Anda di halaman 1dari 12

Available online at Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

www.jurnal.balithutmakassar.org eISSN: 2407-7860


pISSN: 2302-299X
Masyarakat Desa dan ManajemenVol. 5 Issue 1Flora
Biodiversitas (2016)
..... 25-36
Accreditation Number: 561/Akred/P2MI-LIPI/09/2013
Gerson N. Njurumana

MASYARAKAT DESA DAN MANAJEMEN BIODIVERSITAS FLORA PADA SISTEM


PEKARANGAN DI KABUPATEN SUMBA TENGAH
(Village Community and Flora Biodiversity Management in Home Garden
System at Central of Sumba Regency)

Gerson N. Njurumana
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Jl. Alfons Nisnoni (Untung Surapati) No. 7 Airnona 85115 Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Telp. (0380) 823357 Fax. (0380) 831068
E-mail: njurumana@gmail.com

Diterima 20 Nopember 2015; revisi terakhir 7 Maret 2016; disetujui 8 Maret 2016

ABSTRAK

Biodiversitas flora merupakan sumberdaya strategis dengan aneka potensi penggunaan untuk manusia.
Pertumbuhan penduduk berdimensi ganda sebagai pemicu terjadinya degradasi sumberdaya hayati, namun
berperan dalam pengelolaan untuk meningkatkan konservasinya. Penelitian ini bertujuan mengetahui
manajemen biodiversitas flora, struktur dan komposisi tanaman pada sistem pekarangan. Penelitian dilakukan
di Kabupaten Sumba Tengah, metode wawancara dan observasi digunakan, analisis data secara deskriptif-
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen biodiversitas flora pada sistem pekarangan bersifat
polikultur, bermanfaat secara holistik sebagai atribut sosial-budaya-religius, ekonomi-pendapatan dan ekologi-
konservasi. Struktur dan komposisi tanaman pada sistem pekarangan bervariasi, termasuk variasi indeks nilai
pentingnya. Perluasan wilayah pemukiman berdampak positif terhadap konservasi biodiversitas flora pada
sistem pekarangan.

Kata kunci: Masyarakat, desa, biodiversitas flora, pekarangan

ABSTRACT

Flora biodiversity is a strategic resource due its various potential uses for human benefit. Population growth
is sometimes considered to be a contributory factor in the degradation of the biological resources, conversely, the
population plays an important role in its conservation. This research aimed to understand the flora biodiversity
management, structure and composition of plants in home-garden system. The research was conducted in Central
Sumba Regency. Methods used were interview and observation. Data were analysed descriptively and qualitatively.
The result showed that the flora biodiversity management in home garden based on poly-culture approach, a
holistic beneficially as a socio-cultural-religious attribute, economic-income and ecology-conservation. The
structure and composition of plant in the home-garden they include the variation of the important value index. The
expansion of the residential areas positively impact the flora biodiversity conservation in home-garden system.

Keywords: Community, village, flora biodiversity, home-garden

I. PENDAHULUAN adalah terjadi krisis biodiversitas flora yang


Biodiversitas flora merupakan berimplikasi pada krisis lingkungan, krisis
sumberdaya strategis, berperan sebagai salah pangan, krisis air dan krisis energi, sehingga
satu penentu kualitas hidup manusia. menjadi persoalan politik, sosial dan ekonomi
Pemanfaatan yang kurang ramah lingkungan masyarakat internasional (Dasgupta dan Beard,
telah menyebabkan laju degradasinya cukup 2008, Lele et al., 2010).
tinggi, sehingga mengancam biodiversitas Konvensi dan kesepakatan internasional,
secara global (Butchart et al., 2010; Houdet et salah satunya convention on biological diversity
al., 2012), khususnya pada hutan tropika (CBD) 2014 menekankan pengelolaan dan
humida mencapai 2%-11% setiap dekade pelestarian biodiversitas flora, terutama di
(Koopowitz, et al., 1994 ). Salah satu akibatnya negara berkembang seperti Indonesia.

25
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36

Pelestarian diperlukan karena perannya mengembangkan model-model konservasi


sebagai sumber pangan, obat-obatan dan biodiversitas flora berbasis masyarakat. Oleh
konservasi alam (Frison et al., 2006; Walters karena itu penelitian ini bertujuan : (a)
dan Mulder, 2009; Nesbitt et al., 2010; Pereira mengetahui manajemen biodiversitas flora
et al., 2013; Robinson et al., 2013; Potter dan pada sistem pekarangan, dan (b) mengetahui
Woodal, 2014, Harrison et al., 2014). Mengingat struktur tanaman dan indeks nilai pentingnya
perannya yang besar, konservasi biodiversitas pada sistem pekarangan di wilayah pedesaan
flora harus digalakkan dalam skala luas baik di Sumba Tengah.
dalam maupun di luar kawasan hutan.
II. METODE PENELITIAN
Konservasinya di luar kawasan hutan dapat
dilakukan pada lahan-lahan masyarakat dalam A. Lokasi dan Waktu Penelitian
bentuk pekarangan, hutan rakyat, kebun Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
campur, hutan keluarga dan sekitar Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur
pemukiman. pada bulan Januari bulan April 2013.
Unit-unit pemukiman pada masyarakat
B. Bahan dan Peralatan
Sumba dikenal dengan ist‹ŽƒŠ òparaingu,
Bahan yang digunakan dalam penelitian
parengu atau manuaóä ƒŽƒ• ’‡”•’‡•–‹ˆ
ini adalah unit-unit komunitas pekarangan
masyarakat, pemukiman bernilai sosial-
yang didalamnya terdapat biodiversitas flora
budaya-religius tinggi, sehingga mendorong
yang dikembangkan oleh masyarakat di sekitar
pengelolaan biodiversitas flora di sekitarnya
unit-unit pemukiman (kampung). Peralatan
sebagai atribut sosial-budaya-religius. Oleh
yang digunakan adalah roll meter, tali tambang,
karena nilai manfaatnya yang tinggi, menjadi
parang, pita ukur, galah, kompas, haga meter,
peluang strategis untuk melibatkan partisipasi
GPS, kamera, personal use, buku lapangan,
masyarakat dalam konservasinya. Hal ini dapat
kuisioner, alat perekam dan alat tulis menulis.
dilakukan antara lain dengan memahami dan

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian


Figure 1. Research Map Location

26
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana

C. Rancangan Penelitian sebanyak 3 plot dengan ukuran berbeda yaitu


Penelitian menggunakan metode tingkat semai 2x2 m2, tingkat pancang ukuran
deskriptif-kualitatif dan deskriptif-kuantitatif. 5x5 m2, tingkat tiang ukuran 10x10 m2 dan
Penentuan sampel wilayah secara acak tingkat pohon ukuran 20x20 m2. Jarak antar
sebanyak 10% dari 65 desa di Sumba Tengah, plot adalah 50 m, sehingga total panjang
sehingga diperoleh 7 unit desa sampel, yaitu transek adalah 150 m.
Anajiaka, Anakalang, Kabela Wuntu, Makata
D. Analisis Data
Keri, Matawai Kajawi, Umbu Kawolu dan
Data dan informasi sudut pandang
Wangga Waiyengu. Sasaran penelitian adalah
masyarakat terhadap biodiversitas flora
unit-unit rumah tangga (KK), diperoleh dengan
dianalisis secara deskriptif-kualitatif dan
: (1) proporsional random sampling pada setiap
kuantitatif, sedangkan data konservasi
desa, (2) inventarisasi responden potensial, (3)
biodiversitas flora dianalisis secara kualitatif-
penentuan secara acak 10 unit KK/desa untuk
deskriptif dan kuantitatif dengan menghitung
memperoleh data mengenai persepsi terhadap
nilai kerapatan dan indeks nilai penting (INP).
keanekaragaman hayati, luas pekarangan, jenis
tanaman yang dibudidayakan dan III. HASIL DAN PEMBAHASAN
pemanfaatannya, dan (4) penentuan secara
A. Manajemen Biodiversitas Flora pada
acak 10 unit komunitas pekarangan untuk
sistem Pekarangan
observasi lapangan. Dasar penentuan unit
Unit-unit pekarangan berperan sebagai
komunitas pekarangan adalah untuk observasi
unit-unit komunitas keanekaragaman hayati
keanekaragaman jenis tanaman yang
tanaman dan tumbuhan dalam skala kecil.
dikembangkan oleh masyarakat. Penentuan
Berdasarkan hasil observasi dan pengukuran,
unit komunitas pekarangan dilakukan secara
terdapat 145 spesies tanaman yang
acak pada setiap desa, dari sejumlah
dikembangkan oleh masyarakat, dan berasal
pekarangan yang tersedia akan diambil 1
dari 52 famili. Jenis-jenis tanaman tersebut
sampai 2 unit komunitas pekarangan sebagai
terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu 48
unit contoh untuk observasi lapangan.
spesies tanaman tidak berkayu dan 97 spesies
Wawancara terstruktur dan semi terstruktur
tanaman berkayu. Keanekaragaman hayati
dilakukan terhadap responden terpilih,
tanaman pada sistem pekarangan merupakan
sedangkan observasi lapangan untuk
gambaran dari pilihan dan kepentingan
mengetahui indeks nilai penting dilakukan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya,
dengan analisis vegetasi pada 30 plot untuk
diklasifikasikan dalam 7 kelompok seperti
setiap tingkat pertumbuhan. Pada setiap unit
tertera pada Tabel 1.
komunitas pekarangan akan ditentukan

Tabel 1. Rata-rata potensi keanekaragaman hayati pada sistem pekarangan di Sumba Tengah
Table 1. Average of biodiversity potency in homegarden system at Central Sumba
Jumlah spesies (Number of Species)
Klasifikasi Tanaman
No. Terendah Tertinggi Rata-rata
(Plant Classification)
(Lowest) (Highest) (Average)
1. Ubi-ubian 3 7 5
2. Buah-buahan 5 7 6
3. Kayu bakar 7 9 8
4. Kayu pertukangan 5 7 5
5. Tanaman Obat 4 4 4
6. Pakan ternak 3 6 5
7. Sosial-budaya, spiritual dan 13 19 15
konservasi lingkungan)

Berdasarkan hasil pengukuran lapangan adalah Canna edulis Kerr, Hanthosoma


dan wawancara dengan masyarakat, terdapat violaceum SCHOTT, Discorea aculeata Roxb.,
11 spesies tanaman yang berperan sebagai Ipomoea batatas POIR, Manihot utilissima
penghasil umbi-umbian, dengan sebaran pada POHL, termasuk 22 spesies penghasil buah-
setiap unit pekarangan 3-7 spesies, diantaranya buahan, dengan sebaran berkisar antara 5-7

27
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36

spesies pada setiap unit pekarangan, sejumlah spesies kunci budaya dengan aneka
diantaranya Ananas comosus MERR, Anona bentuk pemanfaatan yang bersifat spesifik,
muricata L., Artocarpus heterophyllus Lamk, diantaranya termasuk kategori jarang (rare)
Artocarpus integra MERR, Carica papaya L., seperti Santalum album Linn. Kerr., Mallotus
Citrus maxima (Burm.) Merr., Cocos nucifera L., paniculatus (Roxb) Mull.Arg., Tetrameles
Mangifera indica Blanco, dan Solanum torvum nudiflora R.Br., Agalia odoratissima Bl., Aglaia
Swartz dan Persea gratissima Gaertn.f. argentea Bl. dan Indigofera trifoliata L.
Spesies penghasil kayu bakar sebanyak 12 Partisipasi masyarakat dalam melakukan
spesies, dengan kisaran 7-9 spesies pada setiap konservasi biodiversitas flora merupakan salah
unit pekarangan, diantaranya adalah satu komponen penting yang perlu
Artocarpus integra Merr., Leucaena diperhatikan dan dikembangkan, terutama
leucocephala (Lam.), Acasia villosa (Willd), dalam menghadapi kecenderungan kerusakan
Swietenia mahagony (L) Jacg., Calliandra lingkungan dan sumberdaya alam yang
calothyrsus (Meisn.), Zapoteca tetragona meningkat. Khususnya untuk pulau Sumba,
(Willd) H.N. Hern., Cassia siamea Lamk., pengelolaan biodiversitas flora mengalami
Melochia umbullata (Houtt.) stapft., Schleichera tantangan cukup serius karena diperhadapkan
oleosa (Lour.) Oken., Timonius sericeus dengan laju degradasi lahan dan hutan
(Desf).K.Schum., Gliricidia sepium (Jacg.) Walp., mencapai 6.000 ha/tahun, sehingga tutupan
dan Hibiscus tiliaceus L. Selain jenis-jenis lahan berhutan rapat kurang dari 7% (Kinnaird
tersebut, terdapat 22 spesies yang berperan et al., 2003). Blok-blok hutan bervegetasi rapat
ganda sebagai penghasil buah-buahan, pakan tersebut merupakan habitat dari 116 spesies
ternak, serat, kayu bakar, tanaman obat. tumbuhan dan 76 spesies burung (13 spesies
Khusus untuk penghasil kayu memiliki sebaran terbatas, termasuk 8 spesies
pertukangan, terdapat 15 spesies yang sering burung endemik terancam punah, dan 57
digunakan oleh masyarakat dan menyebar pada spesies kupu-kupu dengan sebaran terbatas
setiap unit pekarangan berkisar 5-7 spesies, (Banilodu dan Saka 1993; Jepson et al., 1996
diantaranya Swietenia machrophylla King, dan Rombang et al., 2002). Hutan yang masih
Swietenia mahagoni L. Jacg., Gmelina arborea tersisa merupakan bank plasma nutfah yang
(Burm F.) Merr., Intsia bijuga (Colebr.) Kuntze, mempengaruhi keanekaragaman spesies diluar
Tectona grandis L.f., Macaranga tanarius Muell. kawasan hutan. Kondisi degradasi seperti
Arg., Toona sureni (Blume) Merr., Timonius diatas merupakan sebuah persoalan serius, dan
sericeus (Desf).K.Schum, Sterculia foetida L., memerlukan terobosan untuk mengatasinya,
Alstonia scholaris R.br., Alstonia spectabilis antara lain melalui peningkatan partisipasi
R.Br., Artocarpus heterophyllus Lamk., masyarakat dalam pengembangan unit-unit
Artocarpus integra Merr., Cocos nucifera L., dan pekarangan sebagai penyangga.
Paraserianthes falcataria (L) I. C. Nielsen. Selain Potensi unit-unit pekarangan yang oleh
itu terdapat 21 spesies yang berperan sebagai pemerintah dikategorikan sebagai pertanian
penghasil tanaman obat, dengan rata-rata lahan kering/campur dengan luas mencapai
sebaran pada setiap unit pekarangan 4 spesies, 109.879 ha atau 9,94% dari luas pulau Sumba
diantaranya Acorus calamus L., Piper betle, (Anonim, 2006) merupakan salah satu elemen
Anona muricata, Arecha pinnata, C. Burmanii, C. penting yang perlu dipertimbangkan untuk
Odorata, Curcuma domestica, D. Arborescens, mendukung manajemen konservasi
Melochia umbullata dan Morinda sp. Terdapat biodiversitas flora berbasis masyarakat.
sebanyak 6 spesies berperan sebagai pakan Keanekaragaman spesies tanaman pada sistem
ternak, dengan kisaran 3-6 spesies pada setiap pekarangan mengindikasikan realitas
unit pekarangan, diantaranya Pennisetum kebutuhan dan pemahaman masyarakat
purpureophoides Schumach, Musa paradisiaca mengenai nilai pentingnya, dan perlu dipahami
(Linn.), Sesbania grandiflora (L.) Pers, Leucaena untuk disinergikan dalam membangun strategi
leucocephala (Lam.) Link., Acacia leucophloea pelestariannya melalui aspek sosial-budaya-
(Roxb.) Willd., dan Pennisetum purpureum religius dan ekonomi-pendapatan .
Schumach. Berdasarkan perspektif sosial-budaya-
Relevan dengan kepentingan sosial- religius, orang Sumba menempatkan
budaya, spiritual dan konservasi lingkungan, biodiversitas flora sebagai salah satu sumber
terdapat 13-19 spesies tanaman lainnya yang hidup bernilai strategis, karena memiliki nilai
dikembangkan/dipelihara/dibiarkan manfaat terhadap berbagai dimensi kehidupan
berkembang secara alamiah pada setiap unit masyarakat (Tabel 1). Nilai-nilai intrinsik
pekarangan. Hal menariknya adalah terdapat biodiversitas flora bermanfaat sebagai atribut

28
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana

sosial-budaya-religius dalam sistem jejaring unit-unit persekutuan sosial masyarakat secara


sosial dan aneka bentuk sistem pertukaran patrilinear, terikat dan mengikatkan diri dalam
sumberdaya di masyarakat. Sebagai sebuah rumah induk (—•ƒ „ƒï•—Ž) sebagai
masyarakat yang hidup dalam sebuah sistem dapur perumusan dan pengambilan keputusan
kekerabatan sosial , mendorong terciptanya adat (Njurumana et al., 2014). Nilai sosial-
sistem pertukaran berbasis sumberdaya hayati budaya-religius yang mengikat mewajibkan
dalam berbagai wujud, salah satunya setiap generasi kabihu mewariskan
pertukaran resiprositas (Vel, 2010) yang penggunaan spesies kunci budaya dalam
dipraktekan sebagian besar masyarakat dalam berbagai tradisi adat, salah satunya sebagai
lingkup keluarga, kerabat dan tetangga sebagai komponen utama rumah adat. Beberapa dari
sarana memelihara atau membangun relasi spesies tersebut adalah Artocarpus glaucus BL.,
sosial. Nilai-nilai intrinsik tersebut selain Intsia bijuga (Colebr.) Kuntze, Aglaia
bermanfaat untuk masyarakat, juga bermanfaat odoratissima Bl., dan Aglaia argentea Bl.
terhadap kelestarian spesies tanaman, yang (Njurumana et al., 2014).
pada gilirannya berimplikasi terhadap Salah satu manfaat sosial-budaya yang
keberlanjutan nilai sosial-budaya-religius yang sangat strategis dari biodiversitas flora yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat itu dipelihara masyarakat adalah penggunaannya
sendiri. sebagai obat tradisional. Pengobatan
Beberapa spesies tanaman pada sistem tradisional masih cukup tinggi dipraktekan oleh
pekarangan yang bernilai sosial-budaya- masyarakat. Tradisi pengobatan tradisional
religius dimanfaatkan sebagai atribut simbolik yang telah membudaya dan terbatasnya
pada lingkup individu maupun kolektif aksesibilitas masyarakat terhadap sarana-
(Njurumana et al., 2014), karena prasarana kesehatan di Sumba Tengah
menitikberatkan penggunaannya sebagai merupakan salah satu faktor pendorongnya.
sarana yang bernilai sosial-budaya dalam Hal ini dibuktikan oleh pengakuan/kesaksian
berbagai bentuk pertukaran resiprositas. sebagian besar masyarakat mengenai
Pertukaran resiprositas memungkinkan keterlibatannya secara aktif dalam pengobatan
kekerabatan dan jaringan sosial diantara mitra tradisional. Selain itu, masyarakat berinisiatif
pertukaran, sekaligus memelihara aneka- melakukan penanaman dan pemeliharaan
bentuk sistem pertukaran yang bersifat spesies yang bermanfaat sebagai tanaman obat
konvensional (Vel, 2010) di kalangan pada lahan pemukiman.
masyarakat. Keberadaan unit-unit biodiversitas flora
Salah satu bentuk penggunaan dalam sebuah lanskap pekarangan masyarakat
biodiversitas flora sebagai atribut simbolik Sumba merupakan sebuah simbol identitas dan
dalam lingkup individu adalah pada penerapan kepemilikan lahan, karena pada setiap unit-unit
tradisi happa atau •ƒï•ƒ (nginang), yaitu pemukiman dikembangkan aneka jenis
praktek budaya menyuguhkan buah/daun sirih tanaman, dan oleh masyarakat diakui sebagai
muda (Piper betle L.) dan buah pinang (Arecha simbol kepemilikan. Kondisi seperti ini
cathecu L.) serta kapur sebagai simbol merupakan keadaan umum yang diakui oleh
penghormatan dan penerimaan terhadap masyarakat pada lingkup individu maupun
sesama. Tradisi Šƒ’’ƒ •ƒï•ƒ dipraktekan komunal. Pengakuan tersebut relevan dengan
sebagian besar masyarakat di pulau Sumba, pemahaman sejarah penggunaan dan pemilikan
dengan intensitas nginang berkisar 8-10 lahan, termasuk adanya aksi kolektif dalam
kali/hari (Njurumana, et al., 2015), dengan membangun unit-unit pengelolaan
preferensi penggunaan yang luas di masyarakat biodiversitas flora, dan berimplikasi positif
internasional, terutama masyarakat di negara- terhadap menguatnya solidaritas dan relasi
negara Asia (Akhtar, 2013). sosial. Keberadaan biodiversitas flora menjadi
Penggunaan sumberdaya hayati sebagai sangat strategis sebagai perekat sosial diantara
atribut simbolik secara kolektif (kabisu atau para pelaku yang terlibat dan melibatkan diri
klan) berupa pemanfaatan spesies kunci dalam pengelolaan unit-unit sistem
budaya bernilai prestisius tinggi, dan oleh Mace pekarangan. Oleh karena mengandung nilai
et al. (2012) dikategorikan sebagai nilai sosial-budaya, maka unit-unit manajemen
intrinsik atau kharisma, dan menurut Halkos biodiversitas flora berbasis pekarangan di
dan Jones (2012) bahwa nilai intrinsik tersebut masyarakat dapat dikategorikan sebagai situs-
menjadi pendorong masyarakat berkontribusi situs budaya konservasi lingkungan.
dalam upaya konservasinya. Kabihu merupakan

29
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36

Salah satu nilai intrinsik dari sumberdaya lahan milik masyarakat yang berdampak positif
hayati flora pada kalangan masyarakat Sumba terhadap kesejahteraannya, salah satu
adalah nilai religiusnya, dibuktikan contohnya adalah flora pada lahan milik rakyat
penggunaan beberapa spesies sebagai atribut di Sumba Tengah yang berkontribusi positif
simbolik religius, di antaranya sirih (Piper betle melalui produksi hasil non kayu dan hasil kayu.
L.) dan buah pinang (Arecha cathecu L.) dalam Eksplorasi dan pemanfaatan produksi non
setiap upacara adat, terutama oleh penganut kayu seperti Coffea arabica L., Aleurites
Marapu sebagai sebuah aliran kepercayaan moluccana L. Willd., Arecha cathecu L., Piper
terhadap roh leluhur. Penerapan atribut betle L., Persea gratissima Gaertn.f., Ananas
simbolik dalam skala luas diwujudkan berupa comosus MERR, Citrus maxima (Burm.) Merr.
sejumlah situs-situs religius berbasis dan Cocos nucifera L., termasuk sejumlah
sumberdaya alam, diantaranya hutan marapu, spesies penghasil pangan seperti Discorea
kampung marapu dan tanah biha/paita (tanah hispida Dennst., Discorea aculcata Linn, dan
suci atau tanah larangan) yang dimanfaatkan produksi kayu pertukangan seperti Swietenia
secara terbatas atau bahkan terlarang machrophylla King, Tectona grandis L.f., dan
(Njurumana et al., 2014). Gmelina arborea Roxb., telah berkontribusi
Dinamika zaman dan meningkatnya nyata terhadap masyarakat. Hal ini
pengetahuan masyarakat menempatkan nilai diindikasikan oleh rata-rata kontribusi
religius biodiversitas flora lebih universal. sumberdaya hayati kayu dan non kayu pada
Aneka bentuk sistem pertukaran yang berlaku sistem pekarangan mencapai
di masyarakat memungkinkan biodiversitas 1.374.300/KK/bulan atau 46,88% dari total
flora bernilai ekonomi, sehingga berimplikasi pendapatan rumah tangga., selebihnya
pada manfaat finansialnya. Manfaat finansial diperoleh dari budidaya padi sawah, kebun,
tersebut meningkatkan kapasitas masyarakat buruh, menjual ternak dan jasa.
untuk mengamalkan nilai-nilai religius melalui Data dan informasi ini memberi
pelayanan sosial, salah satunya dalam bentuk pemahaman, bahwa konservasi biodiversitas
sedekah. Dengan demikian, perpaduan nilai flora di lahan masyarakat memberikan manfaat
sosial-budaya-religius mendorong masyarakat secara langsung dan berkelanjutan, sekaligus
dalam mewujudkan spiritualitas kehidupan mengkonfirmasi bahwa persepsi masyarakat
yang seimbang antara manusia dengan mengenai dimensi ekonomi dari biodiversitas
pencipta, sesama dan alam. Keseimbangan flora dapat dibuktikan, sehingga mendorong
tersebut diwujudkan dengan memelihara dan pelestarian spesiesnya sebagai prasyarat untuk
mengembangkan biodiversitas flora pada mempertahankan keberlanjutan manfaatnya.
lingkungan pekarangan dan sekitarnya. Hal yang membedakan pengelolaan
Perspektif ekonomi-pendapatan, biodiversitas flora pada kawasan konservasi
produktivitas biodiversitas flora pada sistem dengan pengelolaan pada lahan masyarakat
pekarangan merupakan salah satu pilar adalah dalam hal inovasi dan eksplorasi.
pendukung kesejahteraan masyarakat, Pengelolaan biodiversitas flora melalui
terutama untuk produksi pangan, kayu bakar, diversifikasi produk memungkinkan adanya
kayu pertukangan, serat, obat-obat tradisional eksplorasi dan inovasi berupa keseimbangan
dan penggunaan lainnya. Sekalipun perspektif antara praktek konservasi dan upaya
ekonomi dari konservasi biodiversitas flora, pemanfaatan. Hal ini berbeda dengan
terutama dalam pengentasan kemiskinan pengelolaan biodiversitas flora pada kawasan
masih menjadi perdebatan (Fischer et al., 2008; konservasi yang lebih mengedepankan fungsi
Pearce, 2011; Kangalawe dan Noe, 2012), konservasinya sebagai bank plasma nutfah,
namun tidak dapat disangkali bahwa sedangkan unsur pengelolaan dan pemanfaatan
kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan belum optimal. Sekalipun potensi biodiversitas
konservasi merupakan salah satu indikator flora pada kawasan konservasi cukup tinggi,
yang menjelaskan peranan pengelolaan dan namun belum menjamin manfaatnya
pemanfaatan biodiversitas flora belum optimal berimplikasi positif terhadap kesejahteraan
membantu pengentasan kemiskinan. masyarakat.
Kelimpahan biodiversitas flora serta potensi
B. Struktur tanaman dan indeks nilai
manfaatnya yang tinggi seringkali
pentingnya pada sistem Pekarangan
kontraproduktif dengan realitas kehidupan
Berdasarkan hasil analisis vegetasi
masyarakat sekitar yang bergelut dengan
diperoleh informasi bahwa struktur dan
kemiskinan. Kondisi tersebut berbeda dengan
komposisi tanaman pada setiap unit
praktek pengelolaan biodiversitas flora pada

30
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana

pekarangan cukup bervariasi, sehingga Hal ini diindikasikan oleh struktur populasi
berdasarkan nilai kerapatan tanaman, secara semai hingga pohon yang membentuk struktur
berturut-turut didominasi oleh tingkat semai piramid kerucut, dan merupakan kondisi
(seeds), kemudian tingkat pancang (saplings), harapan untuk pengembangan pengelolaan
setelah itu tingkat tiang atau pohon muda biodiversitas flora. Populasi semai yang banyak
(poles) dan pohon dewasa (trees) serta kisaran merupakan peluang adanya kemampuan
indeks nilai penting seperti pada Tabel 2. regenerasi vegetasi secara alamiah, dan
Berdasarkan data pada Tabel 2 diketahui memberikan harapan untuk keberlanjutan
bahwa, struktur vegetasi pada unit-unit regenerasinya pada setiap unit pekarangan.
pekarangan berada dalam kondisi seimbang.

Tabel 2. Rata-rata kerapatan tanaman pada sistem pekarangan di Sumba Tengah


Table 2. Average of plants density in homegarden system at Central Sumba
No. Klasifikasi Kerapatan Tanaman/ha Indeks Nilai Penting (%)
(Classification) (Plant Density/ha) (Important Value Index (%))
1. Semai (seeds) 27.750 3,74 41,88
2. Pancang (poles) 3.640 2,82 42,30
3. Tiang (saplings) 730 31,32 59,13
4. Pohon (trees) 115 39,84 63,24

Pengelolaan biodiversitas flora berbasis masa lalu menjadi salah satu pemicu
masyarakat pada unit-unit pemukiman menghadirkan replikasi kondisi sumberdaya
berkontribusi positif terhadap pengembangan hutan melalui domestikasi spesies tumbuhan
konservasinya di masa depan. Hal ini hutan pada lingkungan pekarangan. Unit-unit
diindikasikan oleh kekayaan tanaman yang pengelolaan biodiversitas flora berbasis
dikelola masyarakat di sekitar pemukiman masyarakat pada sistem pekarangan dapat
mencapai 145 spesies dari 52 Famili dikategorikan sebagai cerminan model
(Njurumana et al., 2014). Berdasarkan data sumberdaya hutan pada lingkungan
tersebut, sebanyak 66,89% merupakan pemukiman/pekarangan, sehingga dapat
tumbuhan berkayu, dan sebanyak 33,10% dikelola sebagai situs-situs atau spot
merupakan tumbuhan tidak berkayu. sumberdaya hayati (Marchese, 2015). Hal ini
Berdasarkan sebarannya, sebanyak 51% dari dapat dipahami sebagai : (1) cerminan model
jumlah spesies tersebut menyebar secara sumberdaya hutan pada lingkungan
merata pada setiap unit pekarangan karena pekarangan menggambarkan kebutuhan
merupakan spesies dengan preferensi masyarakat terhadap sumberdaya, (2)
penggunaan yang tergolong tinggi. Selebihnya cerminan tersebut memungkinkan aneka
sebanyak 49% merupakan spesies alternatif, spesies tumbuhan hutan mengalami
pengembangannya bersifat personal, domestikasi sehingga memperkaya
penggunaannya spesifik sebagai tanaman obat biodiversitas flora pada lingkungan
dan spesies kunci budaya (Njurumana et al., pekarangan, (3) merupakan sarana kepedulian
2014). Oleh karena itu, manajemen masyarakat terhadap alam, terutama
biodiversitas flora pada unit-unit pekarangan pemulihan kondisi sumberdaya lahan di Sumba
berimplikasi penting terhadap faktor ekologi- Tengah yang sebagian besarnya sudah
konservasi, salah satunya oleh terbentuknya mengalami kritis.
struktur vegetasi yang multi-strata mulai Berdasarkan indeks nilai penting, terdapat
tingkat semai dengan kerapatan 27.750 rentang variasi yang cukup lebar pada tingkat
batang/ha, pancang 3.640 batang/ha, pohon semai dan pancang. Hal ini merupakan sebuah
muda 730 batang/ha, dan pohon dewasa 115 tantangan dalam pengelolaan, terutama
batang/ha. menjaga keseimbangan komposisi
Jumlah spesies dan kerapatan vegetasi biodiversitas flora yang dikembangkan pada
mengindikasikan bahwa unit-unit manajemen unit-unit pekarangan. Kompetisi yang terjadi
biodiversitas flora berbasis pekarangan diantara spesies tanaman/tumbuhan
bernilai konservasi cukup tinggi. Khususnya memungkinkan dominasi beberapa spesies
dalam konteks masyarakat Sumba, sebagai pengendali utama dalam sebuah unit
ketergantungan terhadap sumberdaya hutan di komunitas vegetasi, salah satunya spesies

31
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36

mahoni (Swietenia machrophylla King). variegata Blume, Ficus glomerata Roxb.,


Penguasaan terhadap ruang tumbuh oleh Dendrocalamus asper (Schultes dan J. H.
spesies mahoni diindikasikan oleh indeks nilai Schultes) dan Bambusa blumeana Bl. ex Schul.f.
penting (INP) yang dominan pada setiap tingkat Kesatuan ekologi komunitas biodiversitas
pertumbuhan, yaitu semai berkisar 20,77%- flora pada sistem pekarangan membentuk
41,88%, pancang berkisar 23,31%-42,30%, struktur multi-strata dan komposisi yang
tiang berkisar 31,32%-59,12% dan pohon kompleks, sehingga berimplikasi positif
berkisar 39,84%-63,24%. Hal ini terhadap jasa lingkungan, salah satunya sebagai
mengindikasikan sekalipun pada tingkat semai habitat satwa. Beberapa spesies burung
dan pancang terjadi rentang variasi yang cukup endemik Sumba seperti dara (Ptilinopus
lebar, namun tidak berimplikasi terhadap doherty E.RT.), rangkong (Arachnothera everetti
dominasi spesies mahoni (Swietenia Sharpe (1893), nuri (Trichoglosus haematodus
machrophylla King). Oleh karena itu, jika Stephens 1826) dan sriwang (Tersipon
masyarakat tidak melakukan pengelolaan dan paradise) pernah dijumpai oleh sebagian besar
pengaturan komposisi vegetasinya, terdapat masyarakat di sekitar pekarangan. Kehadiran
kecenderungan perubahan tatanan struktur spesies burung tersebut merupakan salah satu
dan komposisinya menjadi sederhana, sehingga faktor kunci yang membantu penyebaran benih
dalam jangka panjang akan mengarah pada tumbuhan hutan secara alamiah. Dalam kurun
terbentuknya komunitas vegetasi yang waktu panjang akan membantu memperkaya
cenderung monokultur. potensi biodiversitas flora pada lahan di sekitar
Intervensi pengelolaan terhadap semai pekarangan. Keberadaan unit-unit komunitas
dan pancang sebagai vegetasi masa depan pada vegetasi yang membentuk stratifikasi struktur
unit-unit pekarangan sangat diperlukan. Hal ini tanaman dan komposisi yang kompleks
untuk menata keseimbangan jumlah spesies memberikan corak tersendiri ditengah luasnya
tanamannya, terutama dalam mempertahankan hamparan savana, sehingga berperan sebagai
potensi keanekaragaman spesies dan aset ekologi yang mendukung konservasi
produksinya. Dalam tradisi kehidupan biodiversitas flora dan ekosistemnya.
masyarakat, unit-unit pengelolaan Memperhatikan aneka manfaat
biodiversitas flora berbasis pekarangan biodiversitas flora pada unit-unit pekarangan,
merupakan lumbung pertahanan masyarakat, serta implikasinya untuk konservasi
karena memungkinkan terpeliharanya subsidi lingkungan, maka pengelolaan lanskap
silang sumberdaya untuk memperkecil risiko pekarangan di masyarakat sejalan dengan hasil
kegagalan produksi akibat faktor hama dan penelitian terdahulu yang menemukan bahwa
penyakit. Melalui intervensi pengelolaannya, pada kawasan urban maupun pedesaan
dapat dilakukan pengendalian heterogenisitas memiliki kompleksitas fungsi sosial-ekonomi-
tanaman yang menjamin kelestarian ekologi (Grove et al., 2006; Cook et al., 2011),
produksinya, dan mengurangi kerentanan bahkan bernilai prestisius sebagai salah satu
hama dan penyakit seperti umumnya terjadi parameter untuk membedakan stratifikasi
pada usahatani berbasis monokultur. sosial (Warren et al., 2010). Kompleksitas
Konservasi biodiversitas flora pada sistem fungsi tersebut menuntun masyarakat
pekarangan tidak terlepas dari pengetahuan memberdayakan lanskap pemukiman/
masyarakat mengenai manfaat ekologinya. pekarangan sebagai sumberdaya strategis
Dalam perspektif ekologi, konservasi untuk memenuhi kepentingannya terhadap
biodiversitas flora dilandasi pemahaman sumberdaya alam, sebagaimana dijumpai
mengenai peranannya terhadap kesuburan secara merata pada lanskap pemukiman
lahan, mencegah erosi, perlindungan masyarakat di Sumba Tengah. Kesatuan
ekosistem, jasa lingkungan dan habitat hidupan pengelolaan lanskap pemukiman/pekarangan
liar. Persepsi tersebut telah dibuktikan oleh pada daerah datar dan perbukitan
manfaat jasa lingkungannya berupa mengindikasikan perencanaan penggunaan
perlindungan unit-unit pemukiman masyarakat sumberdaya lahan yang terintegrasi secara
yang dominan pada daerah perbukitan, holistik. Lahan datar digunakan untuk kebun,
sehingga keberadaan unit-unit pekarangan dikembangkan berbagai tanaman pangan dan
diperlukan, karena berperan sebagai pelindung, hortikultura, sedangkan daerah perbukitan
peneduh, sekat batas dan aneka bentuk manfaat sebagian besarnya digunakan untuk
lainnya. Beberapa spesies yang dikembangkan mengembangkan biodiversitas flora, terutama
sebagai peneduh/pelindung diantaranya tanaman keras. Puncak perbukitan
adalah Ficus benjamina L. (1767), Ficus dimanfaatkan sebagai zona pemukiman,

32
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana

masyarakat membangun beberapa unit rumah IV. KESIMPULAN DAN SARAN


tinggal dan rumah adat, makam keluarga dan
A. Kesimpulan
kandang ternak dalam kurun waktu tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka
Unit-unit pengelolaan biodiversitas flora
dapat disimpulkan: (a) manajemen
berbasis pekarangan di masyarakat dapat
biodiversitas flora pada sistem pekarangan
menjadi pembelajaran berharga untuk
bersifat polikultur, diindikasikan kekayaan
penerapan kegiatan konservasi sumberdaya
spesies tanaman dan jumlah famili tergolong
alam yang artikulatif. Perpaduan manfaat
tinggi, bermanfaat untuk mendukung bahan
ekologi-konservasi, sosial-budaya-religius dan
pangan, pakan, kayu pertukangan, kayu bakar
ekonomi-pendapatan dari biodiversitas flora
dan fungsi sosial-budaya-religius dan
merupakan penentu keberhasilan
konservasi lingkungan, (b) struktur dan
pengelolaannya. Masyarakat menerapkan
komposisi tanaman pada sistem pekarangan
konservasi biodiversitas flora tanpa mereduksi
secara berturut-turut didominasi tingkat semai,
fungsi sosial-budaya-religius dan ekonomi-
pancang, pohon muda dan pohon dewasa,
pendapatannya, sehingga menjadi salah satu
deviasi indeks nilai penting cukup besar pada
solusi terhadap persoalan sosial-ekonomi yang
tingkat semai dan tingkat pancang, dan makin
berkaitan dengan kesejahteraannya.
kecil pada tingkat pohon muda dan tingkat
Revitalisasi pemaknaan konservasi diperlukan
pohon dewasa. Sistem pekarangan berperan
agar kegiatan konservasi tidak mengalami
strategis sebagai unit-unit ekologis yang
pengerdilan makna sebatas pada kepentingan
memberikan manfaat jasa lingkungan terhadap
konservasi semata, tetapi harus diperlakukan
masyarakat dan jasa ekosistem di sekitarnya.
sebagai sebuah aktivitas eksplorasi dan inovasi
peluang pemanfaatan potensinya yang sepadan
B. Saran
untuk kepentingan konservasi dan
Unit-unit komunitas biodiversitas flora
kesejahteraan manusia.
berbasis pekarangan di masyarakat perlu
Salah satu potensi untuk mewujudkan hal
ditingkatkan pengelolaannya sebagai unit-unit
tersebut adalah penguatan dan pengembangan
pengelolaan sumberdaya hayati berbasis
terhadap aneka bentuk model pengelolaan
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui :
biodiversitas flora di masyarakat menjadi
(1) penguatan nilai-nilai intrinsik berbasis
penting dan strategis, terutama dalam
sosial-budaya-religius yang mendukung
memaduserasikan kepentingan konservasi dan
pelestariannya, (2) penguatan kapasitas
pemberdayaan masyarakat secara sepadan.
masyarakat dalam manajemen biodiversitas
Pengalaman dari beberapa negara yang
flora melalui pelatihan, penyuluhan dan
mensinergikan kearifan ekologi masyarakat
pendampingan, (3) meningkatkan kapasitas
dalam konservasi sumberdaya hayati seperti di
sistem produksi dan produktivitasnya melalui
Nepal, India dan wilayah lainnya (Zerbe, 2005;
diversifikasi produk secara efisien agar berdaya
Ramakrishnan, 2007; Charnley et al., 2007;
saing tinggi dan mengurangi kerusakannya,
Jones dan Lynch 2007; Dikgang &
serta (4) dukungan kebijakan dan regulasi
Muchapondwa, 2012; Wallace, 2012; Mouysset
pemerintah daerah dalam mendorong
et al., 2012; Nasi et al., 2012; Schusser, 2013;
pengelolaan unit-unit pekarangan berbasis
Johansson et al., 2013; Reyers, 2013; Carcamo
masyarakat melalui sinergi pengembangannya
et al., 2014; Gao et al., 2014; Méndez-López et
dengan program pemerintah di masa depan.
al., 2014; Jeanneret et al., 2014; Garbach et al.,
2014; Adenle et al., 2015; Borg et al., 2015;
UCAPAN TERIMA KASIH
Sandifer et al., 2015; Rasolofoson et al., 2015;
Penghargaan dan ucapan terima kasih
Yadav et al., 2015; Ens et al., 2015) berpeluang
disampaikan kepada masyarakat Sumba
untuk direvitalisasi dalam konteks masyarakat
Tengah yang telah bersedia memberikan data
lokal di Indonesia sebagaimana digambarkan
dan informasi yang diperlukan selama
oleh Lestari et al. (2015). Hal ini diperlukan
penelitian, dan pengelola Jurnal Penelitian
agar pengelolaan biodiversitas flora dapat
Kehutanan Wallacea serta reviewer yang
dibangun atas landasan kelayakannya secara
menyunting naskah ini.
sosial-budaya-religius, ekonomi-pendapatan
dan ekologi-konservasi, sehingga berimplikasi
positif terhadap apresiasi dan penerimaannya
oleh masyarakat.

33
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36

DAFTAR PUSTAKA Capture in Indonesia. Development Change,


Adenle, A.A., Stevens, C., Bridgewater, P. (2015). 38(2), 229-249.
Global Conservation and Management of
Dikgang, J. & Muchapondwa, E. (2012). The Valuation
Biodiversity in Developing Countries: An
of Biodiversity Conservation by the South
Opportunity for a New Approach.
ˆ”‹…ƒ• Š‘•ƒ•‹ ƒ• ò —•Š•‡•ó Community.
Environmental Science & Policy, 45, 104-108.
Ecological Economics, 84, 7-14.
Akhtar, S. (2013). Areca nut chewing and esophageal
Ens, E.J., Pert, P., Clarke, P.A., Budden, M., Clubb, L.,
squamous-cell carcinoma risk in Asians : A
Doran, B., Douras, C., Gaikwad, J., Gott, B.,
meta-a nalysis of case-control studies. Cancer
Leonard, S., Locke, J., Packer, J., Turpin, G.,
Causes Control, 24, 257-265.
Wason, S. (2015). Indigenous Biocultural
Anonim. (2006). Laporan Penyusunan Data Base dan Knowledge in Ecosystem Science and
Informasi DAS di Wilayah BPDAS Benain Management: Review and Insight from
Noelmina Provinsi Nusa Tenggara Timur Australia. Biological Conservation, 181, 133-
Tahun 2005. Kupang: Kerjasama Balai 149.
Pengelolaan DAS Noelmina Noelmina dengan
Fischer, R., Maginnis, S., Jackson, W., Barrow, E.,
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup,
Jeanrenaud, S., Ingles, A., Friend, R., Mehrota, R.,
Universitas Nusa Cendana.
Farvar, T., Laurie, M., Oviedo, G. (2008). Linking
Banilodu L. dan N.T Saka. (1993). Descriptive Analysis Conservation and Poverty Reduction:
of Sumba Forest. Kupang: Widya Mandira Landscape, People and Power. IUCN-The World
Catholic University. Conservation Union.
Butchart, S.H., Walpole, M., Collen, B., van-Strien, A., Feinberg, D.S., Hostetler, M.E., Reed, S.E., Pienaar, E.F.,
Scharlemann, J. P., Almond, R. E., Baillie, J. E., Pejchar, L. (2015). Evaluating Management
Bomhard, B., Brown, C., Bruno, J., Carpenter, K. Strategies to Enhance Biodiversity in
E., Carr, G. M., Chanson,J., Chenery, A. M., Csirke, Conservation Developments: Perspectives
J., Davidson, N. C., Dentener, F., Foster, M., Galli, from Developers in Colorado, USA. Landscape
A., Galloway, J.N., Genovesi, P., Gregory, R.D., and Urban Planning, 136, 87-96.
Hockings, M., Kapos, V., Lamarque, J.F.,
Frison, E. A., Smith, I.F., Johns, T., Cherfas, J.,
Leverington, F., Loh, J., McGeoch, M.A., McRae,
Eyzaguirre, P. (2006). Agricultural
L., Minasyan, A., Hernandez, Morcillo, M.,
Biodiversity, Nutrition and Health : Making
Oldfield, T.E., Pauly, D., Quader, S., Revenga, C.,
Difference to Hunger and Nutrition in the
Sauer, J.R., Skolnik, B., Spear, D., Stanwell-
Developing World. Food and Nutrition Bulletin,
Smith, D., Stuart, S.N., Symes, A., Tierney, M.,
27, 167-179.
Tyrrell, T.D., Vie, J.C., Watson, R. (2010). Global
Biodiversity: Indicators of Recent Declines. Gao, T., Hedblom, M., Emilsson, T., Nielsen, A.B.
Science, 328, 1164 1168. (2014) The Role of Forest Stand Structure as
Biodiversity Indicator. Forest Ecology and
Borg, R., Toikka, A., Primmer, E. (2015). Social Capital
Management, 330, 82-93.
and Governance: A Social Network Analysis of
Forest Biodiversity Collaboration in Central Garbach, K., Milder, J.C., Montenegro, M., Karp, D.S.,
Finland. Forest Policy and Economics, 50, 90-97. DeClerck F.A.J. (2014). Biodiversity and
Ecosystem Services in Agroecosystems.
Cárcamo, P.F., Garay-Flühmann, R., Squeo, F.A.,
Encyclopedia of Agriculture and Food Systems,
Gaymer, C.F. (2014). •‹•‰ –ƒ•‡Š‘Ž†‡”•ï
9, 21-40.
Perspective of Ecosystem Services and
Biodiversity Features to Plan a Marine Grove, ä äá ”‘›á ä äá ï ‡‹Ž-Dunne, J.P.M., Burch,
Protected Area. Environmental Science & Policy, W.R., Cadenasso, M.L., Picket, S.T.A. (2006).
40, 116-131. Characterization of Household and its
Implications for the Vegetation of Urban
Charnley, S., A.P. Fischer, E.T. Jones. (2007).
Ecosystems. Ecosystems, 9, 578-597.
Integrating Traditional and Local Ecological
Knowledge into Forest Biodiversity Halkos, G.E., Jones, N. (2012) Modeling the Effect of
Conservation in the Pacific Northwest. Forest Social Factors on Improving Biodiversity
Ecology and Management, 246, 14-28. Protection. Ecological Economics, 78, 90-99.
Cook, E., Hall, S., Larson, K. (2011). Residential Harrison, P.A., Berry, P.M., Simpson, G., Haslett, J.R.,
Landscape as Social-Ecological System: A Blicharska, M., Bucur, M., Dunford, R., Egoh, B.,
Synthesis of Multi-Scalar Interactions Between Garcia- Ž‘”‡•–‡á äá ‡ƒ•£•£á äá ‡‡”–•‡•ƒá
People and Their Home Environment. Urban W., Lommelen, E., Meiresonne, L., Turkelboom,
Ecosystems, 8, 1-34. F. (2014). Linkages Between Biodiversity
Attributes and Ecosystem Services: A
Dasgupta, A., Beard, V.A. (2008). Community Driven
Systematic Review. Ecosystem Services, 9, 191-
Development, Collective Action and Elite
203.

34
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana

Houdet, J., Trommetter, M., Weber, J. (2012). Méndez-López, M.E., García-Frapolli, E., Pritchard,
Understanding Changes in Business Strategies D.J., González, M.C.S., Ruiz-Mallén, I., Porter-
Regarding Biodiversity and Ecosystem Bolland, L., Reyes-Garcia, V. (2014). Local
Services. Ecological Economics, 73, 37-46. Participation in Biodiversity Conservation
Initiatives: A Comparative Analysis of Different
Jeanneret, P., Baumgartner, D.U., Knuchel, R.F., Koch,
Models in South East Mexico. Environmental
B., Gaillard, G. (2014). An Expert System for
Management, 145, 321-329.
Integrating Biodiversity into Agricultural Life-
cycle Assessmen. Ecological Indicators, 46, 224- Mouysset, L., Doyen, L., Jiguet, F. (2012). Different
231. Policy Scenarios to Promote Various Targets of
Biodiversity. Ecological Indicators, 14(1), 209-
Johansson, T., Hjältén, J., de Jong, J., Stedingk, H.V.
221.
(2013). Environmental Considerations from
Legislation and Certification in Managed Forest Nasi, R., Billand, A., van-Vliet, N. (2012). Managing for
Stands: A Review of Their Importance for Timber and Biodiversity in the Congo Basin.
Biodiversity. Forest Ecology and Management, Forest Ecology and Management, 268, 103-111.
303, 98 112.
Nesbitt, M., R.P.H. McBurney, M. Broin and H.J.
Jones, E.T., & Lynch, K. A. (2007). Nontimber Forest Beentje. (2010). Linking Biodiversity, Food and
Products and Biodiversity Management in the Nutrition: The Importance of Plant
Pacific Northwest. Forest Ecology and Identification and Nomenclature. Food
Management, 246, 29-37. Composition and Analysis, 23, 486-498.
Jepson P., Rais S., Ora A.B. dan Raharjaningtrah W. Njurumana, G.N., Marsono, D., Irham dan Sadono, R.
(1996). Identifikasi Jaringan Kawasan (2014). Konservasi Keanekaragaman Hayati
Konservasi untuk Pelestarian Nilai-Nilai Hutan Tanaman Pada Sistem Kaliwu di Pulau Sumba.
di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Bogor: Manusia dan Lingkungan, 21(1), 75-82.
BirdLife International-Indonesia Programme
Njurumana, G.N., Raharjo, S.A.S., Hidayatullah, M.,
dan PHPA-Departemen Kehutanan.
Oematan, O.K., dan Lalus M. (2015).
Kangalawe, R.Y.M., Noe, C. (2012). Biodiversity Pemanfaatan dan Konsumsi Sirih-Pinang dalam
Conservation and Poverty Alleviation in Tradisi Nginang di Nusa Tenggara Timur.
Namtumbo District, Tanzania. Agriculture, (Laporan Hasil Penelitian). Kupang: Balai
Ecosystem and Environment, 162, 90-100. Penelitian Kehutanan Kupang. (Tidak
dipublikasikan).
Kinnaird, F.M., A.F. Sitompul, J.S. Walker dan A.J.
Cahill. (2003). Pulau Sumba : Ringkasan Hasil Pearce, F., (2011). Conservation and Poverty
Penelitian 1995-2002. Memorandum Teknis 6. Reduction. Conservation Magazine.
Bogor: PHKA/ Wildlife Conservation Society http://www.conservationmagazine.org/2014
Indonesia Program. /02/conservation-and-poverty/.
Koopowitz, H., Thomhill, A.D., & Andersen, M. (1994). Pereira, H.M., Ferrier, S., Walters, M., Geller, G.N.,
A General Stochastic Model for the Prediction Jongman, R.H.G., Scholes, R.J., Bruford, M.W.,
of Biodiversity Losses Based On Habitat Brummit, N., Butchart, S.H.M., Cardosa, A.C.,
Conversion. Conservation Biology, 8, 425-438. Coops, N.C., Dulloo, E., Faith, D.P., Freyhof, J.,
Gregory, R.D., Heip, C., Hoft, R., Hurt, G., Jetz,
Lele, S., Wilshusen, P., Brockington, D., Seidler, R.,
W., Karp, D.S., McGeoch, M.A., Obura, D., Onoda,
Bawa, K. (2010). Beyond Exclusion: Alternative
Y., Reyers, B., Sayre, R., Scharlemann, J.P.W.,
Approaches to Biodiversity Conservation in the
Stuart, S.N., Turak, E., Walpole, M., Wegmann,
Developing Tropics. Current Opinion
M. (2013). Essential Biodiversity Variables.
Environment Sustainability, 2, 1-7.
Science, 339(6117), 277-278.
Lestari, S., Kotani, K., Kakinaka, M. (2015). Enhancing
Potter, K.M., Woodall, C.W. (2014). Does Biodiversity
Voluntary Participation in Community
Make a Difference? Relationships Between
Collaborative Forest Management: A case of
Species Richness, Evolutionary Diversity, and
Central Java, Indonesia. Environmental
Above Ground Live Tree Biomass Across U.S.
Management, 150, 299-309. Forests. Forest Ecology and Management, 321,
Mace, G.M., K. Norris and A.H. Fitter. (2012). 117-129.
Biodiversity and Ecosystem Services : A
Ramakrishnan, P.S., (2007). Traditional Forest
Multilayered Relationship. Trends Ecology and
Knowledge and Sustainable Forestry : A North-
Evolution, 27(1), 19-26.
East India Perspective. Forest Ecology and
Marchese, C. (2015). Biodiversity Hotspots: A Management, 249, 91-99.
Shortcut for a More Complicated Concept.
Rasolofoson, R.A., Ferraro, P.J., Jenkins, C.N., Jones,
Global Ecology and Conservation, 3, 297-309.
J.P.G. (2015). Effectiveness of Community
Forest Management at Reducing Deforestation

35
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36

in Madagascar. Biological Conservation, 184, Vel, J. (2010). Ekonomi-Uma : Penerapan adat dalam
271-277. dinamika ekonomi berbasis kekerabatan.
(judul asli : The Uma-Economy: Indigenous
Reyers, B. (2013). Conserving Biodiversity Outside
economics and development work in Lawonda,
Protected Areas. Encyclopedia of Biodiversity, Sumba (Eastern Indonesia). Alih bahasa oleh
2, 289-305.
Myrne Tehubijuluw-Umboh. Ed.1. Jakarta:
Robinson, D.A., N. Hockley, D.M. Cooper, B.A. Emmett, HuMa; Vollenhoven Institute; KITLV.
A.M. Keith, I. Lebron, B. Reynolds, E. Tiping,
Walters, J.L. and I. Mulder. (2009). Valuing Nature,
A.M. Tye, C.W. Watts, W.R. Whalley, H.I.J. Black,
the Economics of Biodiversity. Nature
G.P. Warren and J.S. Robinson. (2013). Natural
Conservation, 17, 245-247.
Capital and Ecosystem Services, Developing an
Appropriate Soils Framework as a Basis for Wallace, K. J. (2012). Values: Drivers for Planning
Valuation. Soil Biology & Biochemistry, 57, Biodiversity Management. Environmental
1023-1033. Science & Policy, 17, 1-11.
Rombang W.M., Trainor C. dan Lesmana D. (2002). Warren, P., Harlan, S.L., Boone, C., Lerman, S.B.,
Daerah Penting bagi Burung di Nusa Tenggara. Schocat, E., Kinzig, A.P. (2010). Urban Ecology
Bogor: BirdLife Indonesia dan PHKA - and Human Social Organisations. In Gaston, K.J.
Departemen Kehutanan. (Ed), Urban Ecology. Cambridge: Cambridge
University Press, pp 172-201.
Sandifer, P.A., Sutton-Grier, A.E., Ward, B.P. (2015).
Exploring Connections Among Nature, Yadav, B.D., Bigsby, H., MacDonald, I. (2015). How
Biodiversity, Ecosystem Services, and Human Can Poor and Disadvantaged Households Get
Health and Well-being: Opportunities to an Opportunity to Become a Leader in
Enhance Health and Biodiversity Conservation. Community Forestry in Nepal?. Forest Policy
Ecosystem Services, 12, 1-15. and Economics, 52, 27-38.
Schusser, C. (2013). Who Determines Biodiversity? Zerbe, N. (2005). Biodiversity, Ownership and
An Analysis of Actors' Power and Interests in Indigenous Knowledge: Exploring Legal
Community Forestry in Namibia. Forest Policy Frameworks for Community, Farmers, and
and Economics, 36, 42-51. Intellectual Property Rights in Africa.
Ecological Economics, 53, 493-506.

36

Anda mungkin juga menyukai