Anda di halaman 1dari 26

SISTEM PENGETAHUAN LOKAL

MASYARAKAT CIDAUN CIANJUR SELATAN


(STUDI TENTANG KEARIFAN LOKAL)
Rosyadi
Abstraksi

A. PENDAHULUAN
Sistem pengetahuan lokal atau sering juga disebut indigenous
knowledge atau local knowledge adalah konsep-konsep mengenai segala sesuatu
gejala yang dilihat, dirasakan, dialami ataupun yang difikirkan yang
diformulasikan menurut pola dan cara berfikir suatu kelompok masyarakat.
Sistem pengetahuan lokal berkenaan dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat
yang sangat luas. Ia bisa berkenaan dengan alam semesta (cosmology), flora,
fauna, benda-benda, aktivitas, maupun peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Sistem pengetahuan lokal sangat terkait dengan lingkungan alam,
sosial, maupun budaya di mana kelompok masyarakat itu hidup, dan melakukan
ativitas-aktivitas utamanya dalam upaya mempertahankan hidup. Oleh karena itu,
sistem pengetahuan lokal suatu kelompok masyarakat tidak mustahil akan berbeda
dengan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal ini, sangat mungkin suatu
fenomena yang sama, baik berupa benda, flora, fauna, maupun suatu peristiwa,
akan diterjemahkan atau ditafsirkan berbeda oleh suatu kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat lainnya.
Sebagai makhluk hidup, manusia paling mampu beradaptasi dengan
lingkungannya dan selalu berupaya untuk memanfaatkan sumber-sumber yang
ada untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Hal itu menyebabkan adanya ikatan
antara manusia dengan lingkungan alamnya. Ikatan itu memberikan pengalaman
dan pengetahuan serta pikiran pada manusia, bagaimana mereka memperlakukan
alam lingkungan yang mereka miliki. Mereka menyadari akan segala perubahan

yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, sekaligus mampu pula mengatasinya


untuk kepentingannya.
Sebagai bagian dari lingkungannya, manusia mempunyai hubungan timbal
balik yang selaras dengan lingkungannya, dengan kata lain ada keseimbangan dan
interaksi. Dalam interaksinya yang terus menerus itu, manusia mendapatkan
pengalaman tentang lingkungan hidupnya. Gambaran tentang lingkungan
hidupnya itu disebut citra lingkungan (Triharso, 1983:13), yaitu bagaimana
lingkungan itu berfungsi, dan memberi petunjuk tentang apa yang dapat
diharapkan manusia dari lingkungannya, baik secara alamiah maupun sebagai
hasil dari tindakannya, serta tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan. Lingkungan hidup itu sendiri meliputi: lingkungan fisikal,
lingkungan biologis, dan lingkungan sosial budaya. Lingkungan fisikal berupa
sungai, udara, air, rumah, dan lain-lain.; lingkungan biologis meliputi organisme
hidup, yaitu hewan, tumbuhan, dan manusia; lingkungan sosial budaya meliputi
sikap kemasyarakatan, sikap kerohanian, tradisi-tradisi, dan lain-lain. Manusia
adalah bagian dari lingkungan itu dan tidak dapat lepas, baik dari lingkungan alam
maupun lingkungan sosial budayanya.
Belakangan ini, sejalan dengan arus modernisasi yang bertumpu pada
kekuatan industrialisasi, keasrian lingkungan dan keharmonisan sosial mulai
terusik. Demikian pula, tidak sedikit unsur-unsur budaya lokal ataupun adat
istiadat masyarakat yang mulai melemah fungsinya. Lebih jauh lagi, melemahnya
fungsi-fungsi adat ini mengancam kelestarian lingkungan dan ini kemudian
muncul sebagai isu lingkungan hidup.
Permasalahan

lingkungan

hidup

berkaitan

erat

dengan

konsep

pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang dapat memenuhi


kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang.
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa :
Lingkungan hidup Indonesia yang dikaruniai oleh Allah Yang Mahaesa
kepada bangsa dan rakyat Indonesia merupakan rahmat daripada-Nya dan
wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat tetap

menjadi sumber dan penunjang hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia
serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan kualitas hidup itu sendiri.
Undang-undang tersebut memposisikan lingkungan alam bukan hanya
sekedar sebagai obyek yang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia (human centris), melainkan ia juga harus dipelihara, ditata, dan dijaga
kelestariannya (eco centris), agar kualitasnya tetap terjaga dan dapat tetap
memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Dalam wacana-wacana kebudayaan, terutama yang membincangkan
masalah lingkungan alam, manusia dan kebudayaan, terdapat dua permasalahan
pokok, yakni : pertama, bagaimana suatu kondisi lingkungan alam mempengaruhi
perkembangan kebudayaan suatu masyarakat; dan yang kedua, bagaimana
peranan suatu kebudayaan dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan
ekosistem.
Pada persoalan yang pertama ada satu pendapat bahwa tiap-tiap keadaan
alam sekeliling yang mempunyai coraknya sendiri-sendiri, sedikit banyak
memaksa orang-orang yang hidup di dalamnya untuk menuruti suatu cara hidup
yang sesuai dengan keadaan. Di samping itu, keadaan alam sekeliling bukan saja
memberikan kemungkinan-kemungkinan yang besar bagi kemajuan manusia,
tetapi juga menyediakan bahan-bahan yang dapat memuaskan kebutuhankebutuhan. Apapun yang dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kehidupan
sehari-hari, mulai makanan, pakaian, perumahan, hingga kesenian, semuanya
disediakan

oleh

alam.

Manusia

hanya

tinggal

memelihara

dan

mendayagunakannya (lihat R.Firth - B.Mochtan - S.Puspanegara, 1966).


Pada persoalan yang kedua, yaitu bagaimana peranan kebudayaan dalam
upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan terkait erat dengan persepsi
masyarakat mengenai lingkungannya. Dalam proses hubungan antara manusia
dengan lingkungan alam, manusia melakukan penafsiran-penafsiran atas berbagai
gejala alam yang dihadapinya. Penafsiran ini kemudian melahirkan bentuk-bentuk
tindakan baik yang bersifat eksploitatif maupun persuasif. Cara penafsiran yang
profan memposisikan lingkungan alam beserta segenap sumber daya yang
terkandung di dalamnya sebagai obyek yang sepenuhnya dapat dikelola untuk
3

memenuhi kebutuhan manusia. Cara pandang ini mendorong manusia untuk


mengeksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran, yang mengakibatkan
rusaknya ekosistem. Gejala ini yang kini seringkali dikeluhkan oleh berbagai
pihak, karena kerusakan lingkungan alam ternyata telah membawa kerugian yang
sangat besar bagi kehidupan umat manusia itu sendiri.
Sementara itu, cara penafsiran yang bersifat sakral mendorong manusia
untuk memperlakukan lingkungan alam secara persuasif. Cara penafsiran ini pula
yang kemudian melahirkan berbagai bentuk tradisi, seperti tabu atau pantangan
adat, pepatah atau ujaran adat, cerita-cerita rakyat, dan berbagai bentuk upacara
tradisional yang berkaitan dengan kepercayaan. Ini pula sebabnya mengapa
bentuk-bentuk atau perwujudan tradisi berbeda di antara suatu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya yang hidup di tengah kondisi
lingkungana alam yang berbeda. Pandangan-pandangan inilah yang dalam kajiankajian kebudayan disebut sebagai kearifan lokal atau kearifan tradisional.
Dalam pada itu, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat telah mengakibatkan meningkatnya kontak antarbangsa dan antarbudaya
yang dibarengi juga dengan penetrasi kebudayaan asing. Intervensi kebudayaan
yang satu terhadap kebudayaan yang lain pun semakin kerap terjadi. Gejala
intervensi dan penetrasi atau perembesan kebudayaan ini terjadi demikian
luasnya, sehingga hampir tidak ada kelompok masyarakat yang terluput dari
pengaruh ini. Tradisi-tradisi yang hidup di kalangan masyarakat pedesaan pun
tidak luput dari pengaruh budaya asing. Banyak tradisi masyarakat yang dulunya
dipegang teguh dan bahkan dipedomani dalam kehidupan sehari-hari, kini mulai
goyah. Bahkan ada di antaranya yang sudah punah sama sekali.
Angin segar mulai terhembus bagi kebangkitan kebudayaan-kebudayaan
lokal ketika para ilmuwan mulai menyadari dan mempertimbangkan tentang
keberadaan dan peranan budaya lokal bagi pembangunan suatu kelompok
masyarakat. Sistem .pengetahuan lokal yang dimiliki oleh para petani tradisional
di banyak daerah di Indonesia, menjadi sorotan utama.
Sebuah tulisan dalam Antropologi Indonesia (Majalah Antropologi Sosial
dan Budaya Indonesia) No. 55, XXII, 1998 yang diterbitkan oleh Jurusan
4

Antropologi FISIP UI, menjelaskan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir,


pengetahuan penduduk setempat yang dalam dunia internasional lazim disebut
dengan indigenous knowledge menjadi pusat perhatian para ilmuwan, praktisi,
pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga donor. Dalam pelbagai arena
akademis dan praktis, pengetahuan penduduk setempat menjadi agenda utama
dalam pembahasan tentang kelemahan dan masalah yang timbul dalam pelbagai
proyek pembangunan yang tidak mengacu pada atau melibatkan pengetahuan dan
praktek-praktek penduduk setempat dalam pengelolaan lingkungan hidupnya.
Merupakan suatu fenomena menarik bahwasanya pengetahuan dan kearifan yang
dimiliki penduduk setempat yang telah selama berabad-abad terbukti secara
tangguh menjadi landasan pengelolaan sumber daya alam dan hayati secara
berkelanjutan - menjadi primadona perhatian, wacana dan perbincangan pelbagai
pihak (hal iii).
Selanjutnya

Hobart (1993), menyatakan bahwa tumbuh kembangnya

proyek-proyek pembangunan ternyata disertai dengan semakin diacuhkannya


keberadaan dan peranan pengetahuan penduduk setempat (pengetahuan lokal).
Tidak dapat disangkal bahwa pelbagai proyek pembangunan masih dirancang
secara top-down tanpa melibatkan partisipasi penduduk setempat. Para perencana
pembangunan pun gagal untuk mengakui secara tepat pentingnya dan
berpotensinya pengetahuan lokal. Sebaliknya, proyek-proyek pembangunan sering
melibatkan asumsi bahwa pengetahuan ilmiahlah yang lebih superior, atau lebih
benar daripada pengetahuan lokal. Pengalaman sejarah ternyata membuktikan
bahwa sebagai implikasi lebih lanjut dari hegemoni pengetahuan ilmiah ini dalam
proyek-proyek

pembangunan,

pelbagai

konsekuensi

tidak

terduga

dan

kemerosotan kondisi lingkungan hidup serta kesejahteraan penduduk setempat


bermunculan.
Keadaan inilah yang melatarbelakangi pentingnya dilakukan kajian
mengenai sistem pegetahuan lokal masyarakat di wilayah Cianjur Selatan dalam
kaitannya dengan konsep-konsep kearifan lokal.
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui kajian ini, antara lain:
1) Kegiatan pendataan ini diharapkan dapat merekam dan menginventarisasi
5

berbagai bentuk tradisi yang hidup di kalangan masyarakat setempat yang


memiliki potensi bagi upaya pelestarian lingkungan hidup.
2) Hasil kajian ini diharapkan dapat mengungkapkan nilai-nilai budaya yang
terkandung di dalam berbagai bentuk tradisi masyarakat setempat yang telah
melahirkan kearifan tradisional, dan terbukti ampuh dalam upaya
mempertahankan kelestarian dan keseimbangan ekosistemnya.
3) Dari hasil kajian ini juga diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang utuh
dan komprehensif mengenai keberadaan tradisi-tradisi masyarakat yang
berpotensi bagi pelestarian lingkungan hidup.
Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan cara memaparkan
berbagai fenomena budaya yang ditemui di lapangan yang melatarbelakangi
kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Selanjutnya fokus kajian lebih
diarahkan pada aspek-aspek yang terkait dengan sistem pengetahuan lokal yang
dimiliki oleh masyarakat. Data yang diperoleh adalah data kualitatif yang dijaring
melalui teknik-teknik wawancara dan observasi, dan didukung dengan studi
pustaka.

B. HASIL DAN BAHASAN


Sekilas mengenai Kecamatan Cidaun - Cianjur Selatan
Kecamatan Cidaun berada dalam kawasan Cianjur Selatan, di Jawa
Barat, letaknya di tepi pantai Lautan Indonesia. Secara administratif Kecamatan
Cidaun masuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa
Barat. Kecamatan Cidaun meliputi wilayah seluas 56 000 ha, terbagi ke dalam 14
desa yang satu sama lain letaknya berjauhan dan hanya bisa dicapai dengan
kendaraan beroda dua atau jalan kaki. Beberapa desa yang berada di bawah
wilayah administrasi Kecamatan Cidaun, angara lain: Desa Cidamar, Cisalak,
Cimaragang, Mekarjaya, Kertajadi, Sukapura, Gelarpawitan, Karangwangi,
Cibuluh, Karyabakti, Jayapura, Neglasari, Puncakbaru, dan Desa Gelar Wangi.
Bagi orang Cianjur, Cidaun dikenal sebagai asal mula Menak
Parahiangan. Penduduknya banyak yang berkulit kuning langsat dengan raut
6

muka halus, seperti jamaknya seorang menak, Tetapi karena alam telah
memencilkan mereka banyak yang belum pernah melihat Kota Cianjur.
Menurut penuturan penduduk setempat, dulu di kawasan ini banyak
hutan yang dianggap angker dan banyak dihuni binatang buas. Akibatya, kalau
hari sudah mencapai waktu zuhur, orang enggan bepergian ke desa lain karena
suasananya sudah gelap. Akan tetapi kini, binatang-binatang buas ini sudah sangat
jarang ditemui, mungkin juga sudah lenyap.
Sekalipun ancaman keangkeran hutan kini sudah tidak menjadi kendala
lagi, kesulitan lain masih membentang, yaitu tidak lancarnya hubungan lalu-lintas.
Kondisi jalan yang menghubungkan daerah ini dengan daerah-daerah di
sekitarnya sangat memprihatinkan. Bukan sekedar jalan setapak, tapi jalan raya
pun belum kondusif untuk dilalui kendaraan beroda empat. Sesungguhnya lahan
pertanian di Cidaun umumnya subur dan hasil pertaniannya pun melimpah ruah.
Akan tetapi sayang tidak didukung dengan sarana jalan dan infrastruktur lainnya,
sehingga bagi penduduk setempat yang akan bepergian ke daerah lain atau ke luar
kecamatan untuk menjual hasil pertanian, harus menanggung beban ongkos yang
cukup besar.
Sarana infrastruktur lain di samping jalan yang kondisinya masih sangat
memprihatinkan tadi, adalah bentangan sungai yang biasa digunakan sebagai jalan
penghubung. Ada tujuh buah sungai yang harus dilewati, lima di antaranya belum
berjembatan. Pada akhir tahun 1970an awal tahun 1980-an pernah dipasang
ponton pada Sungai Ciujung, tapi itu pun hanya bisa diseberangi kalau air sungai
tidak meluap. Lama-kelamaan, ponton itu terbawa hanyut ke laut. Pada tahuntahun berikutnya dibangun "jembatan" yang sangat sederhana, akan tetapi jebatan
itu pun hanyut pula. Lebar sungai rata-rata di kawasan itu memerlukan jembatan
yang panjangnya paling tidak 30 meter, bahkan ada yang sampai 120 meter.
Beberapa bagian di kawasan Cidaun kondisinya berbukit-bukit. Pada
turunan-turunan yang menukik, tanahnya sering amblas. Daerah Cianjur Selatan
terkenal akan gempa yang membuat letak tanah menjadi labil. Sehingga meskipun
alam di sekitar cukup hijau oleh tetumbuhan vang merimbun, tak jarang jalanan

setapak hilang karena tertimbun tanah longsor. Semua itu sering menggagalkan
rencana membuat alur jalan yang memadai.
Di antara desa-desa yang ada di wilayah Kecamatan Cidaun, Desa
Cidamar termasuk istimewa, karena beberapa tokoh di tingkat kecamatan berasal
dari desa ini. Lingkungannya pun menampakkan keasrian. Rumah-rumah di desa
ini memiliki pelataran yang rapi resik dengan arsitektur panggung. Desa Cidamar
memiliki areal sawah milik seluas 167 ha., dan 85 ha perkebunan. Sisanya berupa
tegalan, cagar alam, hutan lindung dan beberapa tanah garapan. Desa Cidamar
memiliki 7 kadusunan yaitu:

Dusun Kaum, Bobojong, Sukamaju, Girang,

Babakan Garut, Bojonglarang, dan Margaluyu.


Penduduk Desa Cidamar pada umumnya adalah petani dan pencari ikan.
Lahan pertanian di daerah ini sangat subur, sehingga setiap panen mengalami
surplus padi maupun hasil kebun dan tegalan. Permasalahannya adalah,
kendatipun mereka memiliki hasil pertanian yang melimpah, akan tetapi mereka
sulit mendistribusikannya ke luar daerah karena kondisi jalannya yang sangat
tidak memadai. Meskipun di kawasan itu membentang jalan yang terbuka lebar
lewat Lautan Indonesia, bukan berarti hubungan ke daerah luar juga terbuka. Laut
di kawasan ini terkenal ganas. Bahkan Pelabuhan Jayanti -- pelabuhan alam
Cidaun--sejak lama porak-poranda oleh keganasan badai dan gelombang. Perahuperahu nelayan pun banyak yang hancur.
Pengetahuan Lokal Masyarakat Cidaun
Pengetahuan lokal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah konsep-konsep
masyarakat setempat mengenai berbagai fenomena alam yang mereka temui
dalam kehidupan sehari-hari yang diinterpretasikan dan kemudian melahirkan
sikap dan bentuk-bentuk perilaku tertentu.

Interpretasi yang bersifat magis

religius melahirkan sikap pemuliaan yang terwujud dalam bentuk-bentuk tabu


atau pantangan adat. Sebaliknya interpretasi yang bersifat profan melahirkan sikap
pengabaian yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk perilaku eksploitatif
terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Berdasarkan kondisi lingkungan alam dan pengetahuan lokal yang dimiliki


warga masyarakatnya, warga Cidaun dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sangat bergantung pada kedua hal tersebut. Aktivitas-aktivitas guna memenuhi
kebutuhan hidup ini disebut sebagai mata pencaharian hidup. Sistem mata
pencaharian hidup adalah aktivitas utama atau pokok dari seseorang atau suatu
kelompok masyarakat yang dijadikan sebagai andalan dalam mencari nafkah
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Aktivitas-aktivitas lain dalam
kaitannya dengan pemenuhan nafkah, dikatagorikan sebagai mata pencaharian
tambahan. Masyarakat di Kecamatan Cidaun, sebagian besar menggantungkan
nafkah hidupnya kepada lingkungan alam setempat, yaitu sebagai nelayan dan
petani. Oleh karena itu sistem pengetahuan masyarakat di dalam tulisan ini pun
dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu pengetahuan lokal masyarakat nelayan dan
petani.
Masyarakat Nelayan
1) Pengetahuan tentang Gejala-gejala Alam
Masyarakat nelayan di Pantai Selatan Kabupaten Cianjur, telah mengenal
gejala-gejala alam yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari maupun ketika
melaut. Pengetahuan masyarakat nelayan di Pantai Selatan Kabupaten Cianjur
tentang gejala-gejala alam, di antaranya adalah:

Ikan paus (Balaenoptera borealis) yang terdampar, menandakan akan adanya


perubahan musim, baik dari musim hujan ke musim kemarau maupun
sebaliknya dari musim kemarau ke musim hujan;

Banyaknya burung murai besi (Heterophasia picaoides) yang beterbangan di


atas laut, menandakan akan adanya perubahan musim, baik dari musim hujan
ke musim kemarau maupun sebaliknya dari musim kemarau ke musim hujan,
selain itu, menandakan juga bahwa di laut sedang banyak ikan sehingga sangat
baik untuk melaut;

Lauk motah (banyaknya gerakan ikan di laut), menandakan akan datangnya


bencana berupa caah laut banjir laut, sehingga masyarakat sekitar pantai
harus waspada;
9

Impun ka muara ikan impun menuju ke muara, menandakan datangnya masa


panen ikan impun, biasanya terjadi setiap tanggal 25 bulan Hijriah. Pada saat
seperti ini masyarakat berbondong-bondong pergi ke muara untuk menangkap
ikan impun, acara ini disebut nyalawena.

2) Peralatan
Beberapa peralatan yang biasa digunakan oleh masyarakat nelayan di
kawasan Pantai Selatan Kabupaten Cianjur, di antaranya adalah sebagai berikut:

Sirib jala; yaitu salah satu peralatan yang terbuat dari benang kenur,
digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan dengan cara ditebar. Peralatan
ini biasanya dibuat oleh nelayan sendiri, akan tetapi ada juga yang
membelinya dari toko yang menyediakan peralatan melaut.

Parahu perahu; adalah alat untuk melaut atau berlayar, menangkap ikan di
tengah laut. Perahu yang mereka gunakan untuk melaut terbuat dari kayu dan
digunakan menggunakan mesin motor. Ada pula nelayan yang menggunakan
perahu tanpa mesin, sehingga mereka harus mendayungnya.

Nelayan

mendapatkan perahu ini dengan cara membelinya.

Boboko bakul; adalah salah satu alat untuk menangkap ikan, terutama
impun. Boboko ini juga biasa dipakai untuk menyimpan ikan impun hasil
tangkapan.

Anco (sirib besar) jala besar; merupakan salah satu alat untuk menangkap
ikan di laut maupun di sungai dengan cara ditebar, dibiarkan dan diangkat.
Kegiatan menangkap ikan dengan cara ini disebut nganco menunggu. Anco
terbuat dari bambu dan jalanya terbuat dari benang kenur. Bagian lain dari
anco adalah rakit, saung, jango, dan boboko. Nelayan mendapatkan anco
dengan cara membuat sendiri dan membeli.

Rakit, adalah alat untuk melaut, menangkap ikan di sungai dan sebagai tempat
tumpuan anco. Rakit terbuat dari beberapa batang bambu yang dirangkai
berjejer ke samping, diikat dengan tali tambang. Selain untuk menangkap
ikan, rakit juga biasa dipergunakan sebagai alat penyebrangan di sungai,
digerakkan dengan cara didayung.
10

Tolombong, adalah alat dalam menangkap ikan yang digunakan sebagai


tempat menyimpan ikan. Tolombong terbuat dari anyaman bambu, berbentuk
bulat. Setiap nelayan pasti memiliki tolombong yang dibuat sendiri maupun
membeli.

Obor, adalah alat yang digunakan sebagai penerangan ketika menangkap ikan
di malam hari. Obor terbuat dari sebilah bambu yang diisi dengan minyak
tanah dan kain sebagai tempat menyalanya api. Obor dibuat sendiri, kadangkadang nelayan membawanya tidak cukup satu, bisa sampai beberapa buah.

3) Modal dan Pendistribusian


Masyarakat nelayan di Kecamatan Cidaun melakukan kegiatan melautnya
dengan bermodalkan sendiri. Nelayan yang ada masih bersifat tradisional, belum
ada nelayan yang melakukan penangkapan ikan ke tengah laut dengan perahu atau
kapal yang modern. Di Pantai Apra baru ada satu perahu milik warga, namun
itupun tidak digunakan ke tengah laut karena memang kondisinya yang tidak
memungkinkan, di Pantai Apra ombaknya sangat besar dan angin yang cukup
kencang sehingga sangat membahayakan keselamatan bagi para nelayan di tengah
laut. Selain itu, dipercaya bahwa Pantai Apra adalah salah satu pantai yang masih
angker, jangankan melaut ke tengah, berenang di pinggir pantai saja tidak boleh
saking berbahayanya. Terlepas dari kepercayaan itu, secara logika memang
berbahaya karena pantainya sangai curam dan ombaknya besar.
Modal yang mereka pergunakan dalam sekali menangkap ikan tidak terlalu
besar sebab menangkap ikannya hanya di sekitar muara pantai saja. Hasil ikan
yang mereka peroleh, mereka konsumsi sendiri dan dijual ke pasar.
Ikan hasil tangkapan mereka pada umumnya didistribusikan ke daerah
Sindangbarang, Cibinong, dan Cikadu.
4) Pengolahan Hasil Produksi
Hasil melaut yang diperoleh oleh nelayan adalah berupa ikan. Selanjutnya,
untuk dikonsumsi, ikan perlu diolah dan dibuat sebagai bahan makanan. Banyak
macam makanan tradisional yang diolah dari bahan ikan. Makanan tradisional
11

yang khas yang dihasilkan oleh masyarakat nelayan di Cidaun di antaranya


adalah:

Pais impun, yaitu makanan yang dibuat dari ikan impun dengan cara
dibersihkan, dicampur dengan bumbu yang terdiri dari kunir, laos, cabe
merah, gula, dan garam, lalu dibungkus dengan daun pisang yang dibentuk
persegi panjang serta dipepes dengan api yang cukup sampai matang;

Jalangkring (dendeng ikan impun atau rangginang impun), yaitu makanan


khas Cianjur Selatan yang terbuat dari ikan impun dengan cara dibersihkan
kemudian dicampur dengan bumbu yang sudah dihaluskan, terdiri dari garam
dan gula merah. Setelah tercampur dibentuk bundar kemudian dijemur
sampai kering dan digoreng;

Pais pelas, yaitu makanan tradisional yang terbuat dari udang dan dawegan
kelapa muda. Cara membuatnya, udang digerus diberi bumbu berupa
bawang merah, bawang putih, garam, salam, laos, sereh, lalu dicampurkan
dengan irisan dawegan, selanjutnya dibungkus dengan daun pisang dan
dikukus sampai matang.

b. Masyarakat Petani
1) Pengetahuan tentang Gejala-gejala Alam
Masyarakat petani di Kecamatan Cidaun Kabupaten Cianjur, telah
mengenal gejala-gejala alam yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari,
terutama ketika mau bertani. Pengetahuan masyarakat petani di Kecamatan
Cidaun tentang gejala-gejala alam, di antaranya sebagai berikut.

Munculnya bintang wuluku (wuluku adalah alat yang digunakan dalam


bertani untuk menggemburkan tanah), menandakan akan datangnya waktu
ngijih musim hujan. Kalau sudah muncul bintang wuluku biasanya para
petani bersiap-siap untuk segera menanam padi;

Terdengarnya suara cacing atau turaes (semacam binatang serangga),


menandakan akan datangnya musim kemarau, di sini biasanya akan terjadi
angin yang cukup besar, kesusahan air, kekeringan, rumput mengering
sehingga tidak baik untuk bertani;
12

Rumput warnanya memerah, menandakan akan datangnya musim kemarau


panjang, biasanya pada waktu ini masyarakat mengalami kekeringan dan
kesusahan mendapatkan air, serta tidak bisa bertani;

Bintang di langit terang benderang (bentang baranang), menandakan akan


terjadinya musim kemarau, biasanya terjadi pada bulan April, sehingga tidak
baik untuk melakukan tani di sawah, karena sumber air berkurang;

Matahari bergerak ke sebelah selatan, menandakan akan terjadinya perubahan


musim, yaitu mulai datangnya musim hujan. Para petani pun bersiap untuk
segera menggarap sawahnya atau harus segera melakukan persiapan
bercocok tanam;

Embun pagi berubah (ibun munggah peta), menandakan akan terjadinya


musim kemarau yang panjang, bisa terjadi kurang lebih selama tujuh bulan.
Ini menandakan bahwa kekeringan akan melanda masyarakat;

Awan di langit mulai mendung, menandakan akan segera turun hujan, cuaca
menjadi dingin, cocok untuk segera bercocok tanam.

2) Peralatan
Secara umum, peralatan yang digunakan oleh masyarakat petani di
Kecamatan Cidaun hampir sama dengan masyarakat petani di daerah-daerah
lainnya di Jawa Barat. Beberapa peralatan yang biasa digunakan oleh masyarakat
petani di Kecamatan Cidaun di antaranya adalah sebagai berikut.

Pacul cangkul; adalah alat untuk mencangkul di sawah, menggemburkan


dan membalikkan tanah yang akan ditanami padi. Pacul terbuat dari besi dan
diberikan gagang dari kayu. Petani biasanya membeli pacul dari panday
(tukang besi).

Wuluku / singkal; adalah alat pertanian yang digunakan untuk membalikkan


dan menggemburkan tanah setelah panen, untuk segera dimulai lagi musim
tanam berikutnya. Alat ini digunakan dengan cara ditarik oleh hewan, berupa
kerbau atau sapi. Wuluku atau singkal terbuat dari kayu dan besi baja,

13

Garu; adalah alat pertanian yang dibuat dari kayu atau bambu, digunakan
untuk meratakan tanah setelah diwuluku atau disingkal. Pemakaian alat ini
dengan cara ditarik oleh hewan, baik kerbau maupun sapi. Alat ini didapat
dengan cara dibeli.

Belehem / garok; adalah alat pertanian yang dibuat dari kayu papan,
berfungsi untuk meratakan tanah setelah selesai digaru dan akan dicaplak
ketika akan melakukan penanaman. Biasanya petani memiliki sendiri alat ini
karena sangat mudah dibuat.

Caplak, yaitu alat yang digunakan untuk memberikan garis pada petak-petak
sawah ketika akan ditanami supaya padi lurus, tidak acak-acakan. Caplak
terbuat dari kayu atau bambu, diberi ukuran tertentu, dan dibuat sendiri.

Gerendel / gasrok; adalah alat pertanian berbentuk bulat seperti yang diberi
besi atau paku serta diberikan pegangan untuk mendorongnya, berfungsi
untuk membersihkan rumput yang tumbuh di antara baris-baris padi. Alat ini
biasanya dibuat sendiri oleh petani.

Etem ani-ani; adalah alat pertanian yang biasa dipakai untuk menuai padi
atau memotong tangkai padi. Alat ini terbuat dari besi dan kayu, digunakan
dengan cara dijepit di tangan. Sekarang petani biasanya sudah tidak
mempergunakannya lagi, kecuali untuk menuai padi ranggeuyan (padi yang
dipotong setangkai-setangkai lalu diikat satu ikatan).

Arit sabit; adalah peralatan pertanian yang digunakan untuk memotong


padi di sawah, selain itu digunakan juga untuk membabad (membersihkan
rumput). Sabit terbuat dari logam besi yang dibentuk bulat setengah lingkaran
serta diberi pegangan dari kayu. Alat ini biasa dibeli dari panday (tukang
membuat perkakas dari besi) besi.

Gebotan, yaitu alat pertanian yang digunakan pada saat menuai padi dengan
sabit. Alat ini gunanya untuk merontokkan padi dari jeraminya. Gebotan
terbuat dari kayu atau bambu yang dibuat sendiri dengan ukuran dan model
masing-masing pembuatnya.

14

Nyiru, adalah alat wadah yang digunakan untuk memisahkan atau


membersihkan padi yang hapa kosong dengan padi yang berisi. Nyiru
terbuat dari anyaman bambu, biasanya digunakan oleh ibu-ibu karena dalam
penggunaannya memerlukan keahlian khusus dalam napi, terutama gerak
tubuhnya harus fleksibel, tidak boleh keras.

Tolombong, adalah alat pertanian yang digunakan untuk menyimpan dan


mengangkut padi. Tolombong terbuat dari anyaman bambu, berbentuk bulat.
Alat ini biasanya dibeli dari pengrajin.

Congkrang, adalah alat pertanian semacam sabit namun biasanya lebih besar
dan lebih panjang, terbuat dari besi dan diberi pegangan. Alat ini digunakan
untuk membersihkan rumput atau jerami. Petani biasanya membeli alat ini
dari panday besi.

Parang, adalah alat pertanian yang terbuat dari besi menggunakan pegangan
dari kayu yang agak panjang. Alat ini berfungsi untuk membersihkan rumput
yang ada pematang sawah. Petani membeli alat ini dari tukang panday,

Kored, adalah alat yang terbuat dari besi dan diberi pegangan dari kayu
seperti cangkul, namun bentuknya lebih kecil. Alat ini digunakan untuk
membersihkan rumput di pematang atau di antara barisan padi. Alat ini
biasanya lebih banyak digunakan di ladang atau di huma.

Gintiran padi, yaitu alat yang digunakan untuk mengupas kulit padi jadi
beras, terbuat dari bambu atau kayu. Alat ini dipergunakan dengan cara
diputar-putar. Sekarang alat ini sudah tidak banyak dipergunakan lagi karena
telah menggunakan alat yang lebih canggih yaitu heleran (alat untuk
menggiling padi menjadi beras).

Lisung dan halu, adalah alat yang digunakan untuk menumbuk padi menjadi
beras. Lisung dan halu terbuat dari kayu besar gelondongan yang dilubangi
hampir setengahnya, seperti sampan.

Ancun, adalah alat pertanian yang dibuat dari anyaman bambu dan diberi
sebuah pemikul yang terbuat dari bambu yang dibelah dua. Ancun biasanya
digunakan untuk membawa padi dengan cara dipikul.
15

Dingkul (boboko gede) bakul besar; adalah alat yang digunakan untuk
menyimpan padi sementara pada saat akan atau sesudah dijemur. Dingkul
terbuat dari anyaman bambu, biasanya dibeli dari pengrajin anyaman bambu.

3) Pengetahuan tentang Jenis Padi


Di wilayah Kabupaten Cianjur padi adalah salah satu tanaman utama
yang ditanam oleh petani. Bahkan sudah terkenal bahwa Cianjur merupakan salah
satu penghasil padi terbaik di Indonesia. Tentunya di sini banyak jenis padi yang
pernah tumbuh dan ditanam oleh petani, jenis-jenis padi tersebut adalah sebagai
berikut:

Jenis-jenis padi yang bisa dipanen tiga kali dalam satu tahun, di antaranya
adalah: padi IR, segon, barunday, manolin, dan nilek.

Jenis padi yang bisa dipanen dua kali dalam setahun, yaitu: padi cere dan
pandan wangi.

Padi ketan, yaitu padi yang ditanam di sawah namun agak lain dengan jenisjenis padi yang tadi. Padi ketan biasanya dikonsumsi atau dijual, dihidangkan
secara khusus karena rasanya yang lebih gurih serta lebih pekat;

4) Pemeliharaan
Sama halnya dengan daerah-daerah lain di tatar Sunda, masyarakat petani
di Kecamatan Cidaun memiliki tradisi tahap-tahap pemeliharaan tanah garapan
pertanian sebagai berikut:

Ngawalajar, yaitu langkah pertama dalam menggarap sawah setelah panen,


caranya membersihkan jerami, lalu membalikkan tanah. Pekerjaan ini biasa
dilakukan dengan cara mencangkul atau dibantu dengan alat wuluku yang
ditarik dengan kerbau atau sapi;

Ngangler atau ngagaru, yaitu menggarap tanah sawah setelah diwuluku untuk
menggemburkan dan meratakan tanah untuk segera ditanami padi;

Tandur atau menanam padi, yaitu melakukan penanaman pada petak-petak


sawah yang telah siap untuk ditanami;
16

Ngagerendel, yaitu membersihkan rumput dengan gerendel (salah satu alat


pertanian yang terbuat dari kayu dan besi berbentuk bulat diberikan pegangan
dan didorong-dorong);

Ngarambet, yaitu membersihkan dan merapihkan baris-baris padi;

Manen, atau menuai, yaitu memetik padi.

3.2.2 Sistem Pengetahuan Lokal


a. Pengetahuan Lokal yang Berkaitan dengan Pertanian
Beberapa pengetahuan lokal yang berkaitan dengan aktivitas pertanian
masyarakat petani di Cidaun Kabupaten Cianjur, adalah sebagai berikut:

Menebang bambu diharuskan pada hari minggu siang saat sirkulasi


air tidak terserap sampai atas;

Memotong padi sedikit untuk disimpan di dinding leuit lumbung


padi sebagai simbol agar mendapatkan berkah;

Beberesih solokan membersihkan parit agar melancarkan aliran air


ke sawah;

Untuk melestarikan tanaman langka, seandaikan masyarakat


memetiknya harus segera menanamnya kembali;

Beberapa pantangan (tabu) bagi masyarakat petani setempat, di


antaranya, tidak boleh mencuci tangan dengan air panas karena konon
katanya kalau menanam tidak akan jadi;

Setiap akan mengerjakan kegiatan bertani, harus diawali dan diakhiri


dengan doa, berupa mantera, yang berbunyi:
Pohaci sarining dat,
Pohaci uluning dat,
Dat sampurna kang mangan,
Sampurna kang pinangan,
Allah huma sri sadana,
Allah huma sri sadani,
Jejeg iman sampurnaning hurip.
17

b. Pengetahuan tentang Dunia Flora


Masyarakat di Kecamatan Cidaun memiliki pengetahuan lokal (local
knowlodge) yang terkait dengan ligkungan alam setempat. Pengetahuan lokal ini
diperoleh secara turun temurun dari leluhur mereka melalui sistem pewarisan
secara oral. Beberapa pengetahuan lokal masyarakat setempat yang dapat
diinventarisir adalah sebagai berikut:

Kayu jati, merupakan tanaman yang tumbuh di hutan, ditanam dan dipelihara
untuk dijadikan bahan bangunan;

Kayu pinus, adalah jenis tanaman yang tumbuh di hutan, biasanya ditanam
untuk dipergunakan sebagai bahan bangunan atau bahan pembuatan korek api;

Pungpurutan, yaitu tanaman yang biasanya tumbuh di ladang dan di


pekarangan rumah. Menurut pengetahuan masyarakat setempat, daun dari
tanaman ini dapat digunakan sebagai obat diare.

Buntiris, jenis tanaman perdu yang banyak tumbuh di ladang maupun di


pekarangan rumah. Burintis merupakan tanaman obat yang daunnya dapat
digunakan sebagai obat untuk menurunkan suhu badan.

Kiurat, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah dataran, digunakan sebagai


tanaman obat luka;

Daun reundeu, yaitu daun dari pohon reundeu yang hidup di daratan. Tanaman
ini dapat dipergunakan untuk mengobati kencing batu;

Daun sudia, merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman obat
penyakit campak, biasanya hidup didaratan;

Jahe, yaitu tanaman yang tumbuh di daratan, bisa dibudidayakan di kebun,


digunakan sebagai bahan obat, bumbu dapur, serta dibuat minuman;

Keji beling, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah daratan, dapat dipergunakan
untuk kencing batu;

Ubi kayu, yaitu tanaman yang dibudidayakan untuk dikonsumsi maupun


sebagai komoditi untuk diperjualbelikan. Tanaman ini biasanya ditanam di
kebun atau di ladang.
18

Panili, adalah tanaman yang digunakan sebagai bahan pembuat minuman,


bumbu dapur yang berfungsi untuk mengharumkan masakan;

Ubi jalar, yaitu tanaman ubi-ubian yang hidup di daerah daratan,


dibudidayakan untuk dikonsumsi dan dijual;

Buncis, yaitu tanaman sayuran yang hidup di daerah dataran tinggi, ditanam
untuk dikonsumsi dan dijual;

Kapol, yaitu tanaman yang hidup di daerah daratan. Kapol ini biasa digunakan
oleh ibu-ibu yang mempunyai kebiasaan menyirih sebagai bumbunya.

Taruk paku atau pakis, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah daratan, biasanya
hanya sebagai tanaman hias;

Kacang tanah, yaitu tanaman yang hidup di daerah daratan, ditanam untuk
dikonsumsi atau dijual;

Pisang, merupakan tanaman yang tumbuh di daerah daratan, ditanam untuk


dikonsumsi atau dijual;

Kina, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah daratan, terutama di hutan, bisa
dipergunakan sebagai tanaman obat dan kayu bakar;

Pohpohan, yaitu tanaman yang tumbuh secara liar di hutan, biasanya bisa
dimakan sebagai lalapan;

Jagung, yaitu tanaman yang dibudidayakan, ditanam di kebun, biasanya


dipergunakan untuk dikonsumsi dan dijual;

Babakoan, yaitu tanaman yang tumbuh di pinggir pantai secara liar, dapat
dipergunakan untuk obat luka atau sebagai tanaman yang dapat menahan
abrasi air laut;

Kacang hijau, yaitu tanaman budi daya yang ditanam untuk dikonsumsi dan
dijual> Tanaman ini hidup di daerah daratan, di kebun;

Bakung, yaitu tanaman yang hidup di pinggir pantai sebagai tanaman hias,
atau sebagai penahan abrasi air laut. Tanaman ini biasanya tumbuh secara liar;

Pandan laut, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah pantai berguna untuk
menahan abrasi air laut atau dijadikan bahan dasar untuk anyam-anyaman.
Tanaman ini tumbuh secara bebas atau dibudidayakan;
19

Rasamala, yaitu tanaman yang tumbuh di hutan, dapat dipergunakan sebagai


bahan bangunan, atau pucuk daunnya bisa dikonsumsi sebagai lalapan;

Putat, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah daratan, daunnya dapat dimakan
sebagai lalap;

Teh, yaitu tanaman yang dibudidayakan bahkan dikelola langsung oleh


perhutani, sebagai perusahaan milik negara. Daun teh digunakan sebagai
bahan untuk minuman. Tanaman ini tumbuh di daerah dataran tinggi;

Gandaria, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah daratan, buahnya dapat


dipergunakan sebagai bahan untuk membuat sambal;

Bunut, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah daratan, daunnya dapat dimakan
sebagai lalap;

Karet, yaitu tanaman yang tumbuh di hutan, biasanya dibudidayakan sebagai


tanaman yang diambil getahnya untuk bahan dasar pembuat karet;

Kelapa, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah pantai maupun dataran tinggi,
lebih subur ditanam di pantai. Buah kelapa biasa digunakan sebagai bahan
makanan, bumbu, dan bahan untuk membuat gula. Daunnya digunakan untuk
membuat janur dan bungkus ketupat. Batangnya digunakan sebagai bahan
bangunan.

Cengkeh, yaitu tanaman yang dibudidayakan, di tanam di daerah daratan.


Tanaman ini dapat digunakan sebagai bahan pembuat rokok, bumbu, dan obat;

Kawung pohon enau, yaitu tanaman yang hidup di daerah daratan, dapat
digunakan sebagai bahan dasar pembuat gula (dari air niranya), aci
(pohonnya), dan manisan (berupa buahnya);

Mahoni, yaitu tanaman yang tumbuh di hutan, dapat dipergunakan sebagai


bahan bangunan dan kayu bakar;

Pala, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah daratan, dapat dipergunakan


sebagai bumbu, obat, makanan, dan minuman;

Kopi, yaitu tanaman yang tumbuh di daerah daratan, dapat dipergunakan


sebagai bahan dasar untuk membuat minuman;

20

Rumput jajangkang, yaitu tanaman yang tumbuh di sekitar pantai, tumbuh


secara liar.

c. Pengetahuan tentang Dunia Fauna


Masyarakat di Kecamatan Cidaun Cianjur Selatan memiliki
pengetahuan lokal mengenai dunia fauna (hewan), baik hewan yang hidup di air,
darat, maupun udara yang ada di sekeliling mereka. Sistem pengetahuan lokal
tentang pengetahuan dunia fauna yang diketahui oleh masyarakat di daerah
Kabupaten Cianjur, baik masyarakat nelayan maupun masyarakat petani, adalah
sebagai berikut.

Hayam pelung, yaitu hewan yang dilindungi oleh pemerintah melalui Perbup,
karena merupakan hewan khas yang ada di Cianjur, dapat digunakan sebagai
hobi sebab suaranya sangat nyaring dan dapat juga untuk dikonsumsi atau
dijual, hidup di darat dan telah dibudidayakan oleh masyarakat, banyak
terdapat di Kecamatan Warungkondang;

Surili, sama halnya dengan hayam pelung merupakan hewan khas Kabupaten
Cianjur yang dilindungi melalui Perbup, hidup liar di darat, di hutan-hutan;

Kambing atau domba, yaitu hewan yang hidup di darat biasanya dipelihara
oleh masyarakat sebagai hewan ternak untuk dikonsumsi atau dijual;

Kerbau, adalah hewan yang biasa hidup di darat, bisa dipergunakan untuk
membajak sawah atau pun dikonsumsi, biasanya dipelihara oleh masyarakat;

Itik, yaitu hewan yang diternak oleh masyarakat untuk dikonsumsi atau dijual,
hidup di air dan darat, bahkan telurnya bisa dikonsumsi;

Kelinci, yaitu hewan yang diternak oleh masyarakat, hidup di darat, biasanya
untuk dikonsumsi atau dijual;

Ayam, yaitu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat, hidup di darat,
dapat digunakan untuk dikonsumsi dan dijual bahkan telurnya dapat
dikonsumsi;

Angsa, yaitu hewan yang hidup di darat dan air, dipelihara oleh masyarakat,
daging dan telurnya dapat dikonsumsi dan dijual;
21

Anjing, yaitu hewan yang hidup di darat, ada yang dipelihara ada juga yang
hidup secara bebas/ liar, bisa digunakan untuk menjaga keamanan;

Lubang, yaitu salah satu jenis ikan yang hidup di sungai secara bebas,
biasanya dipancing oleh masyarakat untuk dikonsumsi;

Ikan soro, yaitu salah satu jenis ikan yang hidup di sungai secara bebas namun
ada yang sudah dibudidayakan, dapat digunakan untuk dikonsumsi dan dijual;

Ikan impun, adalah ikan khas yang terdapat di Pantai Apra, hidup dari laut
menuju ke muara, ini ada setiap tanggal 25 bulan hijriah, masyarakat
berbondong-bondong menangkapnya dengan cara disirib atau disair,
sebelumnya selalu diadakan upacara tradisional yang disebut nyalawena,
hasilnya untuk dikonsumsi, dijual, bahkan dibuat makanan tradisional
bernama Jalangkring (dendeng ikan impun). Selain itu, ada juga ikan impun
yang hidup di air tawar, ini biasanya hidup secara bebas, ditangkap
masyarakat untuk dikonsumsi;

Genggehek atau ikan tagih atau gurame, yaitu salah satu ikan yang hidup di
sungai hidup bebas dipancing untuk dikonsumsi, namun ada juga yang telah
dibudidayakan untuk dikonsumsi dan dijual;

Ikan nila, adalah salah satu jenis ikan yang hidup di sungai, ada yang hidup
bebas ada juga yang sudah dibudidayakan untuk dikonsumsi dan dijual;

Lele, adalah salah satu jenis ikan yang hidup di sungai secara bebas, biasanya
dipancing masyarakat untuk dikonsumsi, namun ada juga yang telah
dibudidayakan untuk dikonsumsi dan dijual;

Beunteur, yaitu salah satu jenis ikan kecil, banyak hidup di sungai secara
bebas, biasanya dipancing masyarakat untuk dikonsumsi;

Kehkel, yaitu salah satu jenis ikan yang hidup di sungai secara bebas, biasanya
dipancing masyarakat untuk dikonsumsi;

Kuda, adalah hewan yang hidup di darat, biasanya diternak oleh masyarakat
untuk dijadikan alat transportasi;

22

Udang, yaitu salah satu jenis ikan yang hidup di sungai dan di laut secara
bebas, biasanya ditangkap masyarakat untuk dikonsumsi, namun ada juga
udang yang telah dibudidayakan untuk dikonsumsi dan dijual;

Sapi, yaitu hewan yang dipelihara masyarakat hidup di darat, banyak


digunakan untuk membajak sawah, daging dan susunya banyak dikonsumsi
dan dijual;

Burung, adalah hewan yang hidup di udara secara bebas, namun ada juga yang
dipelihara sebagai hobi, selain itu, beberapa jenis burung dapat juga ditangkap
untuk dikonsumsi dagingnya;

Paus, adalah hewan yang hidup di laut secara bebas, ditangkap oleh nelayan
untuk dikonsumsi dan dijual;

Lumba-lumba, adalah hewan yang hidup di laut secara bebas, menurut


kepercayaan hewan ini tidak boleh ditangkap ataupun dikonsumsi karena
beranggapan bahwa ikan lumba-lumba adalah ikan penolong di tengah laut.

d. Pengetahuan tentang Alam Gaib


Sistem pengetahuan lokal tentang alam gaib yang berkembang di
masyarakat Kabupaten Cianjur adalah sebuah pengetahuan mengenai adanya
alam-alam gaib yang dipercaya keberadaannya oleh masyarakat. Pengetahuan ini
dapat terlihat dari beberapa kepercayaan bahwa di setiap tempat ada penghuninya,
seperti di antaranya, sebagai berikut.

Alam jin, merupakan alam gaib yang sangat dipercaya keberadaannya,


penghuninya adalah jin, jurig, ririwa, setan, dan kunti. Alam ini dapat
menimbulkan rasa takut kepada manusia yang tidak teguh keimanannya,
bahkan sering digunakan untuk hal yang negatif seperti santet dan pelet,
digunakan untuk membunuh orang atau memikat orang, diperoleh dengan cara
bertapa atau berguru;

Negara di bawah laut, merupakan alam yang dipercaya keberadaannya,


bahkan membentuk sebuah kerajaan di bawah laut, berada di Laut Selatan
yang dipimpin oleh seorang ratu, yaitu Ratu Laut Pantai Selatan, Nyai Ratu
23

Roro Kidul. Negara di bawah laut ini dihuni juga oleh bangsa-bangsa jin dan
ponggawa-ponggawa dari kerajaan Nyai Roro Kidul. Dengan adanya
kepercayaan ini, masyarakat yang berada di sekitar pantai Selatan setiap
tahunnya selalu mengadakan upacara ritual persembahan kepadanya;

Penghuni Gunung Gede yaitu Raden Suryakancana dan penghuninya, Raden


Suryakancana adalah anak Aria Wiratanu I, Dalem Cikundul, yang
berketurunan jin, beliau sampai ke Gunung Gede karena melihat ibunya
seorang buta ketika mau khitan, topan yang ditimbulkan oleh amarah ibunya
menerbangkannya dan jatuh di Gunung Gede. Masyarakat mempercayai
keberadaannya, terutama masyarakat di sekitar Makam Keramat Dalem
Cikundul, apalagi ketika Suryakancana datang ke Cikundul selalu ada
kejadian hujan yang dibarengi dengan angin yang sangat besar sejalur dengan
jalan yang dilewatinya;

e. Pengetahuan tentang Lingkungan Hidup


Masyarakat Kecamatan Cidaun memiliki pengetahan lokal mengenai
lingkungan hidup yang terkait dengan kejadian-kejadian alam yang kerap mereka
hadapi. Bencana alam seperti longsor, banjir, dan gempa bumi

yang kerap

melanda lingkungan hidup mereka, telah membentuk suatu sistem pengetahuan


mengenai lingkungan. Pengetahuan lokal mengenai lingkungan hidup yang
diketahui masyarakat Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut:

Longsor, merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi melanda
daerah Cidaun. Tercatat sejak tahun 2001 2005 bencana longsor telah terjadi
berulangkali di daerah ini. Bencana ini disebabkan oleh keadaan alam di
kawasan ini yang labil. Akibat dari longsor ini menimbulkan kerusakan,
rumah warga hancur, dan korban jiwa. Upaya untuk mengatasi hal ini dengan
cara reboisasi atau penghijauan terhadap lahan-lahan yang telah gundul.

Gempa, merupakan bencana alam yang disebabkan oleh alam sendiri, pernah
terjadi pada tahun 2006 yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, harta
benda, dan korban jiwa. Bencana seperti ini tidak dapat diprediksi terjadinya,

24

bisa kapan saja, masyarakat hanya bisa waspada seandainya sewaktu-waktu


bisa terjadi.

Banjir, bencana alam yang diakibatkan oleh kelalaian manusia, menebang


hutan sembarangan, membuang sampah tidak pada tempat yang seharusnya,
dan sebagainya. Banjir di di daerah Cidaun terjadi hampir setiap tahun, di
antaranya pada tahun 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, dan 2006, biasanya
terjadi pada musim penghujan. Bencana ini telah mengakibatkan kerusakan
lingkungan, harta benda, bahkan korban jiwa.
Dengan banyaknya terjadi bencana di Kecamatan Cidaun, Kabupaten

Cianjur, pemerintah dan pihak-pihak lainnya terus berusaha untuk mewaspadai,


mengurangi, bahkan menghindari agar bencana tersebut tidak sering terjadi, atau
mengurangi dari risiko yang ditimbulkannya. Program-program pemerintah yang
telah diusahakan selama ini di antaranya:

Prokasih (Program Kali Bersih), yaitu usaha pemerintah untuk mengurangi


kerusakan lingkungan sungai dengan cara memberikan himbauan-himbauan,
berupa aturan, seperti tidak membuang limbah ke sungai, setiap rumah tangga
sebaiknya mempunyai septic tank, dan setiap kegiatan industri besar/kecil
harus memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Mitra Cai, yaitu sebuah program yang
dijalankan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur yang bekerja sama dengan
para petani untuk (a) mengelola air dan jaringan irigasi di dalam peta tersier,
(b) melakukan perbaikan, pembangunan, dan pemeliharaan jaringan tersier,
atau jaringan irigasi pedesaan, (c) menentukan dan mengatur iuran dari para
anggota yang berupa uang, hasil panen, dan tenaga, dan (d) membimbing dan
mengawasi para anggotanya agar memenuhi semua peraturan yang berlaku.

Rakgantrang,

yaitu

sebuah

program

pemerintah

untuk

melestarikan

lingkungan dengan cara melakukan penanaman tanaman turi di pinggirpinggir jalan. Program ini pernah dilakukan pada tahun 1997 di beberapa
daerah di Ciandjur Selatan, antara lain di Kecamatan Sindangbarang.
Selain usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
memelihara dan melestarikan lingkungan seperti yang telah disebutkan di atas,
25

ada juga usaha yang dilakukan oleh masyarakat setempat berupa usaha secara adat
dan budaya, misalnya (1) ada yang disebut dengan babad astana, yaitu usaha
memelihara dan melestarikan lingkungan di sekitar makam keramat Dalem
Cikundul, dan (2) beberesih cikahuripan membersihkan air mata Cikahuripan,
yaitu tradisi yang dilakukan oleh keluarga juru kunci Cikahuripan untuk
membersihkan sumber mata air, dengan cara membersihkan rumput dan lumpur di
sekitar sumber mata air.

Pada kelompok masyarakat sederhana atau masyarakat di daerah pedesaan,


sistem mata pencaharian hidup warganya relatif bersifat homogen.
Sistem mata pencaharian hidup terkait erat dengan kondisi lingkungan di
mana seseorang atau suatu kelompok masyarakat itu tinggal. Masyarakat yang
tinggal di daerah pesisir pantai misalnya, akan memilih mata pencaharian sebagai
nelayan. Sebaliknya, penduduk di daerah pedalaman akan memilih mata
pencaharian sebagai petani.

26

Anda mungkin juga menyukai