Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia sebagai masyarakat pendukung, pemelihara, pengembang, akan mewariskan


kebudayaannya kepada setiap generasi-generasi selanjutnya di manapun manusia tersebut
berada. Kumpulan manusia sebagai kelompok masyarakat membuat aturan atau norma bagi
proses interaksi di antara sesama manusia, akhirnya mereka tidak dapat melepaskan diri dari
aturan-aturan yang dibuatnya sehingga aturan tersebut sebagai ciri tata kehidupan manusia.
Hal ini secara ekstrim disebut Cultural Determinism : dimana kebudayaan bersifat
superorganik, walaupun kebudayaan ciptaan manusia termasuk yang ada di dalam
masyarakat berada, namun tidak sedikit cara berfikir, bersikap, dan berperilaku ditentukan
atau dipengaruhi oleh kebudayaannya. Peran kebudayaan seperti ini tidak hanya berlaku
pada generasi tertentu melainkan secara turun temurun setiap generasi.

Manusia sebagai spesies homo sapiens merupakan bagian dari lingkungan alam.
Pernyataan ini tidak mengurangi kaunikan manusia, walaupun telah diuji secara faktual
bahwa selain manusia terdapat juga bentuk-bentuk kehidupan lain yang mirip. Manusia
secara alamiah tumbuh menjadi dewasa, menua dan akhirnya mati, di sisi lain spesies
manusia juga terpisah dari alam (a part of nature but is also a part nature). Melalui olah
pikirnya, manusia mampu memahami dirinya sendiri dan keterpisahannya dari alam, ia pun
menyadari bahwa ia memiliki kehidupan yang tidak serupa dengan dunia binatang, malahan
manusia secara mandiri terus menerus memperkaya diri dengan sejumlah pengalaman yang
ditampung ke dalam pengetahuan. Manusia bekerja secara konsisten, dan pikirannya
senantiasa dilengkapi dengan berbagai imajinasi.

Manusia berasosiasi ke dalam kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas, serta


menciptakan simbol-simbol yang mereka rangkaikan satu sama lain, sehingga menjadi sistem
bahasa. Melalui bantuan bentuk-bentuk simbol tersebut, maka manusia mampu membangun
kebudayaannya.

Sejak dahulu hubungan kebudayaan dengan alam, telah menarik perhatian para filsafat,
selanjutnya dimunculkan kembali oleh para ahli geografi dan science lain, karena manusia
memiliki suatu kekuatan untuk menguasai alam lewat pengembangan teknologinya.
Sementara itu, manusia selalu tidak puas dengan apa yang telah dimilikinya, ingin
memberikan yang lebih berarti keberadaan dirinya. Tidak jarang untuk merealisasikan
semuanya, membuat semakin meluas kerusakan berbagai proses dan fenomena dimuka bumi.
Kebudayaan, secara keseluruhan merupakan pengalaman hasil belajar. Manusia mampu
beradaptasi dengan suhu di daerah gurun yang panas dan di daerah tundra yang dingin,
mereka juga mengolah tanah pertanian dan menyelenggarakan kehidupan kota,, melakukan
penerbangan keluar angkasa bahkan mendaratkan pesawatnya ke bulan, serta
mengeksplorasikan kedalamansamudra, dan sebagainya. Sehingga kehidupannya selalu
digunakan untuk berhubungan dengan lingkungan sekotarnya.

Melalui konsep ekologi kebudayaan (cultural ecology), ahli geografi telah lama tertarik
pada proses kerjasama amtara pola-pola aktivitas manusia dengan lingkungan di mana
keduamya berada. Di masa lampau, para ahli geografi menggunakan konsep lingkungan.
Awalnya mereka mengartikan lingkungan sebagai kemasaan unsur-unsur fisikal semata:
namun, sekarang terbiasa memberikan arti luas yang tidak hanya unsur fisik saja melainkan
unsur manusia dan budayanya turut berperan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Sampailah mereka pada pengertian bahwa, lingkungan sebagai suatu keseluruhan dari semua
kekuatan di alam ini, yang di dalamnya semua bentuk kehidupan berinteraksi. Lingkungan
dirumuskan sebagai himpunan atau agresi dari keseluruhan kondisi eksternal dan pengaruh-
pengaruh sentuhan kehidupan serta perkembangan dari suatuorganisme.

Kondisi-kondisi eksternal yang dimaksud tadi, adalah segala sesuatu di luar kemasan
unsur-unsur fisikal, misalnya perluasan kota, sistem sosial politik, masyarakat, dan obyek-
obyek lainnya serta faset-faset dari keinventifan manusia; pendeknya merupakan kreativitas
dan pengalaman kebudayaan.

Lingkungan alam sebagai lingkungan geografis ikut mempengaruhi kegiatan manusia


termasuk masyarakat atau suku bangsa yang terdapat di suatu wilayah Indonesia, sebagai
akibat interaksi dengan lingkungannya. Walaupun kebudayaan tergantung pada manusia atau
masyarakat sebagai pendukung kebudayaan itu, tetapi lingkungan geografis akan turut
berperan dalam memberikan kemungkinan bagi masyarakat untuk memilih kebudayaannya.
Walaupun demikian, tetap saja mereka harus beradaptasi dengan lingkungan, sehingga wujud
kebudayaan yang dihasilkan masyarakat akan mengacu pada lingkungannya. Sebagai contoh
bahwa kebudayaan yang ada di berbagai belahan bumi ini termasuk daerah-daerah yang ada
di kepulauan Indonesia, seperti kelompok masyarakat bangsa di Pulau Sumatera atau Pulau
Kalimantan yang berada di tengah hutan cenderung membuat rumah dari bahan-bahan kayu
yang tersedia di sekitarnya, hal ini tentu akan berbeda bagi mereka yang berada di wilayah
pegunungan atau bukit kapur, tentu mereka akan membuat rumah tembok atau dari baru.
Begitu pula bentuk rumah tersebut disesuaikan dengan keadaan lingkungannya., apakah harus
sejajar dengan tanah atau rumahnya diatas tanah (panggung). Dengan demikian, bahwa
lingkungan geografis dalam mempengaruhi kebudayaan sifatnya terbatas, sehingga akan sulit
dalam menjawab keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat melalui faktor
lingkungan saja.
Melihat hubungan antara masyarakat dengan lingkungannya terdapat dua pendekatan
yaitu pendekatan antropogeografi atau fisis determinis dan pendekatan possibilis. Kedua
pendekatan ini satu sama lain saling bertentangan dalam membentuk kebudayaan, dimana
pendekatan fisis determinis menyatakan bahwa kebudayaan terbentuk sebagai hasil dari
lingkungan alam, sedangkan pendekatan possibilis menyatakan bahwa alam hanya memberi
kemungkinan saja sedangkan manusia itu sendiri yang memilih kebudayaannya.

1.2. Tujuan

¤ Dapat menyadari dan memahami peranan mahluk hidup secara timbal balik dengan
lingkungannya.

¤ Dapat memahami segala usaha untuk merubah lingkungan dengan tujuan


meningkatkan kesejahteraan diikuti dengan hal-hal yang negative.

¤ Dapat lebih mengetahui bahwa kehidupan manusia sangat ditentukan oleh keadaan
lingkungan.

¤ Dapat sadar bahwa pelestarian lingkungan merupakan usaha yang sangat penting dan
merupakan usaha yang harus selalu ditingkatkan pembinaannya.

¤ Dapat mengetauhi dan menghargai kebudayaan masyarakat Indonesia salah satunya


kebudayaan suku baduy.
TINJAUWAN PUSTAKA

Definisi masyarakat oleh para ahli

1. Mac Iver dan Page

Suatu sistim dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerjasama antara berbagai
keluarga dan pengolongan dari berbagai pengawasan tingkah laku serta kebebasan-
kebebasan manusia.

2. Selo Sumarjan

Orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.

Kebudayaan berasal dari kata sangsekerta buddhaya yang merupakan bentuk jamak
dari kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan
sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal

Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua


hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau jasmaniah (material culture) yang diperlukan manusia untuk
menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan pada keperluan
masyarakat.

Kebudayaan & masyarakat sekelompok besar rakyat yang menghasilkan karya,


cipta dan rasa dari kehidupan bersama.

Pentingnya kontak dan komonikasi bagi terwujudnya interaksi sosial, dapat teruji
terhadap suatu kehidupan yang terasing yang sempurna yang ditandai dengan suatu ketidak
mampuan untuk mengadakan interaksi sosial dengan pihak-pihak lain. Sudah tentu seseorang
yang hidup terasing sama sekali, dapat melakukan tindakan-tindakan, misalnya terhadap
tampa alam sekitarnya, akan tetapi hal itu takkan memdapatka apa-apa.

Pada beberapa suku bangsa di Indonesia yang tetutup atau terasing dan kurang
mengadakan hubungan dengan dunia luar, agak sulit juga untuk mengadakan interksi sosial.
Hal ini, antara lain, disebabkan oleh karena adanya suatu prasaka buruk terhadap warga-
warga suku bangsa lain, dan juga terhadap pengaruh-pengaruh yang masuk dari luar, yang
dikhawatirkan akan dapat merusak norma-norma yang tradisionil. Atas dasar prasangka
demikian, sulit untuk mengadakan interaksi sosial, oleh karena komunikasi tak dapat
berlangsung dengan baik.
Masyarakat Baduy di Desa Kanekes adalah masyarakat yang memegang tegus adat
istiadat atau tradisi Baduy, adapun ketaatan terhadap adat ditentukan oleh tempat berkiman
mereka. Organisasi sosial masyarakat Baduy mempunyai kesatuan dalam tiga kelompok
kekerabatan berdasarkan tempat bermukin, yaitu orang Tangtu yang bermukim di mampun
Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik, mereka ini sebagai pemegang adat Baduy, yang ikatan
adanya sangat ketat. Orang Penamping Baduy Tangtu, mereka memiliki ikatan adat yang
lebih longgar. Dalam hal ini Garna (1992 : 4) menjelaskan :

Pembagian ini memotong seluruh masyarakat Baduy dalam dua paroh


masyarakat, Tangtu dan Penamping menentukan posisinya yang tertentu
dalam suatu kesatuan masyarakat Baduy. Secara operasional pajaroan
yang melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pikukuh atau adat
istiadat Baduy, Tangtu telu (tiga Tangtu atau tiga Puun) mengangkat
’tanggungan jaro dua welas’, yang membawahi dua belas jaro di wilayah
Kanekes dan Dangka, enklaf Baduy di luar Kanekes.

Untuk memahami masyarakat Baduy secara utuh diperlukan ketekunan, seperti yang
dikemukaan Garna (1987 : 17) yang memperjelas latar belakang masalah yang diajukan,

Kehidupan orang Baduy berkemungkinan merupakan mistri kehidupan


yang tak kunjung padam sebagai sumber pemahaman tentang hakekat
budaya nenek moyang Indonesia khususnya dan tentang ketahanan sistem
sosial budaya setempat terhadap penetrasi unsur-unsur budaya ...

Oleh karena itu mereka berusaha untuk menjaga pikukuh yang dianutnya, agar unsur-unsur
budaya luar dapat ditahan atau mungkin sama sekali jangan sampai masuk, karena akan
menggangu tatanan yang telah mapan. Begitu pula halnya dengan keseimbangan hidup
mereka sampai saat ini dapat menunjang unsur-unsur kehidupan, sehingga tidak sampai
terjadi penurunan kualitas lingkungan yang menyebabkan menurun pula kualitas hidup dari
yang telah ada.
PERMASALAHAN

Di depan gerbang milenium ketiga sekarang ini, dunia tengah berada dalam
gelombang perubahan maha dahsyat. Banyak bangsa, termasuk Indonesia, gonjang-ganjing
dilanda krisis multidimensional; sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan krisis eksistensial.
Masyarakat dunia tengah bergolak, sebelum menemukan bentuk dan tatanannya yang baru di
awal tahun 2000-an yang akan segera tiba.Namun, di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi
damar, Kabupaten Lebak, hanya sekitar 100 kilometer disebelah tenggara Jakarta, Ibu Kota
republik ini, yang dikunjungi akhir Maret 1999, suara hiruk-pikuk dangetaran perubahan
besar itu sama sekali tak terasa.Desa di balik bukit-bukit pegunungan Kendeng di Banten
Selatan itu, masih saja seperti yang dulu. Suku Baduy,penghuni kampung-kampung di
Kanekes, sejak ratusan tahun lalu memang dikenal tak pernah mau tahu denganapa pun yang
terjadi di luar batas desanya. Perubahan, reformasi, apalagi revolusi, tak ada dalam kamus
masyarakat manusia yang terdiri dari sekitar 7.000 kepala itu. Jangankan mengubah tatanan
sosial,ekonomi, atau politik. Bagi orang Baduy, cara berbusana saja pantang diganti-ganti.
Sejak zaman kakek moyang dress code mereka tetap sama; baju pangsi dan kain-kebaya
putih-putih untuk laki-laki dan perempuan Baduy Dalam. Baju pangsi hitam-hitam dan
kebaya hitam atau biru tua bagi wargaBaduy Luar. Aturan soal penutup badan ini baru satu
dari sekian ribu aturan adat yang bersumber pada ajaran agama Sunda Wiwitan,agama arkais
yang masih dipeluk orang Baduy sampai detik ini. Pemasalahan apakah masyarakat baduy
mampu mempertahankan budayanya ditengah modernnisasi saat ini ?.
PEMBAHASAN

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat
tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kevamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak. Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai
Ciujung di Pegunungan Kendeng Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat
ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten. Masyarakat baduy
yang menempati areal 5.108 ha (desa terluas di Provinsi Banten) ini mengasingkan diri dari
dunia luar dan dengan sengaja menolak (tidak terpengaruh) oleh masyarakat lainnya, dengan
cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Penembahan Arca Domas) dan keramat.
Masyarakat baduy merupakan suku asli Banten yang masih menjaga anti modernisasi Dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti
kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara
mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan
tangan khas baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan
berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu.
Masyarakat suku baduy menolak teknologi modern apapun termasuk televisi, radio, listrik
dan lainnya.
Suku baduy tidak mengenal strata sosial apalagi kesenjangan sosial, mereka hidup
secara gotong royong dan tidak ada keserakahan yang terjadi diantara mereka. Banyak sekali
larangan yang diatur dalam hukum adat mereka. Seperti larangan anak –anak tidak boleh
bersekolah, tidak boleh memelihara ternak berkaki empat, tidak boleh bepergian
menggunakan kendaraan, tidak boleh menggunakan peralatan elektronik, tidak boleh
membangun rumah menggunakan paku dan besi, tidak boleh bersuami atau beristri lebih dari
satu. Dilarang keras memakai produk yang mengandung zat kimia seperti sabun, pasta gigi,
shampo, deterjen dan produk lain yang dapat mencemari lingkungan.
Masyarakat baduy bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diaturoleh hukum
adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan
berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun. Puun bertugas sebagai pengendali hukum
adat dan tatanan hidup masyarakat yangdalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh
beberapa tokoh adat lainnya. Sebagian orang yang tidak tahan dengan segala aturan yang
ditetapkan hukum adat, keluar dari komunitas baduy (baduy Dalam) dan membentuk
komunitas baru yaitu baduy Luar, dengan aturan adat yang lebih longgar. Sebagai tanda setia
kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun suku yang berjumlah 7.512 jiwa dan tersebar
dalam 67 kampung ini mengadakan upacara Seba kepada "Bapak Gede" (Panggilan Kepada
Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar. Dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Lebak
ingin membangun kawasan baduy dan menjadikan baduy menjadi obyek wisata, bagi
masyarakat baduy merupakan acaman kelestarian nilai-nilai adat leluhur.
4.1. Gambaran Umum Masyarakat baduy
` Masyarakat baduy bertempat tinggal di Wilayah Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Daerah Tinggkat II Lebak. Wilayah Kanekes, dijadikan desa
definitive dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat tanggal
10 April 1986 Nomor : 140/Kep.526-Pemdes/86 dengan luas desa : 5010 Ha dan
penduduk sebanyak 3954 dengan 1.168 Kepala Keluarga.
Masyaraka baduy terdiri atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
¤ Masyarakat baduy Dalam yang mendiami kampung Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo.
¤ Masyarakat baduy Luar yang mendiami kampung-kampung atau babakan :
1. Kampung Kaduketug;
2. Kampung Kadujangkung;
3. Kampung Cihulu;
4. Kampung Karahkal;
5. Kampung Kaduketer;
6. Kampung Cikadu;
7. Kampung Leuwibuleud;
8. Kampung Gajeboh;
9. Kampung Cipaler;
10. Kampung Cipiit;
11. Kampung Cikopeng;
12. Kampung Cibongkok;
13. Kampung Cicatang;
14. Kampung Cisagu;
15. Kampung Cicakal Girang;
16. Kampung Batu Beulah;
17. Kampung Bojongpaok;
18. Kampung Cangkudu;
19. Kampung Cijamantri;
20. Kampung Cisadane;
21. Kampung Cibogo;
22. Kampung Pamoean;
23. Kampung Batara;
24. Kampung Cisaban;
25. Kampung Kadukohok;
26. Kampung Sarkokod;
27. Kampung Nagreg;
28. Babakan Cibogo;
29. Babakan Kaduketug;
30. Babakan Cikadu;
31. Babakan Cisagu I;
32. Babakan Cisagu II;
33. Babakan Cangkudu;
34. Babakan Bojongpaok;
35. Babakan Cijamantri;
36. Babakan Batara.
Antara masyarakat baduy Dalam dan baduy Luar tidak terdapat perbedaan yang prinsip,
dan perbedaan hanya tampak antara lain :
¤ Cara berpakaian Orang baduy Dalam berpakaian putih-putih dengan ikat kepala putih
sedang orang baduy Luar berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala biru.
¤ Masyarakat baduy Dalam masih teguh memegang Adat Istiadat mereka.
a. Adat Istiadat dan Kebudayaan Masyarakat baduy Setiap Kampung yang ada di baduy
Dalam (Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo) dipimpin oleh seorang “Puun” yang oleh
masyarakat baduy selain dianggap sebagai pemimpin masyarakat juga dianggap sebagai
ketua yang dipilih bedasarkan keturunan dari segi kekerabatannya Puun (Ketua Adat)
Cibeo. Hubungan antara orang baduy Dalam dengan orang baduy Luar selain diikat oleh
hubungan adat, juga hubungan yang bersifat formal. Orang baduy Luarlah yang menjadi
penghubung masyarakat baduy dengan masyarakat luar. Dengan demikian daerah baduy
luar merupakan daerah penyaring berbagai pengaruh dari luar sebelum masuk ke baduy
Dalam dan hal ini terlihat dimana semua orang asing tidak boleh masuk ke wilayah baduy
Dalam, mereka hanya diperbolehkan sampai di wilayah baduy Luar saja. Untuk
kepentingan hubungan dengan luar, termasuk hubungan dengan urusan pemerintahan
formal, maka orang baduy Luarlah yang ditunjuk untuk dijadikan Kepala Desa. Kepala
Desa yang disebut Jaro (Jaro Pamarentah) ditunjuk dan ditentukan oleh Puun (Ketua
Adat). Kepala Desa (Jaro Pamarentah) bertugas untuk menampung dan menyempaikan
segala perintah yang diperintahkan pemerintah sejauh tidak bertentangan dengan adat.
Hubungan diantara sesama masyarakat baduy itu sendiri berparas pada adat yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka dan dipatuhi baik oleh masyarakat baduy Dalam
maupun oleh masyarakat baduy Luar.
Didalam Adat istiadat masyarakat baduy terdapat beberapa pantangan/tabu (buyut)
untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Keseluruhan pantangan/tabu (buyut) itu mengatur
hubungan-hubungan perilaku orang baduy baik secara perorangan, hubungan dengan
kelompok masyarakatnya maupun dengan lingkungan alamnya yang dianggap sebagai
tanah titipan dari nenek moyangnya. Pesan nenek moyang yang dititipkan kepada Puun
(Ketua Adat) harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh semua orang baduy, sebab
pelanggaran terhadap pantangan/tabu (buyut) atas pesan tersebut dapat mengakibatkan
berbagai hal yang merugikan. Keseluruhan pantangan/tabu (buyut) itu merupakan
pedoman tingkah laku dan pedoman hidup yang tercakup dalam ungkapan yang walaupun
tidak tertulis, tetapi ditaati dan dapat dijelmakan dalam perilaku sehari-hari setiap
orangbaduy, baik diantara mereka sendiri maupun bila berhubungan dengan orang luar
masyarakatnya. Ketaatan orang baduy akan adat dari nenek moyangnya itu dimanifasikan
dalam ungkapan “teu wasa”.
b. Agama dan Kepercayaan Masyarakat baduy Orang baduy menyebut agama Yang
dianutnya adalah Agama Sunda Wuwitan (Agama Sunda Pertama) atau Agama Islam
Sunda atau disebut juga Agama Nabi Adam. Dengan agamanya itu orang baduy
mengakui akan adanya Tuhan yang Maha Esa yang disebut “Batara Tunggal”, mengakui
akan Nabi Adam, Nabi Muhammad dan Syahadat Agama Islam. Agama Sunda Wiwitan
mengajarkan bahwa kedudukan manusia itu telah ditentukan kedudukannya dan telah
ditentukan pula tempatnya masing-masing.Oleh karena itu manusia harus menerima
kodratnya masing-masing dan menempati tempat yang sudah ditentukan sebagaimana
seharusnya. Manusia hidup di dunia ini tidak boleh berlebihan mencari kesenangan,
cukup menerima yang sudah ada saja. yang dituju di dalam hidup adalah kebajikan dan
kebaikan. Kebajikan tersebut dapat dicapai dengan jalan mentaati ketentuan-ketentuan
yang sudah dikodratkan dan mentaati segala ketentuan yang diberikan kepada kita
masing-masing. Sebab jika tidak demikian, berarti hidup itu tidak baik, sehingga akan
dirasakan sebagai siksaan atau neraka dengan segala siksanya. Hidup menurut ketentuan
atau kodrat, berarti hidup apa adanya, hidup sederhana dengan segala kesenangan dan
kesederhanaannya merupakan dasar yang kuat dalammemandang apa yang seharusnya
alam berikan kepada manusia. Hidup demikian berarti (narimakeun kana kadar)
menerima yangmemang sudah ditentukan dan jauh dari hawa nafsu. Hidup narimakeun
(hidup menerima) apa yang sudah menjadi bagiannya membuat “teu wasa” (tidak berani)
untuk berbuat atau hidup dari ketentuan tersebut. Walaupun masyarakat baduy pada
umumnya mengaku menganut agama “Sunda Wiwitan”, akan tetapi mereka menganut
Agama Islam.
c. Bebarapa adat istiadat yang perlu dibina dan dikembangkan. Adat istiadat yang dianut dan
dimiliki oleh masyarakat baduy, baik baduy Dalam maupun baduy luar cukup banyak,
akan tetapi ada beberapa diantaranya yang peru dibina dan dikembangkan, karena
mempunyai nilai positif dan bermanfaat dalam rangka menunjang pelaksanaan
pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan, yaitu antara lain :
¤ Upacara Seba (Persembahan Hasil Bumi).
Upacara ini berupa persembahan hasil bumi dari masyarakat baduy kepada
Pemerintah/Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lebak satu tahun sekali. Upacara Seba
ini juga merupakan forum komunikasi yang formal antara masyarakat baduy dengan
Pemerintah Daerah. Dalam Upacara Seba ini masyarakat baduy menyampaikan
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat baduy yang pemecahannya
memerlukan campur tangan Pemerintah. Demikian pula Pemerintah dalam
kesempatan ini dapat menyampaikan program-program Pemerintah agar diketahui
oleh masyarakat baduy.
¤ Sistem perkawinan.
Sistem perkawinan pada masyarakat baduy adalah sistem perkawinan Monogami.
Seorang laki-laki baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan
Poligami merupakan suatu hal yang “buyut” (tabu). Sistem perkawinan Monogami itu
sejalan dengan Azas Perkawinan kita diatur dalam Undang-undang Nomor : 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, sehingga adat istiadat perkawinan masyarakat baduy
yangbersifat Monogami ini perlu dibina dan dilestarikan.
¤ Sistem Pengendalian diri dan lingkungan.
Untuk pengendalian diri dan lingkungan masyarakat baduy mempunyai adat istiadat
yang menjadi pegangan hidup bagi masyarakat baduy dan “tabu” (pantang) untuk
dilanggar. Larangan atau pantangan ini merupakan sistem pengandalian diri dan
lingkungan, agar masyarakat baduy dapat hidup dengan harmonis, baik dalam
pergaulannya dengan masyarakat baduy itu sendiri, dengan masyarakat luar baduyatau
dengan lingkungan alam dimana mereka bertempat tinggal. Puun sebaga Ketua Adat
masyarakat baduy merupakan seorang yang dititipi atau ditugasi untuk memelihara
“buyut/tabu” dari ketentuan adat yangberlaku. “Buyut” atau pantangan bagi
masyarakat baduy tersebut tersiar dalam pepatah sebagai berikut :
- Buyut nu dititipkeun ka Puun
- Gunung teu beunang dilebur
- Lebak teu beunang dirakrak
- Larangan teu benang dirempak
- Buyut teu beunang diroban
- Nu ulah kudu diulahkeun
- Nu enya kudu dienyakeun
- Ngala kudu menta
- Nyaur kudu diukur
- Nyabda kudu diunggang
- Ulah maling papanjingan
- Ulah jinah papacangan.
- Akibatra :
- Matak burung jadi ratu
- Matak edan jadi menak
- Matak pupul pangaruh
- Matak hambar komara
Artinya :
- Pantangan yang dititipkan kepada Puun
- Gunung tidak boleh digempur
- Lembah tidak boleh dirusak
- Pantangan tidak boleh dilanggar
- yangdilarang haruslah dilarang
- yang benar harus dibenarkan
- Mengambil harus minta
- Berkata harus diukur
- Berkata harus dipikirkan supaya tidak menyakitkan
- Jangan mencuri walaupun kekurangan
- Jangan berjinah dan berpacaran
- Akibatnya :
- Bisa gagal menjadi pimpinan
- Bisa gila menjadi pembesar
- Bisa hilang pengaruh
- Bisa hilang kewibawaan
Konservasi lahan bagi masyarakat Baduy merupakan suatu hal yang wajib untuk
dilaksanakan, sehingga senantiasa mereka menjaganya melalui larangan (buyut) agar tidak
terjadi kerusakan yang menyebabkan ketidak seimbangan, akhirnya akan merugikan mereka
sendiri. Usaha-usaha untuk melastarikan lingkungan, bagi orang Baduy sendiri mungkin saja
tidak disadarinya, tetapi mereka terus mempertahankannya, mereka berbuat demikian
disebabkan oleh ketaatan terhadap pikukuh yang sangat kuat, dengan adanya ketaatan
terhadap larangan (buyut) merupakan bukti bahwa masyarakat Baduy adalah masyarakat
yang memegang teguh tradisi yang dimilikinya dan merupakan warisan dari nenek moyang /
leluhur (karuhun) yang harus dipertahankan.

Bertani adalah mata pencarian utama masyarakat Baduy di desa Kanekes, tetapi dalam
mengelolah lahan / tanah mereka tetap memegang aturan-aturan yang telah digariskan oleh
pikukuhnya, yaitu tanah tidak boleh dicangkul sehingga erosi di setiap lahan pertanian orang
Baduy relatif dapat dihindarkan atau kecil sekali. Begitu pula untuk melindungi tata air,
kebersiahn dan kelestarian dari adanya pencemaran sungai, pembuatan rumah, penempatan
lumbung padi, semuanya berintegritasi secara fungsional dalam kehidupan mereka yang
hidup berdasarkan pikukuh aturan adat. Dengan demikian ekosistem masyarakat Baduy di
desa Kenekes menurut Resosoedarmo (1985 : 15) terdapat suatu keseimbangan yang
dinamakan ’homeostatis’ yaitu kemampuan ekosistem untuk menaham berbagai perubahan
dalam sistem secara keseluruhan
4.2. Kebijakan Pemerintah
Jika pembangunan mensyaratkan adanya perubahan nilai-nilai budaya dan perilaku
warganya, seperti teori Everett E Hagen dalam On the Theory of Social Change: How
Economic Growth Begins, secara teoretis seharusnya tidak sulit melaksanakan pembangunan
di kawasan baduy. Ini karena, meski aturan-aturan adat berusaha dipertahankan, nilai budaya
dan perilaku sebagian warga baduy telah berubah. Namun dalam praktik di lapangan tidak
sesuai dengan teori diatas kertas. Banyak tawaran pembangunan dari Pemerintah Kabupaten
Lebak ditolak masyarakat baduy karena dianggap bertentangan dengan adat istiadat setempat.
Masyarakat baduy pernah beberapa kali ditawari pembangunan jalan dari Desa
Ciboleger hingga Kampung Cibeo, tapi Puun (ketua adat dan agama baduy Dalam) menolak
karena dianggap tidak sesuai ada. Tidak hanya itu, setiap tahun mereka juga ditawari
berbagai program pembangunan di baduy, seperti sekolah, balai pengobatan, listrik masuk
desa, hingga penyediaan mesin tenun. Namun, Lembaga Adat baduy tetap menolak berbagai
tawaran program pembangunan itu. Walaupun telah dilakukan pembicaraan di antara tiga
Puun di Kampung Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, serta tujuh jaro (kepala kampung) di
baduy Dalam dan baduy Luar telah memutuskan untuk menolak seluruh penawaran.
Alasannya sangat mendasar, yaitu pembangunan tidak sesuai dengan adat baduy. Selain itu,
Pemerintah Kabupaten Lebak telah menetapkan baduy sebagai kawasan obyek wisata. Oleh
karena itu, pemerintah telah menambah sarana penunjang obyek wisata baduy. Salah satunya
dengan membuka terminal baru di desa Bon Cau dan Parigi di Kecamatan Bojongmanik.
Bahkan, pemerintah telah berencana memberi izin kepada investor untuk membangun tempat
wisata alam yang dilengkapi penginapan di kawasan Bojongmenteng, Kecamatan
Leuwidamar, yang berbatasan langsung dengan tanah ulaya baduy.
4.3. Sikap Rasional Pemerintah
Dengan adanya pembangunan jembatan dan jalan yang menghubungkan desa Cibolerke
Kampung Cibeo diharapkan dapat memperlancar transportasi bagi baduy, khususnya baduy
Dalam untuk menjual hasil buminya. Pembangunan sekolah juga diharapkan dapat
meningkatkan pendidikan bagi masyarakat baduy, mengingat masyarakat tersebut belum
mengenal huruf. Demikian juga sarana listrik dan mesin tenun untuk peningkatan produksi
kain tenun, yangmerupakan komoditi unggulan daerah tersebut. Beberapa pembangunan bagi
masyarakat baduy dapat meningkatkan ekonomi masyarakat baduy agar tidak terbelakang.
Masyarakat baduy dapat berkomunikasi dengan dunia luar, tanpa harus menghilangkan nilai-
nilai budaya leluhur. Dengan ditetapkannya baduy sebagai obyek wisata, maka diharapkan
banyak wisatawan baik mancanegara maupun domestik, sehingga meningkatkan pendapatan
Pemerintah Kabupaten Lebak. Disamping itu bagi masyarakat baduy sendiri, dapat
menambah pendapatan dengan menyewakan penginapan, menjual kebutuhan sehari-hari atau
hasil tenunan bagi wisatawan sebagai cinderamata.
4.4. Sikap Rasional Masyarakat Baduy
Adat masyarakat baduy, terutama baduy Dalam, berupa hukum-hukum adat yang bersifat
mengikat. Segala hal yang dilarang adat, walau tidak secara tertulis, tidak dapat ditentang.
Pelanggaran terhadap aturan-aturan adat itu dipercaya akan membawa bencana. Masyarakat
menolak pembangunan puskesmas di baduy karena mereka punya cara pengobatan tersendiri
sejak dulu. Penolakan serupa juga dilontarkan ketika mereka ditawari sistem pertanian
baruyangyang dapat menghasilkan panen dua kali setahun. Warga baduy telah mempunyai
sistem dan cara pertanian sendiri. Dengan sistem pertanian yang menghasilkan panen satu
kali dalam setahun, mereka percaya mampu memanen gabah yang baik dan tahan disimpan di
lumbung hingga 100 tahun. Sehingga di masyarakat baduy tidak pernah mengalami kelaparan
ataupun busung lapar. Kalau pertanian dipaksakan menggunakan pupuk supaya bisa panen
dua kali setahun, kualitas padinya malah jadi menurun. Masyarakat baduy, khususnya baduy
Dalam, menggantungkan hidupnya pada pertanian tradisional. Mereka menanam padi dan
palawija di ladang tadah hujan (huma). Sesuai adat, pengolahan pertaniannya tidak boleh
menggunakan alat-alat berat, seperti cangkul dan bajak. Mereka juga tidak diperbolehkan
membelokkan air untuk pengairan huma. Padi yang dipanen selama satu tahun sekali ini
disimpan dalam lumbung (leuit). Padi yang disimpan dalam lumbung khas baduy bisa
bertahan hingga puluhan tahun. Padi tersebut, sesuai adat, tidak boleh dijual. Selain menjadi
petani, masyarakat baduy juga menjual hasil tanaman lain, seperti pisang, mentimun, durian,
kacang panjang, kacang tanah, kunir, jahe, dan kencur. Hasil bumi ini dijual ke pasar
tradisional terdekat, antara lain di Ciboleger, Karoya, atau Rangkasbitung. Selain itu apabila
kawasan baduy dijadikan obyek wisata, maka nilai-nilai budaya masyarakat baduy akan
tercemar. Masyarakatbaduyjuga tidak mau dijadikan tontonan bagi wisatawan. Ketentraman
dan kedamaian masyarakat baduy tidak mau terusik dengan kedatangan tamu asing,
yanghanya akan mengotori nilai-nilai budaya. Selama ini baduy hanya dijadikan obyek untuk
mendulang pendapatan asli daerah. Retribusi masuk tamu asing hanya dinikmati oleh
pemerintah setempat, sedangkan masyarakatbaduytidak pernah dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan yang menyangkut wilayahnya sendiri. Sebagai reaksi keras terhadap kebijakan
pemerintah, maka masyarakat baduy (terutama baduy Dalam) melarang orang luar masuk ke
dalam lingkungan atau daerah baduy Dalam, kecuali untuk berziarah atau untuk kepentingan
penelitian. Bagi yang masuk lingkungan baduy dilarang membawa peralatan atau produk-
produk yang berbau teknologi seperti kamera, radio, handphone, sabun, sampho dan lain-lain.
Masyarakat baduy juga melarang masuk tamu dari asing (Non WNI). Masyarakat baduy
(terutama baduy Dalam) tidak menjual hasil buminya keluar dari kawasan baduy.
4.5. Tindakan Pemerintah atas Reaksi Masyarakat Baduy
Akibat penolakan itu, pembangunan fisik hanya bisa dilakukan di luar wilayah baduy.
Kampung Ciboleger, desa Bojongmenteng, pintu masuk utama menuju kampung terdekat
pedalaman baduy, merupakan lokasi terdekat yang dapat dijangkau oleh program-program
pembangunan pemerintah. Di kampung tersebut sudah berdiri sekolah dasar, puskesmas,
perpustakaan desa, dan sarana infrastruktur lainnya. Kios-kios penjual kerajinan khas baduy
juga semakin marak. Roda perekonomian desa, berputar seiring makin banyaknya
pengunjung obyek wisata baduy. Pemerintah juga telah selesai membangun jalan aspal
yangmenghubungkan Kecamatan Leuwidamar dengan Kampung Cijahe, Kecamatan
Bojongmanik, untuk memperlancar transportasi. Pada tahun 2000-an, Pemerintah Kabupaten
Lebak juga telah membangun terminal kecil di Kampung Cijahe, pintu gerbang menuju
Kampung Cikeusik yang menjadi bagian dari wilayah baduy Dalam (baduy Kajeroan). Sejak
itu, sebagian kaum baduy keluar dari komunitas masyarakat baduy Dalam dan mulai banyak
yang berdagang, hal itu disebabkan makin tingginya kebutuhan hidup masyarakat baduy saat
ini. Arus perubahan tersebut semakin deras pada era otonomi daerah ketika Pemerintah
Kabupaten Lebak menggalakkan wisata di kawasan baduy. Perubahan yang paling terasa
adalah makanan. Dulu tidak ada mi instant atau ikan asin. Sekarang masyarakat baduy
mengenal makanan tersebut dan menyukainya. Akibatnya, untuk dapat membeli makanan itu
harus punya penghasilan tambahan. Larangan berdagang menjadi sebagian kaum baduy
memutuskan keluar dari wilayah baduy Dalam. Setelah tinggal di baduy Luar dengan aturan
adat yang lebih longgar, ia harus berpikir dan bekerja lebih keras untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan hidup yang makin tinggi. Pada era otonomi daerah, Desa Kenekes ditetapkan
sebagai tanah hak ulayat, seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten
Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat baduy.
Dengan tanah hak ulayat seluas 5.136,58 hektar, masyarakat baduy mendapat kewenangan
untuk mengelola sendiri kawasan adat tersebut. Produk hukum Pemkab Lebak lainnya yang
terkait dengan masyarakat baduy adalah Perda Nomor 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Lebak, Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002
tentang Penetapan Batas-batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat baduy di Desa Kanekes
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Masyarakat baduy merupakan salah satu suku yang dianggap terbelakang bagi
pemerintah Kabupaten Lebak Banten. Sejak lama pemerintah ingin melakukan perubahan
ekonomi terhadap masyarakat tersebut.
Pemerintah mempunyai kebijakan untuk melakukan pembangunan modernisasi seperti
halnya daerah-daerah lainnya, sekaligus menjadikan baduy sebagai obyek wisata.
Sikap rasional pemerintah adalah apabila daerah tersebut dibangun sarana dan prasarana
di bidang pendidikan, kesehatan dan teknologi maka akan meningkatkan taraf hidup dan
ekonomi masyarakat baduy. Dengan dijadikannya sebagai obyek wisata, selain meningkatkan
pendapatan asli daerah juga akan menambah pendapatan masyarakat baduy.
Sikap rasional bagi masyarakat baduy adalah apabila pembangunan dibiarkan di daerah
baduy, maka akan menyalahi aturan adat. Tanpa campur tangan pemerintahpun masyarakat
baduy mampu memenuhi kebutuhan sendiri baik pangan, papan, maupun sandang, dan
selama ini tidak pernah ada kelaparan di masyarakat baduy. Apalagi dengan dijadikannya
sebagai obyek wisata, masyarakat baduy akan tercemar nilai-nilai adat dan budayanya.
Sikap rasional baduy ini ditandai dengan tindakan melarang orang luar masuk ke dalam
komunitasnya, terutama orang asing (Non WNI) kecuali untuk berziarah atau penelitian dan
melarang membawa peralatan yangberbau teknologi apabila masuk ke daerah lingkungan
baduy. Masyarakatbaduytidak menjual hasil produksinya keluar daerah baduy.
Menanggapi sikap masyarakat baduy, maka pemerintah hanya melakukan
pembangunan di pinggiran wilayah baduy. Pembangunan tersebut sangat dinikmati oleh
baduy Luar, yaitu sekelompok kaum baduy yang sudah keluar dari komonitas baduy. Dengan
adanya Perda Kabupaten Lebak, maka masyarakat baduy dapat mengelola kawasannya
sendiri
Karena kemajuan komunikasi dan kemudahan transportasi yang menghubungkan
wilayah baduy dengan masyarakat luar, baik masyarakat dari Kabupaten Lebak itu sendiri
maupun masyarakat dari luar Kabupaten Lebak, maka tidak menutup kemungkinan akan
terjadi pengaruh dari adanya komunikasi tersebut diatas terhadap adat istiadat masyarakat
baduy.
Maka agar adat istiadat masyarakat baduy, terutama yang bernilai positif bagi
pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan tetap lestari, bahkan dapat dikembangkan,
sudah selayaknya Pemerintah Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak mengadakan
pembinaan, sehingga pengaruh dari luar yang bersifat merusak nilai-nilai positif adat istiadat
masyarakat baduy dapat dicegah, sedangkan pengaruh-pengaruh dari luar yang besifat positif
dapat diterima dan dikembangkan.
5.2. Saran
Kebudayaan masyarakat baduy merupakan kebudayaan yang khas oleh karena itu,
pemerintah harus memperhatikan Kebudayaan masyarakat baduy agar kebudayaan mereka
tetap lestari.
Sebaiknya pemerintah daerah kabupaten Lebak tetap memberikan kebebasan bagi suku
baduy untuk mengatur masyarakatnya dengan kebudayaan asli mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. Manusia Dan Beberapa Kebudayaan Di Indonesia. Djakarta : Penerbit


Djambatan, 1971
Selo Soemarjan-Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Sosiologi. Djakarta : Yayasan Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964.
Soekarto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali, 1985
Website
Http://pskmp.site88.net/tugas/ep_nini_m1.pdf. Minggu 05 April 2009, 15.40
Hhtp://.sukubaduy.wordpress.com/ - 18kmacsman. Minggu 05 April 2009 15.30.
Hhtp;//wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes - 37kongserang.Minggu 05 April 2009, 15.50
Hhtp;//.wordpress.com/2008/10/16/suku-baduy-banten/d. Minggu, 05 April 2009, 16.00
Htp;//wordpress.com/2007/06/20/baduy-buka. Minggu, 05 April 2009 16.00
http://www.bappenas.go.id/pesisir/document/Perda%20Kab.%20Lebak%20No.%2013%20Ta
hun%201990.pdf. Minggu, 05 April 2009, 16.10.

Anda mungkin juga menyukai