Anda di halaman 1dari 4

Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom merupakan salah satu
produk kebudayaan, yang lahir karena kebutuhan akan nilai, norma, dan aturan
yang menjadi model untuk melakukan suatu tindakan. Kearifan lokal identik
dengan perilaku manusia yang berhubungan dengan beberapa hal, yaitu Tuhan,
bencana serta tanda-tanda alam, lingkungan hidup, rumah, pendidikan, upacara
perkawinan dan kelahiran, makanan dan kesehatan, siklus kehidupan manusia dan
watak. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang
berlaku di kelompok masyarakat, yang akan menjadi pegangan mereka sehari-hari
(Hermawan dan Heru, 2018).
Hukum adat laot tersebut berkaitan dengan beberapa pengaturan, yang
meliputi aturan tentang penangkapan ikan, bagi hasil, sewa menyewa, pengupahan
dan sebagainya, wilayah khusus tempat penambatan perahu/pukat pantai, tempat
penjemuran alat penangkapan ikan/memperbaiki kerusakankerusakan baik alat
penangkapan ikan maupun perahu larangan melakukan kegiatan di laot/pantang
laot, penemuan harta di laot, upah atau pengganti jerih payah panglima laot dan
atau pawang, pertengkaran/perselisihan/ pertikaian dan perkelahian di laot,
perusakan lingkungan laot, tentang pencurian ikan di laot, kecelakaan di laot, dan
aturan-aturan laot yang berhubungan dengan semua kegiatan mencari nafkah di
laot (Rizqi et al., 2018).
Penerapan suatu kearifan lokal dapat berdampak positif, tapi ada juga
dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan. Kearifan lokal yang terkait
dengan pengelolaan sumber daya ikan mengandung suatu pengetahuan lokal yang
dapat diungkap melalui ilmu pengetahuan modern. Keberadaan kearifan lokal
dapat memberikan peluang baik bagi tatanan kehidupan modern karena kearifan
lokal mempunyai empat fungsi sebagai berikut: Konservasi dan pelestarian
sumber daya alam; Pengembangan sumber daya manusia; Pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan; dan sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan
pantangan. Prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pemanfaatan dan
pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya serta berbagai kebijakan
pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan serta peran masyarakat local (Oktaviani et al., 2016).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mencari dan
memfungsikan kembali adat kebiasaan masyarakat setempat di dalam mengelola
sumberdaya mereka yang secara turun-temurun telah ada dan efektif dilakukan
pada wilayah tersebut yang biasa disebut dengan kearifan local. Kearifan Lokal
merupakan solusi dalam menjaga kelestarian perairan, beberapa peraturan adat
seringkali lebih dipatuhi dibanding peraturan pemerintah, karena kalau melanggar
adat, maka bisa dikucilkan oleh masyarakat. Peraturan adat biasanya mengatur
kapan warga boleh mencari ikan, cara-cara yang sesuai, serta aturan lain yang
bertujuan untuk kelestarian ikan dan hasil-hasil perairan, sehingga dapat
dipertahankan sampai anak cucunya kelak (Widarmanto, 2018).
Pengelolaan sumber daya ikan yang berbasis masyarakat tidak boleh
dipisahkan dari kearifan lokal masyarakat yang memanfaatkannya secara
langsung. Saat ini, keberadaan kearifan lokal masih dinilai hanya sebagai suatu
hal yang unik dan patut dilestarikan yang cenderung dijadikan sebagai obyek
wisata budaya. Kearifan lokal tertentu merupakan suatu kesepakatan yang berlaku
turun temurun dari suatu masyarakat tertentu yang terhimpun di dalam sebuah
lembaga masyarakat adat. Itu berarti kearifan lokal dapat dikatakan sebagai suatu
bentuk peraturan yang berlaku dan dipatuhi. Hal itu sama artinya dengan
peraturan yang berlaku di pemerintahan. Deskripsi dampak negatif yang muncul
dari suatu kearifan lokal adalah terjadinya penangkapanyang berlebih (over
exploitation) terhadap sumber daya ikan (Oktaviani et al., 2016).
Peran lembaga sosial sangat penting sebagai kearifan lokal karena dapat
memfasilitasi komunitas saat melakukan perencanaan, koordinasi, dan
pengendalian kegiatan untuk merehabilitasi lingkungan. Dengan menggunakan
modal sosial berbasis kearifan lokal, komunitas pesisir dapat merehabilitasi hutan
mangrove dengan sistem kepemimpinan lokal yang efektif. Kegiatan komunitas
melalui pemulihan dan pelestarian hutan mangrove adalah proses pengembangan
komunitas (comdev) berbasis kearifan lokal. Hal ini dilakukan untuk melindungi
aset-aset komunitas berupa tambak dan sumber daya alam di sekitar hutan
mangrove (Purwowibowo dan Nur, 2016).
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Selatan memanjang dari wilayah pesisir pantai barat
yang mencakup Kabupaten Pangkep, Maros, Takalar, hingga ke wilayah pantai
timur, mulai dari Kabupaten Sinjai hingga daerah Luwu Raya. Hutan mangrove
adalah salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi yang cukup
tinggi akibat pola pemanfaatan lingkungan yang cenderung tidak memperhatikan
aspek kelestariannya. Luas areal hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan
sekitar 112.577 hektar pada tahun 80-an, saat ini tinggal seluas 22.353 hektar
(Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Selatan 2010). Kerusakan terjadi hampir di
seluruh kawasan pesisir pantai Provinsi Sulawesi Selatan (Zainuddin et al., 2015).
Provinsi Sulawesi Utara dengan potensi mangrove yang cukup beragam
juga mengalami masalah tingkat eksploitasi berlebihan tanpa adanya pengawasan
dan kontrol. Pada tahun 1991 ekosistem mangrove di Sulawesi Utara tercatat
28.000 ha namun pada tahun 1997 luasannya telah berkurang menjadi 23.516 ha.
Identifikasi di tahun 1999 luasan mangrove terus mengalami penurunan dan
diperkirakan saat ini tersisa 4.833 ha (Sondakh et al., 2019).
Di pesisir pantai timur Sulawesi Selatan, ide/gagasan yang ada dalam
rangka pelestarian hutan mangrove yaitu tidak dibenarkan menangkap ikan, udang
dan kepiting dengan menggunakan obat bius dan racun, tidak dibenarkan
melakukan penebangan jenis-jenis mangrove, menentukan zonasi-zonasi sebagai
kawasan konservasi, melakukan pembibitan mangrove secara berkelompok dan
melakukan penanaman secara berkelompok yang dikoordinir oleh ketua kelompok
yang terpilih. Dari segi nilai-nilai masyarakat di pesisisr pantai Timur Sulawesi
Selatan dalam hal pengelolaan hutan mangrove yaitu, menangkap ikan, udang,
kepiting dengan menggunakan jaring, bubu, perangkap dan pengait dari besi,
menggunakan keramba dalam pembesaran kepiting di dalam kawasan hutan
mangrove, menanam bakau dan memberinya pagar pelindung khususnya yang
berdekatan dengan pemukiman (Arfan, 2018).
Arfan, A. 2018. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Hutan Mangrove Di Pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya. Hal. 239-244.

Hermawan, A dan Heru, S. 2018. Kearifan Lokal Masyarakat Pulau Tanakeke


dalam Mengelola Ekosistem Mangrove. Info Teknis Eboni. 15 (1) :53-64

Zainuddin, Sumardjo, dan D. Susanto. 2015. Perilaku Masyarakat dalam


Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi
Selatan. Jurnal Penyuluhan. 11 (1).

Widarmanto, N. 2018. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.


Jurnal Sabda. 13 (1)

Oktaviani, D., E. Proanto dan R. Puspasari. 2016. Penguatan Kearifan Lokal


sebagai Landasan Pengelolaan Perikanan Perairan Umum Daratan di
Sumatera. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. e-ISSN: 2502-6550

Rizqi, R., D. Simbolon dan Mustaruddin. 2017. Albacore. 1 (23).

Purwowibowo dan Nur, D. G. 2016. Kearifan Lokal dalam Pelestarian Hutan


Mangrove Melalui Communit Development. 1(1).

Sondakh, J.M, S. Suhaeni dan M. P. Wasak. 2019. Pengelolaan Hutan Mangrove


Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten
Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. 7 (1)

Anda mungkin juga menyukai