Anda di halaman 1dari 36

BIOTEKNOLOGI

(IPA S119704)

EKOLOGI LINGKUNGAN

DOSEN PENGAMPU:

Luh Mitha Priyanka, S.Pd., M.Pd.

OLEH :

KELOMPOK 2

I Nyoman Wahyu Supartama (1913071027)

Deri Fenina Br Sinuraya (1913071031)

Anastasia Naomi Fina Stevin Gultom (1913071023)

I Gusti Ayu Putu Wicitradari (1913071043)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN IPA

JURUSAN FISIKA DAN PENGAJARAN IPA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

SINGARAJA

2022

i
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nyalah kami dapat menyusun makalah “Ekologi Lingkungan”
dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk menunjang pembelajaran mata
kuliah Bioteknologi. Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik karena adanya
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Luh Mitha Priyanka, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah
Bioteknologi yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Orang tua yang telah memberikan doa dan dukungan untuk kesuksesan
kami.
3. Rekan-rekan yang telah memberikan dukungan, serta semua pihak yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Tentunya, penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena
itu, segala saran dan kritik yang membangun penulis harapkan sehingga makalah
“Ekologi Lingkungan” ini dapat disempurnakan pada kesempatan selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat memberi edukasi bagi pembaca.

Singaraja, 22 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
PRAKATA ........................................................................................................ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................1
1.3 Tujuan...........................................................................................................2
1.4 Manfaat.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Konsep Ekologi Lingkungan....................................................4
2.2 Definisi dan Konsep Interaksi Mikrobial......................................................5
2.3 Hubungan Interaksi Mikroba dengan Tumbuhan.........................................6
2.4 Hubungan Interaksi Mikroba dengan Hewan...............................................8
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan.......................................................................................................21
3.2 Saran..............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. …….4

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi dan lingkungan mempelajari secara mendalam dan membawa
perspektif luas tentang subjek berbagai masalah terkait lingkungan dan
ekologi yang menyangkut kesehatan dan keanekaragaman hayati. Ekologi
sendiri diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk
hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam
ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai satu kesatuan atau sistem dengan
lingkungannya yang juga ekologi berhubungan erat dengan tingkatan-
tingkatan organisasi makhluk hidup yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem
yang saling memengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan
kesatuan. Hubungan manusia dengan alam saling keterkaitan, dari alamiah
manusia mendapat penghidupan dan tanpa dukungan dari alam manusia dan
makhluk lainnya akan terancam. Ekologi dapat diterapkan dalam berbagai
aspek, seperti ekologi manusia, ekologi tumbuhan, ekologi hewan, ekologi
perairan, ekologi habitat, ekologi populasi, ekologi sosial, ekologi bahasa,
dan ekologi antariksa.
Lingkungan adalah sistem kehidupan yang merupakan kesatuan ruang
dengan segenap benda, keadaan, daya dan makhluk hidup termasuk manusia
dengan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU Nomor 23 Tahun
1997). Lingkungan memiliki peran penting bagi manusia. Dengan lingkungan
fisik, manusia dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan
materialnya. Dengan lingkungan biologi, manusia dapat memenuhi kebutuhan
jasmaninya. Untuk lebih mengetahui lebih mendalam mengenai ekologi
lingkungan dan interaksi mikrobial antara tumbuhan dan hewan, maka dalam
makalah ini akan membahas mengenai “Ekologi Lingkungan” yaitu ekologi
lingkungan, interaksi mikrobial, hubungan interaksi mikroba dengan
tumbuhan dan hewan.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang makalah diatas, beberapa rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi dan konsep ekologi lingkungan?
2. Bagaimana definisi dan konsep interaksi mikrobial?
3. Bagaimana hubungan interaksi mikroba dengan tumbuhan?
4. Bagaimana hubungan interaksi mikroba dengan hewan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk menjelaskan definisi dan konsep ekologi lingkungan.
2. Untuk menjelaskan definisi dan konsep interaksi mikrobial.
3. Untuk menjelaskan hubungan interaksi mikroba dengan tumbuhan.
4. Untuk menjelaskan hubungan interaksi mikroba dengan hewan.
1.4 Manfaat
Adapun beberapa manfaat yang diharapkan penulis yaitu :
1.4.1 Bagi Penulis
Sebagai latihan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan penulis dalam membuat karya tulis, khususnya
pembuatan makalah. Selain itu, sebagai bekal wawasan mengenai
materi ekologi lingkungan, interaksi mikrobial, hubungan interaksi
mikroba dengan tumbuhan dan hewan.
1.4.2 Bagi Pembaca
Sebagai referensi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
berkaitan dengan materi ekologi lingkungan, interaksi mikrobial,
hubungan interaksi mikroba dengan tumbuhan dan hewan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Konsep Ekologi Lingkungan


Secara etimologi, kata ekologi berasal dari oikos (rumah tangga) dan
logos (ilmu) yang diperkenankan pertama kali dalam biologi oleh seorang
biolog Jerman, Ernst Hackel. Ekologi merupakan dasar pokok ilmu
lingkungan. Ilmu lingkungan merupakan ekologi terapan. Ekologi adalah
ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungan
lainnya.
Berikut adalah pendapat beberapa ahli mengenai ekologi.
a. Ernst Haeckel (1866)
Ekologi adalah ilmu pengetahuan komprehensif tentang hubungan
organisme terhadap lingkungan hidupnya.
b. E. P. Odum (1963)
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang struktur dan fungsi
alam “The study of the structure and function of nature”.
c. C. J. Krebs (1972)
Ekologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
interaksi yang menentukan distribusi dan kelimpahan organisme.
d. G. Tyler Miller (1975)
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme dengan organisme lain serta lingkungannya.
e. Charles Elton (1927)
Ekologi adalah ilmu yang mengkaji kehidupan alam secara ilmiah atau
secara singkatnya ekologi adalah ilmu yang mempelajari sejarah alam
“Scientific natural history”.
f. Resosoedarmo
Ekologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
g. Otto Soemarwotto
Ekologi sebagai ilmu tentang interaksi timbal balik antara makhluk hidup
dengan lingkungan sekitarnya.

3
h. Andrewartha
Ekologi adalah cabang ilmu yang membahas penyebab serta kelimpahan
organisme.
i. Pianka (1998)
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme
dan seluruh faktor fisik dan biologis yang saling berpengaruh dan
memengaruhi.
j. Lynn Margulis
Ekologi sama halnya dengan studi ekonomi, yakni tentang bagaimana
manusia dapat membuat kehidupan. Sehingga ekologi adalah bagaimana
setiap organisme dapat membuat kehidupan.
Ruang lingkup ekologi pada dasarnya terbatas pada beberapa hal,
misalnya seperti individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer.
1. Individu
Individu merupakan satuan organisme dari setiap jenis atau spesies
tertentu pada suatu lingkungan. Contohnya adalah seorang manusia, seekor
kerbau, seekor katak, dan sebagainya.
2. Populasi
Populasi adalah suatu kelompok dari individu-individu sejenis yang berada
di suatu tempat tertentu pada waktu tertentu. Contohnya adalah populasi
manusia, populasi burung, populasi rumput, dan lain-lain.
3. Komunitas
Komunitas adalah suatu kelompok makhluk hidup yang terdiri atas
beberapa populasi dan saling melakukan interaksi antara satu dengan yang
lainnya pada suatu tempat dan waktu tertentu. Contohnya adalah
komunitas padang rumput terdapat populasi rumput, populasi jangkrik,
populasi ular, dan lainnya.
4. Ekosistem
Ekosistem adalah suatu kondisi terjadinya hubungan timbal baik dan
hubungan saling ketergantungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Contohnya seperti ekosistem air laut dan ekosistem sawah.

4
5. Biosfer
Biosfer adalah tingkatan organisasi biologi yang paling besar dan di
dalamnya terdapat semua kehidupan yang ada di bumi. Dalam biosfer
terdapat pula interaksi antara lingkungan fisik secara keseluruhan.
Adapun ilmu lingkungan dapat diartikan sebagai ilmu ekologi yang
menerapkan berbagai azas dan konsepnya kepada masalah yang lebih luas,
yang menyangkut hubungan manusi dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan
mengintegrasikan berbagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara jasad hidup, termasuk manusia, dengan lingkungannya.
Lingkungan dibagi menjadi dua jenis, yaitu lingkungan internal dan
lingkungan eksternal. Lingkungan internal merupakan lingkungan dalam dari
organisme multiseluler, sedangkan lingkungan eksternal merupakan
lingkungan luar dari organisme. Lingkungan internal relatif lebih stabil
dibandingkan dengan lingkungan eksternal, namun lingkungan internal dapat
terganggu oleh adanya infeksi, serangan, gangguan, dan lain-lain dari
lingkungan luar. Homeostasis adalah cara yang digunakan oleh organisme
untuk menjaga lingkungan internal dari organisme pengganggu tersebut agar
organisme dapat terus bertahan.
Ekologi lingkungan merupakan suatu kajian yang membahas tentang
organisme atau makhluk hidup dalam suatu ekosistem. Setiap organisme
hidup pada suatu habitat dalam suatu lingkungan. Adapun lingkungan sekitar
organisme tersebut dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu lingkungan
biotik dan lingkungan abiotik. Apsek biotik adalah makhluk hidup yang
terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Sedangkan aspek
abiotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi. Ekologi juga
berkaitan erat dengan tahapan-tahapan sistem makhluk hidup, yaitu populasi,
komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu
sistem yang berupa kesatuan.

5
2.2 Definisi dan Konsep Interaksi Mikrobial
Dalam suatu lingkungan yang kompleks terdapat berbagai macam
organisme, aktivitas metabolisme suatu organisme akan berpengaruh
terhadap lingkungannya. Mikroorganisme seperti halnya organisme lain yang
berada dalam lingkungan yang komplek senantiasa berhubungan baik dengan
pengaruh faktor abiotik dan pengaruh faktor biotik. Kecil kemungkinan di
alam terdapat suatu jenis mikroorganisme yang hidup secara individual.
Mikroorganisme umumnya hidup dalam bentuk asosiasi membentuk suatu
konsorsium laksana suatu “Orkestra” yang satu dengan lainnya bekerja sama.
Hubungan mikroorganisme dapat terjadi baik dengan sesama
mikroorganisme, dengan hewan dan tumbuhan. Hubungan ini membentuk
suatu pola interaksi yang spesifik yang dikenal dengan simbiosis (sym =
bersama, bios = hidup) Interaksi antar mikroorganisme yang menempati
suatu habitat yang sama akan memberikan pengaruh positif (saling
menguntungkan), pengaruh negatif (saling merugikan) dan netral (tidak ada
pengaruh yang berarti). Interaksi yang “netral” sebenarnya jarang terjadi
hanya dapat terjadi dalam keadaan dorman seperti endospora.
Jumlah populasi mikroorganisme dalam suatu komunitas agar mencapai
jumlah yang optimal, maka mikroorganisme berinteraksi dan mempengaruhi
organisme lain. Mikroorganisme harus berkompetisi dengan organisme lain
dalam memperoleh nutrisi dari lingkungannya, sehingga dapat terus “lulus
hidup” dan dapat berkembangbiak dengan sukses.
1. Komensalisme
Interaksi antara mikroorganisme dengan organisme lain dimana satu
jenis dapat diuntungkan dan jenis lain tidak dirugikan, hubungan interaksi
semacam ini disebut komensalisme atau metabiosis. Interaksi bentuk
komensalisme antar mikroorganisme biasanya berhubungan dalam proses
metabolisme, satu jenis mikroorganisme memberikan kondisi yang cocok
untuk pertumbuhan mikroorganisme lain. Sebagai contoh dalam saluran
pencernaan manusia mikroorganisme anaerob obligat merupakan

6
mikroorganisme yang berlimpah dan tumbuh dengan optimal. Bakteri
asam asetat dan khamir terjadi hubungan komensalisme selama proses
fermentasi asam asetat, dimana sel khamir menyediakan substrat alkohol
bagi pertumbuhan bakteri asam asetat.
2. Mutualisme
Interaksi antar mikroorganisme dapat saling menguntungkan, interaksi
semacam ini disebut mutualisme. Hubungan interaksi mutualisme dapat
terjadi antar mikroorganisme yang berkerjasama dalam proses
metabolisme. Biasanya satu jenis mikroorganisme menyediakan nutrisi
bagi mikroorganisme lain begitupula sebaliknya. Contohnya:
Streptococcus faecalis dan Lactobacillus arabinosis yang bisanya tidak
dapat tumbuh pada medium tanpa glukosa. S. faecalis membutuhkan asam
folat yang dihasilkan oleh L. arabinosus sebaliknya L. arabinosus
membutuhkan fenilalanin yang dihasilkan oleh S. faecalis. Contoh lain
antara bakteri Escherichia coli dan Proteus vulgaris, dimana E.coli
menghidroslisis laktosa bagi Proteus vulgaris, sementara itu P. vulgaris
menguraikan urea yang melepaskan sumber Nitrogen bagi pertumbuhan
E.coli.
3. Antagonisme
Hubungan antara mikroorganisme dengan organisme lain yang saling
menekan pertumbuhannya disebut antagonisme. Bentuk interaksi ini
merupakan suatu hubungan asosial. Biasanya spesies yang satu
menghasilkan suatu senyawa kimia yang dapat meracuni spesies lain yang
menyebabkan pertumbuhan spesies lain tersebut terganggu. Senyawa
kimia yang dihasilkan dapat berupa metabolit sekunder. Contoh dari
antagonisme antara lain Streptococcus lactis dengan Bacillus subtilis.
Pertumbuhan B. subtilis akan terhambat karena asam laktat yang
dihasilkan oleh S. lactis. Interaksi antagonisme disebut juga antibiois.
Bentuk lain dari interaksi antagonisme di alam dapat berupa kompetisi,
parasitisme, amensalaisme dan predasi. Biasanya bentuk interaksi ini
muncul karena ada beberapa jenis miktororganisme yang menempati ruang
dan waktu yang sama, sehingga mereka harus memperebutkan nutrisi

7
untuk tetap dapat tumbuh dan berkembangbiak. Akhirnya dari interaksi
semacam ini memberikan efek beberapa mikroorganisme tumbuh dengan
optimal, sementara mikroorganisme lain tertekan pertumbuhannnya.
2.3 Hubungan Interaksi Mikroba dengan Tumbuhan
Contoh hubungan interaksi mikroba dengan tumbuhan dapat terjadi
sebagai berikut.
2.3.1 Simbiosis Bakteri dengan Tumbuhan

Gambar 1. bintil-bitil akar pada tanaman kacang-kacangan


Sumber : simdos.unud.ac.id
Simbiosis di antara bakteri Rhizobium dengan akar kacang-
kacangan dibahas dalam ilmu tersendiri yang dinamakan Rhizobiologi.
Simbiosis ini merupakan simbiosis yang sudah menjadi suatu bisnis
tersendiri, sehingga berbagai inokulan (preparat hidup bakteri
Rhizobium) banyak diperdagangkan, terutama hasil industri-
bioteknologi di Amerika Serikat.
Dalam simbiosis ini terdapat tahap-tahap pembentukan nodul.
Tahap-tahap dalam infeksi dan perkembangan nodul akar, saat ini sudah
diketahui dengan baik, yaitu:
a. Pengenalan pasangan yang sesuai pada tumbuhan dan bakteri serta
penempelan bakteri terhadap akar tumbuhan di sekitar bulu-bulu
akar kacang-kacangan terkumpul sejumlah besar bakteri Rhizobium
baik secara alami (misal pada ladang kacang-kacangan) ataupun
secara buatan (penambahan inokulan). Akibat terkumpulnya bakteri

8
tersebut, bulu akar akan mengeluarkan triftopan, yang oleh bakteri
diubah menjadi indol asetat. Kehadiran indol asetat menyebabkan
bulu akar menjadi berkerut dan bakteri juga menghasilkan enzim
yang dapat melarutkan senyawa pektat yang terdapat di dalam fibril
(selulosa) kulit bulu akar, sehingga bakteri dapat menempel pada
buluh akar.
b. Invasi bakteri ke dalam buluh akar dan terjadi ancaman infeksi.
Akibat adanya larutan pektat, bakteri Rhizobium kemudian berubah
menjadi bulat dan kecil-kecil serta dapat bergerak. Senyawa pektat
dapat berikatan dengan selulosa, sehingga dinding bulu akar menjadi
tipis hingga dapat ditembus oleh bakteri Rhizobium.
c. Berjalan sepanjang akar utama melalui tempat infeksi.
d. Pembentukan bakteroid (sel bakteri perusak) dalam sel tumbuhan
dan terjadi perkembangan ke keadaan penambatan-nitrogen Di
dalam bulu akar bakteri memperbanyak diri, kemudian memasuki
bagian akar dengan membentuk benanginfeksi, hingga koloni bakteri
didapatkan pada setiap sel akar.
e. Berlangsungnya pembelahan bakteri dan sel tumbuhan, maka
terbentuk nodul akar.
Penambatan/fiksasi nitrogen udara oleh bakteri Rhizobium cukup
penting di dalam bidang pertanian. Rata-rata nitrogen yang terikat (kg)
per hektar luas per tahun cukup tinggi, terutama untuk tanaman seperti
semanggi (Trifolium spp.). Lupin (Lupinus sp.), dan kacang kedele
(Glycine max). Sehingga tidak mengherankan kalau di dalam sistem
pertanian modern yang banyak dilakukan di Eropa dan Amerika,
penggunaan kacang-kacangan sebagai pupuk hijau banyak dilakukan
mengingat hasilnya yang cukup baik. Hal ini dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu:
- Penambahan nitrogen ke dalam tanah secara biologi.
- Mempertahankan sifat fisik tanah dengan banyaknya jatuhan daun
dan batang kacang-kacangan yang ditanam.

9
- Beberapa jenis Rhizobium mempunyai kemampuan pula untuk
mengurai residu pestisida sehingga menjadi senyawa yang tidak
berbahaya, hal ini dapat digunakan sebagai cara biologis di dalam
pengendalian pencemaran tanah pertanian.
- Daun kacang-kacangan selain untuk pupuk hijau juga merupakan
makanan ternak berkualitas tinggi, terutama kandungan protein dan
vitamin.
- Buah kacang-kacangan tertentu, dapat dijadikan sumber protein.
2.3.2 Simbiosis Fungsi dengan Tumbuhan
Mikoriza (Yunani = “Mycorrhizae”) memiliki arti “fungi akar” dan
berkaitan dengan bentuk hubungan simbiotik antara fungi dengan akar
tanaman, yang pertama kali ditemukan oleh Albert Bernhard Frank,
pada tahun 1885. Sebagian besar akar tumbuhan darat kemungkinan
berupa Mikoriza. Mikroorganisme ini memberikan kontribusi dan
fungsi pada lingkungan pertanian dan pengolahan lahan. Pada akar
tanaman kira-kira 80% dari jaringan pembuluh tanaman susah
berasosiasi dengan Mikoriza. Ada dua kelompok utama asosiasi
Mikoriza yaitu:
a. Ektomikoriza

Gambar 2. Thelophora terrestris


Sumber : first-nature.com
Ektomikoriza pada umumnya ditemukan pada daerah yang
agak dingin (beriklim sedang), berasosiasi dengan tanaman khusus
dan semak-semak. Contohnya, pohon cemara, oak, dan paling

10
banyak tumbuh pada hutan temperata. Selain itu, tanaman yang
tumbuh pada kondisi dingin biasanya mengandung Ektomikoriza,
yang terdiri dari komponen fungi dengan Basidiomycetes,
Ascomycetes atau Zygomycetes.
Ektomikoriza tumbuh pada sekitar akar tanaman, terutama
pada ujung akar, selanjutnya terjadi penetrasi fungi ke bagian
kortek, yang umumnya dijumpai pada jenis kayu cemara atau
tanaman berdaun jarum. Jenis fungi ini adalah Thelophora
terrestris. Meskipun demikian terdapat hubungan yang terbuka
antara fungi dengan akar. Sebagai contoh, suatu spesies tunggal
pinus dapat membentuk Mikoriza dengan lebih dari 40 spesies
fungi.
Lebih dari 5000 spesies fungi Basidiomycetes, banyak di
antaranya yang membentuk Ektomikoriza. Miselium secara luas
memanjang ke luar sel dan meningkatkan nutrisi tumbuhan. Salah
satu fungi yang terpenting pada Ektomikoriza adalah Pisolitus
tinctorius. Bila fungi ini diinokulasikan ke dalam akar tumbuhan,
pertumbuhannya menjadi lebih cepat, dibandingkan dengan
tumbuhan yang tidak diinokulasi fungi tersebut.
b. Endomikoriza
Endomikoriza merupakan suatu fungi yang biasanya tidak
dapat berkembang tanpa tumbuhan inangnya, dan biasanya fungi
ini berasal dari kelompok Zygomycetes. Ini merupakan hubungan
hifa pada fungi yang masuk ke sel kortek tanaman, kemudian
tumbuh dalam sel/intraseluler dan membentuk gumpalan (lilitan),
sehingga membentuk pembengkakan. Mikoriza endotrofi dijumpai
pada tanaman gandum, jagung, buncis, jeruk dan tanaman
komersial lain serta jenis rumput-rumputan tertentu.
Terdapat bukti bahwa, pada lingkungan tumbuhan, Mikoriza
dapat meningkatkan persaingan antar tubmbuhan tersebut. Pada
lingkungan yang basah Mikoriza dapat meningkatkan nutrisi,
khususnya ketersediaan fosfat. Sedangkan pada daerah yang

11
kering/gersang, Mikoriza membantu dalam pengambilan air,
peningkatan transpirasi, dibandingkan dengan tanpa adanya
Mikoriza pada tumbuhan. Hal ini tentunya akan memberikan
manfaat dalam penggantian energi yang diperlukan untuk
fotosintesis tumbuhan.
2.3.3 Hubungan antara Inang Parasit
Dalam hal ini tubuh manusia ataupun hewan dapat dikatakan secara
terus menerus bersentuhan dengan mikroorganisme. Terdapat sekitar
triliunan sel bakteri yang ada di dalam ataupun pada permukaan tubuh
manusia dan sebagian besar memberikan keuntungan, bahkan terkadang
sangat dibutuhkan. Peranannya dalam kesehatan menyeluruh dari
seseorang. Mikroorganisme ini secara bersama-sama berhubungan
sebagai flora normal dan mewakili jenis mikroorganisme yang
memberikan suatu hubungan yang baik dengan jaringan tertentu dari
tubuh hewan.
Flora normal tersebut dapat menghuni pada berbagai jaringan atau
organ pada tubuh manusia atau hewan, seperti pada rongga mulut,
lambung, usus, pada saluran reproduksi, saluran pernafasan dll. Jumlah
dan keanekaragaman flora normal pada setiap jaringan dan organ tubuh
berbeda-beda tergantung pada kemapuan jenis mikroorganisme untuk
tumbuh dan melakukan kolonisasi pada organ tersebut. Apabila
keadaan flora normal dalam tubuh meningkat jumlahnya dan
menyebabkan infeksi pada tubuh yang disebut sebagai patogen
opurtunis.
Suatu parasit merupakan organisme yang hidup pada permukaan
atau dalam suatu organisme kedua, yang disebut sebagai inang.
Interaksi yang membentuk hubungan inang-parasit adalah kompleks.
Ketika suatu parasit mencoba untuk menyebabkan infeksi, inang
merespon dengan menggerakkan suatu kesatuan perlawanan dari
mekanisme pertahanan. Kemampuan mencegah penyakit yang akan
memasuki mekanisme pertahanan disebut resistensi atau kekebalan.

12
Suatu keadaan dimana tubuh tanpa melakukan mekanisme pertahanan
disebut sebagai kerentanan.
Resistensi inang terhadap masuknya parasit dipisahkan menjadi
dua tipe yaitu, resistensi non-spesifik dan resistensi spesifik. Resistensi
nonspesifik atau alami merupakan resistensi yang termasuk mekanisme
pertahanan alami yang melindungi inang dari bermacam parasit tanpa
menghiraukan apakah tubuh menghadapi tipe parasit sebelumnya atau
tidak. Resistensi spesifik atau disebut kekebalan merupakan mekanisme
pertahanan yang telah dikembangkan untuk merespon suatu parasit
tertentu, atau spesifik. Mekanisme pertahanan imun spesifik demikian
didapatkan inang sebagai suatu akibat dari permulaan adanya parasit.
Pada kebanyakan organisme resistensi non-spesifik merupakan hal
paling umum dan mendasar untuk pencegahan penyakit. Tumbuhan dan
sebagian besar hewan bertahan hanya dengan resistensi non-spesifik
terhadap dunia patogen potensial. Hanya hewan vertebrata yang
memiliki resistensi spesifik atau mendapatkan suatu respon imun
spesifik. Oleh karena itu, mereka lebih efisien dalam melawan infeksi.
Pertama mereka menggunakan mekanisme resistensi non-spesifik,
dengan segera tersedia, menyerang masuknya parasit, selanjutnya
mereka mengandalkan imunitas spesifik sebagai bantuan atau, pada
suatu penyakit yang terus-menerus, sebagai akhir dari resistensi.
Dalam hal ini untuk menolong inang, dilakukan suatu terapi
antimikroba, seperti penggunaan antibiotik. Pengobatan ini tidak selalu
menghancurkan parasit secara sempurna. Dalam hal kebanyakan hanya
untuk memberi kesempatan kepada inang untuk menghilangkan parasit
dengan mekanisme pertahanan inang apa saja yang dapat berhubungan
dengan parasit.
2.4 Hubungan Interaksi Mikroba dengan Hewan
Contoh hubungan interaksi mikroba dengan hewan dapat terjadi sebagai
berikut.
2.4.1 Interaksi Bakteri Bioluminesensi dengan Ikan

13
Samudera merupakan salah satu habitat dari organisme. Ada
oganisme yang hidup di permukaan samudera, dan ada yang hidup pada
kedalaman samudera. Keadaan kedalaman samudera dingin, gelap, dan
tenang. Tidak ada tumbuhan yang dapat tumbuh disana, sehingga
hewan memakan hewan lain atau tumbuhan mati dan hewan yang
tenggelam perlahan-lahan dari permukaan. Hewan yang tinggal di laut
yang dalam dilengkapi dengan organ tambahan yang unik. Organ ini
berfungsi sebagai penunjang kelangsungan hewan tersebut untuk hidup
di kedalaman laut.
Umumnya ikan yang hidup di perairan laut dalam memiliki
kemampuan menghasilkan pendaran cahaya. Cahaya yang dikeluarkan
tersebut dinamakan bioluminescens, yang umumnya bewarna biru atau
biru kehijau-hijauan. Terdapat dua sumber cahaya yang dikeluarkan
oleh ikan dan keduanya terdapat pada kulit, yaitu warna yang
dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis dengan ikan dan cahaya
yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri. Ikan-ikan yang dapat
mengeluaran cahaya umumnya tinggal di bagian laut dalam dan hanya
sedikit yang hidup diperairan dangkal. Bioluminesensi adalah emisi
cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia
tertentu.
Bakteri bioluminesensi (bakteri sumber cahaya). Bakteri bercahaya
telah ditemukan di laut, pesisir, dan lingkungan terestrial. Ada sembilan
jenis bakteri laut penghasil cahaya yaitu:  Photobacterium
phosphoreum, Photobacterium leiognathi, Alteromonas hanedai, Vibrio
logei, Vibrio fischeri, Vibrio harveyi, Vibrio splendidus, Vibrio
orientalis, dan Vibrio vulnificus.
Bakteri Terestrial adalah luminescens Photorhabdus dan Vibrio
cholerae biotipe albensis. Bakteri bercahaya terestrial terutama
ditemukan dalam hubungan simbiotik dengan nematoda bertindak
sebagai parasit untuk ulat. Jamur juga dapat menerangi malam. Jamur
bercahaya menghasilkan cahaya kontinyu (tidak berdenyut) dalam
tubuh buah dan miselium dari beberapa agarics. Contohnya

14
adalah Armillaria mellea dan Mycena spp. Hal ini diyakini bahwa
jamur bercahaya menggunakan cahaya mereka untuk menarik serangga
yang akan menyebarkan spora fungis untuk meningkatkan reproduksi.
Bakteri bercahaya adalah pemancar cahaya yang paling banyak
didistribusikan organisme dengan mayoritas yang ada dalam air laut
dan sisanya tinggal di lingkungan darat atau air tawar. Sementara
sebagian besar spesies bakteri bercahaya mampu hidup bebas, sebagian
besar ditemukan di alam terkait dalam simbiosis dengan organisme
host  yaitu: ikan, cumi, kepiting, nematoda, dll.
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan
merupakan oksidasi senyawa riboflavin fosfat (FMNH2) atau (lusiferin
bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak hingga menghasilkan emisi
cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase. Luciferase
adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua
subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β). Subunit α (~40 kDa)
disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa) disandikan
oleh gen luxB. Selain luciferase, masih terdapat beberapa enzim lain
yang terlibat dalam keseluruhan reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim
tersebut diatur oleh suatu operon yang disebut operon lux. 
2.4.1.1 Bioluminesensi pada Ikan

Gambar 3. Bioluminesensi pada Ikan


Sumber : www.kompasina.com
Cahaya yang dikeluarkan oleh mahluk hidup
dinamakan bioluminescens, yang umumnya bewarna biru atau biru
kehijau-hijauan. Terdapat dua sumber cahaya yang dikeluarkan
oleh ikan dan keduanya terdapat pada kulit, yaitu warna yang

15
dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis dengan ikan dan cahaya
yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri. Ikan-ikan yang dapat
mengeluaran cahaya umumnya tinggal di bagian laut dalam dan
hanya sedikit yang hidup diperairan dangkal. Sebagian dari
padanya bergerak ke permukaan untuk ruaya makanan.
Di laut dalam terletak antara 300 – 1000 meter
dibawah permukaan laut. Sel pada kulit ikan yang dapat
mengeluarkan cahaya disebut sel cahaya atau photophore
(photocyt). Ini biasanya terdapat pada golongan Elasmobranchii
(Sphinax, Etmopterus, Bathobathis moresbyi) dan Teleostei
(Stomiatidae, Hyctophiformes, Batrachoididae).
Cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri yang hidup
bersimbiosis dengan ikan, misalnya terdapat pada ikan-ikan dari
famili Macroridae, Gadidae, Honcentridae, Anomalopodidae,
Leiognathidae, Serranidae, dan Saccopharyngidae.
Di Laut Banda ikan leweri batu (Photoblepharon
palpebatrus) dan leweri air (Anomalops katoptron), yang keduanya
termaksud kedalam famili Anomalopodidae, mempunyai bakteri
cahaya yang terletak dibawah matanya. Kedua ikan tersebut hidup
di perairan dangkal. Anomalops mengeluarkan cahaya yang
berkedap-kedip secara teratur yang dikendalikan oleh organ cahaya
yang keluar masuk suatu kantong pigmen hitam dibawah mata.
Photoblepharon menunujukan suatu cahaya yang menyala terus,
tetapi dapat pula dipadamkan oleh suatu lipatan jaringan hitam
yang menutupi organ cahayanya.
Bakteri yang dapat mengeluarkan cahaya terdapat didalam
kantung kelenjar di epidermis. Pemantulan cahaya yang
dikeluarkan oleh bakteri diatur oleh jaringan yang berfungsi
sebagai lensa. Pada bagian yang berlawanan dengan lensa banyak
pigmen yang berfungsi sebagai pemantul. Ada juga kelenjar yang
berisi bakteri itu dikelilingi oleh sel-sel pigmen itu seluruhnya.
Pemencaran cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri diatur oleh

16
konstraksi pigmen yang berfungsi sebagai iris mata. Pada
ikan Malacochepalus (yang hidup di laut dalam), pengeluaran
cahayanya mempunyai peranan dalam pemijahan. Kekuatan
cahayanya dapat menerangi sampai sejauh 10 meter dengan
panjang gelombang 410 – 600 mμ. Pada musim pemijahan, bila
ikan jantan bertemu dengan ikan betina, maka ikan jantan
akan membimbing betinanya untuk mencari tempat yang baik
untuk berpijah. Cahaya yang dikeluarkan oleh ikan jantan
digunakan sebagai isyarat untuk diikuti oleh ikan betina. Angler
fish (Linophyrin bravibarbis) yang terdapat di dasar
laut mempunyai tentakel yang bercahaya. Diduga ikan ini
mempunyai kultur bakteri yang terdapat pada kulitnya.
Tentakel yang ujungnya mempunyai jaringan yang membesar
itu digerakan diatas kultur bakteri tersebut, sehingga bakteri yang
bercahaya terbawa oleh tentakel untuk menarik perhatian
mangsanya. Antena ikan Angler yang dapat mengeluarkan cahaya
di kegelapan merupakan peristiwa bioluminense. Bioluminesen
merupakan pancaran sinar oleh organisme sebagai hasil dari
oksidasi dari berbagai substrat dalam memproduksi enzim. Susunan
substrat yang sangat stabil disebut dengan lusiferin, dan enzim
yang sangat sensitive sebagai katalisator oksidasi disebut lusiferase.
Bioluminesen dapat diproduksi oleh bakteri, jamur, ataupun
binatang invertebrate lain. Dari sekian banyak hewan bertulang
belakang, hanya kelas Pisces yang mampu memproduksi sinar.
Ikan menghasilkan bioluminesen dengan dua cara, yaitu dihasilkan
oleh pori-pori yang bercahaya ataupun organ yang mampu
bersimbiose dengan bakteri atau organisme lain penghasil sinar.
Sehingga, cahaya yang terdapat pada antenna ikan angler
sebenarnya berasal dari organ yang bersimbiosis dengan jutaan
bakteri yang mengeluarkan cahanya sendiri.
Fungsi dari antena ikan angler yang bercahaya yaitu
digunakan untuk menaksir kedalaman laut dimana ikan tersebut

17
tinggal. Fungsi lain yaitu untuk menarik dan mengecoh perhatian
mangsanya, serta untuk menyinari ligkungan sekitarnya. Antena
bercahaya pada ikan angler juga dapat menyala atau mati, sehingga
mengecoh ikan-ikan kecil ataupun mangsa yang lain untuk
mendekat, sehingga dengan mudah ikan angler dapat menangkap
mangsanya. Organ cahaya pada ikan ialah sebagai tanda pengenal
individu ikan sejenis, untuk memikat mangsa, menerangi
lingkungan sekitarnya, mengejutkan musuh dan melarikan diri,
sebagai penyesuaian terhadap ketiadaan sinar di laut dalam dan
diduga sebagai ciri ikan beracun. Ikan angler tidak banyak
melakukan gerakan, bahkan cenderung pasif. Hal tersebut
bertujuan untuk menghemat energy dikarenakan makanan yang
tersedian di kedalaman laut sangat sedikit.
Antena yang bercahaya hanya terdapat pada antena ikan
angler betina. Ukuran ikan angler betina lebih besar dengan
panjang sekitar 8 cm, sedangkan ukuran ikan angler jantan lebih
kecil dengan panjang hanya sekitar 3 cm. sehingga yang menarik
pasangan adalah ikan betina. Antena yang berada pada ikan angler
betina berfungsi untuk menarik lawan jenis. Ikan jantan yang
berukuran lebih kecil akan menempelkan organ perekatnya pada
bagian sirip ikan betina, sehigga ikan jantan mengikuti kemanapun
ikan betina bergerak. Ikan jantan juga mendapatkan makanan dari
ikan betina. Sehingga dapat dikatakan ikan angler jantan seperti
parasit pada ikan betina, namun dari simbiose tersebut, ikan angler
jantan secara permanen menjadi pasangan serasi bagi ikan betina.
2.4.1.2 Aplikasi Bioluminesensi
1. Bidang medis
Adanya penemuan tentang bioluminesensi telah
dimanfaatkan manusia di dalam berbagai bidang, salah satunya
adalah bidang medis. Di bidang tersebut bioluminesensi
dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel kanker dalam
tubuh secara lebih cepat melalui suatu teknologi baru yang

18
disebut Bioluminescence Imaging (BLI). Dengan BLI, ukuran
dan lokasi sel kanker dalam tubuh dapat diketahui sehingga
tindakan perawatan yang tepat dapat ditentukan. Temuan ini
juga dapat mempermudah riset mengenai perawatan atau obat
kanker yang efektif dapat mengatasi penyakit tersebut karena
perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan lebih mudah.
2. Sebagai gen pelapor
Bioluminesensi juga telah dimanfaatkan sebagai gen
pelapor untuk melihat perkembangan atau ploriferasi sel punca
manusia. Penggunaan bioluminesensi sebagai gen pelapor juga
telah diaplikasikan pada tanaman transgenik hasil rekayasa
genetika. Salah satu penelitian yang telah dilakukan dengan
penggunaan gen dari kunang-kunang pada tanaman tembakau
transgenik yang diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens
untuk mengamati ekspresi dari gen yang dimasukkan ke
tanaman tembakau tersebut. Dalam bidang ekologi,
mikroorganisme penghasil luminesensi juga dapat digunakan
untuk pembuatan biosensor guna mendeteksi keberadaan
polutan tertentu dilingkungan. Salah satu contoh yang telah
diaplikasikan adalah pembuatan biosensor untuk deteksi
senyawa ekotoksik organotin.
3. Industri makanan
Dalam industri makanan, bioluminesensi yang memanfaatkan
penggunaan ATP juga telah dimanfaatkan untuk mendeteksi
mikroba patogen yang terkandung di dalam makanan.
2.4.2 Interaksi antara Rayap dengan Flora Usus

19
Gambar 4. Rayap dan flora usus
Sumber : gerutau.com

Rayap di daerah subtropik disebut dengan “semut putih


(white ants) karena memiliki morfologi yang mirip dengan semut.
Berdasarkan hubungan evolusi (filogeni), tidak ada hubungan antara
rayap dengan semut. Hubungan lebih dekat terjadi antara rayap dengan
kecoa (Blattodea) (Lo et al. 2000; Inward et al. 2007).
Rayap merupakan salah satu kelompok serangga dengan jumlah
keragaman yang besar. Rayap (Ordo Isoptera) terdiri atas tujuh family,
yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae,
Rhinotermitidae, Serritermitidae, dan Termitidae. Sampai sekarang
sudah tercatat 14 subfamili, 281 genus dan lebih dari 2600 spesies
termasuk dalam kelompok ini (Kambhampati dan Eggleton 2000).
Rayap merupakan serangga sosial yang memiliki pembagian tugas
yan jelas yang dinyatakan dalam pembagian kasta. Berdasarkan
kemampuan bereproduksi rayap dibagi menjadi dua kasta yaitu kasta
reproduktif dan kasta steril (Krishna 1969; Lee & Wood 1971).
Kasta reproduktif terdiri atas reproduktif primer dan reproduktif
sekunder. Kasta reproduktif primer (pendiri koloni) disebut laron terdiri
atas jantan (raja) dan betina (ratu). Ciri khas kasta reproduktif primer
adalah adanya sepasang sayap pada bagian toraks. Sedangkan kasta
reproduktif sekunder berfungsi menggantikan kasta reproduktif apabila
raja dan ratu mati atau untuk menambah jumlah telur apabila telur yang
dihasilkan oleh ratu tidak mencukupi kebutuhan koloni (Krishna 1969).

20
Kasta steril terdiri atas pekerja dan prajurit. Ciri dari kasta ini
adalah tidak adanya sayap dan perkembangan organ seksual ditekan
atau tidak berkembang. Pekerja bertanggung jawab untuk mencari
makan dan memelihara telur, larva dan ratu. Larva, prajurit, dan ratu
tidak mampu untuk member makan dirinya sendiri sehingga bergantung
pada makanan yang diberikan pekerja. Jumlah pekerja mencapai 90%
dari seluruh anggota koloni. Rayap prajurit bertugas menjaga koloni
dari serangan musuh dan juga menjaga pekerja yang mencari makan di
sekitar sarang. Prajurit dibedakan dengan pekerja berdasarkan
modifikasi bagian mulut dan kepala yang mengalami kitinasi yang kuat,
biasanya terpigmentasi dan seringkali lebih besar daripada ukuran
kepala kasta yang lain (Krishna 1969).
Secara umum makanan rayap adalah semua bahan yang
mengandung selulosa. Bignell dan Eggleton (2000), membagi rayap
menjadi beberapa kelompok berdasarkan jenis makanannya. Pertama,
rayap pemakan tanah (soil feeder) yang mendapatkan makanan dari
mineral tanah. Material yang dicerna sangat heterogen, mengandung
banyak bahan organik tanah dan silica. Rayap jenis ini ditemukan pada
Apicotermitinae, Termitinae, Nasutitermitinae, dan Indotermitinae.
Kedua, rayap pemakan kayu (wood-feeder) yang mendapatkan makanan
dengan memakan kayu dan sampah berkayu, termasuk cabang mati
yang masih menempel di pohon. Hampir semua rayap tingkat rendah
adalah pemakan kayu, semua subfamily dari Termitinae kecuali
Apicotermitinae, Termitinae, dan Nasutitermitinae.
2.4.2.1 Simbiosis pada Saluran Pencernaan Rayap
Saluran pencernaan rayap terdiri atas usus depan, usus tengah,
dan usus belakang. Saluran pencernaan ini menempati sebagian
besar dari abdomen. Usus depan terdiri atas esofagus dan tembolok
yang dilengkapi dengan kelenjar saliva. Esofagus dan tembolok
memanjang pada bagian posterior atau bagian tengah dari thorak.
Kelenjar saliva mensekresikan endoglukanase dan enzim lain ke
dalam saluran pencernaan. Usus tengah merupakan bagian yang

21
berbentuk tubular yang mensekresikan suatu membrane peritrofik di
sekeliling material makanan. Usus tengah pada rayap tingkat tinggi
juga diketahui mensekresikan endoglukonase. Usus belakang
merupakan tempat bagi sebagian besar simbion (Noirot & Noirot-
Timothee 1969; Scharf & Tartar 2008).
Berdasarkan simbiosisnya dengan mikroorganisme rayap terbagi
atas dua kelompok yaitu, rayap tingkat tinggi yang bersimbiosis
dengan bakteri dan rayap tingkat rendah yang bersimbiosis dengan
bakteri dan protozoa. Rayap tingkat tinggi mempunyai sistem
pencernaan yang lebih berkembang dibandingkan rayap tingkat
rendah karena menghasilkan enzim selulase selama proses
pencernaan selulosa dalam usus belakangnya.
Rayap bersimbiosis dengan bakteri dan protozoa pada saluran
pencernaannya. Pada rayap tingkat rendah lebih banyak bersimbiosis
dengan protozoa dibandingkan dengan bakteri, sebaliknya pada
rayap tingkat tinggi lebih banyak bersimbiosis dengan bakteri
dibandingkan dengan protozoa (Krishna 1969; Bignell 2000;
Breznak 2000).
Protozoa yang bersimbiosis dengan rayap tingkat rendah
berbeda pada tiap spesies. Zootermopsis angusticollis  bersimbiosis
dengan Tricercomitis,Hexamastix, dan Trichomitopsis. Mastoterme
s darwiniensis bersimbiosis dengan Mixotricha paradoxa (Breznak
2000). Sedangkan beberapa contoh bakteri simbion pemecah
selulosa pada rayap adalah bakteri fakultatif Serratia
marcescens, Enterobacter erogens, Enterobacter cloacae,
dan Citrobacter farmeri  yang menghuni usus belakang
rayap spesies Coptotermes formosanus (famili Rhinotermitidae) dan
berperan memecah selulosa, hemiselulosa dan menambat nitrogen.
Penelitian lain mengatakan protozoa yang menghuni usus rayap
tidaklah bekerja sendirian tetapi melakukan simbiosis mutualisme
dengan sekelompok bakteri. Flagella yang dimiliki oleh protozoa
tersebut ternyata adalah sederetan sel bakteri yang tertata dengan

22
baik sehingga mirip flagella pada protozoa umumnya. Bakteri yang
menyusun flagella memberikan motilitas pada protozoa untuk
mendekati sumber makanan, sedangkan ia sendiri menerima nutrien
dari protozoa. Contoh genus bakteri ini adalah Spirochaeta dengan
Trichomonas termopsidis sebagai simbionnya.
Ada beberapa hipotesis tentang peranan bakteri yang terdapat
pada usus belakang rayap tingkat tinggi yaitu melindungi rayap dari
bakteri asing, asetogenesis, fiksasi nitrogen, methanogenesis, dan
metabolisme piruvat. Meskipun bakteri tidak melibatkan diri secara
langsung dalam proses pencernaan rayap namun bakteri ini akan
disebarkan oleh rayap pekerja kepada nimfa-nimfa baru.
Perilaku rayap yang sekali-kali mengadakan hubungan dalam
bentuk menjilat, mencium dan menggosokkan anggota tubuhnya
dengan lainnya (perilaku trofalaksis) merupakan cara rayap
menyampaikan bakteri dan protozoa berflagellata bagi individu yang
baru saja ganti kulit (ekdisis) untuk menginjeksi kembali invidu
rayap tersebut. Di samping itu, juga merupakan cara menyalurkan
makanan ke anggota koloni lainnya.
Sama seperti pada rayap tingkat tinggi, bakteri yang terdapat
dalam usus belakang rayap tingkat rendah juga mempunyai peranan
dalam proses pencernaan makanan, meskipun bakteri ini tidak
berperan utama dalam proses dekomposisisi selulosa. Protozoa yang
terdapat pada usus belakang rayap tingkat rendah merupakan protoza
flagellata. Lebih dari 400 spesies protozoa flagellata telah
diidentifikasi dalam usus belakang rayap tingkat rendah. Biomassa
mikroba ini meliputi sekitar sepertujuh sampai dengan sepertiga
berat rayap. Protozoa ini mempunyai peranan penting dalam
metabolisme selulosa dan berfungsi menguraikan selulosa dalam
proses percernaan makanannnya menghasilkan asetat sebagai
sumber energi bagi rayap.
Hasil penelitian Belitz and Waller (1998) menunjukkan bahwa
defaunasi protozoa dalam usus belakang rayap dengan menggunakan

23
oksigen murni menyebabkan kematian rayap sekitar dua sampai tiga
minggu walaupun diberi kertas saring yang mengandung selulosa.
Namun rayap ini akan hidup lebih lama dengan makanan yang sama
dengan adanya kehadiran protozoa dalam usus belakangnya. Hal ini
menunjukkan bahwa kehidupan rayap sangat tergantung pada
mikroba simbiosisnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses
penguraian selulosa dalam usus belakang rayap berlangsung dalam
keadaan anaerobik.
Beberapa bakteri yang menghuni usus rayap juga diketahui
dapat menghasilkan factor tumbuh berupa vitamin B yang dapat
digunakan oleh rayap, seperti spesies Enterobacter agglomerans,
mampu melakukan fiksasi nitrogen (Atlas % Bartha 1998). Beberapa
metanogen juga ditemukan sebagai endosimbion pada beberapa
protozoa pada serangga.

2.4.3 Interaksi Mikroba pada Rumen Ruminansia

Gambar 5. Mikroba Rumen


Sumber : doc.player.info
            Rumen atau perut besar merupakan bagian terbesar dari susunan
lambung ruminansia. Secara garis besar terdapat 3 kelompok utama

24
mikroba rumen, yaitu: bakteri, protozoa, dan jamur. Mikroorganisme di
dalam retikulo-rumen mempunyai peranan penting dalam proses
fermentasi pakan. Mikroorganisme utama yang terdapat dalam rumen
adalah bakteri, protozoa, jamur (yeast) dan kapang (mould). Proses
fermentasi oleh mikroorganisme ini pada rurninansia memegang
peranan sangat penting, karena produk akhir fermentasi yang bagi
mikroorganisme itu sendiri merupakan limbah, yakni asam lemak
terbang dan beberapa vitamin, bagi induk semang justru merupakan
sumber energi dan zat yang membantu proses pencernaan selanjutnya.
Simbiosis ini sangat menguntungkan kedua belah pihak, karena di
satu  pihak mikroorganisme memerlukan bahan organik, sehingga
hidupnya sangat menggantungkan dirinya kepada bahan pakan yang
dikonsumsi induk semang, di pihak  lain, induk semang yang tidak
mampu mencerna serat   kasar, dengan adanya mikroorganisme ini
dapat memanfaatkannya. Bahkan beberapa vitamin yang biasanya
sedikit terdapat dalam hijauan, dapat disediakan oleh mikroorganisme.
Mikroorganisme yang terdapat dalam rumen akan dijelaskan sebagai
berikut.

a. Bakteri Rumen

Gambar 6. Bakteri rumen


Sumber. Science.direction.com
Sebagian besar bakteri rumen berbentuk cocci kecil. Bakteri
rumen diklasifikasikanatas berdasarkan macam substrat yang
digunakan sebagai sumber energi utama, yakni:
1) Bakteri Selulolitik

25
Bakteri ini menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisis
ikatan glukosida, sellulosa dan dimer selobiosa. Sepanjang yang
diketahui tak satupun hewan yang mampu memproduksi enzim
selulase sehingga pencernaan selulosa sangat tergantung pada
bakteri yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan pakan.
Bakteri selulolitik akan dominan apabila makanan utama ternak
berupa serat kasar. Contoh bakteri selulolitik antara lain
adalah : Bacteriodes succinogenes, Ruminicoccus f lavefaciens.
2) Bakteri Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan struktur polisakarida yang
penting dalam dinding sel tanaman. Mikroorganisme yang dapat
menghidrolisa selulosa biasanya juga dapat menghidrolisa
hemiselulosa. Meskipun demikian ada beberapa spesies yang
dapat menghidrolisa hemiselulosa tetapi tidak dapat
menghidrolisa selulosa. Contoh bakteri hemiselulolitik antara
lain: Butyrivibrio fibriosolven, Bacteriodes ruminicola.
3) Acid Utilizer Bacteria (bakteri pemakai asam)
Beberapa janis  bakteri dalam rumen dapat menggunakan
asam laktat meskipun jenis bakteri ini umumnya tidak terdapat
dalam jumlah yang berarti. Asam oksalat yang bersifat racun
pada mamalia akan dirombak oleh bakteri rumen, sehingga
menyebabkan ternak ruminansia mampu mengkonsumsi
tanaman yang beracun bagi ternak lainnya sebagai bahan
makanan. Beberapa spesies bakteri pemakai asam laktat yang
dapat dijumpai dalam jumlah yang banyak setelah ternak
mendapatkan tambahan jumlah makanan butiran maupun pati
dengan tiba-tiba adalah : Peptostreptococcus bacterium,
Propioni bacterium.
4) Bakteri Amilolitik
Beberapa bakteri selulolitik juga dapat memfermentasi pati,
meskipun demikian beberapa jenis bakteri amilolitik tidak dapat
menggunakan memfermentasi selulosa. Bakteri amilolitik akan

26
menjadi dominan dalam jumlahnya apabila makanan
mengandung pati yang tinggi, seperti butir-butiran. Bakteri
amilolitik yang terdapat di dalam rumen antara lain: Bacteriodes
amylophilus, Butyrivibrio fibrisolvens.
5) Sugar Untilizer Bacteria (bakteri pemakai gula)
Hampir semua bakteri pemakai polisakarida dapat
memfermentasikan disakarida dan monosakarida. Tanaman
muda mengandung karbohidrat siap terfermentasi dalam
konsentrasi yang tinggi yang segera akan mengalami fermentasi
begitu sampai di retikulo-rumen. Kesemua ini merupakan salah
satu kelemahan/kerugian dari sistem pencernaan ruminansia.
Sebenarnya gula akan lebih efisien apabila dapat dicerna dan
diserap langsung di usus halus. Bakteri pemakai gula yang
terdapat di dalam rumen antara lain : Treponemma bryantii,
Lactobacillus ruminus.
6) Bakteri Proteolitik
Bakteri proteolitik merupakan jenis bakteri yang paling
banyak terdapat pada saluran pencernaan makanan mamalia
termasuk karnivora (carnivora). Didalam rumen, beberapa
spesies diketahui menggunakan asam amino sebagai sumber
utama enersi. Beberapa contoh bakteri proteolitik antara
lain: Bacteroides amylophilus, Clostridium sporogenes.
7) Bakteri Methanogenik
Sekitar 25 persen dari gas yang diproduksi di dalam rumen
adalah gas methan. Bakteri pembentuk gas methan lambat
pertumbuhannya. Contoh bakteri ini antara
lain: Methanobacterium ruminantium, Methanobacterium
formicium.
8) Bakteri Lipolitik
Beberapa spesies bakteri menggunakan glycerol dan sedikit
gula. sementara itu beberapa spesies lainnya dapat
menghidrolisa asam lemak tak jenuh dan sebagian lagi dapat

27
menetralisir asam lemak rantai panjang menjadi keton. Enzim
lipase bakteria dan protozoa sangat efektif dalam menghidrolisa
lemak dalam chloroplast. Contoh bakteri lipolitik antara
lain: Anaerovibrio lipolytica.
9) Bakteri Ureolitik
Sejumlah spesies bakteri rumen menunjukkan aktivitas
ureolitik dengan jalan menghidrolisis urea menjadi CO2 dan
amonia. Beberapa jenis bakteri ureolitik menempel pada
epithelium dan menghidrolisa urea yang masuk kedalam rumen
melalui difusi dari pembuluh darah yang terdapat pada dinding
rumen. Oleh karena itu konsentrasi urea dalam cairan rumen
selalu rendah. Salah satu contoh bakteri ureolitik ini misalnya
adalah Streptococcus sp. .
b. Protozoa Rumen
Sebagian besar protozoa yang terdapat didalam rumen adalah
cilliata dan flagellata. Cilliata adalah  mikroorganisme non
patogen dan anaerobik. Pada kondisi rumen yang normal dapat
dijumpai ciliata sebanyak 105 - 106 ml dalam rumen.
Hal ini pertama kali ditemukan oleh David Gruby dan Delafond
(1843), dan telah banyak dilakukan penelitian tentang taksonomi,
fisiologi dan nutrisi cilliata. Seperti halnya bakteri, cilliata juga
mampu memfermentasi hampir seluruh komponen  tanaman yang
terdapat didalam rumen seperti: selulosa, hemiselulosa, fruktosan,
pektin, pati, gula terlarut dan lemak. Jika dibandingkan ciliata
mempunyai peranan yang lebih baik daripada bakteri yaitu sebagai
sumber protein dengan keseimbangan kandungan asam amino
sebagai makanan ternak ruminansia. Terdapat 2 jenis yang termasuk
protozoa rumen adalah sebagai berikut.
1. Oligotricha
Jenis ini hanya sedikit sekali menggunakan gula terlarut
sebagai makananannya, akan tetapi butir-butir pati akan menjadi
sasaran utama untuk dimangsanya. Beberapa spesies juga

28
memangsa amilopektin. Namun hasil penelitian terakhir
diragukan tentang kemampuan protozoa rumen untuk dapat
mencerna selulosa. Pencernaan selulosa dapat dilakukan karena
protozoa memangsa bakteri dan bakteri inilah yang akan
menghasilkan enzim selulosa didalam tubuh protozoa sehingga
selulosa yang dimangsa dapat dicerna. Bakteri selulolitik juga
diketahui hidup secara simbiosis dengan Oligotricha didalam
selnya.
Spesies penting dari Oligotricha antara lain:
o Diplodinium dentatum
o Eudiplodinium bursa
o Polypastron multivesiculatum
o Entodinium caudatum
2. Holotricha
Karakteristik Holotricha adalah pergerakannya yang cepat dan
bentuk sel oval.  Ciliata memiliki peran penting dalam
metabolisme karbohidrat dengan menelan gula ketika masuk ke
rumen dan menyimpannya sebagai amilopektin. Amilopektin
akan dirilis ke rumen ketika Holotricha dalam fase pertumbuhan
atau dalam kondisi lisis. Mekanisme ini memiliki efek positif bagi
ternak ruminansia. Misalnya, ketika ternak beristirahat, tidak ada
lebih banyak karbohidrat dalam rumen, sehingga amilopektin
akan difermentasi. Ada beberapa spesies Holotricha seperti:
- Isotricha intestinal
- Isotricha prostoma
- Dasytricha rumiantium
Sebagian besar protozoa dengan cepat akan memangsa dan
menghidrolisis bermacam-macam protein dengan menghasilkan
amoniak berasal dari kelompok amida dan akan melepaskan
asam-asam amino serta peptida. Protozoa dapat melakukan proses
metabolisme dalam tubuh ternak ruminansia dam ruminansia gizi
dengan mencerna makanan dengan lebih mudah.

29
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Jadi dari makalah yang kami buat kami dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.

3.2 Saran
Pembaca diharapkan dapat lebih memahami mengenai ekologi lingkungan
khususnya mikroba dengan baik sehingga bermanfaat dan memberi
pengetahuan lebih dalam mengenai Bioteknologi.

30
DAFTAR PUSTAKA

U, Iswandi. 2012. Ekologi dan Ilmu Lingkungan. UNP Press: Padang.


Darmayani, S. dkk. 2021. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Penerbit Widina Bhakti Persada: Bandung.
Utina, Ramli dan Dewi Wahyuni K. Baderan. 2009. EKOLOGI dan
LINGKUNGAN HIDUP. Gorontalo.
Anggoro. (n.d). Ekologi dan Ilmu Lingkungan. Diakses melalui
https://dosen.yai.ac.id/v5/dokumen/materi/950675/ARS%20LINGK
%20PENGANTAR%201.pdf pada 23 September 2022.
Aryanti, Hani Dwi dan Sylvia Oktaviani. 2022. Konsep Dasar Ekologi
Lingkungan. Diakses melalui

31
https://www.studocu.com/id/document/ssekolah-menengah-atas-negeri-10-
fajar-harapan/financial-accounting/ekologi-lingkungan-kel-8/27464474. pada
23 September 2022.
Nugraha Budy, Buku Penuntun Praktikum Mikrobiologi & Parasitologi, Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Mitra Kencana Tasik Malaya.
Prasetyo Heru, 2005, Pengantar Praktikum Protozoologi Kedokteran, edisi 2,
Airlangga University Press.
Prasetyo Heru, 2002, Pengantar Praktikum Helmintologi Kedokteran, edisi 2,
Airlangga University Press. Preparation of blood smears, Laboratory
Identification of Parasites of Public Health Concern, CDC.
Sri Hastuti U, dkk, 2007, Penuntun Praktikum Mikrobiologi & Parasitologi,
Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Malang
Wijaya Kusuma,2018, Pemeriksaan Mikroskop Dan Tes Diagnostik Cepat Dalam
Menegakkan Diagnosis Malaria. Bagian/SMF Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.
Arcari M, Baxendine A and Bennett, 2000, Diagnosing Medical Parasites
Through Coprological Techniques, University of Southampton
Burris P , 2000, Direct fecal smears,, Veterinary Technician vol. 21 no. 4, April
2000, pp. 192- 199
Daryl B. White , Michael J. Cuomo , Lawrence B. Noel. Diagnosing Medical
Parasites: A Public Health Officers Guide to Assisting Laboratory and
Medical Officers
Hendrix CM 2002: Laboratory Procedures for Veterinary Technicians, Mosby,
Philadelphia, 2002, pp. 307-308 University of Pennsylvania

32

Anda mungkin juga menyukai