A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Alam semesta hidup secara dinamis, keseluruhan sistem bersifat cair dan saling
berhubungan antara satu sama lain (Berry, 1990). Sistem ini terdiri dari beberapa faktor seperti
faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Hal ini membuat manusia bukan menjadi
makhluk tunggal yang hidup di bumi ini, dalam hidupnya manusia selalu berinteraksi dengan
makhluk hidup lain dan juga unsur biotik di lingkungan hidupnya (Iskandar, 2013). Mengacu
pada pendapat tersebut dengan kata lain alam bukanlah milik hakiki manusia (Muhammad,
2007). Dalam waktu yang lama dan penuh dengan proses-proses, cara manusia memahami dan
bertindak atas landscape tempat hidupnya membentuk tata norma, pengetahuan, cara hidup, dan
budaya yang menentukan identitas, dan menciptakan hubungan dengan lingkungannya (L. M.
Johnson, 2010).
Interaksi yang terbangun ini, dalam perjalanannya menjadi pengetahuan tersendiri bai
kehidupan manusia. Hal ini disebabkan masyarakat dengan kontinuitas praktik, memiliki dasar
yang luas tentang perilaku sistem ekologi yang kompleks di tempat mereka hidup (Gadgil,
Berkes, & Folke, 1993). Pengetahuan tersebut dikumpulkan selama beberapa generasi yang
berakar pada interaksi mereka dengan dunia fisik dan spiritual melalu proses berfikir,
mengamati, dan bereksperimen (Arbon, 2008). Di mana manusia telah bergantung untuk jangka
waktu yang lama pada lingkungan lokal untuk penyediaan berbagai sumber daya, mereka telah
mengembangkan tindakan-tindakan dalam pelestarian, dan dalam beberapa kasus meningkatkan
keanekaragaman hayati (Gadgil et al., 1993)
Budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat bukan hanya berkisar dari apa yang dilakukan
sehari-hari, tetapi lebih merupakan sesuatu yang menyatu dalam simbol-simbol dan simbol-
simbol tersebut yang digunakan oleh masyarakat untuk mengkomunikasikan pandangan,
orentasi, nilai, dan berbagai hal yang terjadi di antara mereka (Geertz, 2003). Dengan kata lain,
apa yang diketahui oleh masyarakat tentang dunia dan tempat tinggalnya, membentuk
pemahaman yang luas tentang keberadaan yang terjalin erat dengan spiritualitas, bahasa, dan
lingkungan (Tidemann, Chirgwin, & Sinclair, 2010). Meskipun demikian prinsip sentral dari
sebuah kearifan lokal adalah konektivitas, di mana semua elemen dapat diresapi dengan
semangat bahwa kehidupan manusia tidak lebih tinggi dari elemen lainnya (M. Johnson, 1992).
Pengetahuan lokal yang dihidupi oleh masyarakat menjadi pedoman tersendiri bagi
masyarakat dalam menghadapi berbagai fenomena yang terjadi. Misalnya saja dalam
menghadapi wabah penyakit masyarakat Jawa mempunyai kearifannya tersendiri dalam
merespon fenomena yang terjadi (Rumilah, Nafisah, Arizamroni, Hikam, & Damayanti, 2020).
Pengetahuan lokal juga yang terwujud dalam ilmu titen telah menjadi faktor penting bagi
masyarakat Gunung Kidul dan telah membimbing masyarakat untuk mengembagkan sistem
pertanian dalam beradaptasi dengan perubahan musim tahunan (Retnowati, 2014). Selain
menjadi pedoman dalam merespon suatu fenomena, pengetahuan lokal juga mempunyai andil
penting bagi pelestarian suatu lingkungan. Misalnya saja pada masyarakat Kasepuhan yang
mempunyai konsep Ibu Bumi, Bapak Langit, dan Guru Mangsa, Leuit dan Wewengkon Hutan
dalam mengatur kelestarian lingkungan dan mengatur agar lingkungan tersebut dapat memberi
manfaat bagi kehidupan mereka (Rahmawati et al., 2008).
Pengetahuan yang dikembangkan oleh masyarakat lokal juga mencakup mengenai
pemanfaatan sumber daya alam yang berguna dan memiliki fungsi bagi kehidupan mereka.
misalanya saja pada masyarakat lokal Suku Moronene di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara
tidak kurang dari 65 jenis tumbuhan yang tercatat dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut
(Rahayu & Rugayah, 2010). Hampir serupa dengan penelitian sebelumnya masyrakat di Desa
Cibunar Kabupaten Sumedang, juga memiliki pengetahuan mengenai tanaman-tanaman yang
bisa dimanfaatkan sebagai obat. Tidak kurang dari 132 jenis tanaman obat dimanfaatkan oleh
masyarakat. Meskipun demikian pemaknaan terhadap suatu tanaman obat tertentu terus
mengalami perubahan nilai bagi masyarakat (Suryana & Iskandar, 2014).
Melalui penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini memfokuskan pengetahuan lokal
masyarakat terutama yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Tetapi bukan hanya sekedar
menjelaskan pengetahuan lokal yang ada, penelitian ini berusaha menangkap pemaknaan dan
dinamika yang terjadi. Mengingat kondisi sosial yang terjadi pada saat ini di mana mobilitas
sosial dan interaksi dengan masyarakat lain tidak bisa dihindarkan. Penelitian mengenai ilmu
titen ini menjadi penting untuk dilakukan.
2. Rumusan Masalah
Salah satu karakteris Orang Jawa pada umumnya adalah prinsip pemikiran yang didasarkan
dari ngelmu titen. Ilmu titen sendiri merupakan pemahaman manusia yang berlandaskan pada
praktik kehidupan sehari-hari ataupun fenomena yang terjadi berulang-ulang kemudian dicatat,
direnungkan, dan diamalkan menjadi pengingat (Endraswara, 2012). Pada sisi yang lain,
kebudayaan masyarakat sendiri tidak bersifat tetap. Budaya merupakan suatu entitas yang
fleksibel, dapat dinegosiasikan, diperjuangkan, dan relatif tunduk pada perubahan. Kebudayaan
kemudian harus dilihat sebagai suatu entitas yang tumbuh dari adanya interaksi terus menerus
antar manusia, kelompok, dan lingkungan yang terus menerus mengalami perubahan (Abdullah,
2015). Melalui pemahaman tersebut penelitian ini berusaha mengungkap pengetahuan lokal
masyarakat di kawasan Lereng Gunung Slamet tentang ilmu titen dalam menjaga alam dan
menelaah fenomena-fenomena alam yang terjadi di sekitar lokus kehidupan masyarakat. Lebih
khusus lagi fenomena-fenomena yang akan diselisik adalah bagaimana pengetahuan lokal
masyarakat di lereng Gunung Slamet dalam memahami alam tempat tinggalnya? Penanda-
penanda apa saja yang menjadi titen bagi masyarakat dalam memahami fenomena alam
sekitarnya? Bagaimana ilmu titen dimaknai oleh masyarakat dari berbagai generasi? Dan
bagaimana masyarakat mengaplikasikan ilmu titen tersebut dalam berkehidupan?
3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami pengetahuan lokal yang dimiliki
oleh masyarakat di Lereng Gunung Slamet dalam memahami alam kehidupannya (biotik dan
abiotik; nampak dan nampak; logis dan tidak logis). Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui lebih dalam budaya masyarakat utamanya pengetahuan lokal yang tercermin pada
ilmu titen. Bukan hanya melihat ilmu titen atau pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat,
lebih dalam penelitian ini ingin melihat bagaimana ilmu titen ini dimaknai oleh masyarakat,
hingga apabila memang terjadi kemudian diinternalisasikan pada anggot kelompok masyarakat
tersebut.
4. Manfaat Penelitian
4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi perkembangan kajian
Antropologi sosial dan budaya tentang pemahaman pengetahuan lokal melalui etnografi tentang
masyarakat di Lereng Gunung Slamet. Pada kenyataannya kajian Antropologi sendiri terus
mengalami perkembangan, begitu pula manusia sebagai pusat kajiannya yang selalu bergerak
dalam memaknai budaya yang mereka ampu. Selain itu pada era seperti sekarang ini di mana
masyarakat tidak bisa menghindari dan lepas dari interaksi dengan kelompok masyarakat
membuat masyarakat sedikit banyak memahami nilai-nilai dari kelompok masyarakat di luar
kelompoknya, sehingga pemahaman mengenai pengetahuan lokal menjadi penting. Terutama
dalam melihat dinamika dari pengetahuan tersebut dari didapat hingga diaktualisasikan oleh
suatu kelompok masyarakat.
4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini merupakan identifikasi karakteristik kelompok masyarakat
yang mempunyai ciri khas budaya tertentu. Dengan adanya penelitian ini juga diharapkan
mampu memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat umum mengenai
pengetahuan lokal masyarakat lokal. Pemahaman mengenai pengetahuan lokal ini juga diharap
mampu memberkan pemahaman kepada generasi yang lebih muda dari kelompok masyarakat
yang diteliti agar nilai-nilai pengetahuan lokal yang telah diaktualisasikan oleh generasi
sebelumnya bisa dimaknai dengan lebih bijak oleh generasi muda. Pemahaman mengenai
Secara praktis penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi
pemerintah setempat dalam mengenal masyarakat di wilayah administrasinya. Pemahaman
mengenai pengetahuan lokal diharapkan menjadi pertimbangan yang penting dalam menyusun
kebijakan-kebijakan untuk masyarakat.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan itu merupakan blueprint yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup
manusia, ia menjadi pedoman tingkah laku (Abdullah, 2015). Dalam perspektif simbolik,
kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau
penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia (Syam, 2011). Kebudayaan dalam konsepsi ini
mengandung dua unsur utama, yaitu sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan. Sebagai
pola bagi tindakan, kebudayaan ialah seperangkat pengetahuan manusia yang berisi model-
model yang secara selektif digunakan untuk menginterpretasikan, mendorong, dan menciptakan
tindakan atau dalam pengertian lain sebagai pedoman tindakan, sedangkan sebagai pola dari
tindakan kebudayaan ialah apa yang dilakukan dan dapat dilihat oleh manusia sehari-hari sebagai
sesuatu yang nyata adanya atau dalam pengertian lain ialah sebagai wujud tindakan (Syam,
2011).
Manusia adalah makhluk yang menyimbolisasi, mengonseptualisasi, dan mencari makna.
Melalui pendapat tersebut, kebudayaan dapat diartikan sebagai pola dari pengertian-pengertian
atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan
secara historis. Kebudayaan itu merupakan sistem mengenai konsepsi yang diwariskan dalam
bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan dan
mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan (Geertz, 1973). Kebudayaan
sendiri tidak hanya terdiri atas kebiasaan dan pranata, tetapi atas corak tafsiran atau interpretasi
dari suatu masyarakat terhadap pengalamannya, bagaimana mereka melihat segala sesuatu yang
mengitari diri (Geertz, 1982). Budaya adalah suatu dimensi yang aktif dan konstitutif dari
kehidupan sosial daripada sekedar mekanisme penjamin integrasi sosial. budaya sebagai
“lengkung simbolis” atau “blueprint” yang dengannya seseorang bisa menciptakan dunia mereka
yang bermakna dalam dua level sekaligus: emosi dan kognitif (Geertz, 1973).
Kebudayaan pada sekarang ini dipahami sebagai sesuatu yang tidak tetap, antropologi
modern melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang fleksibel, dapat dinegosiasikan, diperjuangkan,
relatif, dan tunduk pada perubahan (V. T. King & Wilder, 2012). Kebudayaan yang dibentuk
kemudian harus dilihat sebagai budaya diferensial yang tumbuh dari adanya interaksi yang terus
menerus antar manusia, kelompok dan lingkungan yang terus menerus mengalami perubahan
(Abdullah, 2015). Simbol dengan maknanya menjadi suatu objek yang kehadirannya dihasilkan
oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan dengan kepentingannya masing-
masing. Pergeseran kebudayaan dari sifat generik ke diferensial, menegaskan tentang betapa
dekatnya kebudayaan itu bahkan menyatu dalam keseharian manusia (Laksono, 2000).
2. Konsep Identitas Budaya
Konsep idetitas budaya merupakan penggabungan dari dua konsep yaitu konsep identitas
dan konsep budaya. Dalam mengantarkan kepada pemahaman tentang identitas budaya maka
akan dijabarkan terlebih dahulu konsep identitas dan konsep budaya maupun kebudayaan.
Kelompok atau group adalah kesadaran diri secara kolektif, yang berakar dalam proses
definisi internal, ketika kategorisasi eksternal didefinisikan (Jenkins, 2008a). Melalui pendapat
tersebut, identitas sosial terbentuk dari keterlibatan, rasa peduli, dan rasa bangga individu
sebagai bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya (Afif, 2012). Selanjutnya dengan
demikian, identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari
pengetahuannya selama berada dalam sebuah kelompok sosial tertentu di mana individu tersebut
dengan sengaja menginternalisasi nilai-nilai, turut berpartisipasi, serta mengembangkan rasa
peduli dan kebanggaan terhadap kelompoknya (Afif, 2012). Namun, dalam konteks kehidupan
nyata, identitas sebuah kelompok tidak mesti dibangun dari hubungan personal yang dekat dan
sudah saling mengenal antara satu anggota dengan anggota lainnya (Afif, 2012). Anderson
(2008: 8) juga menjelaskan hal serupa, bahwa bangsa, merupakan sesuatu yang „terbayang‟
karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak akan tahu dan tidak akan kenal sebagian
besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula
pernah mendengar tentang mereka. Namun dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa
tersebut hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.
Identitas pada taraf individual mempunyai beberapa sifat, yang pertama, identitas secara
personal atau individual bersifat membedakan antara satu individu dengan individu lainnya
semata-mata berdasar pada keunikan masing-masing dan bukan ciri-ciri yang diturunkan dari
keanggotaan dalam sebuah kelompok sosial (Afif, 2012). Sifat kedua, identitas individual
mempunyai sifat yang majemuk dengan kata lain, setiap individu pasti mempunyai lebih dari
satu identitas secara sosial . Pada pengertian ini identitas juga berkaitan dengan hak maupun
kewajiban atau peran yang harus dijalankan oleh individu (Sen, 2016). Misalnya saja, seorang
individu akan mempunyai identitas sebagai guru, identitas sebagai ayah, dan sebagainya, yang
menuntut perlakuan yang berbeda pada setiap identitasnya. Pendapat tersebut juga serupa dengan
pendapat dari Lehman (1967) bahwa identitas agaknya seperti “peranan” di mana masyarakat
mengadopsi dan memainkannya (V. T. King & Wilder, 2012).
Identitas sendiri selalu merupakan dialektika antara kesamaan dan perbedaan (Jenkins,
2008a). Setiap orang pasti akan memiliki nama, bahasa dan budaya dengan beberapa kekhususan
yang digunakan untuk membedakan dirinya dengan orang lain (Castells, 2010). Senada dengan
pendapat tersebut secara alamiah setiap individu memiliki kebutuhan untuk menjalin dan
memiliki hubungan dengan individu lainnya (Afif, 2012). Selama proses ini berlangsung, setiap
individu tersebut akan menemukan kesamaan-kesamaan sekaligus perbedaan-perbedaan baik itu
terhadap hal-hal yang terkait dengan kepentingan maupun unsur pembentuk konsep diri setiap
individu. Melalui tahapan tersebut akhirnya terbentuklah kelompok sosial dan kelompok tersebut
merupakan sumber identitas bagi setiap individu yang menjadi anggota kalompok sosial tersebut.
Lebih jauh lagi, identitas mengarahkan bagaimana mengidentifikasi dirinya, dalam proses
mempersamakan diri dengan sekelompok orang yang dianggap sebagai “kita”, dan membedakan
dirinya dengan sejumlah orang yang dianggap sebagai “mereka” (Suparlan, 2005). Meskipun
identifikasi selalu melibatkan individu, sesuatu yang lain seperti kolektivitas dan sejarah juga
dipertaruhkan (Jenkins, 2008b). Identitas sendiri, diciptakan, dipertahankan dan
ditransformasikan melalui interaksi dan hubungan antara mereka yang didefinisikan sebagai
“kita” dan orang lain yang didefinisikan sebagai “mereka” (Barth, 1988). Identitas juga dibentuk
oleh proses-proses sosial, begitu memperoleh wujudnya, identitas tersebut dipelihara,
dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial (Berger &
Luckmann, 2013). Sehingga, identitas merupakan hasil dari persamaan ataupun perbedaan dari
suatu individu maupun kelompok di mana proses persamaan ataupun perbedaan tersebut
didasarkan pada interaksi yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok tersebut dengan
individu maupun kelompok lain (yang liyan).
Masa sekarang, di mana batas-batas golongan dan masyarakat begitu tipis, identitas
terbentuk dari proses dialektika antara dua entitas yaitu lokal dan global (Hall, 1991). Identitas
bukan sebagai suatu fakta yang sudah dicapai, melainkan identitas merupakan suatu “produksi”
yang tidak pernah selesai, selalu dalam proses dan selalu dalam representasi (Hall, 1990).
Identitas dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari jangkauan politik karena secara praktis identitas
memengaruhi akses terhadap sumber daya (Hall, 1991). Identitas akhirnya, menjadi suatu
komoditi yang diperebutkan yang kemudian sarat dengan kepentingan yang menyebabkan lebih
banyak melayani dan dimanfaatkan bagi legitimasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat
(Abdullah, 2015). Oleh karena itu, identitas secara sosial baik individu maupun kelompok tidak
bisa lagi dipahami sebagai sesuatu yang tetap atau ajeg, muncul secara alamiah, maupun tanpa
tujuan atau maksud karena pembentukan, pelestarian, penggunaan identitas merupakan suatu
proses yang tiada berujung dan sarat dengan kepentingan baik individu maupun kelompok.
Melalui apa yang sudah dijelaskan sebelumnya secara sederhana, identitas budaya adalah
rincian karakteristik sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang diketahui
batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik (yang meliputi persamaan maupun
perbedaan) kebudayaan kelompok lain (Liliweri, 2007). Identitas budaya muncul dari adanya
kebudayaan dan kebiasaan yang sudah turun-temurun pada suatu daerah dan menjadi kebiasaan
pada masyarakat. Kepribadian yang sudah melekat pada suatu daerah tidak dapat terpisahkan
dari kebiasaan yang terbentuk dari lingkungan serta budaya yang lama-kelamaan akan
membentuk identitas budaya (Kayam, 1981).
Identitas budaya adalah budaya bersama dari suatu kolektif individu, di mana setiap anggota
mempunyai rasa memiliki kebudayaan tersebut yang didasarkan atas sejarah dan leluhur
bersama. Pada definisi ini, identitas budaya mencerminkan pengalaman sejarah dan kode budaya
bersama yang menjadikan individu-individu menjadi satu kelompok sebagai “kita” dengan
bingkai yang stabil dan terus menerus diberi makna dan menjadi referensi bagi anggota
kelompok tersebut (Hall, 1990). Identitas budaya muncul dari sesuatu yang memiliki sejarah,
akan tetapi seperti segala sesuatu yang historis, identitas budaya juga mengalami transformasi
yang konstan. Setidaknya ada dua cara melihat identitas budaya, yaitu yang pertama, melalui
persamaan (seperti persamaan sejarah, persamaan budaya, dll) dan yang kedua, melalui
perbedaan (seperti signifikansi yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain) (Hall,
1990).
Mengacu pendapat Hall (1990) sebelumnya tentang identitas budaya, memahami identitas
budaya tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman mengenai kelompok etnik karena menurut
Barth (1988: 12) dengan adanya aspek budaya, klasifikasi seseorang atau kelompok setempat
dalam keanggotaan suatu kelompok etnik bergantung pada kemampuan seseorang atau kelompok
untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok tersebut. Narroll (1967, dalam Barth, 1988: 11)
menjelaskan bahwa kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang mempunyai nilai-nilai
budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk
jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan menentukan ciri kelompoknya sendiri yang
diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dengan kelompok populasi lain. Barth (1988:
14-16) sendiri, mengemukakan bahwa kelompok etnis dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah
„tipe organisasional‟ yang melibatkan proses sosial terhadap pemisahan dan penggabungan juga
pilihan oleh aktor-aktor mereka sendiri terhadap ciri sosiokultural yang dianggap penting untuk
tujuan konstruksi identitas dan batas.
Identitas budaya juga tidak bisa dilepaskan dengan identitas etnis, karena identitas etnis
merupakan sebuah produk dari masa lalu yang menimbulkan asal-usul bersama, hubungan sosial
dan nilai-nilai dan sifat kultural bersama seperti bahasa dan agama (King dan Wilder, 2012:
321). Seperti identitas sosial, identitas etnis juga ditentukan oleh konteks dan setting tertentu.
King dan Wilder (2012: 319) menjelaskan di bawah kondisi tertentu, seperti tekanan jumlah
penduduk dan ketidakseimbangan demografis, atau persaingan bagi sumber-sumber ekonomi dan
kekuasaan politik, identitas etnis seringkali mengkristal dan batas-batas digambarkan dengan
lebih tajam. Dengan demikian, identitas etnis dipahami sebagai suatu yang lentur, menguat dan
melemah sesuai konteks dan setting yang terjadi.
Beberapa ahli menjelaskan beberapa cara untuk melihat identitas suatu budaya melalui unsur
kebudayaannya. Seperti menentukan identitas budaya melalui bahasa yang dipergunakan oleh
suatu masyarakat (Burke, 1966; Barth, 1988; Anderson, 2008), lalu melalui folklor yang terdiri
dari berbagai mitos, cerita rakyat, ungkapan-ungkapan, stereotip, dan sebagainya (Dundes, 2007;
Peursen, 2001), melalui kesenian dan tradisi atau ritual, ataupun melalui bentuk-bentuk
representasi melalui tanda-tanda rasa, keyakinan, sikap dan gaya hidup (Barker, 2002). Hal
tersebut bukan tanpa alasan, karena dengan bahasa dan perangkat sistem budaya lainnya,
masing-masing suku bangsa berupaya menjaga identitas etnis mereka, sehingga untuk jangka
waktu yang panjang eksistensi mereka sebagai suatu masyarakat etnis tetap berlangsung (Esten,
1999). Meskipun demikian, identitas budaya tidak bisa dipahami hanya dengan melihat materi
budaya seperti bentuk kesenian, ritual, bahasa, dan sebagainya, karena untuk memahami suatu
sifat budaya harus dipahami makna yang terkandung di dalamnya, maka yang memunculkan
makna bukanlah bentuk bahasa melainkan penggunaan bentuk-bentuk bahasa itu untuk
memikirkan sesuatu (Geertz, 1998).
Dengan demikian, identitas budaya dipahami sebagai konstruksi masyarakat dan bukan
sesuatu yang tetap (Hall, 1990). Identitas budaya juga bersifat lentur yaitu ditampilkan ataupun
tidak ditampilkan, sesuai dengan konteks dan setting interaksi yang terjadi (Eriksen, 2010).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian mengenai ilmu titen pada masyarakat di Lereng Gunung Slamet ini
menggunakan etnografi sebagai metode penelitian. Penggunaan metode enografi ini digunakan
untuk memahami kebudayaan masyarakat Lereng Gunung Slamet dari sudut pandang
masyarakat tersebut, karena tujuan utama etnografi adalah untuk memahami cara hidup
masyarakat lain dari sudut pandang pelaku atau pemangku kebudayaan tersebut (Spradley,
1980). Dengan kata lain, etnografi sendiri adalah tentang meceritakan kisah yang berakar dari
sudut pandang masyarakat lokal saat mereka menjalani kehidupan sehari-hari di komunitasnya
(Fetterman, 2010).
1. Unit Analisis
Unit analisis adalah unsur-unsur studi yang akan dilakukan seperti mengkaji variasi antara;
dan / atau, maupun membandingkan terhadap satu sama lain. Pada penelitian perilaku sosial unit
analisis yang paling sering digunakan adalah individu (Bernard & Gravlee, 2015). Unit analisis
dalam penelitian ini adalah warga masyarakat Lereng Gunung Slamet. Masyarakat sebagai unit
analisis tentu saja masih merupakan satuan yang besar. Unit analisis ini dikaji melalui individu-
individu warga masyarakat yang bertempat tinggal di Lereng Gunung Slamet. Informan yang
menjadi unit analisis antara lain adalah sesepuh dan tokoh masyarakat, sejarawan Banyumas, dan
warga masyarakat yang tinggal di lereng Gunung Slamet.
Daftar Pustaka
Abdullah, I. (2015). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Afif, A. (2012). Identitas Tionghoa Muslim Indonesia Pergulatan Mencari Jati Diri. Depok:
Kepik.
Arbon, V. (2008). Indigenous research: Aboriginal knowledge creation. Ngoonjook, 32(32), 80–
94.
Barker, C. (2002). Making Sense of Cultural Studies Central Problems and Critical Debates.
New York: Sage Publications.
Barth, F. (1988). Kelompok Etnis dan Batasannya Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan.
Jakarta: UI Press.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (2013). Tasir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Bernard, H. R., & Gravlee, C. C. (2015). Handbook of Methods in Cultural Anthropology.
London: Rowman & Littlefeld.
Berry, T. (1990). The Dream of the Earth. San Francisco: Sierra Club Books.
Castells, M. (2010). The Power of Identity. United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Dundes, A. (2007). The Meaning of Folklore: The Analytical Essays of Alan Dundes. Logan:
Utah State University Press.
Endraswara, S. (2012). Falsafah Hidup Jawa: Menggali Mutiara Kebijakan Dari Intisari
Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala.
Eriksen, T. H. (2010). Ethnicity and Nationalism Anthropology Perspective. New York: Pluto
Press.
Esten, M. (1999). Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Penerbit Angkasa.
Fetterman, D. M. (2010). Ethnography: Step-by-Step. United State of America: Sage
Publications.
Gadgil, M., Berkes, F., & Folke, C. (1993). Indigenous Knowledge for Biodiversity
Conservation. Ambio, 22, 151–156. Diambil dari https://www.jstor.org/stable/4314060
Geertz, C. (1973). Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture. In The
Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Geertz, C. (1982). Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia. Jakarta:
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Geertz, C. (1998). After The Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropologi.
Yogyakarta: LKiS.
Geertz, C. (2003). Pengetahuan Lokal. Yogyakarta: Merapi Rumah Penerbitan.
Geertz, C. (2016). Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Jaya.
Hall, S. (1990). Cultural Identity and Diaspora. In J. Rutherford (Ed.), Identity Community,
Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart.
Hall, S. (1991). Old and New Identities, Old and New Ethnicities. In A. D. King (Ed.), Culture,
Globalization and The World-System Contemporary Conditions for The Representation of
Identity. New York: PALGRAVE.
Iskandar, J. (2013). Ekologi Manusia dan Pembanguna Berkelanjutan. Bandung: PSMIL
UNPAD.
Jenkins, R. (2008a). Rethinking Ethnicity. United State of America: Sage Publications.
Jenkins, R. (2008b). Social Identity. London and New York: Routledge.
Johnson, L. M. (2010). Trail of Story, traveller’s Path: Reflection on Ethnoecology and
Landscape. Canada: AU Press.
Johnson, M. (1992). Research on Traditional Environmental Knowledge: Its Development and
Its Role. In J. Martha (Ed.), Lore: Capturing Traditional Environmental Knowledge.
Canada: Dene Cultural Institute and the International Development Research Centre.
Kayam, U. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
King, V. T., & Wilder, W. D. (2012). Antropologi Modern Asia Tenggara: Sebuat Pengantar.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Koentjaraningrat. (1991). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Liliweri, A. (2007). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
Muhammad, H. (2007). Manusia dan Tugas Kosmiknya Menurut Islam. In F. M. Mangunjaya,
H. Hariyanto, & R. Gholami (Ed.), Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan
Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Peursen, C. A. (2001). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Powdermaker, H. (1966). Stranger and Friend: The Way of an Anthropologist. New York: W.W.
Northon & Company.
Rahayu, M., & Rugayah. (2010). Pengetahuan Lokal dan Pemanfaatan Tumbuhan Oleh
Masyarakat Lokal Pulau Kabaena- Sulawesi Tenggara. Berita Biologi: Jurnal Ilmu-Ilmu
Hayati, 10(1), 68–75.
Rahmawati, R., Subair, Idris, Gentini, Ekowati, D., & Setiawan, U. (2008). Pengetahuan Lokal
Masyarakat Adat Kasepuhan : Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis. Solidarity:
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 02(02), 151–190.
Retnowati, A. (2014). Culture and Risk Based Water and Land Management in Karst Areas : An
Understanding of Local Knowledge in Gunungkidul , Java , Indonesia . Justus Liebig
University Giessen.
Rumilah, S., Nafisah, K. S., Arizamroni, M., Hikam, S. A., & Damayanti, S. A. (2020). Kearifan
Lokal Masyarakat Jawa dalam Menghadapi Pandemi. Suluk, 2(2), 119–129.
Sen, A. (2016). Kekerasan dan Identitas. Serpong: Marjin Kiri.
Spradley, J. P. (1980). Participant Observation. United State of America: Holt, Ronehart and
Winston.
Spradley, J. P. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suparlan, P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan antar-Sukubangsa. Jakarta: YPKIK Press.
Suryana, Y., & Iskandar, J. (2014). Studi Pengetahuan Lokal Tanaman Obat Pada Agroekosistem
Pekarangan dan Dinamika Perubahannya Di Desa Cibunar Kecamatan Rancakalong
Kabupaten Sumedang-Jawa Barat. Bionatura-Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati dan Fisik, 15(3),
203–209.
Syam, N. (2011). Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS.
Tidemann, S., Chirgwin, S., & Sinclair, R. . (2010). Indigenous Knowledge, Birds that Have
“Spoken” and Science. In S. Tidemann & A. Gosler (Ed.), Ethno-ornithology: Birds,
Indigenous People, Culture and Society. London: Earthscan.