Anda di halaman 1dari 7

1

Wilayah Pantai
Wilayah pantai dan lautan adalah suatu kawasan yang sangat strategis baik
ditinjau dari segi ekologi, sosial budaya,dan ekonomi. Hal tersebut dapat
dipahami karena sekitar 140 juta penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir
dan sekitar 16 juta tenaga kerja terserap oleh industri di pesisir dengan
memberikan kontribusi sebesar 20,06% terhadap devisa Negara. Disamping itu
wilayah pesisir Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km memiliki
habitat/ekosistem yang produktif serta memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi yaitu ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem estuaria
dan ekosistem padang lamun (Dahuri, 2010).
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan beragam sumberdaya
alamnya telah dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber
bahan makanan utama, khususnya protein hewani, sejak berabad-abad lamanya.
Sementara itu, kekayaan hidrokarbon dan mineral lainnya yang terdapat di
wilayah ini juga telah dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan ekonomi
nasional sejak awal Pelita I. Selain menyediakan sumberdaya tersebut, wilayah
pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi lain, seperti transportasi dan
pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata,
serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah (Hardianty, 2013).
Keterpaduan ekologis secara ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan
antara lahan atas (daratan) dan lautan. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir
merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan. Dengan keterkaitan
kawasan tersebut maka pengelolaan kawasan pesisir tidak terlepas dari
pengelolaan lingkungan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak lingkungan
yang terjadi pada kawasan pesisir merupakan dampak yang ditimbulkan oleh
kegiatan pembangunan yang dilakukan dilahan atas seperti industri pengeboran
minyak, pemukiman, pertanian dan sebagainya. Pesisir Terpadu adalah proses
yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-
keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan
sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah
perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang
dapat diterima secara politis (Effendy, 2009).
2

Pengelolaan kawasan pesisir pantai (coastal management plan) dengan


sendirinya merupakan alat yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat
pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumber daya
pesisir dan lautan, termasuk dalam hal ini sumber daya perikanan. Dengan adanya
rencana pengelolaan perikanan yang sistematis maka pengelolaan perikanan di
suatu wilayah akan menjadi lebih efisien dalam konteks prosesnya untuk
mencapai tujuan pembangunan perikanan pada khususnya dan pembangunan
wilayah pesisir dan lautan pada umumnya. Salah satu prinsip dasar penyusunan
rencana pengelolaan perikanan dan rencana pengelolaan kawasan pesisir adalah
prinsip keterpaduan dan prinsip aspiratif. Terpadu dalam konteks pendekatan
komprehensif yang memadukan antara dinamika sistem alam dan sistem manusia
(human system) (Fabianto dan Pieter, 2011).
Pada umumnya sumber daya pesisir dan laut dibagi menjadi 4 (empat)
kelompok, yaitu (a) sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (b)
sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resources), (c) energi kelautan serta
(d) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya yang
dapat pulih antara lain ikan, rumput laut, mangrove termasuk kegiatan
mariculture. Sumberdaya yang tidak pulih antara lain berupa mineral, pasir laut,
minyak bumi, gas alam. Energi kelautan antara lain gelombang laut, pasang surut
air laut. Sedangkan jasa lingkungan di wilayah pesisir dan laut antara lain:
pariwisata bahari, transportasi laut. Pada waktu lampau sumberdaya ini belum
dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, karena kewenangan
pengelolaannya ada di Pemerintah Pusat, sehingga setiap kali Pemerintah Daerah
mengajukan anggaran ke DPRD selalu ditolak atau diberi namun porsinya hanya
sedikit. Padahal pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu dapat meningkatkan
pendapatan daerah (Kristiyanti, 2016).
Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan
secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan
secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat
membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance),
dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara
3

ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat


mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan
konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity),
sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu,
berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan
pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan,
mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat
(dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Dahuri, 2010).
Potensi sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan oleh penduduk yang
tinggal di wilayah tersebut untuk mencapai kesejahteraan. Ironisnya, sebanyak
32,14% dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir masih hidup di bawah garis
kemiskinan dengan indikator pendapatan US$ 1 per hari. Berbagai program
peningkatan kesejahteraan masyarakat telah banyak diluncurkan. Demikian pula
yang menyentuh masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Namun,
hasilnya belum sesuai dengan harapan. Salah satu penyebabnya adalah kurang
tepatnya sasaran program karena indikator yang digunakan dalam menentukan
sasaran kurang akurat. Oleh karenanya, penggunaan indikator penetapan sasaran
yang tepat yaitu sesuai dengan tujuan program sangat diperlukan untuk
menentukan sasaran program (Kristiyanti, 2016).

Hutan Mangrove
Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan berkembang pada
kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas ini pada umumnya tumbuh
pada kawasan intertidal dan supratidal yang mendapat aliran air yang mencukupi,
dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu
hutan mangrove dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan
kawasan-kawasan pantai yang terlindung. Ekosistem hutan mangrove disebut juga
dengan hutan pasang surut karena hutan ini secara teratur atau selalu digenangi air
laut, atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan terdapat di daerah litorial
yaitu daerah yang berbatasan dengan darat (Osmar, 2016).
4

Hutan mangrove adalah komunitas tumbuhan pantai yang mampu hidup


dan berkembang pada kondisi perairan yang bersalinitas, kawasan pasang surut
pantai berlumpur Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai
jenis organisma air yang mempunyai nilai eknomis penting dan merupakan bagian
dasar rantai makanan sebab serasah mangrove yang jatuh akan diuraikan oleh
mokroorganisme dengan cepat dan mencadi sumber makanan bagi organisma
perairan menyatakan bahwa peningkatan kegiatan ekonomi seperti penyediaan
sarana dan prasarana serta pelabuhan akan mempercepat terjadinya penurunan
luasan hutan mangrove (Arfan, 2008).
Hutan mangrove adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan
sub-tropis yang didominasi tumbuhan bunga terrestrial berhabitus pohon dan
semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut dengan
salinitas tinggi. Identifikasi komposisi vegetasi mangrove merupakan prasyarat
untuk memahami semua aspek struktur dan fungsi mangrove, sebagaimana
kondisi biogeografi, konservasi dan manajemennya. Komunitas ini sangat berbeda
dengan komunitas laut, namun tidak berbeda jauh dengan komunitas daratan
dengan terbentuknya rawa-rawa (Setyawan et al., 2013).
Hutan mangrove yang besar disebabkan oleh perubahan penggunaan
lahan. Bhatt (2012) berdasarkan penelitiannya menemukan bahwa hutan bakau di
sekitar Mumbai, India, telah mengalami 70% kerusakan. Kawasan hutan
mangrove Mumbai telah dihancurkan oleh berbagai kegiatan konstruksi,
penebangan mangrove dan digunakan sebagai tempat pembuangan sampah.
Faktor sosial ekonomi masyarakat juga memiliki dampak yang signifikan
terhadap kerusakan hutan mangrove dengan. Kawasan hutan mangrove telah
menurun secara signifikan di laguna karena kegiatan ekonomi seperti
pembangunan tabak, penebangan mangrove untuk keperluan kayu bakar,
memancing dan penambangan pasir (Arfan, 2008)
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
Kekomplekan ekosistem ini terlihat bahwahutan mangrove menyumbangkan
konstribusi besar detritus organik yang mendukung jaring makanan dalam
ekosistem. Tingginya kelimpahan makanan dan tempat tinggal, serta rendahnya
tekanan predasi, menyebabkan ekosistem mangrove membentuk habitat yang
5

ideal untuk berbagai spesies satwa dan biota perairan, untuk sebagian atau seluruh
siklus hidup mereka. Karena itu, mangrove dapat berfungsi sebagai tempat
pengasuhan yang penting untuk kepiting, udang dan berbagai jenis ikan, dan
mendukung keberadaan populasi ikan lepas pantai dan perikanan.Bukti hubungan
antara habitat mangrove dan perikanan lepas pantai masih langka,namun sangat
diperlukan untuk tujuan pengelolaan dan konservasi (Pradana et al., 2013).
Masyarakat Desa Peniti Luar Kabupaten Puntianak dalam
mempertahankan dan melestarikan hutan mangrovenya mempunyai idea/gagasan
serta kebiasaan untuk tidak menebang mangrove untuk keperluan komersial, tidak
melakukan penangkapan kepiting dan kerang kepuh yang berkuran kecil dan
pengaturan jarak dalam melakukan penangkapan ikan, untuk kelakuan, tidak
boleh bersiul dan berbicara takabur saat berada di laut, dan hutan dipandang
sesuatu yang keramat yang mesti dijaga, untuk budaya/adat istiadat yaitu
melakukan penghormatan terhadap laut (menyemah laut). Sementara itu, di Dusun
I dan Dusun II Desa Nusapati, Kecamatan Potianak seperti upacara ritual telah
menjadi sebuah upaya dalam pembersihan hutan serta penetapan hukum dan
penerapan sanksi bagi pihak pelanggara yang menyebabkan rusaknya kawasan
hutan mangrove merupakan komponenyang tak lepas dari struktur pengelolaan
hutan itu sendiri (Arfan, 2008).
Fungsi ekologis mangrove akan berjalan dengan baik apabila parameter
lingkungan tempat vegetasi mangrove hidup berada dalam kondisi yang baik.
Karakteristik habitat mangrove yang berbeda akan memiliki kondisi lingkungan
perairan yang berbeda juga. Segala bentuk usaha pemanfaatan dan pengelolaan
mangrove harus direncanakan secara seksama agar kelestariannya tetap terjaga,
serta memerlukan data-data mengenai kondisi habitat disertai dengan indikator
yang mencerminkan peranannya terhadap kelangsungan hidup organisme di
perairan sekitarnya (Ulqodry et al., 2010).
Memahami kondisi terkini mengenai berbagai aktivitas dan kegiatan di
kawasan hutan mangrove, maka kearifan-kearifan lokal masyarakat perlu terus
dikaji dan dikembangnya khususnya yang berkenaan dengan upaya kelestarian
sumberdaya hutan mangrove. Ketergantungan dan ketidakterpisahan antara
pengelolaan sumberdaya mangrove dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat
6

dari kehidupan sehariseharinya di kawasan hutan mangrove. Berbagai kearifan


lokal mengenai pengelolaan mangrove dapat dilihat di Desa Tunggulsari
Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang, yaitu ritual sedekah laut sedekah laut
yang diadakan satu tahun sekali dan didalam sedekah laut terdapat acara
penanaman hutan mangrove yang dilakukan oleh seluruh warga Desa Tunggulsari
(Arfan, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Arfan, A. 2008. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya


Hutan Mangrove Di Pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya. Hal. 239-244.

Dahuri R, Ginting SRP, Rais J, dan Sitepu JG. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Paradyna Paramitha,
Jakarta.

Hardianty. 2013. Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan


Kawasan Ekowisata di Pantai Boe Kecamatan Galesong, Takalar.
[Skripsi]. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Effendy, M. 2009. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu: Solusi
Pemanfaatan Ruang, Pemanfaatan Sumberdaya dan Pemanfaatan
Kapasitas Asimilasi Wilayah Pesisir Yang Optimal dan Berkelanjutan.
Jurnal Kelautan. 2(1) : 83-86.
Fabianto, D, M dan Pieter. 2011. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara
Terpadu dan Berkelanjutan yang Berbasis Masyarakat. Universitas
Padjajaran.

Kristiyanti, M. 2016. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pantai Melalui


Pendekatan ICZM (Integrated Coastal Zone Management). ISBN: 978-
979-3649-96-2.
Osmar, M. 2016. Studi Analisis Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan
Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara. [Skripsi].
Universitas Halu Oleo, Gorontalo.
Pradana, O. Y., Nirwani, dan Suryono. 2013. Kajian Bioekologi dan Strategi
Pengelolaan Ekosistem Mangrove : Studi Kasus di Teluk Awur Jepara.
Journal Of Marine Research. 2 (1) : 54-61.
Setyawan, A. D., Kusumo. W dan P. C Purnama. 2013. Ekosistem Mangrove di
Jawa: Kondisi terkini. Biodiversitas. 2 (1): 123-133.
7

Ulqodry, T. Z., d. G Bengen, dan R. F Kaswadji. Karakteristik Perairan Mangrove


Tanjung Api-Api Sumatera Selatan Berdasarkan Sebaran Parameter
Lingkungan Perairan dengan Menggunakan Analisis Komponen Utama
(PCA). Maspari Journal. 1 (1): 16-21.

Anda mungkin juga menyukai