Gerson N. Njurumana
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Jl. Alfons Nisnoni (Untung Surapati) No. 7 Airnona 85115 Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Telp. (0380) 823357 Fax. (0380) 831068
E-mail: njurumana@gmail.com
Diterima 20 Nopember 2015; revisi terakhir 7 Maret 2016; disetujui 8 Maret 2016
ABSTRAK
Biodiversitas flora merupakan sumberdaya strategis dengan aneka potensi penggunaan untuk manusia.
Pertumbuhan penduduk berdimensi ganda sebagai pemicu terjadinya degradasi sumberdaya hayati, namun
berperan dalam pengelolaan untuk meningkatkan konservasinya. Penelitian ini bertujuan mengetahui
manajemen biodiversitas flora, struktur dan komposisi tanaman pada sistem pekarangan. Penelitian dilakukan
di Kabupaten Sumba Tengah, metode wawancara dan observasi digunakan, analisis data secara deskriptif-
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen biodiversitas flora pada sistem pekarangan bersifat
polikultur, bermanfaat secara holistik sebagai atribut sosial-budaya-religius, ekonomi-pendapatan dan ekologi-
konservasi. Struktur dan komposisi tanaman pada sistem pekarangan bervariasi, termasuk variasi indeks nilai
pentingnya. Perluasan wilayah pemukiman berdampak positif terhadap konservasi biodiversitas flora pada
sistem pekarangan.
ABSTRACT
Flora biodiversity is a strategic resource due its various potential uses for human benefit. Population growth
is sometimes considered to be a contributory factor in the degradation of the biological resources, conversely, the
population plays an important role in its conservation. This research aimed to understand the flora biodiversity
management, structure and composition of plants in home-garden system. The research was conducted in Central
Sumba Regency. Methods used were interview and observation. Data were analysed descriptively and qualitatively.
The result showed that the flora biodiversity management in home garden based on poly-culture approach, a
holistic beneficially as a socio-cultural-religious attribute, economic-income and ecology-conservation. The
structure and composition of plant in the home-garden they include the variation of the important value index. The
expansion of the residential areas positively impact the flora biodiversity conservation in home-garden system.
25
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36
26
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana
Tabel 1. Rata-rata potensi keanekaragaman hayati pada sistem pekarangan di Sumba Tengah
Table 1. Average of biodiversity potency in homegarden system at Central Sumba
Jumlah spesies (Number of Species)
Klasifikasi Tanaman
No. Terendah Tertinggi Rata-rata
(Plant Classification)
(Lowest) (Highest) (Average)
1. Ubi-ubian 3 7 5
2. Buah-buahan 5 7 6
3. Kayu bakar 7 9 8
4. Kayu pertukangan 5 7 5
5. Tanaman Obat 4 4 4
6. Pakan ternak 3 6 5
7. Sosial-budaya, spiritual dan 13 19 15
konservasi lingkungan)
27
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36
spesies pada setiap unit pekarangan, sejumlah spesies kunci budaya dengan aneka
diantaranya Ananas comosus MERR, Anona bentuk pemanfaatan yang bersifat spesifik,
muricata L., Artocarpus heterophyllus Lamk, diantaranya termasuk kategori jarang (rare)
Artocarpus integra MERR, Carica papaya L., seperti Santalum album Linn. Kerr., Mallotus
Citrus maxima (Burm.) Merr., Cocos nucifera L., paniculatus (Roxb) Mull.Arg., Tetrameles
Mangifera indica Blanco, dan Solanum torvum nudiflora R.Br., Agalia odoratissima Bl., Aglaia
Swartz dan Persea gratissima Gaertn.f. argentea Bl. dan Indigofera trifoliata L.
Spesies penghasil kayu bakar sebanyak 12 Partisipasi masyarakat dalam melakukan
spesies, dengan kisaran 7-9 spesies pada setiap konservasi biodiversitas flora merupakan salah
unit pekarangan, diantaranya adalah satu komponen penting yang perlu
Artocarpus integra Merr., Leucaena diperhatikan dan dikembangkan, terutama
leucocephala (Lam.), Acasia villosa (Willd), dalam menghadapi kecenderungan kerusakan
Swietenia mahagony (L) Jacg., Calliandra lingkungan dan sumberdaya alam yang
calothyrsus (Meisn.), Zapoteca tetragona meningkat. Khususnya untuk pulau Sumba,
(Willd) H.N. Hern., Cassia siamea Lamk., pengelolaan biodiversitas flora mengalami
Melochia umbullata (Houtt.) stapft., Schleichera tantangan cukup serius karena diperhadapkan
oleosa (Lour.) Oken., Timonius sericeus dengan laju degradasi lahan dan hutan
(Desf).K.Schum., Gliricidia sepium (Jacg.) Walp., mencapai 6.000 ha/tahun, sehingga tutupan
dan Hibiscus tiliaceus L. Selain jenis-jenis lahan berhutan rapat kurang dari 7% (Kinnaird
tersebut, terdapat 22 spesies yang berperan et al., 2003). Blok-blok hutan bervegetasi rapat
ganda sebagai penghasil buah-buahan, pakan tersebut merupakan habitat dari 116 spesies
ternak, serat, kayu bakar, tanaman obat. tumbuhan dan 76 spesies burung (13 spesies
Khusus untuk penghasil kayu memiliki sebaran terbatas, termasuk 8 spesies
pertukangan, terdapat 15 spesies yang sering burung endemik terancam punah, dan 57
digunakan oleh masyarakat dan menyebar pada spesies kupu-kupu dengan sebaran terbatas
setiap unit pekarangan berkisar 5-7 spesies, (Banilodu dan Saka 1993; Jepson et al., 1996
diantaranya Swietenia machrophylla King, dan Rombang et al., 2002). Hutan yang masih
Swietenia mahagoni L. Jacg., Gmelina arborea tersisa merupakan bank plasma nutfah yang
(Burm F.) Merr., Intsia bijuga (Colebr.) Kuntze, mempengaruhi keanekaragaman spesies diluar
Tectona grandis L.f., Macaranga tanarius Muell. kawasan hutan. Kondisi degradasi seperti
Arg., Toona sureni (Blume) Merr., Timonius diatas merupakan sebuah persoalan serius, dan
sericeus (Desf).K.Schum, Sterculia foetida L., memerlukan terobosan untuk mengatasinya,
Alstonia scholaris R.br., Alstonia spectabilis antara lain melalui peningkatan partisipasi
R.Br., Artocarpus heterophyllus Lamk., masyarakat dalam pengembangan unit-unit
Artocarpus integra Merr., Cocos nucifera L., dan pekarangan sebagai penyangga.
Paraserianthes falcataria (L) I. C. Nielsen. Selain Potensi unit-unit pekarangan yang oleh
itu terdapat 21 spesies yang berperan sebagai pemerintah dikategorikan sebagai pertanian
penghasil tanaman obat, dengan rata-rata lahan kering/campur dengan luas mencapai
sebaran pada setiap unit pekarangan 4 spesies, 109.879 ha atau 9,94% dari luas pulau Sumba
diantaranya Acorus calamus L., Piper betle, (Anonim, 2006) merupakan salah satu elemen
Anona muricata, Arecha pinnata, C. Burmanii, C. penting yang perlu dipertimbangkan untuk
Odorata, Curcuma domestica, D. Arborescens, mendukung manajemen konservasi
Melochia umbullata dan Morinda sp. Terdapat biodiversitas flora berbasis masyarakat.
sebanyak 6 spesies berperan sebagai pakan Keanekaragaman spesies tanaman pada sistem
ternak, dengan kisaran 3-6 spesies pada setiap pekarangan mengindikasikan realitas
unit pekarangan, diantaranya Pennisetum kebutuhan dan pemahaman masyarakat
purpureophoides Schumach, Musa paradisiaca mengenai nilai pentingnya, dan perlu dipahami
(Linn.), Sesbania grandiflora (L.) Pers, Leucaena untuk disinergikan dalam membangun strategi
leucocephala (Lam.) Link., Acacia leucophloea pelestariannya melalui aspek sosial-budaya-
(Roxb.) Willd., dan Pennisetum purpureum religius dan ekonomi-pendapatan .
Schumach. Berdasarkan perspektif sosial-budaya-
Relevan dengan kepentingan sosial- religius, orang Sumba menempatkan
budaya, spiritual dan konservasi lingkungan, biodiversitas flora sebagai salah satu sumber
terdapat 13-19 spesies tanaman lainnya yang hidup bernilai strategis, karena memiliki nilai
dikembangkan/dipelihara/dibiarkan manfaat terhadap berbagai dimensi kehidupan
berkembang secara alamiah pada setiap unit masyarakat (Tabel 1). Nilai-nilai intrinsik
pekarangan. Hal menariknya adalah terdapat biodiversitas flora bermanfaat sebagai atribut
28
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana
29
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36
Salah satu nilai intrinsik dari sumberdaya lahan milik masyarakat yang berdampak positif
hayati flora pada kalangan masyarakat Sumba terhadap kesejahteraannya, salah satu
adalah nilai religiusnya, dibuktikan contohnya adalah flora pada lahan milik rakyat
penggunaan beberapa spesies sebagai atribut di Sumba Tengah yang berkontribusi positif
simbolik religius, di antaranya sirih (Piper betle melalui produksi hasil non kayu dan hasil kayu.
L.) dan buah pinang (Arecha cathecu L.) dalam Eksplorasi dan pemanfaatan produksi non
setiap upacara adat, terutama oleh penganut kayu seperti Coffea arabica L., Aleurites
Marapu sebagai sebuah aliran kepercayaan moluccana L. Willd., Arecha cathecu L., Piper
terhadap roh leluhur. Penerapan atribut betle L., Persea gratissima Gaertn.f., Ananas
simbolik dalam skala luas diwujudkan berupa comosus MERR, Citrus maxima (Burm.) Merr.
sejumlah situs-situs religius berbasis dan Cocos nucifera L., termasuk sejumlah
sumberdaya alam, diantaranya hutan marapu, spesies penghasil pangan seperti Discorea
kampung marapu dan tanah biha/paita (tanah hispida Dennst., Discorea aculcata Linn, dan
suci atau tanah larangan) yang dimanfaatkan produksi kayu pertukangan seperti Swietenia
secara terbatas atau bahkan terlarang machrophylla King, Tectona grandis L.f., dan
(Njurumana et al., 2014). Gmelina arborea Roxb., telah berkontribusi
Dinamika zaman dan meningkatnya nyata terhadap masyarakat. Hal ini
pengetahuan masyarakat menempatkan nilai diindikasikan oleh rata-rata kontribusi
religius biodiversitas flora lebih universal. sumberdaya hayati kayu dan non kayu pada
Aneka bentuk sistem pertukaran yang berlaku sistem pekarangan mencapai
di masyarakat memungkinkan biodiversitas 1.374.300/KK/bulan atau 46,88% dari total
flora bernilai ekonomi, sehingga berimplikasi pendapatan rumah tangga., selebihnya
pada manfaat finansialnya. Manfaat finansial diperoleh dari budidaya padi sawah, kebun,
tersebut meningkatkan kapasitas masyarakat buruh, menjual ternak dan jasa.
untuk mengamalkan nilai-nilai religius melalui Data dan informasi ini memberi
pelayanan sosial, salah satunya dalam bentuk pemahaman, bahwa konservasi biodiversitas
sedekah. Dengan demikian, perpaduan nilai flora di lahan masyarakat memberikan manfaat
sosial-budaya-religius mendorong masyarakat secara langsung dan berkelanjutan, sekaligus
dalam mewujudkan spiritualitas kehidupan mengkonfirmasi bahwa persepsi masyarakat
yang seimbang antara manusia dengan mengenai dimensi ekonomi dari biodiversitas
pencipta, sesama dan alam. Keseimbangan flora dapat dibuktikan, sehingga mendorong
tersebut diwujudkan dengan memelihara dan pelestarian spesiesnya sebagai prasyarat untuk
mengembangkan biodiversitas flora pada mempertahankan keberlanjutan manfaatnya.
lingkungan pekarangan dan sekitarnya. Hal yang membedakan pengelolaan
Perspektif ekonomi-pendapatan, biodiversitas flora pada kawasan konservasi
produktivitas biodiversitas flora pada sistem dengan pengelolaan pada lahan masyarakat
pekarangan merupakan salah satu pilar adalah dalam hal inovasi dan eksplorasi.
pendukung kesejahteraan masyarakat, Pengelolaan biodiversitas flora melalui
terutama untuk produksi pangan, kayu bakar, diversifikasi produk memungkinkan adanya
kayu pertukangan, serat, obat-obat tradisional eksplorasi dan inovasi berupa keseimbangan
dan penggunaan lainnya. Sekalipun perspektif antara praktek konservasi dan upaya
ekonomi dari konservasi biodiversitas flora, pemanfaatan. Hal ini berbeda dengan
terutama dalam pengentasan kemiskinan pengelolaan biodiversitas flora pada kawasan
masih menjadi perdebatan (Fischer et al., 2008; konservasi yang lebih mengedepankan fungsi
Pearce, 2011; Kangalawe dan Noe, 2012), konservasinya sebagai bank plasma nutfah,
namun tidak dapat disangkali bahwa sedangkan unsur pengelolaan dan pemanfaatan
kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan belum optimal. Sekalipun potensi biodiversitas
konservasi merupakan salah satu indikator flora pada kawasan konservasi cukup tinggi,
yang menjelaskan peranan pengelolaan dan namun belum menjamin manfaatnya
pemanfaatan biodiversitas flora belum optimal berimplikasi positif terhadap kesejahteraan
membantu pengentasan kemiskinan. masyarakat.
Kelimpahan biodiversitas flora serta potensi
B. Struktur tanaman dan indeks nilai
manfaatnya yang tinggi seringkali
pentingnya pada sistem Pekarangan
kontraproduktif dengan realitas kehidupan
Berdasarkan hasil analisis vegetasi
masyarakat sekitar yang bergelut dengan
diperoleh informasi bahwa struktur dan
kemiskinan. Kondisi tersebut berbeda dengan
komposisi tanaman pada setiap unit
praktek pengelolaan biodiversitas flora pada
30
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana
pekarangan cukup bervariasi, sehingga Hal ini diindikasikan oleh struktur populasi
berdasarkan nilai kerapatan tanaman, secara semai hingga pohon yang membentuk struktur
berturut-turut didominasi oleh tingkat semai piramid kerucut, dan merupakan kondisi
(seeds), kemudian tingkat pancang (saplings), harapan untuk pengembangan pengelolaan
setelah itu tingkat tiang atau pohon muda biodiversitas flora. Populasi semai yang banyak
(poles) dan pohon dewasa (trees) serta kisaran merupakan peluang adanya kemampuan
indeks nilai penting seperti pada Tabel 2. regenerasi vegetasi secara alamiah, dan
Berdasarkan data pada Tabel 2 diketahui memberikan harapan untuk keberlanjutan
bahwa, struktur vegetasi pada unit-unit regenerasinya pada setiap unit pekarangan.
pekarangan berada dalam kondisi seimbang.
Pengelolaan biodiversitas flora berbasis masa lalu menjadi salah satu pemicu
masyarakat pada unit-unit pemukiman menghadirkan replikasi kondisi sumberdaya
berkontribusi positif terhadap pengembangan hutan melalui domestikasi spesies tumbuhan
konservasinya di masa depan. Hal ini hutan pada lingkungan pekarangan. Unit-unit
diindikasikan oleh kekayaan tanaman yang pengelolaan biodiversitas flora berbasis
dikelola masyarakat di sekitar pemukiman masyarakat pada sistem pekarangan dapat
mencapai 145 spesies dari 52 Famili dikategorikan sebagai cerminan model
(Njurumana et al., 2014). Berdasarkan data sumberdaya hutan pada lingkungan
tersebut, sebanyak 66,89% merupakan pemukiman/pekarangan, sehingga dapat
tumbuhan berkayu, dan sebanyak 33,10% dikelola sebagai situs-situs atau spot
merupakan tumbuhan tidak berkayu. sumberdaya hayati (Marchese, 2015). Hal ini
Berdasarkan sebarannya, sebanyak 51% dari dapat dipahami sebagai : (1) cerminan model
jumlah spesies tersebut menyebar secara sumberdaya hutan pada lingkungan
merata pada setiap unit pekarangan karena pekarangan menggambarkan kebutuhan
merupakan spesies dengan preferensi masyarakat terhadap sumberdaya, (2)
penggunaan yang tergolong tinggi. Selebihnya cerminan tersebut memungkinkan aneka
sebanyak 49% merupakan spesies alternatif, spesies tumbuhan hutan mengalami
pengembangannya bersifat personal, domestikasi sehingga memperkaya
penggunaannya spesifik sebagai tanaman obat biodiversitas flora pada lingkungan
dan spesies kunci budaya (Njurumana et al., pekarangan, (3) merupakan sarana kepedulian
2014). Oleh karena itu, manajemen masyarakat terhadap alam, terutama
biodiversitas flora pada unit-unit pekarangan pemulihan kondisi sumberdaya lahan di Sumba
berimplikasi penting terhadap faktor ekologi- Tengah yang sebagian besarnya sudah
konservasi, salah satunya oleh terbentuknya mengalami kritis.
struktur vegetasi yang multi-strata mulai Berdasarkan indeks nilai penting, terdapat
tingkat semai dengan kerapatan 27.750 rentang variasi yang cukup lebar pada tingkat
batang/ha, pancang 3.640 batang/ha, pohon semai dan pancang. Hal ini merupakan sebuah
muda 730 batang/ha, dan pohon dewasa 115 tantangan dalam pengelolaan, terutama
batang/ha. menjaga keseimbangan komposisi
Jumlah spesies dan kerapatan vegetasi biodiversitas flora yang dikembangkan pada
mengindikasikan bahwa unit-unit manajemen unit-unit pekarangan. Kompetisi yang terjadi
biodiversitas flora berbasis pekarangan diantara spesies tanaman/tumbuhan
bernilai konservasi cukup tinggi. Khususnya memungkinkan dominasi beberapa spesies
dalam konteks masyarakat Sumba, sebagai pengendali utama dalam sebuah unit
ketergantungan terhadap sumberdaya hutan di komunitas vegetasi, salah satunya spesies
31
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36
32
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana
33
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36
34
Masyarakat Desa dan Manajemen Biodiversitas Flora .....
Gerson N. Njurumana
Houdet, J., Trommetter, M., Weber, J. (2012). Méndez-López, M.E., García-Frapolli, E., Pritchard,
Understanding Changes in Business Strategies D.J., González, M.C.S., Ruiz-Mallén, I., Porter-
Regarding Biodiversity and Ecosystem Bolland, L., Reyes-Garcia, V. (2014). Local
Services. Ecological Economics, 73, 37-46. Participation in Biodiversity Conservation
Initiatives: A Comparative Analysis of Different
Jeanneret, P., Baumgartner, D.U., Knuchel, R.F., Koch,
Models in South East Mexico. Environmental
B., Gaillard, G. (2014). An Expert System for
Management, 145, 321-329.
Integrating Biodiversity into Agricultural Life-
cycle Assessmen. Ecological Indicators, 46, 224- Mouysset, L., Doyen, L., Jiguet, F. (2012). Different
231. Policy Scenarios to Promote Various Targets of
Biodiversity. Ecological Indicators, 14(1), 209-
Johansson, T., Hjältén, J., de Jong, J., Stedingk, H.V.
221.
(2013). Environmental Considerations from
Legislation and Certification in Managed Forest Nasi, R., Billand, A., van-Vliet, N. (2012). Managing for
Stands: A Review of Their Importance for Timber and Biodiversity in the Congo Basin.
Biodiversity. Forest Ecology and Management, Forest Ecology and Management, 268, 103-111.
303, 98 112.
Nesbitt, M., R.P.H. McBurney, M. Broin and H.J.
Jones, E.T., & Lynch, K. A. (2007). Nontimber Forest Beentje. (2010). Linking Biodiversity, Food and
Products and Biodiversity Management in the Nutrition: The Importance of Plant
Pacific Northwest. Forest Ecology and Identification and Nomenclature. Food
Management, 246, 29-37. Composition and Analysis, 23, 486-498.
Jepson P., Rais S., Ora A.B. dan Raharjaningtrah W. Njurumana, G.N., Marsono, D., Irham dan Sadono, R.
(1996). Identifikasi Jaringan Kawasan (2014). Konservasi Keanekaragaman Hayati
Konservasi untuk Pelestarian Nilai-Nilai Hutan Tanaman Pada Sistem Kaliwu di Pulau Sumba.
di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Bogor: Manusia dan Lingkungan, 21(1), 75-82.
BirdLife International-Indonesia Programme
Njurumana, G.N., Raharjo, S.A.S., Hidayatullah, M.,
dan PHPA-Departemen Kehutanan.
Oematan, O.K., dan Lalus M. (2015).
Kangalawe, R.Y.M., Noe, C. (2012). Biodiversity Pemanfaatan dan Konsumsi Sirih-Pinang dalam
Conservation and Poverty Alleviation in Tradisi Nginang di Nusa Tenggara Timur.
Namtumbo District, Tanzania. Agriculture, (Laporan Hasil Penelitian). Kupang: Balai
Ecosystem and Environment, 162, 90-100. Penelitian Kehutanan Kupang. (Tidak
dipublikasikan).
Kinnaird, F.M., A.F. Sitompul, J.S. Walker dan A.J.
Cahill. (2003). Pulau Sumba : Ringkasan Hasil Pearce, F., (2011). Conservation and Poverty
Penelitian 1995-2002. Memorandum Teknis 6. Reduction. Conservation Magazine.
Bogor: PHKA/ Wildlife Conservation Society http://www.conservationmagazine.org/2014
Indonesia Program. /02/conservation-and-poverty/.
Koopowitz, H., Thomhill, A.D., & Andersen, M. (1994). Pereira, H.M., Ferrier, S., Walters, M., Geller, G.N.,
A General Stochastic Model for the Prediction Jongman, R.H.G., Scholes, R.J., Bruford, M.W.,
of Biodiversity Losses Based On Habitat Brummit, N., Butchart, S.H.M., Cardosa, A.C.,
Conversion. Conservation Biology, 8, 425-438. Coops, N.C., Dulloo, E., Faith, D.P., Freyhof, J.,
Gregory, R.D., Heip, C., Hoft, R., Hurt, G., Jetz,
Lele, S., Wilshusen, P., Brockington, D., Seidler, R.,
W., Karp, D.S., McGeoch, M.A., Obura, D., Onoda,
Bawa, K. (2010). Beyond Exclusion: Alternative
Y., Reyers, B., Sayre, R., Scharlemann, J.P.W.,
Approaches to Biodiversity Conservation in the
Stuart, S.N., Turak, E., Walpole, M., Wegmann,
Developing Tropics. Current Opinion
M. (2013). Essential Biodiversity Variables.
Environment Sustainability, 2, 1-7.
Science, 339(6117), 277-278.
Lestari, S., Kotani, K., Kakinaka, M. (2015). Enhancing
Potter, K.M., Woodall, C.W. (2014). Does Biodiversity
Voluntary Participation in Community
Make a Difference? Relationships Between
Collaborative Forest Management: A case of
Species Richness, Evolutionary Diversity, and
Central Java, Indonesia. Environmental
Above Ground Live Tree Biomass Across U.S.
Management, 150, 299-309. Forests. Forest Ecology and Management, 321,
Mace, G.M., K. Norris and A.H. Fitter. (2012). 117-129.
Biodiversity and Ecosystem Services : A
Ramakrishnan, P.S., (2007). Traditional Forest
Multilayered Relationship. Trends Ecology and
Knowledge and Sustainable Forestry : A North-
Evolution, 27(1), 19-26.
East India Perspective. Forest Ecology and
Marchese, C. (2015). Biodiversity Hotspots: A Management, 249, 91-99.
Shortcut for a More Complicated Concept.
Rasolofoson, R.A., Ferraro, P.J., Jenkins, C.N., Jones,
Global Ecology and Conservation, 3, 297-309.
J.P.G. (2015). Effectiveness of Community
Forest Management at Reducing Deforestation
35
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 5 No.1, Maret 2016: 25-36
in Madagascar. Biological Conservation, 184, Vel, J. (2010). Ekonomi-Uma : Penerapan adat dalam
271-277. dinamika ekonomi berbasis kekerabatan.
(judul asli : The Uma-Economy: Indigenous
Reyers, B. (2013). Conserving Biodiversity Outside
economics and development work in Lawonda,
Protected Areas. Encyclopedia of Biodiversity, Sumba (Eastern Indonesia). Alih bahasa oleh
2, 289-305.
Myrne Tehubijuluw-Umboh. Ed.1. Jakarta:
Robinson, D.A., N. Hockley, D.M. Cooper, B.A. Emmett, HuMa; Vollenhoven Institute; KITLV.
A.M. Keith, I. Lebron, B. Reynolds, E. Tiping,
Walters, J.L. and I. Mulder. (2009). Valuing Nature,
A.M. Tye, C.W. Watts, W.R. Whalley, H.I.J. Black,
the Economics of Biodiversity. Nature
G.P. Warren and J.S. Robinson. (2013). Natural
Conservation, 17, 245-247.
Capital and Ecosystem Services, Developing an
Appropriate Soils Framework as a Basis for Wallace, K. J. (2012). Values: Drivers for Planning
Valuation. Soil Biology & Biochemistry, 57, Biodiversity Management. Environmental
1023-1033. Science & Policy, 17, 1-11.
Rombang W.M., Trainor C. dan Lesmana D. (2002). Warren, P., Harlan, S.L., Boone, C., Lerman, S.B.,
Daerah Penting bagi Burung di Nusa Tenggara. Schocat, E., Kinzig, A.P. (2010). Urban Ecology
Bogor: BirdLife Indonesia dan PHKA - and Human Social Organisations. In Gaston, K.J.
Departemen Kehutanan. (Ed), Urban Ecology. Cambridge: Cambridge
University Press, pp 172-201.
Sandifer, P.A., Sutton-Grier, A.E., Ward, B.P. (2015).
Exploring Connections Among Nature, Yadav, B.D., Bigsby, H., MacDonald, I. (2015). How
Biodiversity, Ecosystem Services, and Human Can Poor and Disadvantaged Households Get
Health and Well-being: Opportunities to an Opportunity to Become a Leader in
Enhance Health and Biodiversity Conservation. Community Forestry in Nepal?. Forest Policy
Ecosystem Services, 12, 1-15. and Economics, 52, 27-38.
Schusser, C. (2013). Who Determines Biodiversity? Zerbe, N. (2005). Biodiversity, Ownership and
An Analysis of Actors' Power and Interests in Indigenous Knowledge: Exploring Legal
Community Forestry in Namibia. Forest Policy Frameworks for Community, Farmers, and
and Economics, 36, 42-51. Intellectual Property Rights in Africa.
Ecological Economics, 53, 493-506.
36