Oleh :
Septia Wulandari 170302001
Sri Rahayu Dian Artika 170302011
Dria Renafisi Br Perangin-angin 170302025
Arif Fadhilah Rahman 170302035
Valencia Hutajulu 170302041
Mhd Arsyad Lubis 170302053
Tasya Paramadina Utami 170302059
Fadilla Khairani 170302067
III/A
Puji dan syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga penyusun
dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Manajemen Sumberdaya Perikanan yang
berjudul “Kearifan Lokal (Studi Kasus: Kearifan Lokal Masyarakat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Timur Sulawesi
Selatan)”.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Eri Yusni M.Sc,
Ibu Desrita, S.Pi, M.Si dan Ibu Amanatul Fadhilah S.Pi, M.Si sebagai dosen
penanggung jawab Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan. Selain itu
penyusun juga berterimakasih kepada para asisten Laboratorium Manajemen
Sumberdaya Perikanan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kalangan
yang membutuhkan. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................... 1
Tujuan Praktikum .............................................................................. 3
Manfaat Penulisan ............................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA
Kearifan Lokal….. ............................................................................. 4
Provinsi Sulawesi Selatan................................................................... 6
Wilayah Pantai ................................................................................... 6
Hutan Mangrove ................................................................................ 9
STUDI KASUS
ii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kearifan lokal atau “local genius” merupakan istilah yang diperkenalkan
oleh Wales dalam Ayatrohaedi yaitu “the sum of the cultural characteristics
which the vast majority of a people have in common as a result of their
experiences in early life”. Tesaurus Indonesia menempatkan kata kearifan sejajar
dengan kebajikan, kebijakan, kebijaksanaan dan kecendekiaan. Sedang kata arif
memiliki kesetaraan makna dengan: akil, bajik, bakir, bestari, bijak, bijaksana,
cendekia, cerdas, cerdik, cergas, mahardika, pandai, pintar, dan terpelajar.
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan
setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau
kecerdasan setempat (local genious) (Daniah, 2014).
Definisi kearifan lokal bervariasi menurut referensi dan cakupannya,
namun dari definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci, yaitu:
pengetahuan, gagasan, nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan
kebiasaan adat yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah tertentu. Pengetahuan
dan pengalaman masyarakat, menurut para ahli, menyatu dengan sistem norma,
kepercayaan, kebersamaan, keadilan yang diekspresikan sebagai tradisi
masyarakat sebagai hasil abstraksi dan interaksinya dengan alam dan lingkungan
di sekitarnya dalam kurun waktu yang lama. Kearifan lokal, karena itu menjadi
pedoman dalam bersikap dan bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari masyarakat (Hidayati, 2016).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam
biota, penahan abrasi, amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga memiliki
fungsi sosial dan ekonomis penting sebagai penghasil bibit/benih ikan, udang,
kerang kepiting, telur burung, madu, dan lainnya sebagai kawasan wisata,
konservasi, pendidikan dan penelitian. dan merupakan bagian dasar rantai
makanan sebab serasah mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh
2
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan
mangrove di pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan
2. Untuk mengetahui hubungan kearifan lokal dengan pengelolaan sumberdaya
hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah untuk menambah wawasan
mengenai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove di
pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan. Dan manfaat lainnya adalah sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti praktikum Laboratorium Manajemen Sumberdaya
Perikanan serta sebagai bahan bacaan serta sumber informasi bagi pihak yang
membutuhkan.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom merupakan salah satu
produk kebudayaan, yang lahir karena kebutuhan akan nilai, norma, dan aturan
yang menjadi model untuk melakukan suatu tindakan. Kearifan lokal identik
dengan perilaku manusia yang berhubungan dengan beberapa hal, yaitu Tuhan,
bencana serta tanda-tanda alam, lingkungan hidup, rumah, pendidikan, upacara
perkawinan dan kelahiran, makanan dan kesehatan, siklus kehidupan manusia dan
watak. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang
berlaku di kelompok masyarakat, yang akan menjadi pegangan mereka sehari-hari
(Hermawan dan Heru, 2018).
Hukum adat laot tersebut berkaitan dengan beberapa pengaturan, yang
meliputi aturan tentang penangkapan ikan, bagi hasil, sewa menyewa, pengupahan
dan sebagainya, wilayah khusus tempat penambatan perahu/pukat pantai, tempat
penjemuran alat penangkapan ikan/memperbaiki kerusakankerusakan baik alat
penangkapan ikan maupun perahu larangan melakukan kegiatan di laot/pantang
laot, penemuan harta di laot, upah atau pengganti jerih payah panglima laot dan
atau pawang, pertengkaran/perselisihan/pertikaian dan perkelahian di laot,
perusakan lingkungan laot, tentang pencurian ikan di laot, kecelakaan di laot, dan
aturan-aturan laot yang berhubungan dengan semua kegiatan mencari nafkah di
laot (Rizqi et al., 2018).
Penerapan suatu kearifan lokal dapat berdampak positif, tapi ada juga
dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan. Kearifan lokal yang terkait
dengan pengelolaan sumber daya ikan mengandung suatu pengetahuan lokal yang
dapat diungkap melalui ilmu pengetahuan modern. Keberadaan kearifan lokal
dapat memberikan peluang baik bagi tatanan kehidupan modern karena kearifan
lokal mempunyai empat fungsi sebagai berikut: Konservasi dan pelestarian
sumber daya alam; Pengembangan sumber daya manusia; Pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan; dan sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan
pantangan. Prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pemanfaatan dan
5
Wilayah Pantai
Wilayah pantai dan lautan adalah suatu kawasan yang sangat strategis baik
ditinjau dari segi ekologi, sosial budaya,dan ekonomi. Hal tersebut dapat
dipahami karena sekitar 140 juta penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir
7
dan sekitar 16 juta tenaga kerja terserap oleh industri di pesisir dengan
memberikan kontribusi sebesar 20,06% terhadap devisa Negara. Disamping itu
wilayah pesisir Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km memiliki
habitat/ekosistem yang produktif serta memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi yaitu ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem estuaria
dan ekosistem padang lamun (Dahuri, 2010).
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan beragam sumberdaya
alamnya telah dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber
bahan makanan utama, khususnya protein hewani, sejak berabad-abad lamanya.
Sementara itu, kekayaan hidrokarbon dan mineral lainnya yang terdapat di
wilayah ini juga telah dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan ekonomi
nasional sejak awal Pelita I. Selain menyediakan sumberdaya tersebut, wilayah
pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi lain, seperti transportasi dan
pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata,
serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah (Hardianty, 2013).
Keterpaduan ekologis secara ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan
antara lahan atas (daratan) dan lautan. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir
merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan. Dengan keterkaitan
kawasan tersebut maka pengelolaan kawasan pesisir tidak terlepas dari
pengelolaan lingkungan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak lingkungan
yang terjadi pada kawasan pesisir merupakan dampak yang ditimbulkan oleh
kegiatan pembangunan yang dilakukan dilahan atas seperti industri pengeboran
minyak, pemukiman, pertanian dan sebagainya. Pesisir Terpadu adalah proses
yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-
keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan
sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah
perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang
dapat diterima secara politis (Effendy, 2009).
Pengelolaan kawasan pesisir pantai (coastal management plan) dengan
sendirinya merupakan alat yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat
pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumber daya
pesisir dan lautan, termasuk dalam hal ini sumber daya perikanan. Dengan adanya
8
Hutan Mangrove
Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan berkembang pada
kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas ini pada umumnya tumbuh
pada kawasan intertidal dan supratidal yang mendapat aliran air yang mencukupi,
dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu
hutan mangrove dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan
kawasan-kawasan pantai yang terlindung. Ekosistem hutan mangrove disebut juga
dengan hutan pasang surut karena hutan ini secara teratur atau selalu digenangi air
laut, atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan terdapat di daerah litorial
yaitu daerah yang berbatasan dengan darat (Osmar, 2016).
Hutan mangrove adalah komunitas tumbuhan pantai yang mampu hidup
dan berkembang pada kondisi perairan yang bersalinitas, kawasan pasang surut
pantai berlumpur Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai
jenis organisma air yang mempunyai nilai eknomis penting dan merupakan bagian
dasar rantai makanan sebab serasah mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh
mokroorganisme dengan cepat dan mencadi sumber makanan bagi organisma
perairan menyatakan bahwa peningkatan kegiatan ekonomi seperti penyediaan
10
serta kebiasaan untuk tidak menebang mangrove untuk keperluan komersial, tidak
melakukan penangkapan kepiting dan kerang kepuh yang berkuran kecil dan
pengaturan jarak dalam melakukan penangkapan ikan, untuk kelakuan, tidak
boleh bersiul dan berbicara takabur saat berada di laut, dan hutan dipandang
sesuatu yang keramat yang mesti dijaga, untuk budaya/adat istiadat yaitu
melakukan penghormatan terhadap laut (menyemah laut). Sementara itu, di Dusun
I dan Dusun II Desa Nusapati, Kecamatan Potianak seperti upacara ritual telah
menjadi sebuah upaya dalam pembersihan hutan serta penetapan hukum dan
penerapan sanksi bagi pihak pelanggara yang menyebabkan rusaknya kawasan
hutan mangrove merupakan komponenyang tak lepas dari struktur pengelolaan
hutan itu sendiri (Arfan, 2018).
Fungsi ekologis mangrove akan berjalan dengan baik apabila parameter
lingkungan tempat vegetasi mangrove hidup berada dalam kondisi yang baik.
Karakteristik habitat mangrove yang berbeda akan memiliki kondisi lingkungan
perairan yang berbeda juga. Segala bentuk usaha pemanfaatan dan pengelolaan
mangrove harus direncanakan secara seksama agar kelestariannya tetap terjaga,
serta memerlukan data-data mengenai kondisi habitat disertai dengan indikator
yang mencerminkan peranannya terhadap kelangsungan hidup organisme di
perairan sekitarnya (Ulqodry et al., 2010).
Memahami kondisi terkini mengenai berbagai aktivitas dan kegiatan di
kawasan hutan mangrove, maka kearifan-kearifan lokal masyarakat perlu terus
dikaji dan dikembangnya khususnya yang berkenaan dengan upaya kelestarian
sumberdaya hutan mangrove. Ketergantungan dan ketidakterpisahan antara
pengelolaan sumberdaya mangrove dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat
dari kehidupan sehariseharinya di kawasan hutan mangrove. Berbagai kearifan
lokal mengenai pengelolaan mangrove dapat dilihat di Desa Tunggulsari
Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang, yaitu ritual sedekah laut sedekah laut
yang diadakan satu tahun sekali dan didalam sedekah laut terdapat acara
penanaman hutan mangrove yang dilakukan oleh seluruh warga Desa Tunggulsari
(Arfan, 2018).
12
STUDI KASUS
Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pesisir pantai timur Sulawesi
Selatan, dapat disimpulkan bahwa produk kearifan lokal adalah terdiri dari
ide/gagasan, nilai-nilai dan norma. Produk ini pada dasarnya mendukung
kelestarian hutan mangrove maupun sumberdaya hutan mangrove yang ada
didalamya. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove telah berdasarkan
kaedah-kaedah kelestarian alam. Kerusakan hutan mangrove dan
sumberdayanya biasanya disebabkan oleh faktor alam dan orang di luar
kawasan mangrove yang masuk dan memanfaatkan hutan mangrove yang
tindakannya berpotensi mengakibatkan hutan mangrove dan sumberdayanya
akan berkurang.
2. Hubungan kearifan lokal dengan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove
adalah agar dapat menjaga kestabilan ekosistem mangrove dengan baik dan
juga mampu menciptakan berbagai aspek sosial ekonomi, ekologi, komunitas
maupun kelembagaan. Oleh karena itu, penting untuk melihat dampak
pengelolaan berbesis kearifan lokal terhadap keberlanjutan sumberdaya alam.
Saran
Saran untuk penulisan ini adalah sebaiknya pembaca lebih memahami
materi yang akan disampaikan agar pelaksanaan pratikum dapat berjalan dengan
lancar dan dapat bermanfaat sebagai bahan refrensi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri R, Ginting SRP, Rais J, dan Sitepu JG. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Paradyna Paramitha,
Jakarta.
Daniah. 2014. Kearifan Lokal (Local Wisdom) sebagai Basis Pendidikan Karakter.
Jurnal Nilai-nilai Kearifan Lokal. 1 (1).
Pradana, O. Y., Nirwani, dan Suryono. 2013. Kajian Bioekologi dan Strategi
Pengelolaan Ekosistem Mangrove : Studi Kasus di Teluk Awur Jepara.
Journal Of Marine Research. 2 (1) : 54-61.
Amal Arfan
Jurusan Geografi, FMIPA, Universitas Negeri Makassar
email: amalarfan@rocketmail.com
Abstract: Local wisdom in managing mangrove forest resources determining sustainability mangrove forest
resources. This study aims to describe the local wisdom of the people the eastern coast South Sulawesi in
managing the mangrove forest resources. Sampling technique is Purposive Sampling, that is only residents
who have lived around the forest area of mangrove at least 5 (five) years, community leaders and local
government. Data collection techniques conducted by means observation and in-depth interviews. The
results obtained consisting of aspects ideas, values and norms. Ideas, ie catch fish, shrimp, crabs using nets
traps and traps use cages in crab enlargement plant mangroves and provide a protective fence in
particular adjacent to the settlement mangrove planting periodically develop mangrove nursery reporting
to the village office before spinning mangroves selective logging and embroidering, not catching crabs
laying eggs. While the value aspect, that is to make awareness about the danger of mangrove logging, with
familial approach determine zone-zone as conservation area. The norm aspect of logging indiscriminately
without reporting to the village office will be fined ie if one tree is cut then it should plant ten trees.
Keywords: local wisdom, management, mangrove resources
1. Pendahuluan
Hutan mangrove adalah komunitas tumbuhan pantai yang mampu hidup dan
berkembang pada kondisi perairan yang bersalinitas, kawasan pasang surut pantai
berlumpur (Hamilton & Snedaker, 1984; Santoso, 2000; Nagelkerken & Van der Velde,
2004). Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai jenis organisma
air yang mempunyai nilai eknomis penting (Gopal & Chauchan 2006; Liu et al. 2008;
Nagelkerken et al. 2008) dan merupakan bagian dasar rantai makanan sebab serasah
mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh mokroorganisme dengan cepat dan mencadi
sumber makanan bagi organisma perairan (Alongi et al. 2002; Holmer & Olsen 2002)
Kusmana dkk (2000) menyatakan bahwa peningkatan kegiatan ekonomi seperti
penyediaan sarana dan prasarana serta pelabuhan akan mempercepat terjadinya
penurunan luasan hutan mangrove. Walters (2003) melaporkan bahwa di Bais Bay,
pembibitan mangrove sangat berkurang karena pembuatan tambak, area perumahan
dan penjualan komersial kayu mangrove. Selanjutnya, menurut Valiela et al. (2001) dan
FAO (2003) bahwa hilangnya hutan mangrove yang besar disebabkan oleh perubahan
penggunaan lahan. Bhatt (2012) berdasarkan penelitiannya menemukan bahwa hutan
bakau di sekitar Mumbai, India, telah mengalami 70% kerusakan. Kawasan hutan
mangrove Mumbai telah dihancurkan oleh berbagai kegiatan konstruksi, penebangan
mangrove dan digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Faktor sosial ekonomi
masyarakat juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kerusakan hutan mangrove
dengan. Omogoriola et al (2012) menyatakan bahwa kawasan hutan mangrove telah
menurun secara signifikan di laguna karena kegiatan ekonomi seperti pembangunan
tabak, penebangan mangrove untuk keperluan kayu bakar, memancing dan
penambangan pasir (Ramli, 2006).
Memahami kondisi terkini mengenai berbagai aktivitas dan kegiatan di kawasan
hutan mangrove, maka kearifan-kearifan lokal masyarakat perlu terus dikaji dan
dikembangnya khususnya yang berkenaan dengan upaya kelestarian sumberdaya hutan
239
Amal Arfan*, Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan ..... 240
2. Metode Penelitian
a) Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di pesisir pantai timur Sulawesi Selatan, meliputi
pesisr pantai Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo dan Kabupaten Luwu.
b) Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif interpretative. Dalam penelitian ini akan
dideskripsikan tentang kearifan lokal sikap masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove. Interpretasi dilakukan terhadap data yang diperoleh melalui wawancara.
Selanjutnya dideskripsikan mengenai idea/gagasan, nilai-nilai dan norma.
c) Sampel
Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik Purposive
Sampling yaitu hanya warga masyarakat yang telah merasakan keberadaan hutan
mangrove atau yang telah bermukim disekitar kawasan hutan mangrove minimal 5
(lima) tahun.
d) Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan data yang
diperlukan yaitu pengamatan langsung (observasi), yaitu pengumpulan data berupa
gambaran umum lokasi penelitian dan masyarakat yang menetap di kawasan hutan
mangrove yang dilakukan dengan mengamati secara langsung keadaan hutan
mangrove dan kondisi masyarakat dan wawancara mendalam, yaitu untuk
mengetahui kearifan-kearifan lokal maupun kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di
dalam dan sekitar kawasan hutan mangrove.
e) Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis deskriptif. Dalam hal ini data yang diperoleh dari lapangan dengan cara
observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner, kemudian diolah dan
disusun menjadi tabel. Selanjutnya dianalisis untuk mejelaskan suatu gejala dan
menarik kesimpulan yang logis.
3. Hasil Penelitian
Berdasakan observasi dan wawancara mendalam terhadap masyarakat dan
beberapa tokoh masyarakat di kawasan kajian, maka diperoleh produk kearifan lokal
berupa idea/gagasan, nilai-nilai dan norma. Produk dan jenis kearifan lokal di pesisir
pantai timur Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produk dan Jenis Kearifan Lokal Masyarakat di Pesisir Pantai Timur Sulawesi
Selatan
4. Pembahasan
Di pesisir pantai timur Sulawesi Selatan, ide/gagasan yang ada dalam rangka
pelestarian hutan mangrove yaitu tidak dibenarkan menangkap ikan, udang dan
kepiting dengan menggunakan obat bius dan racun, tidak dibenarkan melakukan
penebangan jenis-jenis mangrove, menentukan zonasi-zonasi sebagai kawasan
konservasi, melakukan pembibitan mangrove secara berkelompok dan melakukan
penanaman secara berkelompok yang dikoordinir oleh ketua kelompok yang terpilih.
Ide/gagasan ini didapatkan di pesisir Kabupaten Sinjai, Kabupaten Wajo dan Kabupaten
Luwu. Munculnya idea/gagasan ini sejak lama dan telah diterapkan. Mereka
beranggapan bahwa cara-cara ini mesti diterapkan untuk menjaga dan menghindari
musnahnya hutan mangrove yang ada di sekitarnya. Kawasan hutan mangrove sangat
berfungsi sebagai sumber mata pencaharian mereka. Mereka dapat menangkap ikan,
benur, nener dan kepiting yang selanjutnya dapat dijual. Juga dengan keberadaan hutan
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pesisir pantai timur Sulawesi
Selatan, dapat disimpulkan bahwa produk kearifan lokal adalah terdiri dari
ide/gagasan, nilai-nilai dan norma. Produk ini pada dasarnya mendukung kelestarian
hutan mangrove maupun sumberdaya hutan mangrove yang ada didalamya.
Pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove telah berdasarkan kaedah-kaedah
kelestarian alam. Kerusakan hutan mangrove dan sumberdayanya biasanya disebabkan
oleh faktor alam dan orang di luar kawasan mangrove yang masuk dan memanfaatkan
hutan mangrove yang tindakannya berpotensi mengakibatkan hutan mangrove dan
sumberdayanya akan berkurang.
Juga kepada Ketua Jurusan, Dekan FMIPA dan Rektor UNM yang telah memberikan izin
utuk melakukan penelitian ini.
Referensi
Alongi, D.M., Trot, L.A., Wattayakom, G. & Clough, B.F. (2002). Below-ground nitrogen
cycling in relation to net canopy production in mangrove forests of southern
Thailand. Mar.Biol. 140: 855-864.
Bhatt, S. (2012). Mangrove conservation amidst land sharks. Oryx. 46 (2), 171-172.
Fachrozi, C, H.S. Zainal, H. Husni. (2017). Kearifan Lokal Masyarakat Dusun I Dan Ii
Desa Nusapati Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Jurnal hutan Lestari. Vol. 5
(2), 253 - 258
FOA. (2003). Status and Trands in Mangrove Area Extent Worldwide. By Wilkie, M.L. and
Fortuna, S. Forest Resources Assessment Working Paper No.63. Food and
Agriculture Organization of The United Nations. Rome: FAO
Gopal, B. & Chaunchan M. (2006). Biodiversity and its conservation in the Sundarban
Mangrove Ecosystem. Aquatic Sciences 68, 338-354.
Hamilton, L.S. & Snedaker, S.C. (1984). Handbook for mangrove area management.
IUCN/UNESCO/UNEP. Honolulu: East-West Center. Held, A. Ticehurst, C.,
Lymburner, L. & William, N. (2003). High resolution mapping of tropical
mangrove ecosystem using hyperspectral and radar remote sensing.
International Journal of Remote Sensing 24: 2739-2759.
Holmer. M. & Olsen, A. B. (2002). Role decomposition of mangrove and sea grass
detritus in sediment carbon and nitrogen cycling in a tropical mangrove forest.
Mar. Ecol. Prog, ser. 230, 87-101.
Kusmana C. Yusnafi, Rani, M.A., Hamzah., Tati, R. & Delvin. (2000). Ekologi Mangrove.
Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
Liu, K. & Li,X. (2008). Monitoring mangrove forest changes using remote sensing and
GIS data with decision-tree learning wetlands. The Society of Wetland Scientists
28(2): 336-346.
Nagelkerken, I., Blaber, S. J. M., Boullion, S., Green, P., Haywood, M. & Kirton, L. G.
(2008). The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A
review. Aquatic Botany 89, 155-185.
Nagelkerken. I. & Van Der, G. (2004). Are Caribbean Mangroves Important Feeding
Grounds For Juvenile Reef Fish From Adjacent Seagrass Beds., Mar. ecol. Prog.
Ser. 274, 143-151.
Omogoriola, H.O., Williams, A.B., Ukaonu, S.C., Adegbile. F.C., Mbawuike, B.C.,
Akinnigbagbe, A.E. & Ajulo, A.A. (2012). Survey, biodiversity and impacts of
Economic Activities on Mangroves Ecosystem in Eastern Part of Langos Lagoon,
Nigeria. Natural and Sciences 10(10): 30-34.
Putra, G.A. (2016). Pengelolaan Mangrove Melalui Kearifan Lokal Di Desa Tunggulsari
Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang. Skripsi. Program Studi Perencanaan
Wilayah Dan Kota Fakultas Teknik. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Ramli. (2006). Analisis Pengaruh Faktor Social Ekonomi Masyarakat Pantai Terhadap
Penebangan Kayu Mangrove di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jurnal
Wawasan 12 (12).
Valiela, I., Cole, M.L., McClelland, J., Hauxwell, J., Cebrian, J. & Joyes, S. 2001. Salt marshes
as part of coastal landscapes. In Concept and controversies in tidal marsh ecology.
Edited by M.P Weinstein and D.A Kreeger. Kluwer, Dordrecht, the Netherlands.
Pp. 23-38.
Walters, B.B. (2003). People and mangroves in the Philippines: Fifty years of coastal
environmental change. Environmental Conservation 30, 97-107.