Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KAJIAN ANTROPOLOGIS FILSAFI


TERHADAP HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN

Diajukan untuk memenuhi sebagaian dari syarat memperoleh nilai


dari Mata Kuliah Landasan Pedagogik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Juntika Nurihsan. H. MPd.

Disusun Oleh :

1. Fevi Rahmadeni 1602973


2. Hasanah 1604775
3. Indriana Susanti 1603260
4. Melisa Wirmas 1602891

MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayat-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KAJIAN
ANTROPOLOGIS FILSAFI TERHADAP HAKIKAT MANUSIA DAN
PENDIDIKAN”. Makalah ini merupakan salah satu komponen tugas mata kuliah
Landasan Pedagogik yang dibimbing oleh Prof. Dr. Juntika, M.Pd.

Topik yang dibahas di dalam makalah ini merupakan salah satu topik
bahasan dalam mata perkuliahan Landasan Pedagogik yang berfokus pada
antroplogis filsafi, yang mana di dalam makalah ini disusun dalam tiga bab utama,
yaitu pendahuluan yang berisi penjelasan mengenai filsafat, pembahasan yang
berisi antropologis filsafi dalam pendidikan dan implikasinya, dan bab terakhir
adalah kesimpulan.

Pembuatan makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi dan menambah


pengetahuan baru terkait dengan landasan pedagogik, khususnya dalam kajian
antropologi filsafatnya serta implikasinya dalam bidang pendidikan.

Sebagai penutup, tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada Prof. Dr.
Juntika, M.Pd. atas bimbingan dan arahannya serta kepada teman-teman sekalian
yang membantu proses penulisan makalah ini hingga selesai.

Bandung, September 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

A. Kajian Beberapa Pandangan Filsafat Terhadap hakikat Manusia dan


Pendidikan............................................................................................ 3
B. Implikasi Pandangan Antropologi Filsafi Terhadap Peranan pendidik
dan Peeserta Didik dalam Mencapai tujuan Pendidikan ...................... 13

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 19

A. Kesimpulan .......................................................................................... 19
B. Saran..................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Pengertian filsafat menurut Hamdani Ali berasal dari bahasa Yunani yaitu
philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari kata philos yang berarti
cinta, senang, dan suka dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah, dan
kebijaksanaan. Pandangan lainnya yaitu Imam Barnadib menjelaskan filsafat
sebagai pandangan yang menyeluruh dan sistematis. Menyeluruh karena filsafat
bukan hanya pengetahuan namun juga pandangan yang dapat menembus
pengetahuan itu sendiri (Jalaludin, 2011). Dikarenakan filsafat bersifat spekulatif,
maka nilai-nilai yang dihasilkan pun akan sangat bergantung dari pandangan filsuf
yang bersangkutan.
Filsafat dibutuhkan manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dalam berbagai hal di kehidupan manusia. Jawaban tersebut digunakan
untuk mengatasi masalah-masalah yang menyangkut berbagai bidang kehidupan
manusia, termasuk bidang pendidikan.
Hubungan filsafat dan ilmu pendidikan tidak hanya insidental, tetapi juga
keharusan. Filsafat merupakan hasil manusia dengan kekuatan akal budinya untuk
memahami secara radikal, integral, dan universal tentang hakikat yang ada yaitu
mengenai Tuhan, alam, dan manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi
dari pemahaman tersebut. Dan ilmu yang yang mempelajari tentang hakikat
manusia disebut dengan antropologi filsafat (Jalaluddin, 2007).
Karenakan antropologi filsafat membahas mengenai hakikat manusia, maka
aspek pendidikan pun tidak lepas dalam cakupannya. Dalam sistem pendidikan,
antropologi filsafat akan berpengaruh dan berimplikasi terhadap tujuan dan
metode pendidikan yang diterapkan, dan secara tidak langsung akan berpengaruh
terhadap peran pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Terdapat beberapa pandangan antropologi filasafat yang akan dibahas dalam
makaslah ini yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, dan
pancasila. Dari kelima pandangan ini, akan dikaji lebih lanjut terhadap hakikat
manusia dan pendidikan serta implikasi dari kelima pandangan tersebut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KAJIAN BEBERAPA PANDANGAN FILSAFAT TERHADAP


HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN

1. Filsafat Idealisme
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh. Plato
menyatakan bahwa realitas terakhir adalah dunia cita. Dimana dunia cita
merupakan dunia mutlak tidak berubah, dan asli serta abadi. Sementara itu,
menurut Hegel (Sadulloh, 2003) dunia adalah roh, yang mengungkapkan diri
dalam alam, dengan maksud agar roh tersebut sadar akan dirinya sendiri. Hakikat
roh dapat berupa ide atau pikiran.

a. Pandangan Filsafat Idealisme terhadap Hakikat Manusia


Filsafat idealisme memandang bahwa hakikat manusia adalah jiwa dan
rohaninya, yakni apa yang disebut “mind”. Mind merupakan salah satu wujud
yang mampu menyadari dunianya, bahwa sebagai pendorong dan penggerak
semua tingkah laku manusia. Jiwa merupakan faktor utama yang menggerakkan
semua aktivitas manusia, badan atau jasmani tanpa jiwa tidak memiliki apa-apa.
Idealisme mengemukakan pandangan bahwa pengetahuan yang diperoleh
melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena pengetahuan yang benar
hanya merupakan hasil akal. Indera hanya memberikan materi mentah bagi
pengetahuan. Pengetahuan ditemukan melalui konsepsi dalam prinsip-prinsip
sebagai hasil aktivitas jiwa. Matematika melengkapi pola berpikir manusia.
Dengan matematika manusia dapat mengembangkan inteleknya. Sains fisik akan
berkembang dengan menggunakan matematika.
Menurut Plato (Sadulloh, 2003) idealisme percaya bahwa manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentang realitas. Sehingga, jika manusia tahu apa yang
dikatakannya sebagai hidup baik, mereka tidak akan berbuat hal-hal yang

2
bertentangan dengan moral. Kejahatan terjadi karena orang tidak mengetahui
bahwa perbuatan tersebut jahat. Jika seseorang mengetahui bahwa itu benar, maka
orang tersebut tidak akan berbuat salah. Namun, yang menjadi persoalan adalah
manusia memiliki pandangan yang berbeda dalam pikirannya mengenai hidup
yang baik. Sementara Jalaludin (2007) mengemukakan idealisme adalah nilai
yang bersifat normatif dan objektif serta berlaku umum saat mempunyai
hubungan dengan kualitas baik dan buruk.

b. Pandangan Filsafat Idealisme terhadap Pendidikan


Hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang
besar tehadap perkembangan teori pendidikan, khususnya filsafat pendidikan.
Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang
memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensialitasnya. Oleh karena itu,
pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam
spiritual. Pendidikan juga harus menekankan kesesuaian batin antara anak dan
alam semesta (kneller dalam Sadulloh, 2009). Selanjutnya Horne juga
mengemukakan bahwa pendidikan merupakan proses yang abadi dari proses
penyesuaian dan perkembangan mental maupun fisik, bebas, dan sadar terhadap
Tuhan. Kemudian dimanifestasikan dalam lingkungan intelektual, emosional, dan
berkemauan. Sehingga, Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan, yaitu
pribadi manusia ideal.
Seorang guru yang menganut paham idealisme harus membimbing atau
mendiskusikan berbagai hal dengan siswa, hal tersebut bukan merupakan prinsip-
prinsip eksternal kepada siswa melainkan sebagai kemungkinan-kemungkinan
(batin) yang perlu dikembangkan. Kant dalam Sadulloh (2009) juga
mengungkapkan bahwa guru harus memandang anak sebagai tujuan, bukan
sebagai alat.

2. Filsafat Realisme
Pada dasarnya realisme merupakan filsafat yang memandang realitas
secara dualistis. Realisme berbeda dengan idealisme yang bersifat monistis.

3
realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia
ruhani. Realisme juga berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri dari dua
bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak, dan di pihak
lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dijadikan sebagai objek
pengetahuan manusia.

a. Pandangan Filsafat Realisme terhadap Hakikat Manusia


Realisme klasik berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki
ciri rasional. Dunia dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip “self evident”,
dimana manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident merupakan hal
yang penting dalam filsafat realisme karena evidensi merupakan asas pembuktian
tentang realitas dan sekaligus kebenaran. Self evident juga merupakan suatu bukti
yang ada pada diri (realitas, eksistensi) itu sendiri, jadi bukti tersebut bukan pada
materi atau realitas yang lain. Sehingga, Bahan pendidikan yang esensial bagi
aliran ini, yaitu pengalaman manusia yaitu berupa apa yang merupakan penyatuan
dan pengulangan dari pengalaman manusia.
Kneller (Sadulloh, 2003) mengemukakan bahwa realisme klasik bertujuan
agar anak menjadi manusia bijaksana, yaitu seseorang yang dapat menyesuaikan
diri dengan baik terhadap lingkungan fisik dan sosial. Sementra itu, Mohammad
Zamroni (2009) mengemukakan realisme adalah aliran yang menyatakan bahwa
objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. Objek-objek
tersebut tidak tergantung pada adanya yang mengetahui, yang menerapkan atau
tidak tergantung pada pikiran.

b. Pandangan Filsafat Realisme terhadap Pendidikan


Mengenai konsep pendidikan realisme natural, Brucher (Sadulloh, 2003)
mengemukakan bahwa pendidikan berkaitan dengan dunia di sini dan sekarang.
Pendidikan haruslah ilmiah dan yang menjadi objek penelitiannya adalah
kenyataan dalam alam. Disisi lain, Aristoteles mengungkapkan bahwa di sekolah
hendaknya tidak hanya menekankan perhatiannya pada mata pelajaran, akan tetapi
sekolah juga harus menghasilkan individu-individu yang sempurna.

4
Menurut Kant (Sadulloh, 2003) semua pengetahuan dimulai dari
pengalaman, namun tidak semua didapat dari pengalaman. Pengalaman bukan
hanya sekedar warna, suara, bau yang diterima alat indera, melainkan hal-hal
tersebut diatur dan disusun menjadi satu bentuk terorganisasi oleh pikiran.
Manusia telah dilengkapi dengan seperangkat kemauan, sehingga kita dapat
memberi bentuk terhadap data mentah yang diamati.

3. Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme merupakan perkembangan dari realisme. Istilah pragmatisme
berasal dari kata “pragma” artinya praktik atau aku berbuat yang mengandung
makna bahwa segala sesuatu bergantung dari hubungan dengan apa yang dapat
dilakukan.
Terdapat istilah lain dari filsafat pragmatisme yaitu instrumentalisme dan
eksperimentalisme. Instrumentalisme menganggap bahwa dalam hidup ini tidak
punya tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang
merupakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan
tidak mengenal tujuan akhir. Sementara itu, eksperimentalisme menganggap
bahwa filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas
pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya
berpangkal pada filsafat empiris Inggris yang berpendapat bahwa manusia dapat
mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika
adalah Charles Shandre Peirce (1839-1914), William James (1942-1910), dan
John Dewey (1859-1952). Kajian filosofi tersebut berbeda, baik dalam
metodologi maupun dalam kesimpulannya. Dimana Pragmatisme Peirce dilandasi
oleh fisika dan matematika, sementara itu Pragmatisme Dewey dilandasi oleh
sains-sains sosial dan biologi, sedangkan Pragmatisme James adalah personal,
psikologis, dan bahkan mungkin religius.

5
a. Pandangan Filsafat Pragmatisme terhadap Hakikat Manusia
Teori pragmatisme memandang manusia sebagai makhluk fisik sebagai hasil
evolusi biologis, sosial, dan psikologis. Kerana sejatinya manusia dalam keadaan
terus menerus berkembang. Manusia hidup dalam keadaan “menjadi” (becoming)
secara terus menerus “on goingness”. Manusia secara mendasar adalah plastis dan
dapat berubah. Sementara itu, watak dari pragmatisme adalah humanistis dan
menyetujui suatu dalil “manusia adalah ukuran segala-galanya”. Sehingga, dalam
hal ini manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk mencapai perubahan
yang lebih baik, terutama dari segi peran manusia itu sendiri maupun dari segi
keberlangsungannya untuk pendidikan.
Menurut paham ini kita harus mempertimbangkan perbuatan-perbuatan
manusia dengan tidak memihak, dan secara ilmiah memiliki nilai-nilai yang
tampaknya memngkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
manusia. Pada hakikatnya nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan yang
dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilaku manusia sebagai suatu
pengetahuan dan sebagai suatu ide.

b. Pandangan Filsafat Pragmatisme terhadap Pendidikan


Sementara itu, filsafat pragmatisme memiliki sumbangsih yang sangat besar
terhadap teori pendidikan. Menurut John Dewey (Sadulloh, 2003) terdapat dua
teori pendidikan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kedua
teori pendidikan tersebut adalah paham konservatif dan “unfolding teori” (teori
pemerkahan). Teori konservatif mengemukakan bahwa pendidikan adalah sebagai
suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa memperhatikan kekuatan-
kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri anak. Sedangkan unfolding
teori berpandangan bahwa anak akan berkembang dengan sendirinya, karena ia
telah memiliki kekuatan-kekuatan laten, dimana perkembangan si anak telah
memiliki tujuan yang pasti.
Menurut pragmatisme pendidikan bukan merupakan suatu proses
pembentukan di luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan-
kekuatan laten dengan sendirinya. Akan tetapi, pendidikan merupakan suatu

6
proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalama individu. Dalam
hal ini dapat dikatakan baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari
pengalamannya. Selanjutnya, John Dewey mengemukakan pentingnya pendidikan
berdasarkan tiga pokok pemikiran, yaitu:
 Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup
Dalam memenuhi kebutuhan hidup harus terjadinya interaksi antara individu
dengan lingkungannya. Setiap individu dalam bermasyarakat bisa hancur,
namun proses hidup akan berlangusung terus karena adanya proses reproduksi
atau kelahiran (ini sesuai dengan pandangan bahwa manusia sebagai hasil
evolusi fisik, biologis, dan sosial).
 Pendidikan sebagai pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan yang berlangsung terus
untuk mencapai suatu hasil selanjutnya. Jika diterapkan pada pendidikan,
kekuatan untuk tumbuh tergantung pada kebutuhan atau ketergantungan
terhadap orang lain dan plastisitas yang dimiliki anak.
 Pendidikan sebagai fungsi sosial
Pendidikan merupakan suatu cara yang ditempuh masyarakat dalam
membimbing anak yang masih belum matang menurut bentuk susunan sosial
sendiri. Karena anak yang belum matang selalu berinteraksi dengan
lingkungan, tidak ada satu tindakan pun yang tidak membutuhkan lingkungan
terutama lingkungan sosial.

Tujuan pendidikan menurut pragmatisme, tidak ada tujuan umum yang


berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap dan pasti, melainkan yang
ada hanyalah tujuan khusus belaka. Jadi tujuan pendidikan tidak dapat ditetapkan
pada semua masyarakat, kecuali apabila terdapat hubungan timbal balik antara
masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Jadi, tujuan pendidikan harus
dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik, harus fleksibel,
dan mencerminkan aktivitas bebas. Tujuan pendidikan ini juga bersifat temporer,
karena tujuan itu merupakan alat untuk bertindak.

7
4. Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard (Sadulloh, 2003),
dimana inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme yaitu seputar: “Apa
kehidupan manusia? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna
“eksis” (berada) dari manusia”. Filsafat eksistensialisme juga tergolong unik,
karena memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.

a. Pandangan Filsafat Eksistensialisme terhadap Hakikat Manusia


Aliran filsafat eksistensialisme modern berpandangan bahwa hakikat manusia
adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini manusia
dipandang tidak dari sudut serba-zat atau serba-ruh atau dualisme, tetapi dari segi
eksistensi manusia di dunia ini (Jalaluddin, 2007). Di sisi lain, eksistensialisme
memberi individu suatu jalan berpikir mengenai kehidupan, apa maknannya bagi
saya, apa yang benar untuk saya. Secara umum, eksistensialisme menekankan
pilihan kreatif, subjektivitas pengalaman manusia, dan tindakan konkrit dari
keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau
realitas.
Sartre menyatakan bahwa setiap individu terlebih dahulu hadir dan kemudian
ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas menentukan makna
keberadaan/eksistensi ada pada individu seorang: tidak ada keyakinan filosofis
yang dirumuskan sebelumnya dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu.
Melainkan sampai masing-masing dari kita memutuskan siapa kita adanya.
Selanjutnnya ia mengemukakan eksistensi mendahului esensi, terlebih dahulu
manusia ada, hadir, muncul di panggung dan hanya setelah itu ia menentukan
dirinya sendiri (Sadulloh, 2003).
Eksistensialisme merupakan filsafat yang mempunyai prinsip bahwa segala
gejala bertolak dari eksistensi (Kuswana, 2012). Eksistensi adalah cara manusia
berada di dunia. Sementara cara manusia berbeda dengan cara beradanya benda-
benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan
dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan lainnya.
Tidak demikian halnya dengan keberadaan manusia, karena manusia dengan

8
manusia lainnya memiliki derajat yang sama. Sehinga benda-benda materi, alam
fisik, dan dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau tidak
memiliki tujuan apa-apa jika terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini akan bermakna
jika ada manusia.
Persamaan-persamaan mengenai paham eksistensialisme dari berbagai
pandangan yang berbeda-beda, diantaranya yaitu:
1) Motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah apa yang disebut
‘eksistensi’, yaitu mengenai cara manusia berada, dan disinilah hanya
manusia yang bereksistensi. Manusia menjadi pusat perhatian, sehingga
manusia bersifat humanistis.
2) Bereksistensi dapat diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti
menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
3) Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka. Pada hakikatnya manusia
terikat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia.
4) Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalam
yang esensial (Sadulloh, 2003).

b. Pandangan Filsafat Eksistensialisme terhadap Pendidikan


Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan
bahwa eksistensialisme berhubungan erat dengan pendidikan, karena keduanya
bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan
(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah ‘keberadaan’ manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia (Sadulloh, 2003).
Sementara itu, kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada
apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul
dalam satu tingkatan kepekaan personal. Kurikulum yang ideal adalah kurikulum
yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan
mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-
pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.

9
Menurut kaum eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang
lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana
individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata
pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah mata pelajaran IPA,
sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Dengan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut,
siswa akan berkenalan dengan padangan dan wawasan para penulis dan pemikir
termashyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan
kesalahan, kekuasaan, konflik, penderitaan dan mati.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap
humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat
mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus di
dorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan
keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
Menurut Kneller, konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat
diaplikasikan dari pandangann Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan
percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan
subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku” dan
“engkau” (Tuhan). Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan”, dimana
seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai objek.
Kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan, dimana anak dipaksa
menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel dan
guru menjadi penguasanya. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar
sebaiknya pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk
menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari
pengalaman pribadi guru itu sendiri. Sehingga, ketika guru berjumpa dengan
siswa, hal tersebut merupakan pertemuan antara pribadi dengan pribadi (Sadulloh,
2003).
Maxime Greene seorang filosof pendidikan dalam karyanya didasarkan pada
eksistensialisme yang menyatakan bahwa “ kita harus mengetahui kehidupan kita,
menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian

10
bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat
dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses eduatif
(Sadulloh, 2003).
Sehingga, dalam hal ini eksistensialisme memiliki peranan yang besar tidak
hanya dalam hakikat manusia itu sendiri terlebih khusus yaitu dalam pendidikan.
Karena dengan eksistensialisme manusia menjadi subjek yang sangat berperan
penting untuk berlangsungnya suatu pendidikan, tanpa keberadaan manusia
pendidikan tidak akan pernah bisa berjalan.

5. Filsafat Pancasila
Filsafat pancasila merupakan satu kesatuan bulat dan utuh, atau kesatuan
organik yang berlandaskan pada pancasila. Karena itu, filosofi yang dipakai itu
harus berusaha memenuhi syarat-syarat berpikir secara kritis, sistematis,
menyeluruh dan mendalam. Karena filsafat itu sebagai ilmu untuk memahmi
semua hal yang timbul dalam hidup manusia, maka diharapkan manusia dapat
mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai filsafat
bahwa manusia itu satu kesatuan dari dunia.
Pandangan dunia adalah suatu konsep menyeluruh tentang alam semesta,
manusia masyarakat umum, nilai dan norma yang mengatur sikap dan perbuatan
manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri, sesama manusia, masyarakat
dan alam sekitar serta dengan penciptanya. Karena manusia merupakan bagian
dari dunia, maka ia akan berusaha untuk lebih memperbaiki dirinya sendiri
sehingga dengan perubahan itu manusia menjadi mantap dan stabil dalam
kehidupannya (Jalaluddin, 2007).
Objek filsafat pancasila ialah seluruh realita yang ada dan dialami oleh
manusia, terlepas dari disadari atau tidak disadari oleh manusia. Manusia
berhakikat sebagai materi, maka dari itu dapat dengan mudah merumuskan
hakikinya. Karena, manusia itu dapat dipandang sebagai benda hiudp. Menurut
C.G. Young, hasrat untuk berteman dan bergaul dengan orang lain adalah bawaan
manusia. Sifat ini dibawanya sejak lahir sehingga memperoleh pengalaman
dengan melakukan interaksi sosial dalam kehidupan merupakan suatu kebutuhan

11
untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan memperkaya pengetahuan. Sehingga,
jika seseorang dikucilkan dari suatu lingkungan atau pergaulan akan
menimbulkan rasa rendah diri tidak lain kepercayaan dirinya berkurang, hal ini
yang menyebabkan rasa kurang nyaman dalam kehidupan (Wreksosuhardjo,
2013).
Menurut Tafsir untuk mengembangkan mutu pendidikan, ada lima jalur yang
harus diperhatikan. Pertama, landasan filsafat untuk menjadi landasan dasar
menyusun paradigma bagi pengembangan ilmu pendidikan. Filsafat yang akan
dijadikan dasar pengembangan tersebut haruslah filsafat pendidikan. Kedua, kita
memerlukan paradigma bagi penyusunan metodologi pengembangan ilmu
pendidikan. Ketiga, kita memerlukan modal-modal penelitian untuk digunakan
dalam penelitian pendidikan. Keempat, memerlukan metodologi pembagian ilmu
pendidikan. Dan kelima, melakukan organisasi yang berskala nasional (Jalaludin,
2007).
Filsafat pancasila berpendirian bahwa manusia itu sungguh-sungguh ada dan
itu adalah manusia yang utuh. Apabila manusia tidak ada, maka pancasila pun
tidak ada. Pancasila adalah filsafat. Pancasila merupakan hasil pemikiran dari
manusia. Pancasila berdiri atas postulat ontoligis bahwa Tuhan itu ada, manusia
itu ada dan benda pun ada. Sila kesatu Pancasila mewajibkan orang untuk
memandang Tuhan sebagai yang teragung dan wajib dimuliakan. Sila kedua
Pancasila mewajibkan manusia untuk bersikap kepada sesama (interkasi sesama)
dengan memandang bahwa kedudukan manusia dalam kehidupan itu memiliki
hak yang sama untuk itu manusi berkewajiban menjungjung tinggi nila keadilan.
Sila ketiga merupakan misi suatu negara dalam mencapai kemajuan sehingga
peran manusia sangatlah penting, sehingga terwujudnya suatu negara yang
sejahteraan dengan mempersatukan budaya-budaya dan keanekaragaman manusia
pada suatu negara yaitu indonesia. Sila keempat pancasila mampu mempercayai
kepemimpinan pada manusia lainnya yang dipilih melalui musyawarah dan
mufakat. Sila kelima pancasila mewajibkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
manusia dalam negara indonesia.

12
B. IMPLIKASI PANDANGAN ANTROPOLOGI FILSAFI TERHADAP
PERANAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM MENCAPAI
TUJUAN PENDIDIKAN

1. Filsafat Idealisme
Dalam filsafat idealisme pendidikan formal dan informal bertujuan untuk
membentuk karakter, dan mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta
kebaikan sosial para peserta didik (Power, 1982).
Seorang pendidik yang menganut paham idealisme harus mampu
membimbing dan mengembangkan peserta didik dalam mewujudkan watak
terbaik peserta didik dan menciptakan lingkungan pendidikan yang optimal.
Dalam aliran ini, peserta didik merupakan subjek utama tujuan pendidikan,
sehingga mereka diberikan kebebasan untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan dasar serta bakatnya (Sadulloh, 2009). Dalam hal ini diharapkan para
peserta didik dapat mengambil manfaat dan kesempatan yang diberikan dengan
semaksimal mungkin demi tercapainya tujuan pendidikan.
Power dalam Sadulloh (2009) mengemukakan bahwa implikasi filsafat
pendidikan idealisme yaitu sebagai berikut:
a. Tujuan pendidikan
Pendidikan formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan
mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.
b. Kedudukan siswa
Siswa bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan
dasarnya/bakatnya.
c. Peranan guru
Guru bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan manusia,
terutama bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan
siswa.
d. Kurikulum
Pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan rasional dan pendidikan
praktis untuk memperoleh pekerjaan.

13
e. Metode
Diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat
dimanfaatkan.

2. Filsafat Realisme
Tujuan pendidikan adalah mengarahkan peserta didik untuk mencapai
penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial. Sehingga pendidikan diharapkan
bukan hanya berfokus pada ilmu pengetahuan tetapi juga sejalan dengan
kemampuan peserta didik dalam hal sosial dan bermasyarakat (Sadulloh, 2009).
Pendidik haruslah menguasai pengetahuan, keterampilan, dan teknik
mengajar yang baik yang dapat menstimulasi peserta didik untuk memperoleh
prestasi dan hasil yang baik. Inisiatif pendidikan terletak pada pendidik, begitupun
dengan materi yang diberikan akan sangat bergantung pada keputusan pendidik
Dalam hal pengajaran, peserta didik memerlukan kedisiplinan dalam
mengikuti instruksi yang diberikan pendidik. Dengan sikap disiplin yang
dilakukan, proses pendidikan diharapkan akan dapat berjalan dengan lancar dan
kondusif.
Power dalam Sadulloh (2009) mengemukakan implikasi pendidikan
realisme yaitu sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan
Pengesuaian hidupdan tanggung jawab sosial
b. Kedudukan Siswa
Dalam hal pelajaran, siswa dapat menguasai pengetahuan yang handal dan
dapat di percaya. Dalam hal kedisiplinan, peraturan yangbaik adalah esensial
untuk belajar. Yang duibutuhkan adalah disiplin mental dan moral agar siswa
memperoleh hasil yang baik.
c. Peranan Guru
Guru hendaknya menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan
dengan keras menuntut prestasi dari siswa.
d. Kurikulum

14
Kurikulum komprehensif mencakup semua pengetahuan yang bermanfaat
yang berisikan pengetahuan liberal dan pengetahuan praktis.
e. Metode
Belajar tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak langsung.
Metode yang disampaikan harus logis dan psikologis. Metode conditioning
(SR) merupakan metode utama bagi realisme sebagai pengikut behaviorisme.

3. Filsafat Pragmatisme
Tujuan pendidikan dalam filsafat ini adalah memberikan pengalaman kepada
peserta didik untuk dapat menemukan hal-hal baru dalam kehidupan sosial dan
pribadi. Sehingga sebaiknya sekolah dapat memberikan pengalaman yang bukan
hanya berguna di sekolah tetapi juga bisa diterapkan di luar sekolah.
Pendidik berperan mengawasi dan membimbing pengalaman belajar peserta
didik, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya. Pendidik merupakan
fasilitator, memberi kemudahan dan dorongan kepada peserta didik untuk bekerja
bersama, berpikir dan dapa menarik kesimpulan sendiri.
Peserta didik merupakan kelompok yang merasakan kemudahan dalam
mengembangkan diri, untuk aktif dan kreatif dalam system pendidikan
pragmatisme. Sehingga peserta didik diakui mempunyai kemampuan pribadi yang
luar biasa dan kompleks yang terus tumbuh dengan adanya pendidikan (Power,
1982). Adapun implikasi filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pendidikannya
yaitu sebegai berikut:
a. Tujuan pendidikan
Memberi pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan
pribadi.
b. Kedudukan pendidikan
Suatu organisme yang memilik kemampuan yang luar biasa dan kompleks
untuk tumbuh.
c. Kurikulum
Berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Minat dan kebutuhan siswa
yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Menghilangkan

15
perbedaan antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis ataun
pendidikan jabatan.
d. Metode
Metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja)
e. Peran guru
Mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu
minat dan kebutuhannya.

4. Filsafat Eksistensialisme
Tujuan pendidikan dalam filsafat ini adalah untuk memberikan bekal dan
pengalaman yang luas dan komprehensif kepada peserta didik dalam semua aspek
kehidupan. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian spesifik sehingga
sekolah diharapkan mampu menentukan metode pendidikan yang dapat berlaku
secara umum (Sadulloh, 2009)..
Peran pendidik di sini adalah memberikan kebebasan akademik kepada
peserta didik untuk menentukan arah tujuan hidupnya dengan tetap memberikan
bimbingan kepada peserta didik dalam menjalankan pilihan. Sebagai contoh, di
Sekolah Menengah Atas, pendidik membebaskan peserta didik untuk memilih
peminatan yang inginkan berdasarkan minat dan bakatnya, yaitu di bidang sosial,
ilmu alam, bahasa, dan lain-lain. Contoh lainnya, pada tingkat perguruan tinggi,
mahasiswa bebas untuk memilih jenis penelitian dan topik apa yang akan
dilakukan dalam penyelesaian tugas. Dalam situasi ini, di samping memberikan
kebebasan, pendidik juga memberikan bimbingan dan arahan kepada peserta
didiknya dalam menjalankan pilihan yang telah diambilnya.
Peserta didik bertanggung jawab secara penuh atas pilihan yang telah
diambilnya dengan menjalani secara sungguh-sungguh. Kebebasan ini diharapkan
mampu membangun sikap positif bagi perkembangan keperibadian peserta didik.
Power (Sadulloh, 2003) mengemukakan beberapa implikasi filsafat
pendidikan eksistensialisme sebagai berikut:
a. Tujuan pendidikan

16
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk
kehidupan.
b. Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya.
Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
c. Kurikulum
Yang diutamakan dalam kurikulum adalah kurikulum liberal. Kurikulum
liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia yaitu kebebasan
memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah diajarkan pendidikan
sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk
semua.
d. Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, dimana mungkin saat ini
menjadi guru, tapi lusa mungkin menjadi murid.
e. Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun
yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan
karakter yang baik.

5. Filsafat Pancasila
Tujuan pendidikan yang dijabarkan Pancasila dan UUD 1945 dirumuskan
lebih lanjut dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun
2003 pada Bab II Pasal 2, yakni:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

17
Dengan demikian, hakikat pendidikan berdasarkan filsafat pancasila adalah
proses pengembangan potensi dalam diri manusia yang bertujuan untuk
meningkatkan derajat manusia ke arah yang lebih tinggi.
Peranan pendidik di sini tidak hanya menjadi seorang pendidik yang
mengajarkan tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan, namun juga menjadi
contoh dan teladan pribadi yang baik budi dan tingkah lakunya, sehingga patut
dicontoh oleh peserta didik. Selain itu pendidik juga harus mampu bersikap adil
dan memahami bahwa setiap peserta didik itu berbeda yang memliki kelebihan
dan kelemahan masing-masing, mampu menciptakan suasana belajar yang dapat
meningkatkan motivasi dan semangat belajar, dan hendaknya bisa menempatkan
diri sebagai mitra belajar yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada peserta didik untuk belajar dan mengembangkan hasil studinya sendiri.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam filsafat pancasila, maka
peranan peserta didik adalah sebagai seorang pembelajar yang mampu
mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan yang ia jalani, dan
mampu menempatkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat melalui program
pendidikan di sekolahnya.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terdapat lima pandangan antropologi filsafi yang dihabas dalam makalah ini,
yaitu realisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, dan pancasila. Setiap
pandangan memiliki kekhasan yang berbeda-beda mengenai hakikat manusia dan
pendidikan.
Dalam aspek pendidikan sendiri, setiap pandangan berimplikasi pada tujuan
pendidikan yang ingin dicapai melalui proses pembelajaran serta peran pendidik
dan peserta didik yang berbeda-beda pada setiap pandangannya.

B. Saran
Antropologi filsafat mempunyai implikasi terhadap hakikat manusia dalam
dunia pendidikan. Oleh karena itu, kajian mengenai antropologi filsafat khususnya
dalam bidang pendidikan perlu dikaji dan dikembangkankan lebih lanjut guna
mengambil manfaat yang terkandung di dalamnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin & Abdulloh. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Kuswana, Wowo Sunaryo. (2013). Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi, dan


Kejuruan. Bandung: Alfabeta.

Power, Edward J. (1982). Philosophy of Education. New Jersey: Printice-Hall Inc.


Englewood Cliffs.

Sadulloh, Uyoh. (2009). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Wreksosuhardjo, Sunarjo. (2013). Berfilsafat Menuju Ilmu Filsafat Pancasila.


Surakarta: CV. Andi.

Zamroni, Mohammad. (2009). Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

20

Anda mungkin juga menyukai