Anda di halaman 1dari 11

KELOMPOK I

CINTA CENDANA DEWI (2110821030)


FAKHRUL RIZAL (2110822006)
BONI ISKANDAR (2110822024)
JANNATUL ZAHRA (2110822022)
NISWATUL KHOMELIA (2110821008)
ORIZA DILLIA LAIRANITA ( 2110822030)
TRI BIMA ADITTIYA (2110823028)
REYHAN MAULANA (2110822020)
ANISSA MUTHIA HANIF (2110822026)

ETNOEKOLOGI PERLADANGAN DAN KEARIFAN BOTANI LOKAL MASYAR


AKAT DAYAK BENUAQ DI KABUPATEN KUTAI BARAT KALIMANTAN TIM
UR

Berbicara tentang adat istiadat, masyarakat Indonesia memiliki berbagai ra


gam bentuk dan ciri khas. Misalnya, adat istiadat masyarakat pesisir dalam bersyu
kur, akan berbeda dengan masyarakat perbukitan. Begitupun dengan sistem perl a
atan hidup, masyarakat pesisir lebih akrab dengan jala, perahu, dan kail. Sementar
a masyarakat perbukitan lebih akrab dengan busur dan panah, rakit, dan cangkul.
Lebih jauh lagi, sistem pengobatan, untuk penyakit demam misalnya, masyarakat
pesisir dan perbukitan memiliki cara penanganan yang berbeda. Jika dikaji lebih l
anjut, maka kenyataan tersebut akan menjadi sumber pengetahuan yang tak ternila
i.Pengetahuan yang tak ternilai tak dapat diketahui jika tidak didokumentasikan. S
alah satu cara mendokumentasikan pengetahuan adalah melalui buku, lebih khusu
s karya sastra. Karya sastra dapat menjadi media efektif untuk mendokumentasika
n pengetahuan dengan cara yang ringan, menghibur, dan tidak menggurui. Memin
jam perkataan Horatius bahwa sastra berfungsi sebagaidulce et utile yang dapat di
artikan sebagai sarana menyenangkan dan mendidik. Fungsi tersebut dapat menyo
kong penyebaran informasi dengan cara mendidik masyarakat dengan cara yang
menyenangkan. Sehingga, secara perlahan generasi milenial dan generasi Z dapat
kembali mengenal masyarakat dan lingkungannya.
Masyarakat atau lingkungan adalah bagian dari karya sastra. Sebagai bagia
n dari karya sastra, masyarakat atau lingkungan direpresentasikan sesuai dengan k
enyataan atau imjinasi pengarang. Karya satra yang direpresentasikan sesuai deng
an kenyataan cenderung mirip dengan keadaan aslinya. Salah satu keadaan asli lin
gkungan ini dapat berupa latar (tempat atau waktu). Latar tempat dapat berupa sua
tu daerah, ruangan, atau hunian. Ketika pengarang menggambarkan suatu daerah,
maka pengarang akan menjabarakan berbagai hal yang berkaitan dengan daerah te
rsebut. Sehingga sastra dapat dikatakan sebagai dunia miniatur, baik miniatur sebu
ah keluarga, atau masyarakat.Sebagai dunia miniatur, karya sastra berfungsi untuk
menginvestasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dal
am pola-pola kreativitas dan imajinasi. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam kar
ya sastra merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam ke
hidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fungsional (Endraswara, 2016: 81). S
astra sebagai prototipe cenderung menggambarkan daerah yang ditempati oleh tok
oh secara nyata. Berbicara tentang daerah, tentu tidak dapat dilepaskan dengan se
mua unsur yang berhubungan dengan ciri daerah tersebut. Salah satu hal yang dap
at dijadikan ciri suatu daerah adalah etnografi dan lingkungan. Menurut Kamus B
esar Bahasa Indonesia (KBBI) (2016) kata etnografi didefinisikan sebagai (1) des
kripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa; dan (2) ilmu tentang pelukisan kebu
dayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar di muka bumi. Berdasarkan definisi
tersebut, maka etnografi dapat dikatakan menjadi aspek utama untuk melukiskan s
uatu daerah. Seperti yang telah disinggung di awal, lingkungan juga dapat menjad
i ciri suatu daerah. KBBI (2016) mendefinisikan lingkungan sebagai (1) darah (ka
wasan dan sebagainya) yang termasuk di dalamnya; (2) golongan; kalangan; dan
(3) semua yang memengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Sebagai suatu di
spilin ilmu, istilah lingkungan dipadankan dengan ekologi. Ekologi adalah ilmu ya
ng mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk dengan lingkungannya. Ek
ologi hanya bersifat eskploratif dengan tidak melakukan percobaan, tetapi hanya
mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam (Endraswara, 2016: 3). Ad
anya keterkaitan budaya dan lingkungan maka muncullah sebuah konsep tentang e
tnoekologi. Etnoekologi adalah ilmu mengenai manusia dan masyarakat manusia
yang dihubungkan dengan alam lingkungannya. Konsep ilmu etnoekologi berarti s
uatu wilayah tertentu memiliki karakteristik yang khas, yang membedakan dari wi
layah-wilayah lain yang ada di sekitarnya. Menurut Suryadarma (2005),
Etnoekologi adalah ilmu tentang bagaimana pandangan kelompok masyarakat
terhadap alam yang berhubungan dengan kepercayaan, pengetahuan dan tujuan
serta mengimajinasikan penggunaannya,, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber
daya.
Intisari yang terkandung dalam ilmu Etnoekologi yaitu,
 Ilmu Etnoekologi sebagai ilmu pengetahuan bio-fisis, ilmu ini
digunakan untuk menganalisis air, tanah, iklim dan cuaca
sebagai habitat manusia dalam ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan kehidupan biotik dan abiotic
 Ilmu Etnoekologi sebagai ilmu land-scape study, digunakan
untuk menganalisis daerah seperti daerah pantai, pegunungan
dan lain sebagainya sebagai tempat untuk tempat tinggal
manusia untuk melakukan aktifitasnya
 Ilmu Etnoekologi sebagai Ekologi Budaya, untuk menganalisis
menganai aspek budaya, saling berhubungan secara fungsional
dengan cara yang tidak pasti
 Ilmu Etnoekologi sebagai ilmu ekologi dan adaptasi manusia,
sebagai dasar menganalisis adaptasi manusia terhadap
habitatnya dan makhluk hidup lainnya.
Penelitian etnoekologi ini digunakan untuk mengungkapkan hubungan
masyarakat Benuaq dengan lingkungannya. Penelitian ini meliputi persep
si dan sistem pengelolaan lingkungan oleh masyarakat Benuaq dan pengaruh
aktifitas mereka terhadap lingkungannya di Kecamatan Muara Lawa, Kaliman
tan Timur. Pengelolaan sumberdaya lokal di beberapa kampung Dayak Benua
q digambarkan secara fenomologi. Data-data penelitian di lapangan diperole
h secara etnoekologi dan ekologi.
Tidak hanya itu, penelitian ini secara umum juga bertujuan untuk m
engetahui totalitas pengetahuan masyarakat Benuaq dalam mengelola s
umber daya alam lingkungannya dalam konteks konservasi keanekaragam
an hayati. Secara keseluruhan ada 5 tujuan khusus penelitian ini yaitu:
1. Mengungkapkan bagaimana sistem kategorisasi mengenai tata
ruang hutan, tanah dan tanaman dalam ekosistem perladangan
masyarakat Dayak Benuaq.
2. Mengungkapkan pengetahuan lokal masyarakat Dayak Benuaq
tentang lingkungan hidupnya berkaitan dengan sistem perlada
ngan berpindah dari perspektif mereka sendiri.
3. Mengetahui dinamika vegetasi yang diakibatkan oleh aktivitas
perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat Dayak Ben
uaq.
4. Mengungkap pengetahuan keanekaragaman tumbuhan dan pe
manfaatannya, dimulai dengan menginventarisasi jenis-jenis tu
mbuhan yang dimanfaatkan sampai kepada penggalian pengeta
huan masyarakat dalam pengenalan jenis-jenis tumbuhan.
5. Mengungkapkan aktifitas berburu dan menangkap ikan yang m
endukung keberlanjutan sistem perladangan.
Pengetahuan ekologi tradisional (traditional ecological knowledge) ya
ng dimanifestasikan dengan peruntukan kawasan untuk berbagai keperluan
menunjukkan apresiasi yang baik terhadap upaya konservasi yang dikuatkan
dengan hukum adat. Sebagai peladang padi berpindah mereka mengenal ber
bagai etika dan aturan yang bersifat positif menyangkut perladangan yang m
enekan kerusakan sumberdaya alam seperti Adat Sukat Pertanahan dan Tana
m Tumbuh dan Adat Bekumaq. Aturan-aturan tersebut tersebut tidak hanya
menyangkut mengenai pemilihan lahan yang harus benar-benar cermat agar
produksinya tinggi dan tidak memiskinkan tanah tetapi juga upaya-upaya ya
ng dilakukan guna mencegah terjadinya kebakaran hutan dan pelaksanaan p
emberaan lahan setelah pemanenan dalam waktu yang cukup panjang agar ta
nah mampu subur kembali. Aspek kebudayaan yang termanifestasikan dalam
praktek pengerjaan perladangan dan agroforestri (simpukng) membentuk co
rak vegetasi pasca perladangan. Tahapan pengerjaan ladang dan agroforestri
(simpukng) yang diikuti restriksi dan ritual khusus mendeterminasikan suks
esi ladang menjadi hutan. Tahapan-tahapan suksesi pasca perladangan dari u
rat, balikng bataakng, bataakng, bengkar uraq hingga bengkar tuhaq menunju
kkan adanya sistem rotasi perladangan yang berdaur ulang.
Masyarakat Dayak dan kelompok masyarakat lokal lainnya yang memi
liki pengetahuan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya hutan juga m
engalami perubahan budaya. Bagaimanapun, nilai pengetahuan tradisional d
ari budaya Dayak tetap melekat dalam setiap aspek kehidupannya. Pengetah
uan masyarakat lokal ini menyediakan kesempatan yang berharga bagi kita u
ntuk memahami aspek-aspek ekologi lanskap di sekitar mereka. Misalnya sist
em perladangan yang mereka lakukan, dapat menyebabkan kerusakan hutan
dan lingkungan hidup di sekitarnya atau dapat bersifat lestari. Mengingat ada
nya pandangan yang tidak tepat mengenai sistem perladangan berpindah yan
g banyak dilakukan oleh masyarakat Dayak ini. Lebih lanjut sejarah lanskap d
apat diketahui dengan baik dan dapat diakses melalui informan-informan lok
al. Dimana informasi ini akan membantu kita untuk memahami perubahan la
nskap masa lalu dan pola-pola vegetasi masa sekarang dan masa yang akan d
atang.
Dari bahasan tersebut di atas, maka peneliti melaksanakan penelitian
Etnoekologi Perladangan Masyarakat Dayak Benuaq di kecamatan Muara La
wa. Studi etnoekologi masyarakat Benuaq ini bertujuan:
1. Untuk menganalisis dan mengevaluasi secara ekologis aktivitas
intelektual dan tindakan praktis yang dilakukannya terhadap k
ondisi alamiahnya
2. Mengeksplorasi bagaimana masyarakat Benuaq sebagai produs
er (informan) menyusun pemikiran (corpus) dan selanjutnya
memanfaatkan (praxis) produktivitas sumber daya alam
3. Menganalisis secara ilmiah untuk menilai sistim pengetahuan
masyarakat Benuaq dalam mengelola sumber daya alam
4. Melakukan analisis perbandingan dan konfrontasi antara sisti
m pengetahuan lokal dengan sistim pengetahuan ilmiah untuk
membuktikan keilmiahan sistim pengelolaan lingkungan masy
arakat Benuaq.
Lalu tahapan yang dilakukan oleh masyarakat Benuq di Kecamatan Muara
Lawa ini ada 4 tahapan yaitu :
1. Membuat deskripsi serinci mungkin tentang kondisi ekosistem yang
mempengaruhi produktivitasnya sesuai dengan yang diamati, misalnya tipe
vegetasinya, jenis dan sifat tanah, kekayaan flora dan fauna, kondisi
topografi, kondisi iklim, siklus air, dan lain-lainnya. Untuk mendapatkan
data-data tersebut dengan menggunakan metode baku dalam penelitian
ekologi dan pedologi (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974; Gilbertson et al,
1989; Hairston, 1991).
2. Menyusun kembali pola pemikiran (corpus) dari masyarakat (informan)
dan melakukan dialog dengan para informan. Untuk mengungkapkan sistim
pengetahuan dan pola pikir masyarakat Benuaq digunakan metode baku
penelitian antropologi (Cotton, 1996), misalnya dengan cara melakukan
pengamatan langsung dan turut serta dalam aktivitas kehidupan masyarakat
serta dengan menggunakan berbagai teknik wawancara (wawancara bebas
atau open ended, semi struktural dan struktural).
3. Menganalisis bentuk-bentuk produktivitas sumber daya alam sesuai
dengan pandangan masyarakat (praxis). Caranya adalah dengan
mendiskripsi bentuk aktivitas masyarakat dalam mengelola sumber daya
alam berikut teknologinya, produk-produk yang dihasilkan, pengaruhnya
terhadap kondisi lingkungan dan aspek lainnya.
4. Melakukan penilaian secara ekologis sebuah praxis melalui analisis
dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap struktur dan dinamika
ekosistem yang telah dimanfaatkan tersebut. Penilaian tersebut didasarkan
pada pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan metode baku
dalam penelitian ekologi (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974; Gilbertson et
al, 1989; Hairston, 1991). Misalnya untuk mengetahui komposisi dan
dinamika vegetasinya dilakukan dengan cara membuat plot di setiap satuan
lingkungan yang terbentuk di kawasan tersebut yang ukuran dan cara
pengamatannya disesuaikan dengan bentuk dan kondisi satuan
lingkungannya.
Gambar diatas merupakan ekosistem masyarakat Benuaq yang senantiasa t
erjadi pertukaran arus energi, materi dan informasi antara sistem sosial dan sistem
bio fisik di daerah itu atau dengan daerah lainnya. Arus ini telah menyebabkan pe
mbentukan struktur dan fungsi yang khas di wilayah masyarakat Benuaq, misalny
a berbagai praktek agroforestri tradisional (simpukng), hutan keramat (lati pingit),
hutan peliharaan (ewei teweletn). Di sisi lain sistem sosial membutuhkan arus ene
rgi dari alam (ekosistem), misalnya dalam bentuk bahan pangan untuk kehidupan
masyarakat sehari- hari, kayu bakar, dan berbagai macam bahan yang diekstrak da
ri hutan. Menurut Rambo (1983), faktor- faktor sistem biofisik atau ekosistem di s
ekitar manusia sangat beragam bergantung pada dimana manusia itu tinggal, term
asuk di dalamnya iklim, udara, tanah, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Jadi kehidup
an manusia sehari- hari tidak pernah lepas dari lingkungannya.
Ideologi masyarakat, termasuk diantaranya dalam bentuk kearifan lokal, k
epercayaan, perspektif dan tata nilai. Faktor-faktor ini telah terbentuk dan dapat
dilihat dalam perilaku masyarakat sehari- hari dalam tata cara mereka memperlak
ukan alam lingkungan sekitarnya karena masyarakat Benuaq telah lama tinggal da
n berinteraksi dengan alam sekitarnya secara turun temurun. Oleh karena itu tidakl
ah mengherankan jika banyak pengetahuan dan tata nilai yang mereka peroleh dar
i pengalaman berinteraksi dengan alam lingkungan sekitarnya. Selanjutnya masya
rakat yang berhasil memperoleh pengetahuan dan mengetahui sifat dan perilaku al
am sekitarnya, maka mereka memiliki potensi untuk lebih berhasil dalam kehidup
annya sehari- hari. Pengetahuan tradisional diekspresikan melalui pemanfaatan su
mber daya alam menghasilkan mosaik -mosaik lansekap, gaya arsitektur, konstruk
si yang digunakan, serta seni dan kerajinan. Bahkan aspek-aspek sosial seperti org
anisasi masyarakat, pembagian waktu kerja, ritual-ritual kepercayaan dapat diartik
an sebagai turunan dari sistem pengetahuan mereka.
Pandangan manusia terhadap alam lingkungannya (ekosistem) dapat dibed
akan atas dua golongan, yaitu pandangan imanen (holistik) dan transenden (Soem
arwoto, 1988). Menurut pandangan holistik, manusia dapat memisahkan dirinya d
engan sistem biofisik di sekitarnya, seperti dengan hewan, tumbuhan, sungai, dan
gunung, namun merasa adanya hubungan fungsional dengan faktor- faktor itu sehi
ngga membentuk satu kesatuan sosio -biofisik. Sebaliknya, menurut pandangan tr
ansenden, kendatipun secara ekologi merupakan bagian dari lingkungannya, manu
sia merasa terpisah dari lingkungannya. Ini terjadi karena lingkungan dianggap se
bagai sumberdaya yang diciptakan untuk dieksploitasi sebesar-besarnya. Pandang
an holistik hidup dan berkembang di masyarakat Benuaq yang masih tradisional.
Fakta ini dapat dilihat perspektif masyarakat Benuaq tentang hutan merupakan te
mpat hidup bersama bagi semua mahkluk menggambarkan bahwa manusia adalah
bagian dari ekosistem hutan dan tidak boleh mengeksploitasi hutan hanya untuk k
epentingannya saja. Menurut kepercayaan mereka bahwa tanah-hutan diciptakan o
leh Perjadiq Bantikng Langit (Sang Maha Pencipta) dan hutan-tanah merupakan u
nit- unit kecil (mikrokosmos) dalam tata kosmologi (makrokosmos) dunia. Setiap
unsur dalam tata kosmos ini mempunyai asal-usulnya karena segala sesuatunya ad
a yang menciptakan, melindungi, dan memeliharanya. Oleh karena itu, hutan pun
mempunyai pemilik, penjaga, dan pemeliharanya, yakni roh-roh yang bersikap bai
k dan jahat sehingga mereka selalu meminta izin (ritual pakatn nyahuq) setiap mel
akukan aktivitas membuka hutan. Di kehidupan masyarakat Dayak Benuaq, adat s
ebagai norma sosial (mores) berfungsi sebagai alat kontrol terhadap sikap, perilak
u, dan tindakan manusia dalam memelihara hubungan harmonis dengan ”dunia ata
s” dan hutan-tanah.
Dalam kehidupan masyarakat Benuaq, mereka menganggap bahwa hutan
dan sungai sebagai “tetangga” yang berisi roh leluhur. Mereka menggap bahwa
ada dewa yang menghuni hutan dan akan berakibat buruk kepada seseorang jika
orang tersebut menyakiti hutan, dan sebaliknya jika mereka memberikan kebaikan
jika orang tersebut dapat menjaga dan melindungi apa yang ada di
dalamnya.Dalam masyarakat Dayak Benuaq ada istilah yang disebut dengan “Lati
Tana” yang artinya rangkaian perilaku manusia yang berhubungan dengan hutan
dan tanah beserta apa yang ada di dalamnya.
Pengetahuan tentang ekologi tradisional di peruntukan untuk kawasan
yang dengan berbagai kebutuhan, upaya ini di perkuat dengan hukum adat yang
berlaku di masyarakat Benuaq. Hakekat pembagian wilayah diperuntukan dengan
upaya konservasi dari dengan melindungi dan melarang menanfaatkan sumber
daya dikawasan tersebut sedangkan menurut masyarakat Dayak Benuaq dengan
melindungi suatu kawasan dengan mengatur pemanfaatannya. Nilai tentang hutan
dan sungai tidak hanya didasari dari nilai ekonomisnya saja tetapi juga dapat
didasarkan atas fungsi dalam menjaga kualitas hidup masyarakat dalam bertahan
hidup, sebagai tempat aktivitas spiritual dan perekat social.
Hakekat peruntukan kawasan hutan di Dayak yaitu

 Lati Pingit (hutan keramat) adalah Kawasan yang dikeramatkan


adalah kekhasan dari masyarakat Dayak dalam memandang
kawasan alam yang harus dilindungi dan dilestarikan dalam tujuan
untuk menjaga stabilitas kelangsungan makhluk hidup yang ada di
dalam kawasan hutan tersebut.
 Ewei Teweletn (hutan peliharaan) adalah strategi adaptasi terhadap
fenomena kondisi lingkungan alam dalam rangka mempertahankan
kelangsungan pemanfaatannya.
 simpukng berahatn (hutan perburuan)

Menurut Soedjito dan Sukara (2006) karakter penting masyarakat


tradisional adalah memunyai hubungan silang yang dekat dengan alam dan
sumberdayanya. Keberadaan masyarakat dan kelangsungan hidupnya umumnya
tergantung pada sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati di sekitarnya.
Hubungan dengan alam ini lebih berdasarkan pada koeksistensi daripada
kompetisi, Sehingga menghasilkan strategi budaya yang adaptif pada lingkungan
dan pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari. Ekspresi dari hubungan yang
harmonis ini dapat dilihat dalam konsep mengelola lahan yang menekankan
konsep konservasi yang terkemas untuk alasan budaya dan religi.
Kawasan yang dikeramatkan adalah kekhasan dari masyarakat Dayak
dalam memandang kawasan alam yang harus dilindungi dan dilestarikan dalam
tujuan untuk menjaga stabilitas kelangsungan makhluk hidup yang ada di dalam
kawasan hutan tersebut.kawasan yang dikeramatkan merupakan kekhasan pada
masyarakat Dayak dalam memandang alam yang harus dilindungi dan
dilestarikan. Sedangkan konservasi yang terkandung dalam ewei teweletn (hutan
peliharaan) dan simpukng berahatn (hutan perburuan) adalah melindungi agar
dapat dimanfaatkan bila memerlukannya dan bukan pelarangan (interdiction).
Pengetahuan local masyarakat Dayak Benuaq bersifat holistic integrative
yang tersebar luas dalam tradisi budaya sehingga system pengetahuan local yang
berakar pada system pengelolaan tradisional. Bahkan pengetahuan lokal mereka
dapat dipandang sebagai bentuk sejarah lingkungan di kawasan tersebut (Smith &
Wishnie, 2000). Hal ini bukan menunjukkan bahwa masyarakat lokal selalu
harmoni dengan alam, namun mereka juga menyebabkan kerusakan-kerusakan
hutan dengan kehadiran mereka. Namun kerusakan yang disebabkan oleh
kelompok-kelompok masyarakat lokal kurang berpengaruh pada ekosistem
dibandingkan besarnya kerusakan yang disebabkan akibat aktifitas pertambangan,
penebangan oleh orang-orang yang tidak familiar dengan ekosistem setempat
(Scharzman et al, 2001).
Hasil- hasil pengelolaan sumberdaya lokal oleh masyarakat Dayak Benuaq
mengindikasikan bahwa sampai saat ini masyarakat mengelola sumberdaya
dilingkungannya secara lestari. Walaupun memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dan struktur yang fleksibel, namun sistem-sistem pengelolaan
sumberdaya di masyarakat Benuaq di Kecamatan Muara Lawa kemungkinan
besar akan menghadapi kesulitan dimasa depan akibat perubahan-perubahan
drastis yang disebabkan meningkatnya kegiatan penambangan batu bara di
wilayah mereka.

Agroforestri Tradisional dan Model Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan


Simpukng merupakan sistem agroforestri tradisional (indigenous
agroforestry) yang sampai saat ini masih dijumpai di Kabupaten Kutai Barat.
Kapan dan mengapa budidaya simpukng mulai terbentuk pada masyarakat Benuaq
tidak diketahui secara pasti. Kenyataannya sistem-sistem kebun hutan dan kebun
pekarangan semacam itu juga dijumpai pada masyarakat suku-suku lainnya di
Kalimantan Timur seperti Dayak Bahau, Dayak Tunjung, dan Kutai (Sardjono,
2003). Terminologi berbeda digunakan untuk bentuk agroforestri tersebut pada
kelompok masyarakat suku-suku tersebut seperti lembo pada masyarakat Kutai,
munan pada masyarakat Dayak Tunjung, dan lepu’un pada masyarakat Dayak
Bahau. Selanjutnya dalam konteks riset agroforestri (Sardjono, 1995).

MANUSIA DAN ALANG-ALANG DI INDONESIA


Masalah alang-alang langsung atau tidak langsung telah menjangkau
tingkat nasional. Luas Padang alang-alang dewasa ini mencapai 32%, luas daratan
Indonesia (Suryatna dan Mclntosh, 1976). Seringkali pelaksanaan kebijakan
pemerintah misalnya dalam bidang pertanian, transmigrasi, reboisasi dan lainnya,
pada Padang alang-alang terbentur pada problem yang serius. Informasi mengenai
bagaimana proses alang-alang ini terjadi, sifat dan interaksinya dengan
masyarakat setempat masih sangat diperlukan.
Pengembangan dalam bidang pertanian biasanya disajikan seolah-olah
sebagai suatu usaha yang teknis saja. Yang melaksanakan dalam bidang ini
berusaha agar dapat mengetahui masalah apa yang terjadi di lapangan dan
mengusahakan pemecahan satu-satunya dengan baik lalu kemudian
menerapkannya untuk kepentingan semua pihak. Yang menjadi unsur utama
dalam usaha ini adalah kesadaran bahwa pengembangan demikian selalu bersifat
gerak sebelah yaitu bahwa kegiatan pengembangan akan suatu hasil pilihan dari
sebagian unsur dengan mengorbankan unsur lainnya Dan makin menjadikan
kelompok tertentu semua umurnya dengan mengorbankan kelompok lainnya.
Dikarenakan alasan yang bersifat politis dan ekonomis aspek yang bersifat
gerak sebelah ini cenderung masih tersembunyi. Oleh sebab itu kunci kesadaran
yang utama ialah bahwa kepercayaan mengenai pengembangan ini terlalu banyak
dibebani oleh ketidakbenaran kelalaian dan hanya pada mitos-mitos dalam kaitan
inilah ilmu ekologi manusia dan antropologi harus memberikan sumbangannya
yang khusus. Buku ini cenderung menyajikan satu ringkasan mengenai imperata
dan eubacterium di Indonesia saat ini khususnya di beberapa daerah yang nantinya
akan kami paparkan sedikit ringkasannya.
Sikap Manusia terhadap Alang-Alang di Sumatera
a. Sikap transmigran terhadap alang-alang Sikap warga transmigran
terhadap alang-alang dipengaru oleh ekonomi, ekologi, dan budaya pada daerah
asal serta tuntutan keadaan di daerah baru. Tuntutan dan pengaruh di daerah baru
yang menyangkut masalah ini adalah sistem pertanian, sistem peter- nakan dan
sistem pemukiman.Nah mereka pandangan buruk terhadap alang-alang, karena
diang- gap mengganggu kegiatan mereka dalam usaha memperluas areal lahan
pertaniannya.
Pada sektor ekonomi yang lain, sikap mereka terhadap alang-alang juga
sangat berlainan, misalnya di sektor bangunan. Rumah-rumah untuk tempat
tinggal para transmigran telahdisediakan oleh pemerintah (bahan bangunan rumah
adalah papan kayu dengan atap dari ferocement). Tetapi para transmigran mem-
bangun kandang sapinya dengan menggunakan alang-alang sebagai atap
kandangnya.
Sikap positip terhadap alang-alang paling tampak di bidang
peternakantramisi menumbuhkan alang alang untuk makanan ternak mereka.para
transmigran beranggapan bahwa alang- alang itu mempunyai segi positip dan
negatip. Dianggap positip karena alang-alang dapat dipakai sebagai atap dan
terutama sebagai makanan ternak. Dianggap negatip karena mengganggu tanaman
tahunan.
b. Sikap penduduk Ogan terhadap alang-alang
Di sektor pertanian, seperti halnya para transmigran, penduduk Ogan
melihat alang-alang sebagai musuh (sebenarnya kekhawatiran mereka akan
gangguan alang-alang di lahan pertanian lebih besar,suku Ogan bersikap
memusuhi alang-alang, karena alang- alang menyita sebagian tanah pertaniannya
yang sudah semakin terbatas.
Di sekitar peternakan, alang-alang tidak merugikan pen- duduk Ogan,
tetapi juga tidak begitu membantu. Dalam hal bangunan, rumah milik penduduk
Ogan dibangun dengan bahan bangunan dari kayu dan atap dari genting, dengan
kandang ternak terletak di bawah rumahnya. Keadaan ini menyebabkan mereka
tidak terbiasa untuk menggunakan alang-

Anda mungkin juga menyukai