Anda di halaman 1dari 16

Hasil dan Pembahasan

1. Konsep Peduli Lingkungan dan Pembelajaran Sosiologi dalam Perspektif


Kearifan Lokal
a. Konsep Peduli Lingkungan
Paradigma terhadap lingkungan selama ini yang terbangun adalah kesadaran
manusia untuk memperlakukan alam sebagai wadah kesejahteraan manusia, dalam
pandangan bahwa keuntungan yang tersimpan dalam alam dan lingkungan harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan manusia, diperkuat dengan UUD
1945 pada pasal 33 berbunyi “ Bumi, Air dan Kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Bunyi pasal dalam UUD 1945 tersebut menunjukan kekayaan
yang dimiliki bangsa ini dikelola untuk kepentingan rakyat dan pengelolaan lingkungan
dan alam yang dimiliki bangsa sesuai dengan pandangan masyarakat adat atau berbasis
kearifan lokal. Oleh karena itu perlu kajian untuk melihat dan membangun kesadaran
lingkungan melalui kesadaran kearifan lokal, seperti dikatakan Keraf (2010) bahwa
belajar dengan etika masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki nilai dan karakter
untuk menjaga kelestarian hutan.

Menurut Rahyono dalam Fajarini (2009), kearifan lokal merupakan kecerdasan


manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman
masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui
pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai
tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui
perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut. Proses
perkembangan nilai-nilai luhur yang melekat dalam kehidupan masyarakat adat
mengalami proses dialektika hingga kemunculannya dalam setiap generasi ke generasi
mengalami penyempurnaan, dapat dikatakan nilai-nilai yang diterapkan oleh
masyarakat adat telah mengalami proses sintesis dari proses dialektika sebelumnya.

Proyek terbesar dalam etika lingkungan adalah kembali mempelajari tentang


kepedulian lingkungan kepada masyarakat adat dengan kata lain kembali kepada
kearifan lokal yang dimilki oleh masyarakat lokal Indonesia. Masyarakat adat memiliki
nilai-nilai luhur yang mereka terima dari leluhur mereka. Dilihat secara implisit,
keberadaan masyarakat adat jauh tertinggal dari masyarakat kekinian, imbas dari
modernisasi ditandai melalui kemajuan teknologi-tertinggal dan gagap teknologi dilihat
dari jarangnya mereka menggunakan alat teknologi dalam kehidupannya dan bahkan
anti teknologi (dapat dijumpai kehidupan masyarakat suku Talang Mamak di
pedalaman kabupaten Inderagiri Hulu) mengatakan bahwa “lebih baik mati anak
dibandingkan mati adat” sehingga aktifitas mereka kerap kali dapat dikatakan tidak
melek teknologi. Namun, dari cara pandang seperti di atas berdampak kepada
pelestarian hutan dan lingkungan di kawasan mereka lebih terbukti dalam menyikapi
alam dibanding dengan masyarakat lainnya. Seperti yang di jelaskan oleh UN
Economic and Social Council bahwa masyarakat adat menganggap dirinya berbeda
dengan masyarakat lainnya8 sehingga pola lama yang dijalankan oleh masyarakat adat
terpisah dengan pengaruh modernisasi yang diterima masyarakat lainnya.

Nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia dapat dijumpai pada masyarakat adat yang
berada dalam wilayah terikat dengan kehidupan natural (alami). Seperti dikatakan
Keraf bahwa “Kembali ke alam, belajar dari etika masyarakat adat”. Belajar kepada
masyarakat adat merupakan keharusan dan semestinya untuk mencoba kembali kepada
nilai- nilai luhur budaya bangsa, dan dilakukan dengan semangat kecintaan yang tinggi
terhadap kebudayaan serta kepercayaan yang kuat dalam menggapai dan menerapkan
nilai-nilai kearifan lokal.

b. Konsep Pembelajaran Sosiologi


Pendidikan sebagai sarana pembelajaran harus diperbaharui sebagai langkah
meningkatkan sumber daya manusia yang berkarakter baik. Saat ini pembaharuan
dimulai dari pelaksanaan Kurikulum 2013. Aplikasi Kurikulum 2013 menekankan pada
penanaman karakter dan budaya kepada peserta didik sejak usia dini. Pendidikan
karakter perlu dikembangkan karena peserta didik belum seluruhnya mampu
mengembangkan karakter bangsa yang unggul. Bangsa yang unggul harus dimulai dari
generasi muda yang berkarakter disiplin, baik terhadap Tuhan, alam, tanggung jawab,
berpikir kritis, dan kompetitif. Generasi muda yang berkarakter positif akan mampu
bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara maju (Puspitasari, 2016).

Perubahan tatanan sosial kehidupan masyarakat pada awal abad ke-20


menyebabkan keberadaan sosiologi menjadi penting dalam mengontrol proses
pendidikan di Eropa (Abdullah Idi, 2011). Perubahan tersebut sebagai efek dari revolusi
sosial diberbagai wilayah Eropa yang memicu akselerasi perubahan arah perkembangan
masyarakat Eropa. Kontribusi ilmu sosiologi dengan segala komponen konseptualnya
mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan sosial salah satunya melalui
pendidikan. Manifestasi tersebut ditandai dengan kelahiran sosiologi pendidikan
sebagai produk keilmuan baru. Kajian sosiologi dalam pendidikan menekankan
implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah pendidikan dari
sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik, dan ekonomi bagi masyarakat.
Sosiologi dalam pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur
sosial masyarakat. Bahkan secara khusus sosiologi memberikan pandangan yang begitu
jelas mengenai ekologi, atau biasa disebut sosiologi lingkungan. Sosiologi lingkungan
merupakan kajian komunitas dalam arti yang sangat luas (Bell, 1998 dalam Soeryo
2007). Manusia, binatang, lahan dan tanaman yang tumbuh di atasnya. Air udara,
semuanya memiliki hubungan kait-mengait yang sangat erat. Bersama-sama mereka
membentuk semacam solidaritas, yang kemudian disebut ekologi.

Masalah lingkungan tidak hanya masalah teknologi dan industry, ekologi dan
biologi, pengendalian polusi dan pencegahan polusi, masalah lingkungan juga
merupakan masalah sosial. Masalah lingkungan adalah masalah bagi masyarakat dan
merupakan masalah yang mengancam pola organisasi sosial yang ada dalam
masyarakat. Adalah manusia yang menciptakan masalah lingkungan dan manusia juga
yang harus mencari jalan keluarnya. Berangkat dari hal inilah kemudian sosiologi
melalui pendidikan, melalui pembelajaran dapat memberikan kontribusi yang berharga.

Beberapa gerakan akademik dalam mencapai tujuan pelestarian lingkungan salah


satu dari gerakan pendidikan kesadaran lingkungan yang dikembangkan melalui
pendidikan adalah ecopedagogik. Ecopedagogy atau pendidikan lingkungan merubah
cara pandang pembelajaran dari keberadaan manusia sebagai anthroposentris ke
ecosentris. Ecopedagogy dipilih untuk memperkuat posisi pembelajaran sosiologi
sebagai pengembang kurikulum, karena melalui pembelajaran sosiologi ini diharapkan
memperkuat penananaman nilai dan karakter peserta didik. Keberadaan Sosiologi
dalam pembelajaran sangat tepat dan relevan dalam penanaman nilai-nilai luhur. Sudut
pandang sosiologi dalam pendidikan memandang hakikat masyarakat, kebudayaan, dan
individu secara ilmiah, sedangkan susunan pengetahuannya terdiri dari prinsip dan
konsep mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan, dan perkembangan pribadi.
Seperti dalam terminology sosiologi, sosiologi dalam pendidikan ini berbicara tentang
pandangannya mengani kelas, sekolah, keluarga, masyarakat, kelompok masyarakat
dan sebagainya, masing-masing terangkum dalam wilayah suatu system sosial. Tiap-
tiap system kesatuan merupakan kesatuan integral yang mendapat pengaruh dari (1)
sistem sosial lainnya, (2) lingkungan alam, (3) sifat-sifat fisik manusia, (4) karakter
mental penghuninya. Dari segi pedagogis, bahwa seluruh individu dan masyarakat dari
anak-anak sampai orang dewasa, kelompok sosial dan proses sosialnya, berlangsung
disekitar sistem pendidikan yang selalu bergerak dinamis. Sehingga hal ini patutnya
memperkuat bagaimana sosiologi menjadi sangatlah penting untuk memperkuat nilai-
nilai sosial dan budaya kearifan lokal dalam pembelajaran disamping tuntutan untuk
perbaikan pembelajaran kedepan, konsep masyarakat adat memiliki karakteristik yang
menonjol dalam pelestarian lingkungan dibandingkan konsep modernisme yang lebih
cenderung eksploitatif.

Konsep keadilan dan kesinambungan atau seperti dikatakan Almukhtar (2016)


bahwa ketenangan dan kelestarian hidup pada masyarakat tradisional dapat terjaga.
Karena melihat berbagai permasalahan yang dijumpai seperti melemahnya moral,
melemahnya solidaritas sosial dan berbagai penyimpangan sosial serta karakter
eksploitatif terhadap alam merupakan pembelajaran selama ini lebih mengedepankan
pikiran pragmatis dan keuntungan semata, hal ini dapat dijumpai dalam mata pelajaan
disekolah pada kajian prinsip ekonomi “dengan modal yang sekecil-kecilnya dapat
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya” dengan tidak melihat makna
pembelajaran atau lebih mengedepankan profit daripada nilai.

Keberadaan Sosiologi dalam Pendidikan melalui pembelajaran semestinya


menjawab permasalahan di atas. Sosiologi dalam pendidikan tentunya mampu
membangun jiwa dan karakter manusia melalui pendidikan, pendidikan menyediakan
nilai dalam pembelajaran sehingga manusia melalui pendidikan memiliki nilai-nilai
luhur terutama nilai peduli lingkungan agar tertanam kuat. AlMukhtar (2016)
mengatakan bahwa pendidikan yang berbasis kearifan lokal dapat berhasil dan penuh
makna jika pendidikan tersebut berorientasi kepada nilai yang diambil dari karakter
Pancasila. Pendidikan yang dikembangkan bukan hanya pengembangan pengetahuan
(kognitif) semata, hingga peserta didik terlatih untuk memahami secara baik
pengetahuan tentang pembelajaran di sekolah, namun jauh daripada itu, yakni,
pendidikan memiliki orientasi pembelajaran yang lebih mengembangkan nilai dan
karakter dalam pembelajaran dengan melihat aspek afektif (sikap) melalui nilai-nilai
yang melekat pada setiap konsep bahasan materi ajar, pendidikan sosiologi dapat
menstimulus peserta didik dalam menyikapi, klarifikasi dan memiliki kemampuan
penalaran nilai sebagai proses pengembangan kemampuan menginternalisasikan dan
internalisasi nilai yang diambil dari kearifan lokal setempat sebagai wujud dari
pengembangan nilai berbasis kearifan lokal.

Sosiologi dalam pembelajaran dapat dikembangkan secara fleksibel, misalnya


melalui pendekatan kontekstual yang lebih diarahkan untuk mengadopsi nilai-nilai
kearifan lokal, sebagai kajian tentang perilaku manusia, nilai-nilai kearifan lokal
menjadi subyek dalam mengapresiasi setiap kebudayaan tempatan dan diterapkan
dalam tataran praksis di lingkungan sekolah. Keterlibatan subyek dalam pembelajaran
yang mengambil atau mengadopsi nilai-nilai kearifan local kemudian ditransformasikan
dalam penguatan pembelajaran pendidikan Sosiologi. Pembelajaran Sosiologi berbasis
kearifan lokal dapat memperkuat pembelajaran jika nilai-nilai kearifan lokal
ditransformasikan dari kebudayaan statik menjadi kebudayaan yang dinamik. Kearifan
sebagai sumber belajar pendidikan Sosiologi juga di konsep bukan memposisikan
pikiran subjek sebagai native’s model yang hingga kini dominan namun, model subjek
dan model peneliti berkaitan secara dialektik inilah yang dikembangkan dalam
pembelajaran Sosiologi.

2. Kearifan Lokal Peduli Lingkungan Masyarakat Adat terhadap Hutan Larangan


a. Makna Hutan Larangan dalam Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
Menurut pandangan Keraf ada beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat
dengan kelompok lainnya. Pertama, mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyang
mereka, baik seluruhnya maupun sebagian. Kedua, mereka mempunyai garis keturunan
yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. Ketiga,mereka memiliki
kebudayaan yang khas, yang berhubungan denga nilai agama, sistem suku, pakaian,
tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk kebudaan ekonominya berbeda
dengan yang lainnya. Keempat, mereka memiliki bahasa sendiri. Kelima, biasanya
hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati
terhadap hal-hal baru yang berasal dari komunitasnya. Masyarakat adat yang dijelaskan
di atas menandai bahwa nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah kehidupan
mereka adalah nilai yang diwarisi turun temurun dari leluhur mereka, inilah nilai agung
yang dijunjung tinggi untuk dihayati, disakralkan dan diperlakukan dalam bentuk
memaknai secara mendalam oleh individu-individu masyarakat adat. Proses nilai
menjadi dasar bagi masyarakat adat untuk menjalani kehidupan sosial mereka.
Sehingga keberadaannya yang mengisolasi dari kehidupan modern dipandang tidak etis
di tengah kemajuan zaman. Namun, disinilah letak dan tersimpanya nilai- nilai yang
menunjukan keadilan dan kesinambungan itu berada.

Masyarakat adat memandang lingkungan berbeda dengan masyarakat lainnya


memandang tentang lingkunganya. Masyarakat adat memandang manusia, alam dan
hubungan keduanya bukan dipandang sebagai hubungan ekonomi, keuntungan ataupun
profit dalam kesejahteraan dan kemakmuran dengan memperlakukan alam secara
eksploitatif namun, masyarakat adat memandang manusia, alam dan hubungan
keduanya sebagai hubungan religius, spiritual kekuatan magis ada di alam, kekuatan-
kekuatan besar dan agung ada di alam hingga manusia memperlakukan alam sebagai
wadah suci dan harus dijaga dalam bentuk ritual-ritual tertentu agar bencana terhindar
dan keuntungan diperoleh dengan harmoni.

Demikian juga masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang memiliki kesamaan


dengan masyarakat adat lainnya, Keraf mengatakan bahwa, hal yang paling
fundamental dari perspektif etika lingkungan hidup adalah memandang diri, alam dan
relasi antara keduanya dipandang dalam perspektif religius. Maka, alam dipandang oleh
masyarakat Ksepuhan Ciptagelar sebagai sesuatu yang sacral dan memiliki nilai
spiritual yang tinggi disadari oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Perlakuannya
yang diberikan kepada hutan larangan yang berada di wilayah ini juga berbeda hingga
kini tetap bertahan, pamali sebagai kata sakti yang diyakini dapat mendatangkan
marabahaya jika dilanggar, serta ada mitos dan nilai magis yang dipandang suatu
kekuatan sendiri yang terdapat dalam hutan. Hutan larangan memiliki pengaruh yang
begitu besar dan disikapi secara irrasional, semua tindakan dan sikap yang ditujukan
kepada hutan larangan tersebut harus mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku.
Karena keyakinan yang begitu kuat terhadap hutan larangan tersebut maka masyarakat
adat melakukan kegiatan ritual sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan yang
berada dalam hutan.

Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memandang hutan larangan sebagai wadah


yang menyimpan kekuatan- kekuatan magis dan mitos yang keluar dalam cerita rakyat.
Kekuatan-kekuatan ini akan bermanfaat atau kekuatan itu akan mengganggu
masyarakat memandangnya dalam perspektif religius. Tindakan larangan yang
dilakukan seperti penebangan hutan larangan tersebut, masyarakat setempat
mempercayai tindakan tersebut akan mengganggu kehidupan masyarakat setempat.
Pamali merupakan pantrangan atau sesuatu yang tidak boleh dilanggar oleh seluruh
masyarakat, adanya kata pamali apabila memasuki apalagi merusak hutan pada zona
hutan larangan. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai yang menjadi kepercayaan agar
tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai adat dapat dijalankan oleh masyarakat
adat Kasepuhan Ciptagelar sekaligus pencegahan tindakan kerusakan hutan.

Pandangan masyarakat adat terhadap hutan larangan bukan hanya sekedar


pencegahan hutan dengan peraturan dan ketentuan yang diberlakukan kepada
masyarakat. Namun, hutan larangan adalah seperti dikatakan Elfiandri dkk bahwa,
hutan larangan adalah marwah, tuah negeri, sejarah, jati diri dan keberadaan dari adat
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Hutan larangan masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar juga dikatakan bahwa, bukti fisik kedaulatan penghulu adat kanagarian
terhadap wilayah, ketiadaan hutan larangan tersebut merupakan hilangnya simbol-
simbol adat serta kekuasaan adat dan keabadian adat dalam kanagarian. Hal ini terkait
dengan hubungan antara manusia, alam dan relasi keduanya seperti yang dikatakan
Keraf terkait dengan etika lingkungan, ketidakmampuan manusia mempertahankan
hutan larangannya artinya adalah kelemahan juga bagi ketahanan adat bagi mereka
karena, wilayah adat (hutan larangan merupakan bahagian dalam system adat) tidak
dapat dipertahankan maka adat juga hilang bersamaan dengan wilayah adat.

Pertimbangan adat dalam melakukan tindakan terhadap perilaku masyarakat adalah


merupakan hal yang kuat. Pituah Adat merupakan dasar filosofis dalam memandang
setiap fenomena alam. Sehingga setiap aturan yang dibuat berlandaskan adat istiadat,
budaya dan agama/kepercayaan. Ketentuan adat istiadat bersumber dari nilai-nilai yang
terkandung dalam kehidupan keagamaan mereka. Ketentuan ini berlaku bagi setiap
pemeluk agama Islam dan masyarakat yang membangun komunikasi dengan
masyarakat adat dalam menyikapi hutan larangan. Nilai adat dan norma adat menjadi
ketentuan dalam menyikapi hutan larangan. Inilah makna dan cara pandang masyarakat
adat Kasepuhan Ciptagelar terhadap hutan larangan yang berdampak terhadap
kelestarian hutan hingga kini.
b. Tindakan Peduli Lingkungan terhadap Hutan Larangan dalam Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar
Ikatan yang begitu kuat antara manusia, alam dan hubungan keduanya,
menunjukan bentuk keharmonian yang selaras dalam mencapai tujuan kesinambungan.
Baik manusia dan alam keduanya merupakan hubungan yang memberi jaminan
pelestarian agar alam dan manusia bersikap dengan harapan penuh, konsep
kesinambungan dan keadilan yang dibangun masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
merupakan kekuatan yang diperoleh dari nilai yang berkembang dalam kehidupan
spiritual masyarakat adat. Masyarakat adat pelaku dalam pelestarian alam, jaminan
kesinambungan kehidupan manusia dan alam, dan jaminan keselarasan manusia dengan
alam. Sikap ini ditunjukan melalui beberapa tindakan dan peraturan yang memberi
kesadaran secara batiniah dan kesadaran lahiriah agar bentuk kepedulian terhadap
keselamatan hutan larangan terjaga dengan baik. Ketentuan-ketentuan yang
diberlakukan bentuk dari kesadaran peduli lingkungan yang diberlakukan kepada
seluruh masyarakat yang berhubungan dengan hutan larangan.

Menurut Sulistiyaningsih (2013), hutan merupakan salah satu SDA yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keberadaan hutan yang selama ini diibaratkan
sebagai paru-paru dunia, diharapkan bisa memberi manfaat secara sosial, ekonomi dan
ekologi. Mengingat fungsi hutan yang banyak tersebut, maka hutan harus dilestarikan
demi kesejahteraan manusia. Nababan (2002) menyatakan masyarakat adat sudah
terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai
komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan
seluruh mahluk. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat
memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan
kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis
(community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli
komersial. Ada beberapa alasan betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam
pengelolaan hutan di masa depan, yaitu bahwa:

1. Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang
paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena
menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka.
2. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan
memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka.
3. Masyarakat adat memiliki hukum adat yang ditegakkan.
4. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis
antara mereka dengan ekosistem hutannya.

Dalam pemanfaatan hutan dan pengelolaanya, hutan di Kasepuhan Ciptagelar


dibagi kedalam tiga zonasi. Pembagian zonasi tersebut bertujuan untuk menjaga
kelestarian hutan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan masyarakat
kasepuhan. Selain itu, dalam pemanfaatan hutan terdapat aturan-aturan adat yang
mengikat dalam setiap prosesi pelaksanaan pemanfaatan hutan tersebut. Dalam
pengelolaan hutan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar membagi kawasan hutan menjadi
tiga zona, yaitu:

1. Hutan Garapan
Hutan garapan ini yaitu berupa areal pemanfaatan kawasan hutan yang
diperuntukan untuk kawasan pemukiman, persawahan dan perladangan.
2. Hutan Tutupan
Hutan tutupan ini yaitu kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai hutan
penyangga kehidupan dan hutan lindung. Dalam pemanfaatnnya masyarakat
diperbolehkan untuk memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu guna
kebutuhan sehari-hari. Namun dalam pemanfaatannya terdapat aturan-aturan adat
yang harus patuhi oleh masyarakat.
3. Hutan Titipan
Yaitu berupa kawasan hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat, sehingga tidak
diperbolehkan untuk melakukan pemanfaatan pada kawasan hutan tersebut.
Masyarakat kasepuhan adat meyakini apabila masuk atau bahkan melakukan
pemanfaatan hutan pada kawasan hutan titipan ini maka akan terjadi sesuatu hal
yang tidak diingiinkan, meskipun tidak ada sanksi atas pelanggaran terhadap
kawasan hutan titipan tersebut.
Pembagian kawasan hutan kedalam beberapa zona ini merupakan pembagian
kawasan hutan menurut pemanfaatannya, sehingga dalam pengelolaan nya tidak terjadi
kerusakan hutan akibat tingginya kebutuhan masyarakat akan kayu dan berdampak
pada penggundulan hutan secara besar-besaran tanpa adanya batasan-batasan dalam
pemanfaatan hutan.
Kawasan hutan di Kasepuhaan Ciptagelar, pada saat ini masyarakat hanya
meyakini untuk hutan garapan yaitu hutan yang dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-
hari, hutan tutupan yaitu hutan yang berada dibagian tepi dari hutan titipan. Hutan
titipan merupakan hutan lindung dan memiliki interaksi yang sangat sedikit sekali
bahkan mungkin tidak pernah terjadi interaksi sama sekali dengan masyarakat
kasepuhan.
Hutan titipan tersebut merupakan hutan yang diyakini masyarakat dihuni oleh
mahluk gaib dan sebagai tempat tinggal roh para leluhur. Sedikitnya interaksi
masyarakat terhadap hutan titipan ini meyebabkan hutan titipan sebagai tempat hidup
satwa-satwa liar yang ada di Gunung Halimun. Kearifan lokal inilah yang menjaga
kawasan hutan tetap lestari hingga sekarang dan akan terus dipertahankan eksistensinya
dari generasi ke generasi selanjutnya.
Pembagian zonasi kawasan hutan di Kasepuhan Ciptagelar tidak memiliki batasan
secara tertulis maupun batas berupa pal-pal batas kawasan hutan. Batas-batas zona
pemanfaatan hutan di Kasepuhan Ciptagelar hanya menggunakan pohon palm botol
(Mascarena legeniculus) dan tanaman hanjuang (Cordyline fruiticosa syn) yang
ditanam sebagai batas antara hutan tutupan dan hutan titipan, sedangkan batas hutan
tutupan dengan hutan garapan yaitu berupa gundukan pematang sawah. Batas-batas
tersebut sudah ditetapkan selama berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun
silam sebagai tanda pembatas kawasan zona pemanfaatan.
Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum
kebiasaan dan sebagian kecil Hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum
yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam
lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan
fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang
seperti hidup itu sendiri.
Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki hukum adat atau aturan-aturan adat yang
dipatuhi oleh masyarakat kasepuhan adat. Aturan adat tersebut melekat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai suatu norma tertentu yang dijalankan dan
diwariskan kegenerasi selanjutnya. Aturan-aturan adat dalam pengelolaan dan
pemanfaaatan hutan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan itu sendiri.Aturan–
aturan adat tersebut antara lain:
a. Dalam pemanfaatan kayu guna konstruksi rumah adat
Dalam penebangan kayu terdapat aturan-aturan adat yang harus dilakukan oleh
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan penebangan tersebut hanya boleh dilakukan
pada kawasan hutan tutupan. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan itu
sendiri, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat dari generasi
kegenerasi selanjutnya. Adapun aturan-aturan adat dalam prosesi penebangan
pohon yaitu sebagai berikut:
 Sebelum melakukan penebangan pohon, masyarakat adat kasepuhan
diwajibkan untuk melakukan penanaman pohon terlebih dahulu. Setiap
melakukan penebangan satu pohon maka masyarakat diwajibkan untuk
menanam 50 bibit pohon. Penanaman bibit tersebut harus disaksikan oleh
masyarakat kasepuhan adat.
 Sebelum melakukan penebangan harus melakukan izin terhadap pemangku
adat terlebih dahulu.
 Penebangan tidak boleh dilakukan diareal-areal yang terdapat mata air. Hal ini
bertujuan untuk mejaga kelestarian sumberdaya air, mengingat kebutuhan air
akan persawahan, perladangan, dan kehidupan masyarakat sangat besar.
 Penebangan tidak boleh dilakukan di areal-areal yang berpotensi terjadi erosi,
seperti areal-areal yang memiliki kelerengan yang curam. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari erosi itu sendiri.
 Penebangan yang dilakukan yaitu dengan sistem penjarangan, yaitu melakukan
penebangan-penebangan pada areal-areal dengan kerapatan yang besar
sehingga tidak terjadi penggundulan kawasan hutan.
 Penebangan hanya boleh dilakukan guna pemenuhan kebutuhan akan bahan
konstruksi rumah. Tidak diperbolehkan melakukan penebangan secara besar-
besaran karena akan berdampak pada rusaknya kawasan hutan.
 Hasil dari penebangan berupa kayu tidak boleh diperjual-belikan. Penebangan
hanya dilakukan untuk konsumsi pribadi sehingga tidak terjadi penggundulan
hutan secara besar-besaran.

b. Dalam pemanfaatan bambu guna konstruksi dinding rumah adat.


 Sebelum melakukan penebangan bambu harus meminta izin terlebih dahulu
kepada pemangku adat Penebangan bambu hanya sesuai dengan kebutuhan
untuk pembuatan dinding rumah adat Kasepuhan Ciptagelar.
 Setelah melakukan penebangan masyarakat diwajibkan melakukan
penanaman. Agar ketersedian bahan baku konstruksi tetap terjaga.
 Hasil dari penebangan tidak boleh diperjual-belikan. Hanya diperuntukan
kebutuhan pribadi saja.
 Aturan-aturan tersebut berlaku apabila penebangan bambu dilakukan di
kawasan hutan. Sedangkan, apabila penebangan dilakukan di areal pekarangan
rumah tidak diwajibkan melakukan ritual adat tersebut

Pada akhirnya disini kita juga memahami bahwa knsepsi hutan larangan pada
masyarakat kasepuhan ini tidak hanya sebatas peraturan larangan namun, sikap
menunjukan kepdulian terhadap lingkungan, secara sadar ini merupakan ajakan untuk
menjaga hutan kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat adat terus
disosialisasikan agar kesadaran masyarakat terhadap hutan larangan dapat terus
dilakukan, kemudian masyarakat juga diajak menjaga debit air dengan menjaga dan
melestarikan hutan. Hal lain selain menjaga hutan larangan, kawasan yang berada
disekitar hutan larangan ditata dalam pembangunan rumah, rumah dibangun dilarang
dikawasan yang memiliki tingkat kemirinagn yang tinggi, sehingga kesadaran ini
ditegaskan oleh nenek moyang agar kelestarian hutan dapat dijaga dalam jangka
panjang.

c. Pembelajaran Sosiologi Berbasis Kearifan Lokal Nilai Peduli Lingkungan dalam


Hutan Larangan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
Pembelajaran dalam Sosiologi berbasis kearifan lokal dapat digunakan dalam
pembelajaran, dengan capaian pembelajaran yang kontekstual kekinian. Melihat
berbagai permasalahan terkait dengan kerusakan lingkungan, pembelajaran dengan
pendekatan kearifan lokal adalah jawaban terhadap hal tersebut. Pembelajaran yang
integrative yang memiliki unsur-unsur pembangunan kesadaran manusia menjadi
manusia seutuhnya.

Diungkapkan S. Nasution (2009) bahwa ada beberapa konsep tentang tujuan


pendidikanb dalam sosiologi: (1) analisis proses sosiologi, (2) analisis kedudukan
pendidikan dalam masyarakat, (3) analisis interaksi sosial di sekolah dan antar sekolah
dengan masyarakat, alat kemajuan dan perkembangan sosial, (4) dasar untuk
menemukan tujuan pendidikan, (5) sosiologi terapan, (6) pelatihan bagi petugas
pendidikan.
Konsep tentang tujuan sosiologi dalam pendidikan di atas menunjukan bahwa
aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses, sehingga pendidikan
dapat dijadikan instrument dalam berinteraksi, berkomunikasi dalam masyarakat. Pada
sisi lain, sosiologi dalam pendidikan memberikan penjelasan yang relevan dengan
kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat
dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena
yang muncul dalam masyarakat.

Tujuan sosiologi dalam pendidikan, pada dasarnya untuk mempercepat pencapaian


dan tujuan pendidikan. Karena itu, sosiologi dalam pendidikan tidak menyimpang dari
upaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan sebagai upaya
memanusiakan manusia. Itulah sebabnya sistem pendidikan nasional menurut UUSPN
No. 2/ 1989 Pasal 3 adalah “Untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan
mutu kehidupan dan martabat manusa Indonesia dalam rangka upaya mewujudukan
tujuan nasional”. Jelas bahwa pendidikan diselenggarakan untuk: (1) mengembangkan
kemampuan manusia Indonesia, (2) meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia,
(3) meningkatkan martabat manusia Indonesia, dan (4) mewujudkan tujuan nasional
melalui manusia Indonesia. Pembelajaran dalam Sosiologi yang berbasis kearifan lokal
melalui pendidikan yang mengajarkan untuk selalu dekat dengan lingkungan
sekitarnya. Nilai- nilai kearifan lokal merupakan nilai keunggulan masyarakat lokal
yang sangat tepat jika tujuan pendidikan diambil dari nilai keunggulan yang diambil
melalui pendekatan kearifan lokal (Abbas, 2015).

Jika pembelajaran berbasis kearifan lokal dapat diwujudkan dalam pembelajaran di


sekolah, maka pendidikan disini jelas memegang peranan penting penting pembinaan
warga negara yang baik, sikap mental dan moral anak didik. Menurut pandangan
Warren dalam Wahyu kearifan lokal bisa dipraktikan dalam bidang pertanian,
kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan
macam-macam kegiatan lainnya didalam kehidupan masyarakat. Kearifan lokal dalam
pendekatan pendidikan sangat erat kaitannya terlebih tujuan dan orientasi pendidikan
disesuaikan nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakkat lokal itu sendiri.

Penggunaan nilai peduli lingkungan hutan larangan pada masyarakat adat sebagai
sumber belajar di sekolah telah memberikan dampak positif bagi pengembangan
kegiatan pembelajaran di kelas dengan dasar pemikiran pendekatan pendidikan.
Permasalahan yang seringkali dihadapi oleh guru mengenai keterbatasan sumber buku
dapat ditanggulangi dengan menjadikan sumber belajar tidak kaku hanya terfokus pada
buku teks. Sumber belajar dalam pembelajaran di kelas bisa diartikan secara lebih
meluas diantaranya lingkungan sosial, lingkungan alam, budaya, ekonomi peserta didik
sehari-hari. Pendekatan kontekstual menjadi alternative yang bersifat kekinian untuk
mengkorelasikan materi pembelajaran dengan isu-isu sosial kontemporer di sekitar
lingkungan tempat tinggal peserta didik. Selain itu penggunaan masyarakat lokal
sebagai sumber belajar merupakan alternatifinovasi pembelajaran yang menarik
perhatian peserta didik. Metode dan strategi pembelajaran yang dianggap monoton
seringkali menimbulkan kebosanan bagi peserta didik.

Al-Mukhtar menegaskan melalui pemikirannya bahwa, kajian mengenai


pandangan epistemologik dan etnopedagogik perlu disinergikan agar dapat menjadi
paradigma baru dalam pembelajaran sosial dan sekaligus merevitalisasi pendidikan agar
pendidikan di sekolah berdaya guna kuat karena keberadaan pendidikan sosiologi
dalam pembelajaran memiliki orientasi pendidikan bermakna (meaningfull), powerfull,
sebagai modal sosial. Kearifan lokal dalam pendidikan sosiologi ditekankan kepada
penanaman nilai-nilai kearifan lokal kepada peserta didik, sekaligus menegaskan bahwa
pendidikan sarat dengan nilai-nilai kearifan bukan bebas dari nilai dalam pandangan
pemikiran positivisme yang diadopsi dari pemikiran barat dan berkembang di
Indonesia.

Hutan larangan merupakan kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar


terjaga dengan baik, kecerdasan lingkungan yang berada dalam masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar menunjukan kekuatan pengaruh nilai- nilai dalam kearifan lokal
hutan larangan terhadap masyarakat setempat. Nilai-nilai peduli lingkungan yang
diterapkan masyarakat adat Kampar terhadap dapat menjadi sumber belajar bagi peserta
didik. Proses internalisasi nilai peduli lingkungan yang diadopsi dan dikembangkan
dalam proses pembelajaran melalui pengembangan kurikulum pendidikan. Oleh karena
itu hutan larangan sebagai kearifan lokal dapat membantu dan dijadikan sebagai sumber
belajar dalam pembelajaran Sosiologi di sekolah.

Beberapa nilai peduli lingkungan yang berada dalam hutan larangan yang dapat
dikembangkan dalam pembelajaran pendidikan di sekolah. Nilai adat merupakan hal
yang melekat dalam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Begitu
tingginya nilai adat dalam kehidupan mereka, maka dasar kehidupan mereka
dipengaruhi oleh nilai-nilai adat tersebut. Kedudukan nilai adat dituangkan dalam
pikukuh adat seperti “ Ibu bumi bapa langi” misalnya. Ungkapan ini memberi
kesadaran kepada masayarakat adat Kasepuhan Ciptagelar bahwa bumi itu kayaknya
ibu yang memberikan kasih sayagnya, sehingga ibu ini harus dihormati, maka dari itu
kesadaran diri akan sikap dan tindakan perlu dicermati dan dapat memberi manfaat
kepada manusia dan makhluk lainnya. Kesadaran ini dapat dikembangkan dalam
pembelajaran sosiologi di sekolah terkait dengan peran manusia dengan lingkungan
(Holilah, 2017).

Pada materi pembelajaran di sekolah mengenai sumber daya alam, lingkungan


setempat, kegiatan ekonomi setempat, penyimpangan sosial setempat dan interaksi
sosial dan lain-lain guru dapat memberikan pertanyaan kritis tentang fenomena-
fenomena terkait dengan lingkungan. Membangun kesadaran melalui pertanyaan kritis
dapat menimbulkan semangat pembelajaran. Nilai karakter dalam peduli lingkungan
yang berada di dalam hutan larangan dapat dijadikan model untuk melihat bagaimana
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dapat melestarikan lingkungannya serta dapat
memberi manfaat kepada masyarakat sekitarnya. Nilai-nilai ini dikembangkan dalam
pembahasan-pembahasan terkait dengan lingkungan, ekonomi, geografi dan sejarah di
sekolah. Nilai adat yang dapat diinternalisasikan dalam pembelajaran di kelas melalui
pengemasan pembelajaran yang penuh makna (meaning full) dalam hutan larangan adat
Kasepuhan Ciptagelar adalah seperti yang disebutkan dalam pikukuh adat “Alam itu
dipelihara, bukan di Tuhankan”. Nilai ini mengajarkan tentang bagaimana konsep
peduli terhadap alam dilakukan, menyikapi pemberian alam harus diperlakukan
sebagaimana mestinya, semua itu untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Nilai ini
dikembangkan untuk menjawab kerusakan lingkungan yang terjadi diberbagai wilayah.

Proses pengembangn pembelajaran nilai dalam pendidikan yang berbasis kearifan


lokal mengalihkan pandangan yang hanya mementingkan kepentingan sendiri menjadi
kepentingan bersama dan lingkungan. Pandangan visioner merupakan tantangan bagi
guru untuk membangunnya melalui nilai yang berada dalam kearifan local (Supriatna,
2016). Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar mengambil sistem adat dalam menjaga
hutannya merupakan pandangan visioner. Masyarakat adat memperoleh manfaat
dengan dampak jauh lebih kecil jika terjadi pelanggaran terhadap hutan larangan
tersebut. Inilah konsep ideal dalam pencegahan kerusakan lingkungan dan sumber
pembelajaran untuk mengatasi perilaku penyimpangan kerusakan lingkungan sejak
dini.

Anda mungkin juga menyukai