Anda di halaman 1dari 23

Judul Buku Landasan Pendidikan

Konsep dan Aplikasiya


Penulis Dr. M. Sukardjo
Ukim Komarudin, M.Pd.
Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Tempat Terbit Jakarta
Tahun Terbit 2009
Ringkasan Buku Seorang pendidik berkewajiban membimbing, mengarahkan, mengantarkan,
secara dan mengembangkan potensi anak didik seoptimal mungkin. Tentu saja,
Keseluruhan pekerjaan ini tidaklah mudah bagi seorang pendidik , sebab ia harus mampu
menggali atau mengungkap potensi peserta didik yang masih tersembunyi
(hidden talent) menjadi potensi yang tumbuh dan berkembang ke permukaan.
Sebuah layanan yang bukan saja membutuhkan waktu, akan tetapi
membutuhkan pula proses layanan pendidikan yang tepat dan benar.

Dengan dasar diatas, seorang pendidik perlu pandangan yang luas, sehingga
memiliki pemahaman yang mendalam terkait dengan beragam konsep
pendidikan. Peristiwa memilah, memilih, dan menerapkan beragam teori
pendidikan menjadi bagian yang kerap dilakukan oleh seorang pendidik. Selain
itu, mengkaji dan menentukan keberpihakan pada beragam aliran dari
beberapa tokoh pendahulu juga merupakan bagian yang senantiasan dilakukan
oleh seorang pendidik yang berkeinginan memberikan layanan yang terbaik
bagi peserta didiknya.

Semua yang disebutkan di atas menjadi perhatian utama buku ini. Penyusunan
bab demi bab telah disesuiakan dengan kaidah-kaidah Tekonologi Pendidikan,
sehingga aneka materi yang disajikan menjadi mudah dipahami. Dengan
demikian tidak hanya kalangan akademisi yang dapat mengambil manfaat,
melainkan juga masyarakat luas yang peduli pendidikan mampu mendapatkan
gambaran dan menuai kandungan pengetahuan yang ada di dalamnya.
HAKIKAT PENDIDIKAN
A. Pendidikan
Ringkasan Bab I Untuk memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada
pemahaman hakikat pendidikan, yakni kata paedagogie dan paedagogiek.
Pandagogie bermakna pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu
pendidikan (Purwanto, 1995:3).
Secara estimologik, perkataan paedagogie berasal dari bahasa yunani, yaitu
paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paidagogos adalah hamba
atau orang yang pekerjaannya menghantar dan mengambil budak-budak pulang
pergi atau antar jemput sekolah.
Perkataan untuk pedagogi yang juga berasal dari bahasa yunani kuno juda
dapat dipahami dari kata “paid” yang bermakna anak, dan “ogogos” yang
berarti membina atau membimbing. Apa yang dipraktikkan dalam pendidikan
selama ini adalah konsep pedagogi, yang secara harfiah adalah seni mengajar
atau seni mendidik anak-anak (Muis Sad Imam, 2004:5).
B. Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka
Kata sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
mendidik dan kebahagian setinggi-tingginya.
adalah kata Untuk memahami makna mendidik dapat dibandingkan langsung dengan
kunci dari makna mengajar. Kata mengajar yang kita kenal dapat dimaknai sebagai
pendidik. menyajikan bahan ajar tertentu berupa seperangkat pengetahuan, nilai, dan
Mengingat hal atau deskripsi keterampilan kepada seseorang atau sekumpulan orang dengan
itu, sangat maksud agar pengetahuan yang diperlukannya sekarang atau untuk pekerjaan
penting untuk yang akan dijalaninya tumbuh, sehingga ia dapat mengembangkan atau
dipahami meningkatkan inteligensinya secara intelektual.
hakikat Adapun mendidik memerlukan tanggung jawab lebih besar daripada
mendidik yang mengajar. Mendidik ialah membimbing pertumbuhan anak, jasmani maupun
bermakna
luhur dalam
proses
pendidikan.
Mendidik
menurut
Langeveld
adalah
mempengaru
hi dan
membimbing
anak dalam
usahanya
mencapai
kedewasaan.
Menurut
tokoh
pendidikan
yang tidak
asing lagi bagi
Indonesia,
yaitu Ki Hajar
Dewantara
mengatakan,
mendidik
rohani dengan sengaja, bukan saja untuk kepentingan pengajaran sekarang
melainkan utamanya untuk kehidupan seterusnya di masa depan (Rasyidin,
2007:34).

C. Filosofi Pendidikan Nasional


Disamping akar budaya dan historis bangsa Indonesia, maka filosofi
pendidikan nasional memperhatikan pula kehidupan bangsa-bangsa lain di
dunia, sehingga pendidikan di Indonesia pun dapat mengerti, dipahami, dan
memiliki kualitas yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Dengan demikian,
nilai-nilai moral yang terkandung dalam pendidikan nasional, yaitu nilai moral
pancasila, dapat berinteraksi dengan nilai moral yang berlaku universal di
seluruh penjuru dunia.
Filsafat pendidikan yang bersifat perenialisme dan progresif yang melihat
subjek didik sebagai bagian dari warga dunia, dan mengingatkan dengan
sungguh-sungguh agar warga negara tidak didikte oleh perubahan tetapi
mampu bertindak sebagai bangsa yang mampu memberi alternatif. Dengan itu,
maka misi pendidikan nasional dalam hal ini diterjemahkan sebagai rekonstruksi
sosial.

D. Tujuan Pendidikan
Plato mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah
penyadaran terhadap self knowing dan self realization kemudian inquiry dan
reasoning ang logic. Jadi, di sini jelas bahwa tujuan pendidikan memberikan
penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut
harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta
mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya.
Ahli filasat lain seperti Aristoteles mengatakan bahwa tujuan pendidikan
penyadaran terhadap self realization, yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan
untuk menghasilkan (efficacy) dan potensi untuk mencapai brpikir rasional.
Menurut Dewey, tujuan pendidikan ialah mengembangkan seluruh potensi yang
dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi secara induvidual dan
berfungsi sebagai anggota masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran yang bersifat aktif, ilmiah, dan memasyarakat serta berdasarkan
kehidupan nyata yang dapat mengembangkan jiwa, pengetahuan, rasa
tanggung jawab, keterampilan, kemauan, kehausan budi pekerti.

E. Tujuan Pendidikan Nasional


Tujuan pendidikan nasional kita yang berasal dari berbagai akar budaya
bangsa Indonesia terdapat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, yaitu UU No.
20 Tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tersebut, dikatakan:
“ Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis, serta tanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional ditentukan oleh pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat atau para
pakar yang berkompeten dan hasil kemudian dirumuskan oleh pemerintah dan
anggota DPR.
Selanjutnya, untuk lebih mudahnya pencapaian tujuan dari setiap unit
kependidikan dari tujuan pendidikan nasional, maka terdapat pula tujuan
pendidikan institusional. Tujuan institusionalini sesuai dengan tingkat dan
jenjang pendidikannya, seperti Tujuan Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas
(SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan tujuan pendidikan Perguruan
Tinggi. Semua tujuan institusional tersebut mengacu pada tujuan pendidikan
nasional yang dituangkan dalam kurikulum masing-masing jenjang pendidikan.
Dari tujuan institusional, masing-masing unit atau jenjang pendidikan
membuat tujuan yang lebih kecil lagi, yaitu tujuan kurikuler. Dalam tujuan
kurikuluer telah tercantum tujuan bidang studi IPS, IPA, bahasa, dan lain-lain.
Ringkasan Bab II ALIRAN-ALIRAN DALAM PENDIDIKAN

A. Empirisme
Aliran empirisme merupakan aliran yang mementingkan stimulasi eksternal
dalam perkembangkan manusia. Aliran ini menyatakan bahwa perkembangan
anak tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan yang dibawanya dari
semenjak lahir tidak dipentingkan.
Tokoh utama aliran ini adalah filsuf Inggris bernama John Lock yang
menggembangkan paham Rasionalisme pada abad ke-18. Teori ini mengatakan
bahwa anak yang lahir ke dunia dapat diumpamakan seperti kertas putih yang
kosong yang belum ditulisi atau dikenal dengan istilah “tabularasa” (a blank
sheet of paper).
Menurut pandangan Empirisme (atau dikenal juga sebagai
environmentalisme), pendidikan memegang peranan yang sangat penting sebab
pendidik menyediakan lingkungan yang sangat ideal kepada anak-anak.
Aliran Empirisme dipandang sebagai aliran yang sangat optimis terhadap
pendidikan, sebab aliran ini hanya mementingkan peranan pengalaman yang
diperoleh dari lingkungan. Aliran ini masih menggangap manusia sebagai
manusia sebagai makhluk yang pasif, mudah dibentuk atau direkayasa, sehingga
lingkungan pendidikan dapat menentukan segalanya.

B. Nativisme
Paham ini menentang paham Empirisme yang dikemukakan John Lock. Nativ
(dari bahasa latin) memiliki arti terlahir. Menurut paham ini, dengan tokohnya
seorang filsuf Jerman Schopenhauer (1788-1860), dikatakan bahwa anak-anak
yang lahir ke dunia sudah memiliki pembawaan atau bakatnya yang akan
berkembang menurut arahnya asing-masing. Pembawaan tersebut ada yang
baik dan ada pula yang buruk.
Pendidikan yang tidak sesuai bakat dan pembawaan anak didik tidak akan
berguna untuk perkembangan anak itu sendiri. Singkatnya, aliran Nativisme
menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan,
termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap pendidikan anak.
Dengan kata lain, pendidikan, lingkungan masyarakat, dan orang tua tidak
berpengaruh terhadap perkembangan anak karena setiap anak akan
berkembang sesuai pembawaannya, bukan oleh kekuatan_kekuatan dari luar.

C. Naturalisme
Paham Naturalisme dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J. Rousseaue yang
muncul pada abad ke-18. Nature dalam bahasa latin memiliki makna Alam.
Berbeda dengan Schopenhaeuer, Rousseaue berpendapat setiap anak yang
baru dilahirkan pada hakikatnya memiliki pembawaan baik. Namun pembawaan
baik yang terdapat pada setiap anak itu akan berubah sebaliknya karena
dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan tersebut dapat berupa, lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, atau lingkungan masyarakat di sekitar dimana
anak tumbuh dan berkembang.
Dengan demikian, menurut Rousseauer agar seorang anak dapat tumbuh dan
berkembang menjadi anak yang baik, baik tersebut harus diserahkan kepada
alam. Kekuatan alam yang akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir
secara alamiah sejak kelahiran anak tersebut.
D. Konvergensi
Konvergensi artinya titik pertemuan. Pelopor aliran Konvergensi adalah
William Stern (1871-1939), seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan Jerman. Ia
mengatakan bahwa seseorang terlahir dengan pembawaan baik dan juga
dengan pembawaan buruk. Aliran ini menyampaikan bahwa bakat dibawa pada
waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya lingkungan yag
sesuai dengan perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik pun
sulit menggembangkan potensi anak secara optimal apabila tidak terdapat
bakat yang diperlukan bagi perkembangan yang diharapkan anak tersebut.
Dengan demikian, paham ini menggabungkan antara pembawaan sejak lahir
dan lingkungan yang menyebabkan anak mendapatkan pengalaman.
William Stern menjelaskan pemahamannya tentang pentingnya pembawaan
dan lingkungan itu dengan perumpamaan dua garis yang menuju ke satu titik
pertemuan.
Ringkasan Bab TEORI PENDIDIKAN
III
A. Behaviorisme
Behaviorisme adalah posisi fiosofis yang mengatakan bahwa untuk menjadi
ilmu pengetahuan, psikologi harus memfokuskan perhatiannya pada sesuatu
yang bisa diteliti lingkungan dan perilaku daripada fokus pada apa yang tersedia
dalam individu persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, berbagai citra, perasaan-
perasaan , dan sebagainya.
Aliran behavioris didasarkan pada perubahan tingkah laku yang dapat
diamati. Dalam klasikal yang membentukgerak refleks dimulai dengan stimulus yang belum
aliran ini menjadi kebiasaan (unconditioned stimulus) dan respons yang belum menjadi
tingkah laku kebiasaan (unconditioned response). itulah menurut Pavlov sebaga gerak refleks.
dalam belajar Kemudian, Pavlov menjelaskan bahwa pada bagian berikutnya seseorang
akan berubah yang telah memiliki gerak resfleks itu menggabungkannya dengan stimulus
kalau ada netral dengan cara mempresentasikannya bersama stimulus yang belum
stimulus dan menjadi kebiasaan .setelah melakukan sejumlah pengulangan, stimulus netral
respons. Dalam dengan sendirinya akan mendapat respons. Pada titik ini stimulus netral
aliran behavior, dinamakan kembali menjadi stimulus yang sudah menjadi kebiasaan
faktor lain yang (conditioned stimulus) dan respons disebut respons yang sudah menjadi
penting adalah kebiasaan (conditioned respons).
reinforcerment Perangkat istilah lain yang berasal dari Pavlov adalah sistem sinyal pertama
(penguatan), dan kedua. Sistem sinyal pertama terjadi pada saat stimulus yang sudah
yaitu menjadi kebiasaan (sebuah bel) bertindak sebagai “sinyal” pada peristiwa
penguatan penting yang terjadi, yakni stimulus yang tidak menjadi kebiasaan (daging).
yang dapat sistem sinyal kedua terjadi ketika simbol-simbol yang berubah-ubah datang
memperkuat menghasilkan stimulis, sebagaimana yang terjadi dalam bahasa manusia.
respons. Tokoh 2. Burrhus Frederic Skinner
aliran Asas operant conditioning B.F Skinner dimulai dalam tahun 1930-an yakni
Behaviorisme
sebagai berikut
:
1. Ivan
Petrovich
Pavlov
Untuk
menjelaskan
pemahaman
konsepnya,
penjelasan
sederhana
konsepnya
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut.
Pengondisian
Pavlov atau
pada waktu keluarnya teori-teori Stimulus-Respons (S-R).
Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan refleks
bersyarat yang menyebutkan “stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang
tidak mengendur.
Skinner menjalankan prosedur yang ketat untuk mempelajari tingkah laku. Ia
berpendirian, psikologi dapat menjadi suatu ilmu hanya melalui studi tingkah
laku.
Dengan dasar pemahaman tentang belajar, tingkah laku, serta hubungannya
yang erat dengan lingkungan, Skinner menyampaikan asumsi-asumsinya
membentuk landasan untuk operant conditioning yang kemudian dijadikan
sarana menggugat kondisionig klasik, Pavlov.
Masalah yang terjadi pada kondisioning Tipe S ini ilah rentangan tingkah laku
yang dihasilkan itu terbatas. Stimulus yang berkaitan dengan tingkah laku yang
kompleks seperti melukis atau menyanyikan lagu tidak dapat ditemukan.
Tingkah laku semacam itu tidak keluar oleh stimulus tertentu. Tingkah laku yang
demikian dinamakan respons emisi (emitted responses). Sementara respons ini
bertindak mengenai lingkungan dan menghasilkan konsekuensi berupa pujian,
tepuk tangan, atau uang. Respons semacam ini beroperasi terhadap lingkungan
dan dinamakan operant.
3. John Broadus Watson
Menurut pandangan Watson, Behaviorisme harus menerapkan teknik-teknik
penyelidikan binatang, yaitu conditioning untuk mempelajari manusia. Watson
juga percaya bahwa kepribadian orang itu berkembang melalui conditioning
berbagai refleks. Ia berpendirian bahwa manusia waktu lahir hanya memiliki
tiga respons emosi , yaitu takut, marah, dan sayang. Setelah itu, bergantung
pada usia; anak kecil akan menangis, terjatuh, atau kabur. Dalam lingkungan
yang wajar, respons takut dapat disaksikan setelah bunyi ribut yang keras; atau
pada bayi yang tiba-tiba kehilangan topanganyang mendukungnya. Dengan
demikian, menurut Watson, kehidupan emosi yang kompleks dari manusia
dewasa itu merupakan hasil dari conditioning tiga respons dasar tersebut pada
pelbagai keadaan. Dalam gaya persuasifnya, ia memberikan pernyataan tentang
conditioning.
4. Clark Leonard Hull
Konsep sentral dalam teorinya berkisar pada kebutuhan biologis dan
pemuasan kebutuhan, hal yang penting bagi kelangsungan hidup. Oleh Hull,
kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive) seperti lapar, haus, tidur,
hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus yang disebut stimulus dorongan
(SD) dikaitkan engan dorongan primer dan karena itu mendorong timbulnya
tingkah laku.
Penguatan tingkah laku juga dimasukkan dalam teori, tetapi penguatan
merupakan kondisi biologis. Pemuasan kebutuhan biologis disebut reduksi
dorongan (drive reduction) memperkuat pautan antara stimulus dorongan dan
respons.
Teori Hull dikarakteristikkan dengan operasionalisasi sangat ketat terhadap
berbagai variabel dan presentasi matematis yang terkenal.
5. Edwin Ray Guthrie
Guthrie membedakan gerakan dengan tindakan. Gerakan ialah pengurutan
urat, sedangkan tindakan adalah gabungan dari gerakan-gerakan.
Mengenai penguatan tingkah laku, itu bukan faktor yang penting. Belajar
terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus dan
tidak ada respons lain yang dapat terjadi.
Guthrie mendapati pentingnya hukuman dalam mengubah tingkah laku. Jika
diberikan secara tepat bersama dengan stimulus yang menimbulkan tingkah
laku yang tidak patut , maka hukuman dapat menyebabkan subjek berbuat
sesuatu yang lain.
Mengasosiasi stimulus-respons secara tepat itu merupakan inti dari saran
Guthrie kepada guru. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang dipelarinya.
Dalam mengelola kelas, guru diperingatkan agar tidak ,memberikan tugas
atau perintah mungkin akan diabaikan anak.
6. Edward Lee Thorndike
Landasan teori Thorndike mula-mula diletakkan dalam eksperimen-
eksperimen yang dilakukannya dengan binatang. Penelitian dirancang untuk
menentukan apakah binatang itu memecahkan masalah dengan jalan berpikir
ataukah melalui suatu proses yang begitu mendasar sifatnya.
Terkait dengan belajar, Thorndike menyampaikan tiga hukum belajar yang
utama dan itu diturunkan dari hasil penelitian. Ketiga hukum tersebut dalam
hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan.
B. Kognitivisme
Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori pendidikan kognitivisme
adalah dasarnya rasional. Teori kognitivisme berusaha menjelaskan dalam
belajar bagaimana orang-orang berpikir. Oleh karena itu, dalam aliran
kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu
sendiri.
1. Jean Piaget
Terkait dengan penelitiannya, Jean Piaget pernah mengatakan bahwa sejak
usia balita seseorang telah memiliki kemampuan tertentu untuk menghadapi
objek-objek yang ada disekitarnya. Kemampuan ini memang sangat sederhana ,
yakni dalam bentuk kemampuan sensor-motorik, namun dengan kemampuan
inilah balita tadi akan mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar
bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian , serta akan
berubah menjadi kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan rumit.
Kemampuan sdisebut piaget sebagai skema.
Dalam penelitiannya terhadap anak-anak, piaget mencatat adanya periode
dimana asimilasi lebih dominan, periode dimana akomodasi lebih dominan, dan
periode dimana keduanya mengalami keseimbangan.
2. Jerome Bruner
Seperti halnya John Dewey, Bruner menggambarkan orang yang
berpengetahuan itu sebagai seseorang yang terampil dalam memecahkan
masalah. Artinya , orang yang berpengetahuan itu mampu berinteraksi dengan
lingkungan delam menguji hipotesis dan menarik generalisasi.
Menurut Bruner, derajat perkembangan kognitif itu ada tiga tahap. Tahap
pertama, enaktif, merupakan representasi pengetahuan dalam melakukan
tindakan. Tahap kedua, ikonik, yakni perangkuman bayangan visual. Tahap
ketiga dan yang paling maju adalah refresentasi simbolik. Pada bagian ini
digunakan kata-kata dan lambang-lambang lain untuk melukiskan pengalaman.
Dengan dasar itu pula, Bruner menyampaikan struktur yang mendasar dari
mata ajaran yang disebut konsep-konsep penatur harus diindentifikasi dan
digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum.
C. Konstruktivisme
Kaitannya dengan pembelajaran , menurut teori konstruktivisme yang
menjadi dasar bahwa siswa memperoleh pengetahuan adalah karena keaktifan
siswa itu sendiri. Konsep pembelajran menurut teori konstruktivisme adalah
suatu proses pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses
aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru
berdasarkan data.
D. Teori Belajar Humanistik
Teori belajar yang humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk
memanusiakan manusia. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
1. Tokoh-tokoh Teori Belajar Humanistik
a. Arthur W. Combs
Makna adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar
humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu.
Guru tidak dapat memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan
dengan kehidupan mereka.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi
bahwa siswa mau belajar apabila materi pelarannya disusun dan sajikan
sebagaimana mestinya.
b. Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua
hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang dan , (2) kekuatan untuk
melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa
individu berprilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
hierarkis.
c. Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan
experiential (pengalaman atau signifikansi). Experiential Learning menunjuk
pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential
learning mencakup: keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi
oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah
pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dalam pembelajaran.
2. Aplikasi Teori Belajar Humanistik
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru
dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa
dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman balajar
siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaraan.

E. Prinsip-prinsip Belajar Humanistik


1. Manusia mempunyai balajar alami.
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan.
3. Siswa mempunyai relevansi dengan maksud tertentu.
4. Belajar menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
5. Tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan apabila
ancaman itu kecil.
6. Bila ancaman itu rendah terdapat pengalaman siswa dalam memperoleh
cara belajar ang bermakna diperoleh jika siswa melakukan.
7. Belajar akan lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar.
8. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberikan hasil yang
mendalam.
9. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.
PENDIDIKAN DAN NASIONALISME
A. Tantangan Pendidikan Nasional
Berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Dasar Negara RI 1945 yang
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman. Pendidikan nasional sebagaimana di atas,
diharapkan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis
Guna mencapai tujuan tesebut, yakni menderdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana diamanatkan UUD 1945, pemerintah harus membangun suatu
sistem pendidikan yang disebut Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati
bangsa Indonesia karena pendidikan nasional, tetapi sebaliknya, kemajuan itu
juga beriringan dengan kesengsaraan yang terjadi di masyarakat kita. Seiring
dengan pelbagai penataan layanan pendidikan di Indonesia ternyata mencuat
pula ke permukaan pelbagai “peristiwa berdarah” yang terjadi di beberapa
daerah di Indonesia. Bermula dari beberapa wilayah Indonesia yang
berkeinginan memerdekakan diri sampai dengan peperangan antardesa yang
dibumbui suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dari pelbagai peristiwa berdarah yang terjadi di hampir seluruh wilayah
Indonesia dapat dikatakan bahwa ada bagian fungsi pendidikan yang dalam
pelaksanaannya mengalami kendala.

B. Pemahaman Multikultural
Multikultural berarti beranega ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan
(2002), akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan
yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan observasi, untuk menanamkan kecintaan budaya lokal miliknya
sendiri cukup sulit. Telah ada mata pelajaran Muatan Lokal yang memuat cerita-
cerita rakyat daerah setempat, namun dirasakan juga kurang efektif untuk
menanamkan cinta budaya sendiri.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri dibangun dalam beragam
perbedaan suku dan bahasa. Yang menjadikan negara ini kaya akan kebudayaan
dan punya karakteristik dibandingkan negara-negara lain.
Namun disayangkan, kondisi yang terjadi sekarang adalah degradasi akan rasa
kebangsaan dan kebanggaan itu sendiri.
C. Multikulturalisme
Apabila dikaitkan dengan pendidikan multikultural (multicultural education),
multikulturalisme merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan
keragaman latar kebudayaan dari peserta didik sebagai salah satu kekuatan
untuk membentuk sikap multikultural.
Untuk dapat menghargai keragaman etnis, budaya, dan agama diperlukan
beberapa prasyarat. Komarudin Hidayat (2004) menyampaikan setidaknya ada
lima hal yang perlu diperhatikan agar sikap bijak terkait pemahaman
keragaman ini bisa capai.
Pertama, secara teologis-filosofis diperlukan kasadaran dan kayakinan bahwa
setiap individu dan kelompok etnis itu unik, sehingga tumbuh pula keyakinan
bahwa dalam keunikannya masing-masing memiliki kebaikan universal yang
terbungkus dalam wadah budaya, bahasa, dan agama yang beragam dan
bersifat lokal.
Kedua, oarang secara psikologis memerlukan pengondisian agar mempunyai
sikap inklusif dan positif terhadap orang lain atau kelompok yang berbeda.
Ketiga, desain kurikulum pendidikan dan kultur sekolah harus dirancang
sedemikian rupa, sehingga anak didik mangalami secara langsung makna
multikultural dengan panduan guru yang siap dan matang.
Keempat, pada tahap awal hendaknya diutamakan untuk mencari persamaan
dan nilai-nilai universal dari keragaman budaya dan agama yang ada, sehingga
aspek-aspek yang dianggap sensitif dan mudah menimbulkan konflik tidak
menjadi isu yang dominan.
Kelima, dengan pelbagai metode kreatif dan inovatif hendaknya nilai-nilai
luhur pancasila disegarkan kembali dan ditanamkan kepada masyarakat, dan
peserta didik khususnya agar sense of citizenship dari sebuah negara-negara
semakin kuat.
D. Pendidikan Toleransi Sebagai Wahana Rekonsiliasi Sosial
Secara psikologis, pendidikan toleransi dan empati mampu memperhalus
sensibilitas manusia, membuatnya menyadari eksistensi dirinya sebagai bagian
kecil dari sistem sosial dan kosmos yang lebih besar. Dengan demikia, melalui
toleransi dan empati, manusia menyerap perasaan dan pengalaman kehidupan
orang lain yang berasal dari ranah geopolitik, geopolitik, geokultural, dan
geoetnis berbeda.
E. Sekolah Berorientasi Multikultural
Komarudin Hidayat (2004) mengajukan prinsip yang harus dipahami guru
untuk mengarahkan sekolah dengan kultur yang berorientasi multikultural,
sebagai berikut.
1. Setiap Anak adalah Istimewa
Guru harus memandang setiap peserta didik adalah unik, istimewa,dan
terlahir dengan bakat yang berbeda-beda.
2. Pendekatan “Multi-Intelligences”
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mendukung multi-intelligences
peserta didik.
3. “Active Learning”
Jika peserta didik terlatih bersikap asertif dan komunikatif, maka proses
dialog antarsesama teman akan tumbuh tanpa harus brsikap agresif dan
menyakiti yang lain.
4. Universalitas Agama
Isu perbedaan agama sangat sensitif, sementara perkembangan sosial justru
semakin kepada pluralitas pemeluk agama.
5. Semangat Kemanusian dan Keindonesiaan
Untuk menjaga identitas diri tanpa harus bersikap eksklusif sejak dini peserta
didik hedaknya diperkenankan dan dibiasakan memahami dan menghayati nilai-
nilai kemanusiaan serta cinta bangsa.
Dari apa yang diuraikan di atas, salah satu kuncinta adalah bagaimana
mambangun kultur sekolah (school culture) yang mendorong pada kesadaran
anak untuk berpihak pada saudara-saudaranya.
Ringkasan Bab MUTU PENDIDIKAN
V

A. Sekilas Tentang Mutu Pendidikan Indonesia


Seorang pakar pendidikan, Paul Suparno SJ dalam bukunya, Reformasi
Pendidikan: mengungkap masalah besar tersebut, yaitu 1) mutu pendidikan kita yang masih
Sebuah rendah; 2) sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum memadai; 3)
Rekomendasi, krisis moral yang melanda masyarakat kita.
mengatakan Pendidikan kita tersisih di antara keinginan mengejar pertumbuhan ekonomi
bahwa dan daya saing bangsa, sehingga tempaknya tidak diarahkan untuk
pendidikan di memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapilebih diorientasikan
Indonesia pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknoratis, kering dari
sekarang ini sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan budi pekerti.
dapat Sebagai pembanding dapat kita lihat permasalahan mutu yang diterapkan di
diibaratkan negara lain. Di Amerika Serikat, faktor mutu yang mempengaruhi produktivitas
seperti mobil tenaga kerja adalah pendidika. Apabila kualitas tenaga kerja di negara tersebut
tua yang mengalami permasalaha, seperti tidak terampi, kurang inovatif, sulit
mesinnya beradaptasi, dan sikap-sikap lain yang mengarah pada penurunan kinerja, maka
rewel yang pendidikan dipersalahkan.
sedang berada Lain pula di Jerman daam menentukan tolak ukur mutu. Di Jerman, indikator
di tengahkan ukuran mutu adalah di kognitif. Tentu kita menyadari bahwa mutu atau kualitas
arus lalu lintas pendidikan di negara maju tidak sama dengan di negara-negara berkembang.
di jalan bebas Belajar dari dua negara super di atas, indikator mutu seperti apakah yang
hambatan. cocok untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Indonesia? Sampai saat ini
Mengapa belum ada kesepakatan bahwa dua hal tersebut dapat dijadikan tolak ukur
demikian? mutu atau keberhasilan suatu sekolah.
Pada satu sisi, Untuk mendapatkan tolak ukur mutu dapat dilakukan dengan berdayanya
betapa layanan pendidikan. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 telah mengatakan bahwa
pendidikan di fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
Indonesia saat
ini dirundung
masalah besar;
sedangkan
pada sisi lain,
tantangan
memasuki
milenium
ketiga tidaklah
main-main. Ia
mengutip
Sudarminta, SJ
yang
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis.

B. Mengukur Mutu Pendidikan Indonesia


Menerjemahkan fungsi pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU
Sisdiknas 2003, maka langkah awal yang dilakukan pemerintah adalah
menetapkan standar nasional pencapaian pendidikan.
Untuk mendukung tercapainya Standar Nasional Pendidikan dibentuk sebuah
badan yang disebut Badan Standar Nasional Pendidikan yang singkat BSNP,
yaitu sebuah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan,
mengatur pelaksanaan, dan mengevaluasi Standar Nasional Pendidikan.
Dalam menjalankan tugasnya, BSNP mempunyai kewenangan untuk: (1)
mengembangkan Standar Nasional Pendidikan (2) menyelenggarakan ujian
nasional; (3) memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah
daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan; (4) merumuskan
kriteria lulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah .
Berdasarkan ragam dan sasarannya , pencapaian mutu pendidikan dapat
dilakukan melalui tiga cara, yakni.
1. Akreditasi
Pengertian akreditasi berdasarkan UU RI No. 20/2003 Pasal 60 ayat (1)
dan (3) adalah kegiatan yang dilakukan untuk menentukan kelayakan program
dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap
jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang ersifat terbuka.
Dalam operasionalnya, akreditasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan
pendidikan yang dilakukan oleh suatu badan yang disebut Badan Akreditasi
Nasional (BAN) untuk mengakreditasi atau menentukan kelayakan program dan
satuan pendidikan. Akreditasi dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban
secara objektif, adil, transparan dan komprehensif oleh satuan pendidikan
kepada publik.
2. Sertifikasi
Sertifikasi berasal dari bahasa Inggris certificate yang artinya suatu
pernyataan tentang kualifikasi seseorang atau barang. Dalam kaitan ini,
sertifikat pendidik adalah suatu pernyataan yang menunjukkan seseorang benar-
benar memiliki kualifikasi seorang pendidik, atau dalam pengertian penulis
kualifikasi guru profesional.
Kualifikasi akademik seorang guru menurut lampiran dalam Permendiknas No.
16 tersebut adalah:
a. Kualifikasi akademik guru melalui pendidikan formal
Kualifikasi akademik guru pada satuan pendidikan jalur formal mencakup
kualifikasi akademik guru pendidikan PAUD/TK/RA, SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK.
b. Kualifikasi akademik guru melalui uji kelayakan dan kesetaraan
Kualifikasi akademik yang dipersyaratkan untuk dapat diangkat sebagai guru
dalam bidang-bidang khusus yang sangat diperlukan tetapi belum
dikembangkan di perguruan tinggi dapat diperoleh melalui uji kelayakan dan
kesetaraan. Uji kelayakan dan kesadaran bagi seseorang yang memiliki
keahlian tanpa ijazah dilakukan oleh perguruan tinggi yang diberi wewenang
untuk melaksanakannya.
3. Penjaminan Mutu Pendidikan
Sistem Manajemen Mutu adalah suatu kerangka kerja yang dapat diandalkan
untuk implementasi program mutu, mengukur/mengaudit kinerja organisasi
dan untuk perbaikan mutu tanpa akhir. Juga memadukan semua unsur yang
dibutuhkan organisasi ntuk memperbaiki kepuasan pelanggan melalui produk,
jasa, dan proses yang lebih baik.
Strategi Penjaminan Mutu yang harus diambil oleh setiap perguruan tinggi
adalah perguruan tinggi menggalang komitmen menjalankan perjaminan mutu
perguruan tinggi , perguruan tinggi memilih dan menetapkan sendiri standar
mutunya, perguruan tinggi menetapkan dan menjalankan organisasi dan
mekanisme kerja penjamin mutu pendidikan tinggi, dan perguruan tinggi
melakukan benchmarking mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan, baik ke
dalam maupun ke luar.
Ringkasan Bab SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
VI
A. Tokoh-tokoh Pendidikan Indonesia
1. Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara, lahir 25 Februari 1889 adalah salah seorang putera
terbaik negeri ini yang memiliki pemikiran yang sangat maju pada zamannya
dalam Hajar Dewantara mendirikan pendidikan kebangsaan yang dengan Taman Siswa
memperjuangk (3-7-1922).
an pendidikan. 2. Mohammad Syafei
Pemikiran Ki Mohammad syafei adalah seorang berdarah Minang yang dilahirkan di
Hajar Kalimantan Barat. Ia lahir tepatnya di daerah Natan tahun 1895. Ayahnya
Dewantara bernama Mara Sutan dan ibunya Khadijah.
memiliki inti Kayutanam adalah sebuah nama desa kecil di Sumatera Barat , INS sebuah
ingin sebuah lembaga pendidikan yang merupakan akronim dari Indonesische
“memajukan Nederlandsche School . Akibat kemampuan Syafei mengelola sekolah ini
bangsa tanpa kemudian sekolah ini tersohor dengan nama ruang Ruang Pendidikan
membedakan Indonesische Nederlandsche School (RP INS) kayutanam.
RAS, budaya, Tujuan utama Syafei mendirikan INS adalah untuk mendidik anak-anak agar
dan bangsa”. dapat berdiri sendiri sendiri atas usaha sendiri dengan jiwa yang merdeka.
Melihat buah Landasan Penyusunan Kurikulum (Mata Pelajaran) RP INS Kayutanam
pemikiran a. Landasan ideal
tersebut, b. Landasan konstitusional
betapa c. Landasan operasional
pemikirannya d. Kurikulum
samapi saat ini 3. KH. Ahmad Dahlan
masih relevan. Ahmad Dahlan dikampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan
Ajaran Ki nama Muhammad Darwis .
Hajar Penbentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat
Dewantara dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedegang dan ulama serta
yang saat ini
dipakai sebagai
lambang
Departemen
Pendidikan
Nasional
(Depdiknas),
yaitu Ing
Ngarso Sung
Tulado, Ing
Madya
Mangun Karso,
dan Tut Wuri
Handayani. Ki
dengan alur pergerakan sosial keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang
sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX.
Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini
dapat diungkapkan dengan dengan adanya interaksi personal maupun formal
antara Ahmad Dahlan dengan organisasi, seperti: Budi Utomo, Sarikat Islam,
dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan
kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
B. Periodisasi Sejarah Pendidikan di Indonesia
Sejarah pendidikan di Indonesia dibagi tiga periode, yaitu periode sebelum
datang bangsa Eropa (di bawah tahun 1500), periode setelah datang orang
orang Eropa dan orang Jepang (antara 1500-1942), dan periode Indonesia
Merdeka.
1. Periode Portugis
Portugis datang dengan fungsi ganda, berdagang dan penyebaran agama.
Pada permulaan abad ke-16, hampir seabad sebelum kedatangan bangsa
Belanda, pedagang Portugis datang dan memulai menetap di Indonesia bagian
timur.
Yang paling berhasil di antara mereka adalah Ordo Jesuit dibawah
kepemimpinan Fransiskus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai
alat ang ampuh untuk penyebaran agama.
Kedudukan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja di
Indonesia. Kesempatan kondisi Portugis yang melemah dipergunakan oleh
Belanda untuk menggantikan posisi Portugis pada tahun 1605.
2. Periode Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan dibagian
timur Indonesia di mana agama Katolik telah berakar dan di Batavia sebagai
pusat administrasi kolonial. Pada tahun 1607, didirikan sekolah pertama di
Ambon untuk anak Indonesia karena pada saat itu belum ada anak Belanda.
Sementara di Jakarta , sekolah pertama didirikan tahun 1630 untuk mendidik
anak Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC..
Kurikulum sekolah-sekolah selama VOC bertalian erat dengan gereja.
Menurut peraturan sekolah tahun 1642 tugas guru ialah: memupuk rasa takut
kepada Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen , mengajar anak berdoa,
bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa, dan guru-guru.
Walaupun tidak ada kurikulum yang ditentukan, biasanya sekolah
menyajikan pelajaran tentang katekismus, agama, juga membaca, menulis, dan
bernyanyi.
Pada saat itu belum ada pengajaran klasikal. Dengan demikian, kenaikan kelas
tahunan tidak pernah ada. Mengajar dilaksanakan bedasarkan individual.
Masalah yang rumit dalam pendidikan adalah soal bahasa pengantar di
sekolah. Kegagalan itu dijadikan pelajaran dengan menggunakan bahsa Melayu
sebagai bahasa pengantar di sekolah.
3. Periode Penjajahan Belanda
Setelah ambruknya VOC tahun 1816, pemerintah Belanda menggantikan
kedudukan VOC Statuta Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan
menyatakan “bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda.”
a. Pendidikan bagi Warga Belanda
Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817 yang
segera diikuti oleh pembukaan sekolah di kota-kota lain di Jawa. Pada akhir
abad ke-19 hampir tercapai taraf pendidikan universal bagi anak-anak Belanda
di seluruh Indonesia.
(1) Europese Lagere School (ELS)
Sekolah Belanda atau Europese Lagere School (LLS) sejak mula dimaksud
agar sama dengan yang di Neverland. Tujuan utamanya ialah mengembangkan
dan memperkuat kesadaran nasional di kalangan keturunan Belanda, yang
kebanyakan indo Belanda, termasuk anak-anak yang lahir dari hubungan yang
legal.
ELS yang pertama dirikan pada tahun 1817 di Batavia (Jakarta). Tujuan ELS
bukan lagi mendidik orang agar taat beragama, melainkan menjadi warga yang
baik. Kurikulumnya terdiri atas mata pelajaran membaca, menulis, berhitung,
bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi, dan mata pelajaran.
(2) Hogere Burgerschool (HBS)
Murid-murid Europese Lagere School (ELS) dapat menempuh dua macam
ujian, yakni ujian pegawai rendah (Klien Ambternaars examen) setelah kelas 6
dan ujian masuk HBS (Hogere Burgerschool, sekolah menengah, setaraf dengan
SMP dan SMA sekarang), setelah kelas 7.
(3) Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
Tahun 1903 adalah tahun pendirian kursus MULO yang disambut baik oleh
kaum Indo-Belanda dan mereka yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke
HBS yang dianggap mahal. Lama pendidikan dapat ditempuh 3-4 tahun.
Pada tahun 1914, kursus MULO diubah menjadi sekolah MULO. Sekolah ini
merupakan sekolah pertama yang tidak mengikuti pola pendidikan Belanda,
namun tetap merupakan pendidikan yang berorientasi Barat dan tidak mencari
penyesuaian dengan Indonesia.
b. Pendidikan bagi Warga Bumi Putera
Ide liberal yang berdampak pada penyedian fasilitas yang sebaik-baiknya bagi
anak-anak yang belajar, ternyata tidak berdampak bagi kalangan bumi putera.
Padahal, adanya Statuta 1818 yang menyatakan, “pemerintah hendaknya
membuat peraturan yang diperlukan mengenai sekolah-sekolah bagi anak bumi
putera. Pemerintah memberi kesempatan kepada anak bumi putera untuk
mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda,” seolah putera menjadi harapan.
c. Sekolah-sekolah untuk Bumi Putera
(1) Sekolah Kelas Satu
Sekolah ini merupakan akibat dari krisis ekonomi yang dialami pemerintah.
W.P Groenevelt, seorang Direktur Pengajaran, Agama, dan Industri mengajukan
usul yang akhirnya disetujui oleh Gubernur Jenderal Dewan Hindia untuk
mendirikan sebuah Sekolah Kelas Satu untuk aristokrasi dan orang berada
dikalangan bumi putera.
(2) Sekolah Kelas Dua
Sekolah Kelas Dua merupakan pilah layanan pendidikan yang lain bagi
masyarakat bumi putera. Sekolah Kelas Dua dimaksudkan sebagai sekolah
rakyat yang memberi pendidikan yang sederhana bagi seluruh rakyat.
Masalah pendidikan untuk pribumi tidak selesai. Selain masalah keuangan,
masalah lain muncul Sekolah Kelas Dua adalah sejumlah besar warga menjauhi
kehidupan desa dan pekerjaan kasar dengan mengharapkan pekerjaan-
pekerjaan kantor. Sekolah Kelas Dua , selanjutnya merupakan sekolah bagi
minoritas penduduk.
(3) Sekolah Desa
Bahasa Melayu tidak termasuk mata pelajaran, sehingga hal ini menghalangi
lanjutan pelajaran dan kemampuan komunikasi dengan penduduk di pilah
bagian lain di Indonesia. Tetapi memang pada dasarnya, sekolah ini tidak
diharapkan memperluas cakrawala di luar batas desanya.
(4) Holland Inlandse School (HIS)
Alasan prinsip bagi pendirian HIS adalh keinginan yang kian menguat di
kalangan orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan, khususnya
pendidikan Barat.
Kondisi Sekolah Kelas Satu yang tidak dapat memberi kesempatan
meneruskan pendidikan ke sekolah lanjutan, menyebabkan orang tua menuntut
beragam hal yang menyebabkan tujuannya tercapai. Maka lambat laun Sekolah
Kelas Satu berubah menjadi Hollands Inlandse School pada tahun 1914.
(5) Algemene Middelbare School (AMS)
Pendirian MULO sebagai lanjutan segala macam sekolah rendah yang
berorentasi Barat, khususnya HIS merupakan langkah yang sangat penting
dalam perkembangan suatu sistem pendidikan yang lengkap di Indonesia.
Langkah berikutya adalah dibukanya AMS. Di sekolah AMS sudah mulai dikenal
adanya penjurusan. Ada dua penjuruan, yaitu bagian A (kebudayaan) dan
bagian B (Pengetahuan Alam).
d. Pendidikan bagi Warga Cina
Ini pun apabila ditelusuri sejarah dengan sungguh-sungguh, bukan karena
inisiatif pemerintah tetapi karena desakan dari pihak warga Cina yang
menginginkan pendidikan yang merata dan lebih baik.

Padang, November 2016

Tanda tangan

Murti Sari
16004058

Anda mungkin juga menyukai