Anda di halaman 1dari 16

BAHAN AJAR

BUDAYA LAHAN KERING DAN KEPULAUAN

TIM PENYUSUN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
KUPANG
2021
BUDAYA MASYARAKAT LAHAN KERING

1. Pengertian Budaya dan Kebudayaan


Dalam kehidupan sehari-hari, dikenal istilah kebudayaan. Juga dalam kehidupan sehari-
hari, orang selalu berurusan dengana hasil-hasil kebudayaan. Kata budaya berasal dari
bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi dan
daya. Buddhi memiliki arti budi atau akal atau akal pikiran. Sedangkan “daya”
mempunyai arti usaha atau ikhtiar. Dalam bahasa Inggris, budaya dikenal dengan istilah
“culture” atau budaya, yang sebenarnya berasal dari kata latin “colere”, artinya mengolah
atau mengerjakan tanah (bertani). Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi, yang disebut superorganik.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri dengan cara
belajar.
Dikenal ada 2 (dua) istilah yaitu budaya lokal dan budaya nasional. Budaya lokal, adalah
suatu budaya yang perkembangannya terjadi di daerah-daerah dan merupakan milik suku
bangsa. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multikultural dalam suku bangsa
dan budaya. Sedangkan budaya nasional yaitu suatu kebudayaan yang terbentuk dari
keseluruhan budaya lokal yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan
merupakan hasil serapan dari unsur-unsur budaya asing atau global. Kebudayaan nasional
berfungsi sebagai kontinuitas sejak zaman kejayaan bangsa Indonesia pada masa lampau
sampai kebudayaan nasional masa kini. Wujud budaya suatu bangsa dapat berupa:
(1) Wujud abstrak, berupa Sistem Gagasan. Budaya dalam bentuk ini bersifat
abstrak, artinya tidak dapat diraba karena ada dalam pikiran tiap anggota masyarakat
penganut budaya yang bersangkutan. Gagasan itulah yang akhirnya menghasilkan
berbagai karya manusia berdasarkan nilai-nilai dan cara berfikir serta perilaku mereka.
(2) Bentuk tindakan, Budaya dalam bentuk tindakan bersifat kongkret yang
dapat dilihat. Contoh: cara petani mengolah lahan ladang dan sawah, cara beternak.
(3) Bentuk hasil karya, Budaya dalam bentuk hasil karya bersifat kongkret
sehingga bisa dilihat dan diraba. Contoh: pengrajin tenun ikat menghasilkan kain dengan
berbagai motif (flora, fauna dan manusia), berbagai peralatan seperi peralatan
dapur dan peralatan untuk bertani, beternak, berburu, menangkap ikan, dll.

Wujud budaya suatu bangsa juga dapat berupa:


(1) Cara berahasa.
(2) Cara berakaian.
(3) Peralatan hidup.
Selo Sumarjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya,
rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan pengetahuan, teknologi serta
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh
manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar potensi dan hasilnya dapat diperuntukkan bagi
kelangsungan hidup masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah
dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan antara lain
agama, ideologi, kebatinan dan semua unsur yang merupakan ekspresi jiwa manusia yang hidup
sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental dan berpikir orangorang yang
hidup bermasyarakat, hasilnya antara lain berupa filsafat dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan
sebagai suatu sistem pengetahuan manusia dapat digolong-golongkan dalamkompleks
pengetahuan yang khusus yang dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan tertentu dalam kehidupan
manusia sebagai pendukung suatu kebudayaan tertentu. Pengetahuan yang kompleks bagi
kegiatan tertentu tersebut dikenal dengan “pranata-pranata kebudayaan”. Secara operasional,
pranata-pranata kebudayaan terwujud sebagai seperangkat aturan-aturan yang mengatur
kedudukan-kedudukan , peranan-peranan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat yang
terwujud dalam bentuk lembaga-lembaga dan organisasi sosial sebagi wadah bagi kegiatanarga
masyarakat bersangkutan. Misalnya lembaga Subak di Bali yang mengatur pembagian air untuk
sistem pengairan sawah, dan lembaga ..... di Rote Ndao. Sebagai suatu sistem pengetahuan, pola
dan corak suatu kebudayaan ditentukan oleh:
(1) Keadaan lingkungan, dan
(2) Kebutuhan dasar utama dari para pendukung kebudayaan tersebut.
Dengan demikian, setiap masyarakat akan memiliki kebudayaannya sendiri-sendiri sesuai
dengan kondisi lingkungan hidup sebagai tempat mereka bermukim dan bertempat tinggal untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Suatu kebudayaa dengan semua pranatanya dapat saja berubah
bahkan selalu berubah secara dinamis karena tidak ada kebudayaan yang sifatnya statis dan
tertutup. Perubahan kebudayaan dapat terjadi karena faktor internal dan external. Menurut para
ahli, lingkungan hidup suatu masyarakat merupakan faktor yang menentukan dalam
perkembangan kebudayaan. Etnografi adalah suatu studi yang mempelajari dan menjelaskan
tentang kebudayaan suatu masyarakat tertentu dengan tujuan untuk menemukenali dan
melukiskan bagaimana masyarakat menanggulangi masalah-masalah dalam lingkungan hidupnya
serta menggali pranata-pranata sosial-ekonomi manakah yang dimiliki oleh warga masyarakat
dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan dasar utama manusia (basic human needs), juga
bagaimanakah mekanisme perubahan yang mengatur pemanfaatan pengelolaan sumberdaya alam
(SDA) maupun sumberdaya sosialnya. Secara teoritis, pemenuhan kebutuhan dasar utama itu
terdiri dari:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar bilologis meliputi sandang, pangan, papan, reproduksi,
kesehatan, dan mempertahankan diri.
b. Pemenuhan kebutuhan sosial meliputi kebutuhan akan hidup bersama untuk mencapai
tujuan bersama dan individu, pembentukan komuniti, dan kelompok sosial serta berbagai
keteraturan sosial.
c. Pemenuhan kebutuhan integratif atau kejiwaan meliputi kebutuhan aan etika dan moral,
rasa keindahan dan sebagainya.
Menurut Charles Erasmus, bahwa setiap pribadi pada hakekatnya terdapat 2 (dua) unsur penting
yaitu motif dan daya indra. Daya indra bersifat aktif yang diperoleh secara berulang dari
pengalaman masa lalunya. Perpaduan motif dan daya indra akan menghasilkan keinginan dan
keinginan inilah yang akan menjadi perilaku. Perubahan pengalaman seseorang akan memberi
peluang perubahan keinginannya. Dengan demikian pengalaman masa lampau secara berulang
adalah salah satu unsur penting pemberi corak budaya yang berupa ide (gagasan, perilaku dan
hasil perilaku). Apabila dikaitkan dengan pengalaman masa lampau yang berulang tersebut maka
untuk wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah berkaitan pula dengan kondisi lingkungan
lahan kering, topografi berombak, berbukit dan bergunung serta berbagai ancaman berulang
masa lampau yang menghantui kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian kondisi
lingkungan lahan kering yang bercirikan kekeringan yang membawa risiko kegagalan panen,
harus selalu diperhitungkan oleh masyarakat NTT dalam kehidupan sehari-harinya. Kenyataan
inilah yang dialami secara berulang dan membentuk daya indra serta persepsi dan pola pikir
masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku, sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat lahan kering.

2. Corak Lahan Kering Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Pengaruhnya terhadap Budaya
Lahan Kering

Istilah lahan kering secara umum selalu diakaitkan dengan lahan tanpa pengairan. Dalam
pengertian ini, di Indonesia terdapat area lahan kering yang luas baik di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Suawesi, Maluku dan Papua. Namun lahan kering dalam pengertian tersebut secara
klimatologis berada di zone agroklimat basah. Dalam kaitan lahan kering pada materi kuliah ini,
batasan lahan kering yang dimaksudkan adalah lahan tanpa pengairan di area yang tidak pernah
jenuh oleh air secara permanen sepanjang musim (Widyatmika, 1987). Daerah demikian pada
umumnya terdapat pada daerah yang curah hujannya relatif rendah. Daerah dengan curah hujan
relatif rendah pada umumnya merupakan daerah yang secara klimatologis termasuk daerah Arid
dan Semi Arid.

Daerah Semi Arid didefinisikan dengan berbagai cara. Salah satunya dikembangkan oleh
Thornthwite (1948) yang mendasarkan atas hubungan antara rata-rata bulan hujan dan potensi
evapotranspirasi. Definisi lain dikembangkan oleh de Martonine yang didasarkan atas nilai
Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah yang nilai Indeks Ariditasnya
jatuh antara 10 - 20 (Finkel, 1986). Menurut kriteria Ferguson bulan basah = CH-nya < 60
mm/bulan dan bulan kering = CH-nya > 100 mm/bulan. Selanjutnya suatu daerah disebut kering
apabila memiliki tipe CH D, E dan F dengan 4,5 – 7,9 bulan kering. Sedangkan menurut
klasifikasi Oldeman (bulan kering = CH-nya < 100 mm/bulan). Menurut Tholl (1966 dalam
Ruthenberg, 1980), salah satu unsur Curah Hujan (CH) yang dipakai untuk klasifikasi agroklimat
di daerah tropik adalah CH bulanan, dimana CH bulanan > dari 200 mm/bulan disebut bulan
basah. Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan basah dalam setahun, daerah tropik dapat
dibagi menjadi 4 (empat) zone agroklimat yaitu:
a. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 9 bulan.
b. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 7 – 9 bulan
c. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 4,5 - 7 bulan
d. Daerah beriklim setengah kering, dengan bulan basah > 2 – 4,5 bulan.
e. Daerah beriklim kering, dengan bulan basah < 2 bulan.
Daerah NTT sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi Arid, karena
terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara klimatologis menurut
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60 % daratan di NTT bertipe iklim E, 30 % nya F dan 10
%nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman, 62,6 % dari total
wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4 dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri (1972 dalam
Widyatmika, 1987) berpendapat bahwa NTT termasuk wilayah beriklim kering (Arid) atau semi
kering (Semi Arid) dan vegetasinya cenderung didominasi oleh savana dan stepa.

Dalam Benu dan Nuningsih (2001) ditulis bahwa Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan
yang terdiri atas 75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT seluas 47.349,90 km2 , terdiri dari
566 buah pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni. Secara morfologis
topografis, 73,13 % wilayah daratan bergunung dan berbukit, yang dengan kemiringan 15 %- 40
% seluas 38,07 % dan dengan kemiringan > 40 % seluas 35,46 %; dengan variasi ketinggian
tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Menurut laporan CIDA (1976) dari total luas
wilayah NTT, ada 66,4 % (3.227.660 ha) yang memiliki kemiringan tajam sehingga tidak cocok
diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan pertanian sekitar 1.637.000 ha (34 % dari luas
wilayah), 92 %nya adalah lahan kering.

Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah NTT adalah
didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar di Timor Barat,
Sumba, Alor, Sabu dan Flores.
Kondisi klimatologis dan geografis tersebut sangat memberi warna pada pola kehidupan dan
perilaku bagi masyarakatnya terutama pada aktivitas pertanian dan peternakan sebagai mata
pencaharian sebagian besar penduduknya. Salah satu ciri pembatas kehidupan usahatani di lahan
kering adalah kekeringan yang berdampak pada risiko kegagalan panen yang besar antara lain
untuk tanaman pakan ternak (berbagai rumput-rumputan) dan tanaman pangan setahun (padi dan
palawija). Selain itu, keringnya rerumputan dan tanaman semak menyebabkan rawan api.
Kebakaran sebagai akibat baik ketidak sengajaan maupun kegiatan pembersihan dalam membuka
ladang baru atau untuk menumbuhkan rumput muda dan berburu sering ditemui. 5 Lahan kering
beriklim kering dengan topografi berombak dan bergunung berdampak pada budaya masyarakat
NTT yang meliputi pola pikir, perilaku dan hasil perilaku masyarakatnya. Dengan kata lain,
berdasarkan lingkungan hidup yang khusus, masyarakat NTT adalah masyarakat lahan kering.
Masyarakat lahan kering di wilayah beriklim kering ini memiliki ciri-ciri sosial budaya yang
membedakan dirinya baik dari masyarakat yang hidup di lahan basah ataupun lahan kering di
wilayah beriklim basah.

3. Keterkaitan Budaya Masyarakat Lahan Kering dengan Sistem Mata Pencaharian

Budaya masyarakat NTT adalah budaya masyarakat yang bertumpu pada pertanian
(Widyatmika, 1987). Menurut Nordholdt (1969), antara agama (kepercayaan) dan sistem
pertanian serta sistem politik pada masyarakat Atoni (Timor) ada saling keterkaitan yang erat.

Mata pencaharian hidup yang paling utama dari masyarakat lahan kering di NTT adalah bertani.
Dalam kehidupan bertani, terdapat 2 (dua) sumber kehidupan yakni usaha tani lahan kering dan
beternak. Selain bertani dan berternak, masyarakat yang tingggal di pantai memiliki mata
pencaharian menangkap ikan di laut dan mencari biota laut yang bisa dikonsumsi (ikan, kerang,
keong, kepiting, dan rumput laut) di laut sepanjang pesisir pantai pada saat makameting (air laut
surut).

Kehidupan usaha tani lahan kering adalah berupa perladangan berpindah, berkebun (untuk
tanaman keras atau tanaman tahunan) dan pemanfaatan lahan pekarangan. Lahan untuk
perladangan ada 2 (dua) jenis yakni ladang baru yaitu yang baru dibuka dengan membabat semak
belukardan hutan desa kemudian membersihkan dengan cara membakar, dan ladang lama yaitu
yang sudah diusahakan beberapa tahun. Dalam mengusahakan perladangan, setelah ladang
diusahakan beberapa tahun, kemudian tidak diusahakan (bero) selama beberapa musim tanam
karena kesuburan tanahnya menurun.

Lahan pekarangan dimanfaatkan untuk memelihara ternak sedang (babi dan kambing) serta
ternak kecil (ayam dan itik) serta berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultuta serta pakan
ternak. Jenis-jenis tanaman pangan yang diusahakan di ladang dan pekarangan adalah padi
ladang, jagung, sorghum, jewawut, ketela pohon, ubi jalar, kacang nasi, kacang hijau, kacang
kayu, kacang tanah, talas, pisang, mangga, jambu, pepaya dll. Jenis-jenis tanaman yang
diusahakan di kebun yaitu pinang, kelapa, kemiri,

Di lahan kering beriklim kering, kendala utama adalah penyediaan pakan untuk ruminansia dan
kurang bermutunya padang rumput pada musim kering. Terkait dengan kondisi fisik geografis di
NTT, ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) diusahakan secara ekstensif dengan cara
penggembalaan di padang. Kegiatan berburu dilakukan oleh penduduk khusus laki-laki secara
berkelompok dengan bantuan anjing dan hasilnya dibagi menurut peran masing-masing. Satwa
yang menjadi obyek berburu secara umum adalah rusa, babi hutan, kera, musang dan berbagai
jenis burung serta 6 itik liar. Di Pulau Sumba (khususnya di Dusun Dasa Elu, Dusun Konda dan
Dusun Maloba dulu dikenal sebagai pada perburuan kaum bangsawan Desa Konda Maloba
Kabupaten Sumba Tengah, dan kerbau liar pernah menjadi satwa yang menjadi obyek berburu
para tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat.. Namun sejak tahun 1993 kerbau-kerbau liar ini
tidak ada lagi karena berpindah dengan cara berenang melalui laut ke pantai Ti’das, akibat
kegiatan berburu dilakukan dengan senjata api. Hal menarik, penduduk memiliki pengetahuan
yang baik tentang perilaku satwa buruan dan mereka memiliki peralatan berburu seperti panah,
sumpit, tombak, ranjau dari bambu, serta anjing untuk mengejar dan menangkap hewan buruan.
buah-buahan dan berbagai pohon yang daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti
lamtoro, turi, dan gamal.

Di lahan kering beriklim kering, kendala utama adalah penyediaan pakan untuk ruminansia dan
kurang bermutunya padang rumput pada musim kering. Terkait dengan kondisi fisik geografis di
NTT, ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) diusahakan secara ekstensif dengan cara
penggembalaan di padang.

Kegiatan berburu dilakukan oleh penduduk khusus laki-laki secara berkelompok dengan bantuan
anjing dan hasilnya dibagi menurut peran masing-masing. Satwa yang menjadi obyek berburu
secara umum adalah rusa, babi hutan, kera, musang dan berbagai jenis burung serta 6 itik liar. Di
Pulau Sumba (khususnya di Dusun Dasa Elu, Dusun Konda dan Dusun Maloba dulu dikenal
sebagai pada perburuan kaum bangsawan Desa Konda Maloba Kabupaten Sumba Tengah, dan
kerbau liar pernah menjadi satwa yang menjadi obyek berburu para tokoh pemerintahan dan
tokoh masyarakat.. Namun sejak tahun 1993 kerbau-kerbau liar ini tidak ada lagi karena
berpindah dengan cara berenang melalui laut ke pantai Ti’das, akibat kegiatan berburu dilakukan
dengan senjata api. Hal menarik, penduduk memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku
satwa buruan dan mereka memiliki peralatan berburu seperti panah, sumpit, tombak, ranjau dari
bambu, serta anjing untuk mengejar dan menangkap hewan buruan.
Provinsi NTT memiliki jenis sumberdaya kelautan yaitu:
a. Sumber mineral berupa garam industri dan garam pangan, modul nikel dan mangan di
dasar laut.
b. Suberdaya hayati atas ikan, kerang mutiara alam dan budidaya di (Labuan Bajo, Alor dan
Kupang), rumput laut, udang, teripang dan ikan hias.
c. Suberdaya wisata bahari.
Jenis sumberdaya ikan yang potensial antara lain:
 Ikan Demersial
 Ikan Pelagis
 Ikan Tuna
 Ikan Cakalang
 Ikan Tongkol
 Ikan Tembang
 Ikan Kembung
 Udang barong prawn
 Udang (shrimp)
 Cumi
 Teripang
Rendahnya produksi ikan karena kualitas teknologi penangkapan ikan masih sederhana.

4. Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering


Pengetahuan adalah hasil pengalaman manusia yang diperoleh dari proses interaksi dengan
lingkungan. Intraksi manusia dengan lingkungan pada dasarnya didorongoleh hasrat untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic human needs). Semua pengalaman yang diperoleh manusia
sebagai hasil interaksi dengan lingkungan direkam dalam ingatan. Pengalaman yang baik dan
bermanfaat akan dipraktekkan dalam hidup secara berulang-ulang dan disebut sebagai kebiasaan-
kebiasaan. Sebaliknya pengalaman yang tidak mengenakkan atau merugikan yang dihindari
melahirkan konsep tabu atau pantangan atau dikenal dengan istilah pemali. Keseluruhan hasil
pengalaman apakah berupa kebiasaan dan pantangan disebut pengetahuan. Penggunaan
pengetahuan secara sistematis dan berulang-ulang disebut Ilmu Pengetahuan.

Dalam proses interaksi dengan lingkungan, manusia memperoleh pengetahuan tentang caracara
terbaik yang memudahkan dalam mencapai tujuan sehingga lahirlah teknologi atau pengetahuan
berupa alat-alat, bahan, dan cara serta pemakaiannya untuk mendapatkan efisiensi kerja.
Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, adalah berupa pengetahuan
sebatas lingkungan hidup atau kondisi fisik yang melingkupinya. Secara umum, pengetahuan
masyarakat terkait kegiatan pertanian secara lokal disesuaikan dengan kondisi SDA setempat,
oleh Warren disebut dengan suatu istilah yaitu indigenouse knowledge (pengetahuan dan
teknologi asli berupa kearifan budaya lokal) yang mengandung 2 (dua) aspek yaitu:
a. Tempat
b. Keaslian atau kedekatan dengan alam (belonging naturally).
Dipandang dari aspek sejarah dan dinamika pengetahuan, indigenouse knowledge oleh Louise
Gtenier dikatakan sebagai merupakan pengetahuan yang bersifat unik tradisional dan lokal yang
dikembangkan oleh masyarakat sesuai dengan lingkungannya dan memiliki dimensi biologi.
Dalam prakteknya sehari-hari, dapat berupa pola pikir tradisional dari berbagai kondisi lapangan
dengan ruang lingkup pertanian, peternakan, perikanan dsb. Dengan indigenouse knowledge,
manusia:
a. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam (SDA) untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya (basic human needs) agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
b. Dapat mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan:
 Ketahanan pangan (food security)
 Keselamatan ternak.
 Pengelolaan lingkungan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, risiko kegagalan panen dalam berusahatani diatasi dengan
menerapkan:
a. Usahatani ladang berpindah. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa suatu
lahan sudah bisa diusahakan kembali sangat bervariasi. Di Desa Parabubu (Therik, dkk,
1989) adalah dengan melihat keberadaan tai faka. Apabila ditemukan dalam jumlah
banyak, berarti tanahnya dinilai sudah kembali subur sehingga lahannya bisa diusahakan
kembali. Sedangkan petani di Timor, menggunakan indikator “ladang sudah masak”,
yaitu seluruh permukaan lahan sudah dipadati dengan rerumputan dan emak belukar.
b. Pola tanam campuran (mix croping), yaitu pada lahan yang sama diusahakan berbagai
jenis tanaman tanpa jarak tanam teratur. Beberapa jenis tanaman bahkan ditanam dalam
satu lubang yang sama (dikenal dengan istilah “salome” atau satu lubang ramerame.
Masyarakat mengetahui jenis-jenis tanaman yang dapat ditanam dalam satu lubang,
misalnya padi ladang dengan labu kuning (pumpin), sedangkan jagung dengan kacang
nasi dimana batang jagung sekaligus berfungsi sebagai ajir (tempat tanaman kacang nasi
merambat).
c. Penentuan saat tanam yang tepat dengan menggunakan indikator alam yaitu
ditemukannya tumbuhan berbiji kecil dan pipih telah tumbuh dalam populasi besar atau
permukaan air sumur sudah mencapai bibir sumur. Secara teoritis, “kebutuhan air untuk
waktu tanam” berkaitan erat dengan “Curah Hujan Efektif”, yaitu bagian dari CH yang
betul-betul masuk ke dalam tanah dan tinggal di daerah perakaran tanaman sehingga
dapat diambil oleh tanaman. Permulaan waktu tanam efektif atau CH Efektif yang juga
umum disepakati adalah: (i) hujan selama 19 hari berturut-turut dan setelah waktu
tersebut makaminimum sama dengan 20 mm, atau (ii) waktu hujan turun dan jumlahnya
telah mampu membasahi bagian yang berada pada 5 cm lapisan tanah paling atas sampai
berada pada keadaan kapasitas lapang.
d. Memprediksi munculnya serangan hama dan menggesr waktu tanam. Petani ternyata
memiliki pengetahuan bentuk dewasa (imago) hama tanaman dan jangka waktu bentuk
kupu-kupinya bertelur sampai menetas menjadi ulat. Misalnya ketika mereka melihat
jenis kupu-kupu tertentu yang menjadi imago hama ulat tentara atau dikenal sebagai ulat
“grayak’ (merupakan hama utama tanaman jagung) maka petani akan menggeser waktu
tanam untuk menghindarkan tanaman jagung yang baru tumbuh diserang oleh hama ulat
tentara.
e. Kalender musim atau pranoto mongso (istilah dalam bahasa Jawa yang telah populer),
yaitu pengalokasian waktu dalam satu tahun yang terdiri dari 12 bulan atau wula (dalam
bahasa Anakalang di Sumba Tengah). air, dan bulan. Masing-masing bulan ditandai
dengan gejala alam yang bisa berupa perilaku tumbuhan, satwa, angin, air, bintang dan
bulan.
Berdasarkan hasil penelitian Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing
Desa Konda Maloba Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Tengah (Gomang dkk., 1996)
ditemukan bahwa masyarakat petani setempat memiliki “kalender pertanian” unik yang
penerapannya adalah untuk mengantisipasi kegagalan panen karena merujuk pada indikator
alam. Dengan menggunakan indikator alam maka saat tanam relatif tepat waktu sehingga risiko
kegagalan panen dapat ditekan. Berikut ini adalah “kalender pertanian” yang diterapkan oleh
masyarakat Desa Konda Maloba dalam berusaha tani tanaman pangan:
Bulan 1 (Wula Hibu Mangata, bulan tumbuhan mangata berbunga), ditandai dengan tumbuhan
mangata berbunga secara serempak.
 Bulan terakhir petani menanam padi ladang. Kegiatan penanaman padi lewat
waktu tersebut diyakini tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Bulan 2 (Wula Laboya, bulan nyale terhempas di pantai Lamboya)
 Saat panen jagung.
 Saat awal tanam padi sawah.
Bulan 3 (Wula nyale bakul, bulan nyale banyak), ditandai dengan nyale (cacing laut) ditemukan
dalam jumlah besar di semua pantai yang berbatasan dengan Samudera Indonesia
 Saat paling baik untuk tanam padi sawah, sampai batas pertengahan bulan.,
 Saat panen nyale di pantai.
Bulan 4 (Wula nyali nibu, bulan ujung tombak), ditandai buah polong muda tumbuhan legum
padang muncul seperti ujung tombak.
 Saat karabuk (mencabut rumput) disusul penanaman ubi jalar di ladang bekas
padang rumput.
Bulan 5 (Wula ngura, bulan ubi muda), ditandai dengan ubi manusia mulai terbentuk.
 Saat tanam jagung yang ke-II.
Bulan 6 (Wula tua, bulan ubi tua), ditandai ubi manusia, biji legum dan padi telah tua.
 Saat panen padi sawah dan panen ubi di hutan dan ladang.
Bulan 7 (Wula Rigi Manu, bulan bulu sayap ayam merenggang), ditandai suhu udara paling
dingin dan pohon dadap mekar, ayam-ayam naik di pohon atau atap rumah dengan bulu ayam
merenggang.
 Saat membuka hutan untuk ladang dengan kegiatan tebas pohon dan semak.
Bulan 8 (Wula ba’da rara, bulan daun merah), ditandai saat pohon berdaun lebar (decidous tree)
mengugurkan daunnya.
 Saat paling tepat untuk mengolah/membalik tanah ladang.  Saat panen jagung
ke-II.
Bulan 9 (Wula dapa diha, bulan tidak masuk dalam hitungan dan dianggap bulan ”panas”),
ditandai dengan suhu yang sangat dingin.
 Pantang melakukan aktifitas apapun termasuk memberi nama anak, menguburkan
orang mati dan menikahkan anak.
Bulan 10 (Wula wadu kudu atau wula ti’dung, bulan angin kecil atau bulan berkedudukan di atas
kepala atau bulan berkedudukan di zenith), ditandai dengan cuaca sangat terik disertai angin
bertiup sangat lembut.
 Saat membakar ranting-ranting terakhir
 Diyakini bahwa sinar matahari mampu mensterilkan tanah
Bulan 11 (Wula wadu bakul, bulan angin besar), ditandai panas terik membakar bumi disertai
angin kencang yang berlangsung selama ½ bulan, dan setengah bulan berikutnya hujan mulai
jatuh ke bumi.
 Saat hujan turun, dimulai tanam jagung pertama.
Bulan 12 (Wula pahita, bulan pahit namun dianggap sebagai bulan ”suci”), ditandai dengan
hujan lebat dasertai angin dan babi hutan mulai membuat sarang di padang dari rumput kering.
10 Disebut bulan ”pahit” karena pada saat ini biasanya persediaan bahan pangan di lumbung
menipis atau habis untuk mendukung kegiatan kerja sawah, sebaliknya pekerjaan sawah sangat
menguras dana dan tenaga.
 Saat melakukan kegiatan sawah yang banyak menguras tenaga
 Meskipun babi hutan pada bulan ini dalam posisi lemah yaitu bersarang di bawah
tumpukan rumput kering di padang ssehingga mudah ditangkap, tapi di
”pemalikan” untuk ditangkap atau dibunuh. Barangsiapa yang membunuh babi
hutan pada kondisi “lemah” tersebut, dianggap laki-laki bermental “pengecut”.
KESIMPULAN:  Dalam berusahatani, masyarakat lokal memiliki kerarifan budaya lokal yaitu
selalu menjaga kelestarian SDA setempat ysng menjadi bagian dari lingkungan hidupnya. 
Kalender Pertanian tersebut merupakan rujukan yang relatif tepat dalam kegiatan pertanian yang
menjamin terhindarnya kegagalan panen akibat salah musim dalam memulai saat tanam, karena
masyarakat lokal melakukan aktifitas pertanian dengan menggunakan ecological indicator,
namun demikian masih perlu dikaji lebih lanjut untuk pembuktiannya.  Masyarakat lokal hanya
memanfaatkan sumebrdaya hayati (SDH) dalam jumlah secukupnya, tidak berlebihan meskipun
di alam tersedia dalam jumlah berlimpah. Misalnya

Contoh lain dari hasil penelitian di Desa Konda Maloba :


 Masyarakat Konda Maloba hanya mengambil ubi di hutan pada musim paceklik dalam
jumlah sebatas untuk kebutuhan selama masa menunggu saat panen.
 Sangat hati-hati menangani hasil panen dari sejak di lapangan sampai di lumbung, agar
tidak terbuang atau tercecer.
 Memiliki teknik pengolahan pengawetan bahan pangan hewani dan nabati dalam upaya
mengantisipasi kekurangan bahan pangan di musim paceklik. Misalnya pengawetan
daging untuk jangka waktu penyimpanan 2 tahun, pengolahan ikan untuk bumbu
masakan (mirip pembuatan terasi dengan teknik fermentasi), pengolahan ubi jalar dan ubi
kayu menjadi bahan pangan awetan.

Contoh dari hasil penelitian masyarakat terasing Desa Parabubu di Kabupaten Sikka
(Filemon da Lopez, Retno Nuningsih, Hendrikus Ataupah dan Tom Therik, 1997), petani
memiliki indigenouse knowledge antara lain:
 Memiliki varietas padi pare ampera yang tahan terhadap kendala angin kencang. Padi ini
ditanam di Detu Sokoria yang setiap musim tanam selalu mengalami kendala alam
berupa angin Barat Laut yang bertiup sangat kencang.
 Memiliki varietas padi pare wularua yang selalu ditanam dalam populasi sedikit bersama
padi lain (sebagai tanaman padi pokok di lahan sawah tahan hujan) karena memiliki
keunggulan yaitu berumur sangat genjah (2 bulan) sehingga mampu mengatasi kebutuhan
bahan pangan yang mulai menipis pada masa musim tanam (musim menunggu saat
panen), sekalipun produksinya rendah.
 Memiliki varietas jagung keo tobe yang ditanam di Detu Sokoria karena memiliki sifat
tahan rebah, bertongkol besar dan tahan dalam penyimpanan (sampai 2 tahun) tanpa
rusak.
 Mengenal dengan sangat baik kegunaan dari jenis-jenis tumbuhan tertentu baik untuk
obat, bahan pangan, pakan, ramuan rumah, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian,
dan kayu bakar.
 Mengenal dengan sangat baik lingkungan SDA pertanian (fisik dan hayati), sehingga bisa
menghindari kegagalan panen dengan menggeser waktu tanam.
 Menggunakan indikator alam untuk menentukan apakah suatu lahan sudah dapat
diusahakan kembali setelah diberakan (dalam sistem ladang berpindah) yaitu berupa
seberapa banyak tai faka (kotoran cacing) yang dapat ditemukan di atas suatu lahan.
Apabila di atas suatu lahan sudah ditemukan banyak tai faka maka berarti lahan tersebut
sudah dapat diusahakan kembali.
 Mengusahakan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan fisik setempat. Masyarakat
desa Parabubu memiliki koleksi benih dari 13 varietas padi dan 3 vareitas jagung.

Contoh dari hasil wawancara dengan petani disekitar Polen (TTS) :


 Memiliki teknologi pengolahan dan pengawetan hasil tanam (termasuk menghilangkan
racun dari bahan pangan) untuk tujuan food security di musim paceklik.
 Mereka menggunakan pupuk organik (kotoran sapi/kambing) dan daun-daun kering
untuk pupuk.
 Membersihkan lahan dengan cara membakar pada pagi hari atau malam saat tidak ada
angin, dan membuat sekat api (disebut sako) sekeliling ladang untuk mencegah api
merambat ke lahan yang lain.

Sumber Pustaka
1. Benu, A dan R. Nuningsih. 2001. Potensi Wilayah dan Masalah pembangunan Pertanian di
Wilayah Kering dan Sumberdaya Kelautan, Kajian NTT. Dalam Semangun, H dan F.F. Karwur
(Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi Internasional Pembangunan Pertanian Semi Arid Nusa
Tenggara Timur, Timor Timur dan Maluku Tenggara Tanggal 10-16 Desember 1995 di Kupang.
Penerbit Widya Sari Salatiga untuk Pemerintah Provinsi NTT dan Universitas Kristen Satya
Wacana: halaman 38-53..
2. Gomang, S., R. Nuningsih, Ataupah, H., F.D. Lopez dan Y. Benufinit. 1996. Pengkajian
Sosial Budaya dan Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Konda Maloba Kecamatan
Katikutana, Kabupaten Sumba Barat. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT,
Kupang.
3. Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan.
4. Lopez, F.D, R. Nuningsih, T.G. Therik, dan H, Ataupah. 1997. Pengkajian Sosial Budaya dan
Lingkungan Masyarakat Terasing Desa Parabubu, Perwakilan Kecamatan Paga, Kabupaten
Sikka. Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi NTT, Kupang.
5. Nuningsih, R. 2007. Teknologi Indigenouse: Suatu Strategi Masyarakat Lokal dalam Pertanian
Berkelanjutan. Buletin Penelitian dan Pengembangan, Indonesia Australia Eastern Universities
Project Alumni Forum, Kupang, Folume 8, Nomor 3: halaman 1-8.
6. Soekanto, S. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
7. Widiyatmika. 1987. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Pusat Penelitian Universitas Nusa
Cendana, Kupang.

Anda mungkin juga menyukai