bulan September Kabupaten Bantaeng, jumlah penduduk di

8
Kabupaten Bantaeng adalah sebanyak 196.716 jiwa. Dibandingkan
dengan jumlah penduduk hasil sensus penduduk tahun 2010,
penduduk Kabupaten Bantaeng mengalami pertumbuhan sebesar
10,79 persen selama kurun waktu 10 tahun 4 bulan atau rata-rata
tumbuh sebesar 1,04 persen setiap tahunnya. Kepadatan penduduk
di Kabupaten Bantaeng berdasarkan data hasil sensus penduduk
tahun 2020 mencapai 497 jiwa/km2, yang berarti bahwa dalam satu
km2 di huni oleh 497 penduduk. Kepadatan Penduduk di 8
kecamatan cukup beragam, dan kepadatan penduduk tertinggi
terletak di Kecamatan Bantaeng dengan kepadatan sebesar 1.373
jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Uluere sebesar 172 jiwa/km2.
Angka rasio jenis kelamin tahun 2020 berdasarkan data sensus
penduduk tahun 2020 adalah 97,86 artinya setiap 100 orang
penduduk perempuan terdapat 97 sampai 98 orang penduduk laki-
laki. Berdasarkan kelompok umur, jumlah penduduk Kabupaten
Bantaeng tertinggi berada pada kelompok umur 10-14 tahun yaitu
sebanyak 17.611 jiwa dan terendah berada pada kelompok umur 70-
74 tahun yaitu sebanyak 3.127 jiwa.
Bagian Hutan, Pertanian dataran tinggi dan Agrowisata Daerah
pegunungan atau dataran tinggi, kawasan ini difungsikan sebagai
daerah konservasi air dan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu,
daerah dataran tinggi dikembangkan menjadi hutan desa seperti yang
ada di Kecamatan Tompobulu serta Agrowisata di Kecamatan Uluere.
Objek wisata agro di kabupaten Bantaeng menjadi salah satu wisata
unggulan, sekalligus bagian dari upaya pelestarian lingkungan dan
hutan daerah ini, sehingga objek wisata di Kabupaten Bantaeng
tergolong cukup lengkap, baik di dataran tinggi berhawa sejuk sampai
daerah pesisir pantai.
Kabupaten Bantaeng memiliki kekayaan sumber daya hutan
yang relatif kecil dibanding kabupaten lain di Sulawesi Selatan, yakni
hanya 0,2% dari total kawasan hutan Sulawesi Selatan. Namun
demikian, kawasan hutan tersebut mempunyai arti penting bagi
masyarakat Kabupaten Bantaeng dan wilayah-wilayah di sekitarnya
karena dari sekitar 6.222 ha luas kawasan hutan Kabupaten
Bantaeng, terdapat kawasan hutan lindung yang mempunyai fungsi
hidroorologis penting seluas 2.773 ha atau sekitar 44,6%. Kabupaten
Bantaeng secara geografis memiliki kekhasan lengkap dengan
persoalan hulu dan hilirnya, di bagian hilir kebagian banjir tahunan
(bahkan setiap 5 tahun terjadi banjir besar) dan dibagian hulu

9
kebagian rusaknya hutan dan masyarakatnya termasuk kategori
marjinal. Daerah ini memiliki 3 Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) yang
kesemuanya menuju kota Bantaeng sebagai hilirnya. Sub DAS itu
adalah Sub DAS Lantebong, Sub DAS Biangloe dan Sub DAS Sinoa.
Ketiga Sub DAS ini memerlukan penanganan khusus, guna
penyelamatan ekosistemnya maupun kesejahteraan masyarakat yang
bergantung pada kelestariannya.
Sebagian besar (54,4%) kawasan hutan Kabupaten Bantaeng
saat ini dalam kondisi kritis yang perlu direhabilitasi dan ditingkatkan
kualitasnya. Di luar kawasan hutan terdapat pula lahan kritis seluas
5.423 ha. Laju pertumbuhan luas lahan kritis di Kabupaten Bantaeng
selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar -0,84%/tahun di dalam
kawasan hutan dan sebesar 12,2 %/tahun di luar kawasan hutan.
Penurunan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan rata-rata sebesar
0,84%/tahun merupakan suatu indikasi laju pertumbuhan lahan kritis
yang lebih kecil dibanding keberhasilan kegiatan reboisasi yang
dilakukan dengan luas rata-rata seluas 100 ha/tahun selama lima
tahun terakhir, sedangkan peningkatan luas lahan kritis di luar
kawasan hutan rata-rata sebesar 12,2%/tahun menunjukkan hal yang
sebaliknya.
Konversi kawasan hutan menjadi lahan budidaya pertanian
dan perkebunan rakyat merupakan pemicu utama terjadinya
degradasi hutan. Sedangkan faktor pemicu laju degradasi lahan di
luar kawasan hutan adalah meningkatnya aktivitas penebangan hutan
rakyat baik untuk tujuan produksi kayu maupun untuk tujuan konversi
lahan hutan rakyat menjadi areal tanaman semusim. Aktivitas-
aktivitas tersebut didukung dengan sistem tenure tradisional yang
sangat kuat sehingga akan berpotensi menjadi sumber-sumber konflik
apabila sistem tenure tradisional tersebut tidak diadaptasi dan
disinergikan dengan sistem tenure formal pengelolaan hutan berbasis
masyarakat.
Pada saat pertama kali Program Pembangunan Hutan Desa
disosialisasikan kepada kepala desa dan tokoh masyarakat di
Kabupaten Bantaeng, mereka tidak percaya bahwa masyarakat akan
diberikan hak pengelolaan atas kawasan hutan yang ada di desa.
Malah sebaliknya, mereka curiga jangan sampai program ini akan
mengambil lahan-lahan kawasan hutan yang telah dikelola oleh
masyarakat secara turun temurun dan tidak boleh lagi dimanfatkan
oleh masyarakat. Namun demikian, setelah dilakukan diskusi informal

10
beberapa kali dengan masyarakat, sudah dapat ditemukan
kesepamahan awal bahwa pembangunan Hutan Desa adalah
kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan hak pengelolan kawasan
hutan secara legal, mengelola kawasan hutan secara terencana dan
berkelanjutan, serta mendapatkan manfaat yang lebih besar untuk
kesejahteraan rumah tangga petani dan kesejahteraan desa
(Supratman dan Sahide, 2010)

B. Hutan Desa Campaga

Mengacu pada penjelasan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 41 Tahun 1999, disebutkan hutan desa adalah hutan negara
yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
Hutan desa yang ada di kabupaten bantaeng salah satunya adalah
Hutan Desa Campaga. Hutan Desa Campaga merupakan kawasan
hutan desa yang terletak di Kelurahan Campaga, Kabupaten
Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk menuju ke tempat ini kita
harus menempuh waktu sekitar tiga sampai empat jam perjalanan
dari Makassar.

Hutan Desa ini dulunya adalah hutan lindung namun kemudian


dialihfungsikan sebagai hutan desa melalui skema Perhutanan Sosial.
seluas 23,68 ha ini dikelola oleh Bummas (Badan Usaha Milik
Masayarakat) Babang Tangaya. Dimana kebijakan mengenai hutan
desa diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
P.89/Menhut-II/2014.Pemegang ijin pengelola hutan desa adalah
suatu lembaga pengelola yang dibentuk melalui Peraturan Desa
(Perdes). Bummas Babang Tangaya dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang Lembaga
Pengelola Hutan Desa Campaga. Sementara itu penetapan Hutan
Desa Campaga ditetapkan melalui surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 55 tahun 2010 tentang Hutan Desa di Kabupaten
Bantaeng.

Oleh masyarakat sekitar, hutan ini dikenal dengan nama Hutan


Borong Lompoa yang artinya Hutan Besar. Hutan ini relatif terjaga,
karena menurut cerita masyarakat, Hutan Borong Lompoa adalah

11
hutan keramat yang tidak boleh ada aktivitas penebangandi
dalamnya. Dalam konteks ini, hutan desa borong lompoa menjadi
menarik untuk dikaji, terutama guna untuk memahami model
pelestarian hutan yang dilakukan di kawasan hutan tersebut.
Lestarinya hutan desa borung lompoa, diasumsikan terkait dengan
pelibatan yang intensif oleh masyarakat yang memiliki keyakinan kuat
dengan mitos yang ada di dalam masyarakatnya.

Diperkirakan juga masyarakat sangat percaya bahwa mitos


yang merupakan warisan budaya leluhur mengandung nilai kearifan
lokal atau (local wisdom), yang perlu diwariskan dari generasi ke
generasi, dan jumlah penting artinya dalam pelestarian hutan. Hal ini
juga sejalan dengan fungsi mitos menurut Wilkinson dan Philip (2007)
bahwa mitos mengatur aktivitas sehari-hari manusia baik disadari
maupun tidak, dan mitos juga mejadi cetakan atau template mengenai
apa yang baik dan buruk di suatu masyarakat. Walaupun mitos selalu
berkembang, nilai-nilai inti yang disampaikan selalu sama dan berupa
pedoman agar manusia dapat survive di lokasi atau situasi tertentu.

Sebelum ditetapkan sebagai Hutan Desa pada 2010 lalu


sesuai surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55 tahun 2010
tentang Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng, hutan Campaga telah
dikelola warga meski dengan sembunyi-sembunyi. Warga tak bisa
menebang kayu di dalamnya atau sekedar mengambil buah atau
madu tak khawatir dikejar Polisi Hutan. Aturan pihak kehutanan
sangat ketat, bahkan kayu yang tumbang sendiri pun tak boleh
diambil. Menurut Rahman, peralihan hutan Campaga menjadi Hutan
Desa memberi berkah tersendiri bagi warga. Meski pengelolaannya
kini diberikan kepada warga namun tetap terjaga dengan baik.
Apalagi warga setempat sendiri meyakini hutan tersebut adalah hutan
keramat yang tak boleh dijarah seenaknya. Kencing di aliran sungai
pun tak dibolehkan. Masyarakat sekitar kawasan hutan, yang
mendukung pelestarian masing-masing kawasan hutan desa ini juga
sangat yakin bahwa mitos memiliki relasi dan korelasi yang kuat
dalam menjaga kelestarian hutan. Oleh karena itu, berkat keyakinan
pada mitos itulah masyarakat tergerak kesadarannya untuk
menunjukkan sikap bersahabat dengan kehidupan. Dengan 

12
keyakinan  pada  mitos  itu,  masyarakat  adat  memahami  bahwa 
hutan  yang  berupa  gugusan  pohon-pohon besar  dan kecil diyakini 
memiliki jiwa dan dapat memberi perlindungan kepada manusia.

Gambar 2.3 Papan Nama Hutan Desa Gambar 2.4 Das Biangloe Hutan Desa
Campaga Campaga

C. Kesimpulan

Kabupaten Bantaeng terdiri dari 8 wilayah kecamatan yang


terbagimenjadi 46 desa dan 21 kelurahan, yaitu: Kecamatan Bissappu
(4 desa dan 7 kelurahan), Uluere (6 desa), Sinoa (6 desa), Bantaeng
(1 desa dan 8 kelurahan), Eremerasa (9 desa), Tompobulu (6 desa
dan 4 kelurahan), Pajjukukang (10 desa), dan Gantarangkeke (4 desa
dan 2 kelurahan). Kabupaten Bantaeng memiliki kekayaan sumber
daya hutan yang relatif kecil dibanding kabupaten lain di Sulawesi
Selatan, yakni hanya 0,2% dari total kawasan hutan Sulawesi
Selatan. Namun demikian, kawasan hutan tersebut mempunyai arti
penting bagi masyarakat Kabupaten Bantaeng dan wilayah-wilayah di
sekitarnya karena dari sekitar 6.222 ha luas kawasan hutan
Kabupaten Bantaeng, terdapat kawasan hutan lindung yang
mempunyai fungsi hidroorologis penting seluas 2.773 ha atau sekitar
44,6%. Namun demikian, setelah dilakukan diskusi informal beberapa
kali dengan masyarakat, sudah dapat ditemukan kesepamahan awal
bahwa pembangunan Hutan Desa adalah kebutuhan masyarakat
untuk mendapatkan hak pengelolan kawasan hutan secara legal,
mengelola kawasan hutan secara terencana dan berkelanjutan, serta
13
mendapatkan manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraan rumah
tangga petani dan kesejahteraan desa (Supratman dan Sahide,
2010). Hutan desa Campaga Mengacu pada penjelasan pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, disebutkan hutan desa
adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa. Diperkirakan juga masyarakat sangat percaya
bahwa mitos hutan keramat menjadikan hutan desa Campaga ini
masih terjaga.

14
Daftra Pustaka
Angelin, Mia. 2015. Mitos dan Budaya. Jakarta Barat: Universitas
BINUS.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
P.89/Menhut-II/2014 tentang Kebijakan Mengenai Hutan Desa.
PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dan UU No. 41
Tahun 1999 Tentang Hutan Lindung
Supratman dan Sahid, M.A.K. 2010. Pembangunan Hutan Desa di
Kabupaten Bantaeng: Konsep, Proses, dan Refleksi.
Makassar.RECOFT
Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang
Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.55/Menhut-II/2010 tentang
Penetapan Kawasan Hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa pada
Hutan Lindung Seluas 345 Hektar Terletak Dalam Wilayah
Adminisrasi Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan.
Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Wilkinson, P., & Philip, N. (2007). Mythology. London: Dorling
Kindersley.

15
BAB 3

Pengolahan Konservasi Hutan Desa Campaga berbasis


Kearifan Lokal

A. Pengertian dan Fungsi Hutan Konservasi

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh


pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan- kawasan semacam ini
terdapat di wilayah- wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai
penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink ), habitat hewan,
modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah , dan merupakan
salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting. Berdasarkan
Pasal 2, Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang- Undang, menyatakan
bahwa : “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan”.

Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang- Undang Nomor 19


Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas
Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang- Undang, di tentukan empat jenis hutan, yaitu berdasarkan
statusnya, fungsinya, tujuan khusus , dan pengaturan iklim mikro,
estetika dan resapan air. Keempat jenis hutan itu dikemukakan
sebagai berikut :

a. Hutan berdasarkan statusnya ( pasal 5, Undang- Undang


Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Hutan berdasarakan statusnya adalah suatu pembagian hutan
yang didasarkan pada status ( kedudukan ) antara orang, badan
hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan

16
perlindungan terhadap hutan tersebut. Hutan berdasarkan statusnya
di bagi dua macam, yaitu :
1) Hutan Hak, adalah hutan yang berada pada tanah yang di
bebani hak atas tanah (Pasal 5, Undang- Undang Nomor 41
Tahun 1999).
2) Hutan Negara, adalah hutan yang berada pada tanah yang
tidak dibebani hak keatas tanah. Yang termasuk dalam
kulifikasi hutan negara yaitu :
a) Hutan adat, adalah hutan negara yang diserahkan
pengelolaanya kepada masyarakat hukum
adat( rechtgemeenschap).
b) Hutan desa, adalah hutan negara yang dikelola oleh
desa dan di manfaatkan untuk kesejateraan desa.
c) Hutan Kemasyarakatan, adalah hutan negara yang
pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat.
b. Hutan berdasasarkan fungsinya ( Pasal 6 sampai dengan
Pasal 7 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi
Undang- Undang). Hutan berdasarkan fungsinya adalah
penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaanya.
Hutan ini dapat di golongkan menjadi tiga macam, di
antraranya :
1) Hutan konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari tiga macam
antara lain :
a) Kawasan hutan suaka alam, adalah hutan dengan ciri
khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai
pengawassan pengawetan keankekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.
b) Kawasan hutan pelestarian alam, adalah hutan
dengan ciri khas yang tertent yang mempunyai fungsi

17
pokokperlindungan sistem penyangga penghidupan
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
c) Taman buru, adalah kawasan hutan yang di tetapkan
sebagai tempat wisata berburu.
2) Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.
3) Hutan produksi, adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
c. Hutan berdasarkan tujuan khusus

Yaitu penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan


pengembangan, pendidika, dan latihan, serta untuk kepentingan religi
dan budaya setempat ( Pasal 8, Undang- Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
Undang). Syaratnya tidak merubah fungsi pokok kawasan hutan. d.
Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air
di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Hutan
kota adalah hutan yang berfungsi sebagai resapan air ( pasal 9,
Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang- Undang).

Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan, hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan hutan
dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Ada tiga
tujuan utama dalam kegiatan konservasi yaitu perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan. Hutan konservasi sebagai
perlindungan artinya berupaya melindungi peranan keanekaragaman
hayati sebagai sistem penyangga kehidupan. Hutan konservasi
sebagai pelestarian artinya melestarikan keanekaragaman hayati
18
yang ada dan mencegahnya dari kepunahan, sedangkan hutan
konservasi sebagai pemanfaatan artinya memanfaatkan dengan
bijaksana dan bertanggungjawab keanekaragaman hayati yang telah
ada. Payung hukum yang mengatur segala kegiatan pada Hutan
Konservasi di Indonesia adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Peraturan ini disahkan pada tanggal 10 Agustus 1990 oleh Presiden
RI Kedua kala itu yaitu Soeharto. Di dalamnya terdapat 14 Bab dan
45 Pasal yang mengatur tentang perlindungan, pemanfaatan,
pelestarian, peran serta masyarakat, kawasan-kawasan konservasi,
dan ketentuan pidana (Rimba,2019).

B. Pengertian Pengelolaan Hutan

Pengelolaan hutan merupakan kegiatan kehutanan yang


mencakup kegiatan merencanakan, menggunakan, memanfaatkan,
melindungi, rehabilitasi serta mengembalikan ekosistem hutan yang
didasarkan pada fungsi dan status suatu kawasan hutan
(Namri,2014). Pengelolaan hutan pada kawasan hutan lindung dan
kawasan konservasi lebih berorientasi pada bagaimana menjadikan
ekosistem hutan tetap terjaga tanpa melakukan kegiatan produksi
atau penebangan pohon di dalam hutan. Sedangkan pengelolaan
hutan pada kawasan produksi lebih mengedepankan pemanfaatan
hasil hutan dengan tetap melakukan kewajiban untuk mengembalikan
ekosistem hutan tetap lestari.
Menurut Helms (1998), pengelolaan hutan (forest
management) adalah praktek penerapan prinsip-prinsip dalam bidang
biologi, fisika, kimia, analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial
dan analisis kebijakan dalam rangkaian kegiatan membangun atau
meregenerasikan, membina, memanfaatkan dan mengkonservasikan
hutan untuk mendapatkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan,
dengan tetap mempertahankan produktivitas dan kualitas hutan.
Pengelolaan hutan mencakup pengelolaan terhadap keindahan
(aesthetics), ikan dan fauna air lain pada sungai-sungai di dalam
hutan, rekreasi, nilai-nilai dan fungsi-fungsi hutan untuk wilayah
perkotaan, air, hidupan liar, kayu dan hasil hutan bukan kayu lainnya,

19
serta berbagai nilai lain yang termasuk dalam kelompok sumberdaya
hutan.
Pengelolan hutan mengandung arti penanganan hutan dengan
fungsi tertentu yaitu pengelolaan hutan lindung, pengelolaan hutan
produksi dan pengelolaan hutan konservasi serta yang lebih khusus
lagi adalah pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan
hutan (management unit) tertentu.
Pengelolaan hutan oleh negara yang diserahkan haknya
kepada pengusaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara dalam
bentuk Hak pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri
(HTI), dinilai gagal oleh banyak pihak. Hakekatnya memberi
pemasukan negara, namun lebih menguntungkan pihak pengusaha
dan oknum-oknum tertentu di pemerintahan. Masyarakat di sekitar
hutan seakan tidak berdaya dan harus menanggung beban kerusakan
hutan dan lingkungan yang tidak kunjung pulih. Sementara itu
desakan untuk melaksanakan otonomi sampai tingkat desa terus
digelindingkan. Meskipun secara eksplisit UU No. 22/1999 tidak
menyebutkan desa sebagai daerah otonom, tetapi secara implisit dari
definisi desa yang baru dalam undang undang itu, jelas menyebutkan
desa sebagai kesatuan wilayah hukum yang bisa mengatur dirinya
sendiri (Hardiyanto, 2013).

Gambar 3.1 Konsolidasi Bumdes Tahun 2011

Program hutan desa Kabupaten Bantaeng, merupakan salah


satu wilayah di Indonesia yang pertama kali menerima persetujuan

20
dari pemerintah pusat yaitu pada tahun 2009. Pelaksanaan program
hutan desa selain melibatkan pemerintah juga perguruan tinggi
(Universitas Hasanuddin) dan RECOFTC (Regional Community
Forestry Training Centre for Asia and Pacific) yang merupakan
organisasi nirlaba internasional yang memiliki kekhususan pada
peningkatan kapasitas kehutanan masyarakat dan pengelolaan hutan
di Kawasan Asia-Pasifik.

Pengelolaan hutan desa pada prinsipnya adalah bagaimana


melibatkan masyarakat di sekitar hutan, agar ikut memperoleh
manfaat dari keberadaan hutan tanpa mengubah fungsi dan status
kawasan hutan tersebut. Menurut Alif dan Supratman (2010)
pembangunan hutan desa dapat memberi kontribusi untuk
pengembangan keamanan mata pencaharian bagi masyarakat yang
memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya hutan, melalui
tanggung jawab dan akuntabilitas yang lebih besar terhadap
kebijakan dan institusi publik dalam penguasaan sumberdaya alam.

Keberadaan hutan desa sangat dirasakan bagi masyarakat


yang bermukim di sekitarnya, hal ini terungkap dari pernyataan
masyarakat saat wawancara bahwa, dengan adanya program hutan
desa masyarakat memiliki keamanan dan kenyamanan dalam
berusahatani. Hanya belum semua masyarakat memiliki kesempatan
untuk memperoleh hak kelola dalam hutan desa karena hal tersebut
dilakukan secara bertahap dan diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan tentang hutan desa yang selanjutnya dijabarkan dalam
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Desa.
Keberadaan hutan desa di Kabupaten Bantaeng juga memberikan
berbagai manfaat antara lain: sebagai penyerap karbon, menjaga
keanekaragaman hayati, menjaga tata air dan menghasilkan berbagai
jenis hasil hutan bukan kayu yang dapat membantu perekonomian
masyarakat terutama yang bermukim di sekitar lokasi tersebut.
Masyarakat sekitar hutan memiliki cara-cara tersendiri baik dalam
mengelola maupun memanfaatkan hasil hutan. Masyarakat sekitar
hutan menggunakan norma adat maupun budaya mereka dalam
mengelola hutan. Budaya tersebut telah secara turuntemurun
digunakan dan dilaksanakan oleh nenek moyang mereka dalam
menjaga lingkungan mereka yang disebut dengan kearifan lokal.
Menurut Nababan (1995) kearifan lokal terbentuk karena adanya

21
hubungan antara masyarakat tradisional dengan ekosistem
disekitarnya, yang memiliki kepercayaan, hukum dan pranata adat,
pengetahuan dan cara mengelola sumberdaya alam secara lokal.
Pada masyarakat tradisional apabila terjadi pelanggaran terhadap
adat istiadat, maka perasaan bersalah akan selalu menghantuinya.
Sahlan (2009) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa masyarakat
lokal memiliki kearifan lokal yang mengedepankan prinsip
keseimbangan dan keberlanjutan hutan, yang dapat mendorong
warganya terlibat secara sukarela dan kolektif dalam melestarikan
hutan kemasyarakatan di sekitarnya.

C. Konservasi Berbasis Kearifan Lokal

Kajian kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan hutan


menjadi topik bahasan menarik dibicarakan baik pada tingkat lokal,
nasional dan global (Chomitz dan kawan-kawan, 2007 ; Lynch dan
Talbott, 2001 ; Suharjito D dan Saputro E, 2008 ; Undri dan Efrianto,
2015). Sebab disatu sisi masyarakat mempunyai kearifan lokal,
terutama dalam pengelolaan hutan tersebut (Awang, 2004), serta
disisi lain ternyata masih banyak kearifan lokal yang tersebar di
seluruh pelosok Indonesia yang menopang akan keberlangsungan
pengelolaan hutan tersebut (Suharjito dan kawan-kawan, 2000;
Suyanto dan kawan-kawan, 2001). Hal ini berkaitan dengan
kegagalan pengelolaan hutan yang dikembangkan selama ini yang
menyebabkan kerusakan ekologi, kemiskinan dan kehancuran sistem
budaya masyarakat. Kemudian, semakin menipisnya sumber daya
alam, keprihatinan terhadap peningkatan intensitas kerusakan
sumberdaya alam khususnya hutan sebagai akibat berbagai faktor
perilaku manusia, kepunahan pengetahuan yang menjadi basis
adaptasi berbagai komunitas lokal, serta tekanan ekonomi yang
makin menglobal mempengaruhi kehidupan masyarakat sehingga
kearifan lokal mengalami pelunturan sebagai penyangga sosial (social
buffer) bagi upaya kelestarian sumberdaya alam (Marfai, 2013).

Kedekatan manusia secara fisik dan emosional dengan


lingkungan sumberdaya alam khusus hutan, serta terjadinya interaksi
dalam suatu sistem yang menghasilkan proses saling berkaitan saling
memberi dan mengambil kemanfaatan satu dengan yang lainnya
dalam kurun waktu yang telah lama, melahirkan pemahaman dan

22
pengetahuan tentang lingkungannya. Hasil proses interaksi yang
menghasilkan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam
dengan didasari saling ketergantungan tersebut telah mendorong
manusia menemukan bentuk penyikapan terhadap alam dan
lingkungan yang paling ideal. Dalam tataran ini manusia menemukan
apa yang disebut dengan kearifan lokal tersebut, terutama terkait
dengan penyikapan manusia dengan alam serta pola adaptasi dan
proses interaksi mereka.

Kearifan lokal memiliki dimesi sosial dan budaya yang kuat,


karena memang lahir dari aktivitas perlakuan berpola manusia dalam
kehidupan bermasyarakat. Kearifan lokal dapat menjelma dalam
berbagai bentuk seperti ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan
dalam ranah kebudayaan, sedangkan dalam kehidupan sosial dapat
berupa sistem religius, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi
dan peralatan (Koentjaraningrat, 1964).

Pengidentifikasian kearifan lokal masyarakat pedesaan harus


lebih difokuskan pada permasalahan dalam sistem mata pencaharian
hidup yang memiliki isu global dan sekaligus mempunyai pengaruh
yang sangat besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat
pedesaan. Daerah yang memiliki potensi kearifan lokal dalam bidang
pertanian dan masyarakat masih tetap memiliki pengetahuan dan
kearifan lokal dan masih tetap eksis dan belum mengalami pelunturan
dan sebagai penyangga sosial (social buffer) bagi upaya konservasi
dan kelestarian sumber daya alam khususnya dalam bidang pertanian
sangat tepat menjadi fokus perhatian pengkajian ini. Upaya
konservasi dan kelestarian sumber daya alam khususnya dalam
bidang pertanian yang berdasarkan kearifan lokal saat ini menjadi isu
lingkungan yang hangat dalam tataran masyarakat internasional dan
memiliki korelasi yang signifikan dengan penyelamatan lingkungan
masyarakat setempat. Beberapa kajian akademik seperti Santoso
(2006) menjelaskan bahwa sekarang eksistensi kearifan lokal
dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat.
Salah satu kelompok masyarakat yang paling rawan mengalami
pelunturan kearifan lokal adalah masyarakat pedesaan, yang
semestinya sebagai penyangga sosial (social buffer) bagi upaya

23
konservasi dan kelestarian sumber daya alam khususnya dalam
bidang pertanian.

Kearifan lokal itu sendiri merupakan modal utama masyarakat


dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif
dengan lingkungan alam sekitarnya. Kearifan lokal dibangun dari nilai-
nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri
dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu
untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat
berhubungan dengan sesama maupun dengan alam. Sekarang
eksistensi kearifan lokal dirasakan semakin memudar pada berbagai
kelompok masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat yang paling
rawan mengalami pelunturan kearifan lokal adalah masyarakat
pedesaan, yang semestinya sebagai penyangga sosial (social buffer)
bagi upaya konservasi dan kelestarian sumber daya alam khususnya
dalam bidang pengelolaan hutan.

Salah satu masyarakat yang masih mempertahankan kearifan


lokal dalam pengelolaan hutan yakni masyarakat Desa campaga
dalam melestarikan hutan. Hutan Desa Campaga adalah kawasan
hutan lindung yang terletak di Kelurahan Campaga, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Hutan yang
memiliki luas 23,68 hektar ini terletak ditengah perkampungan warga
yang dibelah jalan aspal. Dulunya hutan ini merupakan hutan lindung
namun dialihfungsikan sebagai hutan desa melalui skema Perhutanan
Sosial. (Wahyu Chandra,2020)

Hutan Desa Campaga dikelola oleh Bummas (Badan Usaha


Milik Masayarakat) Babang Tangaya. Bummas Babang Tangaya
dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05
tahun 2010 tentang Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.
Sementara itu penetapan Hutan Desa Campaga ditetapkan melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55 tahun 2010 tentang
Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng.

24
Gambar 3.2 Hutan Desa Campaga

Masyarakat sekitar menyebut hutan ini dengan nama Hutan


Borong Lompoa yang artinya Hutan Besar. Hutan ini relatif terjaga
karena aturan pihak kehutanan sangat ketat, bahkan kayu yang rebah
sendiri pun tak boleh diambil. Warga tak dapat menebang kayu di
dalamnya ataupun sekedar mengambil buah atau madu dikarena
khawatir dikejar Polisi Hutan. Selain itu, menurut cerita masyarakat,
Hutan Borong Lompoa adalah hutan keramat yang tidak boleh ada
aktivitas penebangan di dalamnya.
Terdapat satu lokasi di dalam Hutan Borong Lompoa yang
dikeramatkan oleh warga sekitar. Di lokasi tersebut sebuah batu yang
biasanya dijadikan tempat menaruh sesajen usai panen. Batu
tersebut bernama Babang Tangaya yang artinya batu yang terletak di
tengah-tengah.
Batu Babang Tangaya merupakan penanda batas wilayah dua
orang yang berkuasa di Hutan Borong Lompoa pada zaman dulu.
Konon, hutan di Campaga dikuasai oleh dua orang yang di kemudian
terlibat perselisihan. Perselisihan tersebut kemudian didamaikan oleh
seorang pendamai yang dikenal dengan Petta Lanre Daeng
Massenga. Petta Lanre Daeng Massenga kemudian memindahkan
sebuah batu ke tengah-tengah hutan sebagai tanda batas wilayah.
Menurut laman balang.org, penduduk Campaga dan sekitarnya juga
percaya bahwa Babang Tangaya juga ditempati oleh makhluk
berambut panjang.
Keberadaan mitos hutan keramat di Hutan Campaga menjadi
salah satu alasan hutan ini masih sangat terjaga dengan baik.
Larangan penebangan pohon di dalamnya masih dipatuhi masyarakat

25
hingga saat ini. Bahkan pohon-pohon yang tumbangpun tak tersentuh
dan masih nampak di dalamnya. Pemerintah kabupaten Bantaeng
yaitu Dinas Pertanian dan Peternakan sendiri telah mengeluarkan
peraturan pengenai larangan-larangan yang diatur dalam Perda Irgasi
Kabupaten Bantaeng nomor 4 tahun 2012 pasal 71.

Gambar 3.3 Papan Larangan yang Berbatasan dengan


Hutan Campaga

Masih banyak pohon besar yang bisa ditemui di dalam hutan


tersebut. Beberapa jenis pohon yang bisa ditemui di hutan di
antaranya adalah binuang (Octomeles sumatrana), kaloa/pangi
(Pangium edule), suren (Toona sureni), kemiri (Aleurites moluccana),
dan campaga/meranti merah (shorea spp).
Hutan Desa Campaga sendiri kaya akan keanekaragaman
hayati. Hasil identifikasi yang dilakukan LPHD bersama Balang
Institute dan Article 33 menemukan terdapat sekitar 30 jenis hasil
hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan warga. Paling banyak
ditemukan adalah buah pangi, kemiri, akar kayu tertentu, madu,
rambutan, dan lain-lain. Terdapat juga sejumlah satwa yang dilindungi
seperti tarsius, anoa, beruang Sulawesi dan monyet.
Dalam kawasan Hutan Campaga terdapat dua mata air besar
yang mampu mengairi sawah sekitar 500 hektar dan memberikan
kontribusi sekitar 15% kebutuhan air bagi PDAM Bantaeng. Selain
menjadi sumber air, Hutan Campaga juga menjadi sumber mata
pencaharian bagi masyarakat setempat. Masyarakat setempat
26
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa pemungutan buah
pangi dan buah kemiri sebagai sumber penghasilan tambahan
keluarga.
Keberadaan LPHD ini sendiri mendapat dukungan dari
pemerintahan kelurahan dengan memberi kewenangan penuh
pengelolaan hutan kepada LPHD. Pemerintahan kelurahan hanya
melakukan pengawasan saja. LPHD kemudian membuat sejumlah
aturan bagaimana mengelola hutan dan pemanfaatan potensi-potensi
hutan agar bisa memberi bagi masyarakat sekitar.
Pengelolaan Hutan Desa di Kelurahan Campaga ini juga
mengakomodir keberadaan perempuan yang bahkan berperan aktif
dalam berbagai program ataupun kegiatan kelompok. Mereka juga
dilibatkan dalam program strategis yang sedang digagas berupa
pemanfaatan hutan desa sebagai hutan wisata dan Pendidikan.

Gambar 3.4 Petani Perempuan yang sedang


Memanen Kacang di Sekitar Kawasan Hutan Desa
Campaga

Rencana menjadikan Hutan Desa Campaga sebagai kawasan


wisata dan pendidikan mendapat sambutan antusiasme dari warga,
tidak hanya terkait manfaat ekonomi yang akan diperoleh namun juga
memberi pemahaman bagi generasi muda pentingnya menjaga hutan
untuk keberlanjutan kehidupan.

27
Gambar 3.5 Wisata Lebah Desa Campaga

D. Kesimpulan

Berdasarkan Pasal 2, Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004


tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
Undang, menyatakan bahwa : “Hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Menurut Helms (1998), pengelolaan hutan (forest
management) adalah praktek penerapan prinsip-prinsip dalam bidang
biologi, fisika, kimia, analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial
dan analisis kebijakan dalam rangkaian kegiatan membangun atau
meregenerasikan, membina, memanfaatkan dan mengkonservasikan
hutan untuk mendapatkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan,
dengan tetap mempertahankan produktivitas dan kualitas hutan.
Pengelolan hutan mengandung arti penanganan hutan dengan fungsi
tertentu yaitu pengelolaan hutan lindung, pengelolaan hutan produksi
dan pengelolaan hutan konservasi serta yang lebih khusus lagi
adalah pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan
(management unit) tertentu. Pengelolaan hutan desa pada prinsipnya
adalah bagaimana melibatkan masyarakat di sekitar hutan, agar ikut
memperoleh manfaat dari keberadaan hutan tanpa mengubah fungsi
dan status kawasan hutan tersebut. Hanya belum semua masyarakat

28
memiliki kesempatan untuk memperoleh hak kelola dalam hutan desa
karena hal tersebut dilakukan secara bertahap dan diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan tentang hutan desa yang selanjutnya
dijabarkan dalam Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan
Peraturan Desa.
Daerah yang memiliki potensi kearifan lokal dalam bidang
pertanian dan masyarakat masih tetap memiliki pengetahuan dan
kearifan lokal dan masih tetap eksis dan belum mengalami pelunturan
dan sebagai penyangga sosial (social buffer) bagi upaya konservasi
dan kelestarian sumber daya alam khususnya dalam bidang pertanian
sangat tepat menjadi fokus perhatian pengkajian ini. Upaya
konservasi dan kelestarian sumber daya alam khususnya dalam
bidang pertanian yang berdasarkan kearifan lokal saat ini menjadi isu
lingkungan yang hangat dalam tataran masyarakat internasional dan
memiliki korelasi yang signifikan dengan penyelamatan lingkungan
masyarakat setempat. Masyarakat sekitar menyebut hutan ini dengan
nama Hutan Borong Lompoa yang artinya Hutan Besar. Keberadaan
mitos hutan keramat di Hutan Campaga menjadi salah satu alasan
hutan ini masih sangat terjaga dengan baik.Hasil identifikasi yang
dilakukan LPHD (Lembaga Pengelolaan Hutan Desa) bersama
Balang Institute dan Article 33 menemukan terdapat sekitar 30 jenis
hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan warga.

29
Daftar Pustaka
Alif dan Supratman. 2010. Pembangunan Hutan Desa di Kabupaten
Bantaeng. Fakultas Kehutanan UNKAR Makassar.
Awang, S.A. 2004. Dekontsruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat
dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta : BIGRAF Publishing.
Chandra, Wahyu. 2020. Hutan Desa Campaga yang Dijaga Tradisi
dan Hidupi Warga Sekitar Hutan. Bantaeng: MONGABAY SITUS
BERITA LINGKUNGAN.
(https://www.mongabay.co.id/2020/11/15/hutan-desa-campaga-
yang-dijaga-tradisi-dan-hidupi-warga-sekitar-hutan/), diakses pada
4 November 2021

Hardiyanto, G. 2013. Idealita dan realita pengelolaan hutan desa di


Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Yayasan Damar. Yogyakarta.

Helms, J.A. (ed.). 1998. The Dictionary of Forestry. The American


Foresters, The CABI Publ. Bethesda. Amerika Serikat
Koentjaraningrat, 1964. Masyarakat Desa Masa Kini. Jakarta : Balai
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Marfai, Aris, M. 2013. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan
Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nababan, 1995. Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian
Lingkungan. (Studi Kasus yang Dilakukan di empat Propinsi
Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur).
Jakarta : Jurnal Analisis CSIS.
Namri. 2014. Materi Pengelolaan Hutan. Makassar: Nangry Authors.
( http://namrinangry.blogspot.com/2014/05/materi-pengelolaan-
hutan.html), diakses pada 4 Novemver 2021

Perda Irgasi Kabupaten Bantaeng nomor 4 tahun 2012 pasal 71.


Sahlan, Mr. 2004. Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang
Dalam Mengkonservsi Hutan di Provinsi Sulawesi Tengah.Mimbar
Hutan 24(2).187.375
Santoso 2006. Ekosistem Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan
Dalam Memelihara Kelestarian Ekositem Sumbe Daya Hutan.

30
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3. Universitas
Jenderal Sudirman. Porwokerto.
Suharjito D., Khan Azis, Djatmiko WA., Sirait MT., Evelyna S. 2000.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta : Kerjasama
FKMM-Ford Foundation, Adityamedia
Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang
Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55 tahun 2010 tentang


Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng.
Suyanto S., Rizki P. Purnama, Djoko Setiono dan Graham Aplegat.
2001. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Aktivitas
Sosial Ekonomi Masyarakat dalam Kaitannya dengan Penyebab
dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Prosiding
Akar Penyebab Dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di
Sumatera, ICRAF. Penerbit :CV Dewi Sri Jaya. Bogor.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-
Undang.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Undri. 2016. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di
Desa Tabala Jaya Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Banyuasin
Propinsi Sumatera Selatan.Sumatera:Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sumatera Barat.
(https://media.neliti.com/media/publications/317143-kearifan-lokal-
masyarakat-dalam-pengelol-508e081d.pdf ), diakses tanggal 4
November 2021.

31
BAB 4

Mitos Yang Hidup dan Diyakini Masyarakat Sekitar


Kawasan Hutan Desa Campaga

A. Pengertian Mitos

Mitos yaitu sesuatu hal yang dipercayai oleh sebagian orang,


biasa dipakai untuk menakut-nakuti, memberi peringatan, ataupun
diceritakan secara berkelanjutan. Semua mitos yang ada di dunia,
merupakan mitos yang telah ada sejak zaman nenek moyang,
dikarenakan cerita yang terus bergulir, atau bisa saja sesuatu mitos
berubah dikarenakan zaman yang terus berkembang. Pengertian
mitos yang ada di dalam buku Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik,
yaitu:

“persamaan mitos di berbagai tempat bukan disebabkan difusi


(penyebaran) melainkan disebabkan penemuan-penemuan yang
berdiri sendiri. Mitos-mitos itu dapat mirip satu sama lain, karena
adanya yang disebut Carl Jung sebagai kesadaran bersama yang
terpendam pada setiap umat manusia yang diwarisinya secara
biologis.” (Rafiek, 2010)

Jadi secara sadar atau tidak mitos yang sampai sekarang masih juga
dipercayai merupakan mitos yang telah ada sedari dulu dan
berkembang. Maka hal tersebut menjadi sesuatu yang dipercayai
bersama.

Pengetian mitos juga diterangkan oleh Audifax di dalam


bukunya yang berjudul Mite Harry Potter: Psikosemiotika dan Misteri
Simbol di Balik Kisah Harry Potter, dengan menerangkan perbedaan
antara mitos, cerita rakyat dan juga legenda. Dapat dilihat dari
sumber di bawah:

“Mitos di dalam bukunya berarti cerita dari masa lalu. Mitos


menjelaskan esensi kehidupan dan dunia; atau

32
mengekspresikan adanya nilai moral budaya dalam kehidupan
manusia. Mitos memberi perhatian pada kekuatan yang
mengontrol kehidupan manusia dan relasi antara kekuatan
tersebut dengan keberadaan manusia. Meski mitos kerap
memiliki nilai religi dalam bentuk dan fungsinya, namun mitos
ditengarai merupakan bentuk awal dari sejarah, sains, atau
filsafat.” (Audifax, 2005)

Mitos memang berbeda dengan cerita rakyat atau folklore juga


dengan legenda, karena mitos tidak hanya merupakan sebuah cerita,
tapi juga dipercayai adanya, dan hal itu bisa jadi berubah sesuai
zamannya.

Mitos adalah kepercayaan yang terdapat di dalam masyarakat.


Menurut Hari Susanto (2000), mitos merupakan hasil pemikiran
intelektual dan bukan hasil logika; ia merupakan orientasi spiritual.
Barthes (2003) menjelaskan bahwa mitos termasuk dalam sistem
komunikasi. Dengan demikian, ia merupakan sebuah pesan dan tidak
mungkin dapat menjadi sebuah objek atau sebuah konsep, bahkan
sebuah ide. Mitos adalah sebuah model penandaan, yakni sebuah
bentuk. Di dalam kehidupan masyarakat modern saat ini masih
banyak yang mempercayai adanya mitos. Sesungguhnya sebuah
mitos dibangun memiliki tujuan tertentu. Mitos yang berkembang
dalam lingkungan masyarakat ada yang diarahkan untuk tujuan-
tujuan positif. Contohnya adalah mitos yang dapat digunakan untuk
menjaga kearifan lokal. Biasanya mitos-mitos tersebut berkaitan
dengan wilayah-wilayah konservasi, kawasan hutan lindung, dan
wilayah-wilayah pariwisata.

Mitos berasal dari bahasa Yunani muthos yang berarti dari


mulut ke mulut, atau dengan kata lain cerita informal suatu suku yang
diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Christensen,
2008). Mitos dipercaya ampuh oleh masyarakat karena mitos telah
ditanamkan sejak awal oleh para nenek moyang dan akan selalu
dipercaya meskipun zaman telah berubah. Kepercayaan terhadap
mitos membentuk pola pikir manusia dan bahkan nilai-nilai dalam
organisasi. Dampak mitos dalam kehidupan masyarakat tergantung

33
bagaimana kondisi masyarakat di daerah tersebut. Apabila
masyarakat di daerah tersebut mayoritas masih tradisional atau
bersifat konservatif maka mitos akan cepat berkembang dan di
percaya oleh masyarakat. Namun apabila sebagian besar masyarakat
dalam daerah tersebut adalah masyarakat yang berfikiran modern
maka akan sulit menerima apalagi mempercayai mitos-mitos tersebut.
Padahal seperti yang sudah di paparkan di atas, bahwa sebenarnya
mitos memiliki fungsi atau keguanaan positif seperti salah satu
contohnya adalah untuk menjaga kearifan lokal.

B. Asal Mula Mitos Hutan Keramat

Gambar 4.1 Hutan Keramat di Kalimantan Barat yang dijadikan


Area Konservasi Salah Satu Perusahaan HTI/Dok

Hutan ini relatif terjaga, karena menurut cerita masyarakat,


Hutan Borong Lompoa adalah hutan keramat yang tidak boleh ada
aktivitas penebangan di dalamnya.Terdapat satu lokasi di dalam
Hutan Borong Lompoa yang dikeramatkan oleh warga sekitar. Di
lokasi tersebut ada sebuah batu yang sering dijadikan tempat
menaruh sesajen usai panen. Batu tersebut bernama Babang
Tangaya yang artinya batu yang terletak di tengah-tengah (Fentie
Jullianti Salaka,2020)

34
Batu Babang Tangaya merupakan penanda batas wilayah dua
orang yang berkuasa di Hutan Borong Lompoa pada zaman dulu.
Konon, hutan di Campaga dikuasai oleh dua orang yang di kemudian
terlibat perselisihan. Perselisihan tersebut kemudian didamaikan oleh
seorang pendamai yang dikenal dengan Petta Lanre Daeng
Massenga. Petta Lanre Daeng Massenga kemudian memindahkan
sebuah batu ke tengah-tengah hutan sebagai tanda batas wilayah.

Menurut laman balang.org, penduduk Campaga dan sekitarnya


juga percaya bahwa Babang Tangaya juga ditempati oleh makhluk
berambut panjang. Kisah tersebut bermula ketika seorang pengawal
melihat sosok yang tidak dikenalnya sedang mandi di mata air
Tomboloa. Sosok itu kemudian curiga ada yang memperhatikan
sehingga persembunyi disebuah batu. Kejadian ini terjadi sebelum
Petta Lanre Daeng Massenga memindahkan batu untuk dijadikan
batas wilayah kekuasaan di Hutan Campaga.

Cerita lokal yang berkembang di masyarakat Campaga adalah


salah satu dari kearifan lokal yang berkembang di Indonesia.
Keberadaan mitos hutan keramat di Hutan Campaga menjadi salah
satu alasan hutan ini masih sangat terjaga dengan baik. Larangan
penebangan pohon di dalamnya masih dipatuhi masyarakat hingga
saat ini. Bahkan pohon-pohon yang tumbangpun tak tersentuh dan
masih nampak di dalamnya.

“Jangankan menebang pohon atau ambil tanaman, kayu yang rebah


sendiri pun tak boleh diambil. Meski ada juga warga yang masuk
sembunyi-sembunyi, kucing-kucingan dengan Polhut. Kalau ketahuan
langsung dibawa ke kantor Polhut,” ungkap Abdul Rahman, ketua
Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Campaga kepada
Mongabay pertengahan Agustus 2020 silam.

Menurut Rahman (2007), peralihan hutan Campaga menjadi


Hutan Desa memberi berkah tersendiri bagi warga. Meski
pengelolaannya kini diberikan kepada warga namun tetap terjaga
dengan baik. Apalagi warga setempat sendiri meyakini hutan tersebut
adalah hutan keramat yang tak boleh dijarah seenaknya. Kencing di

35
aliran sungai pun tak dibolehkan. Sejumlah tradisi dan ritual masih
dilakukan di kawasan hutan.

“Kalau ada yang menjarah hutan bisa kena masalah. Bisa sakit,
hidupnya susah, dan bahkan bisa meninggal. Pernah ada kejadian
seperti itu, makanya warga takut menebang kayu ataupun berburu di
dalam hutan,” ungkap Rahman.

C. Kesimpulan

Mitos berasal dari bahasa Yunani muthos yang berarti dari


mulut ke mulut, atau dengan kata lain cerita informal suatu suku yang
diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Christensen,
2008).Mitos adalah kepercayaan yang terdapat di dalam masyarakat.
Menurut Hari Susanto (2000), mitos merupakan hasil pemikiran
intelektual dan bukan hasil logika; ia merupakan orientasi spiritual.
Barthes (2003) menjelaskan bahwa mitos termasuk dalam sistem
komunikasi. Dengan demikian, ia merupakan sebuah pesan dan tidak
mungkin dapat menjadi sebuah objek atau sebuah konsep, bahkan
sebuah ide. Di dalam kehidupan masyarakat modern saat ini masih
banyak yang mempercayai adanya mitos. Sesungguhnya sebuah
mitos dibangun memiliki tujuan tertentu.

Hutan ini relatif terjaga, karena menurut cerita masyarakat,


Hutan Borong Lompoa adalah hutan keramat yang tidak boleh ada
aktivitas penebangan di dalamnya.Terdapat satu lokasi di dalam
Hutan Borong Lompoa yang dikeramatkan oleh warga sekitar. Batu
tersebut bernama Babang Tangaya yang artinya batu yang terletak di
tengah-tengah. Konon, hutan di Campaga dikuasai oleh dua orang
yang di kemudian terlibat perselisihan. Cerita lokal yang berkembang
di masyarakat Campaga adalah salah satu dari kearifan lokal yang
berkembang di Indonesia. Keberadaan mitos hutan keramat di Hutan
Campaga menjadi salah satu alasan hutan ini masih sangat terjaga
dengan baik.

36
Daftar Pustaka
Angelin, Mia. 2015. Mitos dan Budaya. Jakarta Barat: Universitas
BINUS.

Audifax. 2005. Mite Harry Potter: Psikosemiotika dan Misteri Simbol di


Balik Kisah Harry Potter. Yogyakarta: Jalasutra.

Barthes, Roland. (2004). Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Chandra, Wahyu. 2020. Hutan Desa Campaga yang Dijaga Tradisi


dan Hidupi Warga Sekitar Hutan. Bantaeng: MONGABAY SITUS
BERITA LINGKUNGAN.
( https://www.mongabay.co.id/2020/11/15/hutan-desa-campaga-yang-
dijaga-tradisi-dan-hidupi-warga-sekitar-hutan/), diakses pada 4
November 2021

Christensen, P. (2008). The "Wild West": The life and death of a myth.
Southwest Review, 310.
Rafiek. 2010. Teori Sastra kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika
Aditama.
Salaka, Fentie Jullianti. 2020. Kearifan Lokal Penjaga Hutan. KABAR
ALAM News & Nature. (https://kabaralam.com/tapak/kearifan-lokal-
penjaga-hutan), diakses tanggal 4 November 2021.

Susanto, Hari. (2000). Mitos Menurut Pengertian Mircea Eliade.


Yogyakarta: Kanisius
Wulansari, Rosalia Ayuning, dan Iqlima Safa Nur. 2018. Reaktualisasi
Mitos Lokal Sebagai Upaya Konservasi Kawasan Hutan Bambu
Lereng Semeru Kabupaten Lumajang. Jawa Timur: PS PBSI FKIP
Universitas Jember.

37
BAB 5

Mitos Merupakan Salahsatu Kearifan Lokal di Indonesia


yang Perlu Dilestarikan
A. Pengertian Kearifan Lokal

Antropolog terkemuka Melville J. Herkovits dan Bronislaw


Malinowski (dalam Dimyati, 2010) mengemukakan bahwa cultural
determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam
masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki
masyarakat itu. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu
yang “superorganic”. Hal ini karena kebudayaan yang turun temurun
lintas generasi. Antropolog lain yaitu E.B. Tylor (1871) dalam Dimyati
(2010) menyatakan bahwa budaya adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
serta berbagai kemampuan lain dan kebiasaan yang diperoleh oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Secara etimologis, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Pada KBBI, lokal berarti setempat,
sedangkan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Sehingga jika
dilihat secara etimologis, kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan
sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Istilah kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh
HG. Quaritch Wales (dalam Budiwiyanto 2006) yang menyebut
kearifan lokal sebagai “local genius” yang berarti sejumlah ciri
kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai
suatu akibat pengalamannya di masa lalu. Yunus (2012) mengartikan
kearifan lokal sebagai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu
dan ditempattempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam
menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut
mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana
pembangunan karakter bangsa.
Pengertian kearifan lokal yang lain dikemukakan oleh Suhartini
(2009) yang menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan suatu
bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan

38
bermasyarakat di suatu tempat atau daerah yang merujuk pada
lokalitas dan komunitas tertentu. Sedangkan Fajarini (2014)
mengartikan kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Negara
(2011) menyatakan bahwa kearifan lokal bukan hanya menyangkut
pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat/lokal tentang
manusia dan bagaimana relasi yang baik diantara manusia,
melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat
kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi diantara
semua, dimana seluruh pengetahuan itu dihayati, dipraktikkan,
diajakkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada di masyarakat menurut
Aulia dan Dharmawan (2010) dapat berupa nilai, norma,
kepercayaan, dan aturanaturan khusus. Bentuk yang bermacam-
macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-
macam pula. Fungsi kearifan lokal tersebut antara lain untuk: (1)
konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2) mengembangkan
sumberdaya manusia; (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan; serta (4) petunjuk tentang petuah, kepercayaan, sastra,
dan pantangan. Selain itu, ditambahkan oleh Sartini (2004) yang
mengemukakan fungsi dan makna kearifan lokal diantaranya: (1)
berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2)
berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia misalnya
berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate; (3)
berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya pada upacara Saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada
pura Panji; (4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan
pantangan; (5) bermakna sosial, misalnya upacara integrasi
komunal/kerabat; (6) bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam
upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur; serta (7) bermakna
politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron
client.
Beberapa definisi kearifan lokal di atas pada dasarnya memiliki
konsep yang sama, dimana kearifan lokal diartikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang berupa nilai, norma, dan aturan-aturan khusus
yang berkembang, ditaati, dan dilaksanakan oleh masyarakat di suatu

39
tempat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pengetahuan-
pengetahuan tersebut bersifat lokal, dapat berbeda antara satu
daerah dengan daerah yang lain, meskipun memiliki makna yang
sama.

B. Mitos Sebagai Salah Satu Kearifan Lokal di Inonesia


Berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup terdapat beberapa pengertian kearifan lokal yang lain.
Pengertian kearifan lokal pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Pada
pasal 2 disebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dilaksanakan berdasarkan beberapa asas yang salah satunya
adalah asas kearifan lokal. Kemudian pada penjelasan Pasal 2 huruf
(l) disebutkan yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah
bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat. Lebih lanjut dalam undang-undang tersebut, pada Pasal
70 ayat (1) disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan
kesempatan yang sama dan seluasluasnya untuk berperan aktif
dalam perlindungan dan pengelolaan hidup yang pada ayat (3e)
disebutkan salah satu peran masyarakat adalah mengembangkan
dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup. Pada hubungannya dengan kehidupan
manusia sebagai bagian dari sistem ekologis, Keraf (2002) dalam
Iskandar (2014) menyatakan istilah kearifan ekologi yang diartikan
sebagai pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta
adat kebiasaan yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis. Pada umumnya, kearifan ekologi tersebut
dimiliki dan disebarluaskan secara kolektif kepada semua anggota
komunitas.
Kearifan lokal suatu daerah bisa muncul dari mitos yang
diyakini oleh masyarakat di daerah tersebut. Mitos lahir dan
berkembang di berbagai daerah di Indonesia sebagai salah satu
wujud masyarakat yang konservatif. Mitos memberikan arah kepada
kelakukan manusia, dan merupakan semacam pedoman untuk
kebijaksanaan manusia. Mitos memberikan gambaran tentang dunia,

40
tentang asal-mulanya, tetapi bukan seperti ilmu sejarah modern.
Ruang dan waktu mitologis hanyalah konteks untuk berbicara tentang
awal dan akhir, atau asalmuasal dan tujuan kehidupan, dan bukan
ruang dan waktu faktual. (Simon, 2006).
Tentunya ada beberapa mitos yang sengaja diciptakan sebagai
upaya menjaga kestabilan lingkungan atau kehidupan manusia.
Dipilihnya mitos sebagai salah satu medianya adalah karena mitos
berasal dari zaman nenek moyang yang sudah dipercaya secara
turun temurun sehingga sebagian masyarakat pasti tunduk dan patuh
terhadap mitos tersebut. Melalui mitos manusia dapat turut serta
mengambil bagian dalam kejadiankejadian di sekitarnya, serta dapat
menanggapi daya-daya kekuatan alam. Hal tersebut harapannya agar
manusia dan alam bisa saling bersahabat, sebab alam merupakan
komponen yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Jika
manusia tidak bisa menjaga kerifan lokal maka keberlangsungan
hidup manusia juga bisa terancam.
C. Model Pelestarian hutan melalui Mitos
Berdasarkan kajian dalam penelitian ini, dapat ditegaskan
kembali bahwa mitos bagi masyarakat pendukungnya dianggap
memiliki fungsi sosial yang sangat besar. Oleh karena itu, dengan
keyakinan pada mitos yang ada dan masih hidup masyarakat jadi
berpedoman pada mitos. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa
mitos memiliki fungsi sosial dalam menggerakkan tindakan sosial
masyarakatnya untuk selalu bertanggung jawab, bersahabat, dan
mendoakan keselamatan, serta kelestarian hutan beserta isinya.
Model yang ditawarkan adalah model pelestarian hutan yang
berdasarkan pada mitos yang diyakini masyarakat kawasan hutan.
Masyarakat yang masih meyakini mitos, menjadi potensi kekuatan
budaya yang turut dapat melestarikan hutan. Model ini tentu saja
perlu dikembangkan di daerah-daerah Indonesia yang memiliki hutan
yang sedang mengalami perusakan.
Jika suatu daerah sudah lama tidak melibatkan masyarakat
adat dalam pelestarian hutan, maka perlu dibangkitkan lagi agar
kekuatan budaya yang ada pada masyarakat adat itu dapat tumbuh
kembali. Hal itu juga dapat dikatakan bahwa kerusakan hutan terjadi
pada masyarakat sekitar kawasan hutan yang tidak lagi mempercayai
mitos. Ketika suatu masyarakat menafsirkan mitos atau tidak

41
menganggap penting keberadaan mitos, orang cenderung akan
bebas dan liar untuk melakukan perusakan hutan. Perusakan hutan
ini akan diperparah lagi dengan kepentingan bisnis kayu. Dengan
demikian, penelitian ini merekomendasikan perlunya mitos yang ada
tetap dilestarikan dari generasi ke generasi agar hutan juga tetap
lestari. Hutan sebagai paru-paru kehidupan, tidak hanya akan
melindungi manusia, tetapi juga melindungi jagat ini secara
keseluruhan. Untuk lebih konkretnya, model pelestarian hutan yang
ditawarkan sebagai hasil penelitian ini dapat digambarkan dalam
model 1.

Model 1 : Pelestarian Hutan Berbasis Mitos (Kearifan Lokal)

LELUHUR
Sesepuh
Masyarakat Desa

MITOS PEMERINTAH
Nilai Kearifan Lokal: Pemerintah Kab. Bantaeng
‐ pedoman hidup  BUMDES
‐ kesederhanaan  Polisi Hutan
‐ keharmonian  Penjaga Hutan
‐ tradisi/adat‐istiadat
‐ kesadaran 
‐ kebijakan

MASYARAKAT DESA
Sikap hidup masyarakat PELESTARIAN,
Keyakinan/Kepercayaan KELESTARIAN, DAN
Pewarisan PENGEMBANGAN
Tindakan Sosial HUTAN

D. Kesimpulan
Secara etimologis, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Pada KBBI, lokal berarti setempat,
sedangkan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Sehingga jika
dilihat secara etimologis, kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan
sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana,

42
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Istilah kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh
HG. Quaritch Wales (dalam Budiwiyanto 2006) yang menyebut
kearifan lokal sebagai “local genius” yang berarti sejumlah ciri
kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai
suatu akibat pengalamannya di masa lalu. Yunus (2012) mengartikan
kearifan lokal sebagai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu
dan ditempattempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam
menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut
mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana
pembangunan karakter bangsa.
Kearifan lokal dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Lebih
lanjut dalam undang-undang tersebut, pada Pasal 70 ayat (1)
disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang
sama dan seluasluasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan
dan pengelolaan hidup yang pada ayat (3e) disebutkan salah satu
peran masyarakat adalah mengembangkan dan menjaga budaya dan
kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Maka dari itu, dengan adanya mitos yang beredar dan secara tidak
langsung dapat membantu menjaga kelestarian hutan kita harus
memanfaatkannya, model yang ditawarkan adalah model pelestarian
hutan yang berdasarkan pada mitos yang diyakini masyarakat
kawasan hutan. Karena kerusakan pada hutan dapat dikatakan terjadi
pada masyarakat sekitar kawasan hutan yang tidak lagi mempercayai
mitos.

Daftar Pustaka
Aulia, T.O.S; A.H., Dharmawan. 2010. Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumberdaya Air di Kampung Kuta. Sodality: Jurnal
Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4 (3):
345-355.
Budiwiyanto. 2005. Tinjauan Tentang Perkembangan Pengaruh Local
Genius dalam Seni Bangunan Sakral (Keagamaan) di Indonesia.
Ornamen. 2(1): 25-35.

43
Dimyati. 2010. Manusia dan Kebudayaan.
(dimyati.staff.gunadarma.ac.id/.../bab2-manusiadan-kebudayaan),
diunduh pada 8 November 2021
Fajarini, U. 2014. Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter.
Sosio Didaktika 1(2): 123- 130.
Iskandar, J. 2014. Manusia dan Lingkungan dengan Berbagai
Perubahannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Manuaba, I.B. Putera, Trisna Kumala Satya Dewi, dan Sri Endah
Kinasih. 2012. Mitos, Masyarakat Adat, dan Pelestarian Hutan.
Surabaya: Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga,
Maridi. 2015. Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem
Konservasi Tanah dan Air. Surakarta: Prodi P. Biologi FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Negara, P.D. 2011. Rekonstruksi Kebijakan Pengelolaan Kawasan
Konservasi Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kontribusi Menuju
Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Indonesia. Jurnal Konstitusi.
IV(2): 91-138.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian
Filsafati. Jurnal Filsafat. 37(2): 111-120.
Simon, H. (2006). Hutan Jati dan Kemakmuran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA
Universitas Negeri Yogyakarta yang diselenggarakan pada 16 Mei
2009.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Yunus, R. 2012. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) sebagai
Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris tentang Huyula.
Yogyakarta: CV. Budi Utama.

44
BAB 6

Penutup
A. Kesimpulan
Dari penjelasan awal sampai akhir buku ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai beriut.
1. Keberadaan mitos hutan keramat di Hutan Campaga menjadi
salah satu alasan hutan ini masih sangat terjaga dengan baik.
Larangan penebangan pohon di dalamnya masih dipatuhi
masyarakat hingga saat ini. Bahkan pohon-pohon yang
tumbangpun tak tersentuh dan masih nampak di dalamnya.
Keberadaan mitos menjadi salah satu bentuk kearifan lokal
dalam pengelolaan hutan yang merupakan modal utama
masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan
sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya.

2. Pelestarian hutan berbasis mitos (kearifan lokal) hutan desa


campaga dianggap memiliki fungsi sosial yang sangat besar.
Oleh karena itu, dengan keyakinan pada mitos yang ada dan
masih hidup, masyarakat jadi berpedoman pada mitos. Dari
hasil penelitian juga diketahui bahwa mitos memiliki fungsi
sosial dalam menggerakkan tindakan sosial masyarakatnya
untuk selalu bertanggung jawab, bersahabat, dan mendoakan
keselamatan, serta kelestarian hutan beserta isinya.

B. Saran
1. Penelitian kecil ini baru merupakan bentuk inventarisasi untuk
memberikan keyakinan akan banyaknya sumber kekayaan
budaya, khususnya yang terdapat di Indonesia, yang dapat
berkontribusi bagi penyelsaian persoalan modern dan
diharapkan peran pemerintah setempat juga ikut membantu
mensistematiskan secara tertulis ajaran para leluhur setempat
yang perlu dilestarikan.
2. Persoalan ekologis tidak semata-mata masalah fisik tetapi
merupakan rangkaian hal fisik dan sosial budaya. Harapan
kami semoga pemerintah setempat lebih sering melakukan

45
pendekatan, serta mendukung pengetahuan dan keterampilan
pengelolaan hasil hutan desa.
3. Pendokumentasian kearifan lokal ini diharapkan bisa menjadi
panduan bagi generasi mendatang dalam mengelola hutan dan
lingkungan secara berkelanjutan. Harapan kami, jangan
sampai kearifan lokal yang ada tergerus zaman dan dilupakan
oleh generasi muda. Kajian ini merupakan kajian pustaka, akan
sangat kaya apabila kajian lapangan dilakukan lebih mendalam
untuk secara nyata melihat bagaimana kontribusi kekayaan
sosial budaya dapat ikut menyelesaikan persoalan real.
4. Pemerintah juga diharapkan agar dapat lebih memperhatikan
tentang penjagaan hutan yang letaknya terpencil, karena hal
tersebut sangat beresiko terhadap kelestarian hutan, terutama
bagi masyarakat yang tidak percaya lagi pada mitos yang ada.
5. Pelestarian hutan diharapkan tetap berbasiskan kearifan lokal,
karena melestarikan hutan merupak ajaran turuntemurun yang
tentunya akan mendatangkan banyak manfaat, tidak hanya
bagi pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat terutama yang
berada di daerah sekitar hutan desa.

46
DAFTAR PUSTAKA
Alif dan Supratman. 2010. Pembangunan Hutan Desa di Kabupaten
Bantaeng. Fakultas Kehutanan UNKAR Makassar.
Angelin, Mia. 2015. Mitos dan Budaya. Jakarta Barat: Universitas
BINUS.

Audifax. 2005. Mite Harry Potter: Psikosemiotika dan Misteri Simbol di


Balik Kisah Harry Potter. Yogyakarta: Jalasutra.

Aulia, T.O.S; A.H., Dharmawan. 2010. Kearifan Lokal dalam


Pengelolaan Sumberdaya Air di Kampung Kuta. Sodality: Jurnal
Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4 (3):
345-355.
Awang, S.A. 2004. Dekontsruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat
dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta : BIGRAF Publishing.

Barthes, Roland. (2004). Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Budiwiyanto. 2005. Tinjauan Tentang Perkembangan Pengaruh Local


Genius dalam Seni Bangunan Sakral (Keagamaan) di Indonesia.
Ornamen. 2(1): 25-35.
Chandra, Wahyu. 2020. Hutan Desa Campaga yang Dijaga Tradisi
dan Hidupi Warga Sekitar Hutan. Bantaeng: MONGABAY SITUS
BERITA LINGKUNGAN.
(https://www.mongabay.co.id/2020/11/15/hutan-desa-campaga-
yang-dijaga-tradisi-dan-hidupi-warga-sekitar-hutan/), diakses pada
4 November 2021

Christensen, P. (2008). The "Wild West": The life and death of a myth.
Southwest Review, 310.
Dimyati. 2010. Manusia dan Kebudayaan.
(dimyati.staff.gunadarma.ac.id/.../bab2-manusiadan-kebudayaan),
diunduh pada 8 November 2021
Fajarini, U. 2014. Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter.
Sosio Didaktika 1(2): 123- 130.

47
Hardiyanto, G. 2013. Idealita dan realita pengelolaan hutan desa di
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Yayasan Damar. Yogyakarta.

Helms, J.A. (ed.). 1998. The Dictionary of Forestry. The American


Foresters, The CABI Publ. Bethesda. Amerika Serikat
Iskandar, J. 2014. Manusia dan Lingkungan dengan Berbagai
Perubahannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Koentjaraningrat, 1964. Masyarakat Desa Masa Kini. Jakarta : Balai
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Manuaba, I.B. Putera, Trisna Kumala Satya Dewi, dan Sri Endah
Kinasih. 2012. Mitos, Masyarakat Adat, dan Pelestarian Hutan.
Surabaya: Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga,
Marfai, Aris, M. 2013. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan
Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Maridi. 2015. Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem
Konservasi Tanah dan Air. Surakarta: Prodi P. Biologi FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Nababan, 1995. Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian
Lingkungan. (Studi Kasus yang Dilakukan di empat Propinsi
Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur).
Jakarta : Jurnal Analisis CSIS.
Namri. 2014. Materi Pengelolaan Hutan. Makassar: Nangry Authors.
(http://namrinangry.blogspot.com/2014/05/materi-pengelolaan-
hutan.html), diakses pada 4 Novemver 2021

Negara, P.D. 2011. Rekonstruksi Kebijakan Pengelolaan Kawasan


Konservasi Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kontribusi Menuju
Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Indonesia. Jurnal Konstitusi.
IV(2): 91-138.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
P.89/Menhut-II/2014 tentang Kebijakan Mengenai Hutan Desa.
Perda Irgasi Kabupaten Bantaeng nomor 4 tahun 2012 pasal 71.

48
PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dan UU No. 41
Tahun 1999 Tentang Hutan Lindung
Rafiek. 2010. Teori Sastra kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika
Aditama.
Sahlan, Mr. 2004. Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang
Dalam Mengkonservsi Hutan di Provinsi Sulawesi Tengah.Mimbar
Hutan 24(2).187.375
Salaka, Fentie Jullianti. 2020. Kearifan Lokal Penjaga Hutan. KABAR
ALAM News & Nature. (https://kabaralam.com/tapak/kearifan-lokal-
penjaga-hutan), diakses tanggal 4 November 2021.
Santoso 2006. Ekosistem Kearifan Lokal pada Petani Tepian Hutan
Dalam Memelihara Kelestarian Ekositem Sumbe Daya Hutan.
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3. Universitas
Jenderal Sudirman. Porwokerto.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian
Filsafati. Jurnal Filsafat. 37(2): 111-120.
Simon, H. (2006). Hutan Jati dan Kemakmuran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Suharjito D., Khan Azis, Djatmiko WA., Sirait MT., Evelyna S. 2000.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta : Kerjasama
FKMM-Ford Foundation, Adityamedia
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA
Universitas Negeri Yogyakarta yang diselenggarakan pada 16 Mei
2009.
Supratman dan Sahid, M.A.K. 2010. Pembangunan Hutan Desa di
Kabupaten Bantaeng: Konsep, Proses, dan Refleksi.
Makassar.RECOFT
Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang
Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.

49
Surat Keputusan Lurah Campaga Nomor 05 tahun 2010 tentang
Lembaga Pengelola Hutan Desa Campaga.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.55/Menhut-II/2010 tentang


Penetapan Kawasan Hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa pada
Hutan Lindung Seluas 345 Hektar Terletak Dalam Wilayah
Adminisrasi Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten
Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55 tahun 2010 tentang
Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng.
Susanto, Hari. (2000). Mitos Menurut Pengertian Mircea Eliade.
Yogyakarta: Kanisius
Suyanto S., Rizki P. Purnama, Djoko Setiono dan Graham Aplegat.
2001. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Aktivitas
Sosial Ekonomi Masyarakat dalam Kaitannya dengan Penyebab
dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Prosiding
Akar Penyebab Dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di
Sumatera, ICRAF. Penerbit :CV Dewi Sri Jaya. Bogor.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-
Undang.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

50
Undri. 2016. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di
Desa Tabala Jaya Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Banyuasin
Propinsi Sumatera Selatan.Sumatera:Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sumatera Barat.
(https://media.neliti.com/media/publications/317143-kearifan-lokal-
masyarakat-dalam-pengelol-508e081d.pdf ), diakses tanggal 4
November 2021.
Wilkinson, P., & Philip, N. (2007). Mythology. London: Dorling
Kindersley.
Wulansari, Rosalia Ayuning, dan Iqlima Safa Nur. 2018. Reaktualisasi
Mitos Lokal Sebagai Upaya Konservasi Kawasan Hutan Bambu
Lereng Semeru Kabupaten Lumajang. Jawa Timur: PS PBSI FKIP
Universitas Jember.
Yunus, R. 2012. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) sebagai
Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris tentang Huyula.
Yogyakarta: CV. Budi Utama.

51
GLOSARIUM

Desa Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-


batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah
Negara Kesatuan

Dinamis Istilah umum yang merujuk kepada segala sesuatu


atau kondisi yang terus-menerus berubah, bergerak
secara aktif, dan mengalami perkembangan berarti.

Ekologi Ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme


dengan lingkungannya dan lainnya.

Ekosistem Hubungan timbal balik atau interaksi antara


makhluk hidup dengan lingkungannya.

Eksistensi Muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual.

Etika Kebiasaan hidup yang baik, Tata cara hidup yang


baik, baik pada diri seseorang maupun masyarakat
dan diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk
nilai, norma yang disebarluaskan, dikenal,
dipahami, dan diajarkan.

Hilir Sebuah aliran sungai yang berada dibawah yang


merupakan ujung akhir aliran sungai atau biasa
disebut dengan daerah tempat berakhirnya sebuah
aliran sungai.

Hulu Awal mula aliran sungai dan Air yang mengalir di


hulu biasanya lebih jernih.

52
Interaksi Suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu
dua atau lebih objek mempengaruhi atau memiliki
efek satu sama lain.

Kearifan Ekologi Kearifan masyarakat dalam menjaga dan


memperlakukan alam secara bijak agar terhindar
dari pengrusakan lingkungan.

Kearifan lokal Bentuk pengetahuan, nilai, simbolis, norma, dan


peraturan yang tertanam serta diikuti oleh anggota
masyarakat.

Konservasi Usaha pemeliharaan dan perlindungan sesuatu


secara teratur untuk mencegah kerusakan dan
kemusnahan.

Konversi Suatu proses perubahan dari satu sistem ke sistem


lainnya yang lebih baik.

Mitos Hasil pemikiran intelektual bukan dari hasil logika,


merupakan orientasi spiritual yang dipercaya dan
turun temurun di masyarakat.

Pelestarian Cabang ekologi yang berkaitan dengan pengelolaan


wajar dari sumber daya alam, seperti air, tanah, dan
laut untuk kesejahteraan manusia.

Pengelolaan Rangkaian kegiatan terhadap sumber daya hutan


yang dilakukan oleh masyarakat secara aktif Dari,
oleh dan untuk masyarakat disertai kerjasama
secara aktif Dari pihak-pihak terkait yang meliputi
perencanaan, perlindungan, dan pemanfaatan
secara berdaya guna bagi masyarakat.

Peran serta masyarakat Keterlibatan masyarakat dalam proses


pengelolaan sumber daya hutan.

53
Program Kumpulan instruksi, rencana kegiatan, pedoman,
acara ataupun daftar yang berurutan. Program
nantinya memiliki beragam pengertian tergantung di
aspek mana istilah tersebut dipakai.

Rehabilitasi Bentuk dari pemidanaan yang bertujuan sebagai


pemulihan atau pengobatan.

Sistem Sekumpulan elemen, himpunan dari suatu unsur,


komponen fungsional yang saling berhubungan dan
berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.

Sumber daya Suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi
atau unsur tertentu dalam kehidupan.

Tradisional Unsur lingkungan yang menjadi bagian hidup


masyarakat dalam suatu suku bangsa tertentu.

Turunan temurun Suatu yg di lakukan terus menerus dari nenek


moyang turun kepada anak cucu.

54

Anda mungkin juga menyukai