Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SUKU ACEH

Di susun oleh :
Kelompok I
1. Damayanti
2. Yulani difalana
3. Bunaiya
4. Dasrimal
5. Nurul maulida
6. Jahimi afrizal
7. Mardianti

PROGRAM STUDI SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU


POLITIK ( STISIP ) AL-WASHLIYAH BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2021-2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas anugrahnya dan rahmatnya kita mampu menyelesaikan
sebuah karya tulis yang berupa Makalah yang begitu sederhana dan salawat beserta salam tak
lupa kita anugrahkan kepada junjungan kita nabi muhammad SAW yang telah membawa
umatnya,yang dulunya berseteru sekarang menjadi satu, yang dulunya menyembah berhala,
sekarang menyembah allah ta’ala, yang dulunya biadab sekarang menjadi beradab ,dan ia
adalah seorang revolusioner sejati pembawa cahaya kebenaran yang tak tertandingi oleh
semua ilmuan dimuka bumi.
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok matakuliah pengantar antropologi pada
mahasiswa STISIP/PENDIDIKAN ANTROPOLOGI dengan judul;”SUKU ACEH”
Tidak ada manusia yang lahir sempurna,begitupun dengan makalah yang kami susun yang
lahir dengan penuh keterbatasan,dalam menyusun makalah ini kami membutuhkan bantuan
dari semua pihak baik itu berupa moril maupun materil.Akhir kata kami ucapkan terima kasih
atas perhatiannya dan kami menunggu kritik dan saran untuk kami agar mampu membuat
makalah yang lebih baik lagi kedepannya.

Banda Aceh, 19 Desember 2021

Penyusun

Kelompok I
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas
berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbeda-beda.
Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan hidup yang
berbeda-beda pula. Kebiasaan hidup itu menjadi budaya serta ciri khas suku bangsa
tertentu. Demi persatuan dan kesatuan, seharusnya kita menyadari dan menghargai
keanekaragaman tersebut sehingga dapat menjadi satu bangsa yang tangguh. Dengan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, kita jadikan keragaman suku bangsa dan budaya
sebagai salah satu modal dasar dalam pembangunan. Makalah ini akan membahas
salah satu dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, yaitu suku yang berada di
ujung pulau Sumatera,di propinsi Aceh, yakni suku Aceh.
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh
(1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah sebuah propinsi di
Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi
yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena
alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara
di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Aceh merupakan
kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.
Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali, yang terberat adalah Banda
Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue. Propinsi Aceh
memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Tamiang, Gayo, Alas, Kluet, Singkil, Pakpak,
Aneuk Jamee, Sigulai, Lekon, Devayan, Haloban dan Nias. Makalah ini akan
membahas khusus untuk suku Aceh, mulai dari letak geografis dan demografi, asal-
mula dan sejarah suku Aceh, bahasa daerah, sistem teknologi, sistem mata
pencaharian, sistem sosial, kesenian dan sistem religi.

B. Rumusan masalah
Dalam makalah ini secara garis besar rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana sejarah suku Aceh di NAD?
2. Bagaimana kebiasaan adat istiadat di suku Aceh?
3. Bagaimana kebudayaan di Aceh?
4. Bagaimana kesenian di Aceh ?

C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui suku Aceh
2. Kebudayaan yang ada di Aceh
3. Adat istiadat di Aceh
4. Kesenian di Aceh
BAB III
PEMBAHASAN

A. Geografis dan Demografi.


Aceh dibentuk oleh beberapa kelompok etnis atau suku bangsa, dengan
kelompok suku Aceh merupakan penduduk mayoritas di propinsi Daerah Istimewa
Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam. Walaupun kelompok suku ini telah menyebar
ke seluruh pelosok Aceh, namun pada kenyataannya kelompok ini mendominasi
penduduk daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh
Utara, Aceh Timur, dann Aceh Selatan. Di samping kelompok suku Aceh, terdapat
kelompok-kelompok suku yang lain seperti orang Gayo yang terpusat di dataran
Tinggi Gayo ( Aceh Tengah); orang Alas yang terpusat di dataran tinggi Alas ( Aceh
Tenggara); orang Aneuk Jamee yang terpusat di kecamatan Samadua, Labuhan Haji,
Susoh, Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat; orang Tamiang yang bermukim di
daerah Tamiang (Aceh Timur); orang Siemeulue yang terpusat di Pulau Siemeulue
dan beberapa pulau kecil lainnya di sekitarnya serta orang Kluet yang terpusat di
Aceh Selatan. Secara geografis kelompok-kelompok suku Aceh , Aneuk Jamee, dan
Tamiang bermukim di daerah pesisir; kelompok suku Gayo dan Alas mendiami
daerah pedalaman; sedangkan kelompok suku Siemeulue bermukim di daerah
kepulauan.

Selain kelompok-kelompok etnis yang merupakan penduduk asli, terdapat


beberapa kelompok etnis lain yang merupakan penduduk pendatang, antara lain orang
Batak, Jawa, Minangkabau, Ambon, dan Minahasa. Sedangkan bangsa lain yang
menetap di Aceh adalah orang Cina, yang pada umumnya bermukim di Kotamadya
Banda Aceh dan beberapa kota kabupaten lainnya. Orang-orang Cina ini membuat
daerah pemukiman sendiri, namun kehidupan sehari-hari mereka bisa membaur
dengan penduduk asli. Bahkan, diantara mereka ada yang memeluk Islam dan
melakukan perkawinan campur dengan penduduk setempat

B. Asal mula dan Sejarah Suku Aceh.

Suku bangsa ini dalam kitab Sejarah Melayu disebut Lam Muri, Marcopolo
yang singgah disana menyebutnya Lambri. Para penjelajah Portugis menyebutnya
Akhir. Para penulis asing lain menyebutnya Achinese, Achehnese, Atchinese, Achin,
Asji, A-tse, Atjeher. Dan orang aceh sendiri menyebut dirinya Ureung Aceh.
Menurut sejarah yang ditulis dalam hikayat-hikayat, nenek moyang orang Aceh
berasal dari Siam (Muangthai). Hal ini berdasarkan hikayat Aceh , bahwa raja-raja
kerajaan Peureulak merupakan keturunan raja-raja Siam. Suku bangsa Aceh
merupakan hasil pembaharuan beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku
bangsa asli di sumatera, yaitu Arab, India, Parsi, Turki, Melayu, Minangkabau, Batak,
Nias, Jawa dan lain-lain. Suku bangsa Aceh boleh berbangga karena daerah mereka
adalah pintu gerbang pertama masuknya Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke 12-
14 Masehi. Pada Zaman dulu Aceh juga menjadi tempat persinggahan jamaah Haji
Nusantara sewaktu pergi dan kembali berlayar dari Mekkah, sehingga dijuluki
Serambi Mekkah. Pada Zaman dahulu masyarakat Aceh terbagi-bagi menjadi
sejumlah kerajaan kecil, seperti Indrajaya, Indraputri, Indrapatra, Pasei, Benua, Daya,
Peureulak, Idi, Pidie, Meulaboh, Linge, dan lain-lain. Seluruh kerajan tersebut
akhirnya disatukan oleh Kesultanan Aceh Darusalam. Mereka juga terkenal sebagai
bangsa yang gigih menentang kolonialisme Belanda dalam perang yang lama dan
melelahkan.

C. Bahasa
Bahasa Aceh adalah bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini
dituturkan di Aceh, dominan di sebagian besar wilayah pesisir ujung utara Sumatera.
Bahasa Aceh memiliki hubungan erat dengan kelompok bahasa Cam di Kamboja dan
Vietnam. Bahasa Aceh termasuk rumpun bahasa Austronesia, sub rumpun bahasa
Hesperonesia. Penutur bahas ini diperkirakan berjumlah sekitar 2,5 juta jiwa yang
tersebar di lima kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Bahasa Aceh terbagi menjadi
beberapa dialek, seperti, dialek Pidie, Meulaboh, Matang, Aceh Besar, dan Tunong.
Aksara yang pernah berkembang dalam masyarakat ini adalah tuliasan Arab-Melayu
yang mereka sebut tulisan jawoi.

D. Sistem teknologi

Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe
rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama
dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi
tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya
yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

Rencong (reuncong) adalah senjata tradisional suku Aceh, bentuknya menyerupai


huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah.
Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti
siwah, geuliwang dan peudeueng.
Selain itu ada jenis senjata tradisonal yang berupa pedang yang penggunaanya
disesuaikan denga kedudukan atau status pemakainya, seperti pedang daun tebu dan
oo ngom yang biasa digunakan oleh panglima-pangliam perang , serta pedang
reudeuh unutk para prajuit kerajaan.

Pakaian tradisonal suku Aceh memiliki seperangkat pakaian adat lazim dikenakan
dalam penyelengaraan upacara-upacara adat. Pakain adat ini dibedakn atas pakaian
yang dikenakan kaum pria dan wanita. Unutk kaum pria, mereka mengenkan pakian
adapt yang terdiri atas jas dengan leher tertutup (biasa disebut jas tutup). Jenis pakian
ini tampaknya mendapat kebudayaan dari barat. Selain itu dikenakan celana panjang
(disebut cekak musang), kain sarung (pendua), kopiah (makutup), serta sebilah
rencong yang diselipkan pad bagian perut. Sedangkan unutk pakaian wanita terdiri
dari baju panjang sampai ke pinggul, celan apnjang (cekek musang), dan kain sarung
(pendua), sebagai pelengkap pakaian dikenakan beberapa perhiasan sperti, kalung
(kula), ikat punggang (pending), gelang tangan dan gelang kaki.

E. Sistem mata pencaharian

Masyarakat ini sebagian besar hidup dari mata pencaharian bertani padi di
sawah atau ladang. Sebagian ada pula yang berkebun kelapa, cegkeh, kopi, lada,
kelapa sawit dan lain-lain. Mereka yang berdiam di pesisir pantai atau sungai
umumnya bekerja sebagi nelayan. Pekerjaan-pekerjan tersebut mengunakan peralatan
sederhana seperti cangkoi (cangkul), langai (bajak yang ditarik kerbau atau sapi),
creuh (sikat untuk meratakan sawah), sadeub (sabit), dan gleem (ani-ani).

F. Sistem sosial

Bentuk kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti,
karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anknya saja.
Prinsip garis keturunannya adalah bilineal dan bilateral. Kelompok kerabat yang
paling menonjol adalah keluarga luas uksorilokal, yaitu pengelompokan keluarga di
lingkungan pihak perempuan. Karena setelah kawin anak akan tinggal beberapa bulan
di rumah orang tuanya, tapi biasanya segera akan membentuk rumah tangga sendiri
dekat lingkungan pihak istri.

Pada masa dulu masyarakat Aceh mengenal beberapa pelapisan sosial. Di antaranya
ada empat yang masih dikenal, yaitu: golongan keluarga sultan, golongan uleebalang,
golongan ulama, dan golongan rakyat jelata. Bangsawan keturunan sultan yang laki-
laki dipanggil ampon dan yang perempuan dipanggil cut. Golongan uleeblang adalah
keturunan bawahan sultan yang biasanya bergelar teuku.

Pada hakikatnya masyarakat Aceh terikat oleh tata karma atau etika yang tentunya
berlandaskan ajaran Islam. Tata krama pergaulan suku Aceh yang sampai sekarang
masih dipegang teguh adalah tidak diperboehkan memegang kepala orang lain, baik
yang usianya lebih muda apalagi yang lebih tua usianya, karena hal ini dianggap
sebagai suatu penghinaan atau menganggap rendah martabat orang lain, saling
mengucapkan salam bila bertemu atau berkunjung, bertutur kata santun dan lemah
lembut kalau berbicara dengan orang lain, terutama kepada yang lebih tua
Sebagai sarana komunikasi sosial, orang Aceh mengembangkan semacam suguhan
“kapur sirih”. Seseorang yang bertamu pertama-tama mendapat suguhan ini, baru
ditawarkan minuman. Orang Aceh juga mengembangkan nilai yang dapat
menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong-
royong.

G. Kesenian

Kesenian Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaa Islam, namun telah


dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan sosial budaya Aceh sendiri. Seni
Kaligrafi Arab banyak juga berkembang di daerah ini, seperti terlihat pada berbagai
ukiran dan pada relief masjid, rumah dan surau mereka.

Unsur kesenian yang paling menonjol dari suku Aceh adalah seni tari dan bela diri.
Beberapa jenis tarian yang terkenal adalah:

1. Tari seudati

Tari Seudati, nama tarian ini berasal dari kata Syahadat, yang berarti
saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi
Muhammad utusan Allah. Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance
atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat
pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini
sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini
diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.

2. Tari Ranup lampuan

Tari Ranub Lam Puan, yaitu tarian kehormatan dalam menyambut tamu. Tari
ini dimainkan oleh gadis-gadis dengan pakaian adat Aceh sambil
menyuguhkan “ranub” (peringkat sirih) kepada tamu.

3. Tari Saman
Saman, tari yang dibawakan dengan diiringi syair-syair berisikan ajaran-ajaran
kebajikan. Dilakukan dalam posisi duduk berbanjar, dengan irama dan gerak
tari yang dinamis. Tarian ini terdapat di Aceh tenggara, Tarian serupa tapi
tidak sama juga terdapat di Aceh Tengah dengan nama didong.

4. Rapa’i

Yaitu satu-satunya kesenian yang memakai musik semacam rebana besar.


Rapa-i dimainkan sambil berdzikir. Rapa’i Pase bentuknya lebih besar dan
ditabuh dengan tangan sambil digantung. Di Aceh barat terdapat Rapa’i
Geleng yang merupakan perpaduan antara rapa’I dengan saman.
Seni bela diri tradisional yang terkenal dari Aceh adalah pencak silat. Kesenian ini
merupakan perpaduan antara seni tari dan seni olah tubuh. Tidak saja orang laki-laki
yang boleh membawakan seni bela diri ini, juga banyak kaum wanita yang
melakukannya untuk melatih gerak dan kelenturan tubuh serta membangkitkan
keberanian. Pencak silat diajarkan sejak masa kanak-kanak dan biasanya pengajarnya
menjadi satu dengan pengajaran mengaji di surau-surau atau masjid.

H. Sistem religi

Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun demikian, di
antara mereka ada yang masih menjalankan praktek kepercayaan animisme dan
dinamisme. Ada orang–orang tertentu yang biasa mempraktekkan guna-guna atau
ilmu gaib dan kelompok masyarakat yang menjalankan beberapa uapacara tradisional
yang bukan berasal dari agama Islam, seperti kenduri blang dan kenduri laut. Kenduri
blang adalah upacara kesuburan yang biasa dilakukan setiap tahun oleh masyarakat
petani Aceh dan Gayo. Sedangkan kenduri laut atau upacars turun ke laut diadakan
oleh para nelayan Aceh dalam rangka meminta restu kepad Penguas Laut. Upacara
ini masih dapat ditemukan pada masyarakat desa Ujong Pusong dan Ujong Blang di
kabupaten Aceh Barat. Biasanya seekor kerbau, kepalanya dibuang ke laut, sedangkan
dagingnya dimasak untuk kenduri setelah upacara selesai.

Orang Aceh menganggap dirinya identik dengan Islam. Oleh sebab itu dalam
kehidupan mereka hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan agama merupakan suatu
hal yang paling sensitive, sehingga bagi masyarakat Aceh pada umumnya, yang
paling menyinggung perasaan atau dianggap sebagi penghinaan adalah kalau
seseorang disebut” kafir”. Kendati yang bersangkutan belum tentu taat beribadah atau
bahkan tidak bertingkah laku sebagai seorang muslim, namun kalau disebut kafir pasti
akan berakibat panjang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Suku Aceh adalah salah satu suku bangsa Indonesia yang merupakan penduduk
mayoritas propinsi Nangro Aceh Darussalam (Daerah Istimewa Aceh). Walaupun
kelompok suku ini telah menyebar ke seluruh pelosok Aceh, namun pada
kenyataannya kelompok ini mendominasi penduduk daerah-daerah Kotamadya
Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dann Aceh
Selatan. Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembaharuan beberapa bangsa
pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu Arab, India, Parsi,
Turki, Melayu, Minangkabau, Batak, Nias, Jawa dan lain-lain. Pada Zaman
dahulu masyarakat Aceh terbagi-bagi menjadi sejumlah kerajaan kecil, seperti
Indrajaya, Indraputri, Indrapatra, Pasei, Benua, Daya, Peureulak, Idi, Pidie,
Meulaboh, Linge, dan lain-lain. Seluruh kerajan tersebut akhirnya disatukan oleh
Kesultanan Aceh Darusalam. Mereka juga terkenal sebagai bangsa yang gigih
menentang kolonialisme Belanda dalam perang yang lama dan melelahkan.
Bahasa tradisional Aceh termasuk rumpun bahasa Austronesia, sub rumpun
bahasa Hesperonesia. Rencong merupakan senjata tradisional yang terkenal suku
Aceh. Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang fanatik dan taat. Meskipun
demikian, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktek kepercayaan
animisme dan dinamisme. Kesenian yang menonjol dari suku ini adlah bela diri
dan seni tari.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, Zulyani. 1996. Ensiklopedi: Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: PT


Pustaka LP3ES.

Tamin, Feisal. 1992. Profil Propinsi Republik Indonesia: Daerah Istimewa Aceh.
Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai