DISUSUN
NPM : 71190713006
KELAS : AGT-A
FAKULTAS PERTANIAN
AGROTEKNOLOGI
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Muhammad Irwansyah
LATAR BELAKANG
Tanah merupakan materi lepas yang terdiri dari hasil pelapukan batuan dan
mineral lain serta zat organik yang telah hancur, yang menutupi sebagian besar
permukaan daratan bumi. Dalam pengertian teknik secara umum maka tanah dapat
didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral
padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-
bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair
dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut.
Tanah terdiri dari lima komponen utama yaitu : unsur mineral, air, udara,
unsur organik, dan organisme hidup. Material mineral merupakan komponen
struktural tanah yang paling pokok dan ia merupakan 50 persen dari total volume.
Kuantitas dari konstituen tersebut tidaklah sama untuk setiap tanah namun hal
tersebut sangat tergantung pada lokasi tanah itu sendiri.
Adapun ilmu yang menjurus dengan pembahasan ini adalah geografi tanah,
geografi tanah adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat dan ciri-ciri tanah pada
berbagai daerah tertentu dalam konteks keruangan, yang sudah mencakup didalamnya
adanya persamaan dan perbedaan daerah/wilayah satu dengan yang lain maupun
kondisi fisik (iklim, tanah, bentuk, wilayah, perairan, flora dan fauna dan lain-lain)
dan atau kondisi lingkungan sosialnya (kualitas sumberdaya manusia, populasi,
komposisi, dan lain-lain).
Sistem klasifikasi tanah terbaru ini memberikan Penamaan Tanah
berdasarkan sifat utama dari tanah tersebut. Menurut Hardjowigeno (1992) terdapat
10 ordo tanah dalam sistem Taksonomi Tanah USDA 1975, yaitu :
1. Alfisol
2. Aridisol
3. Entisol
4. Histosol
5. Inceptisol
6. Mollisol
7. Oxisol
8. Spodosol
9. Ultisol
10. Vertisol
PEMBAHASAN
Tanah yang memiliki epipedon okrik, histik atau albik tetapi tidak ada
horison penciri lain. Ordo tanah Entisol merupakan jenis tanah yang muda, dimana
secara alami pembentukan tanahnya belum berlangsung. Tidak berlangsungnya
proses pembentukan tanah tersebut dikarenakan faktor dari lingkungan yang tidak
memungkinkan, misalnya pengendapan (biasanya terdapat pada daerah dataran banjir
disekitar sungai). Proses oksidasi tidak terjadi pada daerah yang tergenang, dan
pembentukan hutan tidak terjadi pada daerah yang berpasir sehingga entisol
dikatakan tidak mempunyai horizon penciri seperti tanah lainnya.
Karakteristik ordo tanah Entisol berdasarkan sifat dan ciri tanah yang ada
menunjukkan bahwa dalam tanah tidak menunjukkan adanya gejala pembentukan
horizon penciri, sehingga horizon yang dipergunakan sebagai kriteria
pengklasifikasian tidak di jumpai. Demikian pula untuk penciri utama lainnya tidak
pernah dijumpai dalam entisol. Penurunan warna khroma yang disebabkan karena
proses reduksi yang sangat kuat merupakan salah satu kriteria yang dapat di
pergunakan sebagai salah satu penciri horizon kambik, namun demikian tetap harus
disertai adanya perubahan perubahan fisik lainnya. Warna kroma yang meningkat
dalam tanah menunjukkan adanya proses pelapukan yang menyebabkan timbulnya
pembebasan oksida besi.
Faktor yang mempengaruhi proses pembentukan ordo tanah entisol adalah
sebagai berikut.
i. Iklim yang sangat kering sehingga pelapukan dan reaksi-reaksi kimia berjalan
sangat lambat.
ii. Erosi yang kuat, dapat menyebabkan bahan-bahan yang dierosikan lebih banyak
dari yang dibentuk melalui proses pembentukan tanah, banyak terdapat di lereng-
lereng curam.
iii. Pengendapan terus-menerus, menyebabkan pembentukan horizon lebih lambat
dari pengendapan.
iv. Immobilisasi plasma tanah menjadi bahan-bahan inert, misalnya flokulasi bahan-
bahan oleh karbonat, silika dan lain-lain.
v. Bahan-bahan induk yang sukar melapuk (inert), atau tidak permeable, sehingga
air suka meresapan reaksi reaksi tidak berjalan.
vi. Bahan induk yang tidak subur atau mengandung unsur-unsur beracun bagi
tanaman atau organisme lain, diferensiasi oleh bahan organik tidak dapat terjadi.
Tanah entisol dari gret group Hidraquent banyak mengakumulasi air di
mana keadaan tanahnya terendam secara terusmenerus sehingga mempunyai
kepadatan rendah. Jumlah yang cukup besar dari tanah entisol yang berkembang pada
tanah alluvial memiliki perubahan-perubahan yang cukup besar pada ukuran partikel
dengan kedalaman.Perubahan-perubahan ini mempengaruhi sifat retensi dan
perpindahan air. Sifat fisik lainnya, tanah entisol bertekstur lempung ringan dan
susunan 30% pasir, 35% debu dan 35 % lempung bertekstur remah konsistensi liat
lekat dan permeabilitas sedang.
Lokasi terdapatnya ordo tanah Inceptisol pada wilayah Sumatera Utara
yaitu di Desa Tumpatan Nibung, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan dilapangan dapat disimpulkan klasifikasinya,
Epipedon : Okrik (tebal tapi tidak hitam), Endopedon : tidak ada, Ordo : Entisol, Sub
Ordo : Aquents (tergenang air karena air dari dalam) bukan Episaturasi (tergenang air
yang datang dari atas), Group : Endoaquents, Sub-group : Aericendoaquents (coklat
diatas/tidak tergenang semua).
Untuk pengelolaan Tanah entisol dapat digunakan apabila dikembangkan
metode baru : Sistem drainase untuk mengairi tanah ketika kadar asamnya mulai
rendah, dan juga dapat ditambah dengan pemupukan dengan hasil yang optimal agar
tidak menjadi penyebab tanah tandus.
Bahan induk tanah Andisol terbentuk dari bahan vulkanik yang berasal dari
wilayah dan aktivitas vulkanik. Bahan induk ini awalnya terbentuk dari debu
vulkanik menjadi aliran larva, beberapa terdapat batuan besar dan ledakan vulkanik
hasil dari ledakan erupsi. Karena letusan mengandung banyak bahan (debu, pumice,
batuan), banyak lapisan tanah Andisol terbentuk sepanjang pergerakan massa tanah
membentuk berbagai lapisan. Pembentukan tanah Andisol juga tergantung dengan
kelembaban dan regim temperatur dimana ditemukan banyak variasi terhadap
pembentukannya. Namun umumnya tanah Andisol dijumpai di daerah beriklim
tropis.
Andisol terbentuk dari debu volkanik. Debu vulkanik kaya dengan mineral
liat amorf atau alofan yang mengandung banyak Al dan Fe. Logam-logam ini akan
dibebaskan oleh proses hancuran iklim. Khelasi antar asam humik dan Al dan Fe
tersebut, membentuk khelat logam-humik, yang juga akan meningkatkan retensi
humus terhadap dekomposisi mikrobiologis. Tanah Andisol banyak tersebar di
dataran rendah hingga dataran tinggi dengan berbagai jenis vegetasi. Andisol tersebar
di wilayah dataran tinggi sekitar 700 mdpl atau lebih. Umumnya digunakan untuk
pertanian pangan lahan kering seperti jagung, kacang-kacangan, ubi kayu, umbi-
umbian. Untuk tanaman hortikultura sayuran dataran tinggi seperti kentang, wortel,
kubis dan kacang-kacangan sedangkan untuk budidaya bunga-bungaan serta tanaman
perkebunan seperti kopi dan teh.
Karakteristik kimia fisika tanah mineral yang sangat banyak terdapat pada
tanah Andisol adalah alofan dan imogolit. Alofan merupakan penentu struktur tanah.
Alofan memiliki diameter 3-5 nm yang dapat dilihat dibawah mikroskop elektron dan
memiliki rasio Si/Al antara 0,5-1. Alofan menunjukkan karakteristik komplek
pertukaran dan selektifitas yang tinggi terhadap kation divalen, dan sangat reaktif
pada fosfat. Imogolit merupakan mineral yang memiliki rasio Si/Al 0.5 dan
bentuknya panjang dengan diameter didalamnya 1 nm dan luar 2 nm. Imogolit
memiliki struktur seperti silikat. Imogolit dalam debu vulkanik kebanyakan dalam
kondisi bercampur dengan alofan. Imogolit lebih sedikit reaktif dengan fosfat dari
pada alofan. Imogolit dianggap penting dalam tanah Andisol. Imogolit menunjukkan
sifat kimia serupa dengan alofan tetapi imogolit bersifat parakristalin karena
berbentuk silinder halus berdiameter 18.3-20.2 A.
Tanah Andisol memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air yang
tidak dapat kembali seperti semula apabila mengalami kekeringan (irreversible
drying). Sifat irreversible ini menyebabkan perubahan ukuran partikel, karena alofan
yang dikandung tanah Andisol akan cenderung membentuk fraksi pasir semu
(pseudosand) hasil agregasi alofan dengan partikel lainya termasuk bahan organik.
Sifat kimia Andisol yang mempengaruhi muatan variabel adalah gugus OH dari
aluminol, ferrol, dan silanol dari liat amorf. Semua fraksi liat Andisol bersifat
amfotermik kecuali silanol. Pada pH tanah tinggi Al-OH melepaskan H+ dan
permukaan aluminol bermuatan negatif, tetapi pada pH tanah rendah aluminol akan
menerima tambahan H+ hingga muatan positif, begitu juga dengan ferrol. Sedangkan
silanol akan melepaskan H+ saja, tetapi tidak akan menerima tambahan proton diatas
pH 2, jadi silanol tidak bersifat amfotermik pada pH 3-10. Sifat yang tidak baik pada
tanah Andisol ini adalah memiliki retensi fosfat > 85 %. Retensi fosfat pada tanah
Andisol menyebabkan P yang tidak tersedia bagi tanah sehingga perlu aplikasi
pemupukan.
Desa Kuta Rakyat, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Karo memiliki
jenis tanah Andisol dengan tiga penggunaan lahan yang berbeda dalam satu areal.
Ketiga penggunaan lahan yang dimaksud antara lain, lahan hutan asli, lahan tanaman
tahunan, dan lahan tanaman semusim. Terletak di lereng sebelah utara Gunung
Sinabung pada ketinggian 1432 meter hingga 1439 meter diatas permukaan laut.
Wilayah ini memiliki bahan induk yang sama. Berasal dari bahan induk Tuff
Sinabung yang meletus + 400 tahun lalu. Pada Peta Satuan Lahan dan Tanah, unit
lahan wilayah penelitian ini adalah Va 1.4.2 yaitu Stratovolcanocs, intermediate,
maffic tuff, volcano lower, slope & footslope, dengan ketinggian tempat 1000 m
(1200-1300 m dpl). Bahan induk dengan pelapukan Parsial, lithologi Tuff Andesiti,
dan formasi geologi Qvt. Wilayah ini berada pada kemiringan lereng 3 – 8 % dan
ketinggian lereng 201 – 500 m.
Pengelolaan tanah Andisol mempengaruhi jumlah dan ketersediaan unsur
hara dalam tanah. Respon terhadap kimia kesuburan tanah akibat pengelolaan lebih
spesifik dan tergantung pada jenis tanah, sistem pertanaman, iklim, aplikasi
pemupukan dan manajen pengelolaan. Pengelolaan konvensional meningkatkan kadar
bahan organik tanah pada lahan tanaman yang dilakukan pengelolaan, walaupun
umumnya lebih banyak terdapat pada lapisan atas saja. Pengelolaan tanah juga
menyebabkan nilai pH yang bervariasi terhadap penggunaan lahan yang berbeda.
Nilai pH terendah terdapat pada lahan tanaman yang tidak dilakukan pengelolaan
didalamnya. Demikian pula dengan nilai KTK tanah yang juga mengikuti nilai pH
tanah. Vegetasi yang dominan di lahan hutan asli adalah tanaman hutan dan semak
belukar. Pada lahan tanaman tahunan, vegetasinya adalah kopi dan jeruk. Pada lahan
tanaman semusim, vegetasi yang dominan adalah kentang, kol, cabai, bawang merah
dan bawang putih. Pemupukan untuk tanaman tahunan dilakukan dua tahap, yaitu dua
tahun sekali untuk pupuk NPK dengan aplikasi di lubang tanam dan setahun sekali
untuk pupuk kandang dengan aplikasi di bedengan. Pada tanaman semusim,
pemupukan tanaman dilakukan setiap masa tanam, jenis pupuk dan aplikasi yang
dilakukan sama seperti tanaman tahunan. Untuk dosis yang diberikan, para petani di
wilayah ini tidak pernah menghitung besar pupuk yang diberikan, baik untuk tanaman
tahunan dan tanaman semusim.
Tanah Histosol atau tanah Organosol yang saat ini lebih populer disebut
tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik seperti sisa-
sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.
Tanah gambut umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali
didrainase. Secara alami, tanah gambut terdapat pada lapisan tanah paling atas, di
bawahnya terdapat lapisan tanah aluvial pada kedalaman yang bervariasi. Disebut
sebagai lahan gambut apabila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan demikian,
lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50 cm.
Humbang Hasundutan merupakan salah satu daerah penyebaran tanah
gambut di Sumatera Utara. Luas lahan gambut di Humbang Hasundutan diperkirakan
sekitar 1.042 Ha yang tersebar di Kecamatan Lintong Nihuta, Kecamatan Pollung dan
Kecamatan Doloksanggul. Gambut di daerah ini tergolong unik dan langka karena
pada umumnya gambut dijumpai di dataran rendah yang berdekatan dengan pantai,
akan tetapi gambut di daerah Humbang Hasundutan ini merupakan gambut dataran
tinggi (topogen) yang terhampar pada ketinggian 1000-1450 mdpl.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat, awalnya tanah
gambut hanya dijadikan sebagai lahan sawah. Tetapi seiring berjalannya waktu dan
semakin bertambahnya kebutuhan, mereka merasa hasil dari lahan sawah saja tidak
cukup lagi memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan berpendapat bahwa hasil dari
pertanaman kopi arabika dan hortikultura lebih menguntungkan dan menjajikan
secara ekonomi. Sehingga sekarang banyak yang mengalihfungsikan lahan gambut
yang awalnya dijadikan lahan sawah menjadi lahan pertanaman kopi dan tanaman
hortikultura seperti cabai, tomat, bawang, dan berbagai jenis sayuran yang sudah
berlangsung selama lebih kurang sepuluh tahun.
Pada horizon Oa2 pada profil lahan sawah warna tanahnya adalah hitam
kecokelat-cokelatan dengan hue = 5 YR, value = 2 dan khroma = 1 sedangkan pada
profil lahan tanaman hortikultura warna tanahnya adalah hitam dengan hue = 10 YR,
value = 1,7 dan khroma = 1 dan pada lahan kopi arabika warna tanahnya adalah hitam
dengan hue 10 YR, value = 2 dan khroma = 1. Hue pada profil lahan sawah adalah 5
YR sedangkan pada profil lahan hortikultura dan kopi arabika yaitu 10 YR. Nilai 5
YR menjelaskan warna tanah lebih muda dibandingkan 10 YR yang menandakan
warna tanah lebih gelap. Ditinjau lagi dari nilai value, angka 2 menunjukkan warna
lebih cerah/terang dari value 1,7. Perbedaan warna tersebut dipengaruhi oleh proses
pengolahan lahan dan pengeringan/drainase. Pada lahan tanaman hortikultura dan
kopi arabika pengeringan dan pengolahan lebih intensif sehingga proses dekomposisi
lebih cepat terjadi dibandingkan di lahan sawah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Hanafiah et al. (2009) yang menyatakan bahwa sistem pertanian yang intensif
mempercepat terjadinya pelapukan bahan organik.
Tingkat kematangan ataupun dekomposisi bahan organik untuk setiap
horizon pada profil menunjukkan tingkat kematangan saprik atau tingkat pelapukan
yang sudah lanjut (matang). Hal ini dibuktikan ketika pengambilan sampel di lapang,
tanah gambut tersebut diperas dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang
dari seperempat bagian. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan Najiyati et al.
(2005) yang menyatakan bahwa gambut saprik adalah gambut yang tingkat
pelapukannya sudah lanjut (matang). Bila diperas, gambut sangat mudah melewati
sela jari-jari dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat
bagian. Bulk density (BD) atau kerapatan lindak merupakan karakteristik fisika yang
penting untuk tanah gambut. Dari hasil perhitungan di laboratorium Bulk density
(BD) dari tiap horizon pada profil tanah gambut tersebut adalah 0,3-0,5 g/cm3 .
Menurut Soepardi (1983), kerapatan lindak atau BD pada tanah organik dibandingkan
pada tanah mineral adalah lebih rendah yaitu 0,2-0,6 g/cm3 merupakan nilai biasa
bagi tanah organik yang sudah mengalami dekomposisi lanjut
Klasifikasi tanah berdasarkan Soil Taksonomi Tanah 2010, bahwa
penggunaan lahan di Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten
Humbang Hasundutan memiliki klasifikasi tanah sebagai berikut. Ordo : Histosol,
Sub Ordo : Saprists, Great Group : Haplosaprist, Sub Group : Typic Haplosaprist.
Akibat penggunaan lahan yang berbeda yaitu lahan sawah, lahan tanaman kopi
arabika dan lahan tanaman hortikultura, klasifikasi tanah Gambut/Histosol
berdasarkan Soil Taksonomi Tanah 2010 tidak berubah. Hal ini disebabkan karena
Soil Taksonomi Tanah menggunakan parameter-parameter tanah yang baku dimana
pengukuran parameter tersebut tidak mudah berubah dalam waktu yang singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Klasifikasi dan Pedogenesis Tanah.
Akademia Pressindo/101626-id-klasifikasi-inceptisol-pada-ketinggian-tanah.
Medan.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Humbang
Hasundutan. 2009. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Humbang
Hasundutan dan Pendalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota Dolok
Sanggul.
Damanik, M. M. B., B. E. Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin dan H. Hanum. 2011.
Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.
Hanafiah AS; T Sabrina & H Guchi. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah. USU Press,
Medan.
Resman, A.S. Syamsul, dan H.S. Bambang. 2006. Kajian beberapa sifat kimia dan
fisika tanah pada toposekuen lereng selatan gunung merapi kabupaten
sleman. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol. 6 (2):101-108.