NAMA : LISNAWATI
NIM : 2320525320018
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Praktik Lapang yang berlokasi di desa Penglipuran Kota Bali. Laporan
hasil praktik lapangan ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Ekologi
dan Etika Lingkungan di program studi magister Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Basir, Bapak Abdul Hadi, Bapak Abrani Sulaiman dan Bapak
Hafizianor, selaku dosen pengampu mata kuliah ini.
Penulis sadar bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat penulis harapkan demi penulisan yang lebih baik untuk yang akan
datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Tujuan......................................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1. Kondisi Ekologis Flora di Panglipuran...................................................3
2.2. Desa Panglipuran.....................................................................................4
2.3. Kearifan Lokal Masyarakat.....................................................................5
BAB III. PEMBAHASAN.......................................................................................7
3.1. Kondisi Ekologi Desa Penglipuran.........................................................7
3.1.1. Flora dan Fauna..................................................................................7
3.1.2. Sumber Mata Air................................................................................7
3.2. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Mengelola Lingkungan Desa
Penglipuran................................................................................................8
3.2.1. Superstruktur Ideologis.......................................................................8
3.2.2. Struktur Sosial....................................................................................9
3.2.3. Infrastruktur Material........................................................................11
3.3. Adat Penglipuran Pelestarian Lingkungan............................................11
3.3.1. Pembuatan Hukum Adat...................................................................11
3.3.2. Pengelolaan Tata Ruang pada Anggota Masyarakat........................13
3.3.3. Tanggung Jawab Anggota Masyarakat.............................................14
3.3.4. Hutan Lindung..................................................................................15
3.3.5. Pekarangan dan Arsitektur Bangunan...............................................16
BAB IV. KESIMPULAN......................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1
yang berarti penghibur (Muliawan, 2017). Tata ruang masyarakat memiliki peran
dan fungsi yang sangat strategis dalam menjaga harmonisasi lingkungan. Desa
Adat Penglipuran merupakan simbol sakralisasi adat dan tradisi yang telah
bertahan ratusan mungkin ribuan tahun. Desa Penglipuran memiliki perbedaan
dengan desa lainnya yaitu memiliki memiliki susunan tata ruang desa yang sangat
rapi dan simetris, bentuk dan tata letak semua rumah penduduknya relatif sama.
Desa Penglipuran memiliki potensi yang dapat menimbulkan daya tarik bagi para
wisatawan, apalagi desa ini termasuk sebagai salah satu dari tiga desa terbersih di
dunia.
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam mengelola sumber daya lahan harus efektif dan efisien,
karena dalam pengelolaan sumber daya lahan berkaitan dengan lingkungan dan
masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki kearifan lokal tinggi memegang teguh
filsafat adatnya, seperti mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan manusia.
1.2. Tujuan
Tujuan laporan praktik lapang mata kuliah ekologi dan etika lingkungan
yang dilaksanakan di Bali sebagai berikut:
1. Mengkaji dan mengidentifikasi kondisi ekologis desa Penglipuran meliputi
kondisi flora dan fauna serta sumber mata air yang ada di sana?
2. Mengkaji dan mengidentifikasi kearifan lokal Masyarakat dalam mengelola
lingkungan desa berdasarkan 3 komponen sosio-kultural yang membangun
kearifan masyarakat?
3. Mengkaji informasi mengenai adat masyarakat Penglipuran melakukan
pelestarian lingkungan?
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Hutan bambu yang berada di Desa Adat Penglipuran ini sangat dijaga
kelestariannya, karena selain untuk mewarisi sumber daya alam secara turun-
temurun, masyarakat Desa Adat Penglipuran juga memanfaatkan kegunaan bambu
dari hutan bambu sebagai keperluan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat
sehingga konservasi hutan bambu di Desa Adat Penglipuran tetap dilakukan
sampai sekarang (Arinasa, 2013 : 3-4). Oleh karena itu, konservasi hutan barnbu
di Bali perlu dilakukan, seperti Yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat
Penglipuran Bangli Yang melestarikan hutan bambu yang mereka miliki dengan
tetap menjaga keanekaragaman jenis bambu yang ada terutama bambu endemik
asli dari Pulau Bali.
Makna simbolik hutan bambu bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran
terkandung di dalam pandangan masyarakat yang berkaitan dengan konsep Tri
Mandala dan konsep Tri Hita Karana. Pada konsep Tri Hita Karana hutan bambu
memiliki makna simbolik yaitu kehidupan. Hubungan yang erat antara masyarakat
Desa Adat Penglipuran dengan lingkungan yang ada khususnya Hutan bambu
yaitu dilihat dari ritual persembahan kepada pohon bambu pada hari Tumpek
Wariga. Pada masyarakat Desa Adat Penglipuran melakukan konservasi hutan
bambu yang mereka miliki dengan tetap menjaga warisan dari Ieluhur sehingga
hutan bambu masih terjaga kelestariannya sampai sekarang.
Hutan bambu jika dilihat secara model of adalah suatu pelestarian hutan
bambu yang dilakukan oleh masyarakat dengan menjaga populasi bambu dan
kawasan hutannya. Konservasi hutan bambu akan bermanfaat untuk menjaga
keseimbangan alam agar terhindar dari banjir maupun tanah longsor, menjaga
konservasi air yang terjadi secara alami di dalam tanah dengan akar-akar dari
bambu sehingga kawasan tersebut terhindar dari kekeringan. Bentuk pelestarian
hutan bambu yang terdapat di Desa Adat Penglipuran yaitu salah satunya
kepemilikan hutan yang disebut hutan duwe (hutan milik) yang di dalamnya juga
terdapat awig-awig tentang kepemilikan hutan serta peraturan yang ditaati oleh
3
masyarakatnya yaitu larangan menebang bambu secara berlebihan dan larangan
menebang bambu pada hari yang tidak baik.
2.2. Desa Panglipuran
4
2.3. Kearifan Lokal Masyarakat
5
hanya di batasi oleh jalan utama kecil di tengahnya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa berbagai keunikan ini mencakup sejarah desa, tata letak, sistem organisasi
dan keunikan lainnya. Keunikan yang dimiliki Desa Penglipuran menjadikan daya
dukung yang sangat baik dalam mengembangkan Desa Penglipuran sebagai desa
wisata yang berbasis kerakyatan (Nurjaya, 2011).
Desa Penglipuran ini sejuk dikarenakan tidak ditemukannya polusi yang
diakibatkan oleh kendaraan bermotor di kawasan desa penglipuran, karena di desa
ini tidak diizinkan kendaraan melintasi wilayah ini. Masyarakat didesa ini
memegang teguh prinsip keep clean, clear and green. Dalam hal pengelolaan
sampah di desa ini disetiap sudut desa ini akan ada banyak bak sampah yang
disediakan untuk menampung sampah dan setiap sampah yang ada dikelola oleh
bank sampah.
6
BAB III. PEMBAHASAN
7
sangat dijaga kelestariannya, karena selain untuk mewarisi sumber daya alam
secara turun temurun, masyarakat Desa Adat Penglipuran juga memanfaatkan
kegunaan bambu dari hutan bambu sebagai keperluan sehari-hari dalam
kehidupan bermasyarakat sehingga konservasi hutan bambu di Desa Adat
Penglipuran tetap dilakukan sampai sekarang (Yuliani et.al., 2017).
3.2. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Mengelola Lingkungan Desa
Penglipuran
8
hunian tersebut terdapat jalan kecil yang menghubungkan satu rumah dengan
rumah yang lain (embakan kapisaga). Hal ini bertujuan agar masing-masing
penghuni rumah dapat saling tolong menolong, saling memberi dan saling
menjaga satu sama lain (Pramita & Laksmi., 2019).
Ketiga, hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan) di Desa
Penglipuran dapat dilihat pada kegiatan pemeliharan kebersihan lingkungan yang
dilakukan oleh masyarakat, pengelola desa wisata dan pemerintah. Dalam upaya
mewujudkan daya tarik wisata yang bersih, sejuk dan indah, pihak pengelola
memiliki seksi kebersihan dan pertamanan yang bertugas menjaga kebersihan
lingkungan Desa Penglipuran. Upaya sadar lingkungan juga dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Bangli melalui Dinas kebersihan dan Pertamanan (DKP)
dengan membersihkan lingkungan diluar areal inti desa, seperti di sepanjang jalan
utama sampai Tugu Pahlawan.
Selain itu untuk menunjang kebersihan lingkungan, di Desa Penglipuran
juga disediakan tempat sampah yang terdiri dari tempat sampah organik dan
nonorganik yang diletakkan di beberapa area seperti di depan bale banjar, areal
pertamanan, di depan Pura Penataran dan di depan rumah-rumah penduduk.
Selain itu masyarakat juga menjaga kelestarian hutan bambu dan hutan kayu yang
berada di sekitar desa. Bagi masyarakat Desa Penglipuran yang ingin menebang
pohon harus menggunakan hari baik atau dewasa ayu. Bilamana penebangan
bambu tidak dilakukan dengan menggunakan hari baik, maka diyakini bambu
akan menjadi rusak, mengering, lalu mati (Pramita & Laksmi., 2019).
Di Desa Penglipuran terdapat tari-tarian yaitu tari Baris. Tari Baris
sebagai salah satu bentuk seni tradisional yang berakar kuat pada kehidupan
masyarakatnya dan hidup secara mentradisi atau turun temurun, dimana
keberadaan Tari Baris Sakral di Desa Adat Penglipuran adalah merupakan tarian
yang langka, dan berfungsi sebagai tari penyelenggara upacara dewa yadnya.
Unsur bentuk ini meliputi juga keanggotaan sekaa Baris sakral ini di atur di dalam
awig-awig Desa Adat Penglipuran. Kemudian nama-nama penari ketiga jenis
Baris sakral ini juga telah ditetapkan, yakni Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12
orang, dan Baris Bedil 20 orang.
9
3.2.2. Struktur Sosial
Desa Penglipuran hanya ada satu tingkatan kasta yaitu Kasta Sudra, jadi
di Penglipuran kedudukan antar warganya setara. Hanya saja ada seseorang yang
diangkat untuk memimpin mereka yaitu ketua adat. Pada saat ini ketua adat yang
masih menjabat adalah I Wayan Supat. Pemilihan ketua adat tersebut dilakukan
lima tahun sekali. Desa Penglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu
menurut sistem pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan
sistem yang otonom atau Desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal
berdiri sendiri-sendiri dan setara. Karena otonom, desa adat mempunyai aturan-
aturan tersendiri menurut adat istiadat di daerah penglipuran dengan catatan
aturan tersebut tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang
pemerintah. Undang-undang atau aturan yang ada di desa penglipuran disebut
dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan
operasional masyarakat penglipuran yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana
tersebut yaitu sebagai berikut :
a. Prahyangan, adalah hubungan manusia dan tuhan. Meliputi penentuan hari
suci, tempat suci dan lain-lain.
b. Pawongan, adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan
masyarakat penglipuran dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan
dengan orang yang beda agama. Contohnya sistem perkawinan,organisasi,
perwarisan dan lain-lain.
c. Hubungan manusia dan lingkungan, masyarakat desa penglipuran diajarkan
untuk mencintai alam lingkungannya dan selalu merawatnya, tidak heran
kalau desa penglipuran terlihat begitu asri. Filsafat hubungan yang selaras
antara alam dan manusia dan kearifan manusia mendayagunakan alam
sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas di Penglipuran dan daerah
lain di Bali.
Di Bali secara umum menganut system kekeluargaan patrilineal yang
lazim disebut dengan system kapurusa/purusa. Melangsungkan perkawinan diBali,
umumnya dikenal adanya 2 bentuk perkawinan yakni perkawinan biasa dan
perkawinan nyentana. Bentuk perkawinan nyentana sesungguhnya adalah jalan
10
alternatif yang dapat di jalani oleh pasangan suami istri yang kebetulan hanya
dikaruniai anak perempuan saja (Yusa., 2017).
11
manusia dengan Sang Pencipta, hubungan yang harmonis dengan sesama
manusia, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam ciptaan dan
makhluk hidup lainnya. Pandangan hidup adalah cara pandang dari seseorang,
masyarakat atau negara, tentang kehidupan yang dianggap baik karena diyakini
sebagai hal yang benar. Peri kehidupan dari masyarakat desa Panglipuran di Bali
dilandasi pula oleh filosofi dari Tri Hita Karana, yang mana menyangkut cara
pandang yang saling berkaitan dengan tiga persepsi dasar hubungan manusia
(Cahyani et.al., 2022).
Dulunya Awig-awig ini memang sudah ada tetapi bentuknya masih tidak
tertulis. Di dalam Awig-awig sendiri berisi tentang aturan dan norma apa yang
boleh dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan bagi masyarakat adatnya, dan
yang diatur juga dari berbagai aspek mulai dari cara berkehidupan hingga sanksi-
sanksi yang akan diberlakukan jika melanggar isi dari awig-awig ini (Cahyani
et.al., 2022).
Awig-awig ini yang mengatur tentang kehidupan masyarakat adat
Panglipuran, antara lain berisi mengenai larangan untuk berpoligami, kematian,
pernikahan, pencurian, pembunuhan dan segala aspek kehidupan lainnya mulai
dari sanksi dan tata caranya pun tertera didalam awig-awig. Namun dapun perkara
yang bahwasanya baru atau belum pernah terjadi dan tidak ada aturan dalam
awig-awig yang mengatur kejadian tersebut maka perangkat adat yang berwenang
akan melakukan rapat dadakan atau yang disebut pararem (Cahyani et.al., 2022).
Kewajiban adat dalam kehidupan masyarakat adat panglipuran disebut
sanksi sosial, akibat dilanggarnya aturan-aturan adat atau kebiasaan-kebiasaan
yang dianggap benar dan telah disepakati bersama. Sanksi adalah ketentuan-
ketentuan hukum yang ditetapkan, apakah hukum yang ada dapat dikenakan
kepada seseorang yang melanggar kaidah-kaidah undang-undang atau kaidah-
kaidah hukum lainnya, umpamanya dalam hukum pidana yang kaidah-kaidahnya
terdapat pada ukuran agama dan kesusilaan (Cahyani et.al., 2022).
Dijelaskan pula untuk perkara Pembunuhan, pencurian dan menggunakan
sepeda motor diarea desa adat sanksinya hampir sama melakukan sesajen 4 tempat
atau 4 pura untuk membersihkan wilayah atau namanya Melaburin. Aturan dan
sanksi inti sudah sesuai dengan isi peraturan yang ada di awig-awig. Seandainya
12
yang belum tertera kadang” namanya Pararem (rapat dadakan) karna belom
pernah terjadi dan hal itu terjadi baru pertama kali dan harus dirapatkan. Contoh
kasus yang pernah terjadi dan mengharuskan perangkat adat melakukan pararem
(rapat dadakan) yang dilakukan oleh perangkat adat akan adanya perkara baru
yaitu dalam kasus pencurian bunga di sekolah yang dilakukan oleh beberapa
pemuda yang masih dibawah umur. Pencurian ini dalam hukum positif di
Indonesia termasuk kedalam ranah pidana, dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Pencurian biasa diatur di pasal 362 kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), pencurian dengan pemberatan di pasal 363 KUHP, dan perampokan di
pasal 365 KUHP.
Penanggung jawab itu kepala keluarga dan dibawah lagi ada 5 Kepala
Keluarga seandainya kalo terjadi pelanggaran bagi bawahan keluarga maka satu
keluarga tidak diperbolehkan ketempat suciseandainya sanksi tersebut belum
dibayar maknya yang kena bukan hanya yang berbuat tapi semuanya atau satu
keluarga kena imbasnya. Struktur adat paling tua didesa adat kepala adat
(dituakan sebagai pemimpin) dari masyarakat, penyarikan (bendahara), panglima
(wakil) dan warga mempunyai tanggung jawab menjaga wilayahnya. Adapun cara
penegakan awig-awig selain diasingkan dan mendapat sanksi sosial yaitu
dibicarakan selagi ada yang ditambah atau dikurangi dalam awig-awignya untuk
dipertegaskan lagi dan untuk kepala keluarga dirumah dan masyarakat adat bisa
memberi tahukan kepada adik, keponakan agar jangan sampai melakukan
larangan yang ada didalam Awig-awig atau begitu kalo masih ada yang melanggar
wajar saja kan namanya manusia (Cahyani et.al., 2022).
3.3.2. Pengelolaan Tata Ruang pada Anggota Masyarakat
Pola tata ruang pada masyarakat Desa Adat Penglipuran didasarkan pada
tiga konsep yakni, Tri Hita Karana, Tri Mandala, Asta Kosala Kosali. Konsep Tri
Hita Karana digunakan untuk melestarikan lingkungan. Masyarakat setempat
menciptakan hutan keramat sebagai upaya menciptakan hubungan manusia
dengan alam semesta agar lebih harmonis. Dalam pembangunan rumah,
digunakan pula konsep yang kuat, yaitu asta kosala kosali, yang menentukan
struktur bangunan dengan fungsinya masing-masing. Dengan menggunakan
konsep ini setiap pekarangan rumah harus dikelilingi dengan tembok (pagar) dan
13
setiap tembok antar tentangga terdapat jalan untuk dilintasi. Pagar dan gapura
rumah juga dibangun dari tanah liat dan harus beratapkan bambu. Dalam
pengukuran pun lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang mempunyai rumah.
Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti musti, hasta, depa.
Pola desa bangunan Adat Penglipuran umumnya berjejer dari utara keselatan
dengan wilayah-wilayah yang telah didasarkan pada konsep hulu-teben.
Berdasarkan pembagian tata ruang tersebut akan lebih memudahkan masyarakat
dalam memetakan tempat untuk membangun pura sebagai tempat suci,
pemukiman, sekolah, lapangan olah raga, kuburan, jalan dan pasilitas lainnya.
Konsep tri mandala juga menjadi pedoman dalam membangun
pekarangan rumah pada masing-masing keluarga, dimana pada setiap pekarangan
dibagi menjadi tiga yaitu utama mandala, madya mandala dan nista mandala.
Konsep tri mandala berdasarkan pada tubuh manusia yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu kepala, badan dan kaki, yang mempunyai fungsi masing-masing dan saling
tergantung satu sama lain. Seluruh bagian lahan yang terdapat di desa
dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Mereka membuat hutan bambu di
sebelah utara desa yang diharapkan dapat menyerap tanah sehingga menghambat
terjadinya banjir, selain itu masyarakat juga mengelola daun bambu untuk
dijadikan pupuk maupun kompos. Pupuk tersebut nantinya akan dimanfaatkan
oleh masyarakat setempat untuk bercocok tanam, juga dijual ke luar desa
penglipuran.
Asta Kosala Kosali merupakan konsep tata ruang tradisional Bali
berdasarkan konsep keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana), hirarki tata nilai
(Tri Angga), orientasi kosmologis (Sanga Mandala), ruang terbuka (natah),
proporsional dengan skala, kronologis dan prosesi pembangunan, kejujuran
struktur dan kejujuran pemakaian material. Apabila dimensi dan ukuran bangunan
proporsional sesuai skala ukuran tubuh pemilik rumah disertai dengan ritual
upakara dan hari baik maka dipercaya akan terjadi keseimbangan kehidupan
penghuni rumah dengan lingkungan di sekitar pekarangan.
3.3.3. Tanggung Jawab Anggota Masyarakat
Masyarakat Desa Penglipuran mempunyai tanggung jawab moral yang
tinggi dalam pemanfaatan sumber daya yang mereka miliki. Sebagai contoh dapat
14
dilihat pada pemeliharaan hutan yang ada di Desa Penglipuran. Dalam hal ini
hanya masyarakat penglipuran yang mengetahui cara menjaga kelestarian hutan
bambu dan hutan kayu yang dimiliki. Hal ini bertujuan agar pohon yang ditebang
tidak dimakan rayap dan awet serta pohon lainnya dapat tumbuh dengan subur. Ini
sesuai dengan pandangan Korten yang menyatakan bahwa pengelolaan berbasis
masyarakat (community management) sangat penting dilakukan. Hal ini terkait
dengan pertama, adanya local variety (variasi lokal) yang tidak dapat diberikan
perlakuan sama. Kedua, adanya local resources (sumber daya lokal) yang secara
tradisional telah dikelola oleh masyarakat setempat dari generasi ke generasi.
Ketiga, local accountability (Pradnyaparamita & Laksmi., 2019).
15
Hutan tersebut dilestarikan sebagai bentuk warisan dari para leluhur serta
untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Masyarakat Penglipuran
juga meyakini bahwa hutan bambu tersebut adalah bagian dari awal sejarah
keberadaan mereka. Secara fungsi, hutan bambu di Desa Penglipuran juga
merupakan kawasan resapan air. Itulah mengapa, hutan bambu ini juga disebut
sebagai hutan pelindung desa.
3.3.5. Pekarangan dan Arsitektur Bangunan
Pekarangan di Desa Adat Penglipuran sejak semula sampai kini tetap
yakni 77 buah. Satu diantaranya disebut karang memadu (tempat pengucilan bagi
yang beristri lebih dari satu) dan 76 buah sisanya disebut karang kerti (tempat
pengabdian / sebagai tempat tinggal). Setiap karang kerti disetrai dengan sebidang
tanah garapan yang disebut cecatu (sawah, ladang dan hutan bambu). Karang kerti
diyakini sebagai tempat mengabdikan diri kepada Tuhan melalui kehidupan
berumah tangga dan bermasyarakat, oleh karenanya karang kerti beserta lahan
ikutannya tidak boleh dibanguni diluar ketentuan adat, atau ditanami pohon
tertentu, sesuai ketentuan awig-awig, terlebih untuk diperjual belikan. Penghuni
karang kerti disebut dengan penanggap (dari kata pananggap adalah orang yang
diserahi tanggung jawab dengan suatu imbalan).
Berdasarkan hasil tersebut pembagian ruang-ruang dalam pemukiman
erat kaitannya dengan nilai filosofi tradisional bali. Fungsi-fungsi bangunan dalam
pekarangan difungsikan sebagai fasilitas sosial budaya dan keagamaan.
Penambangan fungsi area pemukiman dikarenakan menunjang faktor ekonomi
akibat masuknya pariwisata di dalam Desa (Dharmadiatmika & Kohdrata., 2020).
Nilai-nilai arsitektur hijau yang dapat ditemukan dalam pola massa atau
tata letak rumah tradisional Penglipuran Bangli antara lain:
1. Terdapat efisiensi energi pada pola massa rumah tinggal arsitektur
tradisional Penglipuran yang membentuk pola menyebar/cluster. Setiap
massa bangunan akan dapat dengan optimal memanfaatkan cahaya alami
untuk menerangi aktifitas keluarga baik di dalam maupun di luar ruangan
khususnya dari pagi hingga sore hari.
2. Terdapat usaha konservasi air pada penataan massa bangunan rumah tinggal
arsitektur tradisional Penglipuran dimana ruang-ruang luar yang terbentuk
16
akibat komposisi massanya tidak seluruhnya diperkeras dengan komponen
hardscape tapi ditata dengan penanaman vegetasi sehingga akan
memungkinkan penyerapan air tanah secara optimal, pemurnian udara, dan
penurunan suhu atau pengurangan emisi pemanasan di lingkungan sekitar
bangunan rumah tinggal.
3. Terjadi kenyamanan fisik dan kualitas udara yang baik dalam bangunan
karena adanya penataan massa bangunan yang diatur berdasarkan nilai-nilai
kearifan lokal.
4. Rancangan ruang luar yang seimbang antara hardscape dan softscape pada
penataan massa bangunan rumah tinggal arsitektur tradisional Penglipuran
mampu meminimalkan efek pemanasan dan dapat menurunkan suhu udara
serta mereduksi sejumlah karbondioksida (CO2) sebagai polutan udara.
17
BAB IV. KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
Arinasa, Ida Bagus Ketut dan I Nyoman Peneng. 2013. Jenis-Jenis Bambu di Bali
dan Potensinya. Jakarta : LIPI Press
Cahyani, I., Irfananda, O., Anggraini, M. S., Zaini, A., Nur Prasetiya, E. A., & Al-
Fatih, S. (2022). Efektifitas Peraturan Desa (Awig-Awig) Bagi
Masyarakat Desa Adat Panglipuran (The Effectiveness Of Village
Regulations (Awig-Awig) For The Community Of The Panglipuran
Traditional Village).
Suwarno, J., & Fuadi, A. L. (2022). Perancangan Aplikasi Pengenalan Flora Dan
Fauna Indonesia Berbasis Android Dengan Metode Library
Research. Jurnal Ilmu Komputer, 5(2), 1-1.
19
LAMPIRAN
20
21
22
23