Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembelajaran berbasis etnosains merupakan pembelajaran kontekstual yang


berlandaskan pandangan konstruktivisme dengan mengutamakan pembelajaran
bermakna. Pembelajaran yang bermakna merupakan pembelajaran yang dikemas
sesuai dengan karakteristik peserta didik. Johnson (2014:64) pembelajaran yang
bermakna memungkinkan peserta didik belajar sambil mekakukan atau “ learning by
doing ”.
Learning by doing menyebabkan peserta didik mampu menghubungkan materi
pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, pengetahuan
dikonstruksi dari pengalaman-pengalaman hidup peserta didik. Pembelajaran
bermakna sesuai dengan proses pembelajaran dalam kurikulum 2013.
Etnosains merupakan pengetahuan budaya yang dimiliki suatu daerah dan
bangsa. Parris (2010) menyatakan pembelajaran berbasis etnosains sangat diperlukan
bagi peserta didik, karena akan mengajarkan sikap cinta terhadap budaya dan bangsa,
dan memperkenalkan kepada peserta didik tentang potensi-potensi sebuah daerah
sehingga lebih mengenal budaya daerahnya.
Berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu yakni; 1) Davison & Miller
(1998) tentang peserta didik Indian Amerika, hasilnya menemukan makna
pembelajaran khususnya matematika dan sains, ketika etnosains diintegrasikan dalam
pembelajaran. Peserta didik dapat memahami materi dengan baik saat dikoneksikan
dengan pengetahuan budaya. 2) Solomon dalam Baker, et.al., (1995) menyatakan
konsep-konsep sains dikembangkan di sekolah tidak berjalan mulus, karena tidak
dipengaruhi kuat oleh faktor-faktor sosial budaya, khususnya konsepsi awal dan
kegemaran peserta didik. 3) Stanley dan Brickhouse (2001) menyarankan agar sains
barat dan sains tradisional diseimbangkan dalam pembelajaran sains dengan
menggunakan pendekatan lintas budaya.

1
Kenyataannya sekarang proses pendidikan formal cendrung dipandang sebagai
proses pembelajaran yang terpisah dari proses enkulturasi dan terpisah dari konteks
suatu komunitas budaya. Pengetahuan tentang kebudayaan merupakan pengetahuan
yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat. Namun yang terjadi pengetahuan
tentang kebudayaan sudah terkikis dan tergantikan oleh pengetahuan budaya asing
yang sama sekali tidak dipahami. Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka kepada
peserta didik sebagai generasi penerus bangsa perlu ditanamkan rasa cinta akan
kebudayaan di daerah. Pembelajaran berbasis etnosains diharapkan diintegrasikan
kedalam tema pembelajaran dan materi ajar, sehingga dapat berkontribusi dalam
peningkatan pemahaman materi dan pembentukan karakter peserta didik.
Pakaian Adat Tradisional Indonesia merupakan salah satu kekayaan budaya
yang dimiliki oleh negara Indonesia dan banyak dipuji oleh negara-negara lain.
Dengan banyaknya suku-suku dan provinsi yang ada di wilayah negara Indonesia,
maka otomatis pula banyak sekali macam-macam baju adat yang dipakai oleh
masing-masing suku di seluruh provinsi Indonesia.Karena dari banyaknya suku-suku
yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus dalam pembuatan ataupun dalam
mengenakan Pakaian Adat tersebut.
Pakaian adat atau yang biasa disebut pakaian tradisional dari masing-masing
provinsi ini memiliki suatu cerita masing-masing, Warna dan rancangan pakaiannya
sangat indah. Pakaian khas tersebut selain indah juga mempunyai arti tertentu. Untuk
saat ini pakaian adat banyak yang tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Biasanya pakaian adat digunakan saat upacara adat, upacara perkawinan dan saat
memperagakan tarian atau pertunjukan daerah. Banyaknya suku bangsa yang ada di
tanah air, menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan berbagai macam
pakaian adat daerah dengan ciri-ciri khas dan keunikan tersendiri baik dalam proses
pembuatan, cara penggunaan, bahkan pemilihan bahan yang digunakan sebagai
bahan baku pakaian adat tersebut. Misalnya saja busana adat suku Mori yang terdiri
atas dua pilihan warna yaitu warna merah atau warna hitam maupun kombinasi dari
keduanya merah dan hitam

2
1.2 Rumusan Maslah
1. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran berbasis etnosains?
2. Bagaimana pakaian adat suku mori?
3. Bagaiamana keterkaiatan antara pakaian adat suku mori dengan materi fisika?
4. Motode pembelajaran apa yang cocok digunakan dalam menyampaian materi
yang berhubungan dengan pakaian adat mori?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pembelajaran berbasis
etnosains?
2. Untuk mengetahui bagaimana pakaian adat suku mori?
3. Untuk mengetahui bagaiamana keterkaiatan antara pakaian adat suku mori
dengan materi fisika?
4. Untuk mengetahui metode pembelajaran yang cocok digunakan dalam
menyampaian materi yang berhubungan dengan pakaian adat mori?

1.4 Manfaat Penulisan Makalah


Manfaat pembuatan makalah ini bagi pembaca dan penulis yaitu mengetahui
tentang salah satu kearifan lokal yang ada di Sulawesi tengah yaitu pakaian adat
suku mori serta mengetahui keterkaitan nyata antara salah satu kearifan lokal
dengan salah satu materi fisika.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengeretian Pembelajaran Etnosains

Kata ethnoscience (etnosains) bersasal dari kata ethnos (bahasa Yunani) yang
berarti bangsa, dan scientia (bahasa Latin) artinya pengetahuan.Oleh sebab itu,
etnosains merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas
budaya.Kemudian ilmu ini mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-

3
tipe kognitif budaya tertentu.Penekanan pada pengetahuan asli dan khas dari suatu
komunitas budaya. Menurut Henrietta L. (1998) etnosains adalah cabang pengkajian
budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka.
Pribumi biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka
mempertahankan hidup. Atas dasar ini, dapat dinyatakan bahwa etnosains merupakan
salah satu bentuk etnografi baru (the new ethnography).Melalui etnosains,
sebenarnya peneliti budaya justru akan mampu membangun teori yang grass root dan
tidak harus mengadopsi teori budaya barat yang belum tentu relevan. Penelitian
etnosains terhadap fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau folk.Kehadiran
etnosains, menurut Spradley(2001) memang akan memberi angin segar pada
penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya
telah mengenal verstehen (pemahaman), namun tetap memberi wajah baru bagi
penelitian budaya.Oleh karena, memang banyak peneliti budaya yang secara
sistematis memanfaatkan kajian etnosains.Memang belum ada kesamaan pendapat
mengenai istilah etnosains dikalangan peneliti budaya.Istilah ini ada yang menyebut
cognitif anthropology, ethnographic semantics, dan descriptive semantics (Spradley,
2001).Berbagai istilah ini muncul karena masing-masing ahli memberikan penekanan
berbeda, namun hakikatnya adalah ingin mencari tingkat ilmiah kajian budaya.
Baker, et al (1995) menyatakan, bahwa jika pembelajaran sains di sekolah tidak
memperhatikan budaya anak, maka konsekuensinya siswa akan menolak atau
menerima hanya sebagian konsep-konsep sains yang dikembangkan dalam
pcmbelajaran. Stanley & Brickhouse (2001) menyarankan agar pembelajaran sains di
sekolah menyeimbangkan antara sains Barat (sains normal, sains yang dipelajari
dalam kelas) dengan sains asli (sains tradisional) dengan menggunakan pendekatan
lintas budaya (cross-culture). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Cobern dan
Aikenhead (1996: 4), yang menyatakan jika subkultur sains modern yang diajarkan
di sekolah harmonis dengan subkultur kehidupan sehari-hari siswa, pengajaran sains
akan berkecenderungan memperkuat pandangan siswa tentang alam semesta, dan
hasilnya adalah enculturation. Jika enculturation terjadi, maka berpikir ilmiah siswa
tentang kehidupan sehari-hari akanmeningkat.

4
Sebaliknya, jika subkultur sains yang diajarkan di sekolah berbeda atau bahkan
bertentangan dengan subkultur keseharian siswa tentang alam semesta, seperti yang
terjadi pada kebanyakan siswa (Costa, 1995; Ogawa, 2002), maka pengajaran sains
akan berkecenderungan menghancurkan atau memisahkan pandangan siswa tentang
alam semesta, sehingga mereka meninggalkan atau meminggirkan cara asli mereka
untuk mengetahui dan rekonstruksi terjadi menuju cara mengetahui menurut ilmuwan
(scientific). Hasilnya adalah asimilasi (Cobern & Aikenhead; 1996; MacIvor,
1995).Hal ini konotasinya sangat negatif dan dianggap sebagai “hegemoni
pendidikan” atau “imperialisme budaya”. Pada umumnya siswa meghambat
asimilasi, misalnya dengan cara kurang memperhatikan pelajaran. Jika hal ini terjadi,
tentu hasil belajar sains tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.
Lucas (1998) berpendapat bahwa salah satu tujuan utama pendidikan sains di
rnasyarakat timur (non-Western) seharusnya membandingkan pandangan tradisional
dan pandangan ilmiah tentang manusia dan hakekatnya, serta bagaimana cara
berpikirnya, dan juga mengklarifikasi kesesuaian dan perbedaan antara kedua
pandangan tersebut. Lebih lanjut, Jegede & Okebukola (1989) menyatakan, bahwa
memadukan sains asli siswa (sains sosial-budaya) dengan pelajaran sains di sekolah
ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini diakuinya, jika dalam
proses belajar mengajar sains, keyakinan atau pandangan tradisional tentang alam
semesta tidak dimasukkan, maka konflik yang ada pada diri siswa tentang perbedaan
pandangan tradisional dan pandangan ilmiah akan terus dibawa oleh siswa dan akan
berakibat pada pemahaman siswa terhadap konsep ilmiah menjadi kurang bermakna.
Jegede & Aikenhead (2000: 1) menyarankan agar pembelajaran sains modern
menggunakan pedagogi sosial konstruktivis. Karakteristik konstruktivis sosial
tentang pengetahuan, meliputi : 1) pengetahuan bukanlah komoditi pasif yang
ditransfer dari guru ke siswa, 2) siswa tidak dapat dan seharusnya tidak membuat
penyerapan seperti halnya “sepon”, 3) pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari yang
mengetahui (knower), 4) belajar adalah proses sosial dimana terjadi interaksi antara
siswa dengan lingkungan, dan 5) pengetahuan awal dan pengetahuan tradisional
(indigenous) pelajar adalah signifikan dalam membantu konstruksi makna dalam
situasi yang baru. Semua aktivitas belajar diperantarai oleh budaya dan terjadi dalam

5
konteks social.Peran konteks sosial adalah untuk tangga-tangga bagi pelajar, dan
menyediakan isyarat dan membantu dimana memelihara ko-konstruksi pengetahuan
selama interaksi dengan anggota masyarakat lainnya.
Pembelajaran sains yang mampu menjembatani perpaduan antara budaya siswa
dengan budaya ilmiah di sekolah’ akan dapat mengefektifkan proses belajar siswa.
Siswa akan belajar secara formal untuk memahami lingkungannya dengan berbagai
permasalahan yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, akan terjadi fenomenologi
didaktis (didactical phenomenology) yang mengandung arti bahwa dalam
mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi lain dalam sains
(fisika), para siswa perlu bertolak dari masalah-masalah (fenomena-fenomena)
kontekstual, yaitu masalah-masalah dalam dunia nyata, atau setidak-tidaknya dari
masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah yang nyata
(Johnson, 2002). Prinsip belajar ini juga sesuai dengan prinsip utama belajar dalam
Quantum Teaching yang menyatakan, “Bawalah dunia mereka ke dunia
kita.Antarkan dunia kita ke dunia mereka” (DePorter & Nourie, 2000). Di samping
itu, pengajaran sains yang berbasis budaya akan sangat relevan dengan konsep
pengajaran sains yang direncanakan dalam kurikulum berbasis kompetensi dasar,
juga menekankan pada pengembangan nilaikebijaksanaan. Dengan demikian,
pelajaran sains tidak lagi menjadi pelajaran yang asing bagi siswa, berupa hafalan,
rumit, tidak ada manfaatnya dan terkesan membosankan, tetapi menjadi pelajaran
sains yang bermakna, bem1anfaat, dan ramah dengan siswa, karena apa yang mereka
pelajari memang benar-benar ada di lingkungan mereka.

a. Perlunya Kurikulum Sains yang Peduli Terhadap Budaya Lokal


Pemberlakukan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang otonomi daerah, yang mengatur pembagian
(pendelegasian) kewenangan berbagai pemerintahan dari pusat ke daerah telah
berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah saat ini, termasuk bidang
penyelenggaraan pendidikan, khususnya pada kegiatan pengembangan dan
pelaksanaan kurikulum sekolah. Pada bidang pengembangan kurikulum, pemerintah

6
pusat masih tetap memandang perlu adanya standar nasional guna mempertahankan
proses integrasi bangsa dan pencapaian pemerataan dan peningkatan mutu
pendidikan. Namun demikian, pemerintah pusat juga mempertimbangkan untuk
menyusun kurikulum nasional secara luwes sehingga pemerintah daerah dapat
menerapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerahnya tanpa keluar dari
konteks kepentingan nasional. Dengan diversifikasi kurikulum diharapkan akan
tercapai hasil belajar yang optimal dari pemberdayaan potensi-potensi yang berasal
dari kemajemukan sumberdaya alam, budaya, dan etnis dari masing-masing daerah
(Jalal dan Supriadi, 2001).
Kurikulum sains yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), dengan materi pokok dikembangkan oleh pemerintah pusat,
sedangkan silabus dan bahan ajarnya direncanakan dan dikembangkan di daerah
(Depdiknas,2001). Sebagai konsekuensinya, pada tingkatan operasional, agar
menampilkan sains asli (budaya) yang unik dan unggul di daerahnya masing-masing
dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya dalam mata pelajaran sains.Hal ini
memberikan harapan sekaligus tantangan bagi seluruh komponen penyelengara
pendidikan sains di masing-masing daerah, baik pada tingkat propinsi maupun lebih
khusus pada tingkat kabupaten/kota. Harapan yang ditunggu antara lain adalah akan
terakomodasinya sebagian besar aspirasi dan potensi daerah seperti sains asli yang
ada di daerah yang selama sistem sentralisasi pendidikan berlaku tidak terakomodasi.
Hal ini penting karena sesuai dengan pendapatnya Aikenhead dan Jegede (1999) dan
Baker et al (1995) bahwa keberhasilan proses pembelajaran sains di sekolah sangat
dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang dimiliki oleh siswa atau masyarakat di
mana sekolah tersebut berada. Hal senada juga dikemukakan Ibrahim, dkk (2002:5)
yang mengatakan bahwa selain landasan filosofis, psikologis dan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK), landasan sosial budaya harus dipertimbangkan dalam
pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu mengandung nilai yang harus
sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Kiranya, sampai saat ini masih
jarang ditemui di dalam wacana pendidikan kita untuk memperhatikan sains asli
(budaya lokal) pada pembelajaran sains, baik dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai
tingkat sekolah menengah (SMU) dan ini tantangan bagi pendidik sains di daerah.

7
Usaha untuk mengintegrasikan sains asli/etnosains ke dalam kurikulum
pendidikan sains di sekolah sebenarnya telah disarankan sejak tahun 1970 oleh
Building seperti dikutip oleh Wahyudi (2003).Ia menegaskan perlunya pihak sekolah
untuk mengangkat sains asli (indigenous science) dalam pembelajaran sains, bukan
seperti selama ini yang senantiasa lilakukan oleh kebanyakan sekolah yaitu
mengesampingkan sains asli yang lebih dulu berkembang dan hidup di masyarakat.
Isu dan saran serupa juga diangkat oleh Ogunniyi (1998) ketika menyoroti
kelemahan pendidikan sains pada sekolah-sekolah di Afrika.Secara lebih eksplisit
Cobern (1994) meminta agar sistem instruksi pembelajaran sains di sekolah diubah,
dengan memperhatikan sensitivitas budaya (sains asli) yang berkembang di
masyarakat.Mereka merekomendasikan pembuatan kurikulum sains yang
mengakomodasi sains asli ke pembelajaran formal di sekolah.Lebih khusus lagi,
Nagel dalam Wahyudi (2003:12) juga telah menyarankan perlunya universitas
pencetak tenaga guru mempunyai mata kuliah yang khusus membahas
pengintegrasian sains asli ke dalam pembelajaran sains di sekolah dasar dan
menengah.
Perlunya mengakomodasi sains asli yang merupakan bagian dari kebudayaan
siswa didukung oleh pendapat Hasan (2000) yang mengatakan bahwa pendekatan
multikultural kurikulum harus dapat mengakomodasi perbedaan kultural peserta
didik, memanfaatkan sumberkebudayaan sebagai sumber kontens dan
memanfaatkannya sebagai titik berangkat untuk pengembangan kebudayaan itu
sendiri. Dengan demikian, pembelajran sains berbasis budaya dapat meningkatkan
pemahaman terhadap (kebudayaan orang lain, toleransi, membangkitkan semangat
kebangsaan siswa yang berdasarkan Bhineka Tunggal Ika. Di samping itu, yang tak
kalah pentingnya adalah dapat memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa sebagai
bagian dari entry-behavior siswa sehingga dapat menciptakan kesempatan yang sama
bagi siswa untuk berprestasi.

b. Aspek Budaya pada Pembelajaran Sains (IPA)


Untuk mempelajari pembelajaran sains (IPA) di sekolah, selain memakai teori
psikologi yang berakar pada kontruktivisme individu (personal constructivism) dan
perspektif sosiologi yang bertumpu pad konstruktivisme sosial (social

8
constructivism), para peneliti dan ahli pendidikan saat ini mencoba untuk
menggunakan kajian teori anthropologi (anthropological perpective). Yang terakhir
ini mencoba melihat proses pembelajaran sains di sekolah pada setting budaya
masyarakat sekitar (Maddock, 1981; Cobern dan Aikenhead, 1998). Menurut
perspektif anthropologi, pengajaran sains dianggap sebagai transmisi budaya
(cultural transmission) dan pembelajaran sains sebagai penguasaan budaya (cultural
acquisition) Sehingga proses KMB (kegiatan belajar mengajar) di kelas dapat
diibaratkan sebagai proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan oleh
murid. Untuk pembatasan kata budaya (culture) yang dimaksud di sini adalah suatu
sistem atau tatanan tentang symbol dari arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu
masyarakat (Gertz, 1973).Berdasarkan batasan ini, maka matemamatika dapat
dianggap sebagai subbudaya kebudayaan barat, dan sains dari barat (Western
science) merupakan subbudaya dari sains.Oleh karena itu tradisional sains
(ethnoscience) dari suatu komunitas dari non Barat adalah subbudaya dari
kebudayaan komunitas tersebut.
Setelah Meddock (1981) membeberkan teori anthropologi untuk pendidikan
sains, banyak riset-riset lanjutan yang dilakukan dengan focus penyelidikan pada
pengaruh aspek budaya terhadap proses pembelajaran sains dalam pembelajaran IPA
(sains) di sekolah. Penelitian-penelitian yang dilakukan tersebut berujung pada
penegasan bahwa latar belakang budaya yang dimiliki siswa (student’s prior belief
and knowledge) dan ‘dibawa’ ke dalam kelas selama proses KMB berlangsung
memainkan peran yang sangat penting pada proses penguasaan materi pelajaran
(Aikenhead dan Jegede, 1999; Baker dan Taylor, 1995; Cobern, 1996; Cobern dan
Aikenhead, 1998; Eyford, 1993; Maddock, 1983; Okebukola, 1986; Shumba, 1999;
Waldrip dan Taylor, 1999).
Secara khusus Okebukola (1986) menyatakan bahwa latar belakang budaya siswa
mempunyai efek yang lebih besar di dalam proses pendidikan daripada efek
disumbangkan oleh pemberian materi pelajaran. Dengan kata lain, efek dari proses
KMB yang dilakukan di kelas oleh guru dan siswa ‘kalah’ oleh efek budaya
masyarakat yang telah diserap oleh siswa dan dibawa ke dalam proses KMB di kelas.
Lebih lanjut Eyford (1993) juga menegaskan bahwa latar belakang budaya siswa

9
mempunyai pengaruh yang kuat pada cara seseorang (siswa) belajar. Ia memberikan
alasannya bahwa siswa telah menghabiskan waktunya, terutama enam tahun pertama
sebelum masuk ke sekolah dasar, di tengah-tengah lingkungan yang secara total lebih
dibentuk/dipengaruhi oleh budaya masyarakat daripada oleh teori-teori pendidikan
formal. Kemudian dua tahun berikutnya, Ogunniyi, Jegede, Ogawa, Yandila dan
Oladede (1995) menyatakan bahwa latar belakang budaya yang dibawa oleh guru dan
siswa ke dalam kelas (terutama pada saat pembelajaran sains) sangat menentukan di
dalam penciptaan atau pengkondisian suasana belajar dan mengajar yang bermakna
dan berkonteks. Pada tahun yang sama, Baker dan Taylor (1995) menyampaikan
hasil review mereka khusus tentang pengaruh kebudayaan pada proses pembelajaran
sains di kelas/sekolah. Dua kesimpulan penting dari review mereka adalah sebagai
berikut. Pertama, kegagalan Negara-negara non-Barat dalam rangka
menasionalisasikan kurikulum sains di sekolah –sekolah. Kegagalan tersebut
dikarenakan mereka hanya mengimpor kurikulum sains (IPA) dari Negara-negara
Barat tanpa mempertimbangkan latar belakang kebudayaan yang tumbuh di
negaranya. Secara rinci keduanya menengarai kegagalan proses pembelajaran sains
disekolah-sekolah Negara non-Barat adalah karena ketidaksesuaian (mismatch)
antara budaya yang dimiliki siswa seperti bahasa, kepercayaan, cara pandang
terhadap alam sekitar, dengan ‘kebudayaan’ sains dari Barat yang terkandung di
dalam setiap mata pelajaran sains. Kedua, mereka menyimpulkan bahwa
latarbelakang budaya setiap siswa mempengaruhi cara siswa tersebut dalam
mempelajari dan menguasai konsep-konsep sains yang diajarkan di sekolah. Secara
khusus dinyatakan bahwa perasaan dan pemahaman siswa yang berlandaskan
kebudayaan di masyarakat ikut serta berperan dalam menginterpretasikan dan
menyerap pengetahuan yang baru (konsep-konsep sains).
Setahun sebelumnya, Cobern (1994) menjelaskan pendapatnya secara
persuasive bahwa cara seseorang memahami; hubungan seseorang dengan dunianya
(lingkungannya); dan juga cara pandang seseorang terhadap hubungan sebab akibat,
ruang dan waktu adalah sangat dipengaruhi oleh asal-usul budayanya. Bisa
ditafsirkan di sini dalam konteks kebudayaan Indonesia yang majemuk, siswa-siswa
di pedalaman Kalimantan mempunyai cara berpikir (way of knowing) yang berbeda

10
dengan siswa-siswa dikotaPontianak, ataupun dengan siswa-siswa di Yogyakarta.
Selanjutnya, Cobern (1994) menegaskan bahwa transfer pengetahuan (proses
pembelajaran) apapun bentuknya, harus mempertimbangkan latar belakang siswa.
Pengaruh latarbelakang yang dimiliki siswa terhadap proses pembelajaran sains ada
dua macam. Pertama, pengaruh positif akan muncul jika materi pada pembelajaran
sains di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan pengetahuan (budaya) siswa
sehari-hari. Pada keadaan ini proses pembelajaran mendukung cara pandang sisewa
terhadap alam sekitarnya. Proses pembelajaran yang seperti ini disebut dengan
pembelajaran inkulturasi (inculturation). Sebaliknya, yang kedua, proses
pembelajaran sains di kelas menjadi ’penggangu’ ketika materi pelajaran sains tidak
selaras dengan latarbelakang budaya yang sudah mengakar pada diri siswa, serta
guru berusaha untuk ’memaksakan’ kebenaran materi pelajaran sains/IPA (Budaya
Barat) dengan cara memarginalisasikan pengetahuan pengetahuan (budaya) siswa
sebelumnya. Proses pembelajaran seperti ini disebut asimilasi (cobern dan
Aikenhead, 1998; Aikenhear dan Jegede, 1999). Jika proses pembelajaran inkulturasi
meningkatkan cara pemahaman siswa, sebaliknya proses asimilasi berpotensi
menjadikan siswa untuk mengalami apa yang disebut dengan keterasingan
(alienation) terhadap kebudayaannya sendiri, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan ’gangguan sosial’ dalam kehidupan sehari-hari. Jauh sebelumnya,
Maddock (1983) menemukan bahwa pendidikan Sains di Papua Nugeini efek
keterasingan pada siswa-siswa sekolahnya, yang telah ’memisahkan’ mereka dengan
kebudayaan tradisional masyarakatnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa semakin
tinggi pendidikan formal seseorang (di Papua Nugini), semakin besar efek
keterasingan yang dialami.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Larson sebagaimana dikutip oleh
Aikenhead dan Jegede (1999) memberikan informasi lain yang berguna. Ia
menemukan bahwa meskipun boleh jadi proses pembelajaran asimilasi tidak
menjadikan siswa terasing dari budayanya, namun tetap saja akan mengasingkan
siswa dari sains. Keadaan tersebut membawa mereka untuk kreatif dengan
meciptakan cara ’cerdas’ yang semu dalam mempelajari sains (tepatnya menghafal
konsep-konsep sains) seperti apa yang disebut dengan ’Aturan Fatimah’ (Fatimah’s

11
Rule). Cara-cara ’cerdas’ tersebut digunakan oleh siswa untuk lulus dalam ujian,
bukan untuk memahami sains secara bermakna, sebagaimana yang dianggap oleh
guru. Selanjutnya, Allen dan Crewley (1998) menyatakan dalam hasil penelitiannya
bahwa meskipun perbedaan antara yang terkandung pada materi pelajaran sains di
sekolah dengan latar belakang budaya siswa tidak sampai mengakibatkan putus
sekolah, namun perbedaan tersebut telah menghambat siswa untuk berpartisipasi
selama proses pembelajaran sains berlangsung. Seolah-olah materi pelajaran sains,
untuk membantu siswa mempelajari sains/IPA yang selaras dengan keyakinan budaya
siswa tanpa terlepas dari konsep-konsep baku yang berlaku secara universal.
Penelitian-penelitian tentang pengaruh budaya terhadap pembelajaran sains
diikuti oleh wacana tentang model pembelajaran apa yang cocok untuk
melaksanakan kurikulum yang dikembangkan berbasis kebudayaan lokal. George
(1991) menyarankan kepada para guru untuk memperhatikan empat hal selama
membawakan proses pembelajaran sebagai berikut.
1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya,
untuk mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki siswa, yang
berakar pada sains tradisional.
2) menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan atau keajaiban (discrepant
events) yang sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep baku sains.
3) mendorong siswa untuk aktif bertanya
4) mendorong siswa untuk membuat serangkaian skema-skema tentang konsep
yang dikembangkan selama proses pembelajaran.

Berdasarkan dengan sarana-sarana tersebut, George (1991) lebih lanjut meminta


kepada guru untuk memandang pendidikan sebagai wahana pemberdayaan siswa
dalam usaha menguasai konsep-konsep (etnosains) yang sudah tertanam pada diri
siswa dengan konsep-konsep dominasi sains Barat.
Driver (1988, 1990) menyusun model pembelajaran yang disebut dengan Coceptual
Change Model. Model pembelajaran ini pada prinsipnya terdiri dari lima fase, yaitu
fase orientasi, elastisitas, restrukturisasi, aplikasi, dan fase review. Fase orientasi
memberi kesempatan siswa untuk mengindentifikasi konsep-konsep sains/IPA yang
berkembang di dalam budaya masyarakat (etnosains). Kemudian lebih eksplisit lagi

12
siswa diminta untuk mengeluarkan konsepsi-konsepsi mereka (etnosains) pada fase
kedua. Fase restrukturisasi memberikan kesempatan bersama-sama bagi siswa dan
guru membahas perbedaan-perbedaan dan keharmonisan antara konsep ethnoscience
dengan konsep sains Barat. Sebelum diadakan review, guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengaplikasikan konsep-konsep yang telah restrukturisasi
melalui pemberian soal ataupun penyelesaian suatu masalah.
Model pembelajaran yang mirip juga diajukan oleh Hewson (1996), dan
mungkin cocok seta memberikan wacana baru dalam mengimplementasikan silabus
dan bahan ajar IPA yang dikembangkan berbasis etnosains. Model pengajaran
Hewson berangkat dari pandangan konstruktivisme yang mengakui bahwa proses
belajar siswa tidaklah sederhana sebagaimana penambahan pengetahuan baru ke
dalam pikiran-pikiran siswa, melainkan melalui proses-proses panjang yang meliputi
beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain pergumulan ide di dalam
alam pikiran siswa, antara konsep-konsep terdahulu yang dimiliki siswa (yang
berakar pada matematika tradisional maupun yang baku) dengan konsep-konsep baru
yang sedang dipelajari, modifikasi konsep-konsep yang berkembang di alam pikiran
siswa, sampai dengan restrukturisasi konsep-konsep akibat interaksi selama proses
pembelajaran.

c. Perlunya Bahan Ajar Sains yang Peduli Terhadap Budaya Masyarakat


Datangnya kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan keinginannya
dalam memajukan pendidikan yang bertumpuh pada keunggulan dan keunikan yang
menjadi ciri khas daerah, melalui pemberian kewenangan untuk menyusun sendiri
silabus dan bahan ajar yang sesuai dengan kondisi daerahnya, memberikan tantangan
tersendiri. Kesempatan ini memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan potensi daerah, termasuk potensi etnosains. Tujuannya adalah jelas
agar siswa lebih mengenal lingkungan dan daerahnya, yang pada dasarnya punya
potensi, serta tidak silau dengan konsep-konsep dari Barat.
Usaha untuk mengintegrasikan etnosain ke dalam kurikulum pendidikan sains di
sekolah sebenarnya telah disarankan sejak tahun 1970 oleh Boulding seperti dikutip
oleh Shumba (1999). Ia menegaskan perlunya pihak sekolah untuk mensimbiosiskan
antara matematika Tradisional (etnosains) dengan sains Barat, bukan seperti selama

13
ini yang senantiasa dilakukan oleh kebanyakan sekolah yaitu memaksakan dominasi
sains Barat terhadap sainstradisional yang lebih dulu berkembang dan hidup di
masyarakat. Isu dan saran serupa juga diangkat kembali oleh Ogunniyi (1988) ketika
menyoroti kelemahan pendidikan sains pada sekolah-sekolah di Afrika. Secara lebih
eksplisit, Yakubu (1994) dan Cobern (1994) meminta agar sistim instruksi
pembelajaran sains di sekolah diubah, dengan memperhatikan sensitifitas budaya
(Sains Tradisional) yang berkembang di masyarakat. Mereka merekomendasi
pembuatan kurikulum sains yang mengakomodasi sains Tradisional ke dalam
pembelajaran formal di sekolah. Lebih khusus Lag, Nagel (1992) juga telah
menyarankan perlunya universitas pencetak tenaga guru mempunyai mata kuliah
yang khusus membahas pengintegralan sains Tradisional ke dalam pembelajaran
sains di sekolah-sekolah dasar dan menengah.

d. Sikap Guru Sains dalam Mengimplementasikan Kurikulum Sains Berbasis


Budaya di Sekolah

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan guru dalam mengembangkan pembelajaran
sains berbasis sains asli sebagai berikut.
1. ldentifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli
Identifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli bertujuan untuk
menggali pikiran-pikiran siswa dalam rangka.mengakomodasi konsep-konsep,
prinsipprinsip atau keyakinan yang dimiliki siswa yang berakar pada budaya
masyarakat di mana mereka berada. Hal ini penting dilakukan mengingat bahwa
setiap anak akan memiliki pandangan-padangan atau konsepsi-konsepsi yang
berbeda terhadap suatu objek, kejadian atau fenomena. Ausubel (dalam
Dahar,1989) mengatakan bahwa satu hal yang paling penting dilakukan guru
sebelum pembelajaran dilakukan adalah mengetahui apa yang telah diketahui
siswa.
2. Pembelajaran dalam kelompok
Masyarakat tradisional cenderung melakukan kegiatan secara berkelompok
yang terbentuk secara sukarela dan informal, seperti halnya seka tari baris, tabuh
gong, dan sebagainya.Pembelajaran dalam bentuk kelompok merupakan

14
pengembalian “fitrah” pembelajaran mereka.Supriyono (2000:269) berpendapat
bahwa belajar dalam bentuk kelompok merupakan satuan pendidikan yang
bersifat indigenous (asli), yang timbul sebagai kesepakatan bersama para warga
belajar untuk saling membelajarkan secara sendiri maupun dengan mengundang
narasumber dari luar kelompok mereka. Lebih lanjut Anwar (2003: 436)
berpendapat bahwa model pembelajaran dalam kelompok merupakan satuan
pendidikan paling demokratis, di mana keputusan, proses, dan pengelolaan belajar
bersifat dari, oleh, dan untuk anggota belajar. Berdasarkan pertimbangan ini, maka
upaya mengorganisasi diri mereka sendiri dalam wadah kelompok merupakan
“refungsi” kelompok belajar fenomena sebelumnya (natural fenomena).
3. Peran guru sains sebagai penegosiasi
Da1am proses pembelajaran sains, guru memegang peranan sentral sebagai
“penegosiasi” sains Barat (budaya Barat) dan sains asli sebagai budaya loka1
dengan siswa-siswanya. Guru membuat keputusan-keputusan pedagogi
berlandaskan pengetahuan praktis di mana guru harus mampu mengintegrasikan
secara holistik prinsip-prinsip yang sarat dengan budaya, nilai-nilai, dan
pandangan tentang alam semesta (worldview). Guru da1am proses renegosiasi
harus “cerdas” dan “arif’, Snively & Corsiglia (2001) dan George (2001)
mengidentifikasi peran guru sains dalam proses negosiasi yaitu : (1) memberi
kesempatan kepada siswa untuk• mengekspresikan pikiran-pikiramlya, untuk
mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki siswa yang berakar
pada sains asli (budaya), (2) menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan
(discrepant events) yang sebenamya hal biasa menurut konsep-konsep sains Barat,
(3) berperan untuk mengidentifikasi batas budaya yang akan di1ewatkan serta
menuntun siswa melintasi batas budaya, sehingga membuat masuk akal bila
terjadi konflik budaya yang muncu1, (4) mendorong siswa untuk aktif bertanya,
dan (5) memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh positif dan neoatif sains
Barat dan tekno1ogi bagi kehidupan dalam dunianya (bukan pada kontribusi sains
Barat dan teknologi untuk menjadikan mono-kultura1 dari elit yang memiliki hak
istimewa).

15
2.2 Pakaian Adat Mori

Suku Mori dikenal sebagai masyarakat atau penduduk Kerajaan Mori yang
wilayahnya terletak di pesisir timur Propinsi Sulawesi Tengah, tepatnya disekitar
Teluk Tomori atau yang juga lazim disebut Teluk Tolo (diapit oleh jazirah tenggara
dan jazirah timur laut pulau Sulawesi). Kerajaan Mori adalah salah satu kerajaan
yang berkembang di Indonesia.
Masyarakat Wita Mori atau Suku Mori merupakan kelompok etnik yang cukup
besar di Sulawesi Tengah yang saat ini berada dalam wilayah pemerintahan
Kabupaten Morowali. Sejarah terbentuknya Kerajaan Mori pada zaman dahulu ini
sama halnya dengan pembentukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi pada umumnya
yaitu dari kisah kehadiran tokoh luar biasa. Walaupun memiliki corak dan karakter
yang berbeda, legenda yang merupakan cikal bakal Kerajaan Mori ini berawal dari
penemuan tokoh yang hadir secara luar biasa dan dapat diterima serta ditempatkan
untuk memangku jabatan Mokole .
Dari kajian-kajian yang bersumber dari peninggalan leluhur yang didukung
dengan kepustakaan yang ada, diketahui bahwa Kerajaan Wita Mori adalah kerajaan
persemakmuran yang terdiri dari gabungan Kerajaan-Kerajaan/Wilayah Otonom
yang mempunyai pimpinan sendiri-sendiri. Walaupun demikian, bahasa, adat istiadat
serta silsilah Raja-Raja/Pemimpin yang pernah menduduki jabatan dapatlah diketahui
bahwa mereka berasal dari satu keturunan ratusan tahun yang silam. Ikatan
kekeluargaan ini yang merupakan pengikat solidaritas yang mendorong lahirnya
kerajaan persemakmuran untuk membangun secara bersama-sama kesejahteraan dan
pertahanan secara terpadu dalam menghadapi perang antar suku (Mengayau) dan
menghalau ekspansi Kolonial Belanda yang mulai mencampuri urusan perdagangan
di Teluk Tomori (Peristiwa Towi, 1948).
Suku Mori merupakan sebutan untuk penduduk yang berasal dari Kabupaten
Morowali, Sulawesi Tengah. Banyaknya suku bangsa yang ada di tanah air,
menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan berbagai macam pakaian adat
daerah dengan ciri-ciri khas dan keunikan tersendiri baik dalam proses pembuatan,
cara penggunaan, bahkan pemilihan bahan
yang digunakan sebagai bahan baku pakaian

16
adat tersebut. Misalnya saja busana adat suku Mori yang terdiri atas dua pilihan
warna yaitu warna merah atau warna hitam maupun kombinasi dari keduanya merah
dan hitam.
Pengunaan warna merah pada pakaian adat mori yang memberikan kesan mewah
digunakan sebagai lambang kekuatan, keberanian, yang dapat membangkitkan energi
mulai dari yang bersifat kekerasan hingga peperangan. Sedangkan warna hitam yang
dipercaya mampu menyerap energi negatif sepintas terkesan sangat elegan, serius,
konvensional dan konservatif, sehingga dapat diartikan sebagai lambang kekuasaan,
kemandirian, kedisiplinan, serta digunakan sebagai pelindung dari bahaya saat
bepergian.

a. Pakaian Adat Kaum Wanita Mori

Pakaian adat yang dikenakan oleh kaum wanita dari suku Mori yaitu berupa
Lambu atau blus lengan panjang berwarna merah dengan variasi berupa hiasan dan
motif rantai berwana kuning yang dipadukan dengan rok panjang berwana merah

17
atau hawu yang juga dihiasi dengan motif rantai berwama kuning. Sebagai pelengkap
ditambahkan pula penggunaan mahkota atau pasapu pada bagian kepala serta
aksesoris berupa konde atau pewutu busoki, tusuk konde atau lansonggilo, anting-
anting atau tole-tole, kalung atau enu-enu, gelang tangan atau mala, ban pinggang
atau pebo’o, dan juga cincin atau sinsi.

b. Pakaian Adat Kaum Pria Mori

Pakaian adat yang dikenakan oleh kaum pria dari suku Mori juga dikenal
dengan sebutan Lambu, yaitu berupa blus berwama merah yang dihiasi denan motif
rantai berwama kuning yang dipadukan denan celana panjang berwama merah yang
disebut dengan saluara. Sebagai pelengkap ditambahkan penggunaan destar atau
melpa bate pada bagian kepala, sambengko (selempang), serta metampi ponal
(sarung dan pedang).

2.3 Materi Fisika yang Terkait

Spektrum cahaya dihasilkan dengan adanya,dispersi yaitu suatu peristiwa


terjadinya penguraian cahaya putih untuk menjadi berbagai warna. Karena cahaya
putih itu tersusun oleh berbagai macam warna yang berbeda dari indek biasnya dan
serangkai warna-warna yang di peroleh dari dispersi dinamakan Spektrum. Sinar
putih yang biasa kita lihat (disebut juga cahaya tampak atau visible light) terdiri dari
semua komponen warna dalam spektrum tentu saja ada komponen lain yang tidak
terlihat, disebut invisible light. Cahaya matahari yang berwarna putih, jika

18
ditembakkan ke sebuah keping CD ataupun DVD maka cahaya putih tersebut akan
terbagi membentuk 7 spektrum warna sebagaimana yang telah disebutkan.

sebenarnya, cahaya putih adalah gabungan dari 7 spektrum cahaya yang berwarna
merah, jingga (oranye), kuning, hijau, biru, nila (indigo), dan ungu, maka ketika kita
melihat sebuah benda yang berwarna merah, maka sebenarnya yang terjadi adalah
bahwa benda tersebut menyerap semua spektrum warna dari cahaya putih (cahaya
matahari) kecuali warna merah, dan begitupun sampel-nya jika kita melihat baju
berwarna biru, maka sebenarnya yang terjadi adalah bahwa baju itu menyerap
seluruh cahaya putih kecuali spektrum warna biru, demikian pula jika kita melihat
benda yang berwarna putih, maka sesungguhnya kita melihat benda yang tidak
menyerap satu pun spektrum warna yang dipancarkan oleh matahari, atau benda
putih adalah benda yang memantulkan kembali seluruh cahaya putih yang
diterimanya, adapun jika kita melihat benda hitam, maka sesungguhnya yang terjadi
adalah benda ini menyerap seluruh cahaya putih yang diterimanya. Sebagaimana
dijelaskan pada gambar di atas bahwa cahaya berwarna merah adalah cahaya dengan
panjang gelombang tertinggi. sedangkan cahaya berwarna ungu memiliki frekuensi
tertinggi. Dengan kata lain, semakin tinggi frekuensi maka semakin rendah panjang
gelombang. Urutan Spektrum Gelombang Elektromagnetik dari Frekuensi Besar ke
Frekuensi Kecil atau dari Panjang gelombang Kecil ke Panjang Gelombang Besar
1. Sinar gamma( γ )
2. Sinar Rontgen atau Sinar x
3. Sinar ultraungu atau sinar ultraviolet
4. Sinar tampak
5. Sinar inframerah Atau IR
6. Gelombang RADAR
7. Gelombang TV
8. Gelombang Radio.

19
Urutan Frekuensi Cahaya Tampak dari kecil ke besar, yaitu sebagai berikut :
Warna Panjang gelombang Frekuensi
Merah 620-750 nm 400-484 Hz
Jingga 590-620 nm 484-508 Hz
Kuning 570-590 nm 508-526 Hz
Hijau 495-570 nm 526– 606 Hz
Biru 450-495 nm 606-668 Hz
Ungu 380-450 nm 668-789 Hz
Dalam kehidupan sehari- hari terdapat dua jenis cahaya yaitu : Cahaya
polikromatik dan Cahaya monokromatik.Cahaya polikromatikseperti :Cahaya
matahari dan cahaya lampu yang kita lihat sehari-hari merupakan cahaya putih.
Disebut demikian karena cahaya matahari dan lampu memang tampak putih.Namun,
cahaya putih itu sebenarnya terdiri dari berbagai macam warna, yaitu merah, jingga,
kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.Deretan warna ini disusun berdasarkan panjang
gelombangnya.Deretan warna cahaya ini disebut spektrum warna.Karena terdiri dari
berbagai macam warna, maka cahaya putih disebut cahaya polikromatik.Demikian
juga, cahaya putih matahari, lampu fluoresens (“neon”), LED putih, putih layar
komputer tersusun atas komposisi warna-warna yang (mungkin) berbeda. Misalnya,
cahaya matahari merupakan campuran semua warna violet sampai merah dengan
intensitas yang sesuai dengan pola radiasi benda hitam, dengan sedikit perubahan:
pada nilai-nilai panjang gelombang tertentu ada sedikit pelemahan, ini disebut garis
Fraunhofer. Sedangkan, putih lampu “neon” ternyata merupakan campuran tiga nilai
panjang gelombang saja yang dominan, yaitu biru sekian nanometer, hijau sekian nm,
dan jingga sekian nm.Ini menunjukkan bahwa lampu “neon” tidak berisi gas neon,
tetapi gas raksa. Peristiwa penguraian cahaya putih menjadi berbagai macam warna
disebut dispersi. Peristiwa dispersi dapat diperlihatkan dengan menggunakan prisma
maupun keping CD ataupun DVDdan kotak cahaya. Cahaya putih dijatuhkan pada
salah satu bidang sisi prisma.Cahaya tersebut mengalami deviasi yang dispersi oleh
prisma.Itulah sebabnya cahaya yang keluar dari prisma telah terurai menjadi berbagai
warna. dispersi terjadi karena setiap warna cahaya mempunyai indeks bias yang
berbeda. Warna bias memiliki indeks bias terkecil sehingga mengalami deviasi
terkecil. Sementara warna ungu memiliki indeks bias terbesar sehingga mengalami
deviasi terbesar. Sudut yang dibentuk oleh sinar merah dan sinar ungu yang paling

20
pinggir disebut sudut dispersi.Diantara sinar merah dan sinar ungu terdapat sinar
berwarna jingga, kuning, hijau, biru dan nila.Spektrum cahaya inilah yang
membentuk cahaya putih.Alat untuk menyelidiki spektrum warna berbagai zat
disebut spektroskop. Alat ini terdiri dari kolimator yang mempunyai celah (S) pada
salah satu ujungnya, sedangkan pada ujung yang lain terdapat lensa cembung (L 1).
Celah terletak pada titik fokus utama lensa (L 1).Dengan posisi celah seperti ini, maka
sinar yang datang pada celah merupakan berkas sinar sejajar sebelum memasuki
prisma (P).di dalam prisma, berkas sinar mengalami deviasi dan dispersi. Masing-
masing warna mempunyai arah tertentu yang dapat dilihat melalui spektroskop yang
dilengkapi lensa cembung L2.Spektrum warna dapat dilihat pada pelangi. Pelangi
terbentuk karena cahaya matahari diuraikan oleh tetes-tetes air hujan. Pelangi terlihat
kalau hujan turun dihadapan kita, sedangkan posisi matahari berada di
belakang.Seperti yang telah disebutkan bahwa cahaya putih dapat diuraikan menjadi
berbagai warna, yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Beberapa
diantara sinar ini merupakan sinar dengan warna dasar.Sebagai warna dasar maka
sinar ini tidak dapat diuraikan lagi.Sinar yang warnanya tidak dapat diuraikan lagi
dengan warna lain disebut sinar monokromatik. Contohnya : sinar merah dan hijau.

2.4 Metode Pembelajaran


Metode merupakan satu kata yang murujuk pada cara yang akan digunakan
untuk mencapai sebuah tujuan yang diharapkan. Dan jika dikaitkan dengan proses
pembelajaran, maka definisi metode pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu cara
yang dipilih oleh pendidik untuk mengoptimalkan proses belajar mengajar yang
bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Metode pembelajaran adalah cara atau jalan yang ditempuh oleh guru untuk
menyampaikan materi pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai.
Dapat juga disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah strategi pembelajaran
yang digunakan oleh guru sebagai media untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. Hal ini mendorong seorang guru untuk mencari metode yang tepat
dalam penyampaian materinya agar dapat diserap dengan baik oleh siswa. Mengajar
secara efektif sangat bergantung pada pemilihan dan penggunaan metode mengajar.

21
Metode ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. Metode ini
tidak senantiasa jelek bila penggunaannya betul-betul disiapkan dengan baik,
didukung dengan alat dan media, serta memperhatikan batas-batas kemungkinan
penggunaannya. Menurut Ibrahim, (2003: 106) metode ceramah adalah suatu cara
mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan atau informasi atau
uraian tentang suatu pokok persoalan serta masalah secara lisan

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Suku Mori merupakan sebutan untuk penduduk yang berasal dari Kabupaten
Morowali, Sulawesi Tengah. Banyaknya suku bangsa yang ada di tanah air,
menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan berbagai macam pakaian adat
daerah dengan ciri-ciri khas dan keunikan tersendiri baik dalam proses pembuatan,
cara penggunaan, bahkan pemilihan bahan yang digunakan sebagai bahan baku
pakaian adat tersebut. Misalnya saja busana adat suku Mori yang terdiri atas dua
pilihan warna yaitu warna merah atau warna hitam maupun kombinasi dari keduanya
merah dan hitam.
Pengunaan warna merah pada pakaian adat mori yang memberikan kesan
mewah digunakan sebagai lambang kekuatan, keberanian, yang dapat
membangkitkan energi mulai dari yang bersifat kekerasan hingga peperangan.

22
Sedangkan warna hitam yang dipercaya mampu menyerap energi negatif sepintas
terkesan sangat elegan, serius, konvensional dan konservatif, sehingga dapat
diartikan sebagai lambang kekuasaan, kemandirian, kedisiplinan, serta digunakan
sebagai pelindung dari bahaya saat bepergian. Jika dikaitkan dengan Fisika berkaitan
dengan materi Spektrum Cahaya. Spectrum cahaya adalah kumpulan sinyal berupa
cahaya dengan panjang gelombang atau warna yang dapat dikenali oleh mata. Ketika
kita melihat warna hitam sesungguhnya yang terjadi adalah benda menyerap seluruh
cahaya putih yang diterimanya, sedangkan ketika kita melihat sebuah benda yang
berwarna merah, maka sebenarnya yang terjadi adalah bahwa benda tersebut
menyerap semua spektrum warna dari cahaya putih (cahaya matahari) kecuali warna
merah, begitupun dengan warna-warna lainnya. Cahaya berwarna merah adalah
cahaya dengan panjang gelombang tertinggi yaitu 620-750 nm dan memiliki
frekuensi terendah yaitu 400-484 Hz. sedangkan cahaya berwarna ungu memiliki
frekuensi tertinggi yaitu 668-789 Hz dan panjang gelombang terendah yaitu 380-450
Hz dengan kata lain, semakin tinggi frekuensi maka semakin rendah panjang
gelombang.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Pembelajaran berbasis etnosains merupakan pembelajaran kontekstual yang


berlandaskan pandangan konstruktivisme dengan mengutamakan
pembelajaran bermakna. Pembelajaran yang bermakna merupakan
pembelajaran yang dikemas sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Johnson (2014:64) pembelajaran yang bermakna memungkinkan peserta
didik belajar sambil mekakukan atau “ learning by doing ”. Learning by doing
menyebabkan peserta didik mampu menghubungkan materi pembelajaran
dengan konteks kehidupan sehari-hari

23
2. Pakaian Adat Tradisional Indonesia merupakan salah satu kekayaan budaya
yang dimiliki oleh negara Indonesia dan banyak dipuji oleh negara-negara
lain.
Pakaian adat suku Mori yang terdiri atas dua pilihan warna yaitu warna merah
atau warna hitam maupun kombinasi dari keduanya merah dan hitam.
Pengunaan warna merah pada pakaian adat mori yang memberikan kesan
mewah digunakan sebagai lambang kekuatan, keberanian, yang dapat
membangkitkan energi mulai dari yang bersifat kekerasan hingga peperangan.
Sedangkan warna hitam yang dipercaya mampu menyerap energi negatif
sepintas terkesan sangat elegan, serius, konvensional dan konservatif,
sehingga dapat diartikan sebagai lambang kekuasaan, kemandirian,
kedisiplinan, serta digunakan sebagai pelindung dari bahaya saat bepergian.
3. Pemilihan warna pakaian adat suku mori berkaiatan dengan materi spectrum
cahaya, dimana pakaian adat mori berwarna merah dalam tingkatan spectrum
cahaya tampak warna merah memiliki panjang gelombang terpanjang yaitu
620- 750 nm dan memiliki frekuensi terendah yaitu 400-484 Hz.
4. Metode yang digunakan adalah ceramah dan diskusi. Metode pengajaran
dengan cara berceramah atau menyampaikan informasi secara lisan kepada
siswa dan metode diskusi.

DAFTAR PUSTAKA

Asyafe.[2008]. Spectrum Cahaya.[Online].Tersedia:


https://asyafe.wordpress.com/200
8/07/18/spectrum-cahaya/.Diakses [26 Desember 2017]

Fitinline.[2014]. Keunikan Pakaian Adat Suku Mori.[Online] Tersedia:


https://fitinline.com/article/read/keunikan-pakaian-adat-suku-mori/. Diakses
[12 Desember 2017].

Mulyana, Aina.[2012]. Pengertian Metode Pembelajaran.[Online]. Tersedia:


https://ainamulyana.blogspot.com/2012/01/pengertian-metode-pembelajran-
dan.html. Diakses [26 Desember 2017].

Tandililing, Edi. [2014]. Pengembangan Etnosains Dalam Pembelajaran Pendidikan


Sains di Sekolah. [Online]. Tersedia:https://fkip.untan.ac.id/prodi/fisika/penge

24
mbangan-etnosains-dalam-pembelajaran-pendidikan-sains-di-sekolah.html.
Diakses [12 Desember 2017].

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran


(RPP)

Satuan pendidikan : SMA.


Mata Pelajaran : Fisika.
Kelas / semester : XII/I

A. Kompetensi Inti
KI 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI 2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun,
ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan
pro-aktif), menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan bangsa, serta memosisikan diri sebagai agen transformasi
masyarakat dalam membangun peradaban bangsa dan dunia.
KI 3. Memahami, menerapkan, dan menjelaskan pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan

25
kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian
yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah.
KI 4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah
secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu
menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar
1.1 Bertambah keimanannya dengan menyadari hubungan keteraturan dan
kompleksitas alam dan jagad raya terhadap kebesaran Tuhan yang
menciptakannya
2.1 Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur;
teliti; cermat; tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif;
inovatif dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud
implementasi sikap dalam melakukan percobaan dan berdiskusi.
3.1 Menerapkan konsep dan prinsip gelombang bunyi dan cahaya dalam
teknologi.
C. Indikator
 Mengidentifikasi spektrum cahaya tampak.
D. Tujuan
 Siswa dapat menjelaskan pengertian spektrum cahaya.
 Siswa dapat menyusun spektrum cahaya.
 Siswa dapat menjelaskan keterkaitan antara warna baju adat suku mori
dengan spektrum cahaya.

E. Metode Pembelajaran
1. Ceramah

F. Materi Pembelajaran
Spektrum Cahaya

G. Sumber Pembelajaran
Buku Fisika SMA yang relevan

H. Alat dan Bahan


- Spidol
- Infocus

I. Kegiatan pembelajaran

26
a. Kegiatan Pendahuluan
1. Guru Mengucapkan salam pembuka
2. Guru Mengatur kelas supaya kondusif
3. Guru memberikan apersepsi
4. Guru menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran

b. Kegiatan Inti
1. Guru menjelaskan materi pembelajaran
2. Siswa mendengarkan penjelasan guru

c. Kegiatan Penutup
1. Guru membimbing siswa untuk menyimpulkan materi pembelajaran.
2. Guru menutup pembelajaran dengan mengucapkan salam penutup

27

Anda mungkin juga menyukai