Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KONSERVASI LINGKUNGAN SUNGAI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Konservasi Sumber Daya Alam dan
Lingkungan
Dosen Pengampu :
Dr. Tarzan Purnomo,M.Si.
Elma Sakinatus Sajidah, S.Si., M.Si., Ph.D.

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Muhamad Aril Yusron 23030174014
Ardelia Putri Fayi Wardhani 23030174026
Dzakiyah Alya Najwa 23030174029
Sita Kusuma Dewi 23030174155
Rahma Mutiari 23030174185

S1 PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2024
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT., atas limpahan rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Konservasi
Lingkungan Sungai” yang memuat tentang definisi dan tujuan dari “Kearifan lokal dengan
Tradisi Larung Sesaji.”

Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari pengarahan dan bantuan dari berbagai
pihak. Maka kami mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang membantu
terselesaikannya makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kami dengan kerendahan hati meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan
atau penguraian makalah ini, dengan harapan dapat diterima oleh bapak/ibu dosen dan dapat
dijadikan acuan pembelajaran kami.

Surabaya, 13 April 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................1
1.3 Tujuan ...........................................................................................................................1
BAB II ........................................................................................................................................2
METODE PENELITIAN ...........................................................................................................2
2.1 Jenis Pendekatan ...........................................................................................................2
2.2 Objek Penelitian ........................................................................................................... 2
2.3 Sumber Data ................................................................................................................. 2
2.4 Teknik Analisis Data .................................................................................................... 2
BAB III ...................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
3.1 Kearifan Lokal ..............................................................................................................3
3.2 Fungsi Kearifan Lokal .................................................................................................. 3
3.3 Jenis-Jenis Kearifan lokal .............................................................................................5
3.4 Asal Usul Larung Sesaji ............................................................................................... 6
3.5 Tujuan Tradisi Larung Sesaji ....................................................................................... 7
3.6 Prinsip Etika Lingkungan ............................................................................................. 8
3.7 Upaya Pelestarian Lingkungan Larung Sesaji yang Sesuai Dengan Prinsip Etika
Lingkungan ...................................................................................................................9
BAB IV .................................................................................................................................... 11
PENUTUP ............................................................................................................................... 11
4.1 Kesimpulan .................................................................................................................11
4.2 Kritik dan Saran ..........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konservasi lingkungan merupakan tantangan global yang membutuhkan perhatian
serius dari semua pihak. Di tengah laju modernisasi dan urbanisasi, keberlangsungan
lingkungan alam sering kali terabaikan. Namun, di berbagai belahan dunia, terutama
di daerah-daerah yang masih kental dengan nilai-nilai tradisional, terdapat warisan
kearifan lokal yang dapat menjadi solusi untuk pelestarian lingkungan.

Salah satu contoh kearifan lokal yang memiliki potensi besar dalam konservasi
lingkungan adalah tradisi larung sesaji. Larung sesaji merupakan ritual yang
dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah, khususnya di Indonesia, sebagai
bentuk penghormatan dan persembahan kepada alam dan roh nenek moyang. Dalam
ritual ini, masyarakat melemparkan berbagai jenis sesaji atau persembahan seperti
bunga, buah-buahan, dan makanan ke sungai atau laut.

Oleh karena itu, dalam makalah ini, akan dianalisis lebih lanjut bagaimana tradisi
larung sesaji dapat menjadi model untuk konservasi lingkungan yang berkelanjutan.
Selain itu, juga akan dibahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan
dan mengembangkan tradisi ini agar tetap relevan di era modern. Dengan memahami
dan menghargai kearifan lokal seperti larung sesaji, diharapkan dapat membuka jalan
menuju solusi-solusi inovatif dalam upaya pelestarian lingkungan global.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud kearifan lokal?
2. Bagaimana asal usul tradisi larung sesaji?
3. Apa tujuan dari tradisi larung sesaji ?
4. Apa saja upaya pelestarian lingkungan yang dapat dilakukan untuk membantu
melestarikan usaha konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan melalui
tradisi larung sesaji yang sesuai dengan prinsip etika lingkungan?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1. Memahami definisi kearifan lokal.
2. Mengetahui asal usul tradisi larung sesaji.
3. Mengetahui tujuan dari tradisi larung sesaji.
4. Mengetahui upaya pelestarian lingkungan yang dapat dilakukan untuk membantu
melestarikan usaha konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan melalui
tradisi larung sesaji yang sesuai dengan prinsip etika lingkungan

1
BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 Jenis Pendekatan


Jenis penelitiannya adalah studi literatur atau kepustakaan, dimana peneliti
menggunakan literatur yang berbeda-beda untuk memperoleh bahan penelitian dan
menggunakan pendekatan kualitatif karena informasi yang dihasilkan berupa kata-kata
atau uraian. Studi perpustakaan, atau studi sastra, adalah karya penelitian yang tempat
kajiannya adalah perpustakaan atau sastra. Penelitian ini menggunakan penelitian yang
sejenis atau berkaitan erat. informasi dari buku, jurnal alam, data digital, RPP berbasis
etnomatematika, dokumen, dan lain sebagainya untuk menganalisis tradisi larung
sesaji di Surabaya dapat menjadi model untuk konservasi lingkungan yang
berkelanjutan, yang meliputi upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan
dan mengembangkan tradisi ini agar tetap relevan di era modern. Dengan memahami
dan menghargai kearifan lokal seperti larung sesaji, diharapkan dapat membuka jalan
menuju solusi-solusi inovatif dalam upaya pelestarian lingkungan global.

2.2 Objek Penelitian


Objek yang dijadikan sebagai kajian penelitian ini yaitu Larung Sesaji di Surabaya.

2.3 Sumber Data


Sumber data merupakan salah satu hal yang dapat mendukung sebuah penelitian.
Sumber data yang digunakan oleh penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang sudah tersedia sehingga tinggal mencari dan mengumpulkan.
Data sekunder yang digunakan sebagai salah satu teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian ini berupa data-data
yang mana dalam bentuk dokumen yang diantaranya yaitu berupa e-jurnal, majalah,
berita online yang tentunya terkat dengan kearifan lokal, larung sesaji, prinsip etika
lingkungan serta upaya pelestarian lingkungan larung sesaji.

2.4 Teknik Analisis Data


Analisis atau penafsiran data merupakan proses mencari maupun menyusun secara
sistematis catatan temuan penelitian melalui pengamatan dan lainnya di mana berguna
untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang fokus yang dikaji dan
menjadikannya sebagai temuan untuk orang lain mengedit, mengklarifikasi, mereduksi,
dan menyajikannya. Teknik analisis data dilakukan dengan beberapa langkah yaitu
mereduksi data dimana peneliti melakukan penyelesaian data yang diperlukan dan data
mana yang tidak diperlukan. Kemudian langkah selanjutnya yaitu menyajikan data
yang sudah melalui proses reduksi data, setelah itu ditafsirkan melalui
proses analisis data.

2
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kearifan Lokal

Kearifan lokal dijadikan pedoman hidup, ilmu, dan rencana kehidupan dalam
melakukan kegiatan lokal masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah dalam
memenuhi kepentingan mereka. Kearifan lokal adalah pandangan hidup suatu
masyarakat di wilayah tertentu mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal.
Pandangan hidup ini biasanya adalah pandangan hidup yang sudah berurat akar
menjadi kepercayaan orang-orang di wilayah tersebut selama puluhan bahkan ratusan
tahun. Untuk mempertahankan kearifan lokal tersebut, para orang tua dari generasi
sebelumnya, dan lebih tua akan mewariskannya kepada anak-anak mereka dan begitu
seterusnya. Mengingat kearifan lokal adalah pemikiran yang sudah lama dan berusia
puluhan tahun, maka kearifan lokal yang ada pada suatu daerah jadi begitu melekat
dan sulit untuk dipisahkan dari masyarakat yang hidup di wilayah tersebut. Mirisnya,
meski banyak orang tua tetap berusaha mewariskan kearifan lokal dan pandangan
hidup yang mereka dapatkan dari nenek moyang, tetapi banyak anak muda justru
menganggap kearifan lokal dan pandangan hidup tradisional yang sudah turun-
temurun dari nenek moyang adalah pandangan dan pemikiran kuno yang sudah tidak
lagi relevan dengan zaman modern saat ini. Seiring berjalannya waktu, kearifan lokal
dapat mengalami perubahan secara aktif dengan mengikuti aturan dan perjanjian
sosial budaya yang ada di Masyarakat.

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal Masyarakat sudah ada didalam


kehidupan Masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga
saat ini. Kearifan lokal dalam lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam
berhubungan dengan alam dan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama,
adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya. Perilaku ini berkembang menjadi
suatu kebudayaan disuatu daerah dan akan berkembang secara turun temurun. Secara
umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang
disuatu daerah yang unsur-unsurnya adalah budaya suku bangsa yang tinggal didaerah
itu.

3.2 Fungsi Kearifan Lokal

Kearifan lokal yang ada mungkin memiliki sifat yang sangat tradisional, tetapi
keberadaan kearifan lokal sangatlah penting bagi masyarakat setempat. Hal ini
dikarenakan, kearifan lokal bukan hanya bisa dijadikan pedoman dalam bertindak
maupun bersikap, tetapi juga memiliki fungsi tertentu. Berikut fungsi dari kearifan
lokal bagi masyarakat.

3
1. Konservasi Pelestarian Sumber Daya Alam yang Ada

Kearifan lokal memiliki cakupan yang cukup luas. Bukan hanya adat istiadat,
kearifan lokal juga merupakan pandangan hidup masyarakat mengenai sumber
daya alam yang ada di wilayah mereka. Kearifan lokal yang ada membuat
masyarakat lebih sadar mengenai pentingnya sumber daya alam yang ada
disekitar mereka. Alih-alih merusak, kearifan lokal justru membantu untuk
mendorong masyarakat di wilayah tertentu untuk melakukan konservasi agar alam
tempat mereka tinggal tetap terjaga dan tidak mengalami kerusakan. Misalnya,
nelayan Aceh yang memiliki hari-hari yang pantang dipakai untuk melaut, seperti
hari Jumat atau hari raya Idul Fitri. Selain dua hari tersebut, ada beberapa hari
lainnya yang juga ditetapkan sebagai hari terlarang untuk melaut. Hal ini
dilakukan agar ikan memiliki kesempatan untuk berkembang biak dengan
maksimal. Selain itu, masyarakat yang bekerja sebagai nelayan juga dilarang
untuk menangkap ikan dengan pukat harimau atau bom yang dapat merusak
terumbu karang dan mengganggu ekosistem di lautan.

2. Menjadi Petuah, Kepercayaan, dan Pantangan

Orang-orang tua kita di masa lalu, tentu ingin yang terbaik untuk kehidupan
anak cucunya kelak. Sayangnya, mereka tidak bisa hidup selamanya untuk
menjaga agar anak cucunya tetap menjalani kehidupan yang baik. Sebagai
gantinya, nenek moyang kita mewariskan berbagai kearifan lokal. Dengan
kearifan lokal yang melekat pada masyarakat, maka bukan hanya merupakan
pandangan hidup yang bisa menjadi lebih baik. Lebih dari itu, kearifan lokal juga
mencakup nasihat atau petuah, pantangan yang tidak boleh dilanggar, juga
kepercayaan yang dipelihara dengan baik. Petuah dan nasihat lama ini diwariskan
tentu saja untuk menjaga agar kehidupan setiap generasi di wilayah tertentu dapat
berjalan baik.

3. Menjadi Ciri Utama Sebuah Masyarakat

Kearifan lokal yang ada juga mencakup adat dan istiadat. Meski seringkali
dianggap kuno, tetapi adat dan istiadat inilah yang justru membuat sebuah daerah
jadi unik dan berbeda dari daerah lainnya di Indonesia. Dengan adanya kearifan
lokal, maka masyarakat akan menganggap seperangkat tradisi sebagai hal yang
sudah seharusnya dilakukan, karena mereka sudah terbiasa dengan adat istiadat
dan budaya tersebut. Selain itu, masyarakat setempat juga sudah menganggap
bahwa kearifan lokal merupakan hal yang memang harus dilakukan di wilayah
tersebut. Namun, beda ceritanya dengan para turis, dan pelancong yang
berkunjung ke suatu wilayah identik dengan kearifan lokalnya. Kearifan lokal
yang tercermin dalam adat istiadat dan budaya ini jelas tidak bisa ditemukan di
wilayah lain, karena itulah yang membuat turis merasa terkesan dengan wilayah
tersebut.

4
3.3 Jenis-Jenis Kearifan lokal

Kearifan lokal bukan hanya memiliki ciri dan fungsi saja, tetapi kearifan lokal
juga terdiri dari dua jenis, yaitu.

1. Kearifan Lokal Berwujud Nyata atau Tangible

Sesuai dengan namanya, kearifan lokal berwujud nyata adalah kearifan lokal
yang bisa kita lihat dan sentuh wujudnya. Kearifan lokal dalam bentuk nyata atau
tangible ini bisa dilihat dalam berbagai bentuk, baik itu dalam bentuk tekstual
seperti tata cara, aturan, atau sistem nilai. Bentuk selanjutnya adalah arsitektural
seperti berbagai jenis rumah adat yang ada di setiap daerah di Indonesia. Misalnya
rumah Gadang di Sumatera Barat, rumah Joglo dari Jawa Tengah, atau rumah
Panggung dari Jambi. Bentuk kearifan lokal berwujud nyata lainnya adalah cagar
budaya seperti patung, berbagai alat seni tradisional, senjata tradisional yang
diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi lainnya, hingga tekstil
tradisional seperti kain batik dari Pulau Jawa, dan kain tenun dari Pulau Sumba.

2. Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud atau Intangible

Kebalikan dari kearifan lokal berwujud yang nyata dan bisa dilihat serta
dirasakan, kearifan lokal tidak berwujud atau intangible ini tidak bisa dilihat
wujudnya secara nyata. Namun, walaupun tidak terlihat, kearifan lokal jenis ini
bisa didengar karena disampaikan secara verbal dari orang tua ke anak, dan
generasi selanjutnya. Bentuk kearifan lokal tidak berwujud antara lain adalah
nasihat, nyanyian, pantun, atau cerita yang mengandung pelajaran hidup bagi
generasi selanjutnya yang bertujuan agar para generasi muda di wilayah tersebut
tidak melakukan tindakan buruk yang dapat merugikan diri sendiri, masyarakat,
serta alam sekitar yang menjadi rumah serta sumber penghidupan mereka.
Contohnya adalah kepercayaan asal Papua yang dikenal dengan nama Te Aro
Neweak Lako. Kepercayaan ini merupakan bentuk kearifan lokal yang tidak
berwujud atau intangible, dimana masyarakat mempercayai bahwa alam
merupakan bagian dari diri mereka. Karena alam adalah bagian dari diri sendiri,
maka alam harus dijaga dengan hati-hati. Termasuk tidak menebang pohon
seenaknya yang dapat membuat hutan gundul dan menyebabkan terjadinya
berbagai bencana yang merugikan. Alam tentu saja boleh dimanfaatkan, tetapi
tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan. Dengan kepercayaan ini, tidak heran
jika alam di Bumi Papua masih sangat terjaga. Kearifan lokal memang mungkin
saja kadang terdengar begitu kuno. Namun tanpa sadar, kearifan lokal dalam
bentuk tidak nyata seperti petuah, pantun, maupun cerita lah yang selama ini
menjaga kita untuk tetap berada dalam jalan yang benar. Sedangkan kearifan lokal
berbentuk nyata seperti batik, kerajinan tangan, arsitektur membuat kita jadi
begitu berbeda dari wilayah lainnya. Aneka bentuk kearifan lokal ini tanpa sadar
bukan hanya menjadi kepercayaan yang harus dipegang teguh, tetapi juga menjadi

5
identitas sebuah wilayah. Tanpa identitas ini, sebuah wilayah tidak dapat dikenali,
dan diingat oleh orang luar.

3.4 Asal Usul Larung Sesaji


Larung sesaji sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa,
seperti Mataram Kuno, Singosari, dan Majapahit. Tradisi ini berkaitan dengan paham
animisme dan dinamisme yang meyakini adanya roh-roh ghaib yang menguasai alam.
Salah satu roh gaib yang paling terkenal adalah Ratu Laut Selatan, yang juga dikenal
dengan nama Nyai Roro Kidul. Ratu Laut Selatan diyakini sebagai istri dari raja-raja
Mataram, mulai dari Panembahan Senopati hingga Sultan Agung. Hubungan antara
Ratu Laut Selatan dan raja-raja Mataram didasarkan pada perjanjian mistis yang
disebut dengan Babad Tanah Jawi. Dalam perjanjian ini, Ratu Laut Selatan akan
memberikan kekuasaan dan kemakmuran kepada raja-raja Mataram, asalkan mereka
mau menyerahkan diri sebagai suami dan mengabdi kepadanya. Selain itu, Ratu Laut
Selatan juga akan memberikan perlindungan kepada masyarakat Jawa yang tinggal di
pesisir pantai, terutama para nelayan yang bergantung pada hasil laut. Namun, Ratu
Laut Selatan juga memiliki sifat yang angkuh dan pemarah. Ia tidak suka jika ada
orang yang mengganggu kedamaian laut atau melanggar larangan-larangan yang telah
ditetapkan. Misalnya, tidak boleh memakai pakaian berwarna hijau atau kuning di
pantai selatan Jawa, tidak boleh menyebut nama asli Ratu Laut Selatan, atau tidak
boleh menolak ajakan Ratu Laut Selatan untuk menjadi suami atau istri. Untuk
menjaga hubungan baik dengan Ratu Laut Selatan, masyarakat Jawa melakukan
larung sesaji sebagai bentuk penghormatan dan permohonan. Larung sesaji biasanya
dilakukan pada hari-hari tertentu dalam kalender Jawa, seperti 1 Suro (1 Muharram),
Ruwah (bulan sebelum Ramadhan), atau Purnama (bulan purnama).

Larung Sesaji dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharram atau 1 Suro. Jalannya


acara ini akan dibuka dengan doa (ujub) yang dipimpin oleh ketua adat. Berisi
ungkapan ungkapan rasa syukur dan bahagia atas hasil laut yang diperoleh selama
setahun. Serta harapan agar memperoleh hasil yang baik dan terhindar dari musibah.
Oleh karena itu, keberadaannya tetap harus dilestarikan dan dijaga.

Konon tradisi larung sesaji yang juga disebut sebagai larungan ini dilakukan
oleh Atmaja atau Atmo Wijoyo, salah satu prajurit dari Mataram yang merupakan
anak buah Pangeran Diponegoro. Atmaja melarikan diri ke Pantai Tambakrejo dan
melakukan tasyakuran yang kemudian dikenal sebagai larung sesaji. Selain itu, tradisi
ini juga sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan bahwa manusia tidak hidup
sendiri, namun berdampingan dengan hal gaib, dan alam semesta.

Sebelum upacara ini dilaksanakan biasanya malam hari akan diadakan


Pegelaran Wayang. Kemudian paginya akan dibuka oleh Bupati dan dilakukan acara
penyerahan selendang kepada juru kunci. Tradisi larungan ini dilakukan bergantian
antara Pantai Tambakrejo dan Pantai Serang. Pembukaan tradisi tersebut ditandai
dengan bunyi gong yang kemudian akan dibacakan sejarah dan tujuan larung sesaji.

6
Dikisahkan, dahulu kala ada seorang prajurit yang berlari mencari tempat
perlindungan, salah satunya adalah Ki Atmo Wijoyo anak buah Pangeran Diponegoro
yang melarikan diri setelah Pangeran Diponegoro diperbudak oleh Belanda. Saat itu
banyak sekali anak buahnya yang berlindung dengan kembali bermasyarakat. Ada
juga yang melanjutkan perang, dan ada juga yang kabur ke hutan belantara yang
ujungnya laut, yaitu Ki Atmo Wijoyo.

Larung sesaji memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Secara
harfiah, larung berarti melempar atau melepas, sedangkan sesaji berarti persembahan
atau kurban. Jadi, larung sesaji berarti melempar atau melepas persembahan ke laut.
Persembahan ini biasanya berupa tumpeng (nasi kuning berbentuk kerucut), kepala
sapi atau kerbau, hasil bumi atau laut (seperti buah-buahan, sayur-sayuran, ikan,
udang, dll), kain batik (terutama motif parang), dupa, kembang setaman (bunga-bunga
segar), uang logam, dan lain-lain. Sesaji ini kemudian diarak menuju pantai dan
didoakan oleh para tokoh agama atau adat. Setelah itu, sesaji dilemparkan ke laut
sebagai persembahan kepada Ratu Laut Selatan. Selain itu, larung sesaji juga
memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan konsep hidup dan mati dalam budaya
Jawa. Larung sesaji dianggap sebagai simbol dari proses manusia kembali ke asalnya,
yaitu laut. Laut di sini melambangkan alam semesta atau Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa). Dengan demikian, larung sesaji menunjukkan sikap manusia
yang tunduk dan pasrah kepada Tuhan, serta menyadari bahwa hidup dan mati adalah
siklus yang tak terhindarkan. Larung sesaji juga menunjukkan sikap manusia yang
rendah hati dan tidak sombong atas apa yang dimilikinya. Sesaji yang dilemparkan ke
laut merupakan ungkapan bahwa manusia tidak memiliki hak atas apa yang
diperolehnya dari alam. Semua itu adalah pemberian Tuhan yang harus disyukuri dan
dibagikan dengan sesama.

3.5 Tujuan Tradisi Larung Sesaji


Upacara Tradisional Larung Sesaji merupakan tradisi turun temurun setiap
tanggal 1 Muharram atau Satu Suro yang dilakukan dengan nuansa spiritual sebagai
refleksi rasa syukur kepada Tuhan atas melimpahnya hasil bumi bagi masyarakat.
Larung Sesaji di Desa secara turun temurun sampai saat ini, dengan tujuan untuk
menolak balak agar terhindar dari bahaya saat melaut serta sebagai wujud syukur
nelayan kepada Allah SWT terhadap hasil laut yang melimpah. Larung Sesaji sebagai
wujud dari keharmonisan antar sesama masyarakat, sebagai solidaritas sosial serta
memiliki fungsi untuk memperkuat nilai aqidah, syariah dan akhlak. Karena dalam
pelaksanaannya, Larung Sesaji mengandung budi pekerti yang luhur, baik dalam
Hablum Minallah, Hablum Minannas dan Hablum Minal Alam. Berikut beberapa
tujuan umum dari tradisi ini.

1. Upacara Pemujaan dan Penghormatan: Larung sesaji sering kali dilakukan sebagai
bentuk pemujaan dan penghormatan kepada leluhur atau roh-roh tertentu dalam
kepercayaan masyarakat Jawa. Para pelaku upacara percaya bahwa dengan
menyajikan sesaji (makanan dan minuman) kepada leluhur atau roh-roh tersebut,
mereka dapat memperoleh perlindungan, keberkahan, dan keberuntungan.

7
2. Pembersihan Spiritual: Larung sesaji juga dapat menjadi upaya untuk
membersihkan dan memurnikan lingkungan spiritual dari energi negatif atau
gangguan roh-roh jahat. Melalui upacara ini, diharapkan bahwa hubungan antara
dunia manusia dengan dunia spiritual dapat dijaga dengan baik.
3. Merayakan Keberlimpahan: Beberapa tradisi larung sesaji juga dilakukan sebagai
bentuk perayaan terhadap keberlimpahan alam atau kesuksesan dalam kehidupan
masyarakat. Penyelenggaraannya sering kali diselenggarakan dalam rangkaian
upacara adat tertentu yang berkaitan dengan musim panen.
4. Menghormati Tempat Suci: Ada pula tradisi larung sesaji yang dilakukan untuk
menghormati tempat-tempat suci, seperti gunung, sungai, dan danau. Upacara ini
mungkin dilakukan sebagai bentuk ekspresi rasa syukur atas keberadaan alam
yang memberikan berkah kepada masyarakat.
5. Mempertahankan Identitas Budaya: Di samping aspek spiritual dan kepercayaan,
larung sesaji juga memiliki nilai sebagai warisan budaya yang harus dijaga dan
dilestarikan. Melalui penyelenggaraan tradisi ini, masyarakat dapat
mempertahankan dan menghormati nilai-nilai serta tradisi leluhur mereka.

3.6 Prinsip Etika Lingkungan


Etika Lingkungan berasal dari dua kata, yaitu Etika dan Lingkungan. Etika
Lingkungan berasal dari dua kata, yaitu Etika dan Lingkungan. Etika berasal dari
bahasa yunani yaitu “Ethikos” yang berarti timbul dari suatu kebiasaan/adat istiadat.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yg mempengaruhi
kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.

Etika lingkungan diartikan sebagai dasar moralitas yang memberikan pedoman


bagi individu ataupun masyarakat dalam berperilaku atau memilih tindakan yang baik
dalam menghadapi dan menyikapi segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan
sebagai kesatuan pendukung kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan umat
manusia serta makhluk hidup lainnya. Etika lingkungan yang baik akan dapat ikut
menjadikan perilaku kita semakin arif dan ramah terhadap lingkungan

Etika Lingkungan adalah cabang dari etika yang mempelajari interaksi moral
antara manusia dan lingkungannya. Ini mencakup evaluasi moral tentang perilaku
manusia terhadap lingkungan alam, baik secara individu maupun sebagai masyarakat.

Berdasarkan etika lingkungan, sumber daya alam merupakan aset yang


memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat baik dari
aspek ekonomi, budaya, sosial, hukum dan politik. Sumber daya alam dan lingkungan
dalam etika lingkungan merupakan bagian dari ruang hidup masyarakat lokal. Adapun
prinsip-prinsip etika lingkungan dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Sikap hormat
terhadap alam (respect for nature); (2) Prinsip tanggung jawab moral (moral
responsibility for nature); (3) Solidaritas kosmis (cosmic solidarity); (4) Kasih sayang
dan kepedulian terhadap alam (caring for nature); (5) Prinsip tidak menimbulkan

8
kerusakan (no harm principle); (6) Hidup sederhana dan selaras dengan alam; (7)
Prinsip keadilan; (8) Prinsip demokrasi; (9) Prinsip integritas moral (Keraf, 2002).

3.7 Upaya Pelestarian Lingkungan Larung Sesaji yang Sesuai Dengan Prinsip Etika
Lingkungan

Tradisi larung merupakan sebuah warisan budaya maritim yang sangat erat akan
nilai budaya dan spiritual, berkaitan erat dengan makna dimana tidak hanya menjadi
wadah untuk mengungkapkan rasa syukur dan penghormatan kepada leluhur. Tradisi
larung mengajarkan masyarakat untuk mencintai, merawat, menjaga, dan melestarikan
lingkungan. Tradisi larung merupakan upaya melestarikan lingkungan, khususnya di
wilayah pesisir. Adapun beberapa upaya pelestarian lingkungan yang sesuai dengan
prinsip etika lingkungan yang dapat dilakukan dari kegiatan larung sesaji, antara lain
sebagai berikut.

1. Penggantian Bahan Sesaji

Menggantikan bahan sesaji menggunakan bahan ramah lingkungan, yaitu


dengan mengganti bahan sesaji yang terbuat dari plastik, styrofoam, atau bahan
pencemar lainnya dengan bahan alami yang mudah terurai, seperti daun pisang,
bambu, atau kelapa. Menggunakan produk lokal, yaitu menggunakan produk lokal
untuk sesaji, seperti buah-buahan, bunga, dan hasil bumi dari daerah sekitar.
Mengurangi jumlah sesaji, dimana kita menghindari berlebihan dalam jumlah
sesaji dengan menyesuaikan dengan kebutuhan dan tradisi setempat. Dalam
prinsip etika lingkungan mengganti bahan sesaji menggunakan bahan organik
yang mudah terurai ini termasuk ke dalam prinsip tidak menimbulkan kerusakan.
Dikarenakan hal ini membantu mendukung ekonomi lokal dan mengurangi emisi
karbon dari transportasi.

2. Edukasi dan Partisipasi Masyarakat

Mengedukasi dan berpartisipasi masyarakat dapat melibatkan masyarakat


dalam prosesi larung sesaji dalam hal persiapan, pelaksanaan, dan pembersihan
setelah larung sesaji. Hal ini meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab
masyarakat terhadap lingkungan. Selain itu kita dapat mensosialisasikan
pentingnya pelestarian lingkungan dengan menggunakan momen larung sesaji
untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan laut dan pesisir. Mengadakan lomba atau kegiatan kreatif yang
berkaitan dengan pelestarian lingkungan, seperti lomba membuat sesaji ramah
lingkungan atau lomba bersih-bersih pantai. Dalam hal ini kegiatan edukasi dan
partisipasi masyarkat terkait erat dalam beberapa prinsip etika lingkungan antara
lain prinsip solidaritas yaitu salah satu prinsip etika lingkungan yang menekankan
pada kesatuan dan keterkaitan antara manusia dengan alam serta prinsip kasih
sayang dan kepedulian terhadap alam.

9
3. Kolaborasi dengan Berbagai Pihak

Upaya melestarikan lingkungan dari kegiatan larung sesaji dapat dilakukan


dengan berkolaborasi dengan berbagai pihak, antara lain yaitu bekerja sama
dengan pemerintah daerah untuk membuat regulasi dan program yang mendukung
pelestarian lingkungan dalam kegiatan larung sesaji. Melibatkan komunitas dan
organisasi lokal dalam kegiatan pelestarian lingkungan, seperti kelompok nelayan,
kelompok pemuda, dan organisasi lingkungan. Menjalin kerjasama dengan
akademisi dan peneliti untuk mendapatkan masukan dan saran dalam upaya
pelestarian lingkungan. Hal ini berkesinambungan dengan salah satu prinsip etika
lingkungan yaitu prinsip demokrasi, karena prinsip ini menekankan perlunya
keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan lingkungan.

4. Pemanfaatan Teknologi

Upaya melestarikan lingkungan melalui memanfaatkan teknologi dapat


dimulai dari menggunakan media sosial untuk mengedukasi masyarakat tentang
pelestarian lingkungan dan tradisi larung sesaji yang ramah lingkungan. Membuat
aplikasi atau website yang berisi informasi tentang tradisi larung sesaji, tips
pelestarian lingkungan, dan panduan untuk mengadakan larung sesaji yang ramah
lingkungan. Menggunakan teknologi untuk pemantauan, seperti drone atau
kamera CCTV, untuk memantau kondisi lingkungan laut dan pesisir sebelum,
selama, dan setelah larung sesaji. Pemanfaatan teknologi dalam mengembangkan
kearifan lokal upacara larung sesaji untuk menjaga lingkungan dapat ditempatkan
dalam beberapa prinsip etika lingkungan, terutama yang terkait dengan
keberlanjutan, penghormatan terhadap alam, partisipasi masyarakat, dan keadilan
antar generasi.

Upaya melestarikan lingkungan dari kegiatan tradisi larung sesaji dapat


meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan khususnya di daerah pesisir. Namun penting untuk diingat bahwa upaya
pelestarian lingkungan harus dilakukan dengan tetap menghormati nilai-nilai budaya
dan tradisi setempat, perlu adanya kerjasama dan komitmen dari semua pihak baik
pemerintah masyarakat maupun organisasi terkait untuk memastikan keberhasilan
upaya pelestarian lingkungan, melakukan evaluasi dan monitoring secara berkala
untuk memastikan efektivitas upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan. Menjaga
keseimbangan antara tradisi budaya dan pelestarian lingkungan, tradisi larung sesaji
dapat terus dilestarikan dan membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Namun, perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan larung sesaji harus dilakukan dengan
bijaksana dan mempertimbangkan dampak lingkungan yang mungkin timbul. Prinsip-
prinsip etika lingkungan harus tetap menjadi landasan dalam melaksanakan ritual ini
agar dapat berkontribusi secara efektif dalam upaya pelestarian lingkungan.

10
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Tradisi larung sesaji adalah bagian dari kearifan lokal suatu masyarakat dalam
menjaga keseimbangan alam dan memelihara lingkungan. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya nilai-nilai tradisional dalam menjaga ekosistem. Larung sesaji
bukan hanya upacara ritual, tetapi juga merupakan sarana konservasi lingkungan.
Dalam prosesi ini, masyarakat memperlihatkan penghargaan dan kesadaran akan
lingkungan sekitar, dengan memberikan persembahan kepada alam sebagai bentuk
balas budi.
Perlu adanya pengarusutamaan kearifan lokal dalam upaya konservasi
lingkungan. Hal ini mencakup pengakuan dan pemberdayaan masyarakat lokal untuk
menjaga dan melestarikan lingkungan alam mereka. Meskipun berakar dari tradisi dan
kearifan lokal, upaya konservasi dengan larung sesaji dapat diintegrasikan dengan
pendekatan ilmiah. Kombinasi antara pengetahuan tradisional dan ilmiah dapat
menghasilkan strategi yang efektif dalam melestarikan lingkungan.
Edukasi masyarakat tentang pentingnya konservasi lingkungan dan peran
tradisi seperti larung sesaji dalam hal tersebut sangat penting. Dengan meningkatkan
kesadaran akan hubungan antara tradisi lokal dan keseimbangan ekosistem,
masyarakat akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi.
Dengan menggabungkan kearifan lokal dalam tradisi larung sesaji dengan pendekatan
ilmiah dan edukasi, kita dapat menciptakan model konservasi yang berkelanjutan dan
memperkokoh hubungan antara manusia dan alam.

4.2 Kritik dan Saran

Kami menyadari bahwa makalah masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
kami akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber - sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Dan bagi para pembaca apabila terdapat penjelasan yang kurang dimengerti maka
kami juga sudah menyediakan situs-situs yang bagi kami akan berguna untuk kita
semua.

11
DAFTAR PUSTAKA

Agastya. 2019. Tradisi Larung Saji Sebagai Upaya Menjaga Ekosistem Di Wisata Telaga
Ngebel Ponorogo (Studi Literatur). Jurnal Sejarah dan Pembelajarannya. 9(2) : 135.

Harjiyatni, FR. 2020. ETIKA LINGKUNGAN HIDUP. LMS Spada Kemdikbud. Diambil
kembali dari https://lmsspada.kemdikbud.go.id/mod/resource/view.php?id=84844.

Khoirul. A. 2023. “Mengenal Tradisi Larung Sesaji, yang Terkenal dalam Masyarakat
Nusantara Ini Makna dan Sejarahnya”. Diakses dari Internet.
https://intisari.grid.id/read/033867671/mengenal-tradisi-larung-sesaji-yang-terkenal-dalam-
masyarakat-nusantara-ini-makna-dan-sejarahnya?page=all. Diakses pada 14 April 2024.

Liputan 6. 2022. “Tradisi Larung Sesaji, Ungkapan Rasa Syukur Warga Pesisir Pantai di
Blitar“. Diakses dari Internet. https://www.liputan6.com/jatim/read/5026961/tradisi-
larung-sesaji-ungkapan-rasa-syukur-warga-pesisir-pantai-di-blitar. Diakses pada 14
April 2024.

Mulyani, PM. Firmansyah, A. 2020. ETIKA LINGKUNGAN HIDUP DALAM PROGRAM


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS PERTANIAN RAMAH
LINGKUNGAN (KASUS KELOMPOK TANI PATRA RANGGA, KABUPATEN
SUBANG). Jurnal CARE. Vol. 5 (1): 22-29. ISSN: 2528-0848.

Pitha. 2017. ”Makalah Kearifan Lokal. Diakses dari Internet“.


https://id.scribd.com/document/356424995/MAKALAH-KEARIFAN-LOKAL-docx.
Diakses pada 14 April 2024.

Umam. 2018. “ Kearifan Lokal: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, Hingga Jenisnya “. Diakses
dari Blog. https://www.gramedia.com/literasi/kearifan-lokal/. Diakses pada 14 April
2024.

12

Anda mungkin juga menyukai