Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KONSEP ONTOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Filsafat Pendidikan Islam”

Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Dzaky, S.Pd. I, M. Pd

Disusun Oleh : Kelompok 3


Ahmad Nor Syifa : (19.04.06659)
Lukman Hakim : (19.04.06677)
M. Khairan Ali : (19.04.06681)
Qaribkhaliq Maulana : (19.04.06708)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


RASYIDIYAH KHALIDIYAH AMUNTAI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Ontologi
Pendidikan Islam” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dari Bapak Dr. Ahmad Dzaky,
S.Pd. I, M. Pd. Selaku dosen mata kuliah “Filsafat Pendidikan Islam”
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya.

Amuntai, 15 September 2020

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

C. Tujuan ............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

A. Pengertian Ontologi........................................................................................ 3

B. Hubungan Ontologi dengan Filsafat Pendidikan ............................................ 4

C. Ontologi Filsafat Pendidikan Menurut Beberapa Aliran ................................ 6

1. Pandangan Ontologi Progressivisme ................................................... 6

2. Pandangan Ontologi Essensialisme ...................................................... 8

3. Pandangan Ontologi Perennialisme .................................................... 10

4. Pandangan Ontologi Rekontruksionisme............................................ 12

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 15

A. Kesimpulan .................................................................................................. 15

B. Saran ............................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila seorang filosof mulai melakukan pekerjaanya maka ia akan mulai
dengan mengemukakan berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itulah sebagai
bahan mentah dari seorang filosof. Filsafat lebih banyak mengandung isi studi
tentang pertanyaan, daripada tentang jawaban. Dimensi umum dari pertanyaan-
pertanyaan filsafat meliputi: pendidikan, pribadi manusia, kemasyarakatan,
masalah kosmos dan lain-lain. Tetapi yang paling diutamakan oleh seorang ahli
filsafat adalah bertanya yang benar tentang kebenaran, yakni kebenaran yang sesuai
dan dapat dimengerti.
Pendidikan pada dasarnya adalah media dalam mendidik dan
mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan yang primordial. Pendidikan
sejatinya adalah gerbang untuk mengantar umat manusia menuju peradaban yang
lebih tinggi dan humanis dengan berlandaskan pada keselarasan hubungan manusia,
lingkungan, dan sang pencipta. Pendidikan adalah sebuah ranah yang di dalamnya
melibatkan dialektika interpersonal dalam mengisi ruang-ruang kehidupan; sebuah
ranah yang menjadi pelita bagi perjalanan umat manusia, masa lalu, masa kini, dan
masa akan datang. Pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan
karena memenuhi persyaratan sebagai ilmu pengetahuan, baik menyangkut objek,
metode maupun tujuan. Dalam terminologi filsafat, ketiga persyaratan itu disebut
ontologi, epistimologi dan aksiologi. Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya
terbatas pada yang lahiriah dalam bentuk alam nyata, melainkan menyangkut
realitas yang gaib. Realitas yang lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang
tunggal, yaitu Tuhan. Dalam pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek
pendidikan Islam itu tidak hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia),
melainkan menyangkut Tuhan. Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusia
dalam keterkaitan dengan filsafat pendidikan Islam tidak terlepas dengan kajian
teologi, kosmologi dan antropologi.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ontologi?
2. Bagaimana hubungan Ontologi dengan filsafat Pendidikan?
3. Bagaimana Ontologi filsafat pendidikan menurut beberapa aliran?

C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian Ontologi
2. Untuk memahami bagaimana hubungan Ontologi dengan filsafat
Pendidikan
3. Untuk memahami bagaimana Ontologi filsafat pendidikan menurut
beberapa aliran

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ontologi
Istilah ontology berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu
onto berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.1
Namun pada dasarnya term ontology pertama kali diperkenalkan oleh
Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang
ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Cristian Wolff membagi
metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika
umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontology.2
Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada yang
mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya
ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah
teori tentang keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah kerealan, real artinya
kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya,
keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu,
bukan keadaan yang berubah.3
Ontology menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental
dan cara yang berbeda dimana entitas (wujud) dari kategori- kategori yang logis
yang berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada
dalam rangka tradisional. ontology dianggap sebagai teori mengenai prinsip-
prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini
ontology dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Ontology sering diidentikkan dengan metafisika yang juga disebut proto-
filsafia atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasanya adalah
hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab akibat, realita, atau Tuhan dengan
segala sifatnya.4

1
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, hlm.118-119.
2
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara: 2001, hlm. 91.
3
Ahmad Tafsir,Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 28.
4
Jalaluddin Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, hlm. 104-

3
.Para ahli memberikan pendapatnya tentang realita itu sendiri, diantaranya
Bramel. Ia mengatakan bahwa ontology ialah interpretasi tentang suatu realita
dapat bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang
berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya, tetapi jika ditanyakan bahannya
pastilah meja itu substansi dengan kualitas materi, inilah yang dimaksud dari setiap
orang bahwa suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan jika
berada di dua dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca indra kita
nampaknya cukup nyata atau real.
Adapun mengenai objek kajian ontology ialah yang ada, yaitu ada individu,
ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk
kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang
ada. Objek formal ontology adalah hakikat seluruh realitas, bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya menjadi telaah
monism, paralerisme atau plurarilisme.5
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ontology adalah
cabang filsafat yang membicarakan hakikat atau prinsip paling dasar dari segala
sesuatu yang ada.

B. Hubungan Ontologi dengan Filsafat Pendidikan


Telah kita ketahui bersama bahwasanya ontology ialah suatu kajian
keilmuan yang berpusat pada pembahasan tentang hakikat. Ketika ontology
dikaitkan dengan filsafat pendidikan, maka akan muncullah suatu hubungan
mengenai ontology filsafat pendidikan.
Ontologi merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan.
Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang
ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti ilmu. Dasar ontologi
pendidikan adalah objek materi pendidikan ialah sisi yang mengatur seluruh
kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan menempati

105
5
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara: 2001, hlm. 92.

4
posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana disitulah terletak undang-
undang dasarnya dunia ilmu.
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Disini bermakna
bahwa adanya pendidikan bermaksud untuk mencapai tujuan, maka dengan ini
tujuan menjadi hal penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa pendidikan dapat membawa anak menuju kepada kedewasaan,
dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani. Dengan mengetahui makna
pendidikan maka makna Ontologi dalam pendidikan itu sendiri merupakan analisis
tentang objek materi dari ilmu pengetahuan. Berisi mengenai hal-hal yang
bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan
objek apa yang diteliti ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi
pendidikan dimana sisi yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi
hubungan ontologi dengan pendidikan menempati posisi landasan yang terdasar
dari fondasi ilmu dimana disitulah terletak undang-undang dasarnya dunia ilmu.
Pendidikan ditinjau dari sisi ontology berarti persoalan tentang hakikat
keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada
dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Tanpa pendidikan,
manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam
kehidupan, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuh kembangkan
segala potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia. Oleh sebab itu, dapat
dipahami bahwa ontology pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya
dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa manusia,
pendidikan tak pernah ada.
Ontologi pendidikan Islam adalah menyelami hakikat dari pendidikan
Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang
melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam,
hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia sebagai subjek pendidikan yang
ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan
Islam.6

6
Muh. Mustakim, " Ontologi Pendidikan Islam (Hakikat Pendidikan dalam Perspektif Islam”.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012, hlm. 164.

5
C. Ontologi Filsafat Pendidikan Menurut Beberapa Aliran
1. Pandangan Ontologi Progressivisme
Dari segi istilah, pada dasarnya kata progress merupakan kata baru
yang baru bisa dipahami serta dimengerti maksud dan arti sebenarnya sekitar abad
ke-19. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa maksud dari kata tersebut sekarang
ini telah dipergunakan dan dikenal di dalam segala pengalaman hidup yang
mengandung ide perbaikan dalam segala aspek kehidupan, seperti bidang politik,
kemasyarakatan, hubungan kemanusiaan, ekonomi, kehidupan keluarga,
perawatan anak, dan termasuk juga bidang kehidupan beragama.7
Aliran filsafat progresivisme ini senantiasa berusaha mengembangkan asas
kemajuan dalam semua realita, terutama dalam kehidupan untuk tetap survive
terhadap semua tantangan hidup manusia. Kemudian, bagi yang menganut aliran
ini dalam bertindak harus praktis, dalam melihat segala sesuatu harus mampu
menemukan manfaat dari segi keunggulannya.
Aliran progresivisme ini pernah berjaya di Amerika. Dalam
pendidikan, progresivisme merupakan bagian dari gerakan reformis umum
bidang sosial- politik yang menandai kehidupan orang Amerika.
Progresivisme merupakan teori yang muncul dalam reaksi terhadap
pendidikan tradisional yang selalu menekankan kepada metode formal
pengajaran. Pada dasarnya teori ini menekankan beberapa prinsip, antara lain ;
1) Proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik;
2) Peserta didik adalah sesuatu yang aktif, bukan pasif;
3) Peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah;
4) Sekolah harus menciptakan iklim yang bersifat kooperatif dan demokratif;
5) Aktifitas pembelajaran lebih focus pada pemecahan masalah bukan untuk
mengajarkan materi kajian.
Menurut pandangan progresivisme, proses pendidikan memiliki dua bidang
garapan, yaitu psikologis dan sosiologis. Dilihat dari segi psikologis, pendidik harus

7
H. A. Yunus, “Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme Dan Esensialisme Dalam Perspektif
Filsafat Pendidikan”. Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 2, NO. 1 Januari 2016, hlm. 30.

6
dapat mengetahui potensi dan daya yang ada pada peserta didik untuk
dikembangkan. Dengan mengenal hal tersebut, pendidik dapat memilih cara
yang tepat dan landasan apa yang akan digunakan. Jika memperhatikan peran
pandangan progresivisme di beberapa negara maju, psikologi yang banyak
digunakan adalah aliran behaviorisme dan pragmatisme. Hal ini sejalan dengan
teori bahwa aliran progresivisme disebut juga instrumentalisme, eksperimental,
atau environmentalisme yang erat kaitannya dengan alat, pengalaman, lingkungan,
serta kemajuan dan manfaat dari suatu aktivitas yang dilakukan, termasuk aktivitas
pendidikan.
Dilihat dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana potensi dan
daya itu harus dibimbing agar potensi yang dimiliki peserta didik dapat dirubah
menjadi sesuatu yang berguna bagi anak tersebut.
Dalam prakteknya, progresivisme merupakan aliran pendidikan yang
berpusat pada siswa. Secara lebih spesifik, proses pembelajaran penekanan lebih
besar diarahkan pada kreativitas, aktivitas, belajar naturalistik, hasil belajar dunia
nyata (empiris), dan pengalaman teman sebaya. Menurut Dewey, dalam konteks
sekolah progresivisme lebih menekankan pada peserta didik dan minatnya
dibanding pada mata pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, muncul istilah child
centered curriculum dan child centered school. Progresivisme mempersiapkan
peserta didik masa kini dibanding masa depan yang belum jelas. Hal ini
diungkapkan juga oleh Dewey, bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan
bukan persiapan masa yang akan datang. Implikasinya, pandangan Dewey tentang
pendidikan yang berlandaskan aliran progresivisme menyatakan bahwa aktifitas
peserta didik perbanyak terlebih dahulu dalam berpartisipasi pada kegiatan fisik,
baru kemudian diarahkan pada peminatan8
Peserta didik adalah makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan
makhluk-makhluk lain karena peserta didik memiliki potensi kecerdasan. Oleh
karena itu, setiap peserta didik mempunyai potensi atau kemampuan sebagai bekal
untuk menghadapi kehidupan dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang

8
Barnabid, Imam.. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1997,
hlm. 20-21.

7
mungkin merintanginya. Berkenaan dengan hal ini, tugas guru atau pendidik adalah
meningkatkan kecerdasan potensial yang telah dimiliki sejak lahir menjadi
kecerdasan realitas dalam lapangan pendidikan untuk dapat merespon segala
perubahan yang terjadi di lingkungan di mana ia hidup dan beraktifitas. Pandangan
progresivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan peserta didik sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk lain.

2. Pandangan Ontologi Essensialisme


Esensialisme muncul pada zaman renaissance dengan ciri-ciri utama yang
berbeda dengan progresivisme. Perbedaan yang utama antara filsafat esensialisme
dan progresivisme adalah dasar pijakan pendidikan yang sangat fleksibel dan
terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai
universal yang telah teruji.
Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap
simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang
sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi
tuntutan zaman.
Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930 dengan beberapa
orang pelopornya seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan
Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut
dengan “the essensialist commite for the advancement of Amercan Education”
sementara Bagley sebagai pelopor esensialsme adalah seorang guru besar pada
“Teacher College” Colombia University. Bagley yakin bahwa fungsi utama
sekolah adalah mentransmiskan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda
George F. Kneller.9
Secara khusus, esensialisme adalah bentuk pendidikan vokasional yang
membatas materi pelajaran yang mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk dapat
hidup yang produktif. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan perdebatan

9
George F. Kneller, Introduction to The Philosophy of Education, Universitas of
California : Los Angeles, 1971, hlm 57.

8
serta bebas dari bias politik dan agama. Secara umum esensialisme adalah model
pendidikan transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam
masyarakat masa kini.
Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan
menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah. Tujuan utama dari
program-program teresebut di antaranya :10
1) Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk
berkomunikasi dengan logis.
2) Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak secara aktif tentang
nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepada pihak yang
berwenang atau orang yang memiliki otoritas.
3) Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang bersifat praktis dan
memberi anak-anak pengajaran yang mempersipkannya untuk hidup.
Berdasarkan konsep dasar tersebut, maka di antara tujuan pendidikan
esensialisme adalah :
1) Untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui
pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurum waktu
yang lama serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh
waktu dan dikenal oleh semua orang. Pengetahuan yang dimaksud adalah
skill, sikap dan nilai-nilai yang mamadai.
2) Untuk mempersiapkan manusia untuk hidup. Persiapan yang dimaksud
adalah bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa
sehingga hasilnya mampu mempersiapkan anak didik untuk menghadapi
hidup di masa yang akan datang. Dalam mempersipkan subjek didik
tersebut, tanpaknya sekolah hanya bertugas bagaimana merancang sasaran
tujuan pembelajaran, pelaksanaanya diperlukan adanya kerja sama dengan
unsure-unsur luar sekolah. Oleh karena itu, Kaum esensialis menolak
pandangan konstruktivisme yang berpandangan bahwa sekolah harus
menjadi lembaga yang aktif untuk melakukan perubahan social, apalagi

10
Ahmad Hidayat, “Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Esensialisme”. Jurnal Komunikasi
Pendidikan Islam, Vol.4 No.3 September 2008, hlm. 53.

9
harus bertanggungjawab terhadap seluruh pendidikan generasi muda.
Sadulloh.11
Bagi kaum esensialis guru seharusnya aktif, bertanggungjawab, pengatur
ruangan, penyalur pengetahuan yang baik, penentu materi, metode, evalusi dan
bertanggungjawab terhadap seluruh wilayah pembelajaran Guru dianggap sebagai
seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus dan merupakan model contoh
yang sangat baik untuk ditiru dan digugu. Diane Lapp et all. Memperhatikan
pandangan esensialisme di atas tentang peran guru, maka guru seharusnya terdidik.
Secara moral, ia merupakan orang yang dapat dipercaya. Secara teknis, ia harus
memiliki kemahiran dalam mengarahkan proses mengajar
Sementara peranan sekolah adalah memelihara dan menyampaikan warisan
budaya dan sejarah pada generasi pelajar dewasa ini melalui hikmat dan
pengalaman yang terakumulasi dan disiplin tradisional. Di sekolah tiap siswa
belajar pengetahuan, skill, dan sikap serta nilai yang diperlukan untuk menjadi
manusia sebagai anggota masyarakat. Belajar efektif di sekolah adalah proses
belajar yang keras dalam menanamkan fakta-fakta dengan penggunaan waktu
secara relative singkat, tidak ada tempat bagi pelajaran pilihan. Kurikulum dan
lingkungan kelas disusun oleh guru. Waktu, tenaga dan dana semuanya ditujukan
untuk belajar esensial Ellis et all.
Esensialisme malihat kedudukan siswa dalam pembelajaran adalah pasif,
tunduk, lemah secara kognitif, penerima informasi Diane Lapp et all (1975 : 39).
Oleh karena itu, sekolah bertanggungjawab atas pemberian pengajaran yang
logis atau dapat dipercaya. Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa.
Siswa pergi ke sekolah untuk belajar bukan untuk mengatur pelajaran.

3. Pandangan Ontologi Perennialisme


Istilah Parennialisme berasal dari bahasa latin, yakni dari akar kata perenis
atau perennial yang berarti tumbuh terus menerus melalui waktu, hidup terus
dari waktu kewaktu atau abadi. Pengertian ini apabila dianalogikan dengan bunga

11
Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta : Bandung, 2007, hlm. 161

10
yang terus menerus mekar dari musim ke musim. Hal ini menunjukkan adanya
gejala yang terus ada dan sama. Apabila gejala dari musim kemusim ini
dihubungkan satu dengan yang lain seolah-olah merupakan benang dengan corak
warna khas, yakni terus menerus sama. Maka pandangan ini selalu mempercayai
mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini.
Atas dasar itu, perenialis memandang pola perkembangan kebudayaan sepanjang
zaman adalah pengulangan dari apa yang ada sebelumnya sehingga
perenialisme sering disebut dengan istilah tradisionalime.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan
progresif dan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut krisis kebudayaan
dalam kehidupan manusia modern. Perenialisme menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang
ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur, dengan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam bidang pendidikan, perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-
tokohnya seperti Plato, Aritoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia
secara kodrat memiliki tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorentasi pada potensi itu kepada masyarakat agar kebutuhan yang
ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.
Dengan demikian, jelasnya bahwa perenialisme itu menghendaki agar
pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu,
kemauan, dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan
memerhatikan hal ini, pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat
akan dapat terpenuhi. Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles
dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan
pendidikan adalah kebahagian.
Untuk mencapai pendidikan itu, aspek jasmani, emosi, dan intelek harus
dikembangkan secara seimbang. Zuhairini Arikonto di sini berpendapat dalam
bukunya Filsafat Pendidikan Islam, betapa tujuan pendidikan yang dikehendaki
oleh Thomas Aquinas tidak lain dimakudkan sebagai usaha mewujudkan kapasitas

11
yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif, dan nyata. Dalam hal in
peranan guru pada anak didik adalah untuk mengembangkan potensi-potensi
dipandang dan menetukan. Simpifikasi yang lain diberikan Robert Hutckins
dengan mengatakan bahwa sebab manusia adalah animal rasionale, pendidikan
harus diarahkan guna mengembangkan akal budi agar manusia dapat hidup penuh
kebijaksanaan demi kebaikan hidup. Oleh karenanya, tujuan pendidikan di
sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mepertinggi kempuan
anak untuk memiliki akal sehat.
Disini dapat disimpulkan Pengembangan akal diharapkan mampu
membekali anak didik dalam mempertinggi kemampuan akal pikirannya. Prisip
ini sangat berpengaruh bagi sitem pendidikan modern, ketika kecerdasan nalar
kerap menjadi hal yang begitu mendapat perhatian lebih. bahwa tujuan pendidikan
yang hendak dicapai oleh perenialis bermaksud mewujudkan agar anak didik hidup
bahagia demi kebaikan hidupnya.

4. Pandangan Ontologi Rekontruksionisme


Dalam filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme merupakan suatu
aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada
prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis
kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam, kedua aliran tersebut
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai
kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Meskipun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran ini tidaklah sama
dengan prinsip yang dipegang oleh aliran filsafat perenialisme. Keduanya
mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh
untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran
perenialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan
lama (regressive road culture) yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu
aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu
consensus yang paling luas mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan

12
umat manusia. Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan
dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya
intelektual spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat dan membina
kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang
dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan
umat manusia. Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu
bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara
demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita yang
sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan,
sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran
serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan,
nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.12
Para ahli Rekontruksionisme menganggap bahwa setiap peserta didik
mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. Penekanan
sangat diberikan kepada peserta didik dengan memberikan peluang untuk
membentuk kemahiran dan pengetahuan di mana mereka menghubungkan dan
mengkaitkan pengalaman masa lalu mereka dengan kegunaan masa depan. Peserta
didik bukan hanya diberikan dengan fakta-fakta saja, sebaliknya
Rekontruktsionisme memberikan penekanan kepada proses berfikir dan
kemantapan berkomunikasi. Di sini peserta didik, diajak untuk memahami dan
menjelaskan bagaimana makna belajar bagi mereka sendiri.
Melalui penggunaan paradigma rekonstruksionisme, guru perlu
mengubah peranannya dalam bidang sains. Guru mungkin akan berperan sebagai
pelajar atau penyelidik. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana
murid membina konsep atau pengetahuan. Justru itu guru akan memperolehi
pemahaman untuk membina dan mengubah kecerdasan serta berkomunikasi
dengan orang lain. Guru akan memahami bahwa proses pembinaan dan
pengubahan suatu konsep merupakan satu proses berkelanjutan dalam
kehidupan.

12
Ali Mubin, “Pengaruh Filsafat Rekonstruksionisme Terhadap Rumusan Konsep Pendidikan Serta
Tinjauan Islam Terhadapnya”, Jurnal Rausyan Fikr. Vol. 14 No. 1 Maret 2018, hlm. 70.

13
Dalam paradigma rekonstruksionisme, murid menganggap peranan guru
sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu
segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh
disesuaikan dan boleh dirubah. Mereka juga sadar bahwa mereka
bertanggungjawab terhadap diri sendiri dalam menggunakan berbagai cara untuk
memproses sesuatu dan menyelesaikan sebuah masalah. Dengan kata lain, guru
berperan sebagai seorang fasilitator dan pembimbing. Hubungan guru dengan
peserta didik diandaikan seperti relasi antara bidan dengan ibu yang melahirkan
anak. Guru bertanggung jawab membimbing dan membantu murid mempelajari
sesuatu pelajaran dengan bermakna. Guru tidak boleh belajar untuk peserta didik.
Peserta didik yang mengembangkan pemahamannya sendiri.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah ontology berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu
onto berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan. ontology adalah
cabang filsafat yang membicarakan hakikat atau prinsip paling dasar dari segala
sesuatu yang ada.
Hubungan ontologi dengan filsafat pendidikan berarti persoalan tentang
hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu
berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Tanpa
pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di
dalam kehidupan, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuh
kembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
Progresivisme merupakan aliran pendidikan yang berpusat pada siswa.
Secara lebih spesifik, proses pembelajaran penekanan lebih besar diarahkan pada
kreativitas, aktivitas, belajar naturalistik, hasil belajar dunia nyata (empiris), dan
pengalaman teman sebaya.
Esensialisme adalah bentuk pendidikan vokasional yang membatas materi
pelajaran yang mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk dapat hidup yang
produktif. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan perdebatan serta
bebas dari bias politik dan agama.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan
progresif dan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut krisis kebudayaan
dalam kehidupan manusia modern.
Dalam paradigma rekonstruksionisme, murid menganggap peranan guru
sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu
segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh
disesuaikan dan boleh dirubah. Mereka juga sadar bahwa mereka
bertanggungjawab terhadap diri sendiri dalam menggunakan berbagai cara untuk
memproses sesuatu dan menyelesaikan sebuah masalah.

15
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila dalam makalah ini terdapat
kesalahan dalam penulisan ataupun yang lainya, kami mohon maaf. Untuk itu kami
mengharap kritik dan saran guna melengkapi makalah ini. Karena sifat sempurna
hanya milik Allah semata, dan kami hanyalah manusia biasa yang hakikatnya punya
salah dan kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.

16
DAFTAR PUSTAKA

A. Yunus, H, “Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme Dan Esensialisme Dalam


Perspektif Filsafat Pendidikan”. Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 2, NO. 1
Januari 2016.
Abdullah Idi, Jalaluddin, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997),
Ahmad, Tafsir,Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
F. Kneller, George, Introduction to The Philosophy of Education, Universitas of
California : Los Angeles, 1971.
Hidayat, Ahmad, “Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Esensialisme”. Jurnal
Komunikasi Pendidikan Islam, Vol.4 No.3 September 2008, hlm. 53.
Imam, Barnabid, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi
Offset, 1997.
Mubin, Ali, Pengaruh Filsafat Rekonstruksionisme Terhadap Rumusan Konsep
Pendidikan Serta Tinjauan Islam Terhadapnya, Jurnal Rausyan Fikr. Vol.
14 No. 1 Maret 2018.
Mustakim, Muh, Ontologi Pendidikan Islam (Hakikat Pendidikan dalam
Perspektif Islam. Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli
2012.
Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta : Bandung, 2007, hlm. 161.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Susanto, A, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara: 2001.

17

Anda mungkin juga menyukai