OLEH :
Nim :1901040013
Kelas :B
Semester : VI(Enam)
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas penyertaanNya penulis telah
menyelesaikan makalah dengan Judul"KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DI KAMPUNG WAE REBO, DESA SATAR LENDA,
KABUPATEN MANGGARAI".
Dalam menyusun Makalah ini tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang sudah membantu baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah konservasi dan keanekaragaman hayati.
Penulis menyadari bahwa pembahasan hanya pada batasan permaslahan pada makalah ini,
sehingga kritik dan saran sangat dibutuhkan penulis untuk melengkapi makalah ini sehingga
dapat menjadi acuan refrensi bagi peneliti selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Cover……………………………………………………………………………………………
Kata Pengantar………………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………
1.4 Manfaat……………………………………………………………………………
BAB II
PEMBAHASAN
2.3 Pengelolaan hutan Berdasarkan Kearifan Lokal yang Berlaku Pada Masyarakat Wae Rebo
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………..
3.2 Saran……………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
Pemahaman mengenai kearifan lokal di atas menegaskan bahwa kearifan lokal menjadi modal
penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Kearifan lokal yang
terdapat di kampung Wae Rebo, terbentuk sebagai proses interaksi antara manusia dengan
lingkungan dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan di kampung Wae Rebo. Ada ritual yang
harus dilakukan oleh masyarakat setempat sebelum menebang pohon yang akan digunakan untuk
pembuatan rumah adat dan masyarakat kampung Wae Rebo hanya mengambil pohon di dalam
hutan lindung Todo untuk digunakan sebagai tiang utama. Hal ini merupakan cara masyarakat
agar hutan lindung Todo yang terdapat di kampung Wae Rebo tetap lestari dan dapat berguna
bagi kehidupan.
3.Untuk Mengetahui Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kearifan Lokal yang Berlaku Pada
Masyarakat Wae Rebo.
1.4 Manfaat
1.Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis Dari makalah ini adalah Dapat mengetahui Kearifan Lokal yang Berlaku Pada
Masyarakat Wae Rebo.
2.Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah
konservasi keanekaragaman hayati
BAB II
PEMBAHASAN
Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan
bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa
lain menjadi watak dan kemampuan sendiri.Kearifan lokal juga merupakan ciri khas etika dan
nilai budaya dalam masyarakat lokal yang diturunkan dari generasi ke generasLebih lanjut
kearifan lokal juga didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi, menata, dan menumbuhkan
pengaruh alam serta budaya lain yang menjadi motor penggerak transformasi dan penciptaan
keanekaragaman budaya Indonesia yang luar biasa.Ini juga bisa menjadi suatu bentuk
pengetahuan, kepercayaan, pemahaman atau persepsi beserta kebiasaan atau etika adat yang
menjadi pedoman perilaku manusia dalam kehidupan ekologis dan sistemik.
Nilai-nilai yang mengakar dalam suatu budaya jelas bukan objek material yang konkret, tetapi
cenderung menjadi semacam pedoman bagi perilaku manusia.Dalam pengertian itu, untuk
mempelajarinya kita harus memperhatikan bagaimana manusia bertindak dalam konteks lokal.
Dalam keadaan normal, perilaku orang terungkap dalam batas-batas norma, etiket, dan hukum
yang terkait dengan wilayah tertentu.Namun, dalam situasi tertentu di mana budaya menghadapi
tantangan dari dalam atau dari luar, respons dalam bentuk reaksi dapat terjadi. Tanggapan dan
tantangan adalah cara normal untuk melihat bagaimana perubahan terjadi dalam budaya.
-Harus menggabungkan pengetahuan kebajikan yang mengajarkan orang tentang etika dan nilai-
nilai moral
-Kearifan lokal harus mengajar orang untuk mencintai alam, bukan untuk menghancurkannya
-Kearifan lokal harus berasal dari anggota komunitas yang lebih tua
-Kearifan lokal dapat berbentuk nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum, adat,
aturan-aturan khusus.
Ciri-ciri kearifan lokal
Konservasi keanekaragaman hayati adalah upaya pengelolaan sumber daya hayati untuk
menjamin kelangsunga hidup manusia dimasa sekarang dan masa mendatang.
3. Pemanfaatan, berarti memanfaatkan secara bijaksana sumber daya alam dan lingkungannya.
Tempat konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia yang telah diresmikan pemerintah,
misalnya berupa cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung, taman laut, taman hutan raya,
dan kebun raya.
1. Taman nasional
Taman nasional memiliki fungsi sebagai perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dan
perlindungan terhadap hewan dan tumbuhan serta pelestarian sumber daya alam. Selain itu juga,
taman nasional penting untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, dan rekreasi.Contoh:
taman nasional gunung leuser di Aceh, taman nasional komodo di pulau Komodo, dan taman
nasional kepulauan seribu.
2. Cagar alam
Cagar alam adalah kawasan perlindungan alam yang memiliki ciri khas, yaitu tumbuhan dan
hewan yang perkembangannya diserahkan pada alam.Contoh: cagar alam gunung mutis di Soe ,
cagar alam rafflesia di Bengkulu ,dan lain-lain.
3. Taman laut
Taman laut adalah wilayah lautan yang mempunyai ciri khas berupa keindahan alam yang
diperuntukan guna melindungi keanekaragaman hayati di lautan.
4. Kebun raya
Kebun raya adalah kumpulan tumbuh- tumbuhan disuatu tempat yang berasal dari berbagai
daerah untuk tujuan konservasi, ilmu pengetahuan, dan rekreasi.
2.3 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kearifan Lokal yang Berlaku Pada Masyarakat Wae Rebo
Struktur kelembagaan adat pada masyarakat Wae Rebo hingga saat ini masih dipertahankan
keberadaannya karena masyarakat Wae Rebo ingin melestarikan kearifan lokal yang berlaku
secara turuntemurun sejak nenek moyang mereka tinggal di Wae Rebo.
Berdasarkan struktur kelembagaan adat di atas, masing-masing memiliki tugas/peran yang
berbeda-beda. Tu’a Golo merupakan kepala kampung. Dalam lembaga adat kampung Wae Rebo,
Tu’a Golo memiliki peranan penting sebagai pusat dari struktur kelembagaan adat, yakni sebagai
tetua adat yang dipercayakan untuk memimpin dan mengatur ritual-ritual adat serta
menyelesaiakan persoalan-persoalan yang terjadi di kampung Wae Rebo. Tu’a Teno merupakan
kepala bagian tanah ulayat. Dalam lembaga adat Wae Rebo Tu’a Teno adalah orang yang
dipercayakan dalam hal pembagian tanah dan menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan
masalah tanah. Tu’a Panga merupakan kepala rumah gendang, yang memiliki tugas untuk
menjaga rumah gendang serta mengatur segala yang berkaitan dengan rumah gendang. Tu’a Kilo
merupakan sistem organisasi terkecil pada kehidupan masyarakat Wae Rebo yaitu sebagai
pemimpin dalam satu keluarga. Jadi struktur kelembagaan tersebut memiliki masing-masing
peran dalam menjaga dan melestarikan Hutan Wae rebo.
Hutan hingga saat ini tetap lestari,karena peran masyarakat tradisional dalam pengelolaan hutan
masih mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka”Empo Maro”. Berdasarkan
tradisi masyarakat Wae Rebo yang diwariskan secara turun-temurun dalam pengelolaan hutan,
dibagi dalam beberapa wilayah berdasarkan fungsi dan pemanfaatan oleh masyarakat.
1. Beo (kampung)
Beo (kampung) Wae Rebo terdapat rumah adat yang disebut dengan mbaru tembong (rumah
gendang). Mbaru tembong merupakan tempat mengatur pelaksanaan hukum adat, dalam hal ini
berhubungan dengan pembagian kebun komunal dengan prinsip gendang one lingko pe’ang,
artinya apabila ada rumah gendang maka sekitar rumah gendang adalah lingko(kebun komunal),
dimana masyarakat Wae Rebo dapat memanfaatkan kebun komunal untuk kebutuhan setiap hari.
Sedangkan hasil hutan hanya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan rumah adat melalui upacara
adat. Hal ini sebagai salah satu cara agar hutan Wae Rebo tetap lestari.
Lingko berbentuk seperti sarang laba-laba, dalam satu lingko terbagi atas beberapa bagian
berbentuk segitiga yang disebut moso. Pusat lingko disebut lodok sedangkan batas luar disebut
dengan cicing. Batas antar moso disebut dengan langang.
3. Cengit (Daerah Keramat)
Kearifan lokal masyarakat Wae Rebo dalam pengelolaan hutan salah satunya yaitu menjaga
daerah keramat yang terdapat di beberapa wilayah di Wae Rebo tersebut,masyarakat Wae Rebo
percaya bahwa terdapat tujuh tempat yang dianggap keramat serta sebagai tempat huni dari roh-
roh yang melindungi masyarakat agar terhindar dari segala sesuatu yang dapat mengancam
kehidupan mereka. Ketujuh tempat keramat tersebut, yakni Ponto Nao, Regang , Ulu Wae Rebo,
Golo Ponto, Hembel, Golo Mehe, dan Polo.
Masyarakat Wae Rebo Sejak leluhur pertama (Empo Maro), masyarakat di kampung Wae Rebo
sangat bergantung pada hasil pertanian yang dimiliki sehingga masyarakat sangat peka terhadap
tanda-tanda perubahan alam sekitar. Perubahan dan tanda-tanda alam tersebut disusun dalam
suatu hitungan dalam tempo satu tahun. Tanda-tanda alam yang dipakai oleh masyarakat Wae
Rebo untuk menghitung bulan adalah bentuk-bentuk tanaman atau tumbuhan dan bunyi-bunyi
atau suara makhluk hidup disekitarnya.
Upacara penti merupakan upacara hajatan resmi dalam kalender adat Kampung Wae
Rebo yang diadakan setiap bulan November (11) setiap tahun sekali, sebagai ucapan
syukur kepada Tuhan (Mori jari dedek) dan arwah para leluhur orang Wae Rebo atau
orang Manggarai pada umumnya atas berkat yang telah diterima masyarakat selama
satu tahun, sekaligus menjaga hubungan antara masyarakat dengan Tuhan (Mori jari
dedek) sebagai penguasa alam semesta serta hubungan dengan para leluhur sebagai
akar dari masyarakat dan mewariskan tanah yang ada saat ini. Selain itu, upacara
penti juga merupakan salah satu wadah untuk mengatur hubungan antara manusia
dengan lingkungan hidupnya, mempertemukan dan mempererat tali persaudaraan
antara keluarga dalam satu garis keturunan, karena dalam upacara penti seluruh
keturunan asli Wae Rebo hadir saat upacara tersebut serta untuk memperbaiki
hubungan yang kurang harmonis (hambor) antara keluarga sehingga saat tahun baru
tidak ada lagi perpecahan anatara keluarga. Dalam upacara penti hewan kurban yang
dipersembahkan yaitu kaba (kerbau).
3.1 Kesimpulan
Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan
bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa
lain menjadi watak dan kemampuan sendiri.Kearifan lokal juga merupakan ciri khas etika dan
nilai budaya dalam masyarakat lokal yang diturunkan dari generasi ke generasLebih lanjut
kearifan lokal juga didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi, menata, dan menumbuhkan
pengaruh alam serta budaya lain yang menjadi motor penggerak transformasi dan penciptaan
keanekaragaman budaya Indonesia yang luar biasa.
Konservasi keanekaragaman hayati adalah upaya pengelolaan sumber daya hayati untuk
menjamin kelangsunga hidup manusia dimasa sekarang dan masa mendatang. Konservasi
meliputi 3 hal:
1. Perlindungan, berarti melindungi proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan
Pengelolaan hutan lindung berdasarkan kearifan lokal yang berlaku pada masyarakat Wae Rebo
dibagi menjadi beberapa wilayah, yaitu Beo (kampung) merupakan tempat untuk melaksanakan
upacara adat yang berkenaan dengan aktivitas pengelolaan hutan, Lingko(Kebun komunal)
merupakan areal yang dibagi pada masyarakat untuk dikelola agar tidak mengganggu wilayah
hutan lindung, Cengit (Daerah Keramat) merupakan tujuh tempat keramat yang berada dalam
hutan yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat Wae Rebo, Pemanfaatan Hasil Hutan yaitu
penggunaan kayu Worok sebagai tiang utama rumah adat, dan Hubungan Alam dengan
Kehidupan Masyarakat Wae Rebo yakni masyarakat peka terhadap tanda-tanda alam dan
dilakukan pula acara ritual khusus, seperti pada musim tanam, musimpanen dan upacara
perkawinan.
Upacara adat Penti, alat dan bahan yang digunakan adalah parang dan kaba (kerbau).
Kasawiang, alat dan bahan yang digunakan adalah parang, ayam berwarna khusus (lalong rasi),
telur ayam rebus, telur ayam mentah dan daun sirih. Roko Molas poco, alat dan bahan yang
digunakan adalah parang dan lalong cepang (ayam jantan berwarna khusus) satu ekor, lalong
bakok (ayam jantan berwarna putih). Upacara adat dipimpin oleh tua adat serta memakai tuturan-
tuturan adat.
3.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang Peran
Kearifan lokal terhadap konservasi keanekaragaman hayati,sehingga dapat menambah
pengetahuan mengenai materi tersebut. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna,oleh
karena itu kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun sangat Penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Internet :
Jurnal: