Anda di halaman 1dari 24

PERSPEKTIF ETNO-EKOLOGI

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1
ANGGOTA

Mimi wita Saputri (192482006)

Rizwan (192482009)

Dosen Pembimbing :
Erna Fitri Hamda S.Pd., M. Pd

PROGRAM STUDI SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU


POLITIK AL-WASHLIYAH BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2021-2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas anugrahnya dan rahmatnya kita mampu
menyelesaikan sebuah karya tulis yang berupa Makalah yang begitu sederhana dan
salawat beserta salam tak lupa kita anugrahkan kepada junjungan kita nabi
muhammad SAW yang telah membawa umatnya,yang dulunya berseteru sekarang
menjadi satu, yang dulunya menyembah berhala, sekarang menyembah allah ta’ala,
yang dulunya biadab sekarang menjadi beradab ,dan ia adalah seorang revolusioner
sejati pembawa cahaya kebenaran yang tak tertandingi oleh semua ilmuan dimuka
bumi.

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok matakuliah Antropologi Ekologi


pada mahasiswa STISIP/PENDIDIKAN ANTROPOLOGI dengan
judul;”PERSPEKTIF ETNO-EKOLOGI”

Tidak ada manusia yang lahir sempurna,begitupun dengan makalah yang kami
susun yang lahir dengan penuh keterbatasan,dalam menyusun makalah ini kami
membutuhkan bantuan dari semua pihak baik itu berupa moril maupun materil.Akhir
kata kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya dan kami menunggu kritik dan
saran untuk kami agar mampu membuat makalah yang lebih baik lagi kedepannya.

Banda Aceh,7 Desember 2021

Penyusun

Kelompok I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
A. Pengertian Etnoekologi..............................................................................................3
B. Ekologi dan Adaptasi Manusia Dengan Alam.........................................................4
C. Bentuk Adaptasi Hewan, Tumbuhan, dan Manusia Berinteraksi dengan Alam. .5
D. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Manusia Aktif Melakukan Interaksi
dengan Alam.......................................................................................................................7
E. Pengaruh Tumbuhan Rambai, Eceng Gondok, dan Belimbing Wuluh Bagi
Kehidupan Manusia dan Alam Sekitarnya......................................................................8
BAB III.................................................................................................................................17
PENUTUP............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etno-ekologi adalah cara masyarakat tradisional memaknai ekologi dan hidup


selaras dengan lingkungan alam dan sosialnya. Kehidupan masyarakat tradisional
pada umumnya amat dekat dengan alam, dan manusia mengamati alam dengan
baik, mengenal karakteristiknya sehingga mereka tahu bagaimana harus
menanggapinya (Ahimsa-Putra, 2007).

Manusia hidup di dunia ini akan melakukan interaksi dan adaptasi dengan
alam. Manusia melakukan adaptasi dan interaksi mengembangkan budaya
sehingga terjadi perubahan‐perubahan ekosistem. Pembahasan antara manusia
dengan alam memang sangat kompleks dan rumit. Kompleksitas interaksi dan
adaptasi antara manusia dengan alam tidak terlepas dari pengaruh unsur biotik
dan abiotik yang ada di lingkungan sekitarnya. Jadi apa yang disediakan alam
sejogjanya dapat dimanfaatkan manusia dalam memenuhi kehidupan manusia,
tanpa merusak dan tetap menjaga kelestarian alam.

Ilmu etnoekologi yang menjadi pokok pikirannya adalah manusia dan


lingkungan, ilmu ini merupakan jembatan menghubungkan antara ilmu
pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan. Ilmu etnoekologi
walaupun dalam kajiannya banyak menyentuh bidang ilmu lain, misalnya:
migrasi (sosiologi), komoditi yang diperdagangkan (ekonomi), ciri khas
kehidupan kelompok masyarakat tertentu (antropologi), letak bujur dan lintang
suatu daerah (ilmu geografi), ilmu etnoekologi sebenarnya menelaah watak khas
suatu tempat dalam arti luas maupun sempit yang di huni oleh
manusia/masyarakat. Ilmu etnoekologi akan tetap terikat oleh tempat tertentu atau

1
lebih luas terikat pada wilayah atau Negara tertentu, yang memunculkan ciri khas
yang ditampilkan pada

2
wilayah tersebut akibat adanya manusia sebagai penghuni dengan segala
keinginannya yang tak terbatas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut :

1. Apa Pengertian Dari Etnoekologi?

2. Bagaimanakah Ekologi dan Adaptasi Manusia Dengan Alam?

3. Bagaimanakah Bentuk Adaptasi Hewan, Tumbuhan, dan Manusia


Berinteraksi dengan Alam?

4. Bagaimana Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Manusia Aktif


Melakukan Interaksi dengan Alam?

5. Bagaimana Pengaruh Tumbuhan Rambai, Eceng Gondok, dan Belimbing


Wuluh Bagi Kehidupan Manusia dan Alam Sekitarnya?
C. We Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah
sebagai berikut :

1. Menjelaskan Apa Pengertian Dari Etnoekologi.


2. Menjelaskan Bagaimanakah Ekologi dan Adaptasi Manusia Dengan Alam.
3. Menjelaskan Bagaimana Bentuk Adaptasi Hewan, Tumbuhan, dan
Manusia Berinteraksi dengan Alam.
4. Menjelaskan Bagaimana Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi
Manusia Aktif Melakukan Interaksi dengan Alam.
5. Bagaimana Pengaruh Tumbuhan Rambai, Eceng Gondok, dan Belimbing
Wuluh Bagi Kehidupan Manusia dan Alam Sekitarnya

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etnoekologi

Ernest Haeckel, ahli biologi dari Jerman mempergunakan istilah ekologi


untuk pertama kali pada tahun 1868, kehidupan bersama dari tumbuhan dan
hewan merupakan persekutuan hidup yang tidak bersifat kebetulan, tetapi ada
hubungan yang saling ketergantungan satu dengan yang lainnya, hal inilah dasar
mempelajari ilmu ekologi.  Kondisi ekologi akan selalu dipengaruhi dengan
adanya aktifitas manusia (N. Daldjoeni 1982). Dasar‐dasar ilmu etnoekologi
sebenarnya sudah ada sejak tahun 50‐an, yaitu: berasal dari ilmu bangsa‐bangsa
(etnologi) (N. Daldjoeni 1982).   Ilmu etnoekologi yang menjadi pokok
pikirannya adalah manusia dan ekologi yang merupakan jembatan
menghubungkan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan
kemasyarakatan.    Pemisahan Ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan
kemasyarakatan di dalam ilmu etnoekologi bersifat semu, hal ini karena dalam
memahami dan mempelajari hubungan manusia dan ekologi tak dapat dipisahkan.

Etnoekologi merupakan ilmu yang membahas mengenai hubungan yang erat


antara manusia, ruang hidup, dan semua aktifitas manusia di bumi (Hilmanto,
2007). Hubungan antara manusia dengan lingkungannya ditentukan oleh
kebudayaan setempat sebagai pengetahuan yang diyakini serta menjadi sumber
sistem nilai (Mulyati, 2006), misalnya pemanfaatan lahan melalui sistem bera
(mengistirahatkan lahan dalam tenggang waktu tertentu) yang berlaku pada suku
Dani (Tambunan, 2008), praktik-praktik tradisional masyarakat suku Haruku,
memiliki aturan hukum adat, yang disebut sasi (larangan untuk mengambil hasil

3
alam tertentu) pada masyarakat suku Haruku (Pulau Haruku) (Agustrino, 2004)
dan

4
pemanfaatan embung pada masyarakat suku Sasak di Kabupaten Lombok
Timur (Wiyasa, 2004).

Etnoekologi juga memiliki manfaat yaitu, Sebagai tempat penghasil oksigen


(o2). Daun belimbing tujuk , bisa dipakai sebagai pestisida agar hama pada
tanaman lain hilang. Digunakan burung, serangga atau semut sebagai rumah
tempat bersarang.

Ilmu etnoekologi pada perkembangannya ini mencakup ke dalam usaha


pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan (etnoforestry).   Ilmu
etnoekologi tidak hanya membahas tentang suatu etnis/bangsa/penduduknya
tetapi juga didukung oleh: struktur geologi, iklim, mata pencaharian
penduduknya, agama, ras, bahasa, sejarah dan bentuk pemerintahan yang
dijabarkan untuk dipahami di suatu wilayah. Kausalitas antara fenomena‐
fenomena yang terjadi di suatu wilayah merupakan hal yang terpenting dalam
pembahasan ilmu etnoekologi. 

Ilmu etnoekologi lebih mengarahkan kepada cara berpikir dan menganalisis


secara multi prosesual yang artinya mahasiswa, siswa, peneliti, dan dosen dituntut
menganalisis dan berpikir dalam berbagai jenis proses baik berupa fisis, sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan religius. Contoh menurut Daldjoeni 1982: curah
hujan, pembentukan tanah, pembentukan harga komoditi (politik ekonomi kopi di
Brazilia, politik ekonomi gula di Indonesia), minyak bumi di Saudi Arabia,
percampuran ras di Hawaii, dan shintoisme di Jepang.

B. Ekologi dan Adaptasi Manusia Dengan Alam

Secara naluri, semakin tinggi kemampuan manusia beradaptasi maka akan


semakin lama menempati suatu daerah, tetapi semakin rendah kemampuan
manusia beradaptasi manusia maka akan meninggalkan tempat tersebut dan akan
mencari tempat yang baru. Manusia melakukan migrasi dari daerah satu ke daerah

5
lainya secara alami sesuai dengan kemampuan adaptasi mereka. Hasil adaptasi
manusia dapat berupa: mata pencaharian, perumahan, pakaian, peralatan rumah
tangga, peralatan berkebun, membuka lahan, dan lain sebagainya.

Manusia dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan tidak akan terlepas


dengan adanya sumberdaya. Lingkungan sebagai habitat manusia untuk
melakukan semua aktifitasnya merupakan suatu sumberdaya. Menurut Spencer
(1973) geograf Amerika mendefinisikan sumberdaya secara sederhana, yaitu:
segala barang atau bahan serta kondisi yang dapat dinilai setelah dipahami seluk‐
beluk hasil, proses, dan manfaatnya (N. Daldjoeni 1982).

C. Bentuk Adaptasi Hewan, Tumbuhan, dan Manusia Berinteraksi


dengan Alam

Adaptasi dilakukan baik oleh hewan, tumbuhan, dan manusia. Adaptasi yang
dilakukan berbeda satu dengan yang lainnya dengan caranya masing‐masing yang
khas. Perbedaan bentuk adaptasi dan interaksi ini membedakan manusia dengan
makhluk hidup lainnya dengan mengembangkan budaya.

1. Adaptasi Hewan
Hewan dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan berpikir secara
naluri dan instingtif, tetapi hewan tidak mampu untuk menghindarkan diri
dari pengaruh alam yang sifatnya datang secara langsung.  Ada
kecenderungan hewan melakukan adaptasi terhadap alam menggunakan
naluri dan insting mereka.  Adaptasi pada hewan mengarah pada
perubahan prilaku berdasarkan naluri dan instingtif yang biasanya
dilakukan dan akan mempengaruhi anatominya dan siklus hidupnya
seperti mencari makan, berkembang biak, dan melakukan perkawinan.
Contoh, adaptasi pada hewan: bulu pada hewan, musim birahi dan
reproduksi, warna khas kulit dan bulu.    Adaptasi‐ adaptasi hewan

6
tersebut bisa menjadi petunjuk alam (bio‐indikator) untuk mengamati
perubahan‐perubahan alam yang terjadi disekitar kita, hal ini dapat dilihat
pada pembahasan sistem waktu pertanian masyarakat lokal menggunakan
petunjuk alam (Rudi Hilmanto 2009, 2010).

2. Adaptasi tumbuhan

Faktor‐faktor lingkungan sangat mempengaruhi fungsi fisiologis,


bentuk anatomis, dan siklus hidup tumbuhan. Adaptasi tumbuhan biasanya
cenderung mengikuti perubahan alam yang terjadi. Adaptasi tumbuhan
berupa fenomena‐fenomena menahan penguapan berlebihan, toleransi
terhadap tingkat garam, waktu munculnya bunga, bentuk‐bentuk masing‐
masing spesies secara anatomis, atau siklus hidup tumbuhan tersebut.   
Adaptasi‐adaptasi tumbuhan tersebut bisa menjadi petunjuk alam (bio‐
indikator) untuk mengamati perubahan‐perubahan alam yang terjadi
disekitar kita, hal ini dapat dilihat pada pembahasan sistem waktu
pertanian masyarakat lokal menggunakan tanda‐tanda alam (Rudi
Hilmanto 2009, 2010).

3. Adaptasi Manusia

Manusia dalam melakukan adaptasi tidak memodifikasi secara


anatomis tetapi lebih mengarah pada mengubah prilaku serta budaya
sebagai respon terhadap lingkungan di sekitarnya. Manusia memiliki
kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan abiotik dan
biotiknya.  Manusia tidak hanya sebagai mahkluk dari dunia hewan dan
tumbuhan, tetapi juga sebagai pemilik kekuatan yang besar untuk
melakukan adaptasi. Setiap masyarakat memiliki kemampuan dan cara‐
cara adaptasi dan interaksi berbeda yang diwariskan dari generasi ke

7
generasi dan selanjutnya dikembangkan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang merupakan unsur‐unsur budaya masyarakat.   Manusia
memiliki pola adaptasinya lebih tinggi hal ini karena kebudayaan yang
yang mereka miliki.

Manusia memiliki budaya yang tidak bisa lepas dari bagian


lingkungan biotik dan lingkungan abiotik, sehingga untuk tujuan
kelestarian alam dan kelestarian manusia, kita harus menjaga
keseimbangan antara ketiga unsur tersebut yaitu budaya, lingkungan
biotik, dan lingkungan abiotik. Hal ini menunjukan bahwa semua aktivitas
budaya manusia tidak boleh menyebabkan rusaknya atau terganggunya
lingkungan biotik dan abiotik sebagai sumberdaya untuk memenuhi semua
aktivitas hidup manusia yang tak terbatas.

D. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Manusia Aktif


Melakukan Interaksi dengan Alam

Bentuk interaksi dan adaptasi manusia dengan alam, yaitu: adanya aktivitas
manusia mengubah bentang alam di bumi ini, baik lingkungan biotik dan
lingkungan abiotik. Membuka ladang, melakukan domestikasi hewan‐tumbuhan,
melakukan penghijauan, membuat bendungan, dan membuat sistem irigasi
merupakan contoh bentuk interaksi dan adaptasi manusia.   Manusia dalam
berinteraksi dengan lingkungannya tidak bisa lepas dengan faktor geografis.   
Menurut N. Daldjoeni (1982) kehidupan manusia dipengaruhi oleh 8 (delapan)
faktor geografis, yaitu:

1. Relief menentukan dalam kegiatan transportasi;  perbedaan relief yang


sangat berbeda menyebabkan perbedaan iklim.

8
2. Sumber‐sumber mineral/sumberdaya alam bisa menimbulkan kondisi
konflik di daerah tersebut.

3. Perbandingan luas daratan dengan luas lautan/sungai suatu wilayah yang


menentukan apakah masyarakat tersebut merupakan wilayah agraris atau
wilayah maritim yang mempengaruhi pada mata pencaharian
masyarakatnya.

4. Tanah yang menentukan tingkat kesuburan daerah.  Tanah yang subur


menyebabkan tidak meratanya jumlah kepadatan penduduk.

5. Jenis flora dan fauna yang mempengaruhi kegiatan ekonomi dan kondisi
pangan, sandang, dan papan.

6. Air sangat menentukan suatu wilayah dapat atau tidak untuk dihuni
dengan baik untuk daerah non maritim.

7. Lokasi serta unsur relasi spatial (keruangan) lainya seperti posisi, jarak
dengan tempat lain; suatu daerah memiliki luas dan bentuk yang berarti
adanya persatuan bangsa, pertumbuhan ekonomi, serta kontak dengan
daerah lain baik secara budaya maupun politik.

8. Iklim menentukan jenis makanan/minuman yang dikonsumsi.  Daerah


yang agraris mempengaruhi hasil pertanian. Musim sedikit banyak
mempengaruhi sistem kerja masyarakat sepanjang tahun terutama di
daerah agraris atau maritim.

E. Pengaruh Tumbuhan Rambai, Eceng Gondok, dan Belimbing


Wuluh Bagi Kehidupan Manusia dan Alam Sekitarnya
1. Tumbuhan Rambai

Klasifikasi tumbuhan rambai:

9
Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malpighiales

Famili : Phyllanthaceae

Genus : Baccaurea

Spesies : B. motleyana

Sumber : Tribunnews.com 2019

Rambai adalah tumbuhan yang hidup liar dan dapat dijumpai di beberapa
pekarangan rumah warga pada Kalimantan Selatan, rambai merupakan
tumbuhan khas lahan basah. Selain itu tanaman rambai ini juga cukup adaptif
di daerah lahan rawa, baik rawa pasang surut maupun rawa lebak. Tumbuhan
rambai berupa tanaman keras atau tahunan, tinggi 10-20 m. Memiliki daun
tunggal dengan bentuk memanjang. Tumbuhan rambai memiliki potensi yang
baik untuk dikembangkan sebagai obat alami, khususnya antibakteri. Buah

10
Rambai dapat dimakan secara langsung oleh manusia dalam keadaan mentah,
maupun diolah terlebih dahulu dengan direbus atau bisa juga dijadikan selai.
Selain itu juga buah rambai dapat dimakan oleh hewan-hewan yang ada
disekitar pohon tersebut, salah satunya hewan yang berhidung panjang yaitu
bekantan. Buah rambai memiliki kandungan nutrisi, manfaat buah ini antara
lain:

a. Menjaga kesehatan kulit


b. Menjaga kesehatan pencernaan
c. Baik untuk ibu hamil pasca melahirkan
d. Menjaga kadar gula darah
e. Mengatasi dehidrasi
f. Membantu mencerahkan kulit

Manfaat tanaman rambai bagi manusia sangat beragam. Buah rambai yang
masak bisa langsung dimakan atau dibuat bahan minuman yang dicampur
sirop dan es batu. Kulit buah rambai yang licin dan asam bisa dimanfaatkan
sebagai pencampur bumbu kuah sayuran dan pepesan ikan. Kulit batangnya
yang berwarna cokelat muda dapat digunakan sebagai pencampur ramuan
jamu atau obat tradisional untuk penyakit tertentu. Selain itu, kulit tersebut
dipakai untuk mewarnai kain. Bila dicampur dengan akar pohon harendong
dapat menghasilkan warna merah terang. Kayunya dapat digunakan sebagai
bahan perabot rumah tangga. Biasanya kayu rambai yang dikeringkan dapat
dipakai sebagai kayu bakar, terutama dahan-dahan yang agak kecil beserta
rantingnya (Tatang, et al, 2000).

2. Eceng Gondok

Klasifikasi Eceng Gondok:

Kingdom : Plantae

11
Sub Kingdom : Viridiplantae

Infra Kingdom : Streptophyta

Super Divisi : Embryophyta

Divisi : Tracheophyta

Sub Divisi : Spermatophytina

Kelas : Magnoliopsida

Super Ordo : Lilianae

Ordo : Commelinales

Famili : Pontederiaceae

Genus : Eichhornia kunth

Spesies : Eichhornia crassipes (Mart.) Solms

Sumber : Tribunnews.com 2017

Eceng Gondok adalah jenis tumbuhan yang hidup dengan cara mengapung


di air. Tanaman dengan nama ilmiah Eichhornia Crassipes ini sangat mudah

12
ditemukan hidup di rawa-rawa atau sungai di berbagai daerah di Indonesia.
Masing-masing daerah pun memiliki beberapa nama khusus untuk tanaman
Eceng Gondok ini, misalnya di Lampung dinamakan Ringgak, di Dayak
dinamakan Ilung-ilung, di Manado dinamakan Tumpe, dan di Palembang
dinamakan Kelipuk.

Eceng gondok tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa,


aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai. Tumbuhan
ini dapat beradaptasi dengan perubahan yang ekstrem dari ketinggian air, arus
air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun
dalam air. Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh
air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen,
fosfat dan potasium (Laporan FAO). Kandungan garam dapat menghambat
pertumbuhan eceng gondok seperti yang terjadi pada danau-danau di daerah
pantai Afrika Barat, di mana eceng gondok akan bertambah sepanjang musim
hujan dan berkurang saat kandungan garam naik pada musim kemarau.

Ikan di sungai yang memiliki eceng gondok sangat leluasa bertelur dan
menjadikannya rumah tempat bersarang. Tidak heran ikan dapat berkembang
biak dengan mudah pada eceng gondok tersebut. Meski merupakan keluarga
tanaman, Eceng Gondok juga dapat menjadi pupuk organik bagi tanaman
lainnya. Caranya dengan menghancurkan Eceng Gondok, kemudian dicampur
bersama decomposer. Lalu lakukan proses fermentasi. Pupuk ini dapat dipakai
untuk menyuburkan sayuran dan buah – buahan.

Yang paling menakjubkan adalah Eceng Gondok memiliki manfaat untuk


menyembuhkan beberapa penyaakit. Di antaranya radang tenggorokan,
gangguan saluran buang air kecil, dan penyakit kulit. Caranya untuk
mengobali radang tenggorokan dan saluran buang air kecil adalah dengan
merebus tanaman Eceng Gondok. Dengan air kemudian minum airnya.

13
Sedangkan untuk menyembuhkan penyakit kulit caranya dengan hancurkan
terlebih dulu Eceng Gondok, beri sedikit garam, letakan pada bagian kulit
yang sakit seperti bisul.

Meski eceng gondok memiliki banyak manfaat dan kegunaan, eceng


gondok juga memiliki Efek negative untuk alam sekitar dari tumbuhnya
tanaman Eceng Gondonk di antaranya:

a. Menyumbat saluran air


Rata – rata air danau dan rawa dialirkan kembali ke bagian lain
seperti sungai. Dan air memang sangat dibutuhkan oleh sawah.
Tanaman Eceng Gondok yang tumbuh liar dan tidar terkontrol
memang dapat menyumbat saluran air.
b. Merusak kapal
Ada banyak masyarakat Indonesia yang masih menggunakan kapal
sebagai kendaraan. Eceng Gondok kerap menjadi penyebab kapal
– kapal tersebut mengalami mogok. Untuk kapal yang beremesin
Eceng Gondok dapat merusak mesin karena mudah menyangkut
dalam mesin. Sedangkan untuk perahu biasa, perahu akan sulit
berjalan karena terhalang tanaman ini.
c. Menjadi sampah
Eceng Gondok yang mati akan turun ke dasar rawa atau danau.
Dan ini menjadi penumpukan sampah di dasara rawa dan danau.
d. Mematikan pertumbuhan di dalam air
Banyak ikan yang mati dan air yang tercemar akibat tumbuhnya
tanaman Eceng Gondok. Eceng Gondok menghalangi cahaya
matahari masik ke dalam air. Sehingga kandungan oksigen dalam
air terhambat.
e. Menjadi sarang penyakit

14
Eceng Gondok yang tumbuh liar memang menjadi sarang
penyakit. Tidak sedikit bakteri ataupun hewan bervirus yang
tumbuh di tumpukan Eceng Gondok dan menyebabkan beberapa
penyakit timbul dan menghampiri warga sekitar.
3. Belimbing wuluh
Klasifikasi Belimbing Wuluh:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Geraiales

Famili : Oxalidaceae

Genus : Averrhoa

Spesies : Averrhoa bilimbi L.

15
Sumber : Tribunnews.com 2017

Belimbing wuluh di Indonesia dikenal dengan pohon buah yang mudah


tumbuh, dan terkadang tumbuh liar pada tempat yang tidak ternaungi dan
cukup lembab. Belimbing wuluh dikenal juga dengan nama belimbing sayur,
karena sering dimanfaatkan untuk bumbu masak sayur. Selain untuk bumbu
masak, belimbing wuluh juga dimanfaatkan untuk obat tradisional, jus dan
campuran ramuan jamu.

Belimbing wuluh dikenal dengan nama yang berbeda-beda di tiap negara,


seprti bimbling plum, bliblin (creole), blimbi, cucumber tree, tree sorrel
(English), kamias (Filipino), blimblim, blinblin, carambolier bilimbi zibeline
blonde (French), belimbing asam, belimbing wuluh (Indonesia), tralong tong
(Khmer), belimbing asam, belimbing buloh (Malay), grosella china, mimbro,
vinagrillo (Spanish) dan kaling pring, taling pling (Thai).

Sumber genetik dari keankekaragaman belimbing wuluh diduga terdapat


di Malaysia. Dikenal 2 macam belimbing, yaitu belimbing yang buahnya
manis disebut belimbing manis (carambola) dan belimbing yang rasanya asam
yang biasa disebut belimbing wuluh. Kedua jenis belimbing tersebut sudah
lama berkembang di Indonesia sehingga dianggap sebagai tanaman asli
Indonesia. setelah berkembang di Indonesia, tanaman belimbing menyebar ke
philiphina dan Negara lainnya yang berada disekitar asia tenggara, lalu
menyebar keseluruh dunia (Purwaningsih. 2016:6-7).

Berikut ini adalah beberapa manfaat belimbing wuluh bagi tubuh:

a. Meredakan batuk dan pilek, Apabila Anda batuk maka tambahkanlah


ekstrak buah belimbing wuluh ke sirup obat batuk yang hendak Anda
minum. Kandungan di dalam belimbing wuluh bisa meredakan batuk
dan pilek yang sedang Anda alami. Selain itu, rasa asam pada

16
belimbing wuluh bisa membuat sirup obat batuk Anda terasa lebih
menyegarkan.
b. Meredakan demam dan flu, Cuaca yang tidak mendukung sering kali
membuat tubuh mudah terserang demam dan flu. Hal ini akan lebih
rentan bila daya tahan tubuh Anda sedang lemah. Jika Anda terkena
demam gunakanlah belimbing wuluh. Manfaat belimbing wuluh bisa
digunakan untuk meredakan demam dan flu. Kandungan vitamin C
yang melimpah pada belimbing wuluh akan meningkatkan sistem
kekebalan tubuh Anda. Rebuslah buah belimbing wuluh lalu
konsumsilah air rebusan belimbing wuluh.
c. Mengatasi alergi, Tidak sedikit orang yang menderita hipersensitivitas
atau alergi. Alergi yang dimiliki oleh orang-orang tidaklah sama. Ada
yang alergi makanan tertentu, obat tertentu, udara atau debu, dan
lainnya. Gangguan alergi ini dikarenakan adanya masalah pada sistem
kekebalan tubuh terhadap zat tertentu. Bagi Anda yang terindikasi
memiliki alergi secara medis maka konsumsilah jus buah belimbing
wuluh secara teratur. Ini dapat mengurangi alergi yang Anda miliki.
d. Mengobati infeksi akibat gigitan serangga, Belimbing wuluh juga
memiliki manfaat untuk melawan bakteri yang masuk melalui gigitan
serangga. Kandungan zat yang terdapat pada batang dan daun
belimbing wuluh bersifat antibiotik yang bisa mengatasi infeksi kuman
akibat gigitan serangga.
e. Mengatasi penyakit diabetes, Bagi Anda yang menderita penyakit
diabetes, Anda bisa menggunakan belimbing wuluh. Belimbing wuluh
dapat mengontrol kadar gula darah Anda. Manfaat belimbing wuluh
juga bisa menurunkan kadar gula darah. Kadar gula darah secara
berangsur bisa menjadi normal kembali dengan menggunakan
belimbing wuluh. Konsumsilah jus buah belimbing wuluh secara

17
teratur. Selain itu, Anda juga bisa mengonsumsi dalam belimbing
wuluh yang telah direbus

18
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Etnoekologi dapat diartikan sebagai upaya manusia dalam beradaptasi dengan
lingkungan, cara manusia menggunakan lingkungan, dan juga keselarasan hidup
sosial dengan lingkungan alam manusia,dan pendekatan kajian dibagi menjadi 4 yaitu
pendekatan keruangan,pendekatan ekologi,pendekatan sejarah,pendekatan sistem dan
etnoekologi tumbuhan seperti tumbuhan rambai,eceng gondok,belimbing wuluh serta
manfaatnya dan sebagai tempat tinggal hewan.
3.2.Saran
Dan diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun
penyusun dapat menerapkan etnoekologi.Diaplikasikan dalam kehidupan dalam
bentuk mengetahui tanaman obat,tumbuhan yang mampu meningkatkan taraf hidup
masyarakat dalam berbangsa dan bertanah air Agar indonesia negeri tercinta makin
jaya dan maju.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hilmanto, Rudi, 2010. Etnoekologi. Bandarlampung : Penerbit Universitas Lampung

Hilmanto, Rudi, 2010. Analisis Penelusuran dan Perekaman Teknik Pengelolaan


Lahan Untuk Standardisasi Kegiatan Produksi Komoditas Agroforestri Lokal.

Hudayana, Bambang, 2013. Elnoekologi. Dari http://biolog-


indonesia.blogspot.com/2013/06/etno-ekologi.html?m=1 (Diakses pada 17 September
2019)

Jumiarti, Ode. 2017. Jurnal Eksplorasi Jenis Dan Pemanfa Atan Tumbuhan Obat Pada
Masyarakat Suku Muna Di Permukiman Kota Wuna

Susanto, Denny, 2011. Mangrove Rusak, Bekantan Terdesak. Dari Tribunnews.com


(Diakses pada 17 September 2019)

Effendi, Ridwan, 2006. Bahan Belajar Mandiri 6: Interaksi Manusia dan


Lingkungan. Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi (PLSBT). Dari
http://file.upi.edu/BBM.pdf. (Diakses pada 17 September 2019)

Zoer’aini Djamal Irwan. 1992. Prinsip‐Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem


Komunitas dan Lingkungan.  Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Clifford Geertz. 1976. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di


Indonesia.  Diterjemahkan oleh S. Supomo. Jakarta: Penerbit Bhratara K.A.

20

Anda mungkin juga menyukai