Anda di halaman 1dari 51

BAB II

KERANGKA TEORITIK

A. Konsep Dasar Pendidikan Ekologi

1. Pengertian Pendidikan Ekologi

Pada hakikatnya pendidikan merupakan usaha sadar manusia untuk

membentuk manusia seutuhnya baik sebagai makhluk individu maupun sosial

agar dapat mewujudkan bangsa yang beradab. Tentu ada banyak definisi

pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli, sebagai tolak ukur dari definisi-

definisi itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)27 memberikan penjelasan

yang cukup memadai tentang makna pendidikan, yaitu:

“Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan
diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang
artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan
sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan tingkah
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.”

Ada satu hal penting yang bisa ditarik daeri definisi di atas yang tercakup

dalam proses pendidikan yaitu pendewasaan diri melalui pengajaran, bimbingan

dan pelatihan. Rechey menjelaskan pengertian pendidikan sebagai berikut:

The term “education” refers to the broad function of


preservingand improving the life of the group through bringing
new members into its shared concern. Education is thus a far
broader process than that whih occurs in schools. It is an
essencial social activity by which communities continue to exist.
In complex communities this function is specialized and
institutionalized in formal education, but there is always the
education outside the schoolwith which the formal process in
related.28

27
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 1985), 702
28
M. Ner Syam, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 4

26
2

Menurutnya istilah ‘pendidikan’ berkenaan dengan fungsi yang luas dari

pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama untuk

memperkenalkan warga masyarakat baru (generasi muda) pada pengenalan

terhadap kewajiban dan tanggungjawabnya di tengah masyarakat. Jadi, proses

pendidikan jauh lebih luas ketimbang proses yang berlangsung di sekolah semata.

Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial penting yang berfungsi untuk

mentransformasikan keadaan suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.

Keterkaitan pendidikan dengan keadaan sosial sangatlah erat, sehingga pendidikan

mungkin mengalami proses spesialisasi dan institusionalisasi sesuai dengan

kebutuhan masyarakat yang kompleks dan modern. Meski demikian, proses

pendidikan secara menyeluruh tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan

informal yang berlangsung di luar sekolah.

Oleh karenanya, pendidikan merupakan sistem yang bersifat terbuka.

Pendidikan sebagai sebuah sistem memiliki dua dimensi, yaitu dimensi entitas dan

dimensi metode. Dalam makna entitas, pendidikan memiliki beberapa komponen

yang saling berkait satu sama lain, saling bergantung secara komprehensif untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan. Komponen-komponen tersebut adalah

filosofi dan tujuan, kurikulum dan sistem pembelajaran, motode dan alat, peserta

didik, pendidik, organisasi/lembaga, serta lingkungan pendidikan. Di sisi lain,

apabila pendidikan dilihat sebagai sistem dalam makna metode dapat diartikan

bahwa pendidikan merupakan cara yang ditempuh dalam proses membimbing dan

membantu anak secara manusiawi agar anak berkembang secara normatif lebih

baik, hingga menjadi mandiri dan bertanggung jawab.


3

Dua dimensi tentang pendidikan ini setidaknya melahirkan fungsi pokok

yang oleh Hasan Langgulung29 diklasifikasikan dalam dua hal, yaitu: pertama,

dari pandangan masyarakat yang menjadi tempat bagi berlangsungnya pendidikan

sebagai satu upaya penting pewarisan kebudayaan yang dilakukan oleh generasi

tua kepada generasi muda agar kehidupan masyarakat tetap berlanjut. Kedua, dari

sisi kepentingan individu, pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan

potensi-potensi tersembunyi yang dimiliki manusia.

Bilamana pendidikan dilihat dari aspek dimensi dan fungsi pokoknya,

maka banyak faktor yang mempengaruhi sistem pendidikan, baik faktor yang

berasal dari dalam maupun luar. Secara makro, faktor dari luar merupakan sistem

yang berada di luar pendidikan, antara lain ideologi, ekonomi, politik, sosial

budaya, lingkungan alam, dan lain-lain. Yang saling berinteraksi dan saling

mempengaruhi dengan sistem pendidikan. Dengan demikian, pendidikan akan

dipengaruhi oleh bahkan berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun

lingkungan alam dalam ekosistem yang lebih luas. Konsep ini mengarahkan pada

pemahaman dan pembahasan pendidikan dilihat dalam perspektif ekologi.

2. Konstruksi Pendidikan Ekologi

Keberadaan ekologi dalam pendidikan mencakup berbagai wilayah dan

merangkulnya sekaligus termasuk sosial, kultur, faktor lingkungan dan geografis

yang secara kolektif mempengaruhi bentuk dari individu dan identitasnya,

keluarga dan komunitas, kebijakan-kebijakan dan lingkungan sendiri. Kehadiran

ekologi dalam pendidikan merupakan perjuangan terhadap apa yang menjadi


29
Dr. H. Mahmud, M. Si., Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 20
4

kelemahan saat ini. Bingkai utama dari pendidikan ekologi adalah usaha untuk

mengenali dan mengakui bahwa manusia merupakan bagian kecil dari sebuah

puzzle besar. Untuk memahami pendidikan ekologi setidaknya ada empat konsep

mendasar penopang konstruksi pendidikan ekologi, yaitu pengalaman hidup (lived

experience), ruang belajar (place), pengalaman pedagogis, agen dan partisipasi

aktif.

1. Pengalaman Hidup

Secara konseptual pendekatan ekologi pada pendidikan

menitikberatkan kepada pentingnya pengalaman hidup. Gambaran

konsep dari ekologi merangkum kualitas-kualitas eksistensial dalam

hidup manusia seperti kualitas spasial (ruang kehidupan), kualitas

jasaditas (kehidupan fisik), relasionalitas hidup dengan sesama, dan

kualitas temporalitas (jangka waktu kehidupan). Hal ini berdasar pada

fakta bahwa semua fenomena pengetahuan tentang manusia adalah

usaha untuk menggali struktur dunia manusia (live world/lebenswelt).

Dunia pengalaman hidup manusia adalah situasi sehari-hari yang

dialami manusia beserta hubunganya, dimana struktur dunia

kehidupan manusia merupakan perpaduan antara pengalaman dan

struktur nilai kehidupan yang sangat kompleks.30

Studi yang dipakai untuk memahami pendekatan ekologi adalah

fenomenologi.31 Terutama karena yang pemahaman yang dihasilkan


30
M. Van Manen, Researching Lived Experience: Human Science for an Action sensitive
Pedagogy (London: Althouse Press, 1997), 101.
31
Dalam konteks ekologi fenomenologi adalah pendekatan filosofis dalam studi mengenal alam
lingkungan dan struktur pengelaman sebagaimana dialami dan dipahami terutama dari sudut
pandang subjektif bagaimana pemahaman tentang nilai-nilai dan penanaman nilai-nilai dalam
5

merupakan prespektif intrinsik yang mendalam dari pelaku pendidikan

dengan pendekatan ekologi, dimana merupakan pemahaman dari

betapa pentingnya lingkungan sosial, kultur, dan latar belakang

historis.32 Ketiga hal inilah yang memberikan prespektif intrinsik pada

setiap orang, walaupun pemahaman yang dihasilkan berbeda-beda dan

subjektif akan tetapi stimulusnya sama adalah lingkungan sosial,

kultur suatu daerah dan latar belakang sejarah setiap orang yang

dialami dalam pengalaman masing-masing pribadi.

2. Ruang Belajar (Place)

Tempat selalu dinamis menurut sifatnya. Dalam pikiran manusia

tempat selau dikaitkan dengan segala sesuatu yang mereka alami dan

interpretasikan menjadi sesuatu yang terbentuk dari lingkungan,

masyarakat, politik, dan respon terhadap tradisi dan budaya yang

terdapat pada suatu lokasi. Dalam pendidikan ekologi ruang belajar

merupakan cara bagaimana seseorang mengembangkan dan

mengalami rasa keterikatan terhadap lokasi tertentu, dan dapat

menyimpan dalam dirinya dua realitas, yaitu realitas imajinatif dan

realitas fisik.33

Pendekatan tempat sebagai ruang belajar menjadikan pendidikan

ekologi juga memiliki pendekatan place responsive approach, dengan


kehidupan oleh si pelaku. Trent D. Brown dan Phillip G. Payne, “Conceptualizing The
Phenomenology of Movement in Physical Education: Implications for Pedagogical Inquiry and
Development,” Quest 61, no. 4 (2009): 418–441
32
M. Ryan dan T. Rossi, “The Tran disciplinary Potential of Multiliteracies: Bodily Performance
and Meaning-making in Health and Education,” dalam Multiliteracies and Diversity in Education
– New Pedagogies for Expanding Landscape (Melbourne: Oxford University Press, 2008), 40.
33
B. Wattchow dan M. Brown, Pedagogy of Place: Outdoor Education for a Changing World
(Melbourne: Monash University, 2011), 344.
6

sifatnya menghubungkan pembelajaran di sekolah dengan kehidupan

masyarakat dan lingkungan ekologi. Bukan hanya guru tetapi semua

unsur sekolah sebagai satuan pendidikan seperti pegawai pendidikan,

siswa, guru, unsur pimpinan, orang tua dapat berpartisipasi secara

langsung dalam lingkungan masyarakat dan terlibat langsung dalam

kehidupan masyarakat yang mau tidak mau, hal tersebut membentuk

hidup mereka.

3. Pengalaman Pedagogis

“An ounce of experience id better than a ton of theory simply


because it is only in experience that theory has vital and verifiable
significance.” (John Dewey).

Dewey berasumsi bahwa manusia belajar melalui pengalaman, dan

beberapa pengalaman itu memiliki sifat mendidik walaupun beberapa

tidak mendidik. Hampir senada dengan Dewey, Joplin berpendapat

bahwa meskipun semua pembelajaran adalah pengalaman yang dialami,

akan tetapi tidak semua pembelajaran benar-benar sengaja direncanakan.

Yang sangat penting adalah memahami pengalaman bahwa semua

pengalaman harus dipahami secara terus menerus, karena pengalaman

masa lampau selalu memiliki koneksi dengan pengalaman sekarang dan

masa depan.34

Dalam konteks pendidikan ekologi yang terpenting adalah koneksi

pengalaman ini. Bagi pengajar, harus mengetahui pengalaman hidup,

ruang dan sumber belajar yang ada di kelas, dan memastikan bahwa

K. Warren, M. Sakofs, dan J. Hunt, The Theory of Experiental Education, (Dubuque: Kendall
34

Hunt, 1981), 15–22.


7

setiap peserta yang terlibat dalam pembelajaran mengalami

pengalaman dalam waktu yang sama. Ketentuan dari pengalaman

belajar dan fasilitas penunjangnya melalui perefleksian yang benar-

benar direncanakan merupakan bagaimana pembelajaran berbasis

pengalan hidup ini dijalankan.

Pengetahuan dalam pembelajaran pendidikan ekologi bersifat muncul

secara spontan, mengalir dan tidak menentu, dan merupakan proses

interaksi yang dinamis, dimana sebagai hasilnya adalah perkembangan

pengetahuan melalui praktik, melaui pengalaman, atau melalui

pengalaman menjadi pengetahuan yang tertanam dan menjadi sejenis

“Personal Theory” bagi semua peserta pembelajaran yang terlibat.

4. Agen dan Partisipasi Aktif

Dalam istilah yang sederhana, agen dapat diartikan sebagai

kapasitas individual untuk bertindak secara independen dan membuat

keputusan yang bebas. Agen atau aktor adalah gagasan sentral dalam

beragamnya teori sosial, termasuk sosiologi, ekonomi, dan ilmu

politik. Kinerja utama dari agen adalah melakukan transformasi sosial.

Agen merupakan sosok yang harus dibangun kesadaranya akan

pentingnya perubahan sosial yang diembanya. Rekonstruksi sosial dan

persoalan yang harus diejawantahkan dalam proses pembelajaran

dalam pendidikan ekologi sosial. Bagaimana seorang individu yang

terlibat dalam pendidikan mampu melihat persoalan, menganalisis

sebab yang paling mendasar dan memilih solusi yang paling efektif,

serta menjadikan dirinya sebagai bagian dari solusi tersebut,


8

merupakan rangkaian perangkat kemampuan dan posisioning yang

harus diinternalisasikan dalam proses pembelajaran dalam pendidikan

ekologi.

Partisipasi aktif merupakan bagian yang paling esensial bagi

seorang agen dalam menjalankan aksi dan kinerjanya dalam

pendidikan ekologi. Partisipasi aktif bukan hanya sebuah

penerjemahan sederhana tentang bagaimana seorang agen terlibat

dalam sebuah aktifitas, tetapi lebih dari itu. Partisipasi aktif harus

melibatkan agen dalam perencanaan dan konsultasi tentang apa dan

bagaimana mereka akan belajar sesuatu. Perencanaan dan konsultasi

merupakan dasar fundamental dalam memunculkan partisipasi aktif.

Partisipasi aktif hanya akan muncul apabila peserta didik pelibatan

yang spesisfik dalam key decision making proses (proses pengambilan

kepustusan).35

Dalam kaitan pendidikan ekologi dengan peserta didik, pendekatan

ekologi terhadap manajemen lingkungan dalam dunia pendidikan akan

membawa lingkungan kepada sistem ketahanan lingkungan untuk

menghadapi perubahan dan ketidak pastian.36 Sementara pendidikan

berfokus pada perilaku bertanggung jawab yang mengarah kepada

perbaikan lingkungan dengan segera, dalam konteks ini lebih kepada

35
Nigel Thomas, “Towards a Theory of Children’s Participation,” The International Journal of
Children’s Rights 15, no. 2 (2007): 199–218.
36
Marianne E. Krasny, Cecilia Lundholm, dan Ryan Plummer, Resilience in Social–Ecological
Systems: The Roles of Learning and Education (t.p: Taylor & Francis, 2010), 463
9

pembinaan baik refleksi maupun kemampuan merespon peserta didik

terhadap feed back dari sistem mengenai kesadaran akan perbuatanya.37

3. Pendidikan sebagai Sistem Pengendalian Lingkungan

Pendidikan sebagai suatu sistem secara garis besar mencakup: konteks,

kualitas individu (raw input), proses, komponen yang dimasukkan untuk

menunjang pembelajaran (instrumental input), faktor lingkungan (enviromental

input), hasil (output) dan kemanfaatan (outcome). Sebagaimana yang dipaparkan

oleh Endang Soenarya38, instrumental input mencakup: tujuan pendidikan,

kurikulum, tenaga kependidikan, ideologi, pengelolaan, penilaian, pengawasan

dan peran serta masyarakat. Sedangkan enviromental input meliputi: geografi,

demografi lingkungan fisik, agama, fasilitas dan biaya, politik, ekonomi, sosial,

budaya, hukum, pertahanan dan keamanan.

Secara garis besar beberapa komponen penting yang terdapat pada sistem

pendidikan merupakan perangkat yang terdiri dari bagian-bagian yang saling

berkaitan satu sama lain dalam rangka melaksanakan proses pembudayaan

masyarakat yang menumbuhkan nilai-nilai yang seirama dengan cita-cita yang

diperjuangkan oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga nilai-nilai budaya masyarakat

akan mengalami perubahan-perubahan bentuk dan model sesuai dengan tuntutan

kebutuhan hidup dalam rangka mengejar cita-cita hidup yang sejahtera lahir

maupun batin menjadi faktor penting ke arah mana pendidikan harus

diproyeksikan.

37
Ibid, 464.
38
Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem
(Yogyakarta: Adicita karya Nusa, 2000), 58
10

Dunia pendidikan tidaklah sebatas mengetahui ilmu dan memahaminya,

akan tetapi dalam dunia pendidikan sangat berhubungan dengan dunia luar yang

nyata. Pendidikan terdiri dari berbagai elemen yang saling berkaitan untuk

mencapai tujuan yang diharapkan bersama, dari hal itu dapat disebut bahwa

pendidikan sebagai suatu sistem pengendalian lingkungan.

Bilamana pendidikan disebutkan sebagai satu elemen kehidupan terpenting

dan substansial dalam hal memajukan peradaban bangsa melalui pemberdayaan

dan pengembangan kualitas SDM, maka secara kausalitas sejatinya pendidikan

berkaitan erat pula dengan lingkungan atau alam semesta yang sejak awal menjadi

tempat dimana manusia diciptakan sebagai penghuninya. Sehingga tanggung

jawab pelestarian dan perlindungan terhadap alam semesta ini, baik darat laut

maupun udara diemban oleh segenap manusia. Melalui pendidikan manusia akan

dibekali ilmu pengetahuan dalam mengatur porsi pengelolaan dan pemanfaatan

potensi yang dimiliki oleh lingkungan sekitar.

B. Krisis Sosio-Ekologis

Dalam sub tema ini penulis akan mencoba untuk mengurai beberapa

realita konflik sosial yang terjadi sebagai faktor mendasar yang memicu

munculnya berbagai persoalan dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali

lingkungan.

Sebagaimana yang telah diketahui bersama, memasuki era industrialisasi

dimana nyaris nilai-nilai ekonomi yang materialistik menyamai posisi Tuhan,

seakan manusia hari ini tidak bisa hidup tanpa materi. Sifat serakah akan dengan

mudah merasuki alam berpikir manusia hingga terbentuk sebuah karakter yang
11

kuat dalam menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Maka alam yang

menyimpan serumpun potensi baik menjadi sasaran empuk dalam rangka

mencapai kepuasaan keserakahannya. Tak ayal jika kemudian eksploitasi

kekakayaan SDA terjadi dimana-mana secara berlebihan. Sementara dampak dari

eksploitasi dalam skala yang berlebihan itu tidak dipedulikan.

Untuk kemudian bisa melacak sumbu persoalan ini maka penulis akan

mencoba untuk menggunakan perspektif konflik Karl Marx yang memosisikan

konteks kesenjangan sosial sebagai faktor utama terjadinya persoalan ekologi.

Sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Zainuddin Maliki dalam bukunya

Sosiologi Pendidikan39 tentang Pendidikan dalam Perspektif struktural Konflik,

Perspektif Konflik Karl Marx ini lahir pada saat terjadi krisis sosial sebagai akibat

munculnya revolusi industri. Marx melihat terjadinya kemelaratan dan

keserakahan di tengah masyarakat. Dia melihat gambaran penderitaan dari

kehidupan kaum pekerja yang nestapa, kontras dengan gaya kehidupan kaum

pemilik modal yang mewah. Para pekerja menyumbang banyak tenaga dan waktu,

tetapi tidak menikmati surplus sepadan dengan nilai kerja yang telah mereka

berikan, sebuah keadaan yang berbeda dengan yang telah diperoleh para majikan.

Pikiran awal Marx dipengaruhi oleh munculnya industrialisasi abad ke-19,

yang telah melahirkan fenomena yang bertolakbelakang antara buruh yang hidup

menderita dan sengsara di satu pihak dan pemilik alat-alat produksi yang

menikmati surplus yang disumbangkan oleh keringat dan tenaga yang dikeluarkan

oleh kaum buruh di lain pihak. Dari latar belakang sejarah itu kemudian dapat

39
Prof. Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008),
147
12

ditelusuri benang merah yang menggambarkan munculnya kondisi yang

mempengaruhi aliran Marxis awal, yaitu yang pertama munculnya tekanan

struktural yang kuat terhadap individu dan kedua, kondisi industri yang

memperburuk hubungan sosial yang membawa ke dalam alienasi, bukan saja

alienasi individual melainkan alienasi massal sejalan dengan persebaran mode of

production yang dikendalikan oleh industri.

Sejumlah ilmuan sosial berusaha menjelaskan bahwa perspektif konflik

yang berakar pada pemikiran Karl Marx, betapapun radikalisme diakui sebagai

salah satu jalan keluar sehingga sangat erat dengan revolusi, hal itu tidak

dimaksudkan untuk menumpahkan darah. Goerge Ritzer misalnya mengatakan

bahwa tidak benar kalau marxisme dikatakan sebagai ideologi radikal yang haus

darah (a bloodthirsty radical ideology). Marx adalah seorang humanis. Hatinya

terluka melihat penderitaan kaum buruh akibat ekspoitasi di bawah sistem yang

kapitalistik.

Rasa kemanusiaan itu mendorong untuk mencetuskan keinginan merubah

tatanan kapitalistik dalam sistem yang mapan tetapi dalam praktik

mengeksploitasi masyarakat. Oleh karena itu sistem tersebut harus diubah agar

menjadi lebih manusiawi. Tetapi hal itu hanya mungkin terjadi dalam sistem

sosialis. Kendati hal demikian—tanpa bermaksud pemisis, sangat kecil

kemungkinan untuk diselesaikan. Sebab hegemoni kapital yang diwadahi oleh

para oligator politik membuat masyarakat semakin dijerat. Contoh kasus

Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang

pada rezim kepemerintahan era Jokowi melalui kabinet kerjanya Indoensia Maju
13

berusaha untuk disahkan menjadi kasus krusial yang banyak menimbulkan

kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Karena dalam beberapa pasalnya

disinyalir semakin melemahkan hak azasi manusia para kaum buruh dengan

memberlakukan upah minimum40.

Berawal dari teori konflik Marx inilah—yang mengklasifikasikan

masyarakat dalam dua struktur ketimpangan sosial yang kemudian dikenal dengan

istilah borjuis (kelas sosial dari orang-orang yang dicirikan oleh kepemilikan

modal dan kelakuan yang terkait dengan kepemikian tersebut) dan proletar (kelas

sosial yang rendah: kelas sosial ini kemudian disebut dengan proletarian),

persoalan ekologi terus terjadi dan semakin lama semakin menginjak kondisi yang

memprihatinkan.41

Ketersediaan potensi alam yang melimpah di Indonesia terbentang luas

dari ujung timur sampai barat, dengan gugusan ribuan pulau, di beberapa sisi telah

mengalami kerusakan, akibat dari keserakahan pemodal itu yang haus akan

kekuasaan. Di era industri ini, sebagaimana yang disampaikan Marx, menjadi

kesempatan yang cukup menguntungkan bagi mereka. Maka eksploitasi terus

dilakukan dimana-mana, baik itu di darat maupun di laut, hanya untuk memenuhi

hasrat keserakahan segelintir orang. Sedangkan dampak kerusakan alam akibat

dari eksploitasi yang berlebihan ini dirasakan oleh semua pihak. Kesenjangan

sosial ini kemudian akan semakin mencerabut nilai-nilai kemanusian dari corong

kemajuan peradaban dunia.

40
http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20200120132529-92-466954/melihat-poin-uu-omnibus-law-
cipta-kerja-yang-didemo-buruh. Diakses pada 22 Februari 2020. Pukul 19:38 WIB
41
John Bellamy Foster, Ekologi Marx: Materialisme dan Alam, ter. Plus Ginting dan NJ Bachtiar
(Jakarta: WALHI, 2013), 249.
14

1. Ekologi Manusia

Ekologi biasanya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan

antara satu organisme dengan yang lainnya dan antara organisme tersebut dengan

lingkungannya. Secara etimologi kata ekologi berasal dari oikos (rumah tangga)

dan logos (ilmu) yang diperkenankan pertama kali dalam biologi oleh seorang

biolog Jerman Ernst Hackel. Definisi ekologi menurut Otto Soemarwoto adalah

ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

lingkungannya.42

Kemudian pada perkembangannya, ekologi sering dikaitkan dengan

berbagai subjek yang ada, entah itu akademisi, pemerintah, institusi pendidikan

maupun pesantren—yang akan menjadi fokus pembahasan dalam penyusunan

skripsi ini. Ekologi kemudian dihubungkan dengan manusia sebagai pemeran

utama dalam pengendalian ekologi itu sendiri. Hal ini dilakukan tidak lebih

sebagai disiplin akademik yang di dalamnya mencakup banyak hal tentang

pengaruh manusia sebagai subjek terhadap pengelolaan lingkungan.

Secara implisit dapat dipahami bahwa ekologi manusia dapat diartikan

sebagai ilmu yang mempelajari tentang hubungan dan interaksi antara manusia,

bilogi, kebudayaan dan lingkunga fisik tempat kebudayaan tersebut berkembang.

Dasar kajian ekologi manusia adalah konsep perubahan dan adaptasi lingkungan

hidup. Lingkungan hidup senantiasa berubah secara dinamis, perubahannya pun

tergantung ruang, waktu dan tempat. Perubahan lingkungan hidup mengharuskan

42
Aditia Syaprillah, Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan (Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2016), 12.
15

setiap organisme beradaptasi terhadap habitat tersebut, manusia memerlukan

mekanisme biologis sekaligus kultural.

Dalam aspek yang lebih luas, ekologi manusia menyelidiki tentang

kehidupan manusia—seperti perekonomian, pola hubungan sosial terstruktur

antarindividu, kekuasaan dan perpolitikan, serta nilai dan tatanan norma suatu

masyarakat—yang membentuk dan dibentuk oleh lingkungan dalam hubungan

timbal balik yang dialektis. Kemudian untuk bisa memahami hubungan ini, sosial

budaya ekologi manusia tidak hanya menyasar pada tatanan sosial budaya, tetapi

juga aspek-aspek ekologis sebagai satu kesatuan yang homolistik dengan

kehidupan sosial budaya.43

Menurut Lawrence44, ada empat asumsi pokok dalam ekologi manusia.

Pertama, semua organisme memberikan dampak terhadap lingkungannya, baik

anorganik maupun organiki. Organnisme tersebut merupakan bagian dari suatu

sistem ekologis, keberadaanya juga memengaruhi organisme lainnya. Interaksi

antara organisme dan lingkungannya memengaruhi volume dan kualitas sumber

daya yang ada, kelautan atau limbah, dan penciptaan sumber daya baru.

Prinsip kedua, ekosistem manusia bersifat terbuka. Artinya ekosistem

dipengaruhi oleh faktor eksternal, baik yang sifatnya ekobiologis maupun sosial

budaya. Terkait dengan prinsip ini, sulit memahami anggapan ekosistem manusia

bersifat otonom dan transenden. Perubahan di dalam dan di luar ekosistem

buknalah sesuatu yang berdiri sendiri. Pemilihan antara ‘dalam’ dan ‘luar’ di sini

Prof. Oekan S. Abdoellah, Ph.D., Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan (Jakarta: PT
Gramedia, 2017), 3.
43
Ibid., 4
44
Ibid., 17
16

hanya dalam arti analisis, bukan ontologis. Pada dasarnya tidak ada yang terpisah

dari ekosistem manusia.

Prinsip ketiga, manusia dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidup

biologisnya menciptakan dan mengubah daya atau energi dari lingkungannya

menggunakan materi, energi dan sistem pengetahuan yang berada dalam konteks

kehidupannya sebagai makhluk sosial. Semua ini berada dalam konteks

keseimbangan dan keberlanjutan kedua sisi ekosistem. Ketimpangan proses

ekologis dalam proses sosial akan berujung pada ketidakseimbangan, baik dalam

hubungan antarmanusia maupun manusia dengan lingkungannya. Berbagai akibat

negatif timbul dari ketidakseimbangan antara proses sosial dan ekologis itu,

seperti perubahan iklim, penurunan lapisan ozon, pengurangan keanekaragaman

hayati, banjir, kekeringan dan berbagai persoalan lingkungan lainnya.

Prinsip keempat, manusia dibedakan dengan makhluk hidup lainnya

berdasarkan kemampuannya dalam mengatur, merekayasa dan mengendalikan

lingkungan alamnya. Manusia mempunyai mekanisme yang memungkinkan untuk

bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Berbeda dari organisme

lain, mekanisme adaptasi manusia tidak bersifat biologis melalui mutasi gen,

tetapi kultural melalui mutasi perilaku.

Dalam ekologi manusia, konsep adaptasi memiliki arti penting. Dalam

konteks perubahan yang berkelanjutan, adaptasi merupakan suatu proses interelasi

yang mempertahankan keberlanjutan manusia. Hasil dari proses adaptasi

tergantung pada mekanisme kompleks yang terbangun secara historis dan

melibatkan faktor biologis, ekologis dan sosial budaya. Sedangkan menaisme


17

pengaturan budaya dan sosial ditransmisikan dari generasi ke generasi dan

menjadi bagian dari pengalaman kolektif komunitas. Bekalnya ialah segala bentuk

pranata, adat kebiasaan, sistem pengetahuan dan teknologi yang telah ada, serta

berbagai sumber daya alam yang berada dalam sistem pengetahuan dan teknologi

tersebut.

Dengan demikian, hubungan natara manusia dan lingkungan terwujud

dalam tiga tahap proses, yakni fisiologis, psikologis dan sosial budaya.

Pengalaman manusia atas lingkungan alam dan perubahannya tidak hanya berada

pada tingkatan sensasi dan persepsi individual, tetapi jug kepercayaan, doktrin,

sistem gagasan dan nilai sosial kolektif.

Berbeda dengan organisme lainnya, hubungan antara manusia dan

lingkungannya dicirikan dengan pengetahuan yang bersifat diskursif dan reflesif,

termasuk juga di dalamnnya lambang-lambang yang maknanya dibangun secara

kultural melalui representasi linguistik. Inilah keunikan manusia yang jika

dibandingkan dengan organisme lainnya terdapat perbedaam dalam hubungannya

dengan lingkungan beserta perubahan volume, kualitas dan aspek keruangannya.

Hubungan manusia dengan lingkungan yang dapat ditemukan dalam tiga

aspek tersebut, melalui psikologi dan sosial budaya inilah jika disandingkan

dengan teori etika lingkungan, sebagaimana yang dibahas dengan sangat detail

oleh A. Sonny Keraf,45 mengklasifikasikannya dalam empat teori dasar,

diantaranya:

Pertama, Antroposentrisme. Teori etika lingkungan ini memandang

manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya
45
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 33.
18

dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan

yang diamhbil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun atu tidak

langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan lingkungannya. Hanya manusia yang

mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam

semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi

kepentingan manusia. Oleh karena itu alam pun dilihat hanya sebagai objek, alat

dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat

bagi pencapai tujuan manusia.

Antroposentrisme juga dilihat sebagai sebuah teori filsafat yang

mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan

bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan

paling penting. Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusi.

Maka segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggungjawab moral

manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan,

tidak relevan dan tidak pada tempatnya. Kalaupun tuntan seperti itu masuk akal,

itu hanya dalam pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban

dan tanggungjawab moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan

tanggungjawab moral manusia terhadap lingkungan—kalaupun itu ada—itu

semata-mata demi memenuhi kepentingan sesama manusia. Kewajiban dan

tanggungjawab moral manusia ini terhadap alam hanya merupakan perwujudan

kewajiban dan tanggungjawab moral terhadap sesama manusia. Bukan merupakan

perwujudan kewajiban dan tanggungjawab moral manusia terhadap alam itu

sendiri.
19

Sejauh ini, teori antroposentrisme ini dituduh sebagai salah satu penyebab,

bahkan penyebab utama, dari krisis lingkungan yang dialami sekarang. Krisis

lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhin oleh cara

pandang antroposentris. Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia

mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan

kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian terhadap kelestarian alam.

Pola prilaku yang eksploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut

dianggap berakar pada cara pandang yang hany mementingkan kepentingan

manusia. Maka sikap dan prilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia

mengambil semua kebutuhannya sendiri dari alam tanpa mempertimbangkan

kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi kepentingan manusia saja.

Akan tetapi di lain sisi teori antroposentris ini tidak lebih sebagai satu

upaya untuk menyadarkan manusia bahwa alam semesta ini diciptakan memang

untuk manusia, agar manusia bisa memanfaatkan dan merasakan hasil dari potensi

yang dimiliki alam itu sendiri, dengan begitu kelestarian lingkungan harus dijaga

berdasarkan etika dan nilai yang selama ini menjadi tanggungjawab bersama

untuk kebaikan. Dengan begitu pemanfaatan sumber daya alam dilakukan dengan

tidak berlebihan, sesuai dengan porsinya.

Kedua, Biosentrisme. Kalau antroposentrisme menggugah manusia untuk

menyelamatkan lingkungan, itu didasarkan pada alasan bahwa lingkungan dan

alam semesta dibutuhkan manusia demi memuaskan kepentingannya.

Biosentrisme justru sebaliknya menolak argumen antroposentrisme ini.


20

Bagi biosentrisme tidak benar bahwa hanya manusia yang mempunyai

nilai. Alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri terlepas dari kepentingan

manusia. Ciri utama etika ini adalah biocentric, karena teori ini menganggap

setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya

sendiri. Teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam

semesta. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas

mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara

moral. Terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak.

Hal demikian menjadi sangat rasional bila dilihat dari pusat perhatian dan yang

dibela oleh teori ini adalah kehidupan, secara moral, berlaku prinsip bahwa setiap

kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama sehingga hrus

dilindungi dan diselamatkan. Teori ini mendasarkan moralitas pada keluhuran

kehidupan, entah pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Karena bernilai

pada dirinya sendiri, kehidupan harus dilindungi. Untuk itu diperlukan etika yang

berfungsi menuntun manusia untuk bertindak secara baik demi menjaga dan

melindungi kehidupan tersebut.

Jadi, biosentrisme mengklaim bahwa manusia mempunyai nilai moral dan

berharga justru karena kehidupan dalam diri manusia bernilai pada dirinya sendiri.

Hal ini juga berlaku bagi setiap kehidupan di muka bumi ini. Artinya prinsip yang

sama berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan yang memberi serta menjamin

kehidupan bagi makhluk hidup. Tanah atau bumi, dengan demikian bernilai moral

dan harus diperlakukan secara moral, karena memberi begitu banyak kehidupan.
21

Konsekuensinya, alam semesta adalah sebuah komunitas moral, dimana

setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun yang bukan

manusia sama-sama mempunyai nilai moral. Seluruh kehidupan di alam semesta

sesungguhnya membentuk sebuah komunitas moral. Oleh karena itu kehidupan

makhluk apapun pantas dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan

tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan

manusia.

Ketiga, Ekosentrisme. Teori ini merupakan kelanjutan dari etika

lingkungan biosentrisme. Sebagai kelanjutan biosentrisme, ekosentrisme

seringkali disamakan begitu saja dengan biosentrisme. Karena ada banyak

kesamaan di antara kedua teori ini. Kedua teori ini mendobrak cara pandang

antroposentrismeyang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas

manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas

yang lebih luas. Pada biosentrisme, etika dioerkuas untuk mencakup komunitas

biosentrisme. Sementara pada ekosentrisme, etika diperluas untuk mencakup

komunitas ekologis keseluruhan.

Konsep itu berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan etika

pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan

etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Secara

ekologis makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama

lain. Oleh karena itu kewajiban dan tanggungjawab moral tidak hanya dibatasi

pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggungjawab moral yang sama juga

berlaku terhadap semua realitas ekologis.


22

Secara garis besar teori-teori yang berkembang tentang hubungan antara

manusia dengan lingkungan, yang kemudian disebut dengan ekologi manusia,

semua itu juga terdapat pada teori dan pendekatan yang penulis gunakan sebagai

perspektif dalam menggali data seputar problematika krisis sosio-ekologis yang

terjadi.46

Pertama, Determinasi Lingkungan (enviromental determinism), teori ini

meyakini bahwa lingkungan alam fisik menentukan bentuk kehidupan sosial

budaya manusia sepenuhnya. Lingkungan alam dianggap sebagai satu-satunya

anasir pembentuk kehidupan. Perubahan lingkunga fisik senantiasa dan niscaya

mengubah kehidupan manusia yang hidup di dalamnya. Lingkungan alam

mempengaruhi pola kehidupan manusia karena alam beserta isinya di muka bumi

ini memiliki etika tersendiri yang terus berkaitan dengan kehidupan bilogis

manusia, sebagaimana teori biosentrisme dan ekosentrisme. Secara historis

gagasan ini muncul sejak lama. Dalam sudut pandang eropa, teori sudah ada sejak

masa para filsuf Yunani-Romawi Kuno dan terus bertahan hingga menjelang acad

ke-20 di antara para sarjana eropa.

Kedua, kementakan pengaruh lingkungan (enviromental possibilism).

Teori ini pertama kali dikembangkan oleh ahli geografi asal Prancis, Paul Vidal

Dela Blanche (1845-1918). Kemudian disempurnakan oleh Febver pada 1924

sebagai bentuk penolakan terhadap teori determinasi lingkungan (Barrow, 2003).

Para penganut paham kementakan lingkungan ini berpandangan bahwa alam atau

lingkungan memang memiliki peran tertentu terhadap kehidupan manusia.47

46
Abdoellah, Ekologi Manusia, 54
47
Ibid., 62
23

Menurut teori kementakan lingkungan, alam fisik bukanlah satu-satunya

faktor yang menentukan bentuk, ragam dan perkembangan kebuyaan manusia.

Lingkungan alam, hanyalah faktor pembatas yang memberikan kemungkinan

terbentuknya pola-pola kebudayaan terntentu. Dalam hubungannya dengan

manusia, lingkungan tidak menentukan, tetapi mempengaruhi. Teori ini kemudian

menculkan pola pikir bahwa alam hanya ada untuk manusia, karena

keberadaannya akan memengaruhi manusia untuk melakukan pemanfaatan alam

itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana prinsip-prinsip

ekologi manusia yang oleh Lawrence diklasifikasikan ke dalam empat asumsi

pokok seperti yang dipaparkan sebelumnya.

2. Kapitalisme Ekstraktif

Kapitalisme bukanlah hal yang asing di telinga setiap insan akademik

maupun aktivis sosial kemasyarakatan, keberadaannya selama ini berwujud

layaknya hantu yang terus menggentayangi kaum lemah dengan senjata modal

besar dan bau keserakahan yang menyeruak. Sebagaimana diketahui, kapitalisme

telah membangun sekat-sekat yang rapi, dengan meletakkan fungsi dan

kedudukan agama dalam wilayah sangat pribadi, sulit untuk diakses. Lewat

kapitalisme nilai-nilai ekonomi lebih diunggulkan ketimbang nilai-nilai lainnya.

Melalui kapitalisme muncullah golongan sosial baru yakni kelas sosial

yang yang mendapatkan pendapatan karena keuntungan dari usaha mereka dan

bunga yang didapat karena tabungan atau pinjaman. Jelas dalam kapitalisme telah

terjadi perubahan hubungan yang siginifikan antara lapisan sosial dalam

masyarakat. Pola produksi yang berubah, khususnya sejak ditemukannya mesin-


24

mesin industri, telah membawa eropa dalam era industrialisasi yang

memperkenalkan kembali hubungan kerja perbudakan dan lebih penting adalah

perluasan pencarian bahan-bahan mentah. Pencarian bahan-bahan mentah inilah

yang kemudian meletuskan berbagai peperangan, satu diantaranya adalah ledakan

perang dunia ke-1 yang melahirkan politik imperialisme.

Imperialisme bukan saja telah menguras habis kekayaan alam yang ada di

belahan negara-negara miskin tetapi juga membangun struktur hubungan sosial

baru, yang pada dasarnya berwatak penindasan. Amilcar Cabral menyatakan

bahwa dampak utama imperialisme ada dua: pertama, dominasi langsung melalui

kolonialisme klasik, dimana badan-badan pemerintahan dan polisi atau pertahanan

mendominasi rakyat, dan dominasi tidak langsung melalui neokolonialisme,

dimana unsur-unsur pribumi memegang kekuasaan. Pada dasarnya karakter

imperialisme akan selalu merugikan sebab telah mengenyahkan berbagai

hubungan-hubungan sosial yang sudah ada dan menciptakan kontradiksi sosial

yang jauh lebih berbahaya.48

Indonesia sebagai suatu negara yang dalam hal kekayaan SDA-nya

melimpah ruah tidak luput dari cengkeraman imprealisme global ini. Di bawah

tekanan oligarki, segala kebijakan cenderung diorientasikan pada kepentingan

segelintir kelompok orang saja yang memiliki kekuatan modal super power.

48
Pada bagian ini Cabral menguraikan karakterisasi mengenai imperialisme, dimana kolonialisasi
secara keseluruhan menghambat proses historis perkembangan rakyat-rakyat terjajah atau
mengenyahkan mereka secara radikal atau secara progresif, modal imperialis memaksakan tipe
hubungan-hubungan baru pada masyarakat pribumi, yang strukturnya menjadi semakin rumit dan
mengacauka, menggerakkan, meracuni atau memecahkan kontradiksi dan konflik sosial; modal itu
bersama-sama dengan uang dan perkembangan pasar dalam dan luar negeri, memperkenalkan
unsur-unsur baru dalam perekonomian, menghasilkan lahirnya bangsa-bangsa baru dari kelompok-
kelompok manusia atau dari rakyat-rakyat yang berada dalam berbagai tahapan perkembangan
sejarah. Lihat Ronald Chilcote, Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme, (Timor Loro:
Sahe Study Club dan Yayaysan HAK, 1999), 29
25

Akibatnya rakyat hanya merasakan keresahan sebagai dampak dari kerusakan

alam.

Bayangkan, betapi miris bilamana Indonesia yang mempunyai luas hutan

yang mencapai 99,6 juta hektar dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang

begitu luar biasa dilibas habis oleh keserakahan segelintir manusia itu. Tentu tidak

hanya hutan, Indonesia juga mempunyai kekayaan laut dan lepas pantai, potensi

wilayah agraris, selain kekayaan minyak, gas, tambang dan mineral.49

Di sektor lain nilai ekonomi maritim Indonesia menurut dewan Kelautan

Indonesia pada tahun 2013 berpotensi mencapai sebesar 171 miliar dollar AS per

tahun.50 Pendapat lain menyatakan bahwa total potensi ekonomi maritim

Indonesia diperkirakan mencapai sebesar 7.200 triliun rupiah per tahun atau empat

kali lipat dari APBN 2014 yang besarnya 18.00 triliun rupiah.51 Angka yang

fantastis ini bisa dimaknai bahwa potensi kekayaan laut Indonesia memang luar

biasa.

Disektor minyak bumi, Indonesia memiliki cadangan sekitar 2,8 triliun

meter kubik (97 triliun kaki kubik). Cadangan gas alam Indonesia juga 1,5% dari

cadangan gas alam dunia. Ini baru di Indonesia, tentui diberbagai belahan negara

lain seperti Rusia yang memiliki 48 triliun meter kubik, Iran 27 triliun meter

kubik, dan Qatar 26 triliun meter kubik. Tentu saja ini bukan jumlah yang sedikit,

jika dijadikan modal untuk membangun bangsa agar lebih baik, jauh lebih dahsyat

dari perkiraan kebanyakan orang.


49
Bambang Widjojanto, Penguasaan Sumber Daya Alam dalam Cengkraman Oligarki dan Rezim
Neoliberal (Malang: Intrans Institute, 2017), 8
50
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine?uNewsID=38703. Diakses pada 22
Februari 2020 pukul 22:40 WIB.
51
http:/pusakaindonesia.org/potensi-laut-indonesia-senilai-rp-7-200-triliun/. Diakses pada 22
Februari 2020 pukul 22:10 WIB.
26

Menurut data yang dilansir oleh Kementrian Keuangan realisasi sementara

terkait penerimaan pemerintah dari SDA pada tahun 2018 tumbuh 62,96%

menjadi Rp. 161,1 triliun dari tahun sebelumnya. Nilai tersebut terdiri atas Rp.

143 triliun (80%) berasal dari sektor minyak dan gas, sedangkan sisanya non

migas.52

Telah banyak kisah-kisah memilukan yang terjadi dan meresahkan rakyat

Indonesia. Beberapa contoh kasus dari dampak eksploitasi kekayaan SDA diulas

secara menggetirkan oleh Siti Maimunah53, 4 perusahaan tambang yang berbasis

di London, Amerika Serikat dan Australia yaitu Freeport, Newmont, Laverton,

dan Rio Tinto misalkan, membuang sekitar 2,6 milliar ton tailing ke lahan, sungai

dan juga laut. Sejumlah 266 orang warga Buyat Pante pindah ke Duminanga dan

menyatakan bahwa lingkungan mereka tercemar dan tidak sehat lagi sejak

Newmont membuang tailingnya ke laut.

Kondisi semacam itu juga terjadi di sekitar perusahaan tambang batu bara

Kidecojaya Agung, di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Perusahaan tambang

batu bara milik Korea ini menyebabkan Sungai Kendilo, pendukung utama

penghidupan masyarakat perkampungan Dayak Paser: Suateng, Damit, Nekoso,

Lempesu, Suweto, hingga daerah muara rusak oleh pengerukan batu bara di hulu.

Masyarakat dari lima kampung tersebut terpaksa pindah ke lokasi baru yang

berjarak 2-10 km dari kampung lama mereka.

Tentu dalam konteks ini kapitalisme yang dimaksud tidak selalu berkutat

pada perusahaan asing sebagai subjek atau pelaku dari eksploitasi lingkungan.
52
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/28/berapa-penerimaan-pemerintah-dari-
sumber-daya-alam. diakses pada 1 Maret 2020 pada pukul 19:06 WIB
53
Siti Maimunah, Negara, Tambang dan Masyarakat Adat (Malang: Intrans Publishing, 2012), 37.
27

Bukan pada letak geografis dari mana ia berasal. Bahwa kapitalisme ini muncul

dari barat sebagai dampak dari neoimperialisme itu benar. Akan tetapi seiring

dengan perkembangan zaman dan terjadinya dehumanisasi membuat kapitalisasi

ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan-perushaan asing, akan tetapi juga

dilakukan oleh saudara sebangsa dan setanah air kita yang memiliki modal besar

dan keserakahan.

3. Budaya Konsumtif

Tidak jauh berbeda dengan realita saat ini, kesenjangan sosial yang terjadi

sebagai akibat dari pengaruh imperealisme barat, tanpa bisa dipungkiri telah

menuai banyak persoalan berkepanjangan di bumi pertiwi ini. Sebuah negara yang

penduduknya mayoritas muslim, nyaris dapat dikatakan telah dininabobokkan

oleh sebuah sistem neoliberalisme. Bangsa kita yang dalam hal kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM)-nya memiliki potensi yang cukup baik untuk mengelola

dan memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA)-nya, justru potensi tersebut

dipatahkan sehingga bangsa kita hanya bisa menjadi penikmat dari sekian banyak

produk-produk kebutuhan priemer dan sekunder. Mirisnya, hal demikian terus

mengalami peningkatan yang signifikan. Sehingga mengakibatkan eksploitasi

kekayaan SDA secara berlebihan terjadi dimana-mana. Sebagai akibat dari budaya

konsumtif manusia yang terus meningkat.

Maka sangat dirasa benar atas apa yang dituliskan oleh Coen Husain
54
Pontoh dalam buku Perempuan, Tuhan dan Pasar bahwa merebaknya budaya

atau perilaku konsumtif ini karena dalam dunia pasar atau industrialisasi,

54
Coen Husain Pontoh dkk., Peremuan, Tuhan dan Pasar (t.t.: IndoProgres, 2019) 23
28

menjadikan perempuan dan Tuhan (agama) sebagai ladang subur untuk semakin

membuat dagangannya yang diproduksi dalam skala besar dapat laku dengan laris.

Maka berbagai trand dan style dibuat sebaik mungkin untuk mengelabui para

konsumen ini agar terus menyintai produk-produk tersebut.

Menurut Lestari, istilah konsumtif biasanya digunakan pada masalah yang

berkaitan perilaku konsumen dalam kehidupan manusia. Dewasa ini salah satu

gaya hidup konsumen yang cenderung terjadi di dalam masyarakat adalah gaya

hidup yang menganggap materi sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan

kepuasan tersendiri, gaya hidup seperti ini dapat menimbulkan adanya gejala

konsumtifisme, sedangkan konsumtifisme dapat didefinisikan sebagai pola hidup

individu atau masyarakat yang mempunyai keinginan untuk membeli atau

menggunakan barang dan jasa yang kurang atau tidak dibutuhkan. 55

Lebih jauh Kartodiharjo menjelaskan bahwa perilaku konsumtif sebagai

social ekonomi perkembangannya dipengaruhi oleh faktor kultural, pentingnya

peran mode yang mudah menular atau menyebabkan produk-produk tertentu. Di

samping itu sikap seseorang seperti orang tidak mau ketinggalan dari temannya

atau penyakit kultural yang disebut “gengsi” sering menjadi motivasi dalam

memperoleh produk. Di jumpai juga gejala sosiopsikologis berupa keinginan

meniru sehingga remaja berlomba-lomba yang satu ingin lebih baik dari yang lain.

Perilaku konsumtif menciptakan kebiasaan pembelian produk untuk konsumsi

tetapi ada motivasi lain. Konsumtifisme jenis ini cukup banyak contohnya,

misalnya berbagai produk dengan merk terkenal sangat disukai meskipun mahal,

A. Lestari, “Perbedaan Prilaku Konsumtif Mahasiswa yang Berkepribadian Ekstrovert dengan


55

Mahasiswa yang Berkepribadian Introvert.” Skripsi, Universitas Sumatera Utara (2006).


29

seperti kemeja “Arrow atau tas Gucci”. Produk bukan sesuatu yang dapat

memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan tetapi lebih berfungsi sebagai lambang

yang disebut “Simbol Status”.56

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif

adalah perilaku individu yang ditujukan untuk konsumsi atau membeli secara

berlebihan terhadap barang atau jasa, tidak rasional, secara ekonomis

menimbulkan pemborosan, lebih mengutamakan kesenangan daripada kebutuhan

dan secara psikologis menimbulkan kecemasan dan rasa tidak aman.

Menurut Anwar Prabu Mangkunegara,57 faktor yang mempengaruhi

terbentuknya perilaku konsumtif di antaranya ialah budaya, kelas sosial, keluarga

dan gaya hidup. Beberapa faktor inilah yang kemudian mempengaruhi manusia

untuk memenuhi kebutuhannya yang justru tidak didasarkan pada pertimbangan

rasional. Tercapainya kepuasan pribadi maupun kolektif tersebut berpijak pada

trand maupun brand yang menjadi daya tarik untuk dipenuhi sehingga pda titik

tententu gaya hidupnya dianggap tidak primitif atau terbelakang.

Merebaknya virus budaya konsumtif ini tentu sebagai akibat dari

banyaknya persoalan, termasuk kapitalisme ekstrakif sebagaimana yang telah

dengan detail di bahas pada sub bab sebelumnya. Boleh jadi dua persoalan besar

ini saling ada keterkaitan, ketika budaya konsumtif ini semakin meningkat,

otomatis permintaan dari banyak kebutuhan manusia pun meningkat pula, maka

peluang untuk mengeksploitasi kekayaan SDA ini di berbagai daerah akan terus

56
Kartodiharjo, Konsumerisme dan Perlindungan Konsumen, (Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Press, 1995), 30.
57
Anwar Prabu Mangkunegara, Perilaku Konsumen (Bandung: Eresco, 1988) 43
30

semakin terjadi dimana-mana. Manusia sebagai elemen terpenting yang memiliki

kaitan erat dengan alam akan sulit membendung terjadinya kerusakan alam.

Salah satu dampak terbesar dari krisis ekologi atau kerusakan alam yang

disebabkan oleh budaya konsumtif ini adalah sampah plastik. Hampir di semua

kebutuhan dasar manusia berasal dari bahan dasar plastik. Setiap waktu intensitas

pembuangan sampah yang berbahan plastik ini terus mengalami peningkatan.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa persoalan sampah plastik telah menjadi isu

global. Sampah plastik tidak hanya menimbulkan masalah di perkotaan, namun

juga di sungai dan lautan. Dampak negatif sampah berbahan plastik tidak hanya

pada kesehatan manusia, membunuh hewan yang dilindungi, tetapi juga merusak

lingkungan secara sistematis.

Kota-kota di dunia, menghasilkan sampah plastik hingga 1,3 milyar ton

setiap tahun. Menurut perkiraan Bank Dunia, jumlah ini akan bertambah hingga

2,2 milyar ton pada tahun 2025. Hal ini terjadi karena plastik telah menggantikan

bahan-bahan seperti kaca dan logam, namun sebagian besar dalam bentuk

kemasan. Selama 50 tahun produksi dan konsumsi plastik global terus meningkat.

Hal ini tentunya menghasilkan persoalan serius bagi kita. Karena menurut

program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB UNEP), antara 22 hingga

43 persen plastik yang digunakan di seluruh dunia dibuang ke tempat sampah.58

Dalam kasus Indonesia, berdasarkan data dari KLHK terkait hasil temuan

dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO)

dalam waktu satu tahun saja, sampah plastik sudah mencapai 10,95 juta lembar

58
https://lingkunganhidup.co/sampah-plastik-indonesia-dunia/ Diakses pada 27 Februari 2020
pukul 0:30 WIB.
31

sampah kantong plastik. Jumlah itu ternyata setara dengan luasan 65,7 hektare

kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola. Padahal, KLHK

menargetkan pengurangan sampah plastik lebih dari 1,9 juta ton hingga 2019. Saat

ini jumlah sampah Indonesia di 2019 diprediksi akan mencapai 68 juta ton, dan

sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9,52 juta ton atau 14 persen dari total

sampah yang ada. Saat ini, komposisi sampah utamanya 60 persen organic dan

untuk plastiknya 14 persen.59

Kondisi yang sangat memilukan, bumi yang oleh Allah SWT dianugerahi

keistemawaan besar untuk manusia bisa bertahan hidup dan mengembangkan

kualitas kemanusiaannya itu justru dirusak oleh sifat tamak manusianya sendiri.

Maka dalam hal ini, Islam sebagai agama pengusung misi kemanusian dan

perdamaian telah sejak awal mengamanahkan kepada segenap manusia yang ada

di bumi ini untuk dipergunakan sebaik-baiknya, sebagaimana yang tersirat dalam

QR al-Nahl: 10-11

“Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit untuk Anda.


Sebagian air itu menjadi minuman dan sebagian yang lain
(berfungsi) sebagai penyubur pepohonan (di tempat yang subur)
itulah Anda menggembala ternak. Dengan air itu Dia
menumbuhkan tanaman (pertanian); Zaitun, kurma, anggur dan
segala jenis buah-buahan. Sungguh yang demikian itu benar-benar
menjadi pertanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
berkenan berfikir”.60

Sejatinya sebagai rasa syukur atas karunia Allah SWT yang luar biasa ini

idealnya harus diaplikasikan salah satunya dengan cara menjaga dan

memanfaatkan kekayaan SDA ini untuk kemanusiaan, dimana peradaban bangsa

59
http://lingkunganhidup.co/penyumbang-sampah-plastik-terbesar-ke-dua-dunia#, diakses pada 27
Februari 2020 pukul 0:27 WIB
60
Al-Qur’an, 16:10;16:11
32

ini terus dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan harus menjadi fondasi

utama dalam mewujudkan misi kemanusiaan yang berkeadaban. Sehingga tidak

sembarangan dalam melakukan eksploitasi SDA. Karena mereka yang

berpendidikan adalah mereka yang mengutamakan unsur kemanusiaan61, dan

bilamana eksploitasi SDA ini mencemari lingkungan dan membahayakan

kehidupan manusia tentu akan mereka jauhi dengan sendirinya.

C. Pendidikan Islam Transformatif

Pada awal abad ke-20, umat Islam Indonesia mengalami beberapa

perubahan dalam bentuk kebangkitan agama dan perubahan serta pencerahan di

segala bidang. Perubahan itu didasari atas dorongan untuk mengusir penjajah dari

bumi pertiwi. Meskipun ada dorongan kuat melawan penjajahan, akan tetapi umat

Islam menyadari betul bahwa tidak mungkin melawan penjajah hanya dengan cara

tradisional. Di tengah tuntutan perubahan itu, umat Islam Indonesia menyadari

bahwa perlu kembali mengkaji ajaran Islam secara total sehingga pada gilirannya

mampu membawa umat Islam menang melawan imprealisme barat yang semakin

tidak terkendali.62

Kesadaran yang muncul pada setiap kelompok yang menamakan dirinya

sebagai umat Islam untuk terlepas dari belenggu penjajahan jika ditinjau dari

aspek cikal bakal kehadiran Islam sebagai agama pembebasan, maka realita yang

penulis paparkan di atas sangatlah wajar terjadi. Sebab pada dasarnya Islam

merupakan gerakan spiritual, moral, budaya, politik serta sistem ekonomi

61
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 1998), 38.
62
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah, 1999), 133
33

alternatif. Tentu saja alternatif terhadap sistem dan budaya Arab yang waktu itu

tengah mengalami pembusukan dan proses dehumanisasi. Selain itu Islam juga

lahir sebagai jalan pembebasan dan kemanusiaan dari dua kekuatan global pada

zamannya, yakni kekuasaan Romawi di barat dan Bizantium di timur.63

Kesadaran umat Islam untuk terlepas dari imperialisme barat merupakan

momentum yang sangat luar biasa dalam memproyeksikan masa depan bagi

perjalanan bangsa Indonesia. Perlawanan terhadap kolonilisme juga menjadi

motivasi bagi umat Islam untuk mencipta pembaruan tanpa harus merusak nilai-

nilai luhur bangsa Indonesia yang antipati terhadap kebudayaan global.

Pembaruan sebagai cikal bakal terciptanya masa depan yang mencerahkan tidak

boleh hanya menjadi angan-angan, akan tetapi harus dibuktikan dengan gerakan

kultural dalam memberdayakan pendidikan bagi generasi muda yang menjadi

penerus bangsa.

Gerakan kultural untuk menciptakan bangsa Indonesia yang terlepas dari

belenggu imprealisme barat melalui penanaman pendidikan berdasarkan nilai-nilai

luhur yang tertanam di setiap pribadi bangsa. Meskipunn kolonialisme barat

begitu panjang melakukan penjajahan terhadap masyarakat pribumi, namun nilai-

nilai pendidikan lokal tidak mungkin terkontaminasi oleh pendidikan barat, karena

identitas pendidikan bangsa sudah tertanam dalam setiap sanubari bangsa

Indonesia.

Pembaruan dalam bidang pendidikan yang kemudian dapat diistilah

dengan pendidikan Islam yang progresif harus dimulai dari gerakan kultural yang

63
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan
(Yogyakarta: Resist Book, 2015) iii
34

berdasarkan pada nilai-nilai pendidikan Islam secara total. Gerakan pembaruan

tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya perubahan di bidang pendidikan.

Maka langkah yang perlu diambil ialah dengan melakukan pembaruan bidang

pendidikan Islam, yang kemudian secara tidak langsung akan membawa

perubahan dalam Islam.

Menyadari pentingnya pembaruan dalam bidang pendidikan Islam,

langkah untuk mencapai tujuan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan generasin

muda yang haus akan ilmu pengetahuan. Akulturasi berbagai bidang keilmuan

yang memang dibutuhkan pada saat sekarang ini seperti halnya ilmu pengetahuan

dan teknologi harus senantiasa dikuasi oleh segenap generasi muslim agar

keberadaanya tidak dilibas oleh cepatnya iringan gelombang zaman. Langkah

perubahan melalui pendidikan pada akhirnyab akan menjadi pilihan bagi umat

Islam untuk melakukan pelbagai pembaruan di berbagai sektor kehidupan dalam

rangka mencetak generasi yang tangguh dan bisa diandalkan bagi kemajuan

bangsa. Oleh karenanya perubahan melalui pendidikan mestilah dilakukan oleh

umat Islam di Indonesia, sehingga bangsa yang sempat terpuruk akibat

menjajahan di segala bidang—tidak hanya dalam bidang pertahanan, akan

mencapai kebangkitan pada masanya. 64

Pendidikan Islam melalui berbagai bidang keilmuan harus diproyeksikan

untuk kesejahteraan masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan

sistem menejemen yang kooperatif. Lebih jauh, pendidikan Islam mesti juga

ditanamkan melalui bimbingan pendidikan dan keluarga sehingga generasi yang

dihasilkan tidak terbuai oleh kemewahan dan kemegahan duniawi. Perubahan


64
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Angkasa Bandung, 2003), 96.
35

dalam sistem pembaruan pendidikan ialah langkah progresif dalam menggerakkan

setiap elemen bangsa agar menyadari pentingnya kebangkitan pendidikan sebagai

barometer dalam menunjang kemajuan pembangunan bangsa pada masa

mendatang.

Kehadiran pesantren di tengah kehidupan masyarakat merupakan dampak

dari gerakan pembaruan pendidikan Islam ke arah yang lebih baik. Sebagaimana

yang disampaikan oleh M.H. Ainun Najib65, pesantren memiliki Tri Dharma yang

dijunjung tinggi. Pertama, keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Kedua,

pengembangan keilmuan yang bermanfaat. Dalam hal ini sebagaimana yang telah

disadari seksama bahwa pesantren memiliki karakter yang terbuka, sehingga

peranannya akan selalu menempati posisi terpenting di tengah-tengah kehidupan

karena bekal ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para santrinya disesuaikan

dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, pengabdian terhadap agama, masyarakat

dan negara. Adalah satu keniscayaan bagi pesantren, yang menjadikan pengabdian

sebagai upaya yang dilakukan untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan semesta.

Ilmu yang dikembangkan di pesantren ini pangkalnya tetap bermuara pada satu

tujuan, yakni diraihnya barokah, sehingga kehidupan masyarakat akan terus

bergerak ke arah yang lebih baik.

Dari Tri Dharma pesantren tersebut, kita dapat melihat bahwa pesantren

sesungguhnya bukanlah institusi yang hanya terfokus pada pendidikan agama,

akan tetapi lebih mengakomodir berbagai bidang keilmuan yang sesuai dengan

tantangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga ouputnya diharapkan mampu

65
Prof. Dr. Abu Yasid, MA, LL.M., dkk. Paradigma Baru Pesantren Menuju Pendidikan Islam
Transformatif (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), 253
36

berkomunikasi di dunia global yang sangat ketat. Maka tak ayal jika kemudian,

dari pesantren lahir banyak ulama yang sangat berpengaruh dan memegang

kendali kemajuan peradaban bangsa Indonesia. Sehingga pada gilirannya agama

Islam tetap seirama dengan kehidupan sosial dalam mengentaskan persoalan

sebagaimana yang dengan jelas dipaparkan di atas.

1. Transformasi Pendidikan Pesantren di Indonesia

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Ia

sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Istilah pesantren berasal dari kata

santri yang berarti tempat tinggal para santri. Pemakaian kata pesantren untuk

menamai lembaga pengajaran agama ini terkait erat dengan proses pengembangan

agama Islam di Nusantara, yang konon katanya patut diduga kuat dikembangkan

berasal dari petani (orang-orang pedesaan). Sedangkan dalam pandangan

Nurcholish Madjid,66 pesantren tidak hanya dianggap identik dengan makna ke-

Islaman, akan tetapi juga dianggap memiliki makna keaslian Indonesia.

Sebagai institusi pendidikan dan pusat keagamaan, pesantren memiliki

karakteristik tersendiri yang tentu saja tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan

lain, khususnya lembaga pendidikan yang menjadikan agama sebagai fondasi

utama. Menurut Zamakhsyari Dhofier67, ada lima elemen pokok yang berkaitan

langsung dengan pembinaan moral dan agama bagi para anak didik—yang

kemudian diistilahkan sebagai santri, diantaranya pondok (tempat tinggal), masjid

(tempat ibadah), santri (anak didik), pengajaran kitab-kitab kuning (proses belajar

66
Djaswidi Al Hamdani, Pengembangan Kepemimpinan Transformasional (Bandung: Nuansa
Aulia, 2005), 76.
67
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES,
1994), 44.
37

mengfajar) dan kiai (guru). Lima elemen ini berkaitan satu sama lain, tidak bisa

dipisahkan, yang kemudian membentuk karakteristik tersendiri yang menjadi

pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya.

Sebagaimana menjadi kesepakatan para peneliti sejarah pendidikan di

negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Pada mulanya pesantren

didirikan oleh para penyebar Islam sehingga kehadiran pesantren diyakini

mengiringi dakwah Islam di negeri ini, kendati bentuk sistem pendidikannya

belum selengkap pesantren sekarang. Pada dataran substantif pesantren telah

berdiri sejak awal masa Islam di Indonesia, tetapi pada dataran bentuk mengalami

perubahan yang sangat siginifikan.68

Terdapat beberapa perbedaan persepsi para ahi tentang keberadaan

pesantren . Bagi mereka yang mengamati pesantren dari segi substansinya, akan

cenderung menegaskan bahwa pesantren itu lahirnya beriringan dengan masuknya

Islam di Indonesia. Sedangkan bagi mereka yang mengamatinya dari parameter

pesantren yang ada sekarang ini tentu memandang kehadiran pesantren baru saja

pada abad belakangan ini.

Namun demikian adanya, terlepas dari persoalan banyaknya perbedaan

pandangan terhadap historiografi munculnya pesantren yang selama ini tetap

konsisten mempertahankan sistem pendidikan yang tradisional ini kemudian

dihadapkan dengan situasi dan kondisi zaman yang terus mengalami

perkembangan. Sehingga dengan adanya perubahan zaman yang begitu cepat

menyadarkan kalangan pesantren untuk melakukan tindakan-tindakan yang

Prof. Dr. Mujamil Qomar, M. Ag., Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju
68

Demokratisasi Institusi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 61


38

memberi manfaat bagi kelangsungan dan perkembangan pendidikan Islam tertua

ini menurut persepsi masing-masing pengasuh. Apapun bentuk tindakan, reaksi

maupun respon yang ditempuh kiai tetap merupakan pilihan terbaik baginya,

terlepas dengan adanya penilaian yang negatif dari pihak lain.

Oleh karena itu, pesantren terpolarisasikan ketika menghadapi perubahan

zaman. Ada pesantren yang bersikap lunak dan ada yang keras. Ada pesantren

yang terbuka dan ada yang tertutup. Ada yang mengidentifikasikan zaman

sekarang sebagai ‘zaman edan’ atau ‘jahiliyah modern’, hal inilah yang kemudian

mendorong pesantren untruk melakukan transformasi, meski tidak sampai

mengelupas jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang terus

berkontribus terhadap kemajuan peradaban masyarakat.69

Sebagai konsekuensi logis dari adanya realitas yang demikian, menurut

Nurcholis Madjid70 semboyan mewujudkan masyarakat madani akan mudah

terwujud bila institusi pesantren tanggap atas perkembangan dunia modern. Pada

konteks ini pesantren sejak awal tetap mendapatkan kepercayaan tinggi dari

masyarakat sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran utama dalam

mewujudkan masyarakat madani yang seringkali diidentikkan dengan masyarakat

sipil (civil society) oleh kalangan tertentu.

Maka untuk bisa mewujudkan masyarakat madani sebagaimana yang

dicita-citakan bersama melalui transformasi pendidikan pesantren, dalam hal ini

pesantren telah mampu memadukan antara akar tradisi dan modernitas dalam

wacana pemikiran Islam disebut dengan neomodernis. Selama ini tradisi dan
69
M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1995), 56
70
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam
Tradisional (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 6
39

modernisasi senantiasa dipertentangkan akibat pengaruh konsep barat yang

memetakan bahwa modernisasi membentur tradisi. Akan tetapi pemikir

neomodernis berpandangan bahwa modernisasi merupakan mata rantai yang tidak

bisa dipisahkan dengan tradisi, sehingga ada upaya untuk mengintegrasikan tradisi

dengan modernisasi.

Konsep berpikir Âl-muhâfazatu ‘âlâ âl-qâdim âl-shâlih wâ âl-âhdzu bi âl-

jâdid âl-âshlâh (memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru

yang lebih baik) merupakan pijakan dari sikap neomodernis. Istilah Âl-

muhâfazatu ‘âlâ âl-qâdim âl-shâlih (memelihara hal-hal lama yang baik) adalah

refleksi dari tradisi yang dipertahankan, sedangkan istilah wâ âl-âhdzu bi âl-jâdid

âl-âshlâh (dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik) adalah refleksi dari

penerimaan modernisasi.

Setidaknya konsep berpikir dalam kaidah ushul fiqh ini menjadi batu

loncatan pesantren dalam upaya pengembangan pendidikan Islam. Sehingga

dengan sendirinya pesantren dituntut mampu merumuskan konsep pengembangan

yang lebih detail tentang ajaran Islam sebagai tatanan sosial, bukan hanya

lembaga legalistik yang bersifat hitam-putih. Untuk mempermudah pesantren

menjalankan perannanya, dibutuhkan kemampuan antisipatif dan ketebukaan.

Keterbukaan akan menumbuhkan sikap fleksibel yang akomodatif, sehingga

sistem pendidikan yang dijalankan bisa dibilang adaptif.

Oleh karena kehadiran pendidikan pesantren yang dalam

pengembangannya bersifat akomodatif dan adaptif, maka muncullah berbagi

macam model pendidikan pesantren. Sebagaimana yang dituliskan oleh


40

Mohammad Takdir dalam bukunya Modernisasi Kurikulum Pesantren71,

mengklasifikasikan model pendidikan pesantren dalam tiga hal:

a) Pesantren Tradisional

Pesantren tradisional yang kemudian seringkali diistilahkan

pesantren salaf dalam metode pengembangan ilmu pengetahuannya

tetap menitikberatan pada khazanah ilmu agama Islam. Sehingga

kajian-kajian terhadap kitab-kitab klasik atau kitab kuning yang hanya

terbatas pada ilmu fiqh, aqidah, tata bahasa Arab, akhlaq, tasawuf dan

sebagainya merupakan titik tumpu proses pembelajaran. Kajian-kajian

kitab kuning dengan sistem bandongan maupun sorogan, bahtsul

masail dan metode transfer keilmuan tertutup merupakan karakteristik

model pesantren salaf ini.

Tradisi atau budaya yang dikembangkan lebih mengedepan

estetika moralitas yang tinggi, semisal cara berpakaian yang

menjadikan sarung dan kopyah sebagai ciri khas yang tidak boleh

dilepas, dalam situasi dan kondisi apapun. Sehingga realita yang

demikian memicu munculnya anggapan bahwa pesantren yang seperti

ini cenderung klasik, primitif dan eksklusif.

b) Pesantren Modern

Pesantren modern yang kemudian seringkali diistilahkan

pesantren khalaf, memiliki karakteristik yang terbuka dengan segala

hal yang disajikan oleh alam semestra. Sehingga pesantren ini tidak

hanya fokus pada model pembelajaran klasik, seperti kajian-kajian


71
Mohammad Takdir, Modernisasi Kurikulum Pesantren (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), 41.
41

kitab kuning, akan tetapi juga berusaha mengikuti gelombang

perkembangan zaman. Hal ini bisa dilihat dari menejemen

pengembangan kurikulum pendidikannya yang mulai mengadopsi

produk-produk teknologi.

c) Pesantren Semi Modern

Pesantren semi modern ini merupakan poros tengah dari

adanya identitas pesantren tradisional dan modern. Sehingga dalam

penerapan sistem pendidikannya tetap mempertahankan tradisi yang

dimiliki, menjadikan kiai sebagai subjek sentral dan norma kode etik

sebagai koridor yang masih menjadi standar pola pengembangannya.

Akan tetapi di samping itu juga pesantren model ini melakukan

pembaruan sistem pendidikan yang disesuaikan dengan kemana arah

zaman berkembang.

Tiga klasifikasi ini merupakan wajah pesantren sekarang, dimana setiap

instansi yang dikembangkan memiliki orientasi dan otoritas masing-masing yang

disesuaikan dengan kebudayaan lokal (local wesdom) yang ada.

2. Implementasi Pendidikan Ekologi di Pesantren

Keberadaan pondok pesantren dan masyarakat merupakan dua sisi yang

tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mempengaruhi. Sebagian besar

pesantren berkembang dari adanya dukungan masyarakat, dan secara sederhana

muncul atau berdirinya pesantren merupakan inisiatif masyarakat baik secara

individual maupun kolektif. Begitu pula sebaliknya, perubahan sosial dalam


42

masyarakat merupakan dinamika kegiatan pondok pesantren dalam pendidikan

dan kemasyarakatan.

Berdasarkan kondisi pesantren yang sedemikian rupa, sebagaimana yang

juga sudah dipaparkan di sub bab sebelumnya, maka konsep pesantren menjadi

cerminan pemikiran masyarakat dalam mendidik dan melakukan perubahan sosial

terhadap masyarakat. Dampak yang jelas adalah terjadi perubahan orientasi

kegiatan pesantren sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian

pondok pesantren berubah tampil sebagai lembaga pendidikan yang bergerak di

bidang pendidikan dan sosial. Bahkan lebih jauh dari pada itu pesantren menjadi

konsep pendidikan sosial dalam masyarakat muslim baik di desa maupun di

kota.72

Terjadinya perubahan orientasi kegiatan pesantren ini—yang tidak hanya

terfokus pada pengembangan khazanah ilmu-ilmu keagamaan, akan tetapi juga

dalam bidang gerakan sosial kemasyarakatan—bisa dilihat dari munculnya

perhatian khusus dari kalangan pesanten itu sendiri terhadap keselamatan dan

pelestarian lingkungan. Hal ini dikarenakan pesantren sejak awal telah menyadari

bahwa persoalan krisis ekologi terus melanda kehidupan manusia.

Karenanya pesantren memiliki ciri khas tersendiri, yang ini justru berbeda

dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, terutama pendidikan Islam. Ciri

khas yang menonjol ini adalah adanya upaya pengembangan lingkungan hidup.

Pengembangan lingkungan dalam pesantren merupakan suatu upaya pembentukan

kemandirian baik bagi pesantren maupun santri. Walaupun tidak menyeluruh,

beberapa pondok pesantren telah memiliki tanah wakaf yang dijadikan sawah dan
72
Prof. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 246
43

pengembangan di bidang amal usahanya, seperti peternakan, perikanan dan

pertukangan. Misalnya di Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang memiliki

230 hektar sawah wakaf yang tersebar di berbagai daerah dan telah mendapatkan

pengesahan dari pemerintah Republik Indonesia.73

Hal yang sama juga terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah desa Guluk-

Guluk Sumenep Madura, telah mampu meminjamkan biaya dalam rangka

pengairan dan pada akhirnya mendapati lahan 4,5 hektar sebagai basis

pengembangan pesantren. Pemanfaatan lahan melalui cocok tanam ini merupakan

upaya pesantren untuk pengembangan SDM, salah satu contoh semisal,

pembiayaan pendidikan di pesantren sehingga tidak terlalu membebani para santri

dan selebihnya dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan yang mengedukasi

lainnya.74

Selain mewujudkan kemandirian dalam pengembangan pesantren, juga

upaya ini dilakukan untuk memberikan uswah atau contoh melalui pengajaran dan

pengalaman kepada para santri bahwa antara manusia dengan alam memiliki

keterkaitan erat yang diikat oleh moral. Maka tidak jarang, santri seringkali

dilibatkan dalam pengembangan pertanian yang dimiliki oleh pesantren. Beberapa

santrinya diajak untuk ikut serta melakukan penanaman benih padi atau jenis

tanaman lainnya. Karena selain untuk mendapatkan penghasilan yang kemudian

bisa digunakan untuk pengembangan pesantren secara umum, lebih dari itu juga

agar ‘para santri bisa menyatu dengan alamnya, menjaga kesuburan tanah dan ikut

serta dalam melakukan penghijauan’. Tentu sebagai lembaga pendidikan Islam,


73
M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1988), 138.
74
M. Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah (Jakarta: P3M,
1985), 228.
44

pesantren sudah menyadari akan ajaran agama Islam yang telah mengatur dengan

baik bagaimana cara mengelola alam semesta ini sehingga dapat mengambil

manfaatnya tanpa harus merusak.

Lebih jauh dalam hal ini, secara nalar ideologis75, pesantren sejak awal

memang tumbuh dari lingkungan alam dan pedesaan. Dengan latar belakang ini,

maka kedekatan antara komunitas pesantren dengan alam terajut secara natural.

Seperti di lingkungan masyarakat pedesaan pada umumnya, santri-santri mula-

mula terbiasa membersihkan lingkungan pondoknya secara rutin. Berbagai hal

yang menjadi kebutuhannya sehari-hari, semisal makan, mereka sudah terbiasa

memasak sendiri sebagai wujud dari kemandirian. Hal ini tentu jarang sekali ada

kebutuhan mereka yang rekat dengan bahan-bahan plastik. Maka pendidikan

ekologi, dimana santri terus menjaga hubungan erat dengan alamnya melalui

pendidikan, dengan sendirinya akan menjadi batu loncat perjuangan pesantren

dalam mengentaskan persoalan kerusakan lingkungan. Sekalipun tidak begitu

siginifikan, tetapi dampaknya sangat luar biasa dalam menumbuhkan kesadaran

akan pelestarian lingkungan.

3. Dampak Implementasi Pendidikan Ekologi di Pesantren

Penelitian tentang implementasi pelestarian lingkungan memang sudah

sering dilakukan oleh banyak peneliti, khususnya bidang sosial kemasyarakata.

Namun model pengembangan pelestarian lingkungan ini memiliki corak yang

berbeda bilamana menjadikan pesantren sebagai subjek. Seperti penelitian yang

dilakukan oleh Prof. Dr. M. Bahri Ghazali, MA. di Pondok Pesantren Annuqayah
75
M. Musthafa, Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2013), 236.
45

Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur.76 Setidaknya dari temuan beliau di lapangan,

pengembangan pelestarian lingkungan memiliki setidaknya dua sisi dampak yang

sangat signifikan. Pertama, bagi pesantren upaya pelestarian lingkungan ini

diupayakan untuk mengupayakan bagaimana pesantren dapat memanfaatkan

potensi yang ada di alam sekitar untuk kemandirian pesantren, sehingga segala

kebutuhannya bisa didapatkan tanpa bergantung pada instansi lain, apalagi

pemerintah. Namun tidak sampai berlebihan yang berakibat pada kerusakan

lingkungan. Justru kesuburan tanah dan lingkungan hidup sehat mengalami

peningkatan yang efektif.

Kedua, bagi santri, selain terbentuknya karakter yang mandiri, juga

pendidikan ekologi ini menambah keterampilan santri yang tidak hanya berkutat

pada intelektual belaka. Keterampilan yang dimiliki para santri dalam menjaga

kelestarian lingkungan ini berdampak pula pada kepeduliannya terhadap alam,

sehingga bagi para santri perilaku yang menyebabkan kerusakan alam merupakan

tindakan yang harus dijauhi. Maka kesadaran semacam ini mengakar kuat dalam

karakter kesantrian sehingga bilamana ia terjun di tengah-tengah masyarakat

sebagai basis pesantren, ia hadir untuk mengentaskan persoalan kerusakan

lingkungan.

4. Faktor Pendorong dan Penghambat Implementasi Pendidikan Ekologi di

Pesantren
76
Prof. Dr. M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan (Jakarta: CV. Prasasti, 2001),
47.
46

Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tetap istiqamah mengembangkan

iklim belajar yang kooperatif, Dr. Nurcholis Madjid telah menguraikan dengan

jelas mengenai kaitan erat antara ilmu-ilmu ke-Islaman dengan kepeduliannya

terhadap lingkungan dalam salah satu bukunya, beliau memulai penjelasannya itu

dengan konsep taskhir dalam al-Qur’an77, segi logika doktrin taskhir ini ialah,

pertama manusia adalah ciptaan Allah; maka seluruh alam berada dalam martabat

lebih rendah daripada manusia. Kedua, alam adalah untuk dapat dimanfaatkan

oleh manusia. Jadi sebenarnya konsep taskhir ini berhubungan erat—meminjam

istilahnya Nurcholis—kosmologi haqiqiyah alam. Dalam arti, bahwa realitas itu

tidak diciptakan sia-sia dan mempunyai tujuan yang universal. 78

Gerakan ekologi dapat dibedakan menjadi tiga variasi yaitu pertama,

gerakan ekologi yang sebagai produk dari faktor-faktor budaya dan struktural

yang muncul secara independen sebagai jawaban atas kondisi lingkungan sekitar.

Kedua, gerakan ekologi yang menempatkan pola dan pengaruh mediasi dalam

lobi-lobi lingkungan, peranan media serta ilmuwan. Ketiga, gerakan ekologi yang

muncul sebagai respon dan meletakkan fokusnya pada semakin memburuknya

kondisi lingkungan dan menjadikannya sebagai fokus utama gerakannya.79

Gerakan ekologi ini kemudian diimplementasikan dalam bidang

pendidikan. Dalam implementasi pendidikan ekologi, pesantren merupakan

lembaga pendidikan efektif yang secara kultural mampu mengembangkan

77
Al-Qur’an, 45:13 “Dan dia merendahkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”
78
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992),
294
79
Husnul Khitam, “Manifestasi Nilai Teologi dalam Gerakan Ekologi,” Skripsi, Institut Pertanian
Bogor (2011), 18.
47

kepedulian lingkungan. Hal ini kemudian dapat dikategorikan sebagai faktor

pendorong dalam melakukan perbaikan melalui ranah pendidikan. Meskipun

terdapat pula berapa faktor penghambat yang menyulitkan pendidikan ekologi

untuk diterapkan. Berikut penulis urai beberapa faktor pendorong dan penghambat

implementasi pendidikan ekologi di pesantren.

a) Faktor Pendorong

1. Kiai

Ciri yang paling esensial bagi suatu pesantren adalah

adanya seorang kiai. Kiai pada hakekatnya adalah gelar yang

diberikan kepada seseorang yag mempunyai ilmu di bidang agama,

dalam hal ini agama Islam. Terlepas dari anggapan kiai sebagai

gelar yang sakral, yang keberadaanya selalu dijadikan sebagai

tumpuan hidup masyarakat. Setiap ada persoalan yang dihadapi

masyarakat, di berbagai sektor, baik itu pendidikan, ekonomi,

politik dan lain sebagainya, seringkali terlibat mengambil peran

yang solutif. Dengan sendirinya entitas itu kemudian menggiring

masyarakat untuk mempersepsikan bahwa kiai memiliki wibawa

yang sangat tinggi.

Keberadaan kiai dalam pesantren sangatlah sentral. Jadi

kiai dalam dunia pesantren berperan sebagai penggerak,

pengemban dan mengembangkan pesantren sesuai dengan yang

dikehendaki. Hal ini dapat dimaklumi karena agama Islam sebagai

acuan nilai moral dan norma yang diyakini dan dianut oleh
48

masyarakat, maka kiapun dianggap sebagai pemimpin.80 Karenanya

bilamana seorang kiai yang memiliki kesadaran akan pentingnya

mengentaskan persoalan lingkungan, ketika menyusun sistem yag

diterapkan di ranah pendidikan, sudah pasti akan diikuti oleh

segenap elemen yang ada di pesantren, utamanya para santri, tanpa

sedikitpun ada penolakan.

2. Pesantren sebagai Lembaga Sosial

Fungsi pondok pesantren sebagai lembaga sosial

menunjukkan keterlibatan pesantren dalam mengenai masalah-

masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Penerapan

pendidikan ekologi di pesantren tentu lebih maksimal mengingat

pesantren memiliki kaitan erat dengan masyarakat. Sehingga

pemaduan antara teori dan praktik seimbang. Para santri bisa terjun

langsung dalam gerakan peduli lingkungan dengan menjadikan

masyarakat sebagai mitra. 81

3. Pesantren sebagai Lembaga Dakwah

Hal yang lumrah kita saksikan bahwa pesantren—baik

secara kelembagaan maupun personal, seringkali terlibat dalam

melakukan dakwah di kalangan masyarakat. Sebenarnya secara

mendasar seluruh gerakan pesantren baik di luar maupun di dalam

pesantren adalah bentuk-bentuk kegiatan dakwah.

80
Bisri Effendi, An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura (t.t: P3M, 1990), 2.
81
Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, 39
49

Implementasi pendidikan ekologi melalui dakwah

pesantren baik di internal pesantren maupun di luar sangat efektif

dan efisien mengingat integritas yang dimiliki pesantren sangat

mumpuni dalam memotori gerakan mengentaskan peroblem

kemasyarakatan.

b) Faktor Penghambat

1. Strandarisasi Pendidikan

Dengan lahirnya buku FW. Taylor, Principles of Scientific

Management, ia menyadari bahwa munculnya standarisasi

pendidikan pada abad ke-19 berdampak pada perubahan orientasi

dari pendidikan itu sendiri. Dimana peserta didik didesain

sedemikian rupa agar menghasilkan output ‘pekerja’ atau ‘buruh’

agar memenuhi kuota pekerja di dunia perindustrian. Menurutnya

sistem standarisasi pendidikan ini merupakan anak kandung dunia

modern dari kebudayaan Barat.82

Sehingga yang pada awalnya pendidikan itu diorientasikan

sebagai solusi problem kerakyatan berubah menjadi dapur produksi

manusia industri yang justru semakin menambah masalah,

utamanya dalam hal kerusakan lingkungan. Lebih dari itu semakin

sedikit manusia yang peka dan tergerak dengan persoalan ini

karena setiap harinya dipenuhi dengan standarisasi pendidikan

yang kapitalistik. Demikian pula halnya di pesantren, realita sistem

82
Dr. M. Arfan Mu’ammar, M. Pd. I, Nalar Kritis Pendidikan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), 74.
50

pendidikan semacam ini, utamanya di lembaga pendidikan

formalnya, masih ada.

2. Teknikalisme dan Ekonomisme

Pendidikan selama ini telah banyak menyediakan disiplin

keilmuan yang beragam, semua ada, bahkan perkembangannya

senantiasa terus disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Namun

demikian adanya, kehidupan manusia hari ini yang materialistik,

membuat pendidikan dijadikan sebagai alternatif dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya yang materialistik itu.

Pendidikan ekologi sebagai landasan berpijaknya gerakan

peduli lingkungan memungkinkan hanya akan diabaikan

mengingat secara materi tidak begitu memberi kepuasan. Sebagai

satu contoh yang oleh penulis paparkan di atas, bahwa hari ini

profesi petani dianggap sebagai profesi yang gagal. Maka bagi

generasi bangsa ini, tidak terkecuali para santri di pesantren tidak

mengidahkan urusan-urusan yang beraitan dengan pelestarian

lingkungan dengan meningkatkan pengijauan, menjadi petani

profesional dan lain sebagainya. Kenyataan ini dibenarkan oleh

Paulo Freire83:

Ideologi hari ini yang menjadi


permasalahan besar adalah ketika meremehkan
kreativitas dan kapasitas regeneratif petani, tidak
menghargai seberapapun tingkat pengetahuan
mereka, dan berupaya untuk ‘mengisi’ mereka
dengan keyakinan teknisi. Saya ingin menegaskan
83
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, ter. Agung
Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 66.
51

bahwa meeka tidak boleh dianggap sebagai bejana


kosong yang diisi dengan pengetahuan. Justru
mereka mestinya diperlakukan sebagai subjek hidup
menurut keyakinan sendiri.

Pendidikan ekologi dalam konteks pesantren akan lebih sulit

diterapkan bilamana paradigma dalam dunia pendidikan seperti ini

masih mengakar kuat. Menurut Freire yang dikenal sebagai tokoh

pemikir pendidikan yang melahirkan konsep pendidikan

pembebasan ini kemudian melakukan upaya penyadaran betapa

pentingnya mengubah haluan orientasi pendidikan pada

kebenarannya. Sehingga keberadaan pendidikan tidak menjadi

duta kapitalisme yang abai dengan setiap persoalan

kemasyarakatan, utanyamanya problematika lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai