Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN TEKNIS

KAJIAN KEANEKARAGAMAN PARTISIPATIF


DI DUA DESA PENYANGGA KAWASAN SUAKA ALAM DAN PELESTARIAN ALAM
PADA PULAU HALMAHERA DAN PULAU BACAN
MALUKU UTARA

Disusun oleh:
Sugeng Santoso, Vincentia Widyasari

Diperiksa oleh:
Adi Widyanto

Burung Indonesia
Jl. Dadali No. 32
Bogor 16161
SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
1.2. Tujuan
1.3. Ruang lingkup
1.4. Metodologi
Bab II KONDISI UMUM WILAYAH
2.1. Desa Kosa
2.1.1 Lokasi Desa Kosa
2.1.2 Sejarah Desa Kosa
2.1.3 Demografi Desa Kosa
2.1.4 Kebutuhan Dasar
2.1.5 Sumber Penghidupan
2.1.6 Lingkungan dan Layanan Alam
2.1.7 Sistem Sosial
2.2. Desa Gandasuli
2.2.1. Lokasi Desa Gandasuli
2.2.2. Sejarah Desa Gandasuli
2.2.3. Demografi Desa Gandasuli
2.2.4 Kebutuhan Dasar
2.2.5 Sumber Penghidupan
2.2.6 Lingkungan dan Layanan Alam
2.2.7 Sistem Sosial
BAB III KEANEKARAGAMAN HAYATI
3.1. Definisi
3.2. Keanekaragaman Hayati di Desa Kosa dan Gandasuli
BAB IV ANCAMAN TERHADAP KEHATI
4.1. Ancaman terhadap Paruh Bengkok
4.2. Illegal Logging
4.3. Galian C (Penggalian Pasir)
4.4. Pemakaian Pupuk dan Pestisida Kimia
4.5. Pembukaan Lahan untuk Kegiatan Pertanian dan
Perkebunan
BAB V PENGELOLAAN KEHATI
5.1. Aktor dan Kelembagaan
5.2. Staus Kawasan dan Implikasinya
5.3. Aturan dan Kesepakatan
BAB VI REKOMENDASI
LAMPIRAN
Foto kegiatan
Panduan-panduan
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, yang
ditandai dengan ekosistem, jenis dalam ekosistem, dan plasma nutfah (genetik) yang berada didalam
setiap jenisnya. Wilayah Indonesia mencakup tiga kawasan biogeografi (Sunda Kecil, Wallacea,
Papua), sehingga Indonesia menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia dan dikenal
sebagai Negara mega-biodiversity. Namun demikian, Indonesia juga merupakan negara dengan
tingkat keterancaman lingkungan yang tinggi meliputi: kerusakan habitat, pemanfaatan sumber daya
alam ataupun pemanenan yang tak lestari, perburuan dan perdagangan satwa liar dan tumbuhan
secara ilegal. Proses pembangunan juga berkontribusi memberi tekanan pada lingkungan; jumlah
penduduk yang besar dan terus bertambah menyebabkan kebutuhan dasar pun semakin besar,
sehingga sering terjadi perubahan fungsi areal hutan, sawah dan kebun rakyat baik oleh pemerintah
maupun swasta. Keadaan demikian menyebabkan menyusutnya keanekaragaman hayati dalam
tingkat jenis.
Provinsi Maluku Utara, yang terletak pada kawasan Wallacea, menjadi habitat penting bagi 311 jenis
burung-burung yang tersebar di kepulauan Halmahera dan kepulauan Sula. Sebanyak sembilan (9)
jenis diantaranya adalah burung-burung paruh bengkok; tiga (3) paruh bengkok merupakan jenis
endemis Maluku Utara. Namun, keberlangsungan hidup mereka terancam oleh perburuan dan
perdagangan satwa liar ilegal, serta kehilangan habitat. Pada tahun 1990-1999 setidaknya ada 43.000
individu kakatua putih (Cacatua alba) di alam1, pada tahun 2000-2009 menjadi 8.630 individu2.
Artinya, populasinya menurun 80% hanya dalam sepuluh tahun. Burung Indonesia (2009) mencatat
empat jenis paruh bengkok yang populer diperdagangkan, dua diantaranya endemis Maluku Utara
yaitu kakatua putih (Cacatua alba) dan Kasturi ternate (Lorius garrulus). Profauna (2017) mencatat
bahwa kedua jenis tersebut terancam keberadaanya di alam akibat penangkapan liar (profauna
2017). Mulai tahun 2001 hingga 2017 berbagai kegiatan investigasi penangkapan dan perdagangan
paruh bengkok di Maluku Utara telah dilakukan dengan kesimpulan bahwa perburuan liar dan
perdagangan satwa ini masih marak terjadi karena tidak berhentinya permintaan pasar.
Masyarakat yang ada di masing-masing daerah memiliki pengetahuan yang berbeda-beda.
Masyarakat desa di dalam dan disekitar hutan sebagian besar merupakan kelompok masyarakat
tradisional, dengan pengetahuan lokal yang biasanya diwariskan turun-temurun untuk mengelola
sumberdaya alam secara bijak melestarikan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Seiring waktu,
pengetahuan lokal tergerus zaman, dinilai tidak relevan dengan perubahan pengetahuan dan
perubahan lingkungan yang terjadi, ataupun sudah hilang dalam ingatan masyarakat desa.

1
Lambert,FR and Yong,D. 1993. Some Recent Bird Observation from Halmahera. Kukila 4 (1-2): 30-33
2
Bashari, H. 2012. Survei Avivauna di Dalam Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Halmahera, Maluku
Utara. Burung Indonesia, Bogor.
Masyarakat pun berkembang, saling berpindah/migrasi dan saling mempengaruhi, serta
beradaptasi. Potensi-potensi yang ada perlu diperkuat agar masyarakat mampu menjawab
tantangan perubahan secara bijak, mampu beradaptasi terhadap perubahan dan sejahtera tanpa
menghancurkan keberlanjutan lingkungan dan kehidupan satwa liar dan habitatnya. Hal tersebut
hanya dapat tercapai bila masyarakat sendiri yang memiliki prosesnya; partisipasi dan rasa
kepemilikan adalah kunci.
Oleh sebab itu, Burung Indonesia melakukan pengkajian keanekaragaman hayati secara partisipatif
sehingga pengetahuan lokal masyarakat akan tergali lewat proses yang dilakukan sendiri oleh
masyarakat. Masyarakat bersama Burung Indonesia bersama-sama berbagi pengetahuan terkait
keanekaragaman hayati yang ada di desa dan pengelolaan Lestari, serta mencari cara-cara untuk
meningkatkan kesejahteraan dan melestarikan keanekaragaman hayati dan habitatnya.

1.2 Tujuan
Secara khusus, kajian keanekaragaman hayati partisipatif bertujuan untuk:
1. Mendapatkan gambaran mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat, pengetahuan, sikap dan
perilaku mereka terkait keanekaragaman hayati di desa,
2. Mengidentifikasi pelaku penangkap dan pemelihara burung paruh bengkok, perilaku dan persepsi
mereka terkait keanekaragaman hayati di desa.
Karena sifatnya partisipatif, kajian ini juga berfungsi sebagai:
1. Wadah belajar bersama untuk memahami dan menganalisis situasi desa terkait keanekaragaman
hayati, memecahkan persoalan yang teridentifikasi dan mengujicoba opsi solusi pemanfaatan
sumberdaya alam secara Lestari yang berdampak pada keanekaragaman hayati.
2. Media untuk diseminasi informasi mengenai konservasi keanekaragaman hayati khususnya
tentang burung paruh bengkok, dengan harapan masyarakat menjadi paham dan sadar akan
pentingnya konservasi dan merubah perilaku yang merusak/mengancam.
3. Pintu masuk dalam membangun kesepakatan bersama Pemerintah, masyarakat dan stakeholder
terkait, dalam upaya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Hasil kajian kehati
partisipatif dapat digunakan sebagai referensi untuk menentukan strategi dan arah kebijakan
pembangunan desa yang berkelanjutan.
Di akhir kajian kehati partisipatif, hasil yang diharapkan adalah:
1. Adanya data dan informasi mengenai kondisi desa (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan)
secara komprehensif yang dipahami oleh parapihak di desa dan dapat digunakan sebagai
referensi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di desa.
2. Adanya individu-individu yang menunjukkan komitmen terhadap pelestarian keanekaragaman
hayati melalui keterlibatan dalam proses kajian dan melakukan tindakan/perubahan perilaku
yang mengurangi ancaman terhadap paruh bengkok.
3. Ada inisiatif dari parapihak di desa untuk melakukan tindakan terkait pemanfaatan sumberdaya
alam Lestari dan pelestarian keanekaragaman hayati terutama burung paruh bengkok dan
habitatnya, termasuk inisiatif penyusunan kesepakatan bersama.

1.3 Ruang Lingkup


Kajian keanekaragaman hayati partisipatif ini dilaksanakan di dua desa, yaitu Desa Kosa, Kecamatan
Oba, Kota Tidore Kepulauan dan Desa Gandasuli, Kecamatan Bacan Selatan, Kabupaten Halmahera
Selatan. Kedua desa ini dipilih berdasarkan hasil investigasi Burung Indonesia tahun 2008-2009,
Profauna 2017, serta rekomendasi dari BKSDA Maluku dan Balai TN Aketajawe Lolobata, yang
menunjukkan bahwa kedua desa merupakan desa sumber penangkapan paruh bengkok. Desa Kosa
merupakan desa kawasan penyangga kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Desa Gandasuli
merupakan desa penyangga kawasan Cagar Alam Gunung Sibela.

1.4 Metodologi
Pendekatan yang dipakai dalam kajian ini adalah pendekatan partisipaitf, yang juga mendorong
adanya perubahan perilaku. Maka, tahapan pengkajian disusun secara seksama, tidak semata
mencari data melainkan mengoptimalkan partisipasi dan mencari cara untuk perubahan perilaku.
Berikut tahapan dalam pengkajian kehati partisipatif:

1. Pengenalan Wilayah
Pada tahap ini, fasilitator desa membangun kepercayaan dengan masyarakat desa sekaligus
mendapatkan gambaran awal dari kondisi desa. Fasilitator Burung Indonesia tinggal di desa,
bergaul dan beraktivitas bersama masyarakat desa (live in) termasuk ikut melakukan pekerjaan
masyarakat desa sehari-hari. Informasi yang digali terkait tentang kebutuhan dasar masyarakat
dan cara pemenuhannya, ekonomi dan sumber penghidupan, lingkungan dan layanan alam yang
diberikan, budaya dan dinamika di desa, serta aturan-aturan yang berlaku di desa. Identifikasi
para pemburu, penjual dan pemelihara paruh bengkok serta perilaku merusak kelestarian alam
lainnya mulai dilakukan secara informal.
Prinsip perubahan perilaku yang dipakai adalah:
- Reciprocity: Burung Indonesia membantu masyarakat dengan cara mendampingi anak-anak
belajar dan ujicoba penyaringan air bersih untuk mengatasi masalah air yang keruh,
membantu pemerintah desa menyusun sejarah desa dan sketsa desa untuk penyusunan
profil desa, mengorganisir dan mendampingi pemuda agar berfungsi sebagai penggerak di
desa dan berada dibawah koordinasi pemerintah desa, mendampingi penyusunan tata kelola
taman baca desa.
- Liking: Burung Indonesia live-in di masyarakat dan melakukan aktivitas sehari-hari bersama
masyarakat, menjadi bagian dalam masyarakat desa.
2. Identifikasi Tokoh/Pihak di Desa
Fasilitator mengidentifikasi siapa saja para tokoh dan parapihak di desa yang memiliki pengaruh
(influence) dan kepentingan (interest), serta dinamika di antara mereka. Tujuannya adalah untuk
memahami siapa pihak yang perlu didekati, bagaimana cara-cara berhubungan atau bertindak
dengan parapihak di desa tersebut, bagaimana mendorong perubahan perilaku lewat pihak yang
teridentifikasi. Identifikasi para pelaku masih tetap dilakukan secara lebih mendalam, yaitu
bagaimana profil para pemburu dan penjual, pengaruh dan kepentingan mereka di desa, serta
para pemelihara. Data yang didapat dari tahap ini kemudian menjadi basis untuk menerapkan
prinsip “Authority” dalam teori perubahan perilaku.
3. Kajian Potensi Desa & Persoalan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Di tahap ini, informasi yang sudah didapatkan dari tahap pengenalan wilayah diperdalam dan
dibahas lewat diskusi-diskusi bersama pemuda, kelompok tani (bapak-bapak) dan kelompok ibu.
Investigasi perburuan dan perdagangan semakin dalam dan leluasa, sebab masyarakat sudah
menerima fasilitator sebagai bagian dari masyarakat desa. Di tahap ini, mulai diadakan diskusi
tentang cara-cara pemanfaatan alam yang Lestari dan mulai dilakukan ujicoba untuk mengolah
hasil alam secara Lestari. Prinsip perubahan perilaku yang dipakai adalah “Reciprocity” dan
“Liking” yaitu Burung Indonesia bersama-sama masyarakat mengolah lahan secara organik,
membuat minyak kelapa dan membuat bubuk jahe untuk kemudian dijual. Kegiatan tersebut
juga dimaksudkan sebagai quickwin, yaitu adanya hasil yang manfaatnya dirasakan langsung oleh
masyarakat sehingga masyarakat tetap tertarik terlibat dan tidak bosan dengan diskusi-diskusi
saja.
4. Kajian Keragaman Satwa Liar & Tumbuhan
Di tahap ini, kajian dilakukan terpisah antar-kelompok masyarakat. Masyarakat melakukan
identifikasi keragaman apa saja yang ada di sekitar mereka serta apa manfaatnya bagi kehidupan
sehari-hari. Masyarakat diajak memaknai keberadaan satwa liar dan tumbuhan dalam
ekosistem, serta dalam hidup pribadi di desa. Pemantauan terhadap perburuan dan
perdagangan paruh bengkok terus dilakukan. Prinsip perubahan perilaku yang dipakai adalah:
- Liking: mencari apa saja kesamaan karakter/ciri dari burung paruh bengkok dengan manusia
dan nilai yang dianggap penting orang di desa, kemudian menekankannya saat diskusi
(misalnya Kakatua monogami dan merawat anak)
- Authority: bercerita ke anak-anak dengan memakai prinsip “Liking” dan mendorong anak-
anak untuk melanjutkan cerita tersebut ke orangtua mereka.
5. Verifikasi Hasil Sementara
Verifikasi dilakukan dengan cara pemaparan hasil kajian di depan pemerintah desa dan warga
desa, sehingga perbedaan informasi dan data dapat segera diperbaiki dan dapat ditemukan apa
saja hal yang menjadi perhatian, harapan dan kekhawatiran masyarakat. Data-data kemudian
disusun dalam dokumen dan diserahkan kepada pemerintah desa agar dapat digunakan sebagai
referensi. Burung Indonesia juga menghubungkan masyarakat dengan pihak-pihak di luar desa
yang terkait, dengan cara dialog dan pemaparan hasil kajian. Pemantauan terhadap perburuan
dan perdagangan paruh bengkok terus dilakukan. Prinsip perubahan perilaku yang dipakai
adalah:
- Authority: bekerja bersama pemerintah desa ataupun tokoh berpengaruh di desa untuk
mendapatkan data yang baik dan verifikasi. Dengan melakukan pemaparan hasil di kegiatan
resmi desa, maka ada pengakuan terhadap hasil kerja Burung Indonesia dan individu-
individu yang terlibat kajian. Paparan diberikan oleh warga yang terlibat kajian. Selain itu,
kelompok pemuda dihubungkan dengan BKSDA Maluku SKW 1 Ternate sebagai pihak
otoritas untuk berbagi data dan berdialog. Kelompok pemuda merasa bangga dan
mempunyai rasa kepemilikan terhadap proses dan hasil kajian, serta isu perburuan.
6. Membangun Kesepakatan Bersama
Kesepakatan bersama tidak dibuat secara mendadak melainkan bertahap. Awalnya kesepakatan
disusun dalam kelompok pemuda secara informal. Setelah pemuda sudah merasa memiliki
proses dan hasil kajian serta menilai penting isu perburuan dan perdagangan paruh bengkok,
mereka kemudian mendorong pemerintah desa untuk menyusun kesepakatan pelestarian alam
desa. Selain itu, hubungan dengan pihak otoritas diluar desa juga memperkuat kesepakatan
bersama yang disusun. Prinsip perubahan perilaku yang dipakai adalah “Authority” yaitu
pemerintah desa dan BKSDA Maluku, serta “Consensus” yang dibangun bertahap dan
diumumkan di depan umum. Kegiatan pemantauan terhadap pelaku masih dilakukan, ditambah
dengan melakukan wawancara individual atau keluarga dalam survey Knowledge, Attitude,
Practice terhadap pemburu, penjual dan pemelihara.
7. Perubahan Perilaku
Menjelang akhir kajian diharapkan akan terjadi perubahan perilaku secara bertahap dari perilaku
menembak burung, menangkap dan menjualnya dan memelihara burung menjadi perilaku yang
mengusung konservasi. Beberapa contoh perilaku yang disasar: tidak lagi menembak burung,
mampu melakukan edukasi tentang paruh bengkok, mampu mengolah lahan secara organik,
menyerahkan burung paruh bengkok yang dipelihara ke pihak otoritas.

Pendekatan partisipatif untuk perubahan perilaku membutuhkan metode dan alat yang
memungkinkan tim untuk menggali informasi sekaligus mendorong keterlibatan masyarakat.
Tingkatan partisipasi yang disasar dalam kajian ini adalah:
1. Partisipasi pasif: masyarakat hadir melihat dan mengamati, mendengarkan dan hadir dalam
kegiatan kajian.
2. Pemberian informasi: masyarakat memberikan informasi yang diminta, tim kajian semata-mata
bertanya informasi dan masyarakat sebagai narasumber.
3. Konsultasi: tim kajian berkonsultasi kepada masyarakat mengenai ketepatan data yang didapat
(verifikasi), mendapatkan masukan dari masyarakat mengenai sebuah rencana/gagasan.
4. Partisipasi fungsional: masyarakat menjadi pelaksana/anggota tim kajian, menjalankan kegiatan
sesuai rencana yang disusun Burung Indonesia, Burung Indonesia masih menjadi sumber
informasi utama dan penggerak.
5. Partisipasi interaktif: masyarakat bersama-sama dengan Burung Indonesia melakukan analisis
bersama, mencari solusi permasalahan dan ujicoba solusi bersama-sama, masyarakat
menentukan sendiri peran yang akan dilakukan dan Burung Indonesia memfasilitasi prosesnya
saja. Tingkat partisipasi ini baru tercapai sebagian, belum sepenuhnya tercapai dalam kajian
partisipatif ini.
6. Mobilisasi mandiri: masyarakat memegang kendali dan kepemilikan, melakukan sendiri
penggalian informasi, analisis, mencari solusi, berhubungan dengan parapihak, menyusun
rencana dan melakukan kegiatan; Burung Indonesia semata-mata menghubungkan dengan
pihak-pihak yang dapat mendukung. Tingkat partisipasi ini belum dapat disasar dalam kajian
kehati partisipatif.

Metode yang digunakan adalah:


1. Berbincang-bincang dan melakukan aktivitas masyarakat desa
Kegiatan dilakukan tanpa arahan dan tidak terstruktur dalam suasana informal, bertujuan untuk
membangun kepercayaan dan memahami pola kehidupan di desa. Metode ini banyak dilakukan
terutama di awal kajian, dinamai tahap pengenalan wilayah. Fasilitator ikut bekerja ke kebun, ke
hutan, dan tugas-tugas di desa lainnya seperti kerja bakti.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan secara terstruktur maupun non terstruktur kepada narasumber per-
orangan, keluarga ataupun kelompok. Wawancara per-orangan dilakukan untuk perangkat desa
(Kepala Desa, Sekretaris Desa, BPD), tokoh masyarakat, pelaku perburuan ataupun pemelihara.
Sedangkan wawancara secara keluarga dilakukan untuk keluarga pemburu, keluarga pemelihara,
dan keluarga penebang pohon dan penggali pasir. Wawancara kelompok dilakukan dalam suasana
informal dengan kelompok tani, kelompok ibu-ibu PKK, kelompok remaja dan pemuda.
Alat yang digunakan adalah panduan wawancara, matriks kajian kehati dan kuesioner survey KAP.
3. Diskusi kelompok terfokus
Diskusi kelompok terfokus dilakukan untuk kelompok bapak-bapak petani, kelompok ibu PKK,
kelompok RT/dusun, kelompok remaja dan pemuda. Waktu pelaksanaan disesuaikan dengan
waktu masyarakat, dilakukan dalam suasana formal maupun informal. Dalam diskusi, dilakukan
penggalian data dan analisis masalah terkait topik tertentu, solusi menurut masyarakat, serta
diseminasi informasi dari Burung Indonesia. Proses penyadartahuan terjadi dalam diskusi
kelompok terfokus. Terkadang, diskusi diawali dengan permainan, pembuatan sketsa/gambar dan
pengamatan di alam, ataupun paparan informasi terkait konservasi.
Alat yang digunakan adalah sejarah desa, permainan jaring kehidupan, gambar ekosistem, sketsa
desa, pengamatan di alam, tabel kejadian penting di desa, panduan pertanyaan diskusi.
4. Review data sekunder
Tim mencari data sekunder dari dokumen pemerintah desa, peta, aturan KLHK dan Kemendesa.
5. Transect-walk
Kegiatan transect dilakukan dalam upaya identifikasi dan dokumentasi kehati, serta verifikasi
data-data yang telah didapatkan. Alat yang digunakan adalah sketsa desa, GPS, buku catatan.
II. KONDISI UMUM WILAYAH

2.1 DESA KOSA


2.1.1 Lokasi Desa Kosa

Sumber : Google Earth

Desa Kosa merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Oba, Kabupaten Kota Tidore
Kepulauan, yang berjarak 72,1 Km dari Kota Sofifi (Ibukota Propinsi Maluku Utara). Perjalanan
menuju desa Kosa dari kota Sofifi dapat ditempuh dengan menggunakan moda transportasi darat
yaitu motor maupun mobil. Apabila menggunakan motor dengan kecepatan standar 60 Km/jam
membutuhkan waktu perjalanan sekitar 1,5 jam. Apabila menggunakan mobil dapat ditempuh dalam
waktu sekitar 2 jam. Jika tidak mempunyai kendaraan pribadi maka dapat naik travel dengan tariff
Rp.100.000,- dari Sofifi. Travel tersebut dapat ditemukan di Pelabuhan Speed Sofifi maupun di rute
perjalanan Sofifi – Weda.
Apabila perjalanan dari kota Ternate, maka harus menyeberang dahulu dengan menggunakan speed
boat atau kapal fery menuju Sofifi. Tarif untuk naik speed boat Rp. 50.000,-/orang dengan waktu
yang ditempuh sekitar 30-45 menit, sedangkan tarif untuk naik kapal fery Rp. 24.000,-/orang dengan
waktu yang ditempuh sekitar 1 ½ jam.

2.1.2 Sejarah Desa Kosa


Desa Kosa merupakan salah satu desa di Kecamatan Oba yang mayoritas masyarakatnya berasal dari
Suku Makian, tepatnya berasal dari kampung Samsuma yang terletak di Pulau Makian. Masyarakat
yang tinggal di desa ini sudah ada sejak tahun 1980-an. Dahulu, mereka berpindah dari Pulau Makian
untuk mencari tempat perladangan yang baru dan juga setelah bencana alam meletusnya gunung
Kie Besi di Pulau Makian, maka semakin banyak penduduk yang bermigrasi ke desa Kosa. Desa Kosa
merupakan salah satu kawasan pengembangan strategis di Kota Tidore Kepulauan karena memiliki
tanah yang subur dan beragam hasil perkebunan dan pertanian.
Nama Desa Kosa berasal dari nama hewan kerang bivalvia yang banyak dijumpai oleh penduduk di
pinggiran pantai. Selain itu, ada orang tua yang berpendapat bahwa nama Kosa berasal dari singkatan
“Kami Orang Suka Agama”.

Tabel 1
Kejadian Penting di Desa Kosa

Tahun Kejadian Penting

Gunung Kei Besi meletus, sehingga semua warga di Pulau Makian dilarikan keluar
pulau. Awalnya, semua warga akan dipindahkan ke Malifut, Halmahera Utara.
Namun, karena ada sebagain warga yang menolak, mereka mengungsi ke arah
Payahe dengan alasan jaraknya lebih dekat dibandingkan dengan ke Malifut. Warga
yang memutuskan untuk mengungsi di Payahe pergi menggunakan satu perahu
1975 motor kayu dengan jumlah 40 KK. Pada awalnya, warga yang telah sampai di Pulau
Halmahera sementara tinggal di Boso-Boso dan Larambeti untuk mencari lahan
berkebun.

Setelah mengungsi ke Halmahera, ditunjuklah Untung Malang sebagai Ketua Rukun


Kampung di Kosa

Warga Makian yang tadinya tinggal di Boso-Boso dan Larambati berpindah ke area
1976-1977
Desa Kosa yang sekarang menjadi wilayah transmigrasi SP2.

1979-1980 Dinas Pertanian memberikan bantuan kelapa dalam/lokal untuk 50 ha kebun

Padi gogo panen raya, persatuan kelompok tani bagus menjadi faktor utama
1979-1980 keberhasilan tersebut.
Hasil panen mencapai 10 ton/KK, dengan jumlah 40 KK = 400 ton

Pembangunan jalan utama di lintas Kosa, pada tahun ini terbentuk wilayah kampung
1982
awal yaitu di RT 02

1983 Sebagian warga yang dulunya tinggal di kebun pindah ke kampung


Dinas Sosial Kabupaten Halmahera Tengah memberikan bantuan sebanyak 86 unit
1988 rumah semi permanen.
Gunung Kei Besi meletus, sehingga 80 KK bermigrasi dari Pulau Makian ke Kosa

Kadus sebelumnya, Bapak Untung Malang mendirikan rumah di Desa Payahe,


1998
sehingga warga mengganti dengan Kadus yang baru

1988-1990 Abdul Bahruddin menjabat sebagai Kadus

1990-2002 H. Siraju Syawal menjabat sebagai Kadus

Beberapa warga dari Pulau Kayoa yang kesulitan mencari lahan untuk berkebun
1991-1992
bermigrasi ke Kosa

1994-1995 Dinas Pertanian memberikan bantuan kelapa hibrida untuk 200 ha kebun

Wabah muntaber yang disebabkan karena cuaca ekstrim hingga ada korban
1995 meninggal sebanyak 4 orang dewasa. Pada waktu itu, masyarakat yang terserang
wabah muntaber dilarikan ke Puskesmas Payahe

1997-1998 Terdampak wabah malaria. WHO datang untuk memeriksa kondisi rumah per rumah

Terjadi kerusuhan di Maluku hingga Desa Kosa terdampak.


Sejumlah 35 warga "pasukan jihad" yang dipimpin oleh H. Syahbu dan Abdul
Bahrudin, berangkat ke Malifut yang merupakan kampung Suku Makian Samsuma.
1999-2000 Mereka berada disana pada bulan November 1999 - Januari 2000.
Disaat kerusuhan, hasil bumi warga desa menurun, aktivitas terganggu dan didirikan
pos jaga malam.

2002-2008 Ibrahim H. Untung menjabat sebagai Kadus

Proses Desa Kosa menjadi desa yang definitif. Sebelumnya, Desa Kosa masuk ke
2007
Desa Payahe

Desa Kosa menjadi Desa definitif. Pada tahun tersebut, diadakan pemilihan kepala
2008 desa. Terpilihlah Abdul Bahrudin (menjabat hingga tahun 2012 dikarenakan
meninggal dunia).

2012-2013 PJS Pak Ruslan

2013-2014 PJS Pak M. Nur (pegawai camat)

2014 Pemilihan kepala desa baru


2015 Terpilih Kepala Desa yang baru

Terjadi banjir besar yang sampai melumpuhkan aktivitas masyarakat. Beberapa


narasumber mengatakan bahwa hal ini terjadi karena penyumbatan sungai yang
2016 disebabkan tumpukan rakit yang dipakai para pencari kayu menyeberangkan
kayunya, tetapi rakit-rakit tersebut tidak diurus sehingga terseret arus air sungai dan
menumpuk membentuk bendungan.

2.1.3 Demografi Desa Kosa


Seiring perkembangan waktu dan pengembangan wilayah, terdapat 3 suku yang ada di desa ini, yaitu
Makian (185 KK), Jawa (85 KK), dan Bugis (4 KK). Penduduk desa Kosa berjumlah 750 jiwa dengan
pembagian menurut kelas umur sebagai berikut:
Tabel 2
Jumlah Penduduk Desa Kosa Berdasarkan Kelompok Usia

No Kelompok Usia Jumlah Prosentase (%)

1 0-4 65 9%

2 5-9 84 11 %

3 10-14 81 10,5 %

4 15-19 53 8,2 %

5 20-24 91 11,9 %

6 25-29 67 10,1%

7 30-39 118 17,5 %

8 40-49 82 8,9 %

9 50-59 82 8,9 %

10 > 60 28 4,5 %

JUMLAH 750 100 %

Sumber : profil Desa Kosa tahun 2016


Jika dilihat dari tabel diatas maka dari total jumlah penduduk Desa Kosa yang masuk dalam kategori
usia produktif (15 s.d 59 tahun) sebesar 65,5%, sedangkan untuk usia rentan (0 – 4 dan >60 tahun)
sebesar 13,5%.
Pendidikan adalah satu hal penting dalam memajukan tingkat kesadaran masyarakat pada umumnya
dan tingkat perekonomian pada khususnya, Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan
mendongkrak tingkat kecakapan. Tingkat kecakapan juga akan mendorong tumbuhnya ketrampilan
kewirausahaan. Dan pada gilirannya mendorong munculnya lapangan pekerjaan baru. Dengan
sendirinya akan membantu program pemerintah untuk pembukaan lapangan kerja baru guna
mengatasi pengangguran. Pendidikan biasanya akan dapat mempertajam sistimatika pikir atau pola
pikir individu, selain itu mudah menerima informasi yang lebih maju.
Tabel 3
Perkembangan Penduduk Desa Kosa
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir
Tahun 2015 – 2016

Jumlah penduduk
No Keterangan
Tahun 2015 Tahun 2016

1 Tidak Tamat Sekolah SD 143 146

2 Tamat Sekolah SD 221 241

3 Tamat Sekolah SLTP 181 189

4 Tamat SMU 147 149

5 Tamat Akademi/DI/DII/DIII 6 7

6 Tamat Strata I 15 17

7 Tamat Strata II 6 1

Jumlah 719 750

Sumber : Profil Desa Kosa Tahun 2016

Jika dilihat dari tabel 3 diatas, maka mayoritas jumlah penduduk tingkat pendidikan terakhir adalah
tamat sekolah SD sebesar 241 orang, sedangkan jumlah penduduk yang tamat SD keatas sebesar 363
orang. Perkembangan tingkat pendidikan dari tahun 2015 – 2016 meningkat sebesar 0,95%, sesuai
dengan peningkatan jumlah penduduk.
Tabel 4
Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Kosa
Menurut Jenis Pekerjaan
Tahun 2015 – 2016

JUMLAH
N0 PEKERJAAN
Tahun 2015 Tahun 2016

1 Petani 395 401

2 Buruh tani _ _

3 Peternak _ _

4 Pedagang 8 8

5 Wirausaha 9 9

6 Karyawan Swasta 4 4

7 PNS/POLRI dan TNI 4 4

8 Pensiunan 1 1

9 Tukang Bangunan 3 3

10 Tukang kayu/ukir _ _

11 Nelayan _ _

12 Angkutan _ 2

13 Lain-lain 307 337

JUMLAH 719 750

Sumber : Profil Desa Kosa Tahun 2016

Dilihat dari tabel diatas, mayoritas pekerjaan masyarakat Desa Kosa sebagai petani dan kedua
terbesar adalah pekerjaan lain-lain sedangkan pekerjaan sebagai buruh tani tidak ada, artinya petani
di Desa Kosa adalah petani pemilik penggarap.
2.1.4 Kebutuhan Dasar
Makanan pokok sebagian besar masyarakat Kosa terpenuhi dari hasil kebun. Makanan pokok
masyarakat seperti pada masyarakat Maluku Utara pada umumnya adalah adalah ubi jalar, pisang
(mayoritas pisang raja, pisang sepatu), sagu, dan nasi. Sayur mayur, selain dipetik dari kebun juga
diperoleh dengan membeli di pedagang keliling yang berasal dari transmigrasi SP1 Koli dan SP2 Kosa.
Ikan diperoleh dengan membeli ikan dari pedagang keliling. Kebutuhan makan dan minum bisa
dikatakan sudah terpenuhi karena masih banyak tersedia di alam. Kebutuhan dasar lainnya dipenuhi
dengan cara menjual hasil panen kebun.
Warga mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari sumur gali dan sumur bor. Air
di desa Kosa cenderung keruh, berwarna kekuningan dan berbau.
Bangunan rumah di Desa Kosa umumnya sudah permanen dan semi permanen. Kondisi sarana
prasarana di desa seperti Masjid, mushola, Puskesdes, lampu penerangan jalan, jalan tani, sekolah
(TK, SD, dan SMP) dalam kondisi baik dan beberapa masih dalam proses penyelesaian pembangunan.
Selain itu, saluran pembuangan air limbah dan perluasan jalan tani masih dalam proses
pembangunan. Saluran pembuangan air limbah menjadi hal yang penting mengingat topografi desa
yang berupa rawa sangat rawan terhadap banjir setiap tahunnya. Namun disayangkan,
pembangunan sarana pembuangan sampah organik dan organik masih belum tersedia, sehingga
seringkali warga membuang di belakang rumah atau dibakar.
Kebutuhan dasar terkait pendidikan terpenuhi mulai TK, SD, dan SMP, sementara untuk SMA,
masyarakat bersekolah di SMA didalam maupun luar kecamatan Oba. Menurut salah satu guru TK
Teratai, kendala terbesar yang dialami oleh guru TK adalah kurangnya kesadaran ibu-ibu akan
pentingnya pendidikan usia dini. Ibu-ibu yang sibuk di ladang sejak pagi sering membawa serta
anaknya ke kebun sehingga anak terkadang tidak masuk sekolah.
Terkadang, untuk memenuhi kebutuhan yang lain, banyak dari mereka berhutang kepada pengepul
kopra sebelum panen, kemudian hasil panennya akan diserahkan kepada pengepul (biasa mereka
sebut pelanggan) sesuai dengan perjanjian jual-beli yang disepakati. Permasalahan harga kopra yang
terus turun sejak tahun 2016, bahkan mencapai ½ dari harga sebelumnya membuat daya beli
masyarakat sedikit menurun.

2.1.5 Sumber Penghidupan


Masyarakat desa Kosa mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani kebun kelapa. Oleh
karena itu, sumber penghidupan masyarakat yang utama adalah kopra yang dipanen kurang lebih
setiap 3 bulan sekali. Komoditas lainnya yang mereka tanam di kebun adalah ubi jalar, pala, coklat,
cengkeh, rambutan, pisang, kacang-kacangan dan langsa. Bagi para petani yang menanam coklat,
hama yang paling mengganggu adalah hama Pengerek Buah Kakao (Conophomorpha cramerella) dan
Penggerek Batang Kakao (Zeuzera sp.) yang telah menyerang sejak tahun 1990an, dimana pada saat
itu masuk bantuan penanaman kakao hibrida.
Selain itu, pada tahun 2013, telah dibuka area transmigrasi yang bernama SP 2 Kosa. Area
transmigrasi tersebut dihuni oleh pendatang yang berasal dari jawa dan juga masyarakat lokal (orang
Tidore). Komoditas yang ada di area transmigrasi merupakan komoditas pertanian, antara lain tomat,
rica, bawang merah, padi, jagung, berbagai sayur mayur yang dipanen secara berkala setiap bulan
dan dipasok ke daerah Tidore Kepulauan hingga ke Halmahera Tengah.
Sekretaris BUMDes mengatakan bahwa kebun kelapa yang ada di desa memiliki potensi hampir 300
ton kopra/ triwulan panen. Setiap hektar kebun kelapa dapat menghasilkan lebih dari 500 kwintal
per panen. Kegiatan berkebun inilah yang merupakan salah satu sarana bersosialisasi antar warga.
Masyarakat masing-masing membuat kelompok kerja informal untuk membantu tetangga-tetangga
kebunnya melakukan pemanenan kelapa. Setelah pemilik kelapa memetik kelapa dari pohon,
kelompok inilah yang membantu melakukan pembelahan, pencungkilan, dan pengasapan kelapa.
Setiap salah satu dari mereka panen, anggota yang lain berkewajiban untuk membantu.
Sayangnya, sebagian pohon kelapa sudah terkena hama Penggerek Daun. Sebetulnya, hama ini
memiliki predator alami yaitu burung Bubuth Goliath yang oleh masyarakat lokal disebut Pantagae.
Pada tahun 1990an hingga sekarang, burung tersebut banyak ditembaki oleh anak-anak sehingga
sekarang jumlahnya semakin sedikit. Akibatnya, hama Penggerek Daun hidup bebas dan
mengganggu kebun kelapa masyarakat.
Selain hama, warga juga berhadapan dengan terus menurunnya harga kopra dari tahun 2016. Harga
kopra pernah mencapai puncaknya pada kisaran Rp. 9.000,00/kg dan sekarang hanya Rp.
4.000,00/kg. BUMDes selaku badan usaha yang bergerak di bidang jual beli hasil pertanian
masyarakat berupaya untuk membantu menaikkan harga jual dari petani dengan cara memotong
mata rantai penjualan kopra. Pihak BUMDes membeli hasil panen kopra dari Kosa dan beberapa desa
lain, kemudian menjual hasil kopranya langsung ke pengepul yang ada di Bitung, Sulawesi Utara,
sehingga harga jual masyarakat lebih tinggi dengan kisaran Rp.500,00 – Rp. 1.000,00 dari harga yang
dipatok oleh pengepul desa. Namun, karena masih kecilnya modal yang mereka miliki, (hanya 100
juta dari Dana Desa), belum banyak hasil panen yang bisa dibeli. Banyak dari masyarakat yang ingin
menjual ke BUMDes karena harga yang lebih tinggi, namun mereka juga terkadang terpaksa
berhutang dulu kepada pengepul untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya sehingga hasil panen
harus diserahkan ke pengepul.
Selain kopra, ada tanaman jagung yang sempat ditanam oleh masyarakat beberapa bulan belakangan
yang bibitnya berasal dari bantuan pemerintah Kota Tidore Kepulauan. Setelah mereka panen,
ternyata tidak ada pasar yang dapat menampung hasil panen mereka. Mereka menganggap bahwa
pemerintah kota tidak bertanggung jawab dengan program yang dilakukan. Beberapa masyarakat
berinisiatif untuk menjual sendiri ke Pulau Tidore dan sekitar kecamatan Oba, walaupun hasilnya
kurang menguntungkan. Sebagian yang lain, hingga saat ini masih membiarkan hasil panennya
“mangkrak” di rumah.
Keberadaan sapi-sapi liar juga sering mengganggu dan merusak tanaman sehingga produksi
pertanian, terutama tanaman hortikultura, menjadi rendah. Banjir yang rutin terjadi juga
mengancam lahan pertanian masyarakat; banjir terbesar terjadi pada tahun 2017. Selain itu,
keterampilan petani juga belum optimal, yang mencakup penyiapan benih, penyiapan lahan,
penanaman, pemupukan dan penyiangan. Petani lokal kebanyakan mulai bekerja terlalu siang.
Mereka memakai herbisida dan pestisida karena mengikuti para petani transmigran, meski begitu
mereka cenderung memakai sesuai takaran yang dianjurkan. Petani transmigran di wilayah SP2
cenderung menggunakan obat-obatan yang berbeda dengan dosis melebihi anjuran.
Menurut warga, masih banyak potensi sumber daya alam yang bisa dikembangkan, terlepas dari
kopra. Air kelapa yang berasal dari kelapa tua sama sekali tidak dimanfaatkan karena kurangnya
pengetahuan warga. Dari sisi pemanfaatan lahan, masih banyak sirajuma (tanah kosong) yang tidak
produktif yang luasnya mencapai 40 Ha. Selain itu, banyaknya anak-anak muda yang masih
menganggur, juga menjadi potensi SDM yang dapat dikembangkan.

2.1.6 Lingkungan dan Layanan Alam


Topografi Desa Kosa berupa tanah datar dan sebagian merupakan tanah rawa. Terdapat 1 sungai
yang bernama Ake Laka. Wilayah Desa Kosa berbatasan langsung dengan wilayah KPHP Unit IX Oba.
Namun, penduduk desa belum paham sampai dimana wilayah yang berbatasan dengan KPHP.
Karena kurangnya pengetahuan masyarakat, mereka sering menyangka kalau kebun-kebun mereka
berbatasan dengan wilayah TN Aketajawe Lolobata. Terlepas dari hal tersebut, sebagian masyarakat
mengatakan bahwa di masa depan, jika lahan yang sekarang tidak cukup untuk anak cucunya, ada
kemungkinan mereka bisa membuka lahan untuk perkebunan ke arah hutan karena mereka
menganggap bahwa tanah tersebut milik nenek moyang mereka.
Menurut informasi dari beberapa narasumber bahwa untuk mendapatkan sebidang tanah, petani
mengajak orang-orang tua (tokoh masyarakat) dan keluarga untuk mengukur tanah yang belum
dimiliki oleh orang lain. Kemudian diukur menggunakan tali, sehingga walaupun tanah tersebut tidak
akan digarap tetapi sudah dapat diklaim menjadi tanahnya karena sudah ada saksi (tokoh
masyarakat).
Masyarakat Desa Kosa telah mengenal proses jual beli lahan sejak tahun 2002, dan saat ini banyak
masyarakat yang sudah memiliki sertifikat. Pemerintah desa juga sedang melaksanakan PRONA dan
sebagian warga yang masuk dalam wilayah APL sudah dibuatkan sertifikatnya. Lahan masyarakat
yang menuju ke kawasan TN Aketajawe-Lolobata belum disertifikatkan karena menurut informasi
dari Kepala Desa bahwa masih diurus oleh BPN untuk perubahan status kawasan dari HPT menjadi
APL yang akan dialokasikan pada tahun 2019.
Kawasan hutan yang berada di Desa Kosa merupakan kawasan hutan produksi terbatas dan oleh
masyarakat dimanfaatkan untuk menanam kelapa, pala, cengkeh, kakao, rotan, dan buah-buahan.
Saat ini apabila terdapat rimba (hutan yang belum digarap) bukan berarti tidak terdapat
kepemilikannya. Sistem kepemilikan lahan tersebut melegalkan masyarakat untuk mengambil kayu
yang diklaim bahwa lahan tersebut adalah miliknya walaupun masih berupa rimba. Sehingga ada
kecenderungan bahwa ketika lahan pertanian/perkebunan sudah mulai terbatas maka kemungkinan
akan merambah lahan yang masih berupa hutan, dan akan ada kemungkinan muncul konflik antara
suku dalam dengan masyarakat Desa Kosa mengenai penguasaan lahan.
Kejadian bencana banjir pada tahun 2016 merupakan kejadian banjir terparah, hal ini disebabkan
karena banyaknya pengambilan kayu di hutan. Pengambilan kayu tersebut dengan menggunakan
alat transportasi sederhana dengan ditarik oleh sapi. Ketika sampai di sungai kemudian para
penebang kayu tersebut membuat rakit sederhana untuk menyeberang sungai. Sayangnya, rakit-
rakit tersebut ditinggal begitu saja dan akhirnya berkumpul di satu titik yang akhirnya mengakibatkan
air tidak dapat mengalir karena terbendung oleh rakit-rakit tersebut. Karena tidak dapat mengalir,
kemudian air sungai meluap menuju ke pemukiman warga.
Pemerintah Desa dan Dinas Transmigrasi merespon kejadian bencana banjir tersebut dengan
membuat saluran air yang dialirkan menuju areal pertanian warga transmigrasi dan membersihkan
sungai. Menurut warga, hal tersebut sangat membantu dalam menanggulangi banjir karena dalam 2
tahun terakhir ini walaupun hujan lebat selama satu hari tidak terjadi banjir. Selain itu sistem irigasi
di lahan pertanian juga lancar. Walaupun demikian, selama masih ada kegiatan illegal logging maka
kejadian bencana banjir pada tahun 2016 akan terulang kembali.
Melihat kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem baik di hutan maupun di
lingkungan masyarakat sudah rusak dikarenakan kegiatan illegal loging yang berdampak pada
kerusakan habitat satwa dan juga layanan alam seperti sungai.

2.1.7 Sistem Sosial


Masyarakat Kosa mayoritas merupakan suku Makean dengan 100% beragama Islam. Selain suku
Makean, terdapat pulau suku Jawa yang hidup di pemukiman transmigrasi. Niat baik pemerintah
dalam mengembangkan desa Kosa adalah dengan melakukan program transmigrasi pada tahun
2013, akan tetapi hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Terdapat berbagai permasalahan
dalam hubungan sosial sebagai dampak dari pengelolaan/kepengurusan transmigrasi yang tidak
serius. Selain itu, tingkat partisipasi politik desa cukup tinggi sehingga ketika terjadi perbedaan
pandangan politik maka akan mengakibatkan gap di dalam masyarakat. Dapat kita lihat dalam
gambar pola gap hubungan sosial masyarakat Desa Kosa di bawah ini.

Desa Kosa (3
dusun)

A A A
Masyarakat Lokal (Makian)
B B

A B B Masyarakat Trans (Jawa)

Gap antar masyarakat lokal terjadi karena perbedaan pandangan politik khususnya pada saat
Pilkada, Pilkades dan Pileg. Sampai saat ini gap masih terjadi dan berakibat lahirnya oposisi dan
koalisi di tingkat desa. Adanya oposisi dan koalisi tingkat desa menimbulkan like and dislike yang
berdampak pada sistem pembagian progam bantuan pemerintah.
Gap antar masyarakat transmigrasi terjadi karena persaingan usaha pertanian. Kita semua tahu
bahwa perantau akan memaksimalkan potensinya untuk bertahan hidup di lingkungan yang baru.
Sehingga ilmu dan pengetahuan yang ada dalam dirinya sangat sulit untuk dibagikan karena
persaingan tersebut. Sebagai contoh, terdapat petani yang cukup sukses di SP 2 Kosa dengan
menanam bawang merah. Petani tersebut tidak mau membagi ilmu dan pengetahuannya dengan
petani yang lain tentang budidaya bawang merah yang benar bahkan berani bersaing harga untuk
menjatuhkan petani bawang merah yang lain. Pola-pola seperti ini akhirnya menjadi suatu budaya
dalam persaingan untuk bertahan hidup. Sehingga budaya gotong royong yang dulunya mereka
lakukan ketika di Jawa sudah mulai memudar.
Gap antar masyarakat lokal dan masyarakat transmigrasi merupakan dampak dari adanya gap di
dalam hubungan sosial kedua masyarakat/suku tersebut. Sehingga mengakibatkan belum ada
kemajuan yang signifikan di desa Kosa walaupun terdapat program transmigrasi.
Desa Kosa terdapat beberapa kelompok yang bersifat formal seperti Kelompok Tani Kosa Mandiri,
Kelompok Tani Kayu Laka Jaya, dan PKK. Sedangkan beberapa kelompok lain merupakan kelompok
informal yang dibentuk untuk saling membantu dalam pengolahan kelapa menjadi kopra, biasanya
kebanyakan merupakan kaum laki-laki. Sedangan, ibu-ibu ada yang membentuk kelompok untuk
mengumpulkan kelapa setelah dipetik seperti dua kelompok di dusun dua.
Masyarakat Kosa yang merupakan suku Makian Samsuma memiliki budaya yang hampir sama
dengan suku-suku lain yang ada di Pulau Makian. Ciri kehidupan masyarakat Desa Kosa yang masih
hidup secara komunal menjadikan budaya gotong royong di kehidupan masyarakat Kosa masih
sangat kental. Budaya gotong royong yang ada di desa Kosa antara lain dilaksanakan pada saat:
a. Pembuatan pondasi rumah: Pada saat pembuatan pondasi rumah, semua tetangga yang ada
di sekeliling rumah membantu dalam pembuatan pondasi tersebut. Kegiatan ini lebih sering
dilakukan pada malam hari usai masyarakat selesai melakukan aktifitas berkebun di ladang.
Kaum laki-laki yang ada mengolah material bangunan menjadi pondasi rumah, sementara itu
kaum wanita memasak nasi kuning dan kopi campur guraka (jahe) yang akan disantap
bersama sebagai konsumsi kegiatan.
b. Mengolah kopra: kegiatan gotong royong dalam mengolah kopra biasa dilakukan saat
membelah dan mengorek kelapa sebelum diasapi. Kegiatan ini dinamakan “babelah deng
bakorek kelapa”. Biasanya, kegiatan gotong royong ini diterapkan dengan system arisan
tenaga, dimana apabila salah satu anggota arisan meminta anggota lain untuk membantu
dalam mengolah kelapanya, dia juga harus membantu anggota lain saat mengolah kelapanya.
c. Pesta perkawinan: apabila salah satu masyarakat menyelenggarakan acara perkawinan,
warga yang lain membantunya, kegiatan ini sering disebut beleliani. Kaum laki-laki membantu
dalam pemasangan tenda, mengolah kelapa dan memotong kayu bakar. Sementara itu, kaum
wanita memasak aneka masakan khas maluku utara. Selain itu, selama pesta perkawinan,
musik khas makian yang disebut togal mengiringi acara tersebut. Sayangnya, di Kosa,
pemutaran musik hanya diputar lewat sound system saja dikarenakan alat musik yang asli
tidak ada.
d. Kematian: apabila salah satu masyarakat mengalami kedukaan, maka mereka akan
membuatan tahlilan selama sembilan hari berjalan. Di hari ke sembilan, setelah semua
pengeluaran untuk menyelenggarakan tahlilan selesai dihitung, maka masyarakat
berswadaya untuk membayar semua pengeluaran, yang mereka istilahkan sebagai “bebayar”.

Tokoh masyarakat yang formal meliputi orang-orang di pemerintahan desa, imam masjid, ketua
pemuda dan warga yang sudah naik haji. Walaupun begitu, masyarakat terkadang kurang mengikuti
perkataan dan anjuran tokoh masyarakat formal. Sebaliknya, ada beberapa tokoh informal yang
ketokohannya lebih diikuti oleh warga, misalnya karena bersikap keras dalam memperjuangkan
kepentingan bersama dan kedekatan terhadap masyarakat.

Tabel 5
Identifikasi stakeholder di Desa Kosa

No Nama Ketokohan

Guru TK Teratai, aktif merangkul ibu-ibu untuk memberikan


kesadaran perlunya pendidikan dini, beliau sering berkeliling
1 Erni
ke rumah-rumah untuk memantau siswa tidak konsisten
masuk sekolah dengan alasan pergi ke kebun.

Walaupun bukan warga asli Kosa, setiap selesai tarawih


2 Imah menginisiasi dan mengajak ibu-ibu untuk tadarus bersama di
masjid.

Merupakan Pjs dari ketua PKK dikarenakan mengisi


kekosongan Kades saat itu, sehingga pengaruh dari ibu Nurja
3 Nurja masih cukup kuat di Dusun 2, dan suaminya pun merupakan
salah satu kandidat kades walaupun tidak berhasil mendapat
jabatan tersebut.

Sekretaris BUMDes, banyak pemuda yang singgah di


warungnya, disitu beliau sering mengajak pemuda untuk
berdiskusi memajukan potensi desa yang ada, beliau juga
4 Hafidz sering mengajak anak-anak muda untuk membuat kerajinan
atau produk hasil pertanian dari desa Kosa. Beliau dan
beberapa temannya ingin melakukan pemberdayaan ke
anak-anak muda yang masih menganggur dan ibu-ibu muda
yang belum banyak aktifitas untuk membuat produk turunan
No Nama Ketokohan
kelapa yang harganya lebih tinggi dibandingkan dengan
harga kopra.

Ketua pembangunan yang ada di Kosa, memiliki pekerjaan


sebagai kontraktor di Kecamatan Oba. Beliau juga
mempunyai usaha penampungan kayu yang sudah
5 Mansyur
mengantongi izin penampungan dan penjualan kayu.
Pendapatnya sering didengarkan oleh warga, terutama
tentang perencanaan pembangunan.

Merupakan tokoh masyarakat di lokasi transmigrasi, beliau


menginspirasi warga transmigrasi dan juga warga local
6 Kemi dalam hal pertanian, karena beliau satu-satunya petani asal
Jawa Timur yang dapat dijadikan contoh untuk warga yang
lain

2.2 DESA GANDASULI


2.2.1 Lokasi Desa Gandasuli
Desa Gandasuli secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan Bacan Selatan Kabupaten
Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, jarak dari ibukota Kabupaten adalah 7 Km dengan waktu
tempuh ± 20 menit.
Perjalanan menuju Desa Gandasuli apabila dari Kota Ternate menggunakan moda transportasi laut
dan udara. Perjalanan menggunakan kapal ditempuh dalam waktu 8 – 9 jam, dengan biaya Rp.
130.000/orang. Keberangkatan dari pelabuhan Bastiong menuju ke Pelabuhan Kupal, kemudian dari
pelabuhan Kupal naik ojek dengan biaya Rp. 10.000/orang. Jarak dari Pelabuhan Kupal menuju desa
Gandasuli ±3 Km ditempuh dalam waktu 10 menit.
Sedangkan apabila menggunakan pesawat udara ditempuh dalam waktu 30 menit, dengan biaya
±Rp. 415.000 ribuan/orang. Perjalanan dari Bandara menuju Desa Gandasuli ditempuh dengan waktu
±30 menit, dengan jarak ±15 Km.
Berdasarkan kondisi geografis, Batas Desa Gandasuli adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Desa Kupal
- Sebelah Timur : Gunung Sibela
- Sebelah Selatan : Desa Tuwokona
- Sebelah Barat : Laut Teluk Labuha
Desa Gandasuli dapat dibagi dalam 2 wilayah, yaitu wilayah pantai di bagian Barat dan wilayah
daratan di bagian Timur. Peruntukan lahan digunakan sebagai wilayah pemukiman, fasilitas umum,
pertanian, perkebunan masyarakat, dan kegiatan ekonomi lainnya. Secara administratif wilayah Desa
Gandasuli terdiri dari 7 RT. Dengan kondisi topografi demikian, desa Gandasuli memiliki variasi
ketinggian antara 0 M sampai dengan 35 M dari permukaan laut. Daerah terendah adalah di wilayah
RT 01 dan daerah yang tertinggi adalah di wilayah RT 05 yang merupakan daerah daratan.

2.2.2 Sejarah Desa Gandasuli


Desa Gandasuli, Kecamatan Bacan Selatan, awalnya merupakan satu kesatuan wilayah dengan desa
Mandaong yang masih dibawah pimpinan Abdul Basir Ahmad pada tahun 1962 yang membawahi
ada beberapa kampung antara lain Mandaong, Kupal, Gandasuli, Sawadai, Kubung. Dengan
keterangan batas wilayah kerja mulai dari air Dede (tempat kelahiran Almarhum Sultan Bacan Gahral
Syah) Pantai Hut sampai dengan Pantai Batupos, diperjelas dengan Pembagian Harta Kesultanan
Bacan Pada Tahun 1938 oleh Sultan Bacan Dede Muksin Usman Syah. Wilayah Gandasuli tercantum
juga didalam pembagian harta tersebut, serta Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 146 / SK /
39 / 89 tentang jumlah nama desa dan Kelurahan di Propinsi Maluku. Nama desa Gandasuli diambil
dari kebiasaan penduduk setempat. Penduduk Desa Gandasuli umumnya dari Sulawesi Tenggara
yang datang melewati Jazirah Kepulauan Seram dan Ambon.
Pada tahun 1940-an suku Buton tiba di Bacan dan mereka mendirikan kampung di pesisir pantai.
Kampung Batu Pos adalah kampung di mana mereka menetap. Pada masa itu Sultan Bacan
mengutuskan seorang kepercayaannya bernama Labori dan ia adalah Etnis Buton yang lebih duluan
menetap di Bacan. Tugas Labori adalah menjaga lahan Sultan serta memerintahkan orang Buton yang
berada di kampong Batu Pos untuk menanam pohon kelapa di lahan Sultan sebanyak 20.000 pohon
kelapa. Pada saat itu suku Buton belum ada hak pemilikan lahan. Saat pohon kelapa tumbuh, mereka
diizinkan membongkar hutan liar pasca kemerdekaan tahun 1950-an. Hutan-hutan liar yang
dibongkar untuk berkebun dan ditanam tanaman padi, kelapa, cengkih dll. Setelah tanaman tahunan
tumbuh besar mereka berpindah mencari hutan yang belum disentuh orang lalu digarap dan sebagai
bukti kepemilikan lahan. Gandasuli menjadi desa definitif pada tahun 1974 dibawah kepemimpinan
La Biru.
Pada tahun 1990-an, padatnya jumlah penduduk dan penetapan kawasan cagar alam membuat
lahan makin sempit. Pada masa inilah dimulai tradisi peminjaman lahan; orang Gandasuli meminjam
lahan ke desa-desa tetangga yakni desa Towokona, Panamboang, Sawadai, Kubung, Marabose dan
Balitro. Lahan yang dipinjam tanpa sewa tanah ataupun bagi hasil, melainkan ikut merawat tanaman
pemilik. Pemilik lahan juga menanam kepala dan cengkeh di lahan yang dipinjam orang Gandasuli.
Orang Gandasuli selain bercocok tanam di lahan pinjaman, juga merawat tanaman pemilik lahan
hingga dewasa. Seiring berjalannya waktu seringkali pemilik lahan ada kebutuhan mendesak
sehingga lahan mereka dijual pada orang Gandasuli. Namun, jual-beli tanah belum menggunakan
bukti tertulis, hanya sebatas lisan. Penggunaan bukti tertulis seperti surat jual-beli tanah
diberlakukan ketika Halmahera Selatan dimekarkan menjadi Kabupaten pada 2003.

2.2.3 Demografi Desa Gandasuli


Berdasarkan Data Administrasi Pemerintahan Desa, jumlah penduduk yang tercatat secara
administrasi, berjumlah 2287 jiwa pada tahun 2013,meningkat menjadi 2357 jiwa di tahun 2014 dan
pada tahun 2015 naik menjadi 2456 jiwa dan pada akhir tahun 2016 penduduk Desa Gandasuli.
berjumlah 2532 jiwa.

Tabel 6
Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Gandasuli

Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah penduduk jiwa (Tahun)

2013 2014 2015 2016

1 Laki-laki 1177 1213 1263 1303

2 Perempuan 1110 1144 1192 1229

Jumlah 2287 2357 2456 2532

Laju Pertumbuhan
3% 3, 50 % 4%
Penduduk
Sumber: profil desa Gandasuli.

Tabel 6 menunjukan adanya peningkatan jumlah penduduk tahun 2015 naik 3,50 % dan tahun 2016
naik 4%, sedangkan dilihat proporsi penduduk tercatat jumlah total penduduk Desa Gandasuli,
sebanyak 2532 jiwa, terdiri dari laki-laki 1303 jiwa atau 51,47% dari total jumlah penduduk yang
tercatat. Sementara perempuan 1229 jiwa atau 48,54% dari total jumlah penduduk yang tercatat.
Untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan deskripsi tentang jumlah penduduk di Desa
Gandasuli, berdasarkan pada usia dan jenis kelamin secara detail dapat dilihat dalam lampiran tabel
berikut ini:
Tabel 7
Jumlah Penduduk Berdasarkan Stuktur Usia Tahun 2016

No Kelompok Usia L P Jumlah Prosentase (%)

1 0-4 98 79 177 8%

2 5-9 138 150 288 12 %


3 10-14 145 120 265 11 %

4 15-19 150 132 282 12 %

5 20-24 273 138 135 6%

6 25-29 120 132 252 10 %

7 30-39 215 209 424 17 %

8 40-49 149 138 287 12 %

9 50-59 86 78 164 7%

10 > 60 64 56 120 5%

JUMLAH 1303 1229 2532 100 %

Sumber : profil desa Gandasuli


Jika dilihat dari tabel di atas maka dari total jumlah penduduk Desa Gandasuli yang masuk dalam
kategori usia produktif (15 s.d 59 tahun) sebesar 64%, sedangkan untuk usia rentan (0 – 4 dan >60)
sebesar 13%.
Selanjutnya, kita akan melihat berapa jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dan
pekerjaan, sebagai berikut :
Tabel 8
Perkembangan Penduduk Desa Gandasuli
Menurut Pendidikan Terakhir Tahun 2016

No Uraian JUMLAH

1 Tidak Tamat SD/sederajat 48

2 Belum Sekolah 259

3 Tamat SD/sederajat 596

5 PAUD /TK 36

6 Masih Tamat SD 351

7 Tamat SLTP/sederajat 234

8 Masih SLTP / Sederajat 189


9 Tamat SMA/SMK/sederajat 365

10 Masih SMA/ SMK/ Sederajat 113

11 Mahasiswa 129

12 Tamat Akademi/DI/DII/DIII 83

13 Tamat Strata I (S1) 125

12 Tamat Strata II/III (S2/S3) 4

Jumlah 2532

Sumber : Profil Desa Gandasuli

Jika dilihat dari tabel di atas maka jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2016
adalah penduduk dengan tingkat pendidikan tamat SD/sederajat dengan total 596 orang, sedangkan
yang tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi berjumlah 351. Tingkat pendidikan
terbanyak kedua adalah tamat SMA/SMK/Sederajat, yang melanjutkan ke perguruan tinggi
berjumlah 129 orang dan yang tamat perguruan tinggi (S1) berjumlah 125.
Tabel 9
Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Menurut Mata Pencaharian
Tahun 2016

JUMLAH
N0 PEKERJAAN
Tahun 2016

1 Petani 448

3 Nelayan Tangkap 46

4 Peternak 59

5 Pedagang 8

6 Wirausaha 5

7 Karyawan Swasta 15

8 PNS/POLRI dan TNI 78


9 Pensiunan 5

10 Tukang Bangunan 6

11 Tukang kayu/ukir 5

12 Nelayan/ Dibo-dibo 17

13 Angkutan / Sopir 32

14 Dosen 3

JUMLAH 727

Sumber : Profil Desa Gandasuli

Pekerjaan mayoritas masyarakat desa Gandasuli sebagai petani yang berjumlah 448 orang,
sedangkan yang bekerja sebagai PNS/POLRI dan TNI berjumlah 78 orang, jumlah ini adalah terbesar
kedua setelah petani.

2.2.4 Kebutuhan Dasar


Rumah-rumah di desa Gandasuli umumnya merupakan rumah permanen berukuran sekitar 150
meter persegi. Jarak antar-rumah cukup dekat sekitar 2-3 meter, sebab jumlah penduduk yang
banyak dan wilayah tidak bertambah.
Masyarakat desa Gandasuli pada umumnya mengkonsumsi kasbi (singkong), pisang, dan nasi. Untuk
kasbi biasa diolah menjadi papeda kasbi yang juga bisa dikatakan sebagai makanan pokok pengganti
nasi. Masyarakat juga menanam sayur-mayur dengan merode tumpang sari, jenis sayur yang biasa
ditanam antara lain rica, tomat dan sayur-mayur berupa kacang panjang, fofoki (terong), bayam,
kangkung, lilin dan sebagainya. Desa Gandasuli adalah penyuplai terbesar rica dan tomat semenjak
tahun 1990-an hingga sekarang baik di daerah Bacan maupun Ternate.
Kebutuhan dasar terkait pendidikan terpenuhi mulai TK, SD, SMP, dan SMA, sehingga tingkat
pendidikan di Desa Gandasuli dapat dikatakan tinggi karena banyak warga yang sudah lulus SMA dan
bahkan sampai S2. Sedangkan para orang tua sebagian besar tingkat pendidikan SD sehingga mereka
mampu untuk membaca dan menulis.
Kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan, terdapat Pustu dan Puskesdes di Desa Gandasuli, serta
terdapat beberapa masyarakat yang bekerja di Rumah Sakit Daerah sehingga untuk pertolongan
pertama pada saat ada orang sakit cukup cepat responnya.

2.2.5 Sumber Penghidupan


Sebanyak 80% masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, baik petani bulanan (tanaman
pangan) maupun tahunan (komoditi). Tanaman tahunan (komoditi) berupa tanaman kelapa,
cengkeh, pala dan coklat. Yang paling dominan adalah tanaman holtikultura, seperti, tomat, cabe,
sayur-mayur dan kacang-kacangan. Desa Gandasuli adalah penyuplai terbesar rica dan tomat
semenjak tahun 1990-an hingga sekarang baik di daerah Bacan maupun Ternate.
Di tahun 1990-an, masyarakat menggarap tanah di wilayah Gandasuli, tetapi seiring berjalannya
waktu mereka tak lagi menggarap lahan di wilayah Gandasuli melainkan di wilayah desa-desa
tetangga yakni desa Kubung, Panamboang, Sawadai dan Marabose. Lahan-lahan yang digarap oleh
penduduk Gandasuli dipinjam dari penduduk desa tetangga tanpa ada imbalan atau bayaran apapun.
Penyebab petani Gandasuli berkebun di wilayah desa tetangga adalah:
- Pada tahun 1999 warga mulai pelihara sapi, dan sapi sering merusak tanaman.
- Akses transportasi cukup sulit. Bila berkebun di wilayah Gandasuli, lokasi kebun cukup jauh
dari jalan utama sehingga sulit dijangkau dan membuat sebagian hasil pertanian sering rusak.
Sedangkan lahan yang mereka garap di desa-desa tetangga berada di pinggiran jalan dan
memudahkan mereka untuk membawa hasil ke pasar.
- Ketika penetapan batas kawasan cagar alam sebagian lahan penduduk masuk dalam
kawasan cagar alam. Hal ini membuat warga tidak nyaman, namun mereka tak mau
membuat masalah dengan pemerintah sehingga mereka menggarap lahan milik warga desa
tetangga.
Rica dan tomat merupakan potensi terbesar yang belum dapat dikembangkan secara baik.
Masalahnya adalah pertama, sering gagal panen karena pupuk serta obat pembunuh hama yang
digunakan kurang berkualitas. Kedua, adalah pasar. Bila hasil panen melimpah harga tomat dan rica
jatuh sehingga seringkali tidak terjual dan membusuk. Ketiga, fasilitas pendukung seperti alat
penggarap tanah masih peralatan seadanya (manual), tidak ada alat pembajak tanah modern.
Keempat, terjadi persaingan antara warga lokal dan pendatang (Jawa). Petani pendatang
menggunakan teknologi pembajak tanah modern dan pupuk serta obat hama yang jauh lebih
berkualitas.
Pendapatan petani tergantung pasar dan hasil panen, namun rata-rata pendapatan mereka sebulan
Rp.900.000-Rp.1.000.000. Pengeluaran mereka bervariasi tergantung kebutuhan hari-hari, namun
rata-rata perhari pengeluaran mereka kurang lebih Rp.100.000. Komoditas kopra, pala, cengkeh dan
kopra dijual pada pengusaha Cina di desa Labuha. Kopra seharga Rp.2.000/kg, cengkeh Rp.50.000-
80.000/kg, coklat Rp.25.000,-kg. Hasil-hasil tersebut akan dijual ke Jawa oleh pengusaha Cina
tersebut. Sedangkan pertanian bulanan berupa rica, tomat, sayur-mayur, ketimun dan sebagainya
dijual ke dibo-dibo, warga, pasar Labuha dan Babang. Harga tomat satu petak Rp.200.000,- cabai
Rp.80.000,-/kg, ketimun 4 buah Rp.20.000,-. Bila dijual eceran harga akan berbeda, misalnya tomat
2 buah Rp.5000, rica 1 cupa Rp.5000 dan ketimun 1 buah Rp.5000.
Petani tahunan sangat bergantung pada musiman dan hal ini membuat mereka lebih terfokus pada
pertanian bulanan dan pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan mereka adalah pembuatan
minuman keras (cap tikus) dari pohon aren, ternak sapi, pengolahan ikan fufu (ikan asap) dan
penambang pasir, menangkap dan menjual burung paruh bengkok.
Menurut informasi dari Sekdes, dulu pemerintah berusaha untuk mengalihkan pembuatan minum
keras (cap tikus) dari pohon aren menjadi gula merah dan diberi bantuan oleh pemerintah desa
berupa kuali besar tetapi gagal. Sebab, pembuatan cap tikus (minuman keras) jauh lebih mudah dan
harganya jauh lebih tinggi daripada gula aren. Sedangkan mereka yang memproduksi ikan fufu bukan
para nelayan, dan ikan yang mereka peroleh berasal dari desa Kubung dengan harga /kilo gram 15-
30 ribu. Setelah di fufu (asap) dijual 1 ekor Rp.25.000-30.000. Mereka yang menangkap dan menjual
buruh paruh bengkok (kakatua dan kasturi ternate) karena untuk menambah pendapatan keluarga,
pendapatan sebagai petani masih kurang untuk pemenuhan kebutuhan.

2.2.6 Lingkungan dan Layanan Alam


Desa Gandasuli terletak pada penyanggan Cagar Alam Gunung Sibela. Desa ini mempunyai sungai
utama yang mengalir di sepanjang sisi kiri desa Gandasuli. Aliran sungai tersebut berasal dari Gunung
Sibela dan dijadikan warga sebagai sumber air bersih dan air minum, serta untuk mandi dan cuci
pakaian.
Pada tahun 2016 terjadi bencana banjir yang hampir merusak jembatan penghubung antar desa di
ruas jalan utama. Hal tersebut dipengaruhi oleh kurangnya tanaman penyerap air serta jenis tanah
yang mudah untuk terkikis air sehingga juga mengakibatkan longsor.
Sisi Sungai Gandasuli yang terletak pada samping jalan utama arah ke laut terdapat galian C, di mana
warga memanfaat materialnya untuk dijual. Hilir Sungai Gandasuli menghasilkan batuan dan pasir
(Galian C) yang dimanfaatkan masyarakat Desa Gandasuli, khususnya beberapa warga RT 001,
dimanfaatkan untuk mata pencaharian utama. Selain warga RT 001 terdapat juga warga dari luar
Desa Gandasuli yang turut serta memanfaatkan galian C. Terkait pemanfaatannya, pemerintah Desa
Gandasuli menetapkan aturan mengenai wilayah yang boleh dan tidak boleh dilakukan
penambangan batu dan pasir yaitu penggalian boleh dilakukan ±20 meter dari bibir sungai,
penambang tidak boleh melakukan penambangan di bibir sungai karena akan semakin memperlebar
sungai yang nanti akan berdampak pada pemukiman di sepanjang aliran sungai.

2.2.7 Sistem Sosial


Masyarakat desa Gandasuli merupakan masyarakat suku Buton (Sulawesi Tenggara) secara garis
keturunan dan beragam Islam 100%. Suku Buton di desa Gandasuli terdiri atas beberapa sub-etnis
yakni Buton 8 dewa, Burangasi, Wuna, Wanci, Tomia, Kalidupa dan Cia-cia. Masing-masing sub-etnis
ini memiliki adat-istiadat tersendiri namun. Pelaksanaan adat hanya sebatas ritual perkawinan,
kematian dan Hadrat. Berikut beberapa praktik ritual yang masih dijalankan:
- Rorio
Rorio atau isi tampa pinang adalah tradisi tolong-menolong disaat perkawinan sesama
kerabat baik dari kerabat orang tua perempuan maupun laki-laki untuk meringankan beban
ekonomi atau disebut uang adat. Bila ada yang menikah para kerabat berkumpul pada
malam hari dan melakukan tahlilan disertai doa-doa. Setelah itu, diletakkan Loyang dan para
kerabat menaruh uang di dalam loyang sesuai kemampuan, tak ada standar penetapan
pemberian. Intinya, rorio adalah meringan beban ekonomi dan mempererat ikatan
kekerabatan.
- Hadrat
Hadrat merupakan upacara adat sebelum pemotongan hewan kurban yang diiringi dengan
nyayian. Dilakukan pada saat hari raya Idul Adha. Alat-alat yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan hadrat adalah rabana dan gendang. Disaat hari hari raya kurban mereka
memukul rabana, gendang sambil keliling masjid dan membawa kambing/sapi kurban.
- Pajoge
Pajoge adalah tarian tradisional buton yang menggunakan alat musik gendang 2 buah dan
gong. Disaat alat music dimainkan para wanita berselendang menari membentuk lingkaran
dan di tengahnya diletakkan sebuah loyang. Lalu para pria ikut menari mengelilingi para
wanita dan menaruh uang di dalam loyang. Uang tersebut akan disumbangkan ke masjid.
Pajoge biasa dilakukan pada saat hari raya Idul Adha dan Idul Fitri di siang hingga sore hari.
Tarian pajoge awal-mulanya merupakan hiburan rakyat yang kemudian dijadikan tarian
untuk menghibur para kalangan ningrat di Sulawesi Selatan. Tarian pajoge selain sebagai
hiburan juga untuk mendekatkan kalangan raja dengan rakyat.
- Lulo
Lolu adalah tarian tradisional yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Tarian ini diiringi lagu
daerah, gendang dan gong. Tarian ini dilakukan dengan bergandengan dan posisi telapak
tangan pria harus di bawah telapak tangan wanita. Ini kaitannya dengan etika yang harus
diperhatikan agar gerakan tetap harmonis dan wilayah dada wanita pasangan menari tidak
tersentuh. Tangan yang sudah saling mengait digerakkan turun naik bersama dengan
pasangan mengimbangi ayunan kaki maju mundur, ke kiri dan ke kanan. Jumlah penari tidak
dibatasi dan dapat membentuk lingkaran besar. Lebih jauh, tari lulo merupakan sarana
masyarakat meningkatkan ikatan kekerabatan tanpa mengenal sekat etnis maupun agama.
Awalnya lulo merupakan upacara untuk memuja dewa padi. Sehingga gerakan dasar tarian
lulo menggambarkan orang mengirik padi.

Masyarakat Gandasuli masih memiliki nilai budaya yang terkait pelestarian alam, yaitu kepercayaan
adanya binte atau jin penjaga hutan. Mereka percaya bahwa bila menebang pohon atau membakar
hutan sembarang maka orang tersebut akan sering sakit. Bila sakit, ia harus diobati dengan
menggunakan mantra-mantra serta meminta maaf pada binte. Bila ada warga yang hendak
membuka hutan untuk membuat kebun, ia akan basiloa-ola atau meminta ijin kepada binte agar
tidak disakiti.
Di desa Gandasuli terdapat beberapa grup pemuda yang sulit untuk dipersatukan, sehingga
dibutuhkan wadah untuk mempersatukan mereka yaitu sebuah organisasi. Selain itu karena para
pemuda ini tidak mengetahui mekanisme untuk mendapatkan dana desa sehingga mereka
menganggap pemerintah desa mempersulit dan tidak mendukung kegiatan pemuda, maka mereka
pun tidak akur dengan pemerintah desa.
Burung Indonesia berinisiatif untuk membuat organisasi kepemudaan yang dapat merangkul
beberapa tokoh dalam grup-grup tersebut serta menjelaskan kepada para pemuda mengenai
mekanisme untuk mengakses dana desa. Setelah lahirnya organisasi tersebut maka terdapat ruang
bagi para pemuda dalam menyuarakan aspirasinya dan juga pendanaannya. Beberapa kegiatan
sudah masuk dalam RKPDesa seperti pembangunan perpustakaan desa, yang awalnya sudah
difasilitasi oleh Burung Indonesia.
Pemerintahan Desa dikendalikan oleh 2 orang yang berpengaruh yaitu La Onda dan Sekretaris Desa,
sedangkan Kepala Desa hanya mengikuti apa yang disuarakan oleh kedua orang tersebut. Berikut
merupakan hasil dari identifikasi stakeholder yang dirasa cukup berpengaruh di desa:

Tabel 10
Identifikasi Stakeholder di desa Gandasuli

No Nama Ketokohan

1 La Onda Merupakan Staff kantor BAPPEDA Halsel bidang ekonomi, yang sangat
berpengaruh terhadap keputusan/kebijakan di Desa Gandasuli serta
dianggap sebagai penasehat pemerintahan desa Gandasuli. Beliau selalu
diminta pertimbangan oleh Kepala Desa.

2 Rifai Merupakan tokoh pemuda yang disegani oleh kalangan pemuda karena
kegiatan-kegiatan beliau yang dapat menggerakkan pemuda pada
masanya. Beliau juga mantan Kepala BPD Gandasui dan saat ini sedang
mencalonkan dirinya menjadi calon aggota leglislatif

3 Sekretaris Desa Apabila terdapat keputusan-keputusan terkait dana maupun kegiatan di


Desa, Kepala Desa selalu meminta pertimbangan dari Sekdes

4 Jufri La Eni Merupakan guru olah raga yang juga cukup berpengaruh di kalangan
pemuda khususnya RT 07

5 Nia Merupakah toko pemudi di Desa Gandasuli, cukup berpengaruh di


kalangan pemuda dan pemudi. Saat ini mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif

6 Darmin Ketua Komunitas Pecinta Alam Sibela (KAPAS) sekaligus Ketua RT 03

7 Suntati La Sinta Mempunyai pengaruh besar di kelompok majelis taklim dan kader
posyandu

8 Maica La Nae Selalu mengajak para pemudi atau ibu-ibu jika ada kegiatan di desa
III. KEANEKARAGAMAN HAYATI

3.1 Definisi
Menurut beberapa referensi, definisi dari keanekaragaman hayati adalah sebagai berikut :
1. Pengertian keanekaragaman hayati adalah variabilitas di antara makhluk hidup dari semua
sumber, termasuk interaksi ekosistem terestrial, pesisir dan lautan dan ekosistem akuatik lain
serta kompleks ekologik tempat hidup makhluk hidup menjadi bagiannya. Hal ini meliputi
keanekaragaman jenis, antar jenis dan ekosistem (Convention on Biological Diversity, 1993)
2. Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumber daya hayati berupa jenis
maupun kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), keanekaragaman
antar jenis dan keanekaragaman ekosistem (Sudarsono, 2005)
3. Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan di atas bumi ini baik
tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta berbagai materi genetik yang dikandungnya
dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup. Termasuk didalamnya kelimpahan
dan keanekaragaman genetik relatif dari organisme-organisme yang berasal dari semua habitat
baik yang ada di darat, laut maupun sistem-sistem perairan lainnya (Global Village Translations,
2007)
4. keanekaragaman hayati adalah kelimpahan berbagai jenis sumberdaya alam hayati (tumbuhan
dan hewan) yang terdapat di muka bumi (Ani Mardiastuti, 1999)
5. Keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai dari makhluk
sederhana seperti jamur dan bakteri hingga makhluk yang mampu berpikir seperti manusia
(Bappenas, 2004)
Sedangkan menurut masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dalam kajian kehati partisipatif,
keanekaragaman hayati adalah sebagai berikut. Bagi masyarakat desa Kosa, keanekaragaman hayati
adalah hewan dan tumbuhan yang ada di hutan. Pemahaman mereka berubah setelah melakukan
kajian, yaitu keanekaragaman hayati juga mencakup hewan dan tumbuhan yang ada di sekitar
tempat tinggal, baik yang ada di atas tanah maupun di dalam tanah. Bagi masyarakat desa Gandasuli,
keanekaragaman hayati adalah segala jenis tumbuhan dan binatang. Berikut beberapa petikannya.
- Aba, seorang penjual ikan asap, menyatakan bahwa kehati adalah pohon, tumbuhan, burung dan
binatang seperti babi, rusa, yakis, kambing, ayam, sapi dan lainnya. “Atau orang sering bilang flora
dan fauna,” ujar Aba.
- Ali Rahman, seorang petani, memahami kehati sebagai burung-burung dan binatang, pohon dan
tumbuhan.
- Iksan, seorang petani yang juga sekretaris pemuda, menyatakan bahwa kehati meliputi semua
jenis pohon, tumbuhan dan binatang.
- Wawan, seorang pemuda, manyampaikan bahwa kehati biasanya “disebut flora dan fauna yang
terdiri atas satwa dan binatang, pohon dan tumbuhan.”
- Febriyanti, seorang remaja, berkata, “Kehati itu ada pohon, tumbuhan, burung, binatang dan
semua isi alam juga merupakan keanekaragaman hayati.”

3.2 Keanekaragaman Hayati di Desa Kosa dan Gandasuli


Selama bulan Agustus – April 2019, fasilitator bersama dengan masyarakat mempelajari apa yang
dimaksud dengan keanekaragaman hayati. Fasilitator memandu beberapa kegiatan agar kelompok
target dapat menemukan sendiri pemahamannya lewat analisis pengalaman mereka; mencakup
kegiatan: menyusun daftar tumbuhan dan satwa liar yang ada di sekitarnya, bermain jaring
kehidupan dan diskusi tentang ekosistem menggunakan analogi dalam permainan, mengamati
tumbuhan dan satwa di habitat aslinya, melihat keterkaitan tumbuhan dan satwa tersebut dengan
kehidupan manusia, menyusunnya dalam matriks kompilasi. Seluruh langkah dilakukan di desa
Gandasuli bersama para pemuda dan remaja, terutama yang hobi menembak burung-burung. Di
desa Kosa, hanya sebagian dilakukan bersama dengan ibu-ibu yang keluarganya memelihara burung.
Di desa Kosa, para ibu mengidentifikasi tanaman bermanfaat yang mudah dijangkau, berada di
pekarangan rumah dan lahan-lahan di dalam kampung. Tanaman yang diidentifikasi adalah tanaman
yang biasa mereka manfaatkan untuk obat, makan maupun jual. Ada 17 tanaman obat yang
dijabarkan pemanfaatannya (apa, bagian yang dimanfaatkan, cara mengolah) dan jumlahnya di desa
(mudah atau sulit ditemui), dan 53 tanaman pangan yang dipanen bulanan ataupun tahunan.
Di Kosa, selain dengan para ibu, tim juga bekerja bersama bapak-bapak petani. Fasilitator menggali
cara-cara pengolahan lahan oleh petani dan berdiskusi bersama petani mengenai fungsi dari jenis-
jenis satwa dan tumbuhan pada lahan pertanian. Beberapa petani menganggap burung-burung lah
yang memakan hasil kebun seperti jagung, kelapa, dan kacang-kacangan. Namun, ada petani yang
sudah sadar bahwa burung dapat mengontrol hama di sekitar kebun, seperti burung pantagae
(bubuth goliath) yang memakan boto-boto (hama pengerek batang kelapa). Para petani kemudian
diajak mengenali mahluk hidup apa saja yang memiliki hubungan dengan tanaman pertaniannya;
mengidentifikasi yang ada di atas tanah hingga yang di dalam tanah. Dari latihan ini, petani
menyimpulkan bahwa keanekaragaman hayati adalah semua mahluk hidup yang ada di atas tanah
dan di dalam tanah, seperti cancing yang penting bagi kesuburan tanah dan tumbuhan. Para petani
pun mampu menunjukkan keterhubungan antar jenis (mahluk hidup) dengan yang tidak hidup dalam
kebunnya, serta peran masing-masing. Petani menjadi paham apa itu ekosistem. Berikut visualisasi
dari ekosistem di lahan pertanian.
Di Gandasuli, para pemuda dan remaja berhasil mengidentifikasi 28 jenis satwa liar yang hidup di
desa Gandasuli dan 6 diantaranya adalah burung-burung paruh bengkok (tabel 14). Serta, terdapat
15 jenis pohon yakni beringin, matoa, gufasa, samama, tofiri, buarau, meme, suling, rotan, waka,
damar, bambu, aren, cengkeh dan pala peninggalan Belanda.

Mereka kemudian mengidentifikasi apa saja pakan satwa liar dan habitatnya. Hal ini bertujuan untuk
menghantar partisipan memahami bahwa setiap jenis memiliki keterkaitan dengan jenis lain.
- Luri (kasturi ternate) makan buah rao, pisang, bunga kelapa, buah jambu, buah ngame, buah
matoa. Tidur di pohon kenari, gufasa, besi, matoa dan pohon ngame.
- Kakatua putih biasanya makan buah pohon beringin, pisang hutan, durian, buah matoa.
Bertelur di ranting kering pohon matoa, pohon besi, beringin. Tempat tidur di kayu besi,
kenari dan matoa.
- Kakatua biru (nuri bayan jantan) makan jagung, buah matoa, durian dll. Tempat tidur di
pohon matoa beringin, besi, gufasa yang cukup tinggi dan di pohon-pohon ini juga sering
mereka bertelur jika ada ranting keringnya.
- Perkici dagu-merah makan sari bunga kelapa, bunga jambu (gora) serta buahnya sudah
matang. Tidur di pohon kelapa, pohon besi, pohon cengkih, kenari.
- Raja udang makan buah kersen.
- Burung Hantu makan tikus, serangga dan jangkrik.
- Burung bidadari makan bunga kayu matoa dan serangga. Tempat tidur pohon matoa, suling,
gufasa.
- Kupu-kupu makan sari bunga cengkih.
- Iguana pemakan serangga dan biasanya tidur di pohon-pohon sagu
- Biawak pemakan serangga, tikus, jangkrik
- Tokek
- Cimbak makan buah soki/buah mangrove
Kegiatan selanjutnya adalah memperdalam tentang pemahaman ekosistem dengan diawali
permainan Jaring Kehidupan dan menggambar (box Jaring Kehidupan).

Bermain “Jaring Kehidupan”


Fasilitator memberikan ujung tali pada seorang peserta, peserta tersebut berperan sebagai
pohon. Ia kemudian harus menunjukkan hubungan dengan jenis lain, sesuai pertanyaan
fasilitator. Demikian seterusnya hingga seluruh peserta terhubung. Berikut contoh di desa
Gandasuli.
- Fasilitator: Kamu adalah pohon (peserta tersebut kemudian memegang tali dan
menjadi pohon)
- Fasilitator: Pohon terhubung oleh apa?.
- Peserta: air (lalu peserta tersebut memegang tali dan menjadi air)
- Fasilitator: Pohon terhubung oleh apa lagi? Peserta: Udara.
- Fasilitator: Udara dibutuhkan oleh siapa? Peserta: Manusia, burung dan binatang.
- Fasilitator: Burung makan apa? Peserta: Buah-buahan
- Fasilitator: Buah-buahan tumbuh di mana? Peserta: di atas tanah.
- Fasilitator: Tanah dibutuhkan oleh siapa? Peserta: Manusia, terutama petani.
- Fasilitator: Tanaman apa yang ditanam oleh petani? Peserta: Cengkeh, pala, kelapa,
sayur, temat, rica.
- Fasilitator: Tanaman tidak sehat karena apa? Peserta: Hama.
- Fasilitator: Cara atasi hama dengan cara apa? Peserta: Pupuk.
Setelah semua memegang tali, fasilitator kemudian menaruh tempat sampah plastik di atas
tali bagian tengahnya, kemudian:
- Fasilitator: anggaplah
saya adalah manusia.
Saya akan menebang
pohon, dengan cara
memotong tali pada
seorang peserta yang
berperan sebagai
pohon.
- Lalu kembali
memotong burung,
udara, air, tanah,
sayur, tomat, rica dan
di peserta yang
menjadi kelapa lalu benda (tempat sampah plastik) yang berada di tengah terjatuh.
Setelah bermain, peserta diajak menarik pelajaran dari permainan. Berikut jawaban
peserta:
- Mata rantai kehidupan
- Air, tanah, pohon, burung-binatang dan manusia saling membutuhkan
- Manusia membutuhkan alam untuk bisa hidup seperti air, tanah dan udara
- Hutan rusak karena ulah mansia seperti penebangan pohon
- Menjaga keseimbangan alam
- Manusia peroleh makanan dari alam dan kita harus menjaga alam agar tidak rusak
- Penting untuk menjaga hutan. Kalau pohon ditebang habis akan terjadi banjir
“Menggambar Ekosistem”
Fasilitator mengajak peserta bercerita kondisi alam di desa lalu bersama-sama menarik
kesimpulan. Di akhir kesimpulan, peserta diminta menggambarkan hubungan-hubungan
yang telah terindentifikasi. Berikut contoh di desa Gandasuli.
Desa Gandasuli terdapat banyak pohon di hutan yang sering ditebang oleh masyarakat
padahal pohon-pohon itu penting untuk satwa liar, seperti:
- Pohon matoa yang buahnya dimakan oleh burung bidadari, kakatua dan
luri/kasturi. Di pohon ini dan pohon kenari, buah rao, lantoro, gufasa, kayu besi
adalah tempat bertelur dan tempat tidur.
- Buah pohon beringin yang dimakan oleh kakatua dan kasturi
- Buah pohon besi dan buah rao dimakan oleh luri/kasturi
- Buah pohon enau adalah makanan burung gagak
- Buah pohon kenari adalah makanan burung taong
- Buah pohon gersen adalah makanan burung raja udang

Nah, buah dari jenis pohon-pohon di atas adalah makanan burung, termasuk tempat tidur
dan tempat bertelur. Apabila pohon-pohon itu ditebang habis maka burung-burung ini akan
terancam punah karena tidak dapat makanan dan tidak dapat bertelur. Sebaliknya, bila
burung-burung itu ditangkap, dijual, ditembak dan bila habis pohon-pohon akan terancam
habis. Karena burung-burung tersebut adalah penyebar biji-bijian dan membuat pohon
tumbuh semakin banyak. Bila burung punah maka pohon akan habis dan dampaknya adalah:
- Kekeringan air. Kita akan makin sulit memperoleh air bersih
- Tanah tidak subur bila air kering. Jika tanah tidak subur maka semua tanaman akan
mati, belum lagi menggunakan pupuk kimia yang justru merusak tanah.
- Udara tidak lagi segar bila pohon di tebang habis. Karbon yang dilepas di udara
seperti asap knalpot motor, mobil dan mesin lainya akan diserap oleh pohon. Bila
tidak ada pohon udara menjadi kotor dan kita akan mudah terserang penyakit
- Erosi dan,
- Banjir sungai
Selain itu, ada beberapa jenis hewan/burung yang sangat membantu para petani yaitu:
- Burung perkici, burung luri, burung wasui (madu sriganti). Tiga jenis burung ini
adalah burung pemakan sari bunga kelapa. Itu artinya ketiga jenis burung ini
membantu penyerbukan kelapa atau proses perkawinan sehingga menjadi buah.
Seandainya burung ini ditembak dan habis maka kelapa akan sulit berbuah.
- Burung iguana/raja udang, biawak, burung hantu adalah burung pemakan
serangga. Serangga adalah burung pemakan daun kelapa atau hama pohon kelapa.
Jika burung ini ditangkap dan ditembak dan terancam punah berakibatnya serangga
semakin banyak dan kelapa menjadi tidak sehat.
- Lebah dan kupu-kupu adalah burung penghisap sari bunga cengkih. Itu artinya
lebah dan kupu-kupu sangat membantu petani cengkih dalam hal penyerbukan.
Sekarang kita bayangkan bila hewan/burung-burung ini punah karena penangkapan,
penjualan, penembakan, apa yang akan terjadi? Ada yang bisa menjawab?
- Rasis menjawab, torang (kita) akan makin susah karena kalau kelapa dan cengkih
sudah tidak berbuah.
- Febri menjawab, penghasilan petani akan semakin memburuk
- Ivan menjawab, kalau kelapa, cengkih tidak ada buah kita tamba susah. Apalagi
kalau air kering dan tanah tidak lagi subur, kita pindah dan tinggal di tempat lain
saja. Teman-temannya tertawa terkekeh-kekeh.
Hubungan timbal-balik antara manusia, satwa, pohon, tanaman, air, udara, tanah inilah yang
disebut dengan ekosistem atau mata rantai kehidupan. Nah, sekarang kalian bagi menjadi
dua kelompok yaitu kelompok satu dan kelompok dua. Masing-masing kelompok membuat
satuan ekosistem atau mata rantai kehidupan.

Penjelasan para peserta atas gambar mereka:


Manusia butuh udara untuk hidup dan udara segar bilah hutannya masih subur. Selain udara
manusia juga butuh tanah untuk menanam padi, agar padi tumbuh subur harus ada sumber
air yang melimpah dan air melimpah terkecuali hutannya masih subur terutama pohon.
Untuk menjaga tanaman padi tidak dimakan tikus kita tidak boleh membunuh burung elang.
Karena burung elang adalah burung pemakan ular sedangkan ular makanannya adalah tikus.
Bila elang mati akan mengurai menjadi bakteri. Ini yang disebut simbiosis mutualisme atau
menguntung dan simbiosis parasitisme atau merugikan. Jadi, intinya bila kita merusak salah
satu unsur alam, misalnya menebang pohon hingga terancam habis maka kita manusia juga
akan menjadi sengsara karena semuanya saling berkaitan.

Setelah rangkaian kegiatan, para pemuda dan remaja Gandasuli mampu melihat keterhubungan satu
sama lain dan menganalisis kondisi desa mereka. Berikut beberapa contoh analisis mereka:
- “Burung bidadari saat ini sudah mulai berkurang karena pohon matoa yang semakin berkurang.
Buah pohon matoa adalah makanan burung bidadari, dan dulunya pohon sangat sering ditebang
warga untuk dijualbelikan.”
- “Sejak burung polisi (bubuth goliath) sering diburu, kita sudah jarang melihatnya. Akibatnya pohon
kelapa diserang hama. Petani jadi harus memakai obat-obat kimia, padahal kalau pakai obat kimia
nanti tanah menjadi keras dan tidak subur. Lebih baik kita pakai pupuk organik dan melestarikan
burung-burung supaya pohon kelapa tidak kena hama dan panen kita bagus,” ujar Mahmud yang
dulu hobi menembak burung.
Tabel 11
Hasil Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Alam (Tumbuhan) Desa Kosa

Nilai Pentingnya Bagi


Nama Bagian yang Jumlah Laju
No Nama Lokal Habitat
Nasional Dimanfaatkan Tumbuhan/binatang kelimpahan Pemanfaatan
Manusia Alam
lain

Akar kuning Luka dalam, pegal-


1 Akar Hutan banyak sedang
(tali kuning) pegal

2 Asam jawa buah pekarangan bumbu sedang sedang

4 kemangi Balakama daun pekarangan dimakan banyak tinggi

dimakan, obat
5 Bayam merah daun pekarangan banyak tinggi
tambah darah

6 Bayam putih daun pekarangan dimakan banyak tinggi

dimakan, dijual,
7 Bengkoang buah pekarangan banyak sedang
obat kecantikan

bunga, buah, dimakan, obat


8 Pepaya pekarangan pestisida organik banyak tinggi
daun malaria

9 Damar getah Hutan dijual banyak tinggi

10 Durian buah hutan dijual,dimakan banyak tinggi

11 Serai Garamakusu daun, batang pekarangan bumbu dapur, obat pestisida organik banyak tinggi
dimakan, obat sakit
12 Jambu biji Giawas buah, daun pekarangan banyak tinggi
perut/diare

13 Jahe Guraka umbi pekarangan obat, bumbu dapur banyak tinggi

14 Jagung biji kebun dimakan, dijual. sedang sedang

15 jati kayu kebun, hutan dijual sedang tinggi

16 Kacang hijau buah kebun dimakan sedikit rendah

kebun,
17 Kacang tanah buah dimakan, dijual banyak tinggi
pekarangan

kebun,
18 Kangkung daun, batang dimakan banyak tinggi
pekarangan

Kasbi (ubi daun, batang, kebun, dimakan, untuk


19 banyak tinggi
kayu) umbi pekarangan pagar

20 Kayu besi kayu hutan dijual sedikit tinggi

Untuk obat
Hutan dan bengkak, kerajinan,
21 Kayu Laka Isi Kayu banyak rendah
bekas ladang wewangian (jika
dibakar)

22 Kedondong

kelapa
23 Kelapa budok
hibrida
24 Kelapa dalam

27 Ketapang kayu hutan dijual sedang tinggi

28 Kunyit

29 Labu kuning

30 Langsat

31 Lemon cui

32 Lemon nipis

Lemon
33
suwanggi

34 Mangga golek

35 Mangga madu

36 Mangga telur

37 Manggis

38 Matoa

39 Nanas merah

40 Nanas putih
41 Nangka

42 Pala

43 Pinang bobou
Pinang
Pinang tara
44
bobou

45 Pisang ambon

46 Pisang mas

Pisang mulut
47 buah pekarangan dimakan
bebek

48 Pisang raja

49 Pisang sepatu

obat diabetes, obat


Pisang takut
50 buah, batang pekarangan penghenti darah, banyak sedang
api
dimakan

51 Pisang tanduk

52 Rambutan

53 Cabe burung Rica burung

54 cabe keriting Rica kribo


55 cabe rawit Rica nona

batang, daun,
56 Rotan Hutan Kerajinan, dimakan sedang rendah
pucuk

57 Salak

58 Sayur lilin

59 Sirih Sirih

60 Sukun

61 Tali Tagutil Akar Hutan Cuci darah sedang rendah

62 Tomat lokal

63 Ubi jalar
Tabel 12
Pemanfaatan Sumber Daya Alam (Tumbuhan) Desa Gandasuli

Nilai Pentingnya Bagi


Laju Pemanfaat
Nama Bagian yang Jumlah kelimpahan
No Nama Lokal Habitat (tinggi/sedang/ti
Nasional Dimanfaatkan Tumbuhan/binatang (banyak/sedang/sedikit)
Manusia Alam ada)
lain

1 Alpukat Alpukat

Gula
2 Aren Aren
merah/miras

3 Bambu Bambu Lantai rumah

4 Bayam Bayam hijau

5 Bayam Bayam merah

6 Beringin Beringin Abrasi/erosi

7 Buah Naga Buah naga

Bangunan
8 Buarau
rumah

9 Cempaka Cempaka -
10 Cengkih Cengkih

11 Coklat Coklat

12 Damar Damar Lem

13 Daun pel Ginjal

14 Durian Durian

15 Galala Kesuburan coklat

16 Jahe Guraka Minuman

Kacang
17 Kacang panjang
panjang

18 Kangkung Kangkung

Bangunan
19 Kayu besi
rumah

20 Kelapa Kelapa

21 Kelor Kelor Kaskadu

22 Kenari Kenari

23 Ketimun Ketimun

24 Kunyit Kunyit Berak darah


25 Langsat Langsat

26 Lemon cui

27 Lemon nipis Diet

Bangunan
28 Linggua
rumah

Mangga arum
29
manis

30 Mangga dodol

31 Mangga gole

32 Mangga kuwini

33 Mangga madu

34 Mangga utang

35 Manggis Manggis

Liver, bersalin,
36 Mangkudu Mangkudu
gula

37 Meme Kayu bakar

38 Nangka Nangka
39 Pala Pala

Pisang mulut
40
bebe

41 Pisang raja

42 Pisang sepatu

43 Pisang susu

Liver, bersalin,
44 Pohon afrika
gula

Bangunan
45 Pohon gersen
rumah

Bangunan
46 Pohon gufasa
rumah

Bangunan
47 Pohon matoa
rumah

Bangunan
48 Pohon ngame
rumah

49 Rambutan Rambutan

50 Cabai Rica

51 Rotan Rotan Keranjang


52 Rumput cacing Demam

Liver, bersalin,
53 Rumput kucing
gula

54 Rumput pisau Kencing batu

55 Salak Salak

Bangunan
56 Samama
rumah

Liver, bersalin,
57 Sare
gula

Liver, bersalin,
58 Sari merah
gula

59 Sayur lilin

60 Sayur paku Konsumsi

61 Singkong Kasbi

62 Sirih Sirih Sakit mata

63 Srikaya Sirkaya Diet

Nangka
64 Sirsak Panas tinggi
Belanda
65 Strawberi utang -

Bangunan
66 Suling
rumah

67 Tali gurita Ginjal

68 Terong

69 Terong Terong utang -

Bangunan
70 Tofiri
rumah

71 Tomat

72 Tomat hutan Tomat hutan Ginjal

73 Ubi jalar Ubi jalar

74 Waka Waka Perahu


Tabel 13
Nama Lokal dan Nasional Satwa di Desa Kosa

no. Nama hewan Nama lokal

1 Elang laut Elang coklat

2 Kakaktua putih Katala putih

3 Ular kebun Ular

4 Kasturi ternate Luri

5 Babi hutan babi hutan

6 Gagak hutan Burung Pantagai

7 Sikatan kebun Burung Baikole

8 Burung Gereja Burung Puyu'

9 Kucing hutan Kuso

10 Kumbang tanduk Kumbang

11 Belalang kelapa Boto-boto

12 Tupai

13 Nuri bayan jantan Katala biru

14 Nuri bayan betina Katala Merah

15 Perkici pelangi Perkici

Tabel 14
Nama Lokal dan Nasional Burung di Desa Gandasuli

NO Nama lokal Nama Indonesia

1 Burung monde Gosong maluku

2 Burung bebek Udang kacamata

3 Burung pipit
4 Burung koho Kuntul kecil

5 Burung gaeba Elang laut perut putih

6 Burung kacubi Elang paria

7 Elang kapal putih Elang bondol

8 Kum-kum Pergam mata putih

9 Jara-jara Merpati gunung irian

10 Katende Pergam boke

11 Luri Kasturi ternate

12 Kakatua merah Nuri bayan (betina)

13 Kakatua biru Nuri bayan (jantan)

14 Woku-woku Kedasih hitam

15 Burung hantu Punggok gonggong

16 Raja udang Cekakak biru putih

17 Burung halo/taong Julang irian

18 Wasui itam Madu hitam

19 Wasui kuning Burung madu sriganti

20 Wasui kepal merah Myzomela merah tua

21 Baikole Kipasan kebun

22 Burung polisi. Dinamakan burung polisi Bubut goliath


karena dilarang, dimarahi jika diketahui
ada yang menembak burung tersebut

23 Burung wandikau Berkik gunung maluku

24 Burung timur Wiwik rimba

25 Burung Yabe-yabe Uncal ambon

26 Cimbak Nuri pipi merah

27 Wasui padi Bondol taruk

Anda mungkin juga menyukai