Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

OLEH :

Tingkat 3.B S.Tr. Keperawatan

AYU MADE DALEM GALANG CANANGJAYA (P07120219065)


NI PUTU DYAH ADITYA PRADNYANI (P07120219080)
KADEK CINDY SILVIANA AMARTHA PUTRI (P07120219086)
NI MADE DITHA SUKMARIASIH (P07120219087)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunianya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kearifan Lokal Dalam
Pembangunan Berkelanjutan” dalam mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat
dengan baik dan lancar. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam
penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, dan bermanfaat di masyarakat.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah
ini.

Denpasar, 5 Januari 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu faktor pertumbuhan ekonomi yang harus dimiliki atau
dikuasai suatu daerah adalah sumber daya alam. Ada dua macam sumber daya
alam (SDA) yaitu SDA yang tidak dapat diperbarui (nonrenwable) dan yang
dapat diperbarui (renewable). Ketersediaan sumber daya alam dalam
memenuhi kebutuhan untuk hidup pada tingkat kestabilan sosial tertentu
disebut daya dukung lingkungan. Sehingga, daya dukung lingkungan adalah
kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan semua makhluk hidup.
Penyebaran sumber daya alam di bumi ini tidak merata, ada bagian
bumi yang kaya sumber daya alam tetapi ada pula yang miskin. Ada lahan
yang baik untuk pertanian ada pula yang tidak. Oleh karena itu, agar potensi
alam tersebut bermanfaat secara berkesinambungan, maka eksploitasi sumber
daya alam harus disertai dengan tindakan perlindungan. Pemeliharaan dan
perlindungan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang rasional
antara lain; (1). memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui
dengan hati-hati dan efisien; (2). menggunakan bahan pengganti, misalnya
hasil pengolahan metalurgi (campuran); (3). mengembangkan metoda
menambang dan memproses secara efisien, serta mendaurulang (recycling);
(4). melaksanakan etika lingkungan berdasarkan falsafah hidup secara damai
dengan alam.
Upaya yang dilakukan pemerintah selama ini dalam pemanfaatan
sumber daya alam untuk pembangunan lebih kepada pengenaan pajak untuk
kompensasi pencemaran lingkungan bagi industri yang mecemari lingkungan.
Selain itu syarat-syarat pengelolaan lingkungan bagi perusahaan melalui
mekanisme Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Langkah tersebut
nyatanya masih belum efektif membantu menselaraskan pertumbuhan
ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup.
Kebijakan pemerintah tersebut harus terus diperbaiki termasuk
menggali nilai- nilai dan pengaturan lokal atau kearifan lokal (local wisdom)
untuk diterapkan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang lestari. Kearifan
lokal merupakan kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada
filosofi, nilai-nilai, etika, cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional
untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya
budaya secara berkelanjutan.
Dukungan dari sebuah warga adat yang berupa kearifan lokal
sangatlah penting karena masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan
mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk melindungi lingkungannya.
Masyarakat adat memiliki nilai dan motivasi yang kuat dibandingkan
pihakpihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka.
Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan
memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam habitat mereka. Masyarakat
adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan. Masyarakat adat memiliki
kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan
ekosistemnya. Komitmen dan sinergitas dari seluruh kekuatan sosial
masyarakat sangat dibutuhkan untuk proses pembangunan yang selaras dan
bermanfaat luas bagi seluruh masyarakat dengan melibatkan nilai-nilai
kearifan lokal (Subejo dan Supriyanto dalam Mawardi, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal ?
2. Apa saja klasifikasi dari kearifan lokal ?
3. Bagaimana ciri-ciri dari kearifan lokal ?
4. Apa saja fungsi dari kearifan lokal ?
5. Bagaimanakah wujud dari kearifan lokal ?
6. Bagaimana pengelolaan sumber daya alam dan kearifan lokal ?
7. Bagaimana teknologi dan pengelolaan berbasis masyarakat dalam
penguatan kearifan lokal ?
8. Apa saja peran dari kearifan lokal dalam mendukung pembangunan
berkelanjutan ?
9. Apa saja macam-macam dari kearifan lokal di Indonesia ?
1.3 TUJUAN
 Tujuan Pembelajaran Umum
Mengetahui teori-teori pemberdayaan masyarakat
 Tujuan Pembelajaran Khusus
Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui materi mengenai :
a) Pengertian kearifan lokal
b) Klasifikasi kearifan lokal
c) Ciri-ciri kearifan lokal
d) Fungsi kearifan lokal
e) Wujud kearifan lokal
f) Pengelolaan sumber daya alam dan kearifan lokal
g) Teknologi dan pengelolaan berbasis masyarakat dalam
penguatan kearifan lokal
h) Peran kearifan local dalam mendukung pembangunan
berkelanjutan
i) Macam-macam kearifan lokal di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. POKOK BAHASAN
2.1 Pengertian Kearifan Lokal
Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang
dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian,
obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di
mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan
lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam
suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam
bertindak dan berperilaku sehari-hari.
Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan
memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena
itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan
martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang
bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun,
akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang
selanjutnya disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah,
2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak
dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang tertentu (Ridwan, 2007).
2.2 Klasifikasi Kearifan Lokal
Klasifikasi kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta
tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah
ulayat).
Tata Kelola
Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan
yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok
komunitas yang ada, seperti Dalian Natolu di Sumatera Utara, Nagari di
Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan di Jawa dan Banjar di Bali.
Sebagai contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi
sosial yang mengelola kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada setiap
daerah yang memiliki adat besar pada umumnya terdiri dari beberapa
kelompok adat yang dikuasai satu badan musyawarah adat yang disebut
“Kombongan Ada”. Setiap “Kombongan Ada” memiliki beberapa
penguasa adat kecil yang disebut Lembang. Di daerah lembang juga
masih terdapat penguasa adat wilayah yang disebut Bua (Buletin Tata
Ruang, 2009).
Selain itu, terdapat pula pembagian tugas dan fungsi dalam suatu
kelompok masyarakat adat misalnya Kepatihan (patih), Kauman (santri)
di perkampungan sekitar Keraton di Jawa. Kewenangan dalam struktur
hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola, seperti kewenangan
ketua adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi serta denda
sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu.
Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu
komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian
baik-buruk serta benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat
sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan dengan nilai-nilai
kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, alam semesta,
dan manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus
ditaati, mengenai mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka
akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
Tata Cara atau Prosedur
Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang
tepat untuk bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang
dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan
pertanian, seperti: Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan waktu
bercocok tanam berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat
Jawa atau sistem Subak di Bali.
Selain itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua umumnya memiliki aturan mengenai penggunaan
ruang adat termasuk batas teritori wilayah, penempatan hunian,
penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan air untuk persawahan atau
pertanian hingga bentuk-bentuk rumah tinggal tradisional. Di
Tasikmalaya Jawa Barat misalnya, terdapat sebuah kampung budaya
yaitu Kampung Naga, yang masyarakatnya sangat teguh memegang
tradisi serta falsafah hidupnya, mencakup tata wilayah (pengaturan
pemanfaatan lahan), tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan
tata lampah (pengaturan perilaku/perbuatan).
2.3 Ciri-ciri Kearifan Lokal
Secara umum budaya diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Jadi budaya daerah adalah suatu sistem
atau cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
daerah dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya daerah
terbentuk dari berbagai unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seniserta
bahasa.
Kearifan lokal secara umum diartikan sebagai gagasan-gagasan,
nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.
Ciri-cirinya adalah:
a) Mampu bertahan terhadap budaya luar
b) Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
c) Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke
dalam budaya asli
d) Mempunyai kemampuan mengendalikan
e) Mampu memberi arah pada perkembangan budaya
Dengan demikian budaya dan kearifan lokal adalah hal yang saling
berkaitan satu sama lain.
2.4 Fungsi Kearifan Lokal
Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan
bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat
berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk
yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi
bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah:
a) Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber
daya alam.
b) Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya
manusia.
c) Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
d) Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
2.5 Wujud Kearifan Lokal
Jim Ife (2002) menyatakan bahwa kearifan lokal terdiri dari lima
dimensi yaitu:
a) Pengetahuan Lokal
Setiap masyarakat dimanapun berada baik di pedesaan
maupun pedalaman selalu memiliki pengetahuan lokal yang
terkait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal
terkait dengan perubahan dan siklus iklim kemarau dan
penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, dan kondisi geografi,
demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat
mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami
perubahan sosial yang bervariasi menyebabkan mereka
mampu beradaptasi dengan lingkungannnya. Kemampuan
adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan lokal mereka
dalam menaklukkan alam.
b) Nilai Lokal
Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga
masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau
nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh
seluruh anggotannya. Nilai-nilai ini biasanya mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan
alam dan manusia dengan Tuhannnya. Nilai-nilai ini
memiliki dimensi waktu, nilai masa lalu, masa kini dan
masa datang, dan nilai ini akan mengalami perubahan
sesuai dengan kemajuan masyarakatnya.
c) Keterampilan Lokal
Kemampuan bertahan hidup (survival) dari setiap
masyarakat dapat dipenuhi apabila masyarakat itu memiliki
keterampilan lokal. Keterampilan lokal dari yang paling
sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam sampai
membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini
biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan
keluargannya masing-masing atau disebut dengan ekonomi
subsisten. Keterampilan lokal ini juga bersifat keterampilan
hidup (life skill), sehingga keterampilan ini sangat
tergantung kepada kondisi geografi tempat dimana
masyarakat itu bertempat tinggal.
d) Sumber Daya Lokal
Sumber daya lokal ini pada umumnya adalah sumber daya
alam yaitu sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat
diperbarui. Masyarakat akan menggunakan sumber daya
lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan
mengekpoitasi secara besar-besar atau dikomersilkan.
Sumber daya lokal ini sudah dibagi peruntukannnya seperti
hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian, dan permukiman,
Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat
kolektif atau communitarian.
e) Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal
Menurut ahli adat dan budaya sebenarnya setiap masyarakat
itu memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut
pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum
yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga
masyarakat. Masing-masing masyarakat mempunyai
mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda.
Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis atau
“duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Ada juga
masyarakat yang melakukan secara bertingkat atau
berjenjang naik dan bertangga turun.
Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk kearifan lokal dapat
dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud
nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
a) Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi
beberapa aspek berikut :
1. Tekstual (dalam bentuk catatan tertulis)
2. Bangunan/Arsitektural
3. Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)
b) Tidak Berwujud (Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga
bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah
yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang
dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-
nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan
lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan
secara oral/verbal dari generasi ke generasi.
2.6 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kearifan Lokal
a. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah merupakan terjemahan dari “sustainable development”,
konsep pembangunan yang dikenal sebelumnya lebih populer
digunakan istilah “pembangunan yang berwawasan lingkungan”
sebagai terjemahan dari “Eco-development”. Penegasan tersebut
diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat
dengan pendayagunaan/pemanfaatan sumber daya alam sebagai
suatu aset mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan pada dasarnya adalah menciptakan dan
meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat secara
berkesinambungan, dan ditandai adanya pertumbuhan ekonomi
yang positif. Pemanfaatan sumber daya alam menjadi salah satu
modal dari proses pembangunan daerah. Pembangunan daerah
akan sustainable (berkelanjutan) jika sumber-sumber pertumbuhan
terjaga sepanjang waktu. Oleh karena itu, sangat penting men jaga
kelestarian sumber daya alam bagi kemaslahatan generasi sekarang
maupun yang akan datang (Soemarwoto dalam Mawardi, 2012).
Bagi Indonesia, kontribusi yang dapat diandalkan dalam
menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta
modal pembangunan adalah dari sumber daya alam. Sumber daya
alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia
baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang. Di lain
pihak keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan dan
begitu juga aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan
melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan
mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang
diperhatikan. Kecenderungan terjadi penurunan daya dukung
lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumber daya alam serta
penurunan kualitas lingkungan hidup sangat dirasakan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa seluruh jenis sumber daya alam dan
komponen lingkungannya harus dikelola sesuai dengan daya
dukungnya.
b. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Kebijakan pemanfaatan sumber daya alam harus memiliki visi
makro untuk menciptakan ekologi yang sustainable. Sedangkan
visi mikronya adalah menjaga jenis-jenis keanekaragaman yang
sustainable. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam juga harus
memiliki rasa keadilan intragenerasi (antarkelompok masyarakat)
saat ini dan keadilan antargenerasi. Kearifan lokal menciptakan
harmonisasi antara alam dengan masyarakat. Kearifan lokal
tumbuh dari karakter dan budaya masyarakat yang sudah mengakar
dan secara turun temurun telah dijalani sebagai jalan hidup
penyatuan kultur sosial dengan alam disekitarnya (Nurjaya I
Nyoman, 2008). Bagi masyarakat adat menempatkan persoalan-
persoalan alam sebagai bentuk interaksi dalam merespon segala
perilaku manusia (masyarakat) yang memperlakukannya. Manusia
diciptakan Tuhan sebagai pemimpin dimuka bumi, untuk
mengelola alam dengan segala isinya dengan baik dan sempurna
sehingga bermanfaat untuk manusia secara terus menerus. Proses
pengelolaan alam oleh manusia perlu dilihat apakah perlakuannya
dalam konteks kepatuhan atau kemungkaran, sehingga alam akan
menyeimbangkan dengan kekuatannya, karena alam memiliki sifat
kepatuhan yang absolut terhadap Tuhan-Nya.
Kearifan lokal mengandung pengertian sebagai bentuk hubungan
yang serasi antara manusia dengan alam ataupun sebaliknya,
masyarakat lokal memahami kearifan secara totalitas dalam
memanfaatkan sumber daya alam. Kepatuhan terhadap hukum adat
(ulayat) yang pada dasarnya adalah warisan dari generasi
sebelumnya harus dimanfaatkan secara baik dengan
memperhatikan dampak bagi generasi yang akan datang. Sumber
daya alam dimanfaatkan secara optimal tetapi bukan untuk
dihabiskan karena didalamnya ada hak generasi selanjutnya. Oleh
karena itu, penting sekali agar sumber daya alam dikelola secara
optimal dan bekesinambungan dalam proses jangka panjang
sebagai modal dasar bagi pembangunan yang berkelanjutan
sehingga dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.
2.7 Teknologi dan Pengelolaan Berbasis Masyarakat dalam Penguatan
Kearifan Lokal
 Pemanfaatan Teknologi dalam Mendukung Kearifan Lokal
Upaya pemanfaatan teknologi secara inheren dapat dikatakan
sebagai langkah untuk membantu/mempertajam kearifan lokal.
Penanganan dan pengelolaan alam sebagai bagian upaya
membangun daerah memiliki korelasi dalam menciptakan langkah-
langkah strategis dan nyata dalam memberdayakan dan
mengembangkan potensi (sosial, budaya, ekonomi, politik dan
keamanan) daerah secara optimal.
Kemajuan teknologi sebagai upaya meningkatkan ketajaman
terhadap kearifan lokal sangatlah tepat. Pada kondisi alam yang
mudah terdeteksi, pengetahuan yang hanya didasarkan pada tanda-
tanda alam sudah biasa mereka pahami, tetapi ada kondisi alam
yang kompleks sehingga memerlukan penggunaan teknologi dalam
membaca tanda-tanda alam tersebut. Salah satu contoh penggunaan
teknologi yang dapat mendukung tingkat keakuratan adalah dalam
hal deteksi dini (early warning system). Melalui sistem ini dapat
membantu masyarakat dalam membaca tanda-tanda alam lebih
awal. Dengan demikian upaya pemanfaatan sumberdaya alam di
suatu daerah dapat berjalan dengan baik tanpa adanya
kekhawatiran timbulnya masalah maupun bencana yang dapat
mengganggu.
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan
kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan
telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat
kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh
sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut
mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan
kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan
perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan
(interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan
telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan,
termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan
tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan
seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
 Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM)
Pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal akan terwujud
secara baik apabila mendapat dukungan dari berbagai pihak, salah
satunya adalah adanya kelembagaan pengelola sumberdaya alam
yang dinamakan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Coremap,
1997). Sistem pengelolaan sumberdaya terpadu yang perumusan
dan perencanaannya dilakukan dengan pendekatan dari bawah
(bottom up approach) berdasarkan aspirasi masyarakat dan
dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat merupakan dasar dari
Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM).
Pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah suatu sistem
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di suatu tempat
dimana masyarakat lokal terlibat secara aktif. Pengelolaan di sini
meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, serta
pemanfaatan hasilhasilnya.
Konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis
masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu; (1) mampu
mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan; (2) mampu merefleksikan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu
meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang
ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun
teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan
lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan
komitmen; serta (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola
secara berkelanjutan.
Namun demikian, dalam perkembangannya konsep pengelolaan
berbasis masyarakat (CBM) mengalami perubahan dengan
dikembangkannya satu konsep yang disebut “Co-Management”.
Dalam konsep “Co-Management” ini pengelolaan lingkungan tidak
hanya melibatkan unsur masyarakat lokal saja tapi juga melibatkan
unsur pemerintah (Bartle, Phil, 2003). Hal tersebut dilakukan untuk
mengurangi adanya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan.
Peningkatan kualitas lingkungan dapat dilakukan melalui upaya
pengembangan sistem hukum (instrumen hukum, penaatan dan
penegakan hukum). Kebijakan daerah dalam mengatasi
permasalahan lingkungan hidup khususnya terkait hukum dapat
meliputi : (1) pengaturan regulasi tentang lingkungan; (2)
penguatan kelembagaan lingkungan hidup; (3) penerapan dokumen
pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan; (4)
sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan
pengetahuan lingkungan hidup; (5) meningkatkan kualitas dan
kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders; (6)
pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan; (7)
memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran
lingkungan hidup; (8) peningkatan kualitas dan kuantitas
sumberdaya manusia; dan (9) peningkatan pendanaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
2.8 Peran Kearifan Lokal dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
Diantara fenomena atau wujud kebudayaan, yang merupakan bagian inti
kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah
bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila
masalah ini menjadi perhatian banyak pihak, terutama di tengah masyarakat
yang sedang berkembang. Kebudayaan secara keseluruhan terkait dengan
identitas masyarakat modern yang lebih mengandalkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Masalah ini bahkan menjadi begitu penting jika
dikaitkan dalam perspektif pembangunan daerah yang berkelanjutan (Wahyu
K. dalam Mawardi, 2012).
Kearifan lokal merupakan suatu kelembagaan informal yang mengatur
hubungan atas pengolahan sumberdaya di suatu masyarakat. Kearifan lokal
memiliki peran strategis dalam proses pembelajaran bagaimana mengelola
alam sehingga terjalin keharmonisan tidak saja dalam bentuk keuntungan
ekonomi namun juga sosial budaya. Hal ini dapat diuraikan bahwa tradisi
(invented tradition) menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku
tertentu secara otomatis berimplikasi adanya kesinambungan dengan masa lalu
yang dikaitkan dengan pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan.
Kearifan lokal dan desentralisasi adalah hubungan fungsional yang timbal
balik, satu sisi kearifan lokal sebagai potensi sosial budaya yang memberikan
input kepada daerah untuk bisa digarap dan dimanfaatkan secara optimal
sedangkan dari sisi desentralisasi, daerah mempunyai kewenangan untuk
mengolah potensi sosial budaya.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya
alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang
termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak
terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang
diperlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan
tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam
tertentu juga mempunyai keterbatasan.
2.9 Macam-macam Kearifan Lokal di Indonesia
1) Awig-Awig (Lombok Barat dan Bali): Awig-Awig memuat aturan adat
yang harus dipenuhi setiap warga masyarakat di Lombok Barat dan
Bali, dan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak terutama
dalam berinteraksi dan mengelola sumber daya alam & lingkungan.
2) Repong Damar (Krui-Lampung Barat): Repong Damar atau hutan
damar, merupakan model pengelolaan lahan bekas ladang dalam
bentuk wanatani yang dikembangkan oleh masyarakat Krui di
Lampung Barat, yaitu menanami lahan bekas lading dengan berbagai
jenis tanaman, antara lain damar, kopi, karet, durian.
3) Hompongan (Orang Rimba-Jambi): Hompongan merupakan hutan
belukar yang melingkupi kawasan inti pemukiman Orang Rimba (di
kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi) yang sengaja dijaga
keberadaannya yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari
gangguan pihak luar.
4) Tembawai (Dayak Iban-Kalimantan Barat): Tembawai merupakan
hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Iban di
Kalimantan Barat, yang didalamnya terdapat tanaman produktif,
seperti durian.
5) Sasi (Maluku): Sasi merupakan aturan adat yang menjadi pedoman
setiap warga masyarakat Maluku dalam mengelola lingkungan
termasuk pedoman pemanfaatan sumber daya alam.
6) Pamali Mamancing Ikan (Desa Bobaneigo-Maluku Utara): Pamali
Mamancing Ikan merupakan aturan adat yaitu larangan atau boboso.
Pamali Mamancing Ikab ini secara yurisdiksi terbatas pada nilai-nilai
adat, dan agama, tetapi konsep property right ini terbentuk dari pranata
sosial masyarakat yang telah berlangsung sejak lama dalam mengatur
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
7) SIMPUK MUNAN/LEMBO (Dayak Benuaq-Kalimantan Timur):
Simpuk Munan atau lembo bangkak merupakan hutan tanaman buah-
buahan (agroforestry) yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak
Benuaq di Kalimantan Timur.
8) Koko Dan Tattakeng (To Bentong-Sulawesi Selatan): Sebelum
mengenal pertanian padi sawah, orang To Bentong mewariskan lahan
bagi keturunannya berupa kebun (Koko) dan ladang yang ditinggalkan
(Tattakeng). Koko adalah lahan perladangan yang diolah secara
berpindah, sedangkan Tattakeng adalah lahan bekas perladangan yang
sedang diberakan.
9) Mapalus (Minahasa-Sulawesi Utara): Mapalus pada masyarakat
Minahasa, merupakan pranata tolong menolong yang melandasi setiap
kegiatan sehari-hari orang Minahasa, baik dalam kegiatan pertanian,
yang berhubungan dengan sekitar rumah tangga, maupun untuk
kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
10) Moposad Dan Moduduran (Bolaang Mongondow-Sulawesi Selatan):
Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong menolong yang
penting untuk menjaga keserasian lingkungan sosial.
11) Kapamalian (Banjar – Kalimantan Selatan): Kapamalian merupakan
aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan, misalnya
larangan membuka hutan keramat.
12) Pahomba (Sumba Timur- Nusa Tenggara Timur): Gugus hutan yang
disebut Pahomba, terlarang keras untuk dimasuki apalagi untuk
diambil hasil hutanya. Pada hakekatnya pohon-pohon di setiap
pahomba itu berfungsi sebagai pohon-pohon induk yang dapat
menyebarkan benih ke padang-padang rumput yang relatif luas.
Karena itu, jika api tidak menghangus matikan anakan pepohonan itu,
proses perluasan hutan secara alamiah dapat berlangsung. Pepohonan
di pahomba disekitar batang sungai berfungsi sebagai riparian atau
tumbuhan tepain sungai yang berfungsi sebagai filter terhadap materi
erosi, dan sekaligus berfungsi sebagai sempadan alamiah sungai dan
untuk pelestarian air sungai.
13) Subak (Bali): Salah satu teknologi tradisional pemakaian air secara
efisien dalam pertanian dilakukan dengan cara Subak. Lewat saluran
pengairan yang ada pembagian aliran berdasarkan luas areal sawah dan
masa pertumbuhan padi dilakukan dengan menggunakan alat bagi
yang terdiri dari batang pohon kelapa atau kayu tahan air lainnya.
Kayu ini dibentuk sedemikian rupa dengan cekukan atau pahatan
dengan kedalaman berbeda sehingga debit air yang mengalir di satu
bagian berbeda dengan debit air yang mengalir di bagian lainnya.
Kayu pembagi air ini dapat dipindah-pindah dan dipasang diselokan
sesuai dengan keperluan, yang pengaturannya ditentukan oleh Kelihan
Yeh atau petugas pengatur pembagian air.
14) Tri Hita Karana (Bali): Tri Hita Karana, suatu konsep yang ada dalam
kebudayaan Hindu-Bali yang berintikan keharmonisan hubungan
antara Manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam
merupakan tiga penyebab kesejahteraan jasmani dan rohani. Ini berarti
bahwa nilai keharmonisan hubungan antara manusia dengan
lingkungan merupakan suatu kearifan ekologi pada masyarakat dan
kebudayaan Bali.
15) Bersih Deso (Desa Gasang-Jawa Timur): Bersih Deso (bersih desa)
adalah suatu acara adat dan sekaligus tradisi pelestarian lingkungan
yang masih dilaksanakan masyarakat Desa Gasang sampai sekarang.
Dilakukan setiap tahun pada bulan Jawa Selo (Longkang) dipilih dari
hari Jumat Pahing. Masyarakat secara berkelompok membersihkan
lingkungan masing-masing seperti jalan, selokan umum dan sungai.
Setelah selesai melaksanakan bersih deso secara berkelompok mereka
menyelenggarakan upacara semacam “sedekah bumi” dengan sajian
satu buah buceng besar, satu buceng kecil, sayur tanpa bumbu lombok
tanpa daging, berbagai macam hasil bumi yang biasa disebut “pala
kependhem” dan “pala gumantung”.
16) Wewaler (Desa Bendosewu-Jawa Timur): Tradisi bersih desa di Desa
Bendosewu dikenal dengan wewaler yang merupakan pesan dari
leluhur yang babad desa. Isi pesan adalah “jika desa sudah rejo (damai,
sejahtera) maka hendaknya setiap tahun diadakan upacara bersih desa.”
Tradisi bersih desa disertai kegiatan kebersihan lingkungan secara
serentak, yaitu membersihkan jalan-jalan, rumah-rumah, pekarangan,
tempat-tempat ibadah, makam dan sebagainya. Kegiatan ini disebut
pula dengan “tata gelar” atau hal yang sifatnya lahiriah. Hal yang
berkaitan dengan “tata gelar” dalam bersih desa bagi masyarakat
Bendosewu sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga tidak perlu
diperintah lagi.
17) Seren Taun (Kasepuhan Sirnaresmi-Jawa Barat): Seren Taun memiliki
banyak arti bagi masyarakat kasepuhan diantaranya adalah puncak
prosesi ritual pertanian yang bermakna hubungan manusia, alam, dan
pencipta-Nya. Seren Taun adalah perayaan adat pertanian kasepuhan
sebagai ungkapan rasa syukur setelah mengolah lahan pertanian
sengan segala hambatan dan perjuangannya untuk mendapatkan hasil
yang optimal. Seren Taun adalah pesta masyarakat adat Kasepuhan
sebagai ungkapan rasa gembira ketika panen datang. Seren Taun juga
merupakan pertunjukan kesenian-kesenian tradisional yang ada di
masyarakat Kasepuhan. Adat istiadat yang berlaku di dalam
Kasepuhan ini mengatur pola kehidupan masyarakat dalam
berhubungan dengan sang pencipta (Hablum minallah), hubungan
antar manusia (Hablum minan naas) dan hubungan manusia dengan
alam lingkungannya (Hablum minal alam).
18) Talun (Kampung Dukuh-Jawa Barat): Bentuk kearifan dalam
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang dikembangkan
masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan diwujudkan dalam
penataan ruang hutan, pelestarian dan pengelolaan air, pengelolaan
lahan dengan pengembangan talun. Selain itu juga diwujudkan dalam
pengetahuan tradisional tentang berbagai jenis sumber daya alam,
seperti padi varitas lokal. Nilai yang menekankan pentingnya
melestarikan lingkungan itu dikuatkan lewat berbagai upacara
tradisional, mitos dan tabu. Menurut warga Kasepuhan, hutan
digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
19) Leuweung Kolot atau Leuweung Geledegan atau hutan tua, yaitu hutan
yang masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan
yang tinggi, dan masih banyak ditemukan binatang liar hidup di
dalamnya. Hutan ini masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun.
20) Leuweung Titipan atau hutan keramat. Hutan ini tidak boleh dimasuki
apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari Abah Anom.
Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima wangsit atau
ilapat dari nenek moyang yang memerlukan sesuatu dari kawasan
gunung tersebut. Kawasan hutan keramat adalah kawasan Gunung
Ciwitali dan Gunung Girang Cibareno;
21) Leuweung Sampalan atau Leuweung bukaan, yaitu hutan yang dapat
digunakan dan dieksploitasi serta dibuka oleh warga Kasepuhan. Di
sini warga boleh membuka lading, kebun sawah, menggembala ternak,
mengambil kayu bakar dan hasil hutan lainnya yang ada. Yang
termasuk lahan bukaan adalah lahan di sekitar tempat pemukiman
penduduk. Bekas lahan lading ataupun sawah yang sudah dipanen lalu
ditanami dengan tanaman musiman dan tanaman keras sehingga
membentuk hutan buatan disebut Talun. Tanaman buah-buahan sering
digunakan seperti duren, rambutan, atau tanaman lainnya seperti petai,
cengkeh, dan sebagainya. Setelan Talun ditanami biasanya akan
ditinggal begitu saja. Artinya pemeliharaannya tidak begitu intrnsif
disbanding dengan kebun.
22) Piil Pasenggiri (Lampung): Piil Pasenggiri merupakan falsafah hidup
atau pedoman dalam bertindak bagi setiap warga masyarakat
Lampung, yakni: menemui muimah (ramah lingkungan), nengah
nyappur (keseimbangan lingkungan), sakai sambayan (pemanfaatan
lingkungan), dan juluk adek (pertumbuhan lingkungan).
23) Undang-Undang Simbur Cahaya (Lahat – Sumatera Selatan): Undang-
Undang Simbur Cahaya yang sebagian substansinya mengatur tentang
pentingnya pelestarian lingkungan.
24) Ke-Kean (Sumatera Selatan): Pengetahuan Ke-Kean adalah
perhitungan waktu yang tepat untuk menanam jenis tanaman tertentu
yang dikaitkan dengan ilmu perbintangan.
25) Tebat (Pasemah-Sumatera Selatan): Salah satu bentuk kearifan
lingkungan masyarakat Pagar Alam adalah Tebat milik komunal.
Tebat dapat dimiliki secara individual maupun kolektif. Tebat
memiliki fungsi sosial, untuk memperkuat rasa solidaritas dan integrasi
masyarakat. Setiap kali ikan dipanen, dilakukan bobos tebas, yaitu
menguras isi kolam oleh semua warga desa secara bersama-sama.
26) Maromu (Ngata Toro-Sulawesi Tengah): merupakan sistem kerja sama
yang berlaku dalam pengelolaan tanah/hutan bagi masyarakat adat
Ngata Toro. Sistem ini mengandung nilai saling membantu
meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari awal pengelolaan
hingga panen, sistem Maromu dilakukan secara bergiliran dari satu
keluarga/pribadi kepada yang lain. Pengelolaan tanah/hutan melalui
beberapa tahapan dan struktur yang diatur menurut ketegorisasi hutan.
27) Wana Ngkiki (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Wana Ngkiki
merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut
orang Toro.Orang Toro membagi hutan menurut pengetahuan asal
pemanfaatannya sesuai kategorinya. Wana Ngkiki adalah kawasan
hutan di puncak-puncak gunung yang jauh dari pemukiman, yang
ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tidak terlalu besar, rerumputan,
banyak lumut, hawanya dingin, dan merupakan habitat dari beberapa
jenis burung. Di dalam hutan ini, tidak ada aktivitas manusia. Hutan ini
sangat jarang dikunjungi. Menurut hasil pemetaan luas Wana Ngkiki
sekitar 2.300 ha.
28) Wana (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Wana merupakan salah satu
kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Wana
adalah kawasan hutan belantara/hutan rimba dimana belum pernah ada
kegiatan manusia mengolahnya menjadi kebun. Wana adalah tempat
berkembang biaknya binatang Anoa (lupu), babi rusa (dolodo) dan
lain-lain. Wana merupakan hutan primer sebagai penyangga
kandungan air yang banyak (sumber air). Sehubungan dengan itu,
Wana tidak pernah diolah jadi kebun. Bilamana diolah/dibuka akan
membawa bencana kekeringan. Begitulah pemahaman yang
berkembang pada masyarakat adat Toro secara turun-temurun. Wana
dimanfaatkan khusus untuk mengambil damar, rotan, wewangian,
obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan
mencari ikan di sungai-sungainya, bilamana ada pesta di Ngata. Di
beberapa alur sungai pada waktu itu dilakukan kegiatan mendulang
emas secara tradisional. Dari hasil pemetaan partisipatif membuktikan
wana merupakan hutan yang terluas di wilayah adat Toro dengan luas
sekitar 11.290 Ha.
29) Pangale (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Pangale merupakan salah
satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro.
Pangale adalah hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale
termasuk kategori hutan sekunder yang bercampur dengan primer
karena sebagian sudah pernah diolah tetapi telah kembali menjadi
hutan seperti semula. Bagi orang Toro pangale dipersiapkan untuk
kebun dan datarannya untuk sawah. Pangale dimanfaatkan juga untuk
mengambil kayu, rotan yang dipergunakan untuk berbagai keperluan
rumah tangga. Pandan hutan dipergunakan untuk membuat tikar dan
bakul, obat dan wewangian. Daun melinjo dipergunakan untuk sayur.
Pangale seluas 2.950 Ha biasa digunakan juga untuk tempat berburu
secara tradisional.
30) Pahawa Pongko (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Pahawa Pongko
merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut
orang Toro. Pahawa Pongko adalah hutan bekas kebun yang telah
ditinggalkan 25 tahun ke atas. Sudah hampir menyerupai hutan
sekunder semi primer (pangale). Pohon-pohonnya sudah tumbuh besar,
karena itu untuk menebangnya sudah harus menggunakan “pongko”
(tempat menginjakkan kaki yang terbuat dari kayu) yang agak tinggi
dari tanah agar dapat menebang dengan baik dan tonggaknya
diharapkan dapat tumbuh tunas kembali, sehingga sesuai dengan
namanya yaitu Pahawa Pongko. Pahawa artinya “ganti”. Dalam
pemetaan hutan pahawa pongko dimasukkan dalam kategori pangale.
31) Oma (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Oma merupakan salah satu
kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Oma
adalah hutan bekas kebun yang sering diolah. Oma banyak
dimanfaatkan untuk tanaman kopi, kakao dan tanam-an tahunan
lainnya. Luas Oma yang tumpang tindih dengan TNLL berdasarkan
pemetaan partisipatif sekitar 1.820 Ha. Menurut usia pemanfaatannya
Oma terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu :
a. Oma Ntua; Bekas kebun yang ditinggalkan 16 – 25 tahun. Usia
pemanfaatannya tergolong tua, dalam arti tingkat kesuburannya
sudah kembali normal. Untuk itu sudah dapat diolah kembali
menjadi kebun.
b. Oma Ngura; Bekas kebun yang ditinggalkan 3 – 15 tahun.
Merupakan jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua.
Pohon-pohon belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas dengan
menggunakan parang. Rerumputan dan belukar merupakan ciri
khasnya.
c. Oma Ngkuku; Bekas kebun yang berusia 1 – 2 tahun. Didominasi
tumbuhan rerumputan.
32) Balingkea (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Balingkea merupakan
salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro.
Balingkea adalah bekas kebun yang usianya 6 bulan – 1 tahun. Sering
diolah untuk tanaman palawija berupa jagung, ubi kayu, kacang-
kacangan, rica dan sayur-sayuran.
33) Naki Ka Bukit (Kampung Raba – Kalimantan Barat): Naki Ka Bukit
merupakan Upacara adat yang lakukan apabila dalam musim panen
tahun sebelumnya mengalami gangguan entah berupa hama penyakit
atau gangguan hewan. Upacara ini dilakukan setiap lima tahun sekali
dan sudah menjadi agenda yang tetap.
34) Mijar Bunga Buah (Kampung Raba – Kalimantan Barat): Upacara adat
Mijar Bunga Buah dilakukan berdasarkan ada tidaknya tanaman-
tanaman buah berbunga. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menjaga
agar buah-buahan yang akan dimakan tidak menimbulkan hal-hal yang
negatif. Kegiatan ini dipusatkan di tempat khusus yang sekarang ini
dilakukan di Malantokng. Sampai saat ini tempat tersebut
dikeramatkan menjadi Keramat Buah.
35) Malinau Kapal (Sungai Pisang – Sumatera Barat): Malinau kapal
memiliki dua versi, yaitu malinau kapal baru yang pertama kali mau
turun kelaut, dan jika kapal-kapal nelayan selalu sial dalam setiap
operasi (selalu ada halangan atau kesulitan memperoleh hasil
tangkapan).
a. Malimau kapal baru; Malimau kapal baru perisipnya merupakan
suatu upacara untuk minta izin kepada Allah swt. untuk mengelola
isi lautan.
b. Malimau kapal untuk membuang sial; Upacara malimau kapal
yang berkaitan dengan membuang sial ini relatif lama dan
rangkaian upacara tergantung dari pantanagan yang dilanggarnya,
tetapi jika nahkoda (=tungganai untuk kapal tonda atau bagan, =
pawang untuk perahu payang) bersama ABKnya tidak tahu sebab
kesialan yang menimpa, biasanya mereka langsung datang ke
dukun kapal untuk kapalnya dilimaui.
36) Perelak, Kebun Mudo-Umo Renah dan Umo Talang (Melayu-Jambi):
Orang Melayu Jambi mengenal dan menggolongkan perladangan
dalam beberapa bentuk, yaitu perelak, kebun mudo, umo renah dan
umo talang. Perelak ialah sebidang tanah disekitar desa (kampung)
yang ditaami berjenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan dapur
sehari-hari seperti cabai, kunyit, serai, laos, tomat, kacang gulai, ubi
rambat, ubi kayu dan pisang. Kebun Mudo ialah sebidang tanah yang
ditanami satu jenis tanaman muda tertentu, misalnya pisang, kedelai
atau kacang tanah. Umo Renah ialah lading cukup luas yang ditanami
padi dengan selinga tanaman muda, seperti cabai, tomat, terong, labu
dan mentimun. Di sekitar lading itu mereka juga menanami tanaman
keras seperti duku, durian, karet dan sebagainya. Umo Talang adalah
lading jauh di tengah hutan yang biasanya ditanami padi. Disini juga
mereka menanam tanaman keras seperti karet dan durian. Mereka juga
membuat rumah sementara yang dihuni selama musim menunggu
panen padi. Setelah panen, lading tersebut akan menjadi kebun karet
atau kebun durian.
37) Rimba Kepungan Sialang (Melayu-Riau): Masyarakat Melayu
mengenal pembagian hutan tanah yang terdiri dari tiga bagian, yakni
tanah perladangan, rimba larangan, rimba simpanan (hak ulayat) dan
rimba kepungan sialang.
38) Bondang (Desa Silo-Asahan-Sumatera Utara): Masyarakat Desa Silo
menerapkan tradisi berupa upacara buka Bondang dan tutup Bondang
dalam aktivitas pertanian. Buka Bondang dilakukan pada saat akan
memulai penanaman, sedangkan Tutup Bondang diselenggarakan saat
panen. Apa yang menarik dari kegiatan ini adalah bahwa selain
bersandarkan pada kearifan tradisional, konsep pertanian bondang ini
ternyata cukup sinergiss dengan upaya menciptakan keseimbangan
lingkungan. Dalam aktivitas pertanian, petani sama sekali tidak
menggunakan zat-zat kimia maupun obat-obatan yang dapat
mengakibatkan berbagai dampak pada kesehatan dan kerusakan
lingkungan. Kegiatan pengolahan lahan pertanian dari mulai tanam
hingga panen sepenuhnya dilakukan secara tradisional, tanpa
menggunakan bahan-bahan kimia.
39) Lubuk Larangan (Mandailing-Sumatera Utara): Lubuk Larangan
adalah bagian sungai yang dilindungi. Di dalamnya terdapat ikan
jurung yang merupakan ikan langka dan bernilai simbolik sebagai
peralatan upacara pada Masyarakat Tapanuli Selatan (Mandailing). Di
Mandailing Natal terdapat 114 lubuk larangan yang dikelola oleh
masyarakat. Konsep ini merupakan kearifan tradisional yang
terlaksana secara berkesinambungan dari, oleh dan untuk masyarakat.
40) Maccera Tasi (Luwu-Sulawesi Selatan): Maccera Tasi terbukti efektif
dalam menggugah emosi keagamaan (spiritual) warga masyarakat.
Pada saat pelaksanaan upacara, mereka diingatkan atas
tanggungjawabnya untuk menghormati laut, menjaga kebersihannya,
tidak merusak dan tidak menguras potensi ikan laut secara berlebihan.
41) Bau Nyale (Sasak, Nusa Tenggara Barat): Kearifan masyarakat
setempat tercermin dalam upaya masyarakat memelihara dan
melestarikan tradisi Bau Nyale yang dikaitkan dengan kesuburan.
Nyale atau cacing laut jelmaan dari putri kemudian memenuhi air laut
dengan warna-warni dan mudah ditangkap. Setiap tahun dilakukan
upacara Bau Nyale oleh pendudukk Sasak.
42) Lebung (Sumatera Selatan): Dalam praktek pengelolaan sumber daya
alam, lebung tidak hanya merupakan cekungan tanah tetapi juga salah
satu teknik penduduk setempat untuk menampung ikan saat genangan
air di lebak surut. Lebih dari itu, untuk mengambil ikan yang terdapat
di lebung ada mekanisme yang berada diluar aturan lelang yang
mengakomodir hubungan-hubungan antara pengemin dan pemilik
lebung supaya kepentingan kedua belah pihak terpenuhi. Untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan dari pihak tersebut, pengemin
memberikan sejumlah uang kepada pemilik lebung sebagai tanda
ucapan terima kasih, bukan sebagai ganti rugi atas pengambilan ikan di
lebung.
43) Tanah Sebagai Ibu Kandung (Amungme-Papua Barat): Masyarakat
Amungme yang hidup disekitar Tambagapura yang kini menjadi
kawasan eksploitasi PT. Freeport Indonesia, mempercayai tanah
sebagai ibu kandung atau mama. Kearifan budaya Amungme yang
berpersepsi tanah sebagai mama, menjadi motivasi budaya bagi
resisstensi warga Amungme terhadap penggalian gunung biji Erstberg
dan Grassberg. Kedua gunung ini dipercaya sebagai kepala mama.
Kasus Freeport merupakan suatu perlawanan budaya para tokoh adat
Amungme yang tampil dengan pesan budaya “te aro neweak lako”
(alam adalah aku) atau tanah dipandang sebagai bagian dari hidup
manusia. Konsekuensi dari strukktur kepercayaan budaya tadi adalah
ketika dampak pencemaran dari limbah PTFI, dalam bentuk
pembuangan tailing ke dalam sungai Ajkwa dan Agawaghon dan
semua anak sungai sekitarnya, menyebabkan rusaknya ekosistem dan
budaya Amungme. Sebaliknya adanya pandangan bahwa tanah adalah
mama atau bagian dari hidup manusia, menuntun prilaku pemanfaatan
sumber daya alam, terutama tanah, secara hati-hati, tidak merusak dan
tidak mencemari.
44) Pasang Ri Kajang (Ammatoa, Kajang, Sulawesi Selatan): Masyarakat
adat Ammatoa bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba, yang berjarak kurang lebih 540 km ke arah
tenggara dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasang Ri Kajang
merupakan pandangan hidup komunitas Ammatoa, yang mengandung
etika dan norma, baik yang berkaitan dengan perilaku sosial, maupun
perilaku terhadap lingkungan dan alam sekitarnya, maupun hubungan
manusia dengan PenciptaNya. Ammatoa bertugas untuk melestarikan
Pasang Ri Kajang dan menjaganya agar komunitas Ammatoa tetap
tundukk dan patuh kepada Pasang. Pasang merupakan pandangan yang
bersifat mengatur, tidak dapat dirobah, ditambah maupun dikurangi.
45) Mohoto O Wuta (Tolaki, Sulawesi Tenggara): Upacara Mohoto O
Wuta agar kelak nanti hutan yang mereka tebangi dapat menghutan
kembali agar dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Hal ini
dibuktikan dengan konsep-konsep (kenyataan empirik) seperti ana
homa, o sambu, dan laliwata yang merupakan suatu bukti jika kawasan
hutan bekas perladangan dapat pulih kembali.
46) O Karuna-O Kandadi (Muna, Sulawesi Tenggara): Pemberaan
sebidang lahan setelah satu atau dua kali tanam disebut O Karuna
(dedaunan yang masih muda) dan pepohonannya disebut O Kandadi.
Konsepp ini mengandung makna pemulihan kesuburan lahan. Caranya
ialah dengan memelihara anak kayu yang tumbuh.
47) Pangale Kapali (Tau Taa atau To Wana, Sulawesi Tenggara): To Wana
berarti “orang dalam hutan”. Mereka memiliki kawasan hutan suaka
adat yang disebut “pangale kapali”. Upaya-upaya komunitas
masyarakat adat Tau Ta’a untuk menjaga kelestarian pangale kapali
tersebut, ditempuh melalui penegakan hukum adat beserta pemberian
sanksi pelanggarannya yang terkait dengan pengelolaan pangale
kapali. Hutan konservasi binaan masyarakat adat Tau Ta’a tersebut
senantiasa berada dalam pengawasan masyarakat. Berbagai upacara
ritual, tabu serta tradisi pelestarian pangale kapali tetap dipertahankan.
Demikian juga hutan adat dan berbagai keputusan adat lainnya
diterapkan di tengah-tengah warganya guna menjaga kelestarian atau
kelangsungan hutan larangan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku
dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan
dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Kearifan Lokal memiliki
beberapa klasifikasi diantaranya tata kelola yaitu mengatur tentang struktur
sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada, sistem nilai yang
mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah, serta tata
cara dan prosedur mengenai aturan adat di daerah memiliki ketentuan
mengenai waktu yang tepat untuk bercocok tanam serta sistem penanggalan
tradisional yang dapat memperkir akan.
Kearifan lokal memilik bebarapa wujud yaitu pengetahuan lokal, nilai
lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, mekanisme pengambilan
keputusan lokal.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya akan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Dahana, Radhar Panca. 2011. Saya Mohon Ampun. Jakarta: Kompas

Fauzana. 2015. Kearifan Lokal Dalam Pembangunan. Online:


http://www.dicoret.com/2015/02/kearifan-lokal-dalam
pembangunan_10.html. Diakses pada 5 Januari 2022

Hargens, Boni. 2011. Indonesia, ‘Halo Soekarno’. Jakarta: Kompas

Jati, Wasisto Raharjo. 2011. Pembangunan Gerus Kearifan Lokal. Jakarta:


Kompas

Mawardi, Ikhwanuddin. 2012. Pemberdayaan Kearifan Lokal dalam Pesrpektif


Pembangunan Berkelanjutan. Online:
ejurnal.bppt.go.id/index.php/JRL/article/viewFile/1975/1671. Diunduh pada 5
Januari 2022

Muhtadi, Dedi. 2011. Ketika Kearifan Lokal Tergerus Zaman. Jakarta: Kompas

Anda mungkin juga menyukai