Nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia dapat dijumpai pada masyarakat adat yang
berada dalam wilayah terikat dengan kehidupan natural (alami). Seperti dikatakan
Keraf bahwa “Kembali ke alam, belajar dari etika masyarakat adat”. Belajar kepada
masyarakat adat merupakan keharusan dan semestinya untuk mencoba kembali kepada
nilai- nilai luhur budaya bangsa, dan dilakukan dengan semangat kecintaan yang tinggi
terhadap kebudayaan serta kepercayaan yang kuat dalam menggapai dan menerapkan
nilai-nilai kearifan lokal.
Masalah lingkungan tidak hanya masalah teknologi dan industry, ekologi dan
biologi, pengendalian polusi dan pencegahan polusi, masalah lingkungan juga
merupakan masalah sosial. Masalah lingkungan adalah masalah bagi masyarakat dan
merupakan masalah yang mengancam pola organisasi sosial yang ada dalam
masyarakat. Adalah manusia yang menciptakan masalah lingkungan dan manusia juga
yang harus mencari jalan keluarnya. Berangkat dari hal inilah kemudian sosiologi
melalui pendidikan, melalui pembelajaran dapat memberikan kontribusi yang berharga.
Menurut Sulistiyaningsih (2013), hutan merupakan salah satu SDA yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keberadaan hutan yang selama ini diibaratkan
sebagai paru-paru dunia, diharapkan bisa memberi manfaat secara sosial, ekonomi dan
ekologi. Mengingat fungsi hutan yang banyak tersebut, maka hutan harus dilestarikan
demi kesejahteraan manusia. Nababan (2002) menyatakan masyarakat adat sudah
terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai
komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan
seluruh mahluk. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat
memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan
kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis
(community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli
komersial. Ada beberapa alasan betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam
pengelolaan hutan di masa depan, yaitu bahwa:
1. Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang
paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena
menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka.
2. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan
memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka.
3. Masyarakat adat memiliki hukum adat yang ditegakkan.
4. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis
antara mereka dengan ekosistem hutannya.
1. Hutan Garapan
Hutan garapan ini yaitu berupa areal pemanfaatan kawasan hutan yang
diperuntukan untuk kawasan pemukiman, persawahan dan perladangan.
2. Hutan Tutupan
Hutan tutupan ini yaitu kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai hutan
penyangga kehidupan dan hutan lindung. Dalam pemanfaatnnya masyarakat
diperbolehkan untuk memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu guna
kebutuhan sehari-hari. Namun dalam pemanfaatannya terdapat aturan-aturan adat
yang harus patuhi oleh masyarakat.
3. Hutan Titipan
Yaitu berupa kawasan hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat, sehingga tidak
diperbolehkan untuk melakukan pemanfaatan pada kawasan hutan tersebut.
Masyarakat kasepuhan adat meyakini apabila masuk atau bahkan melakukan
pemanfaatan hutan pada kawasan hutan titipan ini maka akan terjadi sesuatu hal
yang tidak diingiinkan, meskipun tidak ada sanksi atas pelanggaran terhadap
kawasan hutan titipan tersebut.
Pembagian kawasan hutan kedalam beberapa zona ini merupakan pembagian
kawasan hutan menurut pemanfaatannya, sehingga dalam pengelolaan nya tidak terjadi
kerusakan hutan akibat tingginya kebutuhan masyarakat akan kayu dan berdampak
pada penggundulan hutan secara besar-besaran tanpa adanya batasan-batasan dalam
pemanfaatan hutan.
Kawasan hutan di Kasepuhaan Ciptagelar, pada saat ini masyarakat hanya
meyakini untuk hutan garapan yaitu hutan yang dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-
hari, hutan tutupan yaitu hutan yang berada dibagian tepi dari hutan titipan. Hutan
titipan merupakan hutan lindung dan memiliki interaksi yang sangat sedikit sekali
bahkan mungkin tidak pernah terjadi interaksi sama sekali dengan masyarakat
kasepuhan.
Hutan titipan tersebut merupakan hutan yang diyakini masyarakat dihuni oleh
mahluk gaib dan sebagai tempat tinggal roh para leluhur. Sedikitnya interaksi
masyarakat terhadap hutan titipan ini meyebabkan hutan titipan sebagai tempat hidup
satwa-satwa liar yang ada di Gunung Halimun. Kearifan lokal inilah yang menjaga
kawasan hutan tetap lestari hingga sekarang dan akan terus dipertahankan eksistensinya
dari generasi ke generasi selanjutnya.
Pembagian zonasi kawasan hutan di Kasepuhan Ciptagelar tidak memiliki batasan
secara tertulis maupun batas berupa pal-pal batas kawasan hutan. Batas-batas zona
pemanfaatan hutan di Kasepuhan Ciptagelar hanya menggunakan pohon palm botol
(Mascarena legeniculus) dan tanaman hanjuang (Cordyline fruiticosa syn) yang
ditanam sebagai batas antara hutan tutupan dan hutan titipan, sedangkan batas hutan
tutupan dengan hutan garapan yaitu berupa gundukan pematang sawah. Batas-batas
tersebut sudah ditetapkan selama berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun
silam sebagai tanda pembatas kawasan zona pemanfaatan.
Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum
kebiasaan dan sebagian kecil Hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum
yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam
lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan
fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang
seperti hidup itu sendiri.
Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki hukum adat atau aturan-aturan adat yang
dipatuhi oleh masyarakat kasepuhan adat. Aturan adat tersebut melekat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai suatu norma tertentu yang dijalankan dan
diwariskan kegenerasi selanjutnya. Aturan-aturan adat dalam pengelolaan dan
pemanfaaatan hutan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan itu sendiri.Aturan–
aturan adat tersebut antara lain:
a. Dalam pemanfaatan kayu guna konstruksi rumah adat
Dalam penebangan kayu terdapat aturan-aturan adat yang harus dilakukan oleh
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan penebangan tersebut hanya boleh dilakukan
pada kawasan hutan tutupan. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan itu
sendiri, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat dari generasi
kegenerasi selanjutnya. Adapun aturan-aturan adat dalam prosesi penebangan
pohon yaitu sebagai berikut:
Sebelum melakukan penebangan pohon, masyarakat adat kasepuhan
diwajibkan untuk melakukan penanaman pohon terlebih dahulu. Setiap
melakukan penebangan satu pohon maka masyarakat diwajibkan untuk
menanam 50 bibit pohon. Penanaman bibit tersebut harus disaksikan oleh
masyarakat kasepuhan adat.
Sebelum melakukan penebangan harus melakukan izin terhadap pemangku
adat terlebih dahulu.
Penebangan tidak boleh dilakukan diareal-areal yang terdapat mata air. Hal ini
bertujuan untuk mejaga kelestarian sumberdaya air, mengingat kebutuhan air
akan persawahan, perladangan, dan kehidupan masyarakat sangat besar.
Penebangan tidak boleh dilakukan di areal-areal yang berpotensi terjadi erosi,
seperti areal-areal yang memiliki kelerengan yang curam. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari erosi itu sendiri.
Penebangan yang dilakukan yaitu dengan sistem penjarangan, yaitu melakukan
penebangan-penebangan pada areal-areal dengan kerapatan yang besar
sehingga tidak terjadi penggundulan kawasan hutan.
Penebangan hanya boleh dilakukan guna pemenuhan kebutuhan akan bahan
konstruksi rumah. Tidak diperbolehkan melakukan penebangan secara besar-
besaran karena akan berdampak pada rusaknya kawasan hutan.
Hasil dari penebangan berupa kayu tidak boleh diperjual-belikan. Penebangan
hanya dilakukan untuk konsumsi pribadi sehingga tidak terjadi penggundulan
hutan secara besar-besaran.
Pada akhirnya disini kita juga memahami bahwa knsepsi hutan larangan pada
masyarakat kasepuhan ini tidak hanya sebatas peraturan larangan namun, sikap
menunjukan kepdulian terhadap lingkungan, secara sadar ini merupakan ajakan untuk
menjaga hutan kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat adat terus
disosialisasikan agar kesadaran masyarakat terhadap hutan larangan dapat terus
dilakukan, kemudian masyarakat juga diajak menjaga debit air dengan menjaga dan
melestarikan hutan. Hal lain selain menjaga hutan larangan, kawasan yang berada
disekitar hutan larangan ditata dalam pembangunan rumah, rumah dibangun dilarang
dikawasan yang memiliki tingkat kemirinagn yang tinggi, sehingga kesadaran ini
ditegaskan oleh nenek moyang agar kelestarian hutan dapat dijaga dalam jangka
panjang.
Penggunaan nilai peduli lingkungan hutan larangan pada masyarakat adat sebagai
sumber belajar di sekolah telah memberikan dampak positif bagi pengembangan
kegiatan pembelajaran di kelas dengan dasar pemikiran pendekatan pendidikan.
Permasalahan yang seringkali dihadapi oleh guru mengenai keterbatasan sumber buku
dapat ditanggulangi dengan menjadikan sumber belajar tidak kaku hanya terfokus pada
buku teks. Sumber belajar dalam pembelajaran di kelas bisa diartikan secara lebih
meluas diantaranya lingkungan sosial, lingkungan alam, budaya, ekonomi peserta didik
sehari-hari. Pendekatan kontekstual menjadi alternative yang bersifat kekinian untuk
mengkorelasikan materi pembelajaran dengan isu-isu sosial kontemporer di sekitar
lingkungan tempat tinggal peserta didik. Selain itu penggunaan masyarakat lokal
sebagai sumber belajar merupakan alternatifinovasi pembelajaran yang menarik
perhatian peserta didik. Metode dan strategi pembelajaran yang dianggap monoton
seringkali menimbulkan kebosanan bagi peserta didik.
Beberapa nilai peduli lingkungan yang berada dalam hutan larangan yang dapat
dikembangkan dalam pembelajaran pendidikan di sekolah. Nilai adat merupakan hal
yang melekat dalam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Begitu
tingginya nilai adat dalam kehidupan mereka, maka dasar kehidupan mereka
dipengaruhi oleh nilai-nilai adat tersebut. Kedudukan nilai adat dituangkan dalam
pikukuh adat seperti “ Ibu bumi bapa langi” misalnya. Ungkapan ini memberi
kesadaran kepada masayarakat adat Kasepuhan Ciptagelar bahwa bumi itu kayaknya
ibu yang memberikan kasih sayagnya, sehingga ibu ini harus dihormati, maka dari itu
kesadaran diri akan sikap dan tindakan perlu dicermati dan dapat memberi manfaat
kepada manusia dan makhluk lainnya. Kesadaran ini dapat dikembangkan dalam
pembelajaran sosiologi di sekolah terkait dengan peran manusia dengan lingkungan
(Holilah, 2017).