Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan dunia pendidikan, konsep pendidikan
sejatinya adalah pemahaman tentang proses belajar dan pengalaman mengajar
kepada seseorang. Berdasarkan pemahaman ini, pembelajaran merupakan proses
transfer keilmuan dari satu orang ke orang lain. Menurut Kemendiknas (2010),
“Pendidikan pada dasarnya adalah upaya meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia adar dapat menjadi manusia yang memeliki karakter dan dapat
hidup mandiri”. Hakikat pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana untuk
mewujudkan proses belajar mengajar yang sesuai agar peserta didik mampu
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan yang dibuhtuhkan
oleh dirinya sendiri, masyarakat, agama, nusa dan bangsa. Konsep ini tertuang
dalam UU Nomor 20 tahun 2003. Pendidikan bertujuan agar peserta didik mampu
mencapai seperangkat hasil yang sudah terkonsep dalam seluruh komponen sistem
pendidikan. Beberapa tujuan pendidikan dalam komponen sistem pendidikan,
antara lain tujuan institusional, tujuan kurikulum, tujuan pembelajaran (Suardi,
2012).
Konsep pembelajaran dalam dunia pendidikan ada beberapa macam,
antara lain pedagogi, andragogi, haetagogi, dan didaktika. Konsep pedagogi
diistilahkan “The Art and Science of Teaching Children” yang artinya ilmu dan
seni mengajar anak. Seni mengajar ini memiliki 5 ciri utama, yaitu lebih banyak
melibatkan emosi daripada rasionalisasi ilmiah, interaksi pendidik-peserta didik
lebih diutamakan, penampilan bersifat individual, tidak dapat dilakukan
pendekatan teknologi, dan konsep berpikir ilmiah dikembangkan melalui dialog
(Danim, 2013). Konsep pembelajaran andragogi berasal dari bahasa Yunani dari
kata aner artinya orang dewasa, dan agogos artinya memimpin. Maka secara
harfiah andragogi berarti seni dalam mengajar orang dewasa (Sunhaji, 2013).
Konsep haetagogi menurut Hase dan Kenyon dalam Hiryanto (2017)
berarti pendekatan holistik untuk mengembagkan peserta didik dengan peserta
didik aktif-proaktif dan peserta didik sebagai sebagai agen pembelajaran mereka
sendiri. Selain itu didaktika merupakan suatu ilmu tentang mengajar. Didaktika
merupakan suatu ilmu yang berdiri dan memiliki disiplin sendiri (Hamalik, 2001).
Maka makalah ini disusun bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan dan
pembelajaran (pedagogis, andragogis, haetagogi, dan didaktika).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep tentang hakikat pendidikan?
2. Bagaimana hakikat pendidikan dan pembelajaran pedagogis, andragogis,
heutagogis, dan didaktika?
3. Bagaimana azas-azas pendidikan dan pembelajaran?

C. Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini sebagai berikut.
1. Memberikan kajian tentang konsep hakikat pendidikan.
2. Memberikan kajian tentang hakikat pendidikan dan pembelajaran
pedagogis, andragogis, heutagogis, dan didaktika.
3. Memberikan kajian tentang azas-azas pendidikan dan pembelajaran.
4.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Pendidikan
Hakikat pendidikan merupan suatu usaha sadar, untuk mewujudkan suasana
belajar mengajar kondusif yang bertujuan agar peserta didik mampu
mengambangkan potensi dirinya agar memiliki potensi spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhalak mulia, serta keterampilan
yang nantinya akan bermanfaat bagi dirinya sendiri, bagi agama, nusa,dan bangsa
(Munib, 2004). Pendidikan memiliki peran terhadap perkembangan manusia,
antara lain :
1. Pendidikan merupakan proses mengembangkan kemampuan, sikap, dan
bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat, dimana dia
hidup
2. Pendidikan merupakan proses sosial, dimana seseorang dihadapkan pada
pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol untuk mencapai
kompetensi sosial dan pertumbuhan individual secara maksimal
3. Pendidikan merupakan proses pengembangan pribadi atau watak
manusia
Berdasarkan penjelasan diatas, menunjukkan bahwa peserta didik memiliki sifat,
sikap, dan pontesi diri yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan inilah yang
nantinya menjadi tugas para pendidik untuk mengasah dan mengembangkan
potensi yang tersimpan pada peserta didik
Corey dalam Afandi dkk (2013) mengatakan bahwa proses lingkungan
seseorang sengaja dikelola untuk memungkinkan untuk turut serta dalam tingkah
laku tertentu, dalam kondisi khusus merupkan suatu pembelajaran, dimana
pembelajaran merupakan komponen pendidikan. Pembelajaran juga bisa diartikan
yaitu membelajarkan peserta didik menggunakan asas-asas pendidikan maupun
teori belajar yang merupakan penentu keberhasilan suatu pendidikan. Dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 menyatakan
bahwa “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu
direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi. Pelaksanaan pembelajaran
merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup”.

B. Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran Pedagogis, Andragogis,


Heutagogis, dan Didaktika
1. Pedagogis
Pedagogi berasal dari bahasa Yunani paedagogea, dimana terdiri dari pais
genetif, paidos yang artinya anak dan agogo berarti memimpin, sehingga secara
harfiah pedagogi, berarti memimpin anak. Kata pedagogi juga diturunkan dari
bahasa latin yang bermakna mengajari anak, sementara dalam bahasa Inggris
istilah pedagogi (pedagogy) digunakan untuk merujuk kepada teori pengajaran,
dimana guru berusaha memahami bahan ajar, mengenal siswa dan menentukkan
cara mengajarnya (Hiryanto, 2017).
Secara tradisional istilah pedagogi adalah seni mengajar. Sementara dilihat
dari pedagogi modern, dilihat dari hubungan dialektis yang bermanfaat antara
pedagogi sebagai ilmu dan pedagogi sebagai seni. Beberapa definisi yang terkait
pengertian pedagogi sebagai ilmu dan seni menurut Sudarwan Danim (2010)
antara lain:
a. Pengajaran (teaching) yaitu teknik dan metode kerja guru dalam
mentranformasikan konten pengetahuan, merangsang mengawasi dan
menfasilitasi pengembangan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran,
pengertian ini menempatkan guru pada posisi sentral.
b. Belajar (learning) yaitu proses siswa mengembangkan kemandirian dan
inisiatif dalam memperoleh dan meningkatkan pengetahuan serta
ketrampilan
c. Hubungan mengajar dengan belajar dengan segala factor lain yang ikut
mendorong minat pedagogi. Hubungan ini bisa bermakna siswa dibimbing
guru atau kegiatan belajar yang berpusat pada siswa, namun tetap dibawah
bimbingan guru.
d. Hubungan mengajar dan belajar berkaitan dengan semua pengaturan dan
pada segala tahapan usia, sebagaimana dikembangkan di lembaga
pendidikan formal dan nonformal. Sekolah merupakan salah satu bagian
dari total spektum pengaruh pendidikan.
Tilaar dkk (2011) menyatakan bahwa pedagogik tradisional bersifat
membelenggu kebebasan manusia, sehingga diperlukan adanya pedagogik
transformative sebagaimana digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan seperti
Winarno Surakhmat, yang menyatakan pendidikan agama di Indonesia lebih
merupakan suatu pelajaran agama yang perlu dihafal oleh peserta didik dan
bukan untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Mochtar
Buchori dalam bukunya Pendidikan Tranformatif, menyatakan bahwa ilmu
pendidikan di Indonesia telah mati, pendidikan bukan semata-mata sekedar
berfungsi sebagai transisi kebudayaan yang ada tetapi mempunyai fungsi untuk
menilai dan memilah apa saja yang ada dalam kebudayaan yang dapat
dipergunakan untuk menghadapi perubahan sosial dalam era globalisasi,
sementara H.A Tilaar sendiri berpendapat bahwa perlunya pedegogik kritis
dalam rangka merenungkan kembali fungsi pendidikan yang guine dan tidak
sekedar untuk memenuhi kepentingan kelompok dalam masyarakat kita, dengan
demikian dengan pengunaan pedagogik kritis akan dapat mengembangkan rasa
ingin tahu peserta didik, kreatif serta sosial emosialnya dapat berkembang
dengan baik. Dengan demikian pedagogi yang efektif mencoba menggabungkan
alternative strategi pembelajaran yang mendukung keterlibatan intelektual,
memiliki keterhubungan dengan dunia yang lebih luas, lingkungan kelas yang
koduksif dan pengakuan atas perbedaan penerapan pada semua pelajaran.
2. Andragogis
Andragogi merupakan suatu ilmu (science) dan seni (art) dalam membantu
orang dewasa belajar. Dapat juga dikatakan andragogi berasal dari dua kata dalam
bahasa Yunani, yakni andra berarti orang dewasa dan agogos berarti memimpin
(Sudjana, 2005). sehingga andragogi dapat diartikan ilmu tentang cara
membimbing orang dewasa dalam proses belajar. Atau sering diartikan sebagai
seni dan ilmu yang membantu orang dewasa untuk belajar (the art and science of
helping adult learn). Definisi tersebut sejalan dengan pemikiran Knowles dalam
Srinivasan (1977) menyatakan bahwa: andragogy as the art and science to
helping adult a learner. Pada konsep lain andragogi seringkali didefinisikan
sebagai pendidikan orang dewasa atau belajar orang dewasa.
Definisi pendidikan orang dewasa merujuk pada kondisi peserta didik orang
dewasa baik dilihat dari dimensi usia, fidik (biologis), dan psikologosi. Yang
dimaksud dewasa menurut usia, adalah setiap orang yang menginjak usia 21 tahun
(meskipun belum menikah). Sejalan dengan pandangan tersebut diungkapkan pula
oleh Hurlock (1968), adult (dewasa) adulthood (status dalam keadaan
kedewasaan) ditujukan pada usia 21 tahun untuk awal masa dewasa dan sering
dihitung sejak 7 atau 8 tahun setelah seseorang mencapai kematangan seksual,
atau sejak masa pubertas. Pendekatan berdasar usia dilakukan oleh ahli hukum,
sehingga melahirkan perbedaan perlakuan hukum terhadap pelanggar. Dewasa
dilihat dari sudut pandang dimensi biologis juga bisa dilihat dari segi fisik,
dimana manusia dewasa memiliki karakteristik khas seperti: mampu memilih
pasangan hidup, siap berumah tangga, dan melakukan reproduksi (reproduktive
function). Dewasa berdasar dimensi psikologis dapat dilihat dan dibedakan dalam
tiga kategori yaitu: dewasa awal dari usia 16 sampai dengan 20 tahun, dewasa
tengah dari 20 sampai pada 40 tahun, dan dewasa akhir dari 40 hingga 60 tahun.
Batas usia seputar 25 sampai dengan 40 tahun, merupakan usia emas (golden
age).
Menurut Nursalam dan Effendi F (2008) agar dalam memberikan
pengajaran yang optimal maka perlu memahami karakter dari peserta didik
dewasa seperti yang jelaskan di bawah ini:
a. Orang dewasa mempunyai pengalaman yang berbeda-beda.
b. Orang dewasa lebih suka menerima saran dari pada di gurui
c. Orang dewasa lebih suka di hargai dari pada diberi hukuman atau
disalahkan
d. Orang dewasa pernah mengalami putus sekolah mempunyai
kecenderungan untuk menilai lebih rendah belajarnya
e. Orang dewasa suka diperlakukan dengan kesungguhan itikad yang baik,
adil, dan masuk akal
f. Orang dewasa sudah belajar sejak kecil tentang cara mengatur hidupnya.
Oleh karena itu, mereka lebih cenderung tidak mau bergantung pada orang
lain
Fungsi guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, bukan menggurui,
sehingga relasi antara guru dan peserta didik (murid, warga belajar) lebih bersifat
multicomunication. Oleh karena itu andragogi adalah suatu bentuk pembelajaran
yang mampu melahirkan sasaran pembelajaran (lulusan) yang dapat
mengarahkan dirinya sendiri dan mampu menjadi guru bagi dirinya sendiri.
Dengan keunggulan-keunggulan itu andragogi menjadi landasan dalam proses
pembelajaran pendidikan nonformal. Hal ini terjadi karena dalam pendidikan
nonformal, formula pembelajarannya diarahkan pada kondisi sasaran yang
menekankan pada peningkatan kehidupan, pemberian keterampilan dan
kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dialami terutama dalam
hidup dan kehidupan sasaran di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Hiryanto (2017) terdapat empat perbedaan mendasar, yaitu :
1). Citra Diri
Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada
orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan
merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra
mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis
atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai
masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak.
Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk
mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus
berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus
melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut
adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi,
hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses
pedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah.

2) Pengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang
individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Orang
dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat
beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama
sekali.Anak-anak memang mengalami banyak hal, namun belum
berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi,
pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang
sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman itu justru
dialihkan dari pihak guru ke pihak murid.
Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogi, karena
itu, dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti ;
ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses
andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok,
simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka
semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber
belajar.
3) Kesiapan Belajar
Perbedaan ketiga antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal
pemilihan isi pelajaran. Dalam pendekatan pedagogi, gurulah yang
memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses
pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam
pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan
dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.
4). Waktu dan Arah Belajar
Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak
didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang
sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses
pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu
proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini.

Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik,


suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu
pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan
kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang"
dan "kemana kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses
andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti
"memecahkan masalah hari ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi,
belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang
dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.
Tabel 1. Perbedaan Pendekatan Pedagogi dan Andragogi
Aspek Perbedaan Pedagogi Andragogi
Peserta Didik Anak Dewasa
Guru/tutor Memberi instruksi Memberi fasilitas
Orientasi belajar Berpusat pada isi Berpusat pada masalah
pembelajaran
Kondisi Anak harus belajar Orang dewasa ingin
atau butuh belajar
Sumber: Knowlws, 1970
3. Heutagogis
Heutagogis berasal dari bahasa Yunani “self” atau dirisendiri. Konsep
pendidikan heutagogi pertama kali dicetuskan oleh Steward dari Southern Cross
University yang merupakan studi tentang belajar yang ditentukan oleh diri
pembelajar sendiri “self-deternined learning”. Heutagogi menerapkan pendekatan
holistik untuk mengembangkan kemampuan pelajar, dengan belajar sebagai
proses aktif dan proaktif, dan melayani peserta didik sebagai agen utama dalam
pembelajaran mereka sendiri, yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman pribadi
(Hanse dan Kenyo, 2000). Haetagogis menekankan pada perbaikan belajar cara
belajar, (double loop learning), kesempatan belajar universal, proses non-linear,
dan arah sejati diri pelajar. Jika andragogi berfokus pada cara terbaik bagi orang
dewasa untuk belajar, heutagogi mengisyaratkan bahwa inisiatif pendidikan
termasuk peningkatan keterampilan serta mengkombinasikan dimensi formal dan
formal (Sudarwan, 2013).
Hasil dari pembelajaran yang ditentukan oelh diri sendiri atau bisa disebut
dengan pembelajaran mandiri bahwa peserta didik memperoleh kompetensi dan
kemampuan. Hase dan Kenyo (2000) menjelaskan bahwa kompetensi dapat
dipahami sebagai kemampuan yang dibuktikan dalam memperoleh pengetahuan
dan keterampilan, sebagai hasilnya dari itu adalah kemampuan untuk mengambil
tindakan yang tepat dan efektif untuk merumuskan dan menyelesaikan masalah
dan mampu menghadapi dan meyesuaikan diri terhadap lingkungan yang
turbulen. Sehingga hasil dari self determined learning adalah menciptakan indvidu
yang memiliki kapabilitas yang baik. Hanse dan Kenyo dalam Lisa (2012),
memaparkan ciri-ciri orang yang memiliki kapabilitas yaitu:
a. Self-efficacy, dalam mengetahui cara belajar dan terus menerus
merefleksikan proses pembelajaran.
b. Komunikasi dan keterampilan kerja tim, bekerja dengan baik dengan
orang lain dan komunikatif secara terbuka;
c. Kreatif terutama dalam menerapkan kompetensi untuk situasi baru dan
asing dan dengan cara beradaptasi dan fleksibel dalam pendekatan;
d. Positive velue
Hubungan Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi, menurut Mezirow, dalam
Lisa Marie Blaschke (2012), dilihat dari kematangan dan autonomi serta peran
dari pendidik, dapat digambarkan dengan menggunakan pyramid sebagai
berikut :

Gambar : Kemajuan pedagogi ke andragogi kemudian heutagogi


menurut (Canning, 2010)
Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa hubungan antara
pedagogi, andragogi maupun heutagogi, dapat dilihat dari tingkat kematangan
peserta didik serta syarat kemandirian belajar, bahwa semakin bertambah umur
maka akan matang dan bertambah kemandirian belajarnya, sementara dilihat dari
peran pendidik atau instruktur, maka semakin bertambah usia. maka peran
instruktur serta materi yang terstruktur semakin berkurang, dan sebaliknya
semakin muda (anak-anak) dengan pendekatan pedagogi, maka peran instruktur
dan materi yang terstruktur semakin dominan.
4. Didaktika
Segala sesuatu telah disusun dan diatur menurut pola dan sistematika
tertentu sehingga memungkinkan kegiatan mengajar dan belajar berlangsung dan
terarah pada pembentukan dan pengembangan siswa (Hamalik, 2001). Salah satu
upaya yanag dapat dilakukan seorang pendidik agar bisa memberikan suatu
pengajaran yang profesional adalah dengan mempelajari ilmu didaktik. Didaktik
merupakan suatu ilmu tentang mengajar. Didaktik merupakan suatu ilmu yang
berdiri atau memiliki disiplin sendiri (Hamalik, 2001). Istilah didaktika berasal
dari kata didasco, didaskein yang berarti saya mengajar atau jalan pelajaran,
bahkan ada yang meyebutkan sebagai ilmu tentang mengajar dan belajar. Ilmu ini
membicarakan tentang bagaimana cara membimbing kegiatan belajar murid
secara berhasil (Hamalik,2001).
Didaktika adalah ilmu mengajar yang membuat orang lain belajar.
Didaktika adalah ilmu tentang masalah mengajar dan belajar secara ampuh dan
berdaya guna. Didaktika tidak sama dengan pedagogik. Didaktika adalah bagian
kecil dari rumpun ilmu pedagogi. Mengajar hanyalah salah satu aspek dari
mendidik, namun mengajar adalah unsur yang utama dalam mendidik (ismail,
1998). Banyak yang berpendapat bahwa ilmu didaktik hanya bermanfaat bagi
guru disekolah saja. Namun ilmu ini dapat digunakan dimana saja buan oleh guru
disekolah saja, melainkan oleh masyarakat, lembaga dan badan-bdan, perusahaan,
lembaga pemerintah, lembaga pembagunan, lembaga pedesaan, kemiliteran, dll.
Berikut ini fungsi dari didaktik menurut Hamalik (2001) :
a. Didaktik memberikan petunjuk tentang membuat perencanaan
b. Didaktik memberikan petunjuk tentang bagaimana cara membuat tujuan-
tujuan yang diinginkan
c. Didaktik memberikan petunjuk tentang cara menyampaikan pengalaman
dan pengetahuan dengan cara efektif
d. Didaktik memberikan tentang cara-cara mempelajari sesuatu dengan
berhasil
e. Didaktik memberikan petunjuk tentanag bagaumana cara mengadakan
penilaian secara efektif
f. Didaktif memberikan petunjuk tentang bagaimana cara membuat suatu
program yang sistematis
g. Didaktif membrtikan petunjuk tentang bagaimana cara mengadakan
pengumpulan informassi yang diperlukan
h. Didaktika memberikan petunjuk tentang bagaimana cara mengadakan
pengumpulan informai yang diperlukan
i. Didaktika memberikan petunjuk tentang bagaiaman cara
menyelenggarakan peragaan atau cara menggunakan audio visual aids
j. Didaktika memberikan petunjuk tentang bagaimana cara masyarakat
memanfaatkan lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain.
k. Didaktika memberikan petunjuk tentang bagaimana cara
menyelenggarakan seni budaya
l. Didaktika memberikan petunjuk tentang bagimana cara berkomunikasi
dan berinteraksi dalam masyarakat
m. Didaktika memberikan petunjuk tentang apa yang perlu dilakukan oleh
masyarakat dan porang tua guna membantu berhasilnya pekerjaan sekolah

C. Azas-Azas Pendidikan dan Pembelajaran


Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau
tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan.
Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan
mendidik diri sendiri. Seperti yang diketahui, manusia yang dilahirkan hampir
tanpa daya dan sangat tergantung pada orang lain (orang tua, utamanya ibu)
namun memiliki potensi yang hampir tanpa batas untuk dikembangkan. Khusus
untuk pendidikan di Indonesia, terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam
merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas –asas tersebut bersumber baik
dari kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun bersumber dari pemikiran
dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di Indonesia. Diantara
berbagai asas tersebut, tiga buah asas yang akan dikaji dalam makalah ini
diantaranya, asas Tut Wuri handayani, asas belajar sepanjang hayat dan asas
kemandirian dalam belajar.
1. Asas Tut Wuri Handayani
Asas tut wuri handayani, yang kini menjadi semboyan DEPDIKBUD,
pada awalnya merupakan salah satu dari “asas 1992” yakni tujuh buah asas dari
perguruan nasional taman siswa. Tut wuri handayani merupakan inti dari Asas
pertama yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya
sendiri dengan mengingat tertib nya persatuan dalam peri kehidupan umum.
Dari asas ini pulalah lahir sistem “among”, dalam cara mana guru
memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri dibelakang
dengan semboyan “tut wuri handayani”, yaitu tetap mempengaruhi dengan
memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan memberi
kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus
dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya wajib menyikirkan segala
sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya bertidak aktif dan mencampuri
tingkah lakuatau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat
menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak
majunya.
Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri
handayani yakni ing ngarsa sung tulada (didepan memberi contoh) baik karena
kebutuhan anak maupun pertimbangan guru. Ing madya mangun karsa ( ditengah
membangkitkan kehendak, hasrat, atau motivasi) diterapkan dalam situasi yang
kurang bergairah atau ragu- ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan,
sehingga perlu diupayakan memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut
sebagai salah satu kesatuan asas (ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun
karsa, dan tut wuri handayani) telah menjadi asas penting dalam pendidikan di
Indonesia (Tirtarahardja & La Sulo 1994).
2. Asas belajar sepanjang hayat
Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah
seyogianya mengemban sekurang–kurangny dua misi yakni membelajarkan
peserta didik dengan efisien dan efektif, dan serentak dengan itu, meningkatkan
kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang
hayat. Ditinjau dari pendidikan sekolah, masalahnya adalah bagaimana merancang
dan mengimplementasikan suatu program belajar-mengajar sehingga mendorong
terwujudnya belajar sepanjang hayat, dengan kata lain, terbentuk manusia dan
masyarakat yang mau dan mampu terus menerus belajar (Tirtarahardja & La
Sulo,1994). Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang
hayat harus dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi
yakni;
a. Dimensi vertical dari kurikulum sekolah yang meliputi : disamping
keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan, harus pula
terkait dengan kehidupan peserta didik dimasa depan. Misalnya melalui
relevansi bahan ajar yang sesuai dengan perkembangan kehidupan masa
depan, mengikuti perubahan sosial dan budaya yang berkembang.
b. Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan pengalaman
belajar di sekolah dan diluar sekolah. Misalnya melalui refleksi bahan
ajar disekolah yang dicerminkan dari kehidupan luar sekolah,
memperluas kegiatan belajar keluar sekolah, serta melibatkan orangtua
dan masyarakat sekitar untuk kegiatan belajar.
Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi
tersebut akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar
disekitarnya.Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber-sumber belajar
yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan
masyarakat yang mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi
suatu masyarakat yang gemar belajar (Learning Society) (Tirtarahardja & La
Sulo,2005).
3. Asas kemandirian dalam belajar
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru
sebagai fasilitator dan motivator, disamping peran-peran lain: infomator,
organisator, dan sebagainya. Pengembangan kemandirian dalam belajar ini
seyogianya dimulai dalam kegiatan intra-kulikuler, yang dikembangkan dan
dimantapkan selanjutnya dalam kegiatan eksta-kurikuler.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan dalam makalah ini dalam disimpulkan sebagai
berikut:
1. Metode
2.
B. Saran
Dalam
DAFTAR RUJUKAN
Afandi, M., Evi C., dan Oktarina P.W. 2013. Model dan Metode Pembelajaran di
Sekolah. Semarang : Unisulla Press
Danim, Sudarwan. 2012. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok.
Jakarta : Rineka Cipta
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Bumi Aksara
Hanse, S. dan Kenyon, C. 2010. Andragogy and Heutagogy In Postgraduate
Work. In T. Kerry (Ed.), Meeting the challenges of change in postgraduate
education. London: Continuum Press.
Hiryanto. 2017. Pedagogi, Andragogi Dan Heutagogi Serta Implikasinya
Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Dinamika Pendidikan Vol XXII
No. 01 Mei 2017 (Online)
(https://journal.uny.ac.id/index.php-/dinamika-
pendidikan/article/viewFile/19771/10802) diakses pada tanggal 11
September 2018
Hurlock, Elizabeth. 1968. Developmental Psychology. 5 t ed. New
York : McGraw-Hill
Knowles, M S; Holton E F; & Swanson, R A. 1998. The Adult Learner. Gulf
Publishing company. Houston – Texas, USA.
Knowles, M.. 1980. Informal Adult Education: A Guide For Administrator,
Leader and Teachers. New York. Association Press.
Munib, A. 2004. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT UNNES PRESS
Lisa Marie Blaschke (2012), Heutagogy and Lifelong Learning: A Review of
Heutagogical Practice and Self- Ditermined Learning. The International
Review of Research open and distance Learning. Vol 13. No.1 Januari 2012
Nursalam dan Efendi F. 2008. Pendidikan Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
Nursalam dan Efendi F. 2008. Pendidikan Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika.
Srinivasan,S. 1977. Perspektive On Non Formal Adult Learning Funcional
Education For Individual. New York :World Education
Sudarwan, Danim. 2010. Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi. Bandung;
Penerbit Alfabeta
Sudjana, Nana. 2005. Dasar-dasar Proses/Belajar Mengajar. Bandung.
Sinar Baru Algensindo
Sunhaji, 2013. Konsep Pendidikan Orang Dewasa. Jurnal Pendidikan : Volume 1

Tilaar, Jimmy Ph Paat dan Lody Paat. 2011. Pedagogik Kritis.


Perkembangan, Substansi dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta.
Tirtarahardja, U. & La Sulo, S.L. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tirtarahardja, U. & La Sulo, S.L. 2005. Pengantar Pendidikan (Revisi). Jakarta:
Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai