Anda di halaman 1dari 7

KONTEKS KEARIFAN LOKAL DALAM FISIKA

SEMINAR NASIONAL ETNOSAINS UNDIKSHA


TAHUN 2021

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. I Wayan Suastra, M.Pd.
Dr. Anak Agung Istri Agung Sudiatmika, M.Pd.
Disusun Oleh:
Anak Agung Gde Suyoga Wiguna
1913021001
VA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN FISIKA DAN PENGAJARAN IPA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2021
RINGKASAN SEMINAR ETNOSAINS NASIONAL UNDIKSHA
TAHUN 2021
Sabtu, 25 September 2021 telah berlangsung seminar etnosains nasional
yang diadakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha tahun 2021 dengan tema
“Perubahan Pengajaran IPA Berbasis Budaya di Indonesia”. Kegiatan seminar
ini, dilaksanakan pada pukul 09.00 WITA secara daring melalui platform Zoom
Meeting. Terdapat dua pemateri pada seminar kali ini yaitu Prof. Dr. I Wayan
Suastra, M.Pd., dan Prof. Dr. Sudarmi, M.Si.
Untuk pemateri yang pertama yaitu dari Prof. Dr. Sudarmi, M.Si. adapun
penyampaian materi beliau sebagai berikut. Ethnoscience berasal dari kata ethnos
dari bahasa Yunani yang berarti „bangsa„ dan scientia dari bahasa Latin yang
berarti pengetahuan. Etnosains berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu
bangsa atau suatu suku bangsa/kelompok sosial tertentu dan sebagai bentuk
kearifan lokal serta terkandung konsep sains. Menurut pandangan beliau dalam
belajar riset etnosains terdapat liam fokus bidang kajian riset etnosain yaitu (1)
pengetahuan asli masyarakat (indegenous science) dan rekontrusi dan
eksplanasinya, (2) adat istiadat, hukum, aturan, norma/ nilai, (3) budaya terkait
keberagaman seni, (4) kearifan lokal flora, fauna, fenomena alam yang unik, dan
(5) folkkor lainnya, dll (Battistie, 2006, Sudarmin, 2021)
Adapun bidang kajian etnosains yang disampaikan oleh Prof. Sudarmi
yaitu:
1. Suastra (2006) dan Sudarmin (2021) menyatakan kajian ekologi etnosains
adalah Etnokimia, Etnobiologi, Etnoekologi, Etnomedisin, Etno-astronmi,
Etnofarmaka, Etnofarmakologi, Etno-pedagik, Etno-teknologi, Etnografi,
Etnometo-dologi, dan Etnomatematika, dl.
2. Riset Etnosains dapat berupa skim untuk riset dasar, eksperimen,
monosipliner, interdisipliner, riset terapan, riset pengembangan, dan riset
trandisipliner.
3. Bidang riset etnosains, misalnya pelukisan [deskripsi] sistem pengetahuan
asli (Indegenous Science) dan Sains Ilmiah yang terdapat pada budaya
warga Bali (kearifan lokal) yang mengandung sains ilmiah.
Dalam penjelasan materi Prof. Sudarmini mengemukakan lima alasan mengapa
mengapa pengajaran IPA berbasis etnosains penting? Menurut pandangan beliau
pengajaran IPA berbasis etnosains penting karena sebagai berikut.
1. Pada era Globalisasi yang pesat menjadi salah satu penyebab semakin
menipisnya nilai-nilai budaya lokal di Kanagana Generasi Muda
Indonesia
2. Suatu upaya menciptakan lingkungan belajar sains yang kontekstual
berakar budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesa.
3. Pengetahuan asli masyarkat banyak ditemukan konsep sians, sehinga
perlunya direkontruksi dan dieksplanasi menjadi pengetahuan ilmiah
melalui riset berbasis Etnosains.
4. Kesadaran kembali untuk menemukan kembali nilai budaya dan kearifan
lokal dan diwujudkan pada pengajaran sains dan non sains [Misal Ajaran
Ki Hajar Dewantara, Konsep MBKM) mulai diterapkan pada
Kemendikbud Ristek.
5. Indonesia kaya berbagai budaya nasional dan budaya daerah, sehingga
perlu dikonservasi melalui Riset dan pembelajaran IPA berbasis Etosains.
Melanjutkan penjelasan beliau juga berpendapat mengenai manfaat pengajaran
IPA berbasis etnosains yaitu sebagai berikut:
1. Kearifan lokal dari masyarakat (Nilai, norma, adat istiadat, tata krama)
sebagai budaya dan kearifan lokal dapat dikonservasi.
2. Memberikan ruang dunia pendidikan (Sekolah, guru, dan peserta didik)
untuk mereputasikan keunikan budaya masyarakat lokal.
3. Menanamkan literasi budaya dan nilai luhur bangsa, literasi sains dan
kimia, etnopedagogik, literasi etnosains dan ekologinya.
4. Memberikan pengetahuan sains lebih baik dan bermkana (Ausu-bel), serta
membekali ket berpikir, ket. Generik, Ket proses, serta keterampilan
berpkir abad 21 pada peserta didik.
5. Memberikan kontribusi pada pendidikan dan kebudayaan, artinya
etnosains akan berkontribusi pada pendidikan untuk menciptakan dan
mengembangkan budaya, serta melestarikan nilai jati diri bangsa yang
luhur [Nilai Pancasila, pendidikan parentialis].
Selain itu, beliau juga menegaskan kembali terkait alasan penting pengajaran IPA
berbasis etnosains yang meliputi:
1. Mampu mempersiapkan siswa untuk bertanggung jawab, kritis, dan kreatif
dalam mengekplanasi permasalahan di masyarakat (misal man-faat
etnomedisin bagi kesehatan).
2. Memberikan ruang peserta didik untuk memahami sains dalam konteks
kehidupan sehari-hari dan menuntut pendidik berkreasi mengembangkan
model dan perangkat berbasis Etno-TPACK.
3. Mampu menngembangkan riset, model dan pendekatan inovatif bagi
mahasiswa dan pendidik untuk menyisipkan nilai budaya lokal dalam
pembelajaran sains (misal Etno-STEM atau Inkuiri terintegrasi Etno-
STEM).
4. Meningkatkan relevansi kurikulum sains dengan kebutuhan nyata di
masyarakat melaui riset dasar dan pengembangan, serta pembelajaran
berbasis multidisilpliner dan interdisipliner.
5. Etnosains berkaitan mengubah pengetahuan asli masyarakat menjadi
pengetahuan ilmiah, sehingga membiasakan peserta didik untuk cerdas
(habits of minds)
Setelah itu berliau melanjutkan penjelasnnya mengenai rekontruksi dan ekplanasi
sains ilmiah.
Materi selanjutnya akan dibawakan oleh bapak Prof. Dr. I Wayan Suastra,
M.Pd. Pada pemaparan materi, secara garis besar beliau menyajikan mengenai
perbedaan pandangan alam semesta (wordview) timur dan barat, paradigma
pendidikan sains dalam perspektif budaya, kesulitan siswa budaya timur dalam
belajar sains dan model pembelajaran berbasis budaya.
Adapun beberpa masalah yang dihadapi pendidikan sains yang meliputi:
Kualitas pendidikan masih rendah; Pelajaran sains terkeasan kering “kering” dan
kurang menyentuh kehidupan siswa, serta kurang bermakna, lebih dari textbook;
kurang mengakomodasi konteks sosial budaya (local genius); lulusan kurang
memiliki tanggung jawab sosial. Selain hal tersebut beliau juga menjelaskan
mengenai kebutuhan era revolusi industry 4.0 yang meliputi:
 Karakter: Religius & Jujur (Moral), Kerja keras,Ulet, Tuntas, Tangguh
(Karakter kerja)
 Kompetensi: kreatif, kritis, komunikatif, kolaboratif, Kompasion
 Literasi (Keterbukaan Wawasan): Baca, Budaya, Teknologi, Keuangan
Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai perbedaan pandangan alam semesta
(worldview) barat dan timur yang dapat dicermati sebagai berikut:
Tabel 1. Perbedaan Pandangan Alam Semesta Barat dan Timur
Worldview Masyarakat Tradisinonal
No Worldview Masyarakat Barat
(Non-Barat Khususnya Bali)
Spiritualitas terdapat di dalam unsur-
unsur kosmos (bhuwana agung
Spiritualitas berpusat pada Tuhan
1 (makrokosmos/ alam semesta) dan
Yang Maha Esa
bhuwana alit (mikrokosmos/manusia itu
sendiri)
Manusia bertanggung jawab untuk
Manusia memaksakan dominasi atas
menjaga keharmonisan hubungan
alam untuk digunakannya bagi
dengan alam (Tri Hita Karana).
2 kesejahteraan pribadi dan
Hubungan manusia dan alam diandaikan
meningkatkan taraf ekonominya
sebagai hubungan antara janin dan
ibunya (sekadi manik ring cacupu)
Sumber-sumber daya dipandang sebagai
anugrah (sebelum makan dihaturkan
Sumber daya alam tersedia untuk
dulu kepada Tuhan atas berkahnya,
dieksploitasi manusia yang mengikuti
3 menebang pohon untuk keperluan
hubungan satu arah (penguasaan
pembuatan rumah dengan etika mohon
manusia terhadap alam)
ijin kepada sang pencipta dan ditebang
sesuai yang diperlukan saja).
Alam dihormati secara rutin dengan
praktik spiritual sehari-hari (upacara Praktik spiritual hampir tidak
4 Tumpek Ngatag (tumbuhan), Tumpek dilakukan dan dipisahkan dari
Kandang (Binatang peliharaan), Mecaru kehidupan sehari-hari
(bumi dan lingkungannya
Kebijaksanaan dan etika berasal dari Rasio manusia menghadapi dunia
5
pengalaman langsung dengan alam alamiah dan dapat menghasilkan
Worldview Masyarakat Tradisinonal
No Worldview Masyarakat Barat
(Non-Barat Khususnya Bali)
(piteket/petunjuk para orang tua/leluhur) wawasan-wawasan secara bebas
Semesta terdiri atas kekuatan-kekuatan
Semesta terbagi ke dalam bentuk
alam yang dinamis dan terus berubah.
dualistik dan direduksi ke bagian-
6 Semesta dipandang sebagai terdiri atas
bagian yang secara konseptual makin
sistem holistik, integratif, dengan
lama makin kecil
kekuatan hidup yang menyatukan
Waktu itu bersifat sirkuler dengan
Waktu mengikuti kronologi linier dari
7 lingkaran-lingkaran alami (cakra) yang
“kemajuan manusia”
menyangga kehidupan
Alam secara lengkap dapat dipahami
8 Alam akan selalu misterius
oleh pikiran manusia yang rasional
Pikiran, perasaan, dan kata-kata manusia Pikiran, perasaan dan kata-kata
9 secara rumit terikat kepada semua aspek manusia dibentuk secara terpisah dari
lain dari semesta dunia sekitarnya
Peran manusia adalah untuk
Peran manusia adalah untuk
memotong-motong, menganalisis, dan
10 berpartisipasi dalam desain alam yang
mengotak-atik alam untuk diri mereka
teratur
sendiri
Rasa hormat kepada orang tua
Rasa hormat kepada orang lain
berdasarkan pada cinta kasihnya dan
11 berdasarkan pada prestasi material dan
rekonsiliasi dari pengetahuan yang
usia kronologis
diarahkan dari dalam dan luar
Memandang hubungan manusia
Memandang hubungan manusia yang
dengan alam sebagai sesuatu yang
12 baik dengan alam sebagai dialog
seharusnya bersifat hirarkis dan satu
transaksional dua arah
arah

Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai paradigma pendidikan sains


dalam perspektif budaya. Dalam penjelasan materi, beliau menyatakan bahwa
sains dalam perspektif budaya merupakan multi sains yang terdiri dari sains
pribadi (personal sains), sains barat, sains asli (etnosains). Selain itu beliau juga
menyatakan kesulitan siswa masyarakat timur dalam belajar sains salah satunya
yaitu adanya perbedaan budaya. Salah satu contohnya yaitu mengajar satuan tidak
baku/tidak standar. Dibuku-buku pelajaran satuan tidak baku sudah jarang
ditemui, namun penerapan satuan tidak baku di era revlolusi 4.0 sekarang ini
masih tetap digunakan oleh masyarakat Bali, seperti misalnya dalam pembuatan
canang yang mengukur menggunakan jengkal tangang. Hal tersebut sebaiknya
tidak diabaikan, karena hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat dijelaskan
atau yang dalam kebudayaan disebut dengan tacit.
Beliau juga meberikan beberapa contoh etnosain dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Bali yaitu gangsa (dapat dijaki dengan materi resonansi), struktur
bangunan bali, bale kul-kul dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai