Anda di halaman 1dari 13

KEARIFAN LOKAL DALAM

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


PADA KERANGKA HUKUM NASIONAL
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PADA KERANGKA
HUKUM NASIONAL

Oleh Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH.

I. Sejarah peradapan telah menunjukkan betapa usaha manusia untuk

meningkatkan kesejahteraan hidupnya telah menimbulkan

kesengsaraan berupa bencana alam yang disebabkan karena manusia

tidak mampu mengendalikan ketamakannya. Mengalami hal tersebut,

manusia mulai berfikir dan bekerja secara aktif untuk memahami

lingkungannya yang memberikan tantangan dan mengembangkan cara-

cara yang paling menguntungkan dalam upaya memenuhi kebutuhan

hidup yang terus cenderung meningkat dalam jumlahnya, ragam dan

mutunya.

Manusia berusaha memahami alam semesta beserta isinya, memilah-

milah gejala yang nampak nyata atau tidak nyata ke dalam sejumlah

kategori untuk mempermudah mereka dalam menghadapi alam secara

lebih efektif. Dengan kemampuan bekerja dan berfikir secara

metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam beradaptasi

dengan lingkungan. Ia mulai secara aktif mengolah sumberdaya alam

dan mengelola lingkungan sesuai dengan resep-resep budaya yang

merupakan himpunan abstraksi pengalaman mereka menghadapi


tantangan.

Manusia dalam beradaptasi, mengembangkan kearifan lingkungan

yang berwujud ideasional berupa pengetahuan atau ide, norma adat,

nilai budaya, aktifitas serta peralatan, sebagai hasil abstraksi

pengalaman yang dihayati oleh segenap masyarakat pendukungnya

dan yang menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat,

memahami, memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi

bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan.

Keanekaragaman pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungan,

terkadang tidak mudah dimengerti oleh pihak ketiga yang mempunyai

latar belakang sosial dan kebudayaan yang berbeda. Namun demikian,

keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan tersebut

merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan

pelaksanaan pembangungan yang berkelanjutan.

II. Kearifan merupakan seperangkat pengetahuan yang dikembangkan

oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang

terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan

hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan

lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis.

Dengan demikian, kearifan lingkungan (ecological wisdom) merupakan

pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif

terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan

dalam bentuk ide, aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang

diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan,

dipedomani dan diwariskan secara turun-temurunoleh komunitas


pendukungnya. Sikap dan perilaku menyimpang dari kearifan

lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak,

mencemari, mengganggu dan lain-lain.

Kearifan lingkungan dimaksudkan sebagai aktivitas dan proses

berpikir, bertindak dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam

mengamati, mamanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu

lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik.

Kesuksesan kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan

produktivitas, sustainabilitas dan equtablitas atau keputusan yang

bijaksana, benar, tepat, adil, serasi dan harmonis.

Masyarakat Indonesia dengan ribuan komunitas mengembangkan

kearifan lokal sesuai dengan karakterisktik lingkungan yang khas.

Secara suku bangsa terdapat lebih kurang 555 suku bangsa atau sub

suku bangsa yang tersebar di wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam

beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat

tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi

pengalaman mengelola lingkungan. Sering kali pengetahuan mereka

tentang lingkungan setempat sangat rinci dan menjadi pedoman yang

akurat bagi masyarakat yang mengembangkan kehidupan di

lingkungan pemukiman mereka. Pengetahuan rakyat itu biasanya

berbentuk kearifan yang sangat dalam maknanya dan sangat erat

kaitannya dengan pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan

(agama) dan hukum adat yang kadang-kadang diwarnai dengan

mantra-mantra. Ia merupakan kumpulan abstraksi pengalaman yang

dihayati oleh segenap anggota masyarakat pendukungnya dan menjadi


pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami dan

memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi dalam

bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan.

Perbedaan acuan, pandangan/penilaian, standar, ukuran atau kriteria

tersebut, dapat menimbulkan benturan atau konflik antara masyarakat

lokal dengan pengusaha maupun pemerintah. Padahal, pembangunan

berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan sumber-

sumber daya sosial sebagai modal dalam pelestarian fungsi lingkungan

hidup. Kurangnya perlindungan atau penghormatan terhadap kearifan

lingkungan yang dikembangkan masyarakat lokal dalam pengelolaan

lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alama, antara lain

disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pihak terkait

(stakeholders) dan tidak bersedianya informasi mengenai kearifan

lingkungan.

Sejumlah konflik yang muncul mengenai lingkungan lebih banyak

melibatkan masyarakat adat dengan masyaralat lain yang tidak

mengalami kearifan lokal dan adat suatu masyarakat tentang

bagaimana masyarakat tersebut mengelola lingkungannya secara

tradisional termasuk pelanggaran pemilikan tanah secara adat.

Karena itu, langkah yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan

kearifan lingkungan adalah dengan mengkaji kembali tradisi yang ada

di masyarakat tentang usaha mereka untuk mewujudkan

keseimbangan kehidupannya dengan lingkungannya. Tradisi dan

aturan lokal yang tercipata dan diwariskan turun menurun untuk

mengelola lingkungan, dapat merupakan materi penting bagi


penyusunan kebijakan yang baru tentang lingkungan. Norma-norma

yang mengatur kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan

lingkungannya, ditambah dengan kearifan ekologi tradisional yang

mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani

perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.

III. Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, sejarah dan waktu di

mana kita sedang berada (law is not separate from the culture, history

and time in which it exists). Setiap perkembangan sejarah dan sosial,

harus diimbangi dengan perkembangan hukum, karena setiap

perubahan sosial pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan

hukum (social movement effect the development of law). Memahami

hukum sebagai institusi sosial, menjadikan hukum diminta untuk

mampu sebagai sarana agar keadilan dapat diselenggarakan secara

seksama. Hukum juga mengemban fungsi sebagai

1. Memelihara stabilitas. Institusi hukum menimbulkan kemapanan dan

keteraturan dalam usaha masyarakat untuk memberikan keadilan

(dispensing justice).

2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang

diajukan anggota masyarakat, sehingga kebutuhan yang bersifat

individual itu bertemu dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat

oleh masyarakat.

3. Menciptakan kaidah-kaidah sehingga kebutuhan anggota

masyarakat dapat dipenuhi secara terorganisasi. Denagn demikian


terjemalah posisi-posisi yang kait mengkait secara sistematis dalam

rangka pemenuhan kebutuhan tersebut.

4. Jalinnan antar institusi. Sekalipun institusi dalam masyarakat

dirancang untuk memenuhi kebutuhan tertentu, tetapi kemungkinan

ter- jadi tumpang tindih. Keadilan tidak hanya dilayani oleh institusi

hukum, tetapi mungkin juga ekonomi. Terdapat pula hubungan sinergis

antar institusi, sehingga perubahan padan institusi yang satu akan

berimbas kepada yang lain.

Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus

mempengaruhi, dan karena itu mencerminkan dinamika proses

interaksi yang berlansung terus menerus antara berbagai kenyataan

kemasyarakatan (aspirasi manusia, keyakinan agama, sosial, ekonomi,

politik, moral, kondisi kebudayaan dan peradapan dalam batas-batas

alamiah) satu dengan lainnya yang berkonfrontrasi dengan kesadaran

dan penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu

yang berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan

kebutuhan nyata manusia , sehingga hukum dan tatanan hukumnya

bersifat dinamis .

Selanjutnya, hukum seharusnya menjadi jembatan (instrumen) dalam

mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia

sebagaimana yang tercantum dam Pembukaan UUD 1945, yaitu:

“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan


kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dengan

demikian, hukum mengendalikan keadilan (law wants justice).

Keadilan yang dikendaki hukum harus menacapai nilai; persamaan

(equality), hak asasi individu (individual right), kebenaran (truth),

kepatuhan (fairness), dan melindungi masyarakat (protection public

interest).

Hukum yang mampu menegakkan nilai-nilai tersebut, jika dapat

menjawab:

1. keyataan realita yang dihadapi masyarakat,

2. yang mapu menciptakan ketertiban (to achieve order),

3. yang hendak ditertibkan adalah masyarakat, oleh karena itu orde

yang dikehendaki adalah ketertiban sosial (social order) yang mampu

berperan:

- menjamin penegakan hukum sesuai dengan ketentuan proses

beracara yang tertib (ensuring due process),

- menjamin tegaknya kepastian hukum (ensuring certainty),

- menjamin keseragaman penegakan hukum (ensuring unifromity)

- menjamin tegaknya prediksi penegakan hukum (ensuring

predictability) .

Sehingga, hukum nasional harus mampu merubah suasana hukum dari

sistem hukum yang sedang berjalan kepada sistem hukum yang

diinginkan, dan berorientasi kepada pandangan hidup, wawasan politik

hukum dan kepentingan nasional, sebagai bangsa yang sedang

membangun berdasarkan suatu konsep strategi pengelolaan nasional,


dan memperhitungkan dimensi-dimensi nasional, regional, dan global .

Dengan demikan perlu dilakukan reformasi hukum terhadap kekeliruan

interpretasi dan kembali kepada konseptual sejumlah Nilai Dasar yang

tercantum dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh, Penjelasan UUD

1945 dan ketetapan MPR.

Kemudian, pembangunan Indonesia bersifat fundamental, tidak

dilakukan secara tambal sulam. Indonesia adalah benar-benar suatu

masyarakat yang sedang membangun diri secara lengkap (a society in

the making), sehingga membutuhkan peninjauan serta penataan

kembali terhadap semua kelembagaan yang selama ini dipakainya,

dengan berpegangan pada kaidah-kaidah baru bangsanya seperti

konsep Pancasila, Wawasan Nusantara, pembangunan Manusia

Seutuhnya dan seterusnya.

Suatu perencanaan hukum dari situasi tertentu menuju suatu tujuan

yang akan dicapai atau yang disebut dengan politik hukum, tidak

terlapas dari kenyataan sosial dan tradisi-tradisi yang terdapat dalam

suatu bangsa dan negara di satu pihak, sedangkan dilain pihak

sebagai negara dalam keluarga bangsa-bangsa dan negara dunia,

politik hukum suatu bangsa dan negara tidak dapat pula dilepaskan

dari kenyataan-kenyataan dan politik dunia. Mengadakan suatu

perencanaan dalam pembagunan hukum nasional, kita harus

mengadakan pula usaha-usaha peningkatan dan atau perbaikan pada

hal-hal yang bersifat kepribadian Indonesia yang masih dirubah,

supaya benar-benar menjadi manusia demokratis.


Paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya

dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang

majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk

menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai yang positif,

sebagai rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya

pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis dan melalui

pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme adalah

suatu perangkat untuk mendorong pengkayaan budaya bangsa. Maka

budaya Indonesia, atau “keindonesiaan”, tidak lain adalah hasil

interaksi yang kaya (resourceful) dan dinamis antara pelaku budaya

yang beraneka ragam itu dalam suatu melting pot yang efektif .

Pluralitas merupakan kemajemukan yang didasari oleh keutamaan

(keunikan) dan kekhasan. Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud

atau terbayang keberadaanya kecuali sebagai antitesis dan sebagai

objek komperatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum

seluruh dimensinya. Pluralitas tidak dapat disematkan kepada “situasi

cerai berai” yang sama sekali tidak memiliki hubungan masing-masing

pihak .

Dengan demikian, reformasi hukum hendaknya secara bersungguh-

sungguh menjadikan eksistensi kebhinekaan menjadi agenda dan

bagaimana mewujudkannya ke dalam sekalian fundamental hukum.

Mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik sebagai sesuatu yang

potensial dan merupakan fungsional bagi berdirinya masyarakat yang

pluralistik. Untuk itu, dimasa yang akan datang sebaiknya kita

melakukan rekayasa kemajemukan dalam hukum. Politik


kemajemukan dalam hukum itu adalah untuk memajukan persatuan

Indonesia dan mengusahakan produktifitas kehidupan

Indonesia yang komunalisme, lebih mengutamakan kebersamaan

daripada individualisme dan liberalisme kurang mendapat tempat. Tipe

manajemen yang ditonjolkan adalah musyawarah ketimbang

penyelesaian konflik. Nilai-nilai musyawarah, kekeluargaan,

keselarasan, keseimbangan menjadi penting dan perlu digarap secara

sungguh-sungguh.

Bangsa Indonesia yang berketepatan untuk membangun suatu

masyarakat Indonesia dan tatanan sosial baru berdasarkan tata nilai

baru, yaitu Pancasila. Sehubungan dengan itu maka politik

pembangunan hukum kita mestinya mengikuti hal tersebut melalui

grand design untuk merombak tatanan lama menjadi baru. Disini

terjadi tranformasi nilai-nilai dimana hukum sebagai kekuatan

pengintegrasian mengambil peranan yang sangat penting. Sisitem

hukum indonesia mengemban tugas besar untuk mntranformasikan

nilai-nilai baru tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam menghadapi tugas transformasi dan menyusun grand design

tersebut kita boleh memberanikan diri untuk menggugat asas-asas

yang telah mapan dan mengajukan gagasan alternatif. Misalnya

menggugat kemapanan Rule of law untuk digantikan atau setidak-

tidaknya ditandingi oleh Rule of Moral atau Rule of Justice .

IV. Kearifan tradisional dalam pembangunan hukum nasional berkaitan

dengan pengelolaan lingkungan hidup telah mendapat tempat


diperhatikan. Beberapa contoh ketentuan perundang-undangan

menegaskan hal tersebut, seperti yang diatur dalam:

1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH), diantaranya diatur dalam:

Pasal 1 angka 30 dan 31 UUPPLH:

(30) Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata

kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola

lingkungan hidup secara lestari.

(31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara

turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya

ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan

lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata

ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Pasal 2 UUPPLH: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

dilaksanakan berdasarkan asas:

a. tanggung jawab negara;

b. kelestarian dan keberlanjutan;

c. keserasian dan keseimbangan;

d. keterpaduan;

e. manfaat;

f. kehati-hatian;

g. keadilan;

h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;

j. pencemar membayar;

k. partisipatif;

l. kearifan lokal;

m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan

n. otonomi daerah.

Penjelasan umum angka 2 UUPPLH, yang menyebutkan:

“…, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan

baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan,

dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus

dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang

dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,

desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan

lokal dan kearifan lingkungan.”.

2. UU N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pertimbangan huruf c

“pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia,

harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat

dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma

hukum nasional”;

Pasal 4 ayat (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan

hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan

diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional.
3. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Pasal 6 (2)

“Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan

tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak

yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.

–o0o–

Anda mungkin juga menyukai