Anda di halaman 1dari 18

Ragam Perspektif

Pedagogik tentang
Makna Pendidikan,
Pengajaran dan
Pelatihan
Mata Kuliah : Landasan Pedagogik
Dosen Pengampu : Prod. Dr. Juntika, M.Pd

Asri Mulyayunita (1706864)


Lilis Nurasiah (1706789)
Lina Izzati (1706710)
Program Sudi S2 Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmatNya, kami dapat
menyelesaikan makalah “Ragam Perspektif Pedagogik tentang Makna Pendidikan,
Pengajaran, dan Pelatihan” ini. Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Landasan
Pedagogik yang dibimbing oleh Prof. Dr. Juntika, M.Pd. Tugas ini diberikan kepada
mahasiswa S2 Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan
Indonesia.
Ragam Perspektif Pedagogik tentang Makna Pendidikan, Pengajaran, dan
Pelatihan merupakan topik bahasan pertama dalam mata kuliah Landasan
Pedagogik. Secara umum, makalah ini terbagi menjadi lima bagian utama yaitu
pembahasan makna pedagogik secara singkat, makna pendidikan, pengajaran,
pelatihan dan pembahasan terakhir adalah ringkasan hubungan antara ketiga unsur
tersebut.
Pada bagian pertama, dipaparkan definisi pendidikan secara umum (luas) dan
khusus (sempit). Dipaparkan pula beberapa perspektif para ahli mengenai definisi
dan tujuan pendidikan. Bagian kedua menjelaskan mengenai definisi pengajaran
dan orientasinya, sedangkan bagian ketiga menjelaskan mengenai pelatihan dan
dimensinya.
Makalah ini disusun dengan harapan dapat menambah ide-ide tentang
landasan pedagogik terutama dalam memperkaya pengetahuan akan ragam
perspektif pedagogik tidak hanya pada ranah pendidikan, namun juga pada
pengajaran dan pelatihan. Segala saran, kritik, dan perbaikan atas makalah ini akan
diterima dengan senang hati demi kemajuan pembelajaran penulis. Terima kasih
dan mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini.

Bandung, 18 September 2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hampir semua orang dikenai pendidikan dan melaksanakan pendidikan.
Sebab pendidikan tidak pernah terpisah dengan kehidupan manusia. Anak-anak
menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa
dan berkeluarga mereka juga akan mendidik anak-anaknya. Begitu pula di sekolah
dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa di didik oleh guru dan dosen.
Pendidikan adalah khas milik dan alat manusia. Tidak ada makhluk lain yang
membutuhkan pendidikan. Namun demikian, tidak setiap individu memahami apa
sebenarnya makna pendidikan itu sendiri.
Pekerjaaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang
bertalian dengan perkembangan manusia. Mulai dari perkembangan fisik,
kesehatan, ketrampilan, pikiran, perasaan. Kemauan, sosial, sampai kepada
perkembangan iman, semuanya ditangani oleh pedidik. Berarti mendidik
bermaksud membuat manusia lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan
hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi berbudaya.
Pendidikan di Indonesia dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan masih
mengandung kelemahan, yaitu hanya menekankan pada pengembangan aspek
kognitif semata (pengajaran dalam penguasaan materi) ataupun menekankan pada
‘pelatihan’ yang cenderung pada pengembangan aspek psikomotornya saja.
Padahal, sejatinya makna pendidikan tidak hanya ditekankan pada salah satu aspek
kepribadian, tetapi seluruh aspek kepribadian peserta didik meliputi aspek kognitif,
afektif dan psikomotor.
Kesalahan dalam pemaknaan ketiga konsep ini tentu tidaklah diharapkan.
Oleh karena itu, penulis akan memaparkan lebih lanjut tentang apa dan bagaimana
makna pendidikan, pengajaran maupun pelatihan serta tujuan dari ketiganya.
Sehingga kesalahan dalam pemaknaan ketiga konsep tersebut diharapkan tidak lagi
dibawa ke ranah praktek pendidikan oleh para pendidik umumnya dan para
pendidik di Indonesia khususnya.

2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dikaji pada makalah ini antara lain:
1. Apa makna pendidikan, pengajaran dan pelatihan?
2. Bagaimanakah perbedaan ketiga makna pendidikan, pengajaran dan
pelatihan?
3. Apa tujuan dari pendidikan, pengajaran, dan pelatihan?

1.3 Tujuan Masalah


Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Memperoleh informasi tentang makna pendidikan, pengajaran dan
pelatihan.
2. Memperoleh pemahaman tentang perbedaan makna antara pendidikan,
pengajaran dan pelatihan.
3. Memperoleh informasi tentang tujuan pendidikan, pengajaran, dan
pelatihan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Makna Pendidikan Secara Umum dan Khusus


Istilah pendidikan adalah terjemahan dari perkataan Yunani-paedagogie.
Paedagogie akar katanya adalah pais yang artinya anak, dan again yang
terjemahannya adalah membimbing. Dengan demikian makna paedagogie berarti
bimbingan yang diberikan kepada anak (Toisuta, 1981). Dalam perkembangannya
makna istilah pendidikan atau paedagogie tersebut berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan secara sengaja oleh orang dewas kepada orang lain
yang belum dewasa agar ia menjadi dewasa.
Menurut Hasan, Pendidikan (education) dalam bahasa Inggris berasal dari
bahasa Latin “educare” berarti memasukkan sesuatu (Muhtadi, 2012). Dalam
konsteks ini, istilah pendidikan dapat dimaknai sebagai proses menanamkan nilai-
nilai tertentu ke dalam kepribadian anak didik. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pendidikan dimaknai sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam suatu usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran itu sendiri". Dalam konteks formal, makna pendidikan
sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal I adalah: "Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara".
Dalam konteks filsafat, Driyarkoro (Madya Ekosusilo & Kasihadi, 1989)
mengemukakan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk
“memanusiawikan manusia”. Dalam konteks tersebut pendidikan tidak dapat
dimaknai sekadar membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetapi juga keseluruhan
perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan manusia yang memiliki
peradaban. Pendidikan ditinjau dari sudut pandang masyarakat menurut Hasan
Langgulung (1988: 3) berarti “Pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada

4
generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan.” Dengan kata lain,
masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke
genarasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.
Pandangan Hasan Langgulung tersebut sesuai dengan makna pendidikan
yang diungkapkan oleh Kneller yang memaknai pendidikan sebagai proses
pewarisan budaya. Menurut Kneller (1967: 21) Education is the process by which
society, through schools, colleges, universities, and other institutions, deliberately
transmits its cultural heritage - its accumulated knowledge, value, and skill from
one generation to another.
Pengertian pendidikan secara luas adalah segala pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup, pendidikan adalah
segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Tujuan pendidikan
secara luas terarah pada apa yang ingin dicapai selama hidup atau sama dengan
tujuan hidup.
Pengertian pendidikan secara sempit adalah pengajaran yang
diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah
segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang
diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran
penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial (Redja Mudyahardjo,
2001:6).
Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses dimana masyarakat melalui
sekolah-sekolah, perguruan tinggi, universitas, dan institusi lain dengan sengaja
mewariskan warisan budayanya-yakni berupa akumulasi pengetahuan, nilai, dan
ketrampilan dari generasi ke generasi yang lain. Hal senada juga diungkapkan oleh
Laska (1976: 3), bahwa: Education is one of the most important activities in which
human beings engage. It is by means of the educative process and its role in
transmitting the cultural heritage from one generation to the next that human
societies are able to maintain their existence.
Pendidikan merupakan salah satu aktivitas yang paling utama yang
melibatkan tubuh manusia. Pendidikan merupakan sarana proses mendidik dan
perannya di dalam mewariskankan warisan budaya dari satu generasi kepada

5
generasi berikutnya sehingga masyarakat manusia bisa memelihara keberadaan
mereka. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga
pendidikan sekolah pada dasarnya merupakan salah satu harapan masyarakat
(sebagai wakil orang tua) untuk mewariskan atau menanamkan nilai-nilai
moral/budi pekerti yang bersumber pada norma, etika, tradisi budaya yang
dianutnya kepada generasi mereka. Oleh karena itu bagi masyarakat, lembaga
pendidikan disamping diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berfikir
dan ketrampilan hidup, juga diharapkan mampu mewariskan nilai-nilai budaya
luhur kepada anak didiknya.

2.2 Makna Pengajaran dan Orientasi Pengajaran


Menurut Jones A. Majid, (205:16), “Pengajaran adalah suatu cara bagaimana
mempersiapkan pengalaman belajar bagi peserta didik’. Dengan kata lain
pengajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh para guru dalam membimbing,
membantu, dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki pengalaman belajar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), “pengajaran adalah: 1)
proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan; 2) perihal mengajar; 3) segala
sesuatu mengenai mengajar”. Sedangkan Tardif (1987), memberi arti pengajaran
atau instruction secara lebih rinci, yaitu “a preplanned, goal directed educational
proces designed to facilitate learning.” Sebuah proses kependidikan yang
sebelumnya direncanakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan serta dirancang
untuk mempermudah belajar”.
Senada dengan Nana Sudjana (1988: 6), yang memaknai pengajaran sebagai
“interaksi siswa dengan lingkungan belajar yang dirancang sedemikian rupa untuk
mencapai tujuan pengajaran, yakni kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa
setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya”. Tujuan pengajaran menurut Nana
Sudjana (1988: 6), pada dasarnya adalah “diperolehnya bentuk perubahan tingkah
laku dalam pengertian luas, seperti yang dikemukakan Gagne yang mencakup
keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan
atau menurut Bloom dibedakan dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif (aspek
intelektual), ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotor (keterampilan)”.

6
Dalam pedagogik, terdapat beberapa orientasi pengajaran. Orientasi-orientasi
pengajaran ini mengandung aspek filosofisnya masing-masing. Beberapa orientasi-
orientasi pengajaran ini antara lain:
1. Developmentalisme, menganjurkan pendidikan alam dalam arti:
a. Pendidikan sesuai dengan alam, yaitu pendidikan yang
mengembangkan pembawaan atau bakat anak yang pada dasarnya
adalah baik.
b. Pendidikan negatif, yaitu pendidikan yang tidak ditujukan untuk
mempersiapkan hidup masyarakat yang ada, tetapi mempersiapkan diri
untuk menghadapi kondisi-kondisi masyarakat yang tidak
menguntungkan, tetapi harus berpartisipasi di dalamnya.
c. Pendidikan yang berlangsung dalam alam, yaitu pendidikan yang
dilaksanakan di dalam kehidupan fisik dan sosial yang wajar, tidak
dibuat-buat.
Developmentalisme adalah paham yang mencoba menerapkan prinsip-
prinsip naturalisme Romantik atau pendidikan alam di sekolah, dengan
memberikan peranan yang lebih positif dari pendidik di dalam mengawal dan
melancarkan proses pengembangan yang wajar dari kemampuan-kemampuan
bawaan yang terkandung dalam diri setiap individu (Mudyahardjo, 2001).
Karakteristik aliran pendidikan ini adalah pengembangan pembawaan yang
disertai oleh asuhan yang baik, pendidikan didasarkan pada studi tentang
karakteristik perkembangan anak melalui observasi dan eksperimen, perbaikan
pendidikan lebih ditekankan pada metode mengajar, pendidikan guru dan
pemahaman tentang karakteristik proses pendidikan yang lebih baik, serta
pengembangan pendidikan yang mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan
pendidikan universal.
Beberapa paham dalam orientasi pengajaran ini adalah:
o Pestalozzianisme
Pestalozzi adalah tokoh pertama yang dipengaruhi oleh Rousseau dan
melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pendidikan. Gagasannya
adalah mempsikologikan pendidikan yaitu teori dan praktek pendidikan

7
harus didasarkan pada psikologi atau ilmu tentang karakteristik jiwa
individu manusia. Ia berpendapat bahwa adalah hak mutlak dari setiap
anak untuk mengembangkan sepenuhnya potensi yang dikaruniakan
Tuhan padanya dan pendidikan dimulai dengan persepsi tentang obyek-
obyek yang konkrit, pembentukan tindakan-tindakan yang konkrit dan
pengalaman-pengalaman terhadap respon-respon emosional yang
aktual. (Mudyahardjo, 2001)
o Herbartianisme
Herbart melanjutkan gagasan Pestalozzi tentang mempsikologikan
pendidikan dengan jalan menyusun pedagogik yang memadukan
filsafat dan psikologi dalam menerangkan persitiwa pendidikan.
Prinsipnya mengenai pendidikan yang diterima adalah perlunya
menekankan pada upaya-upaya pendidik yang tepat daripada
pemekaran kapasitas-kapasitas anak dalam mencapai tujuan
pendidikan, perlunya metode-metode mengajar yang sehat dan
perlunya memuliakan peranan guru dalam proses pendidikan sehingga
dapat mengembangkan karakter/moral (Mudyahardjo, 2001).
o Froebelianisme
Froebel yang lebih dekat dengan Pestalozzi daripada Herbart dalam
sikap religius intuitifnya dan lebih dekat dengan Herbart daripada
Pestalozzi dalam semangatnya untuk meneliti menyebabkan Froebel
mengadakan studi terhadap sebagian besar bidang-bidang pemikiran
yang berbeda dan mencoba memadukan semuanya dalam sintesis
filosofis. Gagasannya yang tetap diakui dalam dunia pendidikan adalah
kurikulum sekolah harus didasarkan pada kegiatan dan minta-minat
yang terkandung dalam setiap tahap perkembangan anak dan
pendidikan adalah alat penting untuk menghadapi evolusi di masa
mendatang (Mudyahardjo, 2001).
2. Esensialisme
Orientasi pengajaran esensialisme membangun sebuah fungsi esensial
dari sekolah adalah menjaga pencapaian peradaban manusia dengan cara

8
menyalurkannya dalam bentuk ketrampilan atau pelajaran dalam kurikulum
yang terorganisasi (Ornstein et al, 2011). Esensialis, orang-orang yang
mendukung esensialisme, meyakini bahwa kemajuan pengajaran hanya dapat
dinilai oleh ilmuwan, cendekiawan, atau ahli lain yang telah diberi pendidikan
secara terorganisir. Esensialisme dikembangkan oleh William C. Bagley yang
berpandangan bahwa pengajaran yang baik adalah yang metodenya telah
teruji dari waktu ke waktu.
3. Perennialisme
Perennialisme memiliki pemahaman yang hampir serupa dengan
esensialisme. Perbedaannya terletak pada sumber ketrampilan dan pelajaran
yang disalurkan. Berbeda dengan Esensialis yang mengambil pengembangan
metode pengajaran dari pencapaian peradaban manusia, Perenialis
menyalurkan pengajaran dari filosofi Aristoteles dan Aquinas (Ornstein et al,
2011). Perenialis memahami bahwa manusia dapat menemukan
pengetahuannya sendiri, sehingga sekolah seharusnya mempunyai system
yang berprioritas pada kemampuan intelektual.
4. Progresivisme
Progresivisme dalam pendidikan merupakan bagian dari suatu gerakan
dan perkumpulan yang kuat di Amerika Serikat. Kaum progresif
mengharapkan perubahan yang sangat cepat , agar lebih mencapai tujuan.
Menurut Sadulloh (2003) filsafat progresif berpendapat bahwa pengetahuan
yang benar pada masa kini mungkin tidak benar pada masa yang akan datang
sehingga cara terbaik mempersiapkan para siswa untuk kedepannya adalah
dengan membekali mereka dengan strategi-strategi pemecahan masalah yang
memungkinkan mereka dapat mengatasi masalah-masalah baru dalam
kehidupan dan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang bersesuaian
dengan masa kini.
Secara umum terdapat beberapa prinsip pendidikan menurut pandangan
progresivisme (Sadulloh, 2009) :
o Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup

9
o Pendidikan harus berhubungan secara lansung dengan mint anak, minat
individu yang dijadikan sebagai dasar motivasi belajar
o Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi preseden terhadap
pemberian subject matter.
o Peranan guru tidak langsung, melainkan member petunjuk kepada
siswa.
o Seolah harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangan
persaingan.
o Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi
pertumbuhan.
5. Rekonstruksionalisme sosial
Rekonstruksionalisme sosial, atau dapat juga disebut dengan
rekonstruksionisme, merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme.
Gerakan ini terlahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya
memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang
ada. Rekonstruksionalisme sosial dipelopori oleh George Count dan Harold
Rugg pada tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru, masyarakat
yang pantas dan adil.

2.3 Makna Pelatihan dan Dimensi Pelatihan


Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 26(5), Kursus dan pelatihan sebagai bentuk pendidikan
berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan
pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap
kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional. Kursus dan pelatihan
dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan
internasional. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

10
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), “pelatihan adalah: 1) proses,
cara, perbuatan melatih; 2) kegiatan atau pekerjaan melatih; 3) tempat melatih”.
Pelatihan atau training diartikan juga sebagai “activity leading to skilled behavior”
atau “the result of good upbringing (especially knowledge of correct social
behavior)”, yang diterjemahkan sebagai “aktivitas yang mengarah kepada perilaku
terampil” atau hasil baik pendidikan (terutama pengetahuan tentang perilaku sosial
yang benar)”.
Nadler dan Wiggs (dalam Robinson & Robinson, 1989), mendefinisikan
“pelatihan (training) sebagai teknik-teknik yang memusatkan pada belajar tentang
keterampilan-keterampilan, pengetahuan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk
memulai suatu pekerjaan atau tugas-tugas atau untuk meningkatkan kemampuan
dalam melakukan suatu pekerjaan atau tugas”. Sementara itu, Robinson dan
Robinson (1989) menjelaskan bahwa “pelatihan biasanya dilakukan oleh
organisasi, baik organisasi kerja yang berorientasi mencari keuntungan maupun
tidak, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan bisnisnya”.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah
kegiatan pendidikan berkelanjutan yang memusatkan pada keterampilan,
pengetahuan dan sikap untuk pengembangan kepribadian profesional yang
dikembangkan melalui sertifikasi dan/atau akreditasi.
Dalam pelatihan terdapat beberapa dimensi yang perlu diperhatikan. Rae
(1998, p.32, dalam Damanik, 2014) menyebutkan lima dimensi pelatihan yang
efektif yaitu:
1. Isi pelatihan, yaitu apakah isi program pelatihan relevan dan sejalan
dengan kebutuhan pelatihan, dan pelatihan tersebut up to date.
2. Metode pelatihan, apakah metode pelatihan yang diberikan sesuai untuk
subjek itu dan apakah metode pelatihan tersebut sesuai dengan gaya
peserta pelatihan.
3. Sikap dan keterampilan instruktur, yaitu apakah instruktur mempunyai
sikap dan keterampilan yang mendorong orang untuk belajar.

11
4. Lama waktu pelatihan, yaitu berapa lama waktu pemberian materi pokok
yang harus dipelajari dan seberapa cepat tempo penyampaian materi
tersebut.
5. Fasilitas pelatihan, yaitu apakah tempat penyelenggaraan pelatihan dapat
dikendalikan oleh instruktur, apakah relevan dengan jenis pelatihan.
Dimensi yang pertama adalah isi pelatihan, dimana isi pelatihan tersebut
harus relevan dengan apa yang dibutuhkan dalam pelatihan tersebut. Isi pelatihan
juga harus bersifat terkini. Pemilihan metode yang digunakan dalam pelatihanpun
harus diperhatikan. Hal tersebut dimaksudkan agar adanya kesesuaian dengan
subjek serta gaya dari peserta pelatihan. Dalam pelatihan perlu juga instruktur yang
mempunyai sikap dan keterampilan yang baik karena dapat memotivasi peserta
pelatihan untuk belajar. Begitu pula lama waktu pelatihan dan fasilitas pelatihan.

2.4 Perbedaan Pendidikan, Pengajaran, dan Pelatihan


Menurut Jean-Jacques Rousseau dalam Closson (1999), mendidik adalah
memberikan pembekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak tapi dibutuhkan
pada masa dewasa. Menurut Usman (1994), mengajar adalah membimbing siswa
dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar
merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan
anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar.
Menurut Sarief (2008), melatih pada hakekatnya adalah suatu proses kegiatan untuk
membantu orang lain (atlet) mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam
usahannya mencapai tujuan tertentu.
Tujuan dari tiga jenis kegiatan itu juga berbeda. Mendidik ingin mencapai
kepribadian yang terpadu, yang terintegrasi, yang sering dirumuskan untuk
mencapai kepribadian yang dewasa. Tujuan pengajaran yang menggarap kehidupan
intelek anak ialah supaya anak kelak sebagai orang dewasa memiliki kemampuan
berpikir seperti yang diharapkan dari orang dewasa secara ideal, yaitu diantaranya
mampu berpikir abstrak logis, obyektif, kritis, sistematis analisis, sintesis,
integrative, dan inovatif. Tujuan latihan ialah untuk memperoleh keterampilan
tentang sesuatu. Keterampilan adalah sesuatu perbuatan yang berlangsung secara

12
mekanis, yang mempermudah kehidupan sehari-hari dan dapat pula mebantu proses
belajar, seperti kemampuan berhitung, membaca, mempergunakan bahasa, dan
sebagainya. Baik keterampilan maupun kemampuan berpikir akan membantu
proses pendidikan, yang menyangkut pembangunan seluruh kepribadian seseorang.
Keterkaitan Pendidikan dan Pengajaran yaitu pengajaran adalah proses
belajar atau proses menuntut ilmu. Terdapat dosen atau guru yang mengajar atau
menyampaikan ilmu kepada murid yang belajar. Hasilnya murid menjadi pandai,
dan berilmu pengetahuan (‘alim). Pendidikan adalah proses mendidik yang
melibatkan penerapan nilai-nilai. Di dalam pendidikan terdapat proses pemahaman,
penghayatan, penjiwaan, dan pengamalan. Ilmu yang telah diperoleh terutama ilmu
agama dicoba untuk difahami dan di hayati hingga tertanam dalam hati dan dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain pendidikan menyangkut
tentang akhlak.
Namun, kita tidak bisa mendidik saja tanpa memberi ilmu, dan begitu juga
sebaliknya, kita tidak bisa memberi ilmu saja tanpa mendidik. Pengajaran tanpa
pendidikan akan menghasilkan masyarakat yang pandai tetapi rusak akhlaknya atau
jahat. Masyarakat akan maju di berbagai bidang dan kemewahan timbul dimana-
mana tetapi akan timbul hasad dengki dimana-mana karena jiwa tiap insannya tidak
hidup. Manusia menjadi individual, tidak berkasih sayang, dan kemanusiaan
musnah. Manusia berubah identitas. Fisiknya saja manusia tetapi perangainya
seperti setan dan hewan. Sebaliknya mendidik saja tanpa memberi ilmu akan
menghasilkan individu yang baik tetapi tidak berguna di tengah masyarakat.
Mendidik tanpa ilmu menyebabkan insan mempunyai jiwa yang hidup tetapi tidak
ada ilmu untuk dijadikan panduan.
Perbedaan antara pendidikan, pengajaran dan pelatihan yaitu konsep
pengajaran atau sering disebut dengan pendidikan intelektual serta konsep pelatihan
atau proses pembiasaan untuk memperoleh keterampilan, mempunyai arti yang
lebih sempit dibanding pendidikan, karena keduanya merupakan bagian dari
seluruh proses pendidikan. Pendidikan sendiri memiliki makna yang lebih luas
karena didalamnya mengandung kegiatan mendidik (mengembangkan seluruh
aspek kepribadiannya yang meliputi kehidupan intelektualnya, sikapnya dan

13
keterampilannya), kegiatan mengajar (mengembangkan kemampuan
berpikir/intelektualnya), dan kegiatan melatih (mengembangkan kemampuan
psikomotornya).
Selain itu, terdapat pula perbedaan dilihat dari segi tujuan ketiganya. Hal ini
telah dijelaskan oleh Sadulloh, dkk. (2015), bahwa “tujuan pendidikan adalah untuk
mencapai kedewasaan. Sedangkan tujuan pengajaran adalah supaya anak kelak
sebagai orang dewasa memiliki kemampuan berpikir seperti yang diharapkan dari
orang dewasa secara ideal, yaitu mampu berpikir abstrak, logis, obyektif, kritis,
sistematis analitis, sintesis, integratif dan inovatif. Sedangkan tujuan pelatihan
adalah untuk memperoleh keterampilan tentang sesuatu”. Adapun tujuan
pendidikan untuk mencapai kedewasaan, oleh Hoogveld sebagaimana yang dikutip
oleh Sadulloh, dkk (2015) diartikan “secara mandiri dapat melaksanakan tugas
hidupnya”. Sedangkan Langeveld, mengartikan kedewasaan sebagai “kemampuan
menentukan dirinya sendiri secara mandiri atas tanggung jawab sendiri”.
Perbedaan antara pendidikan, pengajaran dan pelatihan dapat disimpulkan
melalui bagan berikut ini:
Tabel 1 : Perbedaan Pendidikan, Pengajaran dan Pelatihan
KRITERIA
NO PENDIDIKAN PENGAJARAN PELATIHAN
PERBEDAAN
Meliputi tiga unsur, Hanya satu Hanya satu unsur
Cakupan yaitu kegiatan unsur saja, saja, kegiatan
1
kegiatan mendidik/membim-bing, kegiatan melatih
mengajar dan melatih mengajar
Meliputi seluruh aspek Menekankan Menekankan pada
Aspek
kepribadian (intelektual, pada aspek aspek psikomotor
kepribadian
2 sikap dan keterampilan) intelektual (keterampilan/
yang
(kemampuan skill)
dikembangkan
berpikir ilmiah)

14
KRITERIA
NO PENDIDIKAN PENGAJARAN PELATIHAN
PERBEDAAN
Mencapai kedewasaan. Memiliki Memperoleh
Tujuan yang memanusiakan manusia, kemampuan keterampilan/
3
ingin dicapai meningkatkan harkat berpikir ilmiah skill tertentu
dan martabat manusia
Waktu Pendidikan seumur Relatif lebih Relatif lebih
4
berlangsungnya hidup dan lebih lama singkat singkat
Materi yang Transfer of
5 Transfer of values Transfer of skills
diberikan knowledges

Dengan demikian semakin jelas bahwa, baik keterampilan yang didapat dari
pelatihan maupun kemampuan berpikir (berpikir ilmiah) yang didapat dari
pengajaran akan membantu proses pendidikan yang menyangkut pembangunan
seluruh kepribadian seseorang. Satu hal lagi yang harus dipahami adalah bahwa
pendidikan (pedagogik) yang ditujukan untuk membimbing anak yang belum
dewasa oleh orang yang telah mencapai kedewasaan memiliki tujuan yang
normatif, positif dan konstruktif. Jika tujuannya tidak bersifat normatif, negatif dan
destruktif, maka itu tidak bisa disebut sebagai pendidikan (pedagogi) tetapi
demagogi.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang terdapat pada bab II tentang makna pendidikan,
pengajaran dan pelatihan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia yang berlangsung
sepanjang hayat
2. Pendidikan dapat dialami oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun
3. Pendidikan dapat diperoleh melalaui pendidikan formal (sekolah) dan
informal (keluarga dan lingkungan masyarakat)
4. Pendidikan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah semata, tetapi
merupakan tanggung jawab dari masyarakat dan keluarga.
5. Pengajaran merupakan aspek yang berkaitan erat dengan pendidikan, yang
dapat memberikan nilai lebih dalam proses pendidikan khususnya dalam
bidang pengetahuan.
6. Pelatihan merupakan aspek yang menunjang terhadap pendidikan dan
pengajaran karena pelatihan dapat melatih dan mengembangkan keterampilan
(skill) seseorang dan mendorong seseorang menjadi lebih percaya diri dan
berkemampuan dalam hidup dan pekerjaan.
7. Hubungan antara pendidikan, pengajaran, dan pelatihan sangat dibutuhkan
dan tidak bisa dilepaskan dari kegiatan proses evaluasi hasil belajar.

16
DAFTAR PUSTAKA

Balai Pustaka. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.

Dimyati dan Mudjiono. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka cipta.

Ihsan, Fuad. (2011). Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Hasbullah. (2003). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Rasyidin, Waini. (2014). Pedagogik Teoritis dan Praktis. Bandung: PT


RemajaRosdakarya.

Robinson, Dana Gaines dan Robinson, James C. (1989) Training for Impact: How to Link
Training to Business Needs and Measure The Results. California: Jossey-Bass Inc.,
Publisher.

Sadulloh, Uyoh, dkk. (2011). Pedagogik. Bandung: Alfabeta.

Subagio. (2011). Peran Pendidikan dalam Menciptakan Sumber Daya Manusia yang
Berkualitas. Bandung: Alfabeta

Sadulloh, Uyoh, dkk. (2015). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.

Sudjana, Nana. (1988). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung:


Sinar Baru Algesindo.

Tirtarahardja, Umar. & La Sula. (2000). Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Usman, Moh. Uzer. (1994). Menjadi Guru Professional. Bandung. PT Remaja


Rosdakarya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional. Bandung: Fokus Media.

Wina Sanjaya. (2008). Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

17

Anda mungkin juga menyukai