Anda di halaman 1dari 24

Laporan Praktikum Manajemen Sumberdaya Perikanan

KEARIFAN LOKAL (STUDI KASUS: KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT


DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE DI
PESISIR PANTAI TIMUR SULAWESI SELATAN)

Oleh :
Septia Wulandari 170302001
Sri Rahayu Dian Artika 170302011
Dria Renafisi Br Perangin-angin 170302025
Arif Fadhilah Rahman 170302035
Valencia Hutajulu 170302041
Mhd Arsyad Lubis 170302053
Tasya Paramadina Utami 170302059
Fadilla Khairani 170302067
III/A

LABORATORIUM MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN


PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga penyusun
dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Manajemen Sumberdaya Perikanan yang
berjudul “Kearifan Lokal (Studi Kasus: Kearifan Lokal Masyarakat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Timur Sulawesi
Selatan)”.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Eri Yusni M.Sc,
Ibu Desrita, S.Pi, M.Si dan Ibu Amanatul Fadhilah S.Pi, M.Si sebagai dosen
penanggung jawab Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan. Selain itu
penyusun juga berterimakasih kepada para asisten Laboratorium Manajemen
Sumberdaya Perikanan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kalangan
yang membutuhkan. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................... 1
Tujuan Praktikum .............................................................................. 3
Manfaat Penulisan ............................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA
Kearifan Lokal….. ............................................................................. 4
Provinsi Sulawesi Selatan................................................................... 6
Wilayah Pantai ................................................................................... 6
Hutan Mangrove ................................................................................ 9

STUDI KASUS

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan ........................................................................................ 13
Saran.................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA

ii
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kearifan lokal atau “local genius” merupakan istilah yang diperkenalkan
oleh Wales dalam Ayatrohaedi yaitu “the sum of the cultural characteristics
which the vast majority of a people have in common as a result of their
experiences in early life”. Tesaurus Indonesia menempatkan kata kearifan sejajar
dengan kebajikan, kebijakan, kebijaksanaan dan kecendekiaan. Sedang kata arif
memiliki kesetaraan makna dengan: akil, bajik, bakir, bestari, bijak, bijaksana,
cendekia, cerdas, cerdik, cergas, mahardika, pandai, pintar, dan terpelajar.
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan
setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau
kecerdasan setempat (local genious) (Daniah, 2014).
Definisi kearifan lokal bervariasi menurut referensi dan cakupannya,
namun dari definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci, yaitu:
pengetahuan, gagasan, nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan
kebiasaan adat yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah tertentu. Pengetahuan
dan pengalaman masyarakat, menurut para ahli, menyatu dengan sistem norma,
kepercayaan, kebersamaan, keadilan yang diekspresikan sebagai tradisi
masyarakat sebagai hasil abstraksi dan interaksinya dengan alam dan lingkungan
di sekitarnya dalam kurun waktu yang lama. Kearifan lokal, karena itu menjadi
pedoman dalam bersikap dan bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari masyarakat (Hidayati, 2016).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam
biota, penahan abrasi, amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga memiliki
fungsi sosial dan ekonomis penting sebagai penghasil bibit/benih ikan, udang,
kerang kepiting, telur burung, madu, dan lainnya sebagai kawasan wisata,
konservasi, pendidikan dan penelitian. dan merupakan bagian dasar rantai
makanan sebab serasah mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh
2

mokroorganisme dengan cepat dan mencadi sumber makanan bagi organisma


perairan. Fungsi hutan bakau di wilayah pesisir bukan hanya penting sebagai
pelindung fisik tetapi juga sebagai bagian terintegrasi dari eksositem wilayah
pesisir lainnya, seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun.
Identifikasi komposisi vegetasi mangrove merupakan prasyarat untuk memahami
semua aspek struktur dan fungsi mangrove, sebagaimana kondisi biogeografi,
konservasi dan manajemennya. Komunitas ini sangat berbeda dengan komunitas
laut, namun tidak berbeda jauh dengan komunitas daratan dengan terbentuknya
rawa-rawa (Daniah, 2014).
Mengacu pada Undang-Undang No 31/2004 Pasal 6 tentang Perikanan,
menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan
dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan
lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat didukung menjadi dasar
konstitusi bagi pengelolaan berbasis kearifan lokal. Hal ini membuat pengelolaan
sumber daya alam akan dilaksanakan mulai dari tingkat daerah sampai ke pusat
dan akan mereduksi peran negara yang selama ini terlalu dominan. Praktek
pengelolaan perikanan yang berbasis kearifan lokal tersebut terbukti mampu
untuk menciptakan perikanan berkelanjutan, dari berbagai aspek seperti sosial
ekonomi, ekologi, komunitas maupun kelembagaan.. Oleh karena itu, penting
untuk melihat dampak pengelolaan berbasis kearifan lokal terhadap keberlanjutan
sumber daya alam (Moita, 2017).
Memahami kondisi terkini mengenai berbagai aktivitas dan kegiatan di
kawasan hutan mangrove, maka kearifan-kearifan lokal masyarakat perlu terus
dikaji dan dikembangnya khususnya yang berkenaan dengan upaya kelestarian
sumberdaya hutan mangrove. Ketergantungan dan ketidakterpisahan antara
pengelolaan sumberdaya mangrove dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat
dari kehidupan sehariseharinya di kawasan hutan mangrove. Berbagai kearifan
lokal mengenai pengelolaan mangrove seperti di berbagai daerah ada yg
melakukan ritual sedekah laut sedekah laut yang diadakan satu tahun sekali dan
didalam sedekah laut terdapat acara penanaman hutan mangrove. Masyarakat
dalam mempertahankan dan melestarikan hutan mangrovenya mempunyai
idea/gagasan serta kebiasaan untuk tidak menebang mangrove untuk keperluan
3

komersial, tidak melakukan penangkapan kepiting dan kerang kepuh yang


berkuran kecil dan pengaturan jarak dalam melakukan penangkapan ikan, untuk
kelakuan, tidak boleh bersiul dan berbicara takabur saat berada di laut, dan hutan
dipandang sesuatu yang keramat yang mesti dijaga, untuk budaya/adat istiadat
yaitu melakukan penghormatan terhadap laut (menyemah laut) (Arfan, 2018).
Pentingnya nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir di wilayah ini, menjadi komitmen sebagian masyarakat karena tidah hanya
berorientasi pada penghormatan tradisi leluhur masa lalu, namun menjadi katup
pengaman bagi keberlangsungan sistem sosial. Masyarakat yang mayoritas
mendiami wilayah ini menjadikan tradisi sebagai fokus yang menaungi semua
produk budaya termasuk nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan wilayah
pesisir. Eksistensi nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
termasuk lingkungan pesisir merupakan norma-norma yang terkait dengan
pengetahuan, teknologi, kepercayaan, kelembagaan yang dipraktekan oleh suatu
komunitas/masyarakat selama bertahun-tahun dalam mengelola sumberdaya alam
yang ada (Moita, 2017).

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan
mangrove di pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan
2. Untuk mengetahui hubungan kearifan lokal dengan pengelolaan sumberdaya
hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan.

Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah untuk menambah wawasan
mengenai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove di
pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan. Dan manfaat lainnya adalah sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti praktikum Laboratorium Manajemen Sumberdaya
Perikanan serta sebagai bahan bacaan serta sumber informasi bagi pihak yang
membutuhkan.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom merupakan salah satu
produk kebudayaan, yang lahir karena kebutuhan akan nilai, norma, dan aturan
yang menjadi model untuk melakukan suatu tindakan. Kearifan lokal identik
dengan perilaku manusia yang berhubungan dengan beberapa hal, yaitu Tuhan,
bencana serta tanda-tanda alam, lingkungan hidup, rumah, pendidikan, upacara
perkawinan dan kelahiran, makanan dan kesehatan, siklus kehidupan manusia dan
watak. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang
berlaku di kelompok masyarakat, yang akan menjadi pegangan mereka sehari-hari
(Hermawan dan Heru, 2018).
Hukum adat laot tersebut berkaitan dengan beberapa pengaturan, yang
meliputi aturan tentang penangkapan ikan, bagi hasil, sewa menyewa, pengupahan
dan sebagainya, wilayah khusus tempat penambatan perahu/pukat pantai, tempat
penjemuran alat penangkapan ikan/memperbaiki kerusakankerusakan baik alat
penangkapan ikan maupun perahu larangan melakukan kegiatan di laot/pantang
laot, penemuan harta di laot, upah atau pengganti jerih payah panglima laot dan
atau pawang, pertengkaran/perselisihan/pertikaian dan perkelahian di laot,
perusakan lingkungan laot, tentang pencurian ikan di laot, kecelakaan di laot, dan
aturan-aturan laot yang berhubungan dengan semua kegiatan mencari nafkah di
laot (Rizqi et al., 2018).
Penerapan suatu kearifan lokal dapat berdampak positif, tapi ada juga
dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan. Kearifan lokal yang terkait
dengan pengelolaan sumber daya ikan mengandung suatu pengetahuan lokal yang
dapat diungkap melalui ilmu pengetahuan modern. Keberadaan kearifan lokal
dapat memberikan peluang baik bagi tatanan kehidupan modern karena kearifan
lokal mempunyai empat fungsi sebagai berikut: Konservasi dan pelestarian
sumber daya alam; Pengembangan sumber daya manusia; Pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan; dan sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan
pantangan. Prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pemanfaatan dan
5

pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya serta berbagai kebijakan


pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan serta peran masyarakat local (Oktaviani et al., 2016).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mencari dan
memfungsikan kembali adat kebiasaan masyarakat setempat di dalam mengelola
sumberdaya mereka yang secara turun-temurun telah ada dan efektif dilakukan
pada wilayah tersebut yang biasa disebut dengan kearifan local. Kearifan Lokal
merupakan solusi dalam menjaga kelestarian perairan, beberapa peraturan adat
seringkali lebih dipatuhi dibanding peraturan pemerintah, karena kalau melanggar
adat, maka bisa dikucilkan oleh masyarakat. Peraturan adat biasanya mengatur
kapan warga boleh mencari ikan, cara-cara yang sesuai, serta aturan lain yang
bertujuan untuk kelestarian ikan dan hasil-hasil perairan, sehingga dapat
dipertahankan sampai anak cucunya kelak (Widarmanto, 2018).
Pengelolaan sumber daya ikan yang berbasis masyarakat tidak boleh
dipisahkan dari kearifan lokal masyarakat yang memanfaatkannya secara
langsung. Saat ini, keberadaan kearifan lokal masih dinilai hanya sebagai suatu
hal yang unik dan patut dilestarikan yang cenderung dijadikan sebagai obyek
wisata budaya. Kearifan lokal tertentu merupakan suatu kesepakatan yang berlaku
turun temurun dari suatu masyarakat tertentu yang terhimpun di dalam sebuah
lembaga masyarakat adat. Hal itu sama artinya dengan peraturan yang berlaku di
pemerintahan. Deskripsi dampak negatif yang muncul dari suatu kearifan lokal
adalah terjadinya penangkapanyang berlebih (over exploitation) terhadap sumber
daya ikan (Oktaviani et al., 2016).
Peran lembaga sosial sangat penting sebagai kearifan lokal karena dapat
memfasilitasi komunitas saat melakukan perencanaan, koordinasi, dan
pengendalian kegiatan untuk merehabilitasi lingkungan. Dengan menggunakan
modal sosial berbasis kearifan lokal, komunitas pesisir dapat merehabilitasi hutan
mangrove dengan sistem kepemimpinan lokal yang efektif. Kegiatan komunitas
melalui pemulihan dan pelestarian hutan mangrove adalah proses pengembangan
komunitas (comdev) berbasis kearifan lokal. Hal ini dilakukan untuk melindungi
aset-aset komunitas berupa tambak dan sumber daya alam di sekitar hutan
mangrove (Purwowibowo dan Nur, 2016).
6

Provinsi Sulawesi Selatan


Provinsi Sulawesi Selatan memanjang dari wilayah pesisir pantai barat
yang mencakup Kabupaten Pangkep, Maros, Takalar, hingga ke wilayah pantai
timur, mulai dari Kabupaten Sinjai hingga daerah Luwu Raya. Hutan mangrove
adalah salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi yang cukup
tinggi akibat pola pemanfaatan lingkungan yang cenderung tidak memperhatikan
aspek kelestariannya. Luas areal hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan
sekitar 112.577 hektar pada tahun 80-an, saat ini tinggal seluas 22.353 hektar.
Kerusakan terjadi hampir di seluruh kawasan pesisir pantai Provinsi Sulawesi
Selatan (Zainuddin et al., 2015).
Provinsi Sulawesi Utara dengan potensi mangrove yang cukup beragam
juga mengalami masalah tingkat eksploitasi berlebihan tanpa adanya pengawasan
dan kontrol. Pada tahun 1991 ekosistem mangrove di Sulawesi Utara tercatat
28.000 ha namun pada tahun 1997 luasannya telah berkurang menjadi 23.516 ha.
Identifikasi di tahun 1999 luasan mangrove terus mengalami penurunan dan
diperkirakan saat ini tersisa 4.833 ha (Sondakh et al., 2019).
Di pesisir pantai timur Sulawesi Selatan, ide/gagasan yang ada dalam
rangka pelestarian hutan mangrove yaitu tidak dibenarkan menangkap ikan, udang
dan kepiting dengan menggunakan obat bius dan racun, tidak dibenarkan
melakukan penebangan jenis-jenis mangrove, menentukan zonasi-zonasi sebagai
kawasan konservasi, melakukan pembibitan mangrove secara berkelompok dan
melakukan penanaman secara berkelompok yang dikoordinir oleh ketua kelompok
yang terpilih. Dari segi nilai-nilai masyarakat di pesisisr pantai Timur Sulawesi
Selatan dalam hal pengelolaan hutan mangrove yaitu, menangkap ikan, udang,
kepiting dengan menggunakan jaring, bubu, perangkap dan pengait dari besi,
menggunakan keramba dalam pembesaran kepiting di dalam kawasan hutan
mangrove, menanam bakau dan memberinya pagar pelindung khususnya yang
berdekatan dengan pemukiman (Arfan, 2018).

Wilayah Pantai
Wilayah pantai dan lautan adalah suatu kawasan yang sangat strategis baik
ditinjau dari segi ekologi, sosial budaya,dan ekonomi. Hal tersebut dapat
dipahami karena sekitar 140 juta penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir
7

dan sekitar 16 juta tenaga kerja terserap oleh industri di pesisir dengan
memberikan kontribusi sebesar 20,06% terhadap devisa Negara. Disamping itu
wilayah pesisir Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km memiliki
habitat/ekosistem yang produktif serta memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi yaitu ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem estuaria
dan ekosistem padang lamun (Dahuri, 2010).
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan beragam sumberdaya
alamnya telah dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber
bahan makanan utama, khususnya protein hewani, sejak berabad-abad lamanya.
Sementara itu, kekayaan hidrokarbon dan mineral lainnya yang terdapat di
wilayah ini juga telah dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan ekonomi
nasional sejak awal Pelita I. Selain menyediakan sumberdaya tersebut, wilayah
pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi lain, seperti transportasi dan
pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata,
serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah (Hardianty, 2013).
Keterpaduan ekologis secara ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan
antara lahan atas (daratan) dan lautan. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir
merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan. Dengan keterkaitan
kawasan tersebut maka pengelolaan kawasan pesisir tidak terlepas dari
pengelolaan lingkungan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak lingkungan
yang terjadi pada kawasan pesisir merupakan dampak yang ditimbulkan oleh
kegiatan pembangunan yang dilakukan dilahan atas seperti industri pengeboran
minyak, pemukiman, pertanian dan sebagainya. Pesisir Terpadu adalah proses
yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-
keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan
sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah
perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang
dapat diterima secara politis (Effendy, 2009).
Pengelolaan kawasan pesisir pantai (coastal management plan) dengan
sendirinya merupakan alat yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat
pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumber daya
pesisir dan lautan, termasuk dalam hal ini sumber daya perikanan. Dengan adanya
8

rencana pengelolaan perikanan yang sistematis maka pengelolaan perikanan di


suatu wilayah akan menjadi lebih efisien dalam konteks prosesnya untuk
mencapai tujuan pembangunan perikanan pada khususnya dan pembangunan
wilayah pesisir dan lautan pada umumnya. Salah satu prinsip dasar penyusunan
rencana pengelolaan perikanan dan rencana pengelolaan kawasan pesisir adalah
prinsip keterpaduan dan prinsip aspiratif. Terpadu dalam konteks pendekatan
komprehensif yang memadukan antara dinamika sistem alam dan sistem manusia
(human system) (Fabianto dan Pieter, 2011).
Pada umumnya sumber daya pesisir dan laut dibagi menjadi 4 (empat)
kelompok, yaitu sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya
tidak dapat pulih (non renewable resources), energi kelautan serta jasa-jasa
lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih
antara lain ikan, rumput laut, mangrove termasuk kegiatan mariculture.
Sumberdaya yang tidak pulih antara lain berupa mineral, pasir laut, minyak bumi,
gas alam. Energi kelautan antara lain gelombang laut, pasang surut air laut.
Sedangkan jasa lingkungan di wilayah pesisir dan laut antara lain: pariwisata
bahari, transportasi laut. Pada waktu lampau sumberdaya ini belum dimanfaatkan
secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, karena kewenangan pengelolaannya
ada di Pemerintah Pusat, sehingga setiap kali Pemerintah Daerah mengajukan
anggaran ke DPRD selalu ditolak atau diberi namun porsinya hanya sedikit.
Padahal pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu dapat meningkatkan
pendapatan daerah (Kristiyanti, 2016).
Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan
secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan
secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat
membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance),
dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara
ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat
mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan
konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity),
sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu,
berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan
9

pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan,


mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat
(dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Dahuri, 2010).
Potensi sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan oleh penduduk yang
tinggal di wilayah tersebut untuk mencapai kesejahteraan. Ironisnya, sebanyak
32,14% dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir masih hidup di bawah garis
kemiskinan dengan indikator pendapatan US$ 1 per hari. Berbagai program
peningkatan kesejahteraan masyarakat telah banyak diluncurkan. Demikian pula
yang menyentuh masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Namun,
hasilnya belum sesuai dengan harapan. Salah satu penyebabnya adalah kurang
tepatnya sasaran program karena indikator yang digunakan dalam menentukan
sasaran kurang akurat. Oleh karenanya, penggunaan indikator penetapan sasaran
yang tepat yaitu sesuai dengan tujuan program sangat diperlukan untuk
menentukan sasaran program (Kristiyanti, 2016).

Hutan Mangrove
Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan berkembang pada
kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas ini pada umumnya tumbuh
pada kawasan intertidal dan supratidal yang mendapat aliran air yang mencukupi,
dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu
hutan mangrove dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan
kawasan-kawasan pantai yang terlindung. Ekosistem hutan mangrove disebut juga
dengan hutan pasang surut karena hutan ini secara teratur atau selalu digenangi air
laut, atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan terdapat di daerah litorial
yaitu daerah yang berbatasan dengan darat (Osmar, 2016).
Hutan mangrove adalah komunitas tumbuhan pantai yang mampu hidup
dan berkembang pada kondisi perairan yang bersalinitas, kawasan pasang surut
pantai berlumpur Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai
jenis organisma air yang mempunyai nilai eknomis penting dan merupakan bagian
dasar rantai makanan sebab serasah mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh
mokroorganisme dengan cepat dan mencadi sumber makanan bagi organisma
perairan menyatakan bahwa peningkatan kegiatan ekonomi seperti penyediaan
10

sarana dan prasarana serta pelabuhan akan mempercepat terjadinya penurunan


luasan hutan mangrove (Arfan, 2018).
Hutan mangrove adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan
sub-tropis yang didominasi tumbuhan bunga terrestrial berhabitus pohon dan
semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut dengan
salinitas tinggi. Identifikasi komposisi vegetasi mangrove merupakan prasyarat
untuk memahami semua aspek struktur dan fungsi mangrove, sebagaimana
kondisi biogeografi, konservasi dan manajemennya. Komunitas ini sangat berbeda
dengan komunitas laut, namun tidak berbeda jauh dengan komunitas daratan
dengan terbentuknya rawa-rawa (Setyawan et al., 2013).
Hutan mangrove yang besar disebabkan oleh perubahan penggunaan
lahan. Hutan bakau di sekitar Mumbai, India, telah mengalami 70% kerusakan.
Kawasan hutan mangrove Mumbai telah dihancurkan oleh berbagai kegiatan
konstruksi, penebangan mangrove dan digunakan sebagai tempat pembuangan
sampah. Faktor sosial ekonomi masyarakat juga memiliki dampak yang
signifikan terhadap kerusakan hutan mangrove dengan. Kawasan hutan mangrove
telah menurun secara signifikan di laguna karena kegiatan ekonomi seperti
pembangunan tabak, penebangan mangrove untuk keperluan kayu bakar,
memancing dan penambangan pasir (Arfan, 2018)
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
Kekomplekan ekosistem ini terlihat bahwahutan mangrove menyumbangkan
konstribusi besar detritus organik yang mendukung jaring makanan dalam
ekosistem. Tingginya kelimpahan makanan dan tempat tinggal, serta rendahnya
tekanan predasi, menyebabkan ekosistem mangrove membentuk habitat yang
ideal untuk berbagai spesies satwa dan biota perairan, untuk sebagian atau seluruh
siklus hidup mereka. Karena itu, mangrove dapat berfungsi sebagai tempat
pengasuhan yang penting untuk kepiting, udang dan berbagai jenis ikan, dan
mendukung keberadaan populasi ikan lepas pantai dan perikanan.Bukti hubungan
antara habitat mangrove dan perikanan lepas pantai masih langka,namun sangat
diperlukan untuk tujuan pengelolaan dan konservasi (Pradana et al., 2013).
Masyarakat Desa Peniti Luar Kabupaten Puntianak dalam
mempertahankan dan melestarikan hutan mangrovenya mempunyai idea/gagasan
11

serta kebiasaan untuk tidak menebang mangrove untuk keperluan komersial, tidak
melakukan penangkapan kepiting dan kerang kepuh yang berkuran kecil dan
pengaturan jarak dalam melakukan penangkapan ikan, untuk kelakuan, tidak
boleh bersiul dan berbicara takabur saat berada di laut, dan hutan dipandang
sesuatu yang keramat yang mesti dijaga, untuk budaya/adat istiadat yaitu
melakukan penghormatan terhadap laut (menyemah laut). Sementara itu, di Dusun
I dan Dusun II Desa Nusapati, Kecamatan Potianak seperti upacara ritual telah
menjadi sebuah upaya dalam pembersihan hutan serta penetapan hukum dan
penerapan sanksi bagi pihak pelanggara yang menyebabkan rusaknya kawasan
hutan mangrove merupakan komponenyang tak lepas dari struktur pengelolaan
hutan itu sendiri (Arfan, 2018).
Fungsi ekologis mangrove akan berjalan dengan baik apabila parameter
lingkungan tempat vegetasi mangrove hidup berada dalam kondisi yang baik.
Karakteristik habitat mangrove yang berbeda akan memiliki kondisi lingkungan
perairan yang berbeda juga. Segala bentuk usaha pemanfaatan dan pengelolaan
mangrove harus direncanakan secara seksama agar kelestariannya tetap terjaga,
serta memerlukan data-data mengenai kondisi habitat disertai dengan indikator
yang mencerminkan peranannya terhadap kelangsungan hidup organisme di
perairan sekitarnya (Ulqodry et al., 2010).
Memahami kondisi terkini mengenai berbagai aktivitas dan kegiatan di
kawasan hutan mangrove, maka kearifan-kearifan lokal masyarakat perlu terus
dikaji dan dikembangnya khususnya yang berkenaan dengan upaya kelestarian
sumberdaya hutan mangrove. Ketergantungan dan ketidakterpisahan antara
pengelolaan sumberdaya mangrove dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat
dari kehidupan sehariseharinya di kawasan hutan mangrove. Berbagai kearifan
lokal mengenai pengelolaan mangrove dapat dilihat di Desa Tunggulsari
Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang, yaitu ritual sedekah laut sedekah laut
yang diadakan satu tahun sekali dan didalam sedekah laut terdapat acara
penanaman hutan mangrove yang dilakukan oleh seluruh warga Desa Tunggulsari
(Arfan, 2018).
12

STUDI KASUS

Hutan mangrove adalah komunitas tumbuhan pantai yang mampu hidup


dan berkembang pada kondisi perairan yang bersalinitas, kawasan pasang surut
pantai. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai jenis
organisma air yang mempunyai nilai eknomis dan merupakan bagian dasar rantai
makanan sebab serasah mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh
mokroorganisme dengan cepat dan mencadi sumber makanan bagi organisme
perairan.
Memahami kondisi terkini mengenai berbagai aktivitas dan kegiatan di
kawasan hutan mangrove, maka kearifan-kearifan lokal masyarakat perlu terus
dikaji dan dikembangnya khususnya yang berkenaan dengan upaya kelestarian
sumberdaya hutan. mangrove. Ketergantungan dan ketidakterpisahan antara
pengelolaan sumberdaya mangrove dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat
dari kehidupan sehari-seharinya di kawasan hutan mangrove.
Berbagai kearifan lokal mengenai pengelolaan mangrove dapat dilihat di
Desa Tunggulsari Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang, yaitu ritual sedekah
laut sedekah laut yang diadakan satu tahun sekali dan didalam sedekah laut
terdapat acara penanaman hutan mangrove yang dilakukan oleh seluruh warga
Desa Tunggulsari Masyarakat Desa Peniti Luar Kabupaten Puntianak dalam
mempertahankan dan melestarikan hutan mangrovenya mempunyai idea/gagasan
serta kebiasaan untuk tidak menebang mangrove untuk keperluan komersial, tidak
melakukan penangkapan kepiting dan kerang kepuh yang berkuran kecil dan
pengaturan jarak dalam melakukan penangkapan ikan, untuk kelakuan, tidak
boleh bersiul dan berbicara takabur saat berada di laut, dan hutan dipandang
sesuatu yang keramat yang mesti dijaga, untuk budaya/adat istiadat yaitu
melakukan penghormatan terhadap laut (menyembah laut). Sementara itu, di
Dusun I dan Dusun II Desa Nusapati, Kecamatan Potianak seperti upacara ritual
telah menjadi sebuah upaya dalam pembersihan hutan serta penetapan hukum dan
penerapan sanksi bagi pihak pelanggara yang menyebabkan rusaknya kawasan
hutan mangrove merupakan komponenyang tak lepas dari struktur pengelolaan
hutan itu sendiri.
13

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pesisir pantai timur Sulawesi
Selatan, dapat disimpulkan bahwa produk kearifan lokal adalah terdiri dari
ide/gagasan, nilai-nilai dan norma. Produk ini pada dasarnya mendukung
kelestarian hutan mangrove maupun sumberdaya hutan mangrove yang ada
didalamya. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove telah berdasarkan
kaedah-kaedah kelestarian alam. Kerusakan hutan mangrove dan
sumberdayanya biasanya disebabkan oleh faktor alam dan orang di luar
kawasan mangrove yang masuk dan memanfaatkan hutan mangrove yang
tindakannya berpotensi mengakibatkan hutan mangrove dan sumberdayanya
akan berkurang.
2. Hubungan kearifan lokal dengan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove
adalah agar dapat menjaga kestabilan ekosistem mangrove dengan baik dan
juga mampu menciptakan berbagai aspek sosial ekonomi, ekologi, komunitas
maupun kelembagaan. Oleh karena itu, penting untuk melihat dampak
pengelolaan berbesis kearifan lokal terhadap keberlanjutan sumberdaya alam.

Saran
Saran untuk penulisan ini adalah sebaiknya pembaca lebih memahami
materi yang akan disampaikan agar pelaksanaan pratikum dapat berjalan dengan
lancar dan dapat bermanfaat sebagai bahan refrensi.
14

DAFTAR PUSTAKA

Arfan, A. 2018. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya


Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan. Jurnal Kearifan
Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan. 1 (1).

Dahuri R, Ginting SRP, Rais J, dan Sitepu JG. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Paradyna Paramitha,
Jakarta.

Daniah. 2014. Kearifan Lokal (Local Wisdom) sebagai Basis Pendidikan Karakter.
Jurnal Nilai-nilai Kearifan Lokal. 1 (1).

Effendy, M. 2009. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu: Solusi


Pemanfaatan Ruang, Pemanfaatan Sumberdaya dan Pemanfaatan
Kapasitas Asimilasi Wilayah Pesisir Yang Optimal dan Berkelanjutan.
Jurnal Kelautan. 2(1) : 83-86.

Fabianto, D, M dan Pieter. 2011. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara


Terpadu dan Berkelanjutan yang Berbasis Masyarakat. Universitas
Padjajaran.

Hardianty. 2013. Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan


Kawasan Ekowisata di Pantai Boe Kecamatan Galesong, Takalar.
[Skripsi]. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Hermawan, A dan Heru, S. 2018. Kearifan Lokal Masyarakat Pulau Tanakeke


dalam Mengelola Ekosistem Mangrove. Info Teknis Eboni. 15 (1) :53-64

Hidayati, D. 2016. Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat dalam


Pengelolaan Sumberdaya Air. Jurnal Kependudukan Indonesia. 11 (1).

Kristiyanti, M. 2016. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pantai Melalui


Pendekatan ICZM (Integrated Coastal Zone Management). ISBN: 978-
979-3649-96-2.

Moita, S. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat Etnis Tolaki dalam Pengelolaan


Sumberdaya Pesisir di Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe
Provinsi Sultra. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis. 2 (1).

Oktaviani, D., E. Proanto dan R. Puspasari. 2016. Penguatan Kearifan Lokal


sebagai Landasan Pengelolaan Perikanan Perairan Umum Daratan di
Sumatera. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. e-ISSN: 2502-6550

Osmar, M. 2016. Studi Analisis Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan


Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara. [Skripsi].
Universitas Halu Oleo, Gorontalo.
15

Pradana, O. Y., Nirwani, dan Suryono. 2013. Kajian Bioekologi dan Strategi
Pengelolaan Ekosistem Mangrove : Studi Kasus di Teluk Awur Jepara.
Journal Of Marine Research. 2 (1) : 54-61.

Purwowibowo dan Nur, D. G. 2016. Kearifan Lokal dalam Pelestarian Hutan


Mangrove Melalui Communit Development. 1(1).

Rizqi, R., D. Simbolon dan Mustaruddin. 2017. Albacore. 1 (23).

Setyawan, A. D., Kusumo. W dan P. C Purnama. 2013. Ekosistem Mangrove di


Jawa: Kondisi terkini. Biodiversitas. 2 (1): 123-133.

Sondakh, J.M, S. Suhaeni dan M. P. Wasak. 2019. Pengelolaan Hutan Mangrove


Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten
Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. 7 (1)

Ulqodry, T. Z., d. G Bengen, dan R. F Kaswadji. Karakteristik Perairan Mangrove


Tanjung Api-Api Sumatera Selatan Berdasarkan Sebaran Parameter
Lingkungan Perairan dengan Menggunakan Analisis Komponen Utama
(PCA). Maspari Journal. 1 (1): 16-21.

Widarmanto, N. 2018. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.


Jurnal Sabda. 13 (1)

Zainuddin, Sumardjo, dan D. Susanto. 2015. Perilaku Masyarakat dalam


Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi
Selatan. Jurnal Penyuluhan. 11 (1).
Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya
Amal Arfan*, Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan .....
hal. 239-244

Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan


Mangrove Di Pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan

Local Wisdom Community in Mangrove Forest Resource Management


in East Coastal Coast, South Sulawesi

Amal Arfan
Jurusan Geografi, FMIPA, Universitas Negeri Makassar
email: amalarfan@rocketmail.com

Abstract: Local wisdom in managing mangrove forest resources determining sustainability mangrove forest
resources. This study aims to describe the local wisdom of the people the eastern coast South Sulawesi in
managing the mangrove forest resources. Sampling technique is Purposive Sampling, that is only residents
who have lived around the forest area of mangrove at least 5 (five) years, community leaders and local
government. Data collection techniques conducted by means observation and in-depth interviews. The
results obtained consisting of aspects ideas, values and norms. Ideas, ie catch fish, shrimp, crabs using nets
traps and traps use cages in crab enlargement plant mangroves and provide a protective fence in
particular adjacent to the settlement mangrove planting periodically develop mangrove nursery reporting
to the village office before spinning mangroves selective logging and embroidering, not catching crabs
laying eggs. While the value aspect, that is to make awareness about the danger of mangrove logging, with
familial approach determine zone-zone as conservation area. The norm aspect of logging indiscriminately
without reporting to the village office will be fined ie if one tree is cut then it should plant ten trees.
Keywords: local wisdom, management, mangrove resources

1. Pendahuluan
Hutan mangrove adalah komunitas tumbuhan pantai yang mampu hidup dan
berkembang pada kondisi perairan yang bersalinitas, kawasan pasang surut pantai
berlumpur (Hamilton & Snedaker, 1984; Santoso, 2000; Nagelkerken & Van der Velde,
2004). Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai jenis organisma
air yang mempunyai nilai eknomis penting (Gopal & Chauchan 2006; Liu et al. 2008;
Nagelkerken et al. 2008) dan merupakan bagian dasar rantai makanan sebab serasah
mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh mokroorganisme dengan cepat dan mencadi
sumber makanan bagi organisma perairan (Alongi et al. 2002; Holmer & Olsen 2002)
Kusmana dkk (2000) menyatakan bahwa peningkatan kegiatan ekonomi seperti
penyediaan sarana dan prasarana serta pelabuhan akan mempercepat terjadinya
penurunan luasan hutan mangrove. Walters (2003) melaporkan bahwa di Bais Bay,
pembibitan mangrove sangat berkurang karena pembuatan tambak, area perumahan
dan penjualan komersial kayu mangrove. Selanjutnya, menurut Valiela et al. (2001) dan
FAO (2003) bahwa hilangnya hutan mangrove yang besar disebabkan oleh perubahan
penggunaan lahan. Bhatt (2012) berdasarkan penelitiannya menemukan bahwa hutan
bakau di sekitar Mumbai, India, telah mengalami 70% kerusakan. Kawasan hutan
mangrove Mumbai telah dihancurkan oleh berbagai kegiatan konstruksi, penebangan
mangrove dan digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Faktor sosial ekonomi
masyarakat juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kerusakan hutan mangrove
dengan. Omogoriola et al (2012) menyatakan bahwa kawasan hutan mangrove telah
menurun secara signifikan di laguna karena kegiatan ekonomi seperti pembangunan
tabak, penebangan mangrove untuk keperluan kayu bakar, memancing dan
penambangan pasir (Ramli, 2006).
Memahami kondisi terkini mengenai berbagai aktivitas dan kegiatan di kawasan
hutan mangrove, maka kearifan-kearifan lokal masyarakat perlu terus dikaji dan
dikembangnya khususnya yang berkenaan dengan upaya kelestarian sumberdaya hutan

239
Amal Arfan*, Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan ..... 240

mangrove. Ketergantungan dan ketidakterpisahan antara pengelolaan sumberdaya


mangrove dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat dari kehidupan sehari-
seharinya di kawasan hutan mangrove. Berbagai kearifan lokal mengenai pengelolaan
mangrove dapat dilihat di Desa Tunggulsari Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang,
yaitu ritual sedekah laut sedekah laut yang diadakan satu tahun sekali dan didalam
sedekah laut terdapat acara penanaman hutan mangrove yang dilakukan oleh seluruh
warga Desa Tunggulsari (Putra, 2016). Masyarakat Desa Peniti Luar Kabupaten
Puntianak dalam mempertahankan dan melestarikan hutan mangrovenya mempunyai
idea/gagasan serta kebiasaan untuk tidak menebang mangrove untuk keperluan
komersial, tidak melakukan penangkapan kepiting dan kerang kepuh yang berkuran
kecil dan pengaturan jarak dalam melakukan penangkapan ikan, untuk kelakuan, tidak
boleh bersiul dan berbicara takabur saat berada di laut, dan hutan dipandang sesuatu
yang keramat yang mesti dijaga, untuk budaya/adat istiadat yaitu melakukan
penghormatan terhadap laut (menyemah laut) (Budiman, 2012). Sementara itu, di
Dusun I dan Dusun II Desa Nusapati, Kecamatan Potianak seperti upacara ritual telah
menjadi sebuah upaya dalam pembersihan hutan serta penetapan hukum dan
penerapan sanksi bagi pihak pelanggara yang menyebabkan rusaknya kawasan hutan
mangrove merupakan komponenyang tak lepas dari struktur pengelolaan hutan itu
sendiri (Fachrozi dkk., 2017).

2. Metode Penelitian
a) Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di pesisir pantai timur Sulawesi Selatan, meliputi
pesisr pantai Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo dan Kabupaten Luwu.
b) Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif interpretative. Dalam penelitian ini akan
dideskripsikan tentang kearifan lokal sikap masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove. Interpretasi dilakukan terhadap data yang diperoleh melalui wawancara.
Selanjutnya dideskripsikan mengenai idea/gagasan, nilai-nilai dan norma.
c) Sampel
Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik Purposive
Sampling yaitu hanya warga masyarakat yang telah merasakan keberadaan hutan
mangrove atau yang telah bermukim disekitar kawasan hutan mangrove minimal 5
(lima) tahun.
d) Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan data yang
diperlukan yaitu pengamatan langsung (observasi), yaitu pengumpulan data berupa
gambaran umum lokasi penelitian dan masyarakat yang menetap di kawasan hutan
mangrove yang dilakukan dengan mengamati secara langsung keadaan hutan
mangrove dan kondisi masyarakat dan wawancara mendalam, yaitu untuk
mengetahui kearifan-kearifan lokal maupun kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di
dalam dan sekitar kawasan hutan mangrove.
e) Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis deskriptif. Dalam hal ini data yang diperoleh dari lapangan dengan cara
observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner, kemudian diolah dan
disusun menjadi tabel. Selanjutnya dianalisis untuk mejelaskan suatu gejala dan
menarik kesimpulan yang logis.

Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya


Inovasi Pembelajaran dan Penelitian Biologi Berbasis Potensi Alam
Amal Arfan*, Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan ..... 241

3. Hasil Penelitian
Berdasakan observasi dan wawancara mendalam terhadap masyarakat dan
beberapa tokoh masyarakat di kawasan kajian, maka diperoleh produk kearifan lokal
berupa idea/gagasan, nilai-nilai dan norma. Produk dan jenis kearifan lokal di pesisir
pantai timur Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produk dan Jenis Kearifan Lokal Masyarakat di Pesisir Pantai Timur Sulawesi
Selatan

Produk Jenis Kearifan Lokal


Ide/Gagasan 1. Tidak dibenarkan menangkap ikan, udang dan kepiting dengan
menggunakan obat bius dan racun
2. Tidak dibenarkan melakukan penebangan jenis-jenis mangrove
3. Menentukan zonasi-zonasi sebagai kawasan konservasi
4. Melakukan pembibitan mangrove secara berkelompok
5. Melakukan penanaman secara berkelompok yang dikoordinir oleh ketua
kelompok yang terpilih
Nilai-Nilai 1. Menangkap ikan, udang, kepiting dengan menggunakan jaring, bubu,
perangkap/rakkang dan pengait dari besi
2. Menggunakan keramba dalam pembesaran kepiting di dalam kawasan hutan
mangrove
3. Menanam bakau dan memberinya pagar pelindung khususnya yang
berdekatan dengan pemukiman
4. Melakukan penanaman bakau secara berkala
5. Mengembangkan pesemaian bakau
6. Melapor ke kantor desa sebelum melakukan penebangan atau penjarangan
bakau
7. Tebang pilih dan penyulaman
8. Melakukan penyadaran tentang bahaya penebangan bakau dengan
pendekatan kekeluargaan
9. Menentukan zonasi-zonasi sebagai kawasan konservasi
10. Sikap bijaksana dalam menangkap kelelawar
11. Tidak menangkap kepiting yang masih kecil dan kepiting betina yang sedang
bertelur
Norma Jika melakukan penebangan secara sembarangan tanpa melapor ke kantor desa
akan dikenai denda : jika menebang satu pohon maka harus menanam sepuluh
pohon

4. Pembahasan
Di pesisir pantai timur Sulawesi Selatan, ide/gagasan yang ada dalam rangka
pelestarian hutan mangrove yaitu tidak dibenarkan menangkap ikan, udang dan
kepiting dengan menggunakan obat bius dan racun, tidak dibenarkan melakukan
penebangan jenis-jenis mangrove, menentukan zonasi-zonasi sebagai kawasan
konservasi, melakukan pembibitan mangrove secara berkelompok dan melakukan
penanaman secara berkelompok yang dikoordinir oleh ketua kelompok yang terpilih.
Ide/gagasan ini didapatkan di pesisir Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo dan Kabupaten
Luwu. Munculnya idea/gagasan ini sejak lama dan telah diterapkan. Mereka
beranggapan bahwa cara-cara ini mesti diterapkan untuk menjaga dan menghindari
musnahnya hutan mangrove yang ada di sekitarnya. Kawasan hutan mangrove sangat
berfungsi sebagai sumber mata pencaharian mereka. Mereka dapat menangkap ikan,
benur, nener dan kepiting yang selanjutnya dapat dijual. Juga dengan keberadaan hutan

Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya


Inovasi Pembelajaran dan Penelitian Biologi Berbasis Potensi Alam
Amal Arfan*, Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan ..... 242

mangrove maka perairan disekitarnya akan subur, sehingga sangat menguntungkan


budidaya tambak.
Dari segi nilai-nilai masyarakat di pesisisr pantai Timur Sulawesi Selatan dalam
hal pengelolaan hutan mangrove yaitu, menangkap ikan, udang, kepiting dengan
menggunakan jaring, bubu, perangkap dan pengait dari besi, menggunakan keramba
dalam pembesaran kepiting di dalam kawasan hutan mangrove, menanam bakau dan
memberinya pagar pelindung khususnya yang berdekatan dengan pemukiman,
melakukan penanaman bakau secara berkala, mengembangkan pesemaian bakau ,
melapor ke kantor desa sebelum melakukan penebangan atau penjarangan bakau,
tebang pilih dan penyulaman, melakukan penyadaran tentang bahaya penebangan
bakau dengan pendekatan kekeluargaan, menentukan zonasi-zonasi sebagai kawasan
konservasi, tidak menangkap kepiting yang masih kecil dan kepiting betina yang sedang
bertelur. Nilai-nilai ini terdapat di Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo dan Kabupaten
Sinjai. Mereka telah mengerti dan paham alat tangkap yang digunakan dan alat tangkap
tersebut di mana akan digunakan. Sebagai salah satu contoh penggunaan jaring insang
untuk mengkap ikan, maka penggunaanya agak jauh dari tempat area penanaman
mangrove, sebab jika terlalu dekat maka terkadang jaring insang tersebut akan hanyut
terbawa arus dan gelombang pada saat pasang ke areal penanaman sehingga dapat
menyebabkan bibit yang baru tertanam akan tersangkut di jaring insang dan tercabut.
Pembesaran/penggemukan kepiting bakau yang tertangkap dilakukan di sekitar
kawasan hutan mangrove dengan pertimbangan bahwa di sekitar kawasan mangrove
subur dan tersedia banyak makanan. Mereka juga sangat menginginkan adanay
pembagian zona-zona, baik itu zona budidaya, konservasi dan rehabilitasi dengan
koordinir dan kerjasama dari pemda , namun dalam hal penentuannya mereka sangat
mengharapkan untuk dilibatkan, mulai dari tahap perencanaan, pemeliharaan, dan
pemanfaatan hasil. Khusus di daerah Kabupaten Sinjai dan kabupaten Wajo ada
tindakan bijaksana dalam penangkapan kelelawar.
Sementara itu, untuk produk norma yang ada di masyarakat, diperoleh bahwa
ada ketentuan bahwa jika melakukan penebangan secara sembarangan tanpa melapor
ke kantor desa akan dikenai denda yaitu jika menebang satu pohon maka harus
menanam sepuluh pohon. Norma ini hanya didapatkan di daerah pesisir pantai
Kabupaten Sinjai.

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pesisir pantai timur Sulawesi
Selatan, dapat disimpulkan bahwa produk kearifan lokal adalah terdiri dari
ide/gagasan, nilai-nilai dan norma. Produk ini pada dasarnya mendukung kelestarian
hutan mangrove maupun sumberdaya hutan mangrove yang ada didalamya.
Pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove telah berdasarkan kaedah-kaedah
kelestarian alam. Kerusakan hutan mangrove dan sumberdayanya biasanya disebabkan
oleh faktor alam dan orang di luar kawasan mangrove yang masuk dan memanfaatkan
hutan mangrove yang tindakannya berpotensi mengakibatkan hutan mangrove dan
sumberdayanya akan berkurang.

6. Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih diucapkan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penelitian, khususnya mahasiswa geografi angkatan 2014, FMIPA Universitas
Negeri Makassar yang telah memabantu peneliti dalam pengambilan data lapangan.

Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya


Inovasi Pembelajaran dan Penelitian Biologi Berbasis Potensi Alam
Amal Arfan*, Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan ..... 243

Juga kepada Ketua Jurusan, Dekan FMIPA dan Rektor UNM yang telah memberikan izin
utuk melakukan penelitian ini.

Referensi

Alongi, D.M., Trot, L.A., Wattayakom, G. & Clough, B.F. (2002). Below-ground nitrogen
cycling in relation to net canopy production in mangrove forests of southern
Thailand. Mar.Biol. 140: 855-864.

Bhatt, S. (2012). Mangrove conservation amidst land sharks. Oryx. 46 (2), 171-172.

Budiman. (2012). Keberadaan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Mangrove.


Studi Kasus di Desa Peniti Luar Kecamatan Siantan Kabupaten Puntianak. Tesis.
Program Pasca Sarjana. Universitas Terbuka. Jakarta

Fachrozi, C, H.S. Zainal, H. Husni. (2017). Kearifan Lokal Masyarakat Dusun I Dan Ii
Desa Nusapati Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Jurnal hutan Lestari. Vol. 5
(2), 253 - 258

FOA. (2003). Status and Trands in Mangrove Area Extent Worldwide. By Wilkie, M.L. and
Fortuna, S. Forest Resources Assessment Working Paper No.63. Food and
Agriculture Organization of The United Nations. Rome: FAO

Gopal, B. & Chaunchan M. (2006). Biodiversity and its conservation in the Sundarban
Mangrove Ecosystem. Aquatic Sciences 68, 338-354.

Hamilton, L.S. & Snedaker, S.C. (1984). Handbook for mangrove area management.
IUCN/UNESCO/UNEP. Honolulu: East-West Center. Held, A. Ticehurst, C.,
Lymburner, L. & William, N. (2003). High resolution mapping of tropical
mangrove ecosystem using hyperspectral and radar remote sensing.
International Journal of Remote Sensing 24: 2739-2759.

Holmer. M. & Olsen, A. B. (2002). Role decomposition of mangrove and sea grass
detritus in sediment carbon and nitrogen cycling in a tropical mangrove forest.
Mar. Ecol. Prog, ser. 230, 87-101.

Kusmana C. Yusnafi, Rani, M.A., Hamzah., Tati, R. & Delvin. (2000). Ekologi Mangrove.
Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.

Liu, K. & Li,X. (2008). Monitoring mangrove forest changes using remote sensing and
GIS data with decision-tree learning wetlands. The Society of Wetland Scientists
28(2): 336-346.

Nagelkerken, I., Blaber, S. J. M., Boullion, S., Green, P., Haywood, M. & Kirton, L. G.
(2008). The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A
review. Aquatic Botany 89, 155-185.

Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya


Inovasi Pembelajaran dan Penelitian Biologi Berbasis Potensi Alam
Amal Arfan*, Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan ..... 244

Nagelkerken. I. & Van Der, G. (2004). Are Caribbean Mangroves Important Feeding
Grounds For Juvenile Reef Fish From Adjacent Seagrass Beds., Mar. ecol. Prog.
Ser. 274, 143-151.

Omogoriola, H.O., Williams, A.B., Ukaonu, S.C., Adegbile. F.C., Mbawuike, B.C.,
Akinnigbagbe, A.E. & Ajulo, A.A. (2012). Survey, biodiversity and impacts of
Economic Activities on Mangroves Ecosystem in Eastern Part of Langos Lagoon,
Nigeria. Natural and Sciences 10(10): 30-34.

Putra, G.A. (2016). Pengelolaan Mangrove Melalui Kearifan Lokal Di Desa Tunggulsari
Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang. Skripsi. Program Studi Perencanaan
Wilayah Dan Kota Fakultas Teknik. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Ramli. (2006). Analisis Pengaruh Faktor Social Ekonomi Masyarakat Pantai Terhadap
Penebangan Kayu Mangrove di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jurnal
Wawasan 12 (12).

Santoso, N. (2000). Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Lokakarya Nasional


Pengembangan System Pengawasan Ekosisitem Laut. Jakarta.

Valiela, I., Cole, M.L., McClelland, J., Hauxwell, J., Cebrian, J. & Joyes, S. 2001. Salt marshes
as part of coastal landscapes. In Concept and controversies in tidal marsh ecology.
Edited by M.P Weinstein and D.A Kreeger. Kluwer, Dordrecht, the Netherlands.
Pp. 23-38.

Walters, B.B. (2003). People and mangroves in the Philippines: Fifty years of coastal
environmental change. Environmental Conservation 30, 97-107.

Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya


Inovasi Pembelajaran dan Penelitian Biologi Berbasis Potensi Alam

Anda mungkin juga menyukai