Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEARIFAN LOKAL PEMELIHARAAN LINGKUNGAN HIDUP SESUAI TRADISI


MASYARAT MUTIS DIKABUPATEN TTS (ANIMISME) YANG MEMPUNYAI PERAN
TERHADAP KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

OLEH
ASRIE FREFIN
NIM: 1801040041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
DAFTAR ISI

KOVER.............................................................................
DAFTAR ISI....................................................................
KATA PENGANTAR......................................................
BAB 1 PENDAHULUAN................................................
1.1 Latar belakang.............................................................
1.2 Rumusan masalah........................................................
1.3 Tujuan.........................................................................
1.4 Manfaat.......................................................................
1.5 Batasan masaah...........................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................
2.1 Kearifan Lokal
2.2 Fungsi dari Kearifan Lokal
2.3 Pendekatan Kearifan lokal
2.4 Konservasi Keanekaragaman Hayati
2.5 Pemeliharaan Lingkungan Hidup Kearifan lokal terhadap Keanekaragaman hayati
Diwilayah Gunung Mutis
2.6 Kearifan lokal Masyarakat Kabupaten TTS khusunya diwilayah gunung mutis
yang mendukung meningkatkan Konsevasi keanekaragman hayati
BAB III PENUTUP...........................................................
3.1 Simpulan......................................................................
3.2 Saran............................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis mengucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat, bimbingan, dan penyertaannya sehinga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Judul makalah ini ialah “Kearifan lokal pemeliharaan lingkungan
hidup sesuai tradisi masyarat mutis dikabupaten tts (animisme) yang mempunyai peran
terhadap konservasi keanekaragaman hayati”.
Makalah ini berisi tentang tradisi masyarakat yang dapat mendukung
konservasi keanekaragaman hayati. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Konservasi keanekaragaman hayati.
Penulis menyadari bahwa pembahasan hanya pada batasan permasalahan pada
makalah ini, sehinga kritik dan saran sangat dibutuhkan penulis untuk melengkapi makalah
ini baik dari segi teori, metode, dan analisis sehinga dapat menjadi acuan referensi bagi
penulis selanjutnya.

Soe, April 2021

Penulis
BAB I
Pendahuluan

1.1.Latar Belakang

Di sebagian besar penjuru dunia, semakin banyak masyarakat setempat telah


berinteraksi dengan kehidupan modern, sehingga sistem nilai mereka telah terpengaruh, dan
diikuti penggunaan barang dari luar. Pergeseran nilai akan beresiko melemahnya kedekatan
masyarakat asli dengan alam sekitar, serta melunturkan etika konservasi setempat.
Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di
sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia, dan telah
lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai cara
memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Perkembangan zaman saat ini, tidak sedikit membuat para generasi muda yang tidak
memahami warisan kebudayaan bangsanya sendiri. Hingga sedikit demi sedikit mengikis jiwa
kebangsaan mereka. Walaupun masalah pengetahuan kebudayaan tidak menjadi materi penting dalam
kurikulum sekolah-sekolah, tapi sebenarnya materi ini seharusnya sudah ada pada kurikulum sekolah.
Selain sebagai warisan kebudayaan yang harus dipertahankan, kearifan lokal beberapa
masyarakat yang ada di Indonesia juga bisa menjadi salah satu solusi yang mungkin bisa
menyelesaikan permasalahan lingkungan akibat modernisasi industri yang tengah melanda seluruh
dunia saat ini. Hal ini dikarenakan masyarakat tradisional yang ada di wilayah Indonesia masih
mempertahankan tata cara penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam. Sehingga tidak akan
mengganggu ataupun merusak kestabilan ekosistem manusia.
Pada makalah ini penulis membahas mengenai suatu kearifan lokal Pada daerah Mutis
Dikabupaten Timor Tengah Selatan yang dimana kearifan lokal tersebut membantu mendukung upaya
melestarikan Keanekaragan Hayati. Masyarakat lokal di pulau Timor, baik orang Bunak, Helong,
Kemak, Tetun maupun Meto (Dawan), memiliki tradisi dan kearifan yang diwariskan turun-temurun.
Tradisi dan kearifan itu berangsur hilang antara lain dikarenakan oleh perubahan sosial global,
kebijakan politik pemerintah nasional dan lokal. Dalam hal pemeliharaan lingkungan hidup
masyarakat lokal di wilayah kabupaten di Timor Tengah Selatan (TTS) telah mecoba menghidupkan
kembali tradisi, kearifan dan kelembagaan lokal dengan bantuan AusAID selama satu tahun.
Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa setelah bantuan berlalu masyarakat lokal di tempat
tertentu dapat menjaga keberlanjutan pemelihraan lingkungan hidup menurut tradisi, sedangkan di
tempat lain tidak.
Oleh karena itu disusunnya makalah ini semoga bisa menambah pengetahuan kita khususnya
dalam pengelolaan lingkungan yang dikombinasikan dengan nilai-nilai tradisional yang ramah
lingkungan.Sehingga kearifan lokal yang terus dijaga di beberapa wilayah Indonesai tidak hanya
sebagai warisan lokal yang harus dijaga tapi nilainya bertambah sebagai solusi atas masalah
lingkungan saat ini. Agar budaya dan lingkungan dapat hidup berdampingan sampai kepada anak
cucu kita nantinya

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Yang dimaksud dengan Kearifan Lokal ?
2. Apa Fungsi dari Kearifan Lokal ?
3. Apa saja pendekatan Kearifan lokal ?
4. Apa Itu konservasi Keanekaragaman Hayati ?
5. Jelaskan apa kearifan lokal Masyarakat Kabupaten TTS khusunya diwilayah gunung
mutis yang meningkatkan Konsevasi keanekaragman hayati ?
6. Bagaimana pendekatan Terhadap Kearifan lokal tersebut dalam pengelolaannya?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa Yang dimaksud dengan Kearifan Lokal !
2. Mengetahui Fungsi dari Kearifan Lokal !
3. Mengetahui apa saja pendekatan Kearifan lokal !
4. Mengetahui Apa Itu konservasi Keanekaragaman Hayati !
5. Mengetahui Pemeliharaan Lingkungan Hidup Kearifan lokal terhadap
Keanekaragaman hayati Diwilayah Gunung Mutis
6. Mengetahui apa kearifan lokal Masyarakat Kabupaten TTS khusunya diwilayah
gunung mutis yang mendukung meningkatkan Konsevasi keanekaragman hayati !
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kearifan Lokal

Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara
umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami merupakan gagasan gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh Departemen
Sosial (sekarang Kementerian Sosial) kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka
(Departemen Sosial RI, 2006). Dalam pengertian kebahasaan kearifan lokal, berarti kearifan
setempat (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang
bersifatvbijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga
masyarakatnya. Dalam konsep antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan
setempat (indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang
menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity) (Makmur, 2011).
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat
(local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local
genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran
tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal
dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai,
dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa
mereka semakin berbudi luhur.
Menurut Petrasa Wacana kearifan lokal merupakan seperangkat pengetahuan yang
dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dan
terangkum dari pengalaman panjang manusia menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang
saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan
dengan ritme yang harmonis. Kemudian kita lanjutkankan dengan kearifan lokal yang
spesifik mengenai lingkungan yaitu kearifan lingkungan.Kearifan lingkungan (ecological
wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif
terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide,
aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut
dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas
pendukungnya.Sikap dan perilaku menyimpang dari kearifan lingkungan, dianggap
penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak, mencemari, mengganggu dan lain-lain.
Kemudian kita juga dapat menggali lebih dalam lagi mengenai kearifan lingkungan.
Kearifan lingkungan dimaksudkan sebagai aktivitas dan proses berpikir, bertindak dan
bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati, mamanfaatkan dan mengolah alam
sebagai suatu lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik. Kesuksesan
kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan produktivitas, sustainabilitas dan
equtablitas atau keputusan yang bijaksana, benar, tepat, adil, serasi dan harmonis.
Menurut Munsi Lampe melalui artikelnya yang berjudul “Kearifan Tradisional
Lingkungan Belajar dari Kasus Komunitas-Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional”
Kearifan lingkungan di Indonesia menjadi topik perbincangan yang menarik, bahkan
mendesak kepentingannya sehubungan dengan isu program rehabilitasi dan pengelolaan
lingkungan, khususnya lingkungan ekosistem laut (mangrof dan terumbu karang) yang
mengalami kerusakan pada hampir semua daerah perairan pantai dan pulau - pula, yang
menurut hasil penelitian, banyak diakibatkan oleh perilaku pemanfaat, terutama komunitas-
komunitas nelayan itu sendiri.
Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal adalah suatu identitas/kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.
Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang
dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.
Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan
belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat
pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang,
sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
Definisi kearifan lokal tersebut, paling tidak menyiratkan beberapa konsep, yaitu:
1.Kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan sebagai petunjuk
perilaku seseorang;
2. Kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya;
3. Kearifan lokal itu bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan
zamannya.
Menurut Wahyu dalam Mukti (2010) bahwa kearifan lokal, dalam terminology
budaya, dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal yang berasal dari budaya
masyarakat, yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang,
beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan
tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik, kearifan lokal dapat diartikan sebagai
suatu pengetahuan lokal, yang unik yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang
dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian,
kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam
kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas.
Jadi, dapat disimpulakan kearifan lokal adalah , kearifan lokal dapat diartikan sebagai
suatu pengetahuan lokal, yang unik yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang
dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian,
kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam
kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas.

2.2 Fungsi dari Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan salah satu warisan dari nenek moyang, warisan tersebut bisa
berupa tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya ataupun adat istiadat
(Basuni, 2012). Keberadaan kearifan lokal ini bukan tanpa fungsi. Kearifan lokal sangat
banyak fungsinya. Seperti yang dituliskan Sartini (2006), bahwa fungsi kearifan lokal adalah
sebagai berikut:
1.Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2.Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia.
3.Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4.Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5.Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6.Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian
7.Bermakna etika dan moral.
8.Bermakna politik,
Kearifan lokal yang terkait dengan kebudayaan, memiliki arti penting untuk menjaga
keberlanjutan kebudayaan, sekaligus agar selalu terjaga kelestariannya. Terlebih lagi, di
tengah-tengah modernisasi yang istilahnya saat ini lebih akrab dikenal sebagai globalisasi.
Yang dalam kenyataannya, globalisasi itu dapat menggeser nilai-nilai budaya lokal oleh nilai
budaya asing yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia,
baik yang hidup di perkotaan maupun perdesaan (Puslitbangbud, 2011).
Pelestarian kearifan lokal dengan sendirinya akan dapat melestarikan lingkungan
perdesaan. Karena, nilai-nilai kearifan lokal tersebut akan menjadikan masyarakat memiliki
karakter kuat sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di lingkungannya. Selain itu,
desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi akan menjaga kelestarian
kawasan konservasi karena biasanya kawasan tersebut erat kaitannya dengan nilai-nilai
kearifan lokal yang dianut. Kegiatan konservasi di suatu wilayah sebaiknya berasal dari
kesadaran masyarakat yang berada di wilayah yang bersangkutan. Kesadaran akan
pentingnya menjaga keanekaragaman hayati sangat diperlukan tidak saja untuk kepentingan
bangsa Indonesia melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan
dan diarahkan untuk kepentingan jangka panjang (Aulia & Dharmawan, 2010).
Peranan kearifan lokal dalam kelestarian lingkungan perdesaan dapat kita temukan
contoh kasusnya pada kampung-kampung adat seperti Baduy, Kampung Kuta, Kampung
Naga, dsb. Di daerah tersebut, lingkungan perdesaan dan hutan yang berbatasan langsung
sangat terjaga kelestariannya, masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan sumber daya yang
terkandung di dalamnya namun tetap dapat menjaga kelestarian dari hutan tersebut karena
terikat oleh nilai-nilai kearifan lokal

2.3 Pendekatan Kearifan lokal

Dalam belajar kearifan lokal khususnya dan kearifan lingkungan pada umumnya maka
penting untuk mengerti :
a) Politik Ekologi (Political Ecology)
Politik ekologi sebagai suatu pendekatan, yaitu upaya untuk mengkaji sebab akibat perubahan
lingkungan yang lebih kompleks daripada sekedar sistem biofisik yakni menyangkut
distribusi kekuasaan dalam satu masyarakat. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran
tentang beragamnya kelompok-kelompok kepentingan, persepsi dan rencana yang berbeda
terhadap lingkungan. Melalui pendekatan politik ekologi dapat untuk melihat isu-isu
pengelolaan lingkungan khususnya menyangkut isu “right to environment dan environment
justice” dimana right merujuk pada kebutuhan minimal/standarindividu terhadap obyek-
obyek right seperti hak untuk hidup, hak untuk bersuara, hak untuk lingkungan dan lain-lain.
Adapun justice menekankan alokasi pemilikan dan penguasaan atas obyek-obyek right yaitu
merujuk pada persoalan-persoalan relasional antar individu dan antar kelompok (Bakti
Setiawan, 2006).
Konsep right to environment dan environment justice harus mempertimbangkan
prinsipprinsip keadilan diantara generasi (intra-generational justice) dan lintas generasi (inter-
generational justice), karena konsep pembangunan berkelanjutan menekankan baik dimensi
diantara generasi maupun lintas generasi.
b)Human Welfare Ecology
Pendekatan Human Welfare Ecology menurut Eckersley, 1992 dalam Bakti Setiawan, 2006
menekankan bahwa kelestarian lingkungan tidak akan terwujud apabila tidak terjamin
keadilan lingkungan, khususnya terjaminnya kesejahteraan masyarakatnya.
Maka dari itu perlu strategi untuk dapat menerapkannya antara lain :
a. Strategi pertama, melakukan perubahan struktural kerangka perundangan dan praktek
politik pengelolaan sumberdaya alam, khususnya yang lebih memberikan peluang dan
kontrol bagi daerah, masyarakat lokal dan petani untuk mengakses sumberdaya alam
(pertanahan, kehutanan, pertambangan, kelautan). Dalam hal ini lebih memihak pada
masyarakat lokal dan petani dan membatasi kewenangan negara yang terlalu berlebihan
(hubungan negara kapital masyarakat sipil).
b.Strategi kedua, menyangkut penguatan institusi masyarakat lokal dan petani.
c) Pendekatan Ekosistemik
Pendekatan ekosistemik melihat komponen-komponen manusia dan lingkungan sebagai satu
kesatuan ekosistem yang seimbang dan
d) Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan Konstekstual Progressif)
Model ini lebih aplikatif untuk menjelaskan dan memahami fenomena-fenomena yang
menjadi pokok masalahnya. Kelebihan dari pendekatan ini adalah mempunyai asumsi dan
model penjelasan yang empirik, menyediakan tempat-tempat dan peluang bagi adopsi
asumsi-asumsi dan konsep-konsep tertentu yang sesuai.
Selanjutnya Vayda dalam Su Ritohardoyo (2006:25) menjelaskan bahwa pendekatan
kontekstual progressif lebih menekankan pada obyek-obyek kajian tentang :
(a) aktivitas manusia dalam hubungan dengan lingkungan
(b) penyebab terjadinya aktivitas dan
(c) akibat-akibat aktivitas baik terhadap lingkungan maupun terhadap manusia sebagai
pelaku aktivitas.

2.4 Konservasi Keanekaragaman Hayati

2.5 Pemeliharaan Lingkungan Hidup Kearifan lokal terhadap Keanekaragaman hayati


Diwilayah Gunung Mutis

Manusia berusaha memahami alam semesta beserta isinya, memilah-milah gejala


yang nampak nyata atau tidak nyata ke dalam sejumlah kategori untuk mempermudah mereka
dalam menghadapi alam secara lebih efektif.Dengan kemampuan bekerja dan berfikir secara
metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam beradaptasi dengan lingkungan.Ia
mulai secara aktif mengolah sumberdaya alam dan mengelola lingkungan sesuai dengan
resep-resep budaya yang merupakan himpunan abstraksi pengalaman mereka menghadapi
tantangan. Manusia dalam beradaptasi, mengembangkan kearifan lingkungan yang berwujud
ideasional berupa pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta peralatan,
sebagai hasil abstraksi pengalaman yang dihayati oleh segenap masyarakat pendukungnya
dan yang menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami, memilah-milah
gejala yang dihadapi serta memilih strategi bersikap maupun bertindak dalam mengelola
lingkungan.

Jauh sebelum kedatangan penjajah Portugis dan Belanda, masyarakat lokal yang
mendiami pulau Timor telah memiliki tatanan pemerintahan yang teratur (Parera, 1971).
Melihat sistem pemerintahan di pulau Timor yang digambarkan oleh Parera tampak bahwa
sudah ada kelembagaan lokal yang mengurusi tatacara pemeliharaan lingkungan dan
sumberdaya alam yang disebut dengan nama yang berbeda-beda di beberapa tempat di pulau
Timor. Hal yang senada juga dikatakan oleh Nordholt (1971).
Menurut laporan berbagai pihak yang dihimpun Bapedalda NTT (2004), di NTT pada
umumnya dan pulau Timor pada khususnya, mengalami degradasi kualitas lingkungan hidup
selama beberapa dekade terakhir dikarenakan oleh berbagai sebab, antara lain perladangan
berpindah, pembakaran hutan (api), dan bencana alam. Hal yang sama dituturkan dalam
banyak ceritera rakyat yang kemudian dipertegas dengan data kuantitatif oleh Ormeling
(1955), bahwa pulau Timor mengalami degradasi lingkungan yang hebat sejak kehadiran
Sapi Bali di pulau ini.Menurut empat orang informen di Kabupaten TTS, tiga orang informen
di Kabupaten TTU dan lima orang informen di Kabupaten Belu, sekitar tahun 1930-an
sebagian besar pulau Timor masih tertutup hutan. Dengan bertambahnya populasi penduduk
dan ternak sapi, areal hutan yang rusak semakin meluas sehingga di beberapa tempat sudah
terjadi proses penggurunan yang berakibat meluas.

Proses penggurunan tersebut belum dirasakan sebagai persoalan mendesak menjelang


dan setelah kemerdekaan karena pemerintah dan masyarakat masih disibukkan dengan
urusan-urusan seputar kemederdekaan persiapan awal sebagai negara baru, juga karena
kepadatan agararis masih relatif rendah, tingkat kesuburan lahan masih memungkinkan petani
untuk memperoleh hasil pertanian secara memuaskan dan masih berfungsinya tatacara
pemeliharaan lingkungan hidup. Dengan meningkatnya jumlah penduduk secara cukup
mencolok pada awal kemerdekaan, kepemilikan lahan pertanian semakin tepecah ke dalam
satuan-satuan yang cukup menyulitkan sehingga perolehan hasil pertanian semakin
berkurang. Seirama dengan itu, tingkat kesuburan lahan pertanian juga semakin merosot
karena siklus berladang perpindah masyarakat menjadi lebih singkat sehingga proses
pemulihan kesuburan tanah terganggu. Sementra itu tatacara pemeliharaan lingkungan hidup
menurut tradisi lokal juga mengalami gangguan karena berlakunya hukum positif setelah
kemerdekaan, desakan kepadatan penduduk dan ketebatasan lahan pertanian di hampir
seluruh wilayah pulau Timor.
Kondisi ini mendorong warga masyarakat di beberapa wilayah Swapraja membangun
kembali kelembagaan dan tatacara pemeliharan lingkungan hidup untuk melindungi daerah-
daerah tertentu dari pengrusakan oleh ternak dan untuk menjamin kelestarian sumberdaya
alam. Berbagai cara ditempuh, antara lain dengan memilahkan wilayah pertanian dari
wilayah penggembalaan ternak, membuat kesepakatan mengenai kewajiban, larangan dan
sanksi-sanksi dalam pemanfaatan sumberdaya alam, serta membangun kelembagan lokal
(adat) yang berfungsi menjaga kelestarian alam dengan tugas, kewenangan dan
kewajibannya. Pembangunan kembali kelembagaan lokal pemelihara sumberdaya alam dan
lingkungan ini didasarkan pada sistem kepercayaan (animisme) dan tatanilai yang hidup
dalam masyarakat dan terjadi di setiap kesatuan masyarakat adat di wilayah Kabupaten TTS,
TTU dan Belu. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua wilayah Swapraja
mampu memelihara kelembagaan lokalnya dengan baik, dan beberapa wilayah yang menjadi
wilayah observasi selama tahun 2001-2003 memperlihatkan bahwa kelembagaan tersebut
masih dikenal dan masih dapat difungsikan kembali meskipun membutuhkan waktu lama dan
biaya yang mahal.

2.6 Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Tts Khusunya Diwilayah Gunung Mutis Yang
Mendukung Meningkatkan Konsevasi Keanekaragman Hayati

Sejarah peradapan telah menunjukkan betapa usaha manusia untuk meningkatkan


kesejahteraan hidupnya telah menimbulkan kesengsaraan berupa bencana alam yang
disebabkan karena manusia tidak mampu mengendalikan ketamakannya.Mengalami hal
tersebut, manusia mulai berfikir dan bekerja secara aktif untuk memahami lingkungannya
yang memberikan tantangan dan mengembangkan cara-cara yang paling menguntungkan
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang terus cenderung meningkat dalam jumlahnya,
ragam dan mutunya.
Dalam pandangan (animisme) kelompok-kelompok etnis yang mendiami pulau
Timor, setiap pohon, hutan, gunung dan mata air ada pemiliknya, dan manusia hanya boleh
memakainya atau memanfaatkannya setelah mendapat persetujuan dari pemilik itu. Tatacara
mendapat persetujuan dari sang pemilik dilakukan melalui ritual adat dengan perantaraan
seseorang atau sekelompok orang yang mendapat mandat atau yang ditugaskan oleh
masyarakat untuk menjalankan fungsi pemeliharaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Dalam kehidupan kesatuan masyarakat adat di sekitar Gunung Mutis (wilayah
Kabupaten TTS), gunung dipandang sebagai sumber kehidupan bagi semua orang dan tempat
bersemayam arwah para leluhur yang sudah meninggal dunia. Pandangan ini mengharuskan
warga masyarakat memelihara lingkungan dan sumberdaya alam di gunung-gunung dan
sekitarnya melalui ritual tradisional tertentu. Untuk maksud itulah seseorang atau sekelompok
orang ditugaskan dalam satu kelembagaan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan kewenangan
tertentu. Di Desa Bonleu wilayah gunung mutis (TTS) kelompok pemeliharan lingkungan itu
adalah Amaf, Anonot dengan tugas, kewajiban dan kewenangan yang relatif sama dalam
memelihara lingkungan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam.
Petugas dan lembaga pemelihara lingkungan dan sumberdaya alam ini bersama-sama
warga masyarakat yang lain (umumnya pria dewasa) menyusun dan memutuskan bersama
tatacara pemanfaatan sumberdaya alam (kehutanan, pertanian, air), sanksi-sanksi atau
hukuman bagi mereka yang melanggar larangan dan lalai menjalankan kewajiban dalam
memelihara sumberdaya alam dan lingkungan. Penetapan kewajiban, larangan dan sanksi
dilakukan melalui satu ritual tradisional di tempat-tempat tertentu yang menjadi tempat rapat
umum (ruang publik).Dalam ritual tersebut mereka juga menyepakati jadwal dan tatacara
pengambilan sumberdaya alam dan pemanfaatan lingkungan yang secara langsung berfungsi
sebagai hukum dalam batas teritorial kesatuan masyarakat adat dan dalam kurun waktu yang
disepakati bersama.
Kelompok yang diberi kepercayaan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam dan
Lingkungan dengan mengimplementasikan keputusan bersama dimaksud harus
bertanggungjawab kepada masyarakat melalui penguasa lokal mereka. Apabila mereka lalai,
menyalahgunakan kewenangan atau melanggar aturan yang telah disepakati bersama, mereka
harus bertanggungjawab kepada warga masyarakat yang telah memberikan kepercayaan dan
kewenangan kepada mereka dengan cara dihadapkan kepada penguasa lokal dalam rapat
warga yang dilakukan secara terbuka di tempat mereka memutuskan bersama larangan,
kewajiban dan sanksi. Biasanya warga juga menetapkan sanksi yang lebih berat untuk
pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok orang yang diberikan kepercayaan menjaga dan
memelihara sumberdaya alam dan lingkungan.
Dalam melaksanakan Kearifan lokal diwilayah gunung Mutis Kabupaten TTS untuk
mendukung Konservasi Keanekaragaman Hayati maka Dibuat Perjanjian Oleh Masyarakat
dan orang yang dipercayakan untuk mendorong masyarakat melaksanakan kearifan lokal
tersebut yang isinya : ketentuan yang berkaitan dengan hewan, tumbuhan, sanksi terhadap
pelanggarannya, serta denda yang disebut opat. Secara lebih terperinci kesepakatan-
kesepakatan tersebut sebagai berikut:
Secara umum warga masyarakat dilarang mempersempit atau merusak daerah aliran
sungai dengan cara apapun dan untuk tujuan apapun, mereka juga tidak boleh menerima
perdagangan hasil bumi dengan cara ijon karena akan merusak keharmonisan lingkungan,
tidak boleh mengambil kayu dari hutan, terutama kayu cendana dan apabila ingin mengambil
mereka harus mendapat ijin terlebih dahulu dari Tobe. Dalam kaitnya dengan hewan, warga
masyarakat dilarang berburu rusa, celeng, kus kus dan jenis-jenis satwa lainnya sebelum
dilakukan ritual adat bersama, tidak boleh mengambil lilin dan madu lebah sebelum
dilakukan ritual bersama, warga juga tidak diperbolehkan menangkap hewan air sebelum ada
ritual bersama dan hanya kan dilakukan sekali dalam tiga tahun, tidak diperbolehkan
memakai senjata modern seperti senapan dan jenis senjata modern lainnya dalam berburu
bersama, hanya boleh menggunakan senjata tradisional seperti: tombak, panah, pedang dan
jerat, dan warga masyarakat tidak diperbolehkan memelihara ternak di kawasan hutan.
Larangan-larangan dalam kaitan dengan hewan ini dinamakan talas. Dalam kaitannya dengan
panen, warga masyarakat bersepakat untuk tidak memetik kelapa, pinang dan kemiri sebelum
waktunya, dan warga masyarakat tidak diperbolehkan menebangpohon di kawasan hutan,
daerah aliran sungai dan daerah tanah longsor. Pelanggaran terhadap kesepakatan ini
dikelompokkan sebagai tindak pelanggaran adat istiadat dan dikenakan sanksi adat sesuai
kesepakatan bersama. Larangan-larangan ini dinamakan banu.Pelanggaran terhdap
ketentuan-ketentuan di atas (talas dan banu) akan diberikan sanksi menurut berat/ringannya
pelanggaran sebagai berikut:
Berburu dalam kawasan yang dilarang dikenakan denda berupa uang lima ratus ribu
rupiah dan satu ekor sapi jantan berusia tiga tahun, menebang hutan dalam kawasan yang
dilarang dikenakan sanksi berupa uang lima puluhribu rupiah, satu ekor babi berumur 3 tahun
dan beras 50 kg. Apabila warga menebang pohon besar akan dikenakan sanksi berupa uang
denda sebesar duaratus lima puluh ribu rupiah dan untuk penebangan pohon kecil sebesar
seratus lima puluh ribu rupiah sedangkan memetik hasil kebu sebelum waktunya
(jagung,kelapa, pinang, dsb) dikenakan sanksi sebesar limapuluh ribu rupiah. Dalam
kesepakatan tersebut juga diatur bahwa denda yang dikenakan kepada pelanggar kesepakatan
akan dipergunakan untuk membiayai pertemuan warga yang mengadili pelanggar (pengadilan
adat), sumbangan untuk kas bersama warga serta untuk merehabilitasi lingkungan yang
dirusak. Hal-hal teknis lainnya akan diputuskan dalam pengadilan adat dimaksud.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkembangan zaman saat ini, tidak sedikit membuat para generasi muda yang tidak
memahami warisan kebudayaan bangsanya sendiri. Hingga sedikit demi sedikit mengikis jiwa
kebangsaan mereka. Walaupun masalah pengetahuan kebudayaan tidak menjadi materi penting dalam
kurikulum sekolah-sekolah, tapi sebenarnya materi ini seharusnya sudah ada pada kurikulum sekolah.
Selain sebagai warisan kebudayaan yang harus dipertahankan, kearifan lokal beberapa
masyarakat yang ada di Indonesia juga bisa menjadi salah satu solusi yang mungkin bisa
menyelesaikan permasalahan lingkungan akibat modernisasi industri yang tengah melanda seluruh
dunia saat ini. Hal ini dikarenakan masyarakat tradisional yang ada di wilayah Indonesia masih
mempertahankan tata cara penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam. Sehingga tidak akan
mengganggu ataupun merusak kestabilan ekosistem manusia.
Pada makalah ini membahas mengenai suatu kearifan lokal Pada daerah Mutis Dikabupaten
Timor Tengah Selatan yang dimana kearifan lokal tersebut membantu mendukung upaya melestarikan
Keanekaragan Hayati. Masyarakat lokal di pulau Timor.
Beberapa prinsip yang dapat dijadikan bahan memahami dan memaknai warga
masyarakat menata lingkungan dan sumberdaya alamnya adalah:
a. masyarakat lokal telah memiliki tatacara dan kelembagaan untuk menata lingkungan dan
sumberdaya alamnya sebelum negara (pemerintah) mengeluarkan berbagai ketentuan hukum
dan kebijakan.
b. sebagian dari tatacara dan kelembagaan tersebut telah terlupakan atau tidak berfungsi lagi
karena bertentangan atau tidak sejalan dengan ketentuan hukum dan kebijakan pemerintah
walaupun tatacara dan kebijakan itu baik dan termasuk sangat arif dalam memelihara
lingkungan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam.
c. pertentangan atau tidak sejalannya tradisi masyarakat dan hukum positif ini telah
menimbulkan konflik horizontal dan vertikal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya
alam.
d. masyarakat menyadari bahwa tatacara dan kelembagaan tradisional cukup efektif untuk
menata dan memelihara lingkungan dan sumberdaya alam dan oleh karena itu mereka dengan
bantuan pihak ketiga berusaha menghidupkannya kembali, tetapi tanpa dukungan dari
pemerintah lokal dan nasional, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat upaya itu
tidak akan berhasil.
Masyarakat Pada wilayah Gunung Mutis Kabupaten Timor Tengah Selatan Sangat
Melestarikan dan mendukung pelestarian Keanekaragaman hayati melalui Kearifan lokal
yang dijalani.

3.2 Saran

Mari sama sama kita melestarikan keanekaragaman Hayati kekayaan dan kearifan masyarakat
lokal dalam kaitanya dengan pemeliharaan sumberdaya alam dan pemeliharaan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Https://www.Kearifanlokaldanundang2kearifanlokal.com (Diakses 01/04/2021) pukul 20.57
https://www.keanekaraganhayati.com (Diakses 01/04/2021) pukul 21.15
https://www.PendekatandanfungsikeanekaragamanhayatiIndonesia.com(Diakses 01/04/2021)
pukul 21.50
Koli Yanuarius 2008 pemeliharaan lingkungan hidup sesuai tradisi masyarakat lokal,
International Symposium. https://www.simposiumjai.ui.ac.id

Hicks, David 1972 Eastern Tetun, in Ethnic Grups of Insular South East Asia, Vol.1:
Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar, edited by F.M.LeBar. New Haven. Human
Relations Area Files.

Koli Bau, Y.2005 Catatan Lapangan Pengrusakan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai
Benenain (tidak diterbitkan).
Nordholt, H.G. Schulte

1955 The Political System of The Atoni of Timor. The Hague. Martinus Nijhoff.
Ormeling, F.J.

1955 The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island.


J.B.Walters-Jakarta. Groningen.
Parimartha, I Gde

1971 Kebudayaan Timor, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit


Djambatan.
LAMPIRAN
Foto pertama diambil oleh Balai Besar KSDA (BBKSDA) NTT saat Proses Kearifan lokal akan dimulai.

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/humaniora/329448/di-gunung-mutis-antisipasi-karhutla-
gunakan-kearifan-lokal

Foto Dibawah Diambil Oleh Penulis Saat Mengunjungi Lokasi Gunung Mutis namun tidak pada Saat
Acara. namun Menunjukan Bukti nyata Bahwa Kearifan Lokal masyarakat gunung mutis dalam
menjaga Alam benar terjadi.

Anda mungkin juga menyukai