ETNOEKOLOGI PERLADANGAN DAN KEARIFAN BOTANI LOKAL MASYAR
AKAT DAYAK BENUAQ DI KABUPATEN KUTAI BARAT KALIMANTAN TIM UR
Berbicara tentang adat istiadat, masyarakat Indonesia memiliki berbagai ra
gam bentuk dan ciri khas. Misalnya, adat istiadat masyarakat pesisir dalam bersyu kur, akan berbeda dengan masyarakat perbukitan. Begitupun dengan sistem perl a atan hidup, masyarakat pesisir lebih akrab dengan jala, perahu, dan kail. Sementar a masyarakat perbukitan lebih akrab dengan busur dan panah, rakit, dan cangkul. Lebih jauh lagi, sistem pengobatan, untuk penyakit demam misalnya, masyarakat pesisir dan perbukitan memiliki cara penanganan yang berbeda. Jika dikaji lebih l anjut, maka kenyataan tersebut akan menjadi sumber pengetahuan yang tak ternila i.Pengetahuan yang tak ternilai tak dapat diketahui jika tidak didokumentasikan. S alah satu cara mendokumentasikan pengetahuan adalah melalui buku, lebih khusu s karya sastra. Karya sastra dapat menjadi media efektif untuk mendokumentasika n pengetahuan dengan cara yang ringan, menghibur, dan tidak menggurui. Memin jam perkataan Horatius bahwa sastra berfungsi sebagaidulce et utile yang dapat di artikan sebagai sarana menyenangkan dan mendidik. Fungsi tersebut dapat menyo kong penyebaran informasi dengan cara mendidik masyarakat dengan cara yang menyenangkan. Sehingga, secara perlahan generasi milenial dan generasi Z dapat kembali mengenal masyarakat dan lingkungannya. Masyarakat atau lingkungan adalah bagian dari karya sastra. Sebagai bagia n dari karya sastra, masyarakat atau lingkungan direpresentasikan sesuai dengan k enyataan atau imjinasi pengarang. Karya satra yang direpresentasikan sesuai deng an kenyataan cenderung mirip dengan keadaan aslinya. Salah satu keadaan asli lin gkungan ini dapat berupa latar (tempat atau waktu). Latar tempat dapat berupa sua tu daerah, ruangan, atau hunian. Ketika pengarang menggambarkan suatu daerah, maka pengarang akan menjabarakan berbagai hal yang berkaitan dengan daerah te rsebut. Sehingga sastra dapat dikatakan sebagai dunia miniatur, baik miniatur sebu ah keluarga, atau masyarakat.Sebagai dunia miniatur, karya sastra berfungsi untuk menginvestasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dal am pola-pola kreativitas dan imajinasi. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam kar ya sastra merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam ke hidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fungsional (Endraswara, 2016: 81). S astra sebagai prototipe cenderung menggambarkan daerah yang ditempati oleh tok oh secara nyata. Berbicara tentang daerah, tentu tidak dapat dilepaskan dengan se mua unsur yang berhubungan dengan ciri daerah tersebut. Salah satu hal yang dap at dijadikan ciri suatu daerah adalah etnografi dan lingkungan. Menurut Kamus B esar Bahasa Indonesia (KBBI) (2016) kata etnografi didefinisikan sebagai (1) des kripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa; dan (2) ilmu tentang pelukisan kebu dayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar di muka bumi. Berdasarkan definisi tersebut, maka etnografi dapat dikatakan menjadi aspek utama untuk melukiskan s uatu daerah. Seperti yang telah disinggung di awal, lingkungan juga dapat menjad i ciri suatu daerah. KBBI (2016) mendefinisikan lingkungan sebagai (1) darah (ka wasan dan sebagainya) yang termasuk di dalamnya; (2) golongan; kalangan; dan (3) semua yang memengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Sebagai suatu di spilin ilmu, istilah lingkungan dipadankan dengan ekologi. Ekologi adalah ilmu ya ng mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk dengan lingkungannya. Ek ologi hanya bersifat eskploratif dengan tidak melakukan percobaan, tetapi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam (Endraswara, 2016: 3). Ad anya keterkaitan budaya dan lingkungan maka muncullah sebuah konsep tentang e tnoekologi. Etnoekologi adalah ilmu mengenai manusia dan masyarakat manusia yang dihubungkan dengan alam lingkungannya. Konsep ilmu etnoekologi berarti s uatu wilayah tertentu memiliki karakteristik yang khas, yang membedakan dari wi layah-wilayah lain yang ada di sekitarnya. Menurut Suryadarma (2005), Etnoekologi adalah ilmu tentang bagaimana pandangan kelompok masyarakat terhadap alam yang berhubungan dengan kepercayaan, pengetahuan dan tujuan serta mengimajinasikan penggunaannya,, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya. Intisari yang terkandung dalam ilmu Etnoekologi yaitu, Ilmu Etnoekologi sebagai ilmu pengetahuan bio-fisis, ilmu ini digunakan untuk menganalisis air, tanah, iklim dan cuaca sebagai habitat manusia dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan biotik dan abiotic Ilmu Etnoekologi sebagai ilmu land-scape study, digunakan untuk menganalisis daerah seperti daerah pantai, pegunungan dan lain sebagainya sebagai tempat untuk tempat tinggal manusia untuk melakukan aktifitasnya Ilmu Etnoekologi sebagai Ekologi Budaya, untuk menganalisis menganai aspek budaya, saling berhubungan secara fungsional dengan cara yang tidak pasti Ilmu Etnoekologi sebagai ilmu ekologi dan adaptasi manusia, sebagai dasar menganalisis adaptasi manusia terhadap habitatnya dan makhluk hidup lainnya. Penelitian etnoekologi ini digunakan untuk mengungkapkan hubungan masyarakat Benuaq dengan lingkungannya. Penelitian ini meliputi persep si dan sistem pengelolaan lingkungan oleh masyarakat Benuaq dan pengaruh aktifitas mereka terhadap lingkungannya di Kecamatan Muara Lawa, Kaliman tan Timur. Pengelolaan sumberdaya lokal di beberapa kampung Dayak Benua q digambarkan secara fenomologi. Data-data penelitian di lapangan diperole h secara etnoekologi dan ekologi. Tidak hanya itu, penelitian ini secara umum juga bertujuan untuk m engetahui totalitas pengetahuan masyarakat Benuaq dalam mengelola s umber daya alam lingkungannya dalam konteks konservasi keanekaragam an hayati. Secara keseluruhan ada 5 tujuan khusus penelitian ini yaitu: 1. Mengungkapkan bagaimana sistem kategorisasi mengenai tata ruang hutan, tanah dan tanaman dalam ekosistem perladangan masyarakat Dayak Benuaq. 2. Mengungkapkan pengetahuan lokal masyarakat Dayak Benuaq tentang lingkungan hidupnya berkaitan dengan sistem perlada ngan berpindah dari perspektif mereka sendiri. 3. Mengetahui dinamika vegetasi yang diakibatkan oleh aktivitas perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat Dayak Ben uaq. 4. Mengungkap pengetahuan keanekaragaman tumbuhan dan pe manfaatannya, dimulai dengan menginventarisasi jenis-jenis tu mbuhan yang dimanfaatkan sampai kepada penggalian pengeta huan masyarakat dalam pengenalan jenis-jenis tumbuhan. 5. Mengungkapkan aktifitas berburu dan menangkap ikan yang m endukung keberlanjutan sistem perladangan. Pengetahuan ekologi tradisional (traditional ecological knowledge) ya ng dimanifestasikan dengan peruntukan kawasan untuk berbagai keperluan menunjukkan apresiasi yang baik terhadap upaya konservasi yang dikuatkan dengan hukum adat. Sebagai peladang padi berpindah mereka mengenal ber bagai etika dan aturan yang bersifat positif menyangkut perladangan yang m enekan kerusakan sumberdaya alam seperti Adat Sukat Pertanahan dan Tana m Tumbuh dan Adat Bekumaq. Aturan-aturan tersebut tersebut tidak hanya menyangkut mengenai pemilihan lahan yang harus benar-benar cermat agar produksinya tinggi dan tidak memiskinkan tanah tetapi juga upaya-upaya ya ng dilakukan guna mencegah terjadinya kebakaran hutan dan pelaksanaan p emberaan lahan setelah pemanenan dalam waktu yang cukup panjang agar ta nah mampu subur kembali. Aspek kebudayaan yang termanifestasikan dalam praktek pengerjaan perladangan dan agroforestri (simpukng) membentuk co rak vegetasi pasca perladangan. Tahapan pengerjaan ladang dan agroforestri (simpukng) yang diikuti restriksi dan ritual khusus mendeterminasikan suks esi ladang menjadi hutan. Tahapan-tahapan suksesi pasca perladangan dari u rat, balikng bataakng, bataakng, bengkar uraq hingga bengkar tuhaq menunju kkan adanya sistem rotasi perladangan yang berdaur ulang. Masyarakat Dayak dan kelompok masyarakat lokal lainnya yang memi liki pengetahuan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya hutan juga m engalami perubahan budaya. Bagaimanapun, nilai pengetahuan tradisional d ari budaya Dayak tetap melekat dalam setiap aspek kehidupannya. Pengetah uan masyarakat lokal ini menyediakan kesempatan yang berharga bagi kita u ntuk memahami aspek-aspek ekologi lanskap di sekitar mereka. Misalnya sist em perladangan yang mereka lakukan, dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan hidup di sekitarnya atau dapat bersifat lestari. Mengingat ada nya pandangan yang tidak tepat mengenai sistem perladangan berpindah yan g banyak dilakukan oleh masyarakat Dayak ini. Lebih lanjut sejarah lanskap d apat diketahui dengan baik dan dapat diakses melalui informan-informan lok al. Dimana informasi ini akan membantu kita untuk memahami perubahan la nskap masa lalu dan pola-pola vegetasi masa sekarang dan masa yang akan d atang. Dari bahasan tersebut di atas, maka peneliti melaksanakan penelitian Etnoekologi Perladangan Masyarakat Dayak Benuaq di kecamatan Muara La wa. Studi etnoekologi masyarakat Benuaq ini bertujuan: 1. Untuk menganalisis dan mengevaluasi secara ekologis aktivitas intelektual dan tindakan praktis yang dilakukannya terhadap k ondisi alamiahnya 2. Mengeksplorasi bagaimana masyarakat Benuaq sebagai produs er (informan) menyusun pemikiran (corpus) dan selanjutnya memanfaatkan (praxis) produktivitas sumber daya alam 3. Menganalisis secara ilmiah untuk menilai sistim pengetahuan masyarakat Benuaq dalam mengelola sumber daya alam 4. Melakukan analisis perbandingan dan konfrontasi antara sisti m pengetahuan lokal dengan sistim pengetahuan ilmiah untuk membuktikan keilmiahan sistim pengelolaan lingkungan masy arakat Benuaq. Lalu tahapan yang dilakukan oleh masyarakat Benuq di Kecamatan Muara Lawa ini ada 4 tahapan yaitu : 1. Membuat deskripsi serinci mungkin tentang kondisi ekosistem yang mempengaruhi produktivitasnya sesuai dengan yang diamati, misalnya tipe vegetasinya, jenis dan sifat tanah, kekayaan flora dan fauna, kondisi topografi, kondisi iklim, siklus air, dan lain-lainnya. Untuk mendapatkan data-data tersebut dengan menggunakan metode baku dalam penelitian ekologi dan pedologi (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974; Gilbertson et al, 1989; Hairston, 1991). 2. Menyusun kembali pola pemikiran (corpus) dari masyarakat (informan) dan melakukan dialog dengan para informan. Untuk mengungkapkan sistim pengetahuan dan pola pikir masyarakat Benuaq digunakan metode baku penelitian antropologi (Cotton, 1996), misalnya dengan cara melakukan pengamatan langsung dan turut serta dalam aktivitas kehidupan masyarakat serta dengan menggunakan berbagai teknik wawancara (wawancara bebas atau open ended, semi struktural dan struktural). 3. Menganalisis bentuk-bentuk produktivitas sumber daya alam sesuai dengan pandangan masyarakat (praxis). Caranya adalah dengan mendiskripsi bentuk aktivitas masyarakat dalam mengelola sumber daya alam berikut teknologinya, produk-produk yang dihasilkan, pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan dan aspek lainnya. 4. Melakukan penilaian secara ekologis sebuah praxis melalui analisis dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap struktur dan dinamika ekosistem yang telah dimanfaatkan tersebut. Penilaian tersebut didasarkan pada pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan metode baku dalam penelitian ekologi (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974; Gilbertson et al, 1989; Hairston, 1991). Misalnya untuk mengetahui komposisi dan dinamika vegetasinya dilakukan dengan cara membuat plot di setiap satuan lingkungan yang terbentuk di kawasan tersebut yang ukuran dan cara pengamatannya disesuaikan dengan bentuk dan kondisi satuan lingkungannya. Gambar diatas merupakan ekosistem masyarakat Benuaq yang senantiasa t erjadi pertukaran arus energi, materi dan informasi antara sistem sosial dan sistem bio fisik di daerah itu atau dengan daerah lainnya. Arus ini telah menyebabkan pe mbentukan struktur dan fungsi yang khas di wilayah masyarakat Benuaq, misalny a berbagai praktek agroforestri tradisional (simpukng), hutan keramat (lati pingit), hutan peliharaan (ewei teweletn). Di sisi lain sistem sosial membutuhkan arus ene rgi dari alam (ekosistem), misalnya dalam bentuk bahan pangan untuk kehidupan masyarakat sehari- hari, kayu bakar, dan berbagai macam bahan yang diekstrak da ri hutan. Menurut Rambo (1983), faktor- faktor sistem biofisik atau ekosistem di s ekitar manusia sangat beragam bergantung pada dimana manusia itu tinggal, term asuk di dalamnya iklim, udara, tanah, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Jadi kehidup an manusia sehari- hari tidak pernah lepas dari lingkungannya. Ideologi masyarakat, termasuk diantaranya dalam bentuk kearifan lokal, k epercayaan, perspektif dan tata nilai. Faktor-faktor ini telah terbentuk dan dapat dilihat dalam perilaku masyarakat sehari- hari dalam tata cara mereka memperlak ukan alam lingkungan sekitarnya karena masyarakat Benuaq telah lama tinggal da n berinteraksi dengan alam sekitarnya secara turun temurun. Oleh karena itu tidakl ah mengherankan jika banyak pengetahuan dan tata nilai yang mereka peroleh dar i pengalaman berinteraksi dengan alam lingkungan sekitarnya. Selanjutnya masya rakat yang berhasil memperoleh pengetahuan dan mengetahui sifat dan perilaku al am sekitarnya, maka mereka memiliki potensi untuk lebih berhasil dalam kehidup annya sehari- hari. Pengetahuan tradisional diekspresikan melalui pemanfaatan su mber daya alam menghasilkan mosaik -mosaik lansekap, gaya arsitektur, konstruk si yang digunakan, serta seni dan kerajinan. Bahkan aspek-aspek sosial seperti org anisasi masyarakat, pembagian waktu kerja, ritual-ritual kepercayaan dapat diartik an sebagai turunan dari sistem pengetahuan mereka. Pandangan manusia terhadap alam lingkungannya (ekosistem) dapat dibed akan atas dua golongan, yaitu pandangan imanen (holistik) dan transenden (Soem arwoto, 1988). Menurut pandangan holistik, manusia dapat memisahkan dirinya d engan sistem biofisik di sekitarnya, seperti dengan hewan, tumbuhan, sungai, dan gunung, namun merasa adanya hubungan fungsional dengan faktor- faktor itu sehi ngga membentuk satu kesatuan sosio -biofisik. Sebaliknya, menurut pandangan tr ansenden, kendatipun secara ekologi merupakan bagian dari lingkungannya, manu sia merasa terpisah dari lingkungannya. Ini terjadi karena lingkungan dianggap se bagai sumberdaya yang diciptakan untuk dieksploitasi sebesar-besarnya. Pandang an holistik hidup dan berkembang di masyarakat Benuaq yang masih tradisional. Fakta ini dapat dilihat perspektif masyarakat Benuaq tentang hutan merupakan te mpat hidup bersama bagi semua mahkluk menggambarkan bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem hutan dan tidak boleh mengeksploitasi hutan hanya untuk k epentingannya saja. Menurut kepercayaan mereka bahwa tanah-hutan diciptakan o leh Perjadiq Bantikng Langit (Sang Maha Pencipta) dan hutan-tanah merupakan u nit- unit kecil (mikrokosmos) dalam tata kosmologi (makrokosmos) dunia. Setiap unsur dalam tata kosmos ini mempunyai asal-usulnya karena segala sesuatunya ad a yang menciptakan, melindungi, dan memeliharanya. Oleh karena itu, hutan pun mempunyai pemilik, penjaga, dan pemeliharanya, yakni roh-roh yang bersikap bai k dan jahat sehingga mereka selalu meminta izin (ritual pakatn nyahuq) setiap mel akukan aktivitas membuka hutan. Di kehidupan masyarakat Dayak Benuaq, adat s ebagai norma sosial (mores) berfungsi sebagai alat kontrol terhadap sikap, perilak u, dan tindakan manusia dalam memelihara hubungan harmonis dengan ”dunia ata s” dan hutan-tanah. Dalam kehidupan masyarakat Benuaq, mereka menganggap bahwa hutan dan sungai sebagai “tetangga” yang berisi roh leluhur. Mereka menggap bahwa ada dewa yang menghuni hutan dan akan berakibat buruk kepada seseorang jika orang tersebut menyakiti hutan, dan sebaliknya jika mereka memberikan kebaikan jika orang tersebut dapat menjaga dan melindungi apa yang ada di dalamnya.Dalam masyarakat Dayak Benuaq ada istilah yang disebut dengan “Lati Tana” yang artinya rangkaian perilaku manusia yang berhubungan dengan hutan dan tanah beserta apa yang ada di dalamnya. Pengetahuan tentang ekologi tradisional di peruntukan untuk kawasan yang dengan berbagai kebutuhan, upaya ini di perkuat dengan hukum adat yang berlaku di masyarakat Benuaq. Hakekat pembagian wilayah diperuntukan dengan upaya konservasi dari dengan melindungi dan melarang menanfaatkan sumber daya dikawasan tersebut sedangkan menurut masyarakat Dayak Benuaq dengan melindungi suatu kawasan dengan mengatur pemanfaatannya. Nilai tentang hutan dan sungai tidak hanya didasari dari nilai ekonomisnya saja tetapi juga dapat didasarkan atas fungsi dalam menjaga kualitas hidup masyarakat dalam bertahan hidup, sebagai tempat aktivitas spiritual dan perekat social. Hakekat peruntukan kawasan hutan di Dayak yaitu
Lati Pingit (hutan keramat) adalah Kawasan yang dikeramatkan
adalah kekhasan dari masyarakat Dayak dalam memandang kawasan alam yang harus dilindungi dan dilestarikan dalam tujuan untuk menjaga stabilitas kelangsungan makhluk hidup yang ada di dalam kawasan hutan tersebut. Ewei Teweletn (hutan peliharaan) adalah strategi adaptasi terhadap fenomena kondisi lingkungan alam dalam rangka mempertahankan kelangsungan pemanfaatannya. simpukng berahatn (hutan perburuan)
Menurut Soedjito dan Sukara (2006) karakter penting masyarakat
tradisional adalah memunyai hubungan silang yang dekat dengan alam dan sumberdayanya. Keberadaan masyarakat dan kelangsungan hidupnya umumnya tergantung pada sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Hubungan dengan alam ini lebih berdasarkan pada koeksistensi daripada kompetisi, Sehingga menghasilkan strategi budaya yang adaptif pada lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari. Ekspresi dari hubungan yang harmonis ini dapat dilihat dalam konsep mengelola lahan yang menekankan konsep konservasi yang terkemas untuk alasan budaya dan religi. Kawasan yang dikeramatkan adalah kekhasan dari masyarakat Dayak dalam memandang kawasan alam yang harus dilindungi dan dilestarikan dalam tujuan untuk menjaga stabilitas kelangsungan makhluk hidup yang ada di dalam kawasan hutan tersebut.kawasan yang dikeramatkan merupakan kekhasan pada masyarakat Dayak dalam memandang alam yang harus dilindungi dan dilestarikan. Sedangkan konservasi yang terkandung dalam ewei teweletn (hutan peliharaan) dan simpukng berahatn (hutan perburuan) adalah melindungi agar dapat dimanfaatkan bila memerlukannya dan bukan pelarangan (interdiction). Pengetahuan local masyarakat Dayak Benuaq bersifat holistic integrative yang tersebar luas dalam tradisi budaya sehingga system pengetahuan local yang berakar pada system pengelolaan tradisional. Bahkan pengetahuan lokal mereka dapat dipandang sebagai bentuk sejarah lingkungan di kawasan tersebut (Smith & Wishnie, 2000). Hal ini bukan menunjukkan bahwa masyarakat lokal selalu harmoni dengan alam, namun mereka juga menyebabkan kerusakan-kerusakan hutan dengan kehadiran mereka. Namun kerusakan yang disebabkan oleh kelompok-kelompok masyarakat lokal kurang berpengaruh pada ekosistem dibandingkan besarnya kerusakan yang disebabkan akibat aktifitas pertambangan, penebangan oleh orang-orang yang tidak familiar dengan ekosistem setempat (Scharzman et al, 2001). Hasil- hasil pengelolaan sumberdaya lokal oleh masyarakat Dayak Benuaq mengindikasikan bahwa sampai saat ini masyarakat mengelola sumberdaya dilingkungannya secara lestari. Walaupun memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan struktur yang fleksibel, namun sistem-sistem pengelolaan sumberdaya di masyarakat Benuaq di Kecamatan Muara Lawa kemungkinan besar akan menghadapi kesulitan dimasa depan akibat perubahan-perubahan drastis yang disebabkan meningkatnya kegiatan penambangan batu bara di wilayah mereka.
Agroforestri Tradisional dan Model Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan
Simpukng merupakan sistem agroforestri tradisional (indigenous agroforestry) yang sampai saat ini masih dijumpai di Kabupaten Kutai Barat. Kapan dan mengapa budidaya simpukng mulai terbentuk pada masyarakat Benuaq tidak diketahui secara pasti. Kenyataannya sistem-sistem kebun hutan dan kebun pekarangan semacam itu juga dijumpai pada masyarakat suku-suku lainnya di Kalimantan Timur seperti Dayak Bahau, Dayak Tunjung, dan Kutai (Sardjono, 2003). Terminologi berbeda digunakan untuk bentuk agroforestri tersebut pada kelompok masyarakat suku-suku tersebut seperti lembo pada masyarakat Kutai, munan pada masyarakat Dayak Tunjung, dan lepu’un pada masyarakat Dayak Bahau. Selanjutnya dalam konteks riset agroforestri (Sardjono, 1995).
MANUSIA DAN ALANG-ALANG DI INDONESIA
Masalah alang-alang langsung atau tidak langsung telah menjangkau tingkat nasional. Luas Padang alang-alang dewasa ini mencapai 32%, luas daratan Indonesia (Suryatna dan Mclntosh, 1976). Seringkali pelaksanaan kebijakan pemerintah misalnya dalam bidang pertanian, transmigrasi, reboisasi dan lainnya, pada Padang alang-alang terbentur pada problem yang serius. Informasi mengenai bagaimana proses alang-alang ini terjadi, sifat dan interaksinya dengan masyarakat setempat masih sangat diperlukan. Pengembangan dalam bidang pertanian biasanya disajikan seolah-olah sebagai suatu usaha yang teknis saja. Yang melaksanakan dalam bidang ini berusaha agar dapat mengetahui masalah apa yang terjadi di lapangan dan mengusahakan pemecahan satu-satunya dengan baik lalu kemudian menerapkannya untuk kepentingan semua pihak. Yang menjadi unsur utama dalam usaha ini adalah kesadaran bahwa pengembangan demikian selalu bersifat gerak sebelah yaitu bahwa kegiatan pengembangan akan suatu hasil pilihan dari sebagian unsur dengan mengorbankan unsur lainnya Dan makin menjadikan kelompok tertentu semua umurnya dengan mengorbankan kelompok lainnya. Dikarenakan alasan yang bersifat politis dan ekonomis aspek yang bersifat gerak sebelah ini cenderung masih tersembunyi. Oleh sebab itu kunci kesadaran yang utama ialah bahwa kepercayaan mengenai pengembangan ini terlalu banyak dibebani oleh ketidakbenaran kelalaian dan hanya pada mitos-mitos dalam kaitan inilah ilmu ekologi manusia dan antropologi harus memberikan sumbangannya yang khusus. Buku ini cenderung menyajikan satu ringkasan mengenai imperata dan eubacterium di Indonesia saat ini khususnya di beberapa daerah yang nantinya akan kami paparkan sedikit ringkasannya. Sikap Manusia terhadap Alang-Alang di Sumatera a. Sikap transmigran terhadap alang-alang Sikap warga transmigran terhadap alang-alang dipengaru oleh ekonomi, ekologi, dan budaya pada daerah asal serta tuntutan keadaan di daerah baru. Tuntutan dan pengaruh di daerah baru yang menyangkut masalah ini adalah sistem pertanian, sistem peter- nakan dan sistem pemukiman.Nah mereka pandangan buruk terhadap alang-alang, karena diang- gap mengganggu kegiatan mereka dalam usaha memperluas areal lahan pertaniannya. Pada sektor ekonomi yang lain, sikap mereka terhadap alang-alang juga sangat berlainan, misalnya di sektor bangunan. Rumah-rumah untuk tempat tinggal para transmigran telahdisediakan oleh pemerintah (bahan bangunan rumah adalah papan kayu dengan atap dari ferocement). Tetapi para transmigran mem- bangun kandang sapinya dengan menggunakan alang-alang sebagai atap kandangnya. Sikap positip terhadap alang-alang paling tampak di bidang peternakantramisi menumbuhkan alang alang untuk makanan ternak mereka.para transmigran beranggapan bahwa alang- alang itu mempunyai segi positip dan negatip. Dianggap positip karena alang-alang dapat dipakai sebagai atap dan terutama sebagai makanan ternak. Dianggap negatip karena mengganggu tanaman tahunan. b. Sikap penduduk Ogan terhadap alang-alang Di sektor pertanian, seperti halnya para transmigran, penduduk Ogan melihat alang-alang sebagai musuh (sebenarnya kekhawatiran mereka akan gangguan alang-alang di lahan pertanian lebih besar,suku Ogan bersikap memusuhi alang-alang, karena alang- alang menyita sebagian tanah pertaniannya yang sudah semakin terbatas. Di sekitar peternakan, alang-alang tidak merugikan pen- duduk Ogan, tetapi juga tidak begitu membantu. Dalam hal bangunan, rumah milik penduduk Ogan dibangun dengan bahan bangunan dari kayu dan atap dari genting, dengan kandang ternak terletak di bawah rumahnya. Keadaan ini menyebabkan mereka tidak terbiasa untuk menggunakan alang-