Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIK LAPANG

EKOLOGI DAN ETIKA LINGKUNGAN

NAMA : LISNAWATI
NIM : 2320525320018

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA ALAM


DAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2023
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Praktik Lapang yang berlokasi di desa Penglipuran Kota Bali. Laporan
hasil praktik lapangan ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Ekologi
dan Etika Lingkungan di program studi magister Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Basir, Bapak Abdul Hadi, Bapak Abrani Sulaiman dan Bapak
Hafizianor, selaku dosen pengampu mata kuliah ini.
Penulis sadar bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat penulis harapkan demi penulisan yang lebih baik untuk yang akan
datang.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Tujuan......................................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1. Kondisi Ekologis Flora di Panglipuran...................................................3
2.2. Desa Panglipuran.....................................................................................4
2.3. Kearifan Lokal Masyarakat.....................................................................5
BAB III. PEMBAHASAN.......................................................................................7
3.1. Kondisi Ekologi Desa Penglipuran.........................................................7
3.1.1. Flora dan Fauna..................................................................................7
3.1.2. Sumber Mata Air................................................................................7
3.2. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Mengelola Lingkungan Desa
Penglipuran................................................................................................8
3.2.1. Superstruktur Ideologis.......................................................................8
3.2.2. Struktur Sosial....................................................................................9
3.2.3. Infrastruktur Material........................................................................11
3.3. Adat Penglipuran Pelestarian Lingkungan............................................11
3.3.1. Pembuatan Hukum Adat...................................................................11
3.3.2. Pengelolaan Tata Ruang pada Anggota Masyarakat........................13
3.3.3. Tanggung Jawab Anggota Masyarakat.............................................14
3.3.4. Hutan Lindung..................................................................................15
3.3.5. Pekarangan dan Arsitektur Bangunan...............................................16
BAB IV. KESIMPULAN......................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

ii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara


makhluk hidup dengan lingkungan sekitarnya. Sebuah siklus yang mengajarkan
manusia untuk selalu menghargai semua makhluk hidup dan alam semesta. Hal ini
sejalan dengan konsep yang dianut oleh masyarakat tradisional Bali yang
mempertimbangkan alam dalam segi aktivitas kehidupan. Etika lingkungan adalah
cabang dari etika atau filsafat moral yang mempertimbangkan nilai-nilai moral
dan kewajiban etis terkait dengan interaksi manusia dengan lingkungan alam. Ini
mencakup pertimbangan etis terhadap tindakan-tindakan yang dapat
mempengaruhi ekosistem, keanekaragaman hayati, dan keseimbangan ekologi.
Desa wisata adalah desa yang dijadikan tempat wisata karena daya tarik
yang dimilikinya. Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara
akomodasi, atraksi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur
kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Desa wisata memiliki unsur untuk mengangkat keunikan dan kearifan lokal
sebagai pariwisata. Salah satu desa wisata yang ada di bali yaitu Desa Adat
Penglipuran.
Desa Adat Penglipuran merupakan desa di Baliyang yang memiliki pola
kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat desa
Baliaga yaitu desa yang memiliki budaya yang masih asli dan dilestarikan. Adat
Penglipuran dan adat-istiadatnya merupakan potensi wisata yang membuat Desa
Penglipuran dikembangkan menjadi salah satu objek dan daya tarik wisata budaya
yang menonjolkan ciri khas tersendiri.
Bali memiliki pesona yang tidak ada habisnya. Setiap lokasinya memiliki
daya tarik tersendiri yang mampu menyihir para wisatawan untuk kembali lagi.
Salah satu desa di Bali yang cukup terkenal yaitu Desa Penglipuran. Desa
Penglipuran menawarkan kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi oleh
masyarakat Bali. Desa tersebut menjadi salah satu desa adat di Bali yang
menjunjung tinggiberbagai kearifan lokal seperti, tradisi dan ritual adat. Desa
Penglipuran menganut trimandala, desa tersebut sangat tepat bernama Penglipuran

1
yang berarti penghibur (Muliawan, 2017). Tata ruang masyarakat memiliki peran
dan fungsi yang sangat strategis dalam menjaga harmonisasi lingkungan. Desa
Adat Penglipuran merupakan simbol sakralisasi adat dan tradisi yang telah
bertahan ratusan mungkin ribuan tahun. Desa Penglipuran memiliki perbedaan
dengan desa lainnya yaitu memiliki memiliki susunan tata ruang desa yang sangat
rapi dan simetris, bentuk dan tata letak semua rumah penduduknya relatif sama.
Desa Penglipuran memiliki potensi yang dapat menimbulkan daya tarik bagi para
wisatawan, apalagi desa ini termasuk sebagai salah satu dari tiga desa terbersih di
dunia.
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam mengelola sumber daya lahan harus efektif dan efisien,
karena dalam pengelolaan sumber daya lahan berkaitan dengan lingkungan dan
masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki kearifan lokal tinggi memegang teguh
filsafat adatnya, seperti mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan manusia.

1.2. Tujuan
Tujuan laporan praktik lapang mata kuliah ekologi dan etika lingkungan
yang dilaksanakan di Bali sebagai berikut:
1. Mengkaji dan mengidentifikasi kondisi ekologis desa Penglipuran meliputi
kondisi flora dan fauna serta sumber mata air yang ada di sana?
2. Mengkaji dan mengidentifikasi kearifan lokal Masyarakat dalam mengelola
lingkungan desa berdasarkan 3 komponen sosio-kultural yang membangun
kearifan masyarakat?
3. Mengkaji informasi mengenai adat masyarakat Penglipuran melakukan
pelestarian lingkungan?

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Ekologis Flora di Panglipuran

Hutan bambu yang berada di Desa Adat Penglipuran ini sangat dijaga
kelestariannya, karena selain untuk mewarisi sumber daya alam secara turun-
temurun, masyarakat Desa Adat Penglipuran juga memanfaatkan kegunaan bambu
dari hutan bambu sebagai keperluan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat
sehingga konservasi hutan bambu di Desa Adat Penglipuran tetap dilakukan
sampai sekarang (Arinasa, 2013 : 3-4). Oleh karena itu, konservasi hutan barnbu
di Bali perlu dilakukan, seperti Yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat
Penglipuran Bangli Yang melestarikan hutan bambu yang mereka miliki dengan
tetap menjaga keanekaragaman jenis bambu yang ada terutama bambu endemik
asli dari Pulau Bali.
Makna simbolik hutan bambu bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran
terkandung di dalam pandangan masyarakat yang berkaitan dengan konsep Tri
Mandala dan konsep Tri Hita Karana. Pada konsep Tri Hita Karana hutan bambu
memiliki makna simbolik yaitu kehidupan. Hubungan yang erat antara masyarakat
Desa Adat Penglipuran dengan lingkungan yang ada khususnya Hutan bambu
yaitu dilihat dari ritual persembahan kepada pohon bambu pada hari Tumpek
Wariga. Pada masyarakat Desa Adat Penglipuran melakukan konservasi hutan
bambu yang mereka miliki dengan tetap menjaga warisan dari Ieluhur sehingga
hutan bambu masih terjaga kelestariannya sampai sekarang.
Hutan bambu jika dilihat secara model of adalah suatu pelestarian hutan
bambu yang dilakukan oleh masyarakat dengan menjaga populasi bambu dan
kawasan hutannya. Konservasi hutan bambu akan bermanfaat untuk menjaga
keseimbangan alam agar terhindar dari banjir maupun tanah longsor, menjaga
konservasi air yang terjadi secara alami di dalam tanah dengan akar-akar dari
bambu sehingga kawasan tersebut terhindar dari kekeringan. Bentuk pelestarian
hutan bambu yang terdapat di Desa Adat Penglipuran yaitu salah satunya
kepemilikan hutan yang disebut hutan duwe (hutan milik) yang di dalamnya juga
terdapat awig-awig tentang kepemilikan hutan serta peraturan yang ditaati oleh

3
masyarakatnya yaitu larangan menebang bambu secara berlebihan dan larangan
menebang bambu pada hari yang tidak baik.
2.2. Desa Panglipuran

Dalam kurun waktu kurang lebih 26 Tahun desa wisata Penglipuran


mampu bertahan dalam sector pariwisata bahkan banyak sekali apresiasi poitif
dari pemerintah maupun dunia terhadap Desa Penglipuran seperti mendapatkan
predikat sebagai desa terbersih di dunia, kunjungan wisatawan asing maupun
domestik yang meningkat setiap tahunnya sehingga menambah kesejahteraan
masyarakat maupun devisa negara. Desa Penglipuran yang berposisi di Kelurahan
Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, tahun 1993 sudah ditetapkan oleh
pemerintah menjadi desa wisata.
Desa Penglipuran menjadi desa wisata yang mulai dikunjungi oleh
wisatawan, terjadi interaksi antara masyarakat setempat dengan wisatawan,
terlebih wisatawan yang berasal dari mancanegara yang bersifat multikultural. Hal
tersebut memberikan pengaruh, pengaruh yang dirasakan masyarakat tersebut
dapat berupa pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Pengaruh positif yang
terjadi berupa adanya perluasan kesempatan kerja, motivasi kegiatan berjenis
kesenian, dan perluasan wawasan sosio-kultural masyarakat (Bello et al. 2017).
Selanjutnya Bello juga menjelaskan bahwa pengaruh negatif yang terjadi berupa
peningkatan kepadatan penduduk, peningkatan kejahatan, pengenalan bahasa dan
nilai baru, perubahan perilaku dan gaya hidup, dan bahkan masuknya pekerja
migran untuk dipekerjakan di industri pariwisata.
Pengembangan pariwisata saat ini sebagian besar mengarah pada
komodifikasi kehidupan masyarakat dan menghancurkan keaslian produk budaya
dan hubungan manusia (Whitford dan Ruhanen, 2010). Keberlanjutan berupa
upaya pelestarian sosial dan budaya di Desa Penglipuran diperlukan agar
keunikan dan keaslian Desa Penglipuran tetap terjaga. Keaslian dalam
pengembangan pariwisata merupakan aset penting dalam memberikan layanan
bagi wisatawan, yang tidak hanya puas dengan biaya rendah dan berkualitas
tinggi, namun juga mencari pengalaman asli (Pine & Gilmore, 2008).

4
2.3. Kearifan Lokal Masyarakat

Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas


komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan komponen
fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya
merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan
tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976). Komponen-komponen
lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubungannya dengan
aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sys (1985). (Maman
Djumantri 2011).
Desa Penglipuran merupakan desa adat bali yang sangat kental dengan
kearifan lokalnya. Untuk tetap menjaga kondisi lingkungan dan tata ruang,
Masyarakat Adat Penglipuran melakukan pelestarian lewat, (1) pembuatan hukum
adat, (2) meletakkan pengelolaan tata ruang pada lembaga adat, (3) memberikan
tangungjawab kepada semua anggota masyarakat dalam melestarikan lingkungan,
(4) menetapkan hutan lindung, (5) menetapkan wilayah pekarangan dan arsitektur
bangunan yang menunjukkan nilai-nilai lokal, dan (6) menetapkan sanksi pada
warga masyarakat yang melanggar ketentuan hukum ada yang berlaku (Atmaja,
2015).
Desa ini telah dianugrahi penghargaan kalpataru. Selain mendapatkan
penghargaan kalpataru, desa penglipuran juga ditetapkan sebagai desa wisata oleh
pemerintah kabupaten bangli pada tahun 1995, masyarakat desa ini menyebutnya
dengan sebutan dewi penglipuran (Salmina W.G, 2015). Siregar & Nadiroh
(2016), mengatakan untuk melestarikan nilai-nilai budaya suku sasak diperlukan
peran keluarga, terutama orang tua untuk mewarisi kebiasaan dan perilaku sesuai
dengan norma-norma yang berlaku di suku tersebut. Menurut masyarakat sekitar,
kata penglipuran diambil dari kata Pengeling Pura yang memiliki makna tempat
suci yang ditujukan untuk mengenang para leluhur.
Ciri khas yang sangat menonjol dari desa ini adalah arsitektur bangunan
tradisional di desa ini rata-rata memiliki arsitektur yang sama persis dari ujung
desa ke ujung lainnya. Keunikan ini membuat desa penglipuran sangat indah
dengan kesimetrisan yang amat tertata rapi antara satu rumah dengan rumah
lainnya. Pintu gerbang di setiap rumah saling berhadapan satu sama lain yang

5
hanya di batasi oleh jalan utama kecil di tengahnya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa berbagai keunikan ini mencakup sejarah desa, tata letak, sistem organisasi
dan keunikan lainnya. Keunikan yang dimiliki Desa Penglipuran menjadikan daya
dukung yang sangat baik dalam mengembangkan Desa Penglipuran sebagai desa
wisata yang berbasis kerakyatan (Nurjaya, 2011).
Desa Penglipuran ini sejuk dikarenakan tidak ditemukannya polusi yang
diakibatkan oleh kendaraan bermotor di kawasan desa penglipuran, karena di desa
ini tidak diizinkan kendaraan melintasi wilayah ini. Masyarakat didesa ini
memegang teguh prinsip keep clean, clear and green. Dalam hal pengelolaan
sampah di desa ini disetiap sudut desa ini akan ada banyak bak sampah yang
disediakan untuk menampung sampah dan setiap sampah yang ada dikelola oleh
bank sampah.

6
BAB III. PEMBAHASAN

3.1. Kondisi Ekologi Desa Penglipuran

3.1.1. Flora dan Fauna

Flora adalah keseluruhan kehidupan jenis tumbuh-tumbuhan suatu


habitat, daerah, atau strata geologi tertentu sedangkan Fauna adalah keseluruhan
kehidupan hewan suatu habitat, daerah, atau strata geologi tertentu (Suwarno &
Fuadi., 2022). Salah satu flora di desa Penglipuran yang cukup dominan yaitu
hutan bambu. Penggunaan bambu yang cukup dominan merupakan salah satu
bentuk kearifan dalam memanfaatkan bahan alami di sekitarnya. Di Penglipuran,
40 persen wilayahnya merupakan hutan bambu. Dari sisi ekologis, hutan bambu
sangat penting untuk menahan erosi mengingat kondisi lahan desa yang miring.
Hutan bambu seluas 45 hektar ini adalah bagian dari lahan milik pura desa (laba
pura). Ada peraturan warga tidak boleh sembarangan menebang bambu di sini.
Mereka hanya boleh melakukan tebang pilih pada hari tertentu. Jalan setapak yang
tertata rapi membuat pengunjung bisa menikmati dengan leluasa hutan bambu di
Penglipuran ini. Rimbun dan teduhnya hutan juga bisa jadi latar belakang foto-
foto. Jadi dapat dikatakan kondisi flora di desa Penglipuran masih sangat terjaga
keasriannya.
Sedangkan untuk fauna di desa Penglipuran mereka memiliki aturan adat
setiap warga yang memiliki anjing peliharaan harus merawat dan memelihara
anjing mereka dengan baik serta tidak boleh diliarkan dan harus dikandangkan
atau diikit, selain itu ajing peliharaan juga wajib divaksinasi rabies. Sementara
jika ada warga yang melanggar peraturan adat ini nantinya akan diberikan teguran
langsung oleh pengurus desa agar mengikat atau mengandangkan hewan pliharaan
mereka.
3.1.2. Sumber Mata Air

Masyarakat Desa Penglipuran memiliki kebun bambu untuk menyerap


air hujan, sehingga dapat digunakan sebagai sumber mata air bagi kehidupan
masyarakat sekitar. Kebun bambu Desa Penglipuran luasnya kurang lebih 75
hektar (Dita et.al., 2019). Hutan bambu yang berada di Desa Adat Penglipuran ini

7
sangat dijaga kelestariannya, karena selain untuk mewarisi sumber daya alam
secara turun temurun, masyarakat Desa Adat Penglipuran juga memanfaatkan
kegunaan bambu dari hutan bambu sebagai keperluan sehari-hari dalam
kehidupan bermasyarakat sehingga konservasi hutan bambu di Desa Adat
Penglipuran tetap dilakukan sampai sekarang (Yuliani et.al., 2017).
3.2. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Mengelola Lingkungan Desa

Penglipuran

3.2.1. Superstruktur Ideologis


Ideologi merupakan tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan
terikat pada tradisi. Ideologi ini merupakan tiga unsur penyebab kebahagiaan
yaitu, hairmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhayangan),
manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan lingkungan
(palemahan). Implementasi hubungan ini dapat dicermati dari sikap dan perilaku
masyarakat.
Pertama, dalam hubungannya dengan Tuhan masyarakat Desa
Penglipuran masih mempertahankan tempat-tempat suci (pura) dan ritual
tradisional sebagai warisan nenek moyang. Pura-pura yang ada di Desa
Penglipuran antara lain Pura Penataran/Bale Agung sebagai tempat pemujaan
Dewa Brahma, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, dan Pura
Dalem (Pelapuan) sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa.
Bentuk kegiatan yang secara rutin dilakukan oleh masyarakat adalah
kerja bakti di sekitar lingkungan pura dalam dua kali sebulan. Selain itu, kerja
bakti juga dilakukan secara lebih insentif menjelang pelaksanaan ritual pujawali
dan hari-hari keagamaan. Untuk menjaga kesucian dan kelestarian pura, pihak
desa adat menetapkan sejumlah aturan bagi para wisatawan yang akan berkunjung
ke pura. Aturan-aturan yang dimaksud antara lain, mewajibkan wisatawan untuk
mengenakan kain dan selendang yang telah disediakan oleh pihak pengelola dan
melarang wisatawan memasuki areal pura pada saat menstruasi. Selain itu
wisatawan juga dilarang mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral
melewati waktu yang ditentukan (Pramita & Laksmi., 2019).
Kedua, dalam upaya mencapai harmonisasi hubungan manusia dengan
manusia dapat dicermati dari pola hunian masyarakat Desa Penglipuran. Pada pola

8
hunian tersebut terdapat jalan kecil yang menghubungkan satu rumah dengan
rumah yang lain (embakan kapisaga). Hal ini bertujuan agar masing-masing
penghuni rumah dapat saling tolong menolong, saling memberi dan saling
menjaga satu sama lain (Pramita & Laksmi., 2019).
Ketiga, hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan) di Desa
Penglipuran dapat dilihat pada kegiatan pemeliharan kebersihan lingkungan yang
dilakukan oleh masyarakat, pengelola desa wisata dan pemerintah. Dalam upaya
mewujudkan daya tarik wisata yang bersih, sejuk dan indah, pihak pengelola
memiliki seksi kebersihan dan pertamanan yang bertugas menjaga kebersihan
lingkungan Desa Penglipuran. Upaya sadar lingkungan juga dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Bangli melalui Dinas kebersihan dan Pertamanan (DKP)
dengan membersihkan lingkungan diluar areal inti desa, seperti di sepanjang jalan
utama sampai Tugu Pahlawan.
Selain itu untuk menunjang kebersihan lingkungan, di Desa Penglipuran
juga disediakan tempat sampah yang terdiri dari tempat sampah organik dan
nonorganik yang diletakkan di beberapa area seperti di depan bale banjar, areal
pertamanan, di depan Pura Penataran dan di depan rumah-rumah penduduk.
Selain itu masyarakat juga menjaga kelestarian hutan bambu dan hutan kayu yang
berada di sekitar desa. Bagi masyarakat Desa Penglipuran yang ingin menebang
pohon harus menggunakan hari baik atau dewasa ayu. Bilamana penebangan
bambu tidak dilakukan dengan menggunakan hari baik, maka diyakini bambu
akan menjadi rusak, mengering, lalu mati (Pramita & Laksmi., 2019).
Di Desa Penglipuran terdapat tari-tarian yaitu tari Baris. Tari Baris
sebagai salah satu bentuk seni tradisional yang berakar kuat pada kehidupan
masyarakatnya dan hidup secara mentradisi atau turun temurun, dimana
keberadaan Tari Baris Sakral di Desa Adat Penglipuran adalah merupakan tarian
yang langka, dan berfungsi sebagai tari penyelenggara upacara dewa yadnya.
Unsur bentuk ini meliputi juga keanggotaan sekaa Baris sakral ini di atur di dalam
awig-awig Desa Adat Penglipuran. Kemudian nama-nama penari ketiga jenis
Baris sakral ini juga telah ditetapkan, yakni Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12
orang, dan Baris Bedil 20 orang.

9
3.2.2. Struktur Sosial
Desa Penglipuran hanya ada satu tingkatan kasta yaitu Kasta Sudra, jadi
di Penglipuran kedudukan antar warganya setara. Hanya saja ada seseorang yang
diangkat untuk memimpin mereka yaitu ketua adat. Pada saat ini ketua adat yang
masih menjabat adalah I Wayan Supat. Pemilihan ketua adat tersebut dilakukan
lima tahun sekali. Desa Penglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu
menurut sistem pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan
sistem yang otonom atau Desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal
berdiri sendiri-sendiri dan setara. Karena otonom, desa adat mempunyai aturan-
aturan tersendiri menurut adat istiadat di daerah penglipuran dengan catatan
aturan tersebut tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang
pemerintah. Undang-undang atau aturan yang ada di desa penglipuran disebut
dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan
operasional masyarakat penglipuran yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana
tersebut yaitu sebagai berikut :
a. Prahyangan, adalah hubungan manusia dan tuhan. Meliputi penentuan hari
suci, tempat suci dan lain-lain.
b. Pawongan, adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan
masyarakat penglipuran dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan
dengan orang yang beda agama. Contohnya sistem perkawinan,organisasi,
perwarisan dan lain-lain.
c. Hubungan manusia dan lingkungan, masyarakat desa penglipuran diajarkan
untuk mencintai alam lingkungannya dan selalu merawatnya, tidak heran
kalau desa penglipuran terlihat begitu asri. Filsafat hubungan yang selaras
antara alam dan manusia dan kearifan manusia mendayagunakan alam
sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas di Penglipuran dan daerah
lain di Bali.
Di Bali secara umum menganut system kekeluargaan patrilineal yang
lazim disebut dengan system kapurusa/purusa. Melangsungkan perkawinan diBali,
umumnya dikenal adanya 2 bentuk perkawinan yakni perkawinan biasa dan
perkawinan nyentana. Bentuk perkawinan nyentana sesungguhnya adalah jalan

10
alternatif yang dapat di jalani oleh pasangan suami istri yang kebetulan hanya
dikaruniai anak perempuan saja (Yusa., 2017).

3.2.3. Infrastruktur Material


Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya, terlebih
masyarakat Adat Penglipuran yang menggantungkan hidupnya pada sektor
pertanian dan wisata budaya. Lingkungan alam dan sosial merupakan simpul-
simpul yang memberikan esensi jiwa dan semangat hidup pada masyarakat Adat
Peglipuran. Pelestarian lingkungan merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjaga lingkungan agar tetap seperti keadaan semula, tidak rusak, dan
terlindungi dari kemusnahan. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Adat
Penglipuran dalam menjaga kelestarian lingkungan adalah dengan melakukan;
1) Mengembangkan awig-awig (aturan hukum adat) yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam,
2) Menjadikan desa adat sebagai lembaga tertinggi di tingkat desa yang
mengelola lingkungan desa secara umum,
3) Memberikan tangungjawab kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan
perumahan masing-masing dan telajakan (jalan dan saluran air di depan
pekarangan),
4) Melakukan konservasi terhadap hutan kramat, dan
5) Melakukan gotong royong setiap seminggu sekali secara bergilir dari
masing-masing organisasi adat (Qolby dan Alhaq., 2019).

3.3. Adat Penglipuran Pelestarian Lingkungan

3.3.1. Pembuatan Hukum Adat


Peraturan adat yang ada didesa Panglipuran yang bisa disebut sebagai
Awig-awig, dan awig-awig ini dapat berbentuk tertulis serta sudah ada untuk
dikorelasikan selaras dengan keadaan dan peraturan hukum positif saat ini.
Masyarakat adat Panglipuran mengenal istilah Falsafah Tri Hita Karana yang
dijadikan pedoman masyarakat dalam berkehidupan. Tri Hita Karana berasal dari
bahasa Sansekerta. Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera, dan Karana artinya
sebab. Hitakara berarti yang bermanfaat, yang sangat berguna. Dalam pengertian
leksikal, Tri Hita Karana berarti tiga hubungan yang harmonis, yakni hubungan

11
manusia dengan Sang Pencipta, hubungan yang harmonis dengan sesama
manusia, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam ciptaan dan
makhluk hidup lainnya. Pandangan hidup adalah cara pandang dari seseorang,
masyarakat atau negara, tentang kehidupan yang dianggap baik karena diyakini
sebagai hal yang benar. Peri kehidupan dari masyarakat desa Panglipuran di Bali
dilandasi pula oleh filosofi dari Tri Hita Karana, yang mana menyangkut cara
pandang yang saling berkaitan dengan tiga persepsi dasar hubungan manusia
(Cahyani et.al., 2022).
Dulunya Awig-awig ini memang sudah ada tetapi bentuknya masih tidak
tertulis. Di dalam Awig-awig sendiri berisi tentang aturan dan norma apa yang
boleh dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan bagi masyarakat adatnya, dan
yang diatur juga dari berbagai aspek mulai dari cara berkehidupan hingga sanksi-
sanksi yang akan diberlakukan jika melanggar isi dari awig-awig ini (Cahyani
et.al., 2022).
Awig-awig ini yang mengatur tentang kehidupan masyarakat adat
Panglipuran, antara lain berisi mengenai larangan untuk berpoligami, kematian,
pernikahan, pencurian, pembunuhan dan segala aspek kehidupan lainnya mulai
dari sanksi dan tata caranya pun tertera didalam awig-awig. Namun dapun perkara
yang bahwasanya baru atau belum pernah terjadi dan tidak ada aturan dalam
awig-awig yang mengatur kejadian tersebut maka perangkat adat yang berwenang
akan melakukan rapat dadakan atau yang disebut pararem (Cahyani et.al., 2022).
Kewajiban adat dalam kehidupan masyarakat adat panglipuran disebut
sanksi sosial, akibat dilanggarnya aturan-aturan adat atau kebiasaan-kebiasaan
yang dianggap benar dan telah disepakati bersama. Sanksi adalah ketentuan-
ketentuan hukum yang ditetapkan, apakah hukum yang ada dapat dikenakan
kepada seseorang yang melanggar kaidah-kaidah undang-undang atau kaidah-
kaidah hukum lainnya, umpamanya dalam hukum pidana yang kaidah-kaidahnya
terdapat pada ukuran agama dan kesusilaan (Cahyani et.al., 2022).
Dijelaskan pula untuk perkara Pembunuhan, pencurian dan menggunakan
sepeda motor diarea desa adat sanksinya hampir sama melakukan sesajen 4 tempat
atau 4 pura untuk membersihkan wilayah atau namanya Melaburin. Aturan dan
sanksi inti sudah sesuai dengan isi peraturan yang ada di awig-awig. Seandainya

12
yang belum tertera kadang” namanya Pararem (rapat dadakan) karna belom
pernah terjadi dan hal itu terjadi baru pertama kali dan harus dirapatkan. Contoh
kasus yang pernah terjadi dan mengharuskan perangkat adat melakukan pararem
(rapat dadakan) yang dilakukan oleh perangkat adat akan adanya perkara baru
yaitu dalam kasus pencurian bunga di sekolah yang dilakukan oleh beberapa
pemuda yang masih dibawah umur. Pencurian ini dalam hukum positif di
Indonesia termasuk kedalam ranah pidana, dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Pencurian biasa diatur di pasal 362 kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), pencurian dengan pemberatan di pasal 363 KUHP, dan perampokan di
pasal 365 KUHP.
Penanggung jawab itu kepala keluarga dan dibawah lagi ada 5 Kepala
Keluarga seandainya kalo terjadi pelanggaran bagi bawahan keluarga maka satu
keluarga tidak diperbolehkan ketempat suciseandainya sanksi tersebut belum
dibayar maknya yang kena bukan hanya yang berbuat tapi semuanya atau satu
keluarga kena imbasnya. Struktur adat paling tua didesa adat kepala adat
(dituakan sebagai pemimpin) dari masyarakat, penyarikan (bendahara), panglima
(wakil) dan warga mempunyai tanggung jawab menjaga wilayahnya. Adapun cara
penegakan awig-awig selain diasingkan dan mendapat sanksi sosial yaitu
dibicarakan selagi ada yang ditambah atau dikurangi dalam awig-awignya untuk
dipertegaskan lagi dan untuk kepala keluarga dirumah dan masyarakat adat bisa
memberi tahukan kepada adik, keponakan agar jangan sampai melakukan
larangan yang ada didalam Awig-awig atau begitu kalo masih ada yang melanggar
wajar saja kan namanya manusia (Cahyani et.al., 2022).
3.3.2. Pengelolaan Tata Ruang pada Anggota Masyarakat
Pola tata ruang pada masyarakat Desa Adat Penglipuran didasarkan pada
tiga konsep yakni, Tri Hita Karana, Tri Mandala, Asta Kosala Kosali. Konsep Tri
Hita Karana digunakan untuk melestarikan lingkungan. Masyarakat setempat
menciptakan hutan keramat sebagai upaya menciptakan hubungan manusia
dengan alam semesta agar lebih harmonis. Dalam pembangunan rumah,
digunakan pula konsep yang kuat, yaitu asta kosala kosali, yang menentukan
struktur bangunan dengan fungsinya masing-masing. Dengan menggunakan
konsep ini setiap pekarangan rumah harus dikelilingi dengan tembok (pagar) dan

13
setiap tembok antar tentangga terdapat jalan untuk dilintasi. Pagar dan gapura
rumah juga dibangun dari tanah liat dan harus beratapkan bambu. Dalam
pengukuran pun lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang mempunyai rumah.
Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti musti, hasta, depa.
Pola desa bangunan Adat Penglipuran umumnya berjejer dari utara keselatan
dengan wilayah-wilayah yang telah didasarkan pada konsep hulu-teben.
Berdasarkan pembagian tata ruang tersebut akan lebih memudahkan masyarakat
dalam memetakan tempat untuk membangun pura sebagai tempat suci,
pemukiman, sekolah, lapangan olah raga, kuburan, jalan dan pasilitas lainnya.
Konsep tri mandala juga menjadi pedoman dalam membangun
pekarangan rumah pada masing-masing keluarga, dimana pada setiap pekarangan
dibagi menjadi tiga yaitu utama mandala, madya mandala dan nista mandala.
Konsep tri mandala berdasarkan pada tubuh manusia yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu kepala, badan dan kaki, yang mempunyai fungsi masing-masing dan saling
tergantung satu sama lain. Seluruh bagian lahan yang terdapat di desa
dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Mereka membuat hutan bambu di
sebelah utara desa yang diharapkan dapat menyerap tanah sehingga menghambat
terjadinya banjir, selain itu masyarakat juga mengelola daun bambu untuk
dijadikan pupuk maupun kompos. Pupuk tersebut nantinya akan dimanfaatkan
oleh masyarakat setempat untuk bercocok tanam, juga dijual ke luar desa
penglipuran.
Asta Kosala Kosali merupakan konsep tata ruang tradisional Bali
berdasarkan konsep keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana), hirarki tata nilai
(Tri Angga), orientasi kosmologis (Sanga Mandala), ruang terbuka (natah),
proporsional dengan skala, kronologis dan prosesi pembangunan, kejujuran
struktur dan kejujuran pemakaian material. Apabila dimensi dan ukuran bangunan
proporsional sesuai skala ukuran tubuh pemilik rumah disertai dengan ritual
upakara dan hari baik maka dipercaya akan terjadi keseimbangan kehidupan
penghuni rumah dengan lingkungan di sekitar pekarangan.
3.3.3. Tanggung Jawab Anggota Masyarakat
Masyarakat Desa Penglipuran mempunyai tanggung jawab moral yang
tinggi dalam pemanfaatan sumber daya yang mereka miliki. Sebagai contoh dapat

14
dilihat pada pemeliharaan hutan yang ada di Desa Penglipuran. Dalam hal ini
hanya masyarakat penglipuran yang mengetahui cara menjaga kelestarian hutan
bambu dan hutan kayu yang dimiliki. Hal ini bertujuan agar pohon yang ditebang
tidak dimakan rayap dan awet serta pohon lainnya dapat tumbuh dengan subur. Ini
sesuai dengan pandangan Korten yang menyatakan bahwa pengelolaan berbasis
masyarakat (community management) sangat penting dilakukan. Hal ini terkait
dengan pertama, adanya local variety (variasi lokal) yang tidak dapat diberikan
perlakuan sama. Kedua, adanya local resources (sumber daya lokal) yang secara
tradisional telah dikelola oleh masyarakat setempat dari generasi ke generasi.
Ketiga, local accountability (Pradnyaparamita & Laksmi., 2019).

3.3.4. Hutan Lindung


Bambu sudah akrab dengan kehidupan masyarakat Desa Adat
Penglipuran, terlebih kawasan desa yang berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota
Denpasar itu memang dikelilingi hutan, termasuk hutan bambu. Dari sekitar 112
hektar luas wilayah Desa Adat Penglipuran, kawasan hutannya seluas 45 hektar,
sedangkan kawasan permukimannya hanya seluas sembilan hektar.

Gambar 1 Hutan Bambu Desa Penglipuran


Kawasan hutan bambu di sekitar Desa Adat Penglipuran, terutama di
utara desa tersebut, dibiarkan alami meskipun sudah dilengkapi jalur treking
mengelilingi hutan bagi wisatawan. Terdapat beberapa plang informasi jenis
bambu yang tumbuh di hutan bambu tersebut. Sedikitnya tumbuh 15 jenis bambu
di kawasan hutan Desa Adat Penglipuran. Hutan bambu di sekitar desa dijaga dan
dikonservasi karena berfungsi dalam mitigasi bencana alam selain menjadi
penunjang keperluan desa.

15
Hutan tersebut dilestarikan sebagai bentuk warisan dari para leluhur serta
untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Masyarakat Penglipuran
juga meyakini bahwa hutan bambu tersebut adalah bagian dari awal sejarah
keberadaan mereka. Secara fungsi, hutan bambu di Desa Penglipuran juga
merupakan kawasan resapan air. Itulah mengapa, hutan bambu ini juga disebut
sebagai hutan pelindung desa.
3.3.5. Pekarangan dan Arsitektur Bangunan
Pekarangan di Desa Adat Penglipuran sejak semula sampai kini tetap
yakni 77 buah. Satu diantaranya disebut karang memadu (tempat pengucilan bagi
yang beristri lebih dari satu) dan 76 buah sisanya disebut karang kerti (tempat
pengabdian / sebagai tempat tinggal). Setiap karang kerti disetrai dengan sebidang
tanah garapan yang disebut cecatu (sawah, ladang dan hutan bambu). Karang kerti
diyakini sebagai tempat mengabdikan diri kepada Tuhan melalui kehidupan
berumah tangga dan bermasyarakat, oleh karenanya karang kerti beserta lahan
ikutannya tidak boleh dibanguni diluar ketentuan adat, atau ditanami pohon
tertentu, sesuai ketentuan awig-awig, terlebih untuk diperjual belikan. Penghuni
karang kerti disebut dengan penanggap (dari kata pananggap adalah orang yang
diserahi tanggung jawab dengan suatu imbalan).
Berdasarkan hasil tersebut pembagian ruang-ruang dalam pemukiman
erat kaitannya dengan nilai filosofi tradisional bali. Fungsi-fungsi bangunan dalam
pekarangan difungsikan sebagai fasilitas sosial budaya dan keagamaan.
Penambangan fungsi area pemukiman dikarenakan menunjang faktor ekonomi
akibat masuknya pariwisata di dalam Desa (Dharmadiatmika & Kohdrata., 2020).
Nilai-nilai arsitektur hijau yang dapat ditemukan dalam pola massa atau
tata letak rumah tradisional Penglipuran Bangli antara lain:
1. Terdapat efisiensi energi pada pola massa rumah tinggal arsitektur
tradisional Penglipuran yang membentuk pola menyebar/cluster. Setiap
massa bangunan akan dapat dengan optimal memanfaatkan cahaya alami
untuk menerangi aktifitas keluarga baik di dalam maupun di luar ruangan
khususnya dari pagi hingga sore hari.
2. Terdapat usaha konservasi air pada penataan massa bangunan rumah tinggal
arsitektur tradisional Penglipuran dimana ruang-ruang luar yang terbentuk

16
akibat komposisi massanya tidak seluruhnya diperkeras dengan komponen
hardscape tapi ditata dengan penanaman vegetasi sehingga akan
memungkinkan penyerapan air tanah secara optimal, pemurnian udara, dan
penurunan suhu atau pengurangan emisi pemanasan di lingkungan sekitar
bangunan rumah tinggal.
3. Terjadi kenyamanan fisik dan kualitas udara yang baik dalam bangunan
karena adanya penataan massa bangunan yang diatur berdasarkan nilai-nilai
kearifan lokal.
4. Rancangan ruang luar yang seimbang antara hardscape dan softscape pada
penataan massa bangunan rumah tinggal arsitektur tradisional Penglipuran
mampu meminimalkan efek pemanasan dan dapat menurunkan suhu udara
serta mereduksi sejumlah karbondioksida (CO2) sebagai polutan udara.

17
BAB IV. KESIMPULAN

Kesimpulan dari laporan praktik lapang ekologi dan etika lingkungan


sebagai berikut:
1. Kondisi flora dan fauna pada desa Penglipuran masih sangat terjaga
kelestariannya, salah satu flora di desa Penglipuran yang cukup dominan
yaitu huta bambu. Penggunaan bambu yang cukup dominan merupakan salah
satu bentuk kearifan dalam memanfaatkan bahan alami di sekitarnya. Bambu
juga digunakan untuk bahan barang kerajinan dan kebutuhan untuk ritual.
Dari sisi ekologis, hutan bambu sangat penting untuk menahan erosi
mengingat kondisi lahan desa yang miring. Pelestarian lingkungan di desa ini
juga dilakukan melalui upaya konservasi hutan bambu di luar desa. Sumber
mata air masyarakat berasal dari hutan bambu yang kondisi airnya masih
terjaga kejernihannya.
2. Bentuk kegiatan yang secara rutin dilakukan oleh masyarakat adalah kerja
bakti di sekitar lingkungan pura dalam dua kali sebulan. Kearifan lokal
masyarakat desa Penglipuran dilandasi oleh ideologi Tri Hita Karana dalam
mengelola desa. Kerja bakti juga dilakukan secara lebih insentif menjelang
pelaksanaan ritual pujawali dan hari-hari keagamaan.
3. Hukum adat masyarakat desa Penglipuran menggunakan adat awig-awig
dalam hukum adat, tata ruang yang terdiri dari tiga konsep yakni, Tri Hita
Karana, Tri Mandala, Asta Kosala Kosali, serta seluruh masyarakat yang
bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arinasa, Ida Bagus Ketut dan I Nyoman Peneng. 2013. Jenis-Jenis Bambu di Bali
dan Potensinya. Jakarta : LIPI Press

Cahyani, I., Irfananda, O., Anggraini, M. S., Zaini, A., Nur Prasetiya, E. A., & Al-
Fatih, S. (2022). Efektifitas Peraturan Desa (Awig-Awig) Bagi
Masyarakat Desa Adat Panglipuran (The Effectiveness Of Village
Regulations (Awig-Awig) For The Community Of The Panglipuran
Traditional Village).

Dharmadiatmika, I. M. A., & Kohdrata, N. (2020). Struktur sosial dan tatanan


spasial permukiman Desa Adat Penglipuran, Kecamatan Kubu,
Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Jurnal Arsitektur Lansekap, 6(1), 122.

Dita, M. A. D. P., Wiranata, I. M. R. A., Sari, K., & Sujana, I. W. (2019).


Penglipuran sebagai desa edukasi berbasis Tri Hita Karana dalam
pengembangan karakter SD. Indonesian Values and Character
Education Journal, 2(2), 97-105.

Muliawan, I. W. (2017). Kearifan Masyarakat Desa Penglipuran Kabupaten


Bangli Dalam Melestarikan Tanaman Bambu Dan Aplikasinya Sebagai
Bahan Bangunan. PADURAKSA: Jurnal Teknik Sipil Universitas
Warmadewa, 6(1), 34-43.

Pradnyaparamita, A. S. A., & Laksmi, A. R. S. (2019). Ideologi dalam


Pengembangan Pariwisata di Desa Penglipuran Kabupaten
Bangli. Public Inspiration: Jurnal Administrasi Publik, 4(2), 83-90.

Qolby, M. T., & Alhaq, M. T. (2019). Kajian kepedulian masyarakat berbasis


kearifan lokal dalam upaya pelestarian lingkungan di desa penglipuran
bali. Jurnal Ilmiah Pendidikan Lingkungan dan Pembangunan, 20(02),
1-12.

Suwarno, J., & Fuadi, A. L. (2022). Perancangan Aplikasi Pengenalan Flora Dan
Fauna Indonesia Berbasis Android Dengan Metode Library
Research. Jurnal Ilmu Komputer, 5(2), 1-1.

Yuliani, N. K., Suka, I. G., & Pujaastawa, I. B. G. (2017). Konservasi Hutan


Bambu Berbasis Kearifan Lokal di Desa Adat Penglipuran Kecamatan
Bangli Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Jurnal Humanis, 18(1).

Yusa, I. G. (2017). Hak Pewarisan Nyentana Di Desa Adat Panglipuran Kubu


Kabupaten Bangli. E-Journal Ilmu Hukum Kertha Desa, 4(2), 1-5.

19
LAMPIRAN

20
21
22
23

Anda mungkin juga menyukai