(SATWA BEKANTAN)
Mata Kuliah Psikologi Ekologi
Dosen Pengampu :
Neka Erlyani, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Rika Vira Zwagery, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Kelompok 5 :
1. M. Fauzan Rizqullah 1910914110016
2. Katamsi Tri Pratiwi J. E. 1910914120010
3. Rostia Karina 1910914120020
4. Muhammad Rafiqi Akbar 1910914210020
5. Adelia Septianingrum M. 1910914220012
6. Mellysa Shella 1910914220022
7. Mayang Karina 1910914220040
8. Khairun Nisa 1910914320010
9. Natalia Mariana 1910914320014
10. Micha Setevani Br S. 1910914320022
DAFTAR ISI i
A. Definisi Satwa Bekantan 1
B. Isu-Isu Lingkungan Terkait dengan Satwa Bekantan 2
1. Kerusakan Hutan Mangrove 2
2. Pencemaran Sungai 2
3. Kepadatan Pemukiman Penduduk 3
4. Perdagangan Ilegal 3
5. Konservasi Lingkungan Bekantan yang Belum Maksimal 4
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Isu-Isu Lingkungan Terkait dengan
Satwa Bekantan 4
1. Kerusakan Hutan Mangrove 5
2. Pencemaran Sungai 5
3. Kepadatan Pemukiman Penduduk 6
4. Perdagangan Ilegal 6
5. Konservasi Lingkungan Bekantan yang Belum Maksimal 7
D. Solusi dari Permasalahan Mengenai Isu-Isu Terkait dengan Satwa
Bekantan 7
1. Kerusakan Hutan Mangrove 7
2. Pencemaran Sungai 8
3. Kepadatan Pemukiman Penduduk 8
4. Perdagangan Ilegal 8
5. Konservasi Lingkungan Bekantan yang Belum Maksimal 9
DAFTAR PUSTAKA 10
i
A. Definisi Satwa Bekantan
Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL) merupakan salah satu habitat
bekantan di Kalimantan Selatan. Bekantan (Nasalis Larvatus Wurmb, 1781)
adalah jenis satwa primate endemic Borneo yang sebenarnya meliputi tiga
negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Jenis ini telah
dinyatakan sebagai salah satu jenis satwa yang dilindungi oleh pemerintah
Indonesia berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, termasuk kategori endangered species menurut IUCN
Red List 2008 dan tercantum dalam CITES Appendix I. selain itu, sejak tahun
1990 bekantan ditetapkan sebagai fauna maskot provinsi Kalimantan Selatan
(Saidah dkk., 2002).
Habitat merupakan kombinasi komunitas biotik dan lingkungan abiotik
yang mencakup serangkaian kondisi yang menentukan suatu spesies dapat
hidup dan bereproduksi (Sinclair dkk., 2006). Pemilihan habitat oleh bekantan
dipengaruhi oleh distribusi, ukuran, dan ketersediaan sumber pakan
(Boonratana, 1999), sedangkan distribusi dan reproduksi suatu spesies
dipengaruhi kondisi lingkungan abiotik seperti suhu dan curah hujan (Sinclair
dkk., 2006). Habitat bekantan bervariasi, yaitu di hutan mangrove, rawa
gambut, hutan tepi sungai (Matsuda dkk., 2010), hutan dipterocarpaceae,
hutan kerangas (Salter dkk., 1985), hutan rawa gelam, hutan karet, dan hutan
bukit kapur/karst (Soendjoto dkk., 2006). Akibat dari kondisi populasi yang
menempati suatu habitat bergantung pada kondisi perkembangan habitat
(Alikodra, 2010). Ketersediaan pakan, cover, air, dan komponen habitat
dibutuhkan untuk memelihara fungsi fisiologi dasar satwa untuk bertahan
hidup dan bereproduksi sampai menghasilkan keturunan yang menjadi anggota
populasi (Patton, 2011). Kerusakan dan kehilangan habitat saat ini menjadi
faktor ancaman utama bagi keberlangsungan suatu populasi termasuk
bekantan. Saat ini populasi bekantan dinyatakan terancam punah karena
wilayah sebaran yang terbatas, dimana hanya ada di Borneo, serta tingkat
gangguan habitat yang sangat tinggi karena konversi lahan hutan, perambahan
hutan, penebangan hutan, dan perburuan satwa. Strategi utama untuk
mempertahankan populasi bekantan seperti yang terjadi di SM Kuala Lupak
1
adalah dengan mempertahankan populasi yang masih tersisa. Oleh karena itu,
informasi terkait populasi dan struktur kelompok pada habitatnya penting
untuk diketahui.
2. Pencemaran Sungai
Habitat persebaran bekantan di Kalimantan meliputi hutan rawa, hutan
bakau, hutan sekitar muara atau di pinggiran sungai. Selain kebutuhan
makanan, bekantan membutuhkan air untuk keperluan minum dan
berenang. Sungai termasuk komponen ekologis yang mempengaruhi
pemilihan habitat oleh bekantan di hutan bakau. Namun, seperti yang telah
2
diketahui bahwa sungai-sungai di Indonesia telah banyak mengalami
pencemaran.
Pencemaran secara alami pun dapat terjadi, yang dimaksud adalah
sungai-sungai kecil, pendek, dan dekat dengan laut sangat dipengaruhi
oleh air laut. Kondisi ini kurang mendukung terhadap aktivitas bekantan,
terutama untuk minum. Sedangkan pencemaran oleh manusia juga sering
ditemui pada sungai-sungai di Indonesia, seperti manusia yang membuang
sampah sembarangan di sungai, pembuangan limbah pabrik, dan
pengelolaan sungai yang kurang diperhatikan.
4. Perdagangan Ilegal
Saat ini populasi bekantan sudah sangat sedikit, diperkirakan
jumlahnya hanya 20 ribuan di pulau Borneo, Sabah, Brunei, dan Serawak.
Saat ini IUCN Red List mengkategorikan bekantan dalam status
konservasi endangered (terancam). Bekantan juga masuk ke dalam daftar
appendix I yang artinya bekantan dilarang untuk diperdagangkan, baik
nasional maupun internasional dengan cara apapun. Salah satu
penyebabnya adalah praktek jual beli satwa secara ilegal terhadap
bekantan. Tampilan unik yang dimiliki bekantan (hidung besar
3
mengantung) menjadi daya tarik tersendiri bagi oknum-oknum tertentu
yang membuat bekantan diperdagangkan secara ilegal. Jaringan
perdagangan ini dilansir dari CNN sangat luas tidak hanya di dalam negeri
saja namun sudah mencakup tingkat internasional.
4
(deforestasi). Diantaranya pembukaan lahan tambak, pemukiman dan
persawahan. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu :
a. Mata pencaharian utama
Setiap tahun jumlah penduduk di kawasan hutan mangrove selalu
bertambah dan rata-rata mata pencaharian mereka adalah menggunakan
sumber daya alam dari hutan itu sendiri.
b. Lokasi lahan usaha
Lokasi lahan usaha yang begitu dekat dengan hutan mangrove membuat
penduduk banyak melakukan aktivitas di sekitar hutan mangrove
seperti penambatan perahu, mengambil kayu bakar, dan persawahan.
c. Persepsi terhadap hutan mangrove
Pengetahuan yang minim dan tuntutan ekonomi dapat menyebabkan
masyarakat memanfaatkan hutan mangrove dan hal tersebut berdampak
negatif pada kawasan mangrove sehingga semakin lama masyarakat
menggunakan kawasan mangrove maka semakin cepat pula terjadi
kerusakan kawasan hutan mangrove.
d. Pencemaran air
Kawasan mangrove telah mengalami pencemaran air, yaitu telah
tercemar limbah padat hasil pembuangan sampah rumah tangga serta
pencemaran minyak yang disebabkan oleh kebocoran perahu nelayan.
e. Abrasi
Abrasi merupakan proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut
dan arus laut yang bersifat merusak. Dari hasil pengamatan di lapangan
tingkat abrasi di wilayah pesisir pantai hutan mangrove sebesar 0-3
meter/tahun. Tingkat abrasi yang tinggi menyebabkan intrusi air laut.
Perubahan garis pantai yang terjadi di pesisir dari tahun 2007-2017
adalah sebesar 15 meter selama 10 tahun terakhir.
2. Pencemaran Sungai
Beberapa rumah makan, hotel, hingga pasar swalayan di Kalimantan
Selatan sendiri, rata-rata membuang limbahnya ke sungai. Contohnya saja
seperti di Duta Mall dan Hotel Banjar Internasional, Banyak sumber
5
pencemar air yang berasal dari sumber institusi yang belum memiliki
Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memadai untuk menurunkan
emisi pencemarannya. Faktor lainnya, karena kurangnya kesadaran
manusia terhadap pentingnya menjaga lingkungan sungai. Biasanya
masyarakat setempat membuang sampah di sungai karena kurangnya
tempat pembuangan sampah umum dan membuat masyarakat melakukan
hal praktis tersebut. Kemudian, kerja pemerintah yang mungkin kurang
ketat dan teliti seperti jadwal pengambilan sampah di tempat pembuangan
sampah yang terlambat membuat sampah meluap dan ketika hujan sampah
akan terbawa ke sungai.
4. Perdagangan Ilegal
Faktor yang menyebabkan mengapa banyak terjadinya perdagangan
liar bekantan diantaranya karena tingginya harga bekantan yang
ditawarkan di pasar gelap. Hal ini pun menjadikan perburuan bekantan
6
menjadi pekerjaan yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi secara
instan karena memberikan penghasilan yang besar dalam waktu singkat
dibandingkan pekerjaan lainnya. Sehingga bagi seseorang yang berada
dalam faktor kemiskinan, setelah mengetahui harga tinggi yang
ditawarkan di pasar gelap, perburuan dan perdagangan ilegal terhadap
bekantan bisa saja menjadi pekerjaan yang sangat didambakan seseorang
guna mengatasi kemiskinannya tersebut. Selain itu, bekantan juga diburu
untuk dipelihara, dikonsumsi dagingnya ,dan dijadikan umpan efektif yang
untuk berburu labi-labi. Diperkirakan setiap pekannya sekitar 5-10 ekor
bekantan menjadi korban perburuan.
7
Penanaman ulang hutan mangrove ini meliputi pembibitan, penanaman,
pemeliharaan dan pemanfaatan yang berbasis konservasi agar hutan
mangrove tetap terjaga kelestariannya.
2. Pencemaran Sungai
Untuk mengatasi masalah pencemaran sungai, masyarakat dan
pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap pembuangan air
limbah, meningkatkan pengelolaan limbah, dan meningkatkan
pengetahuan masyarakat akan pentingnya untuk tidak membuang limbah
di sungai.
4. Perdagangan Ilegal
Maraknya perdagangan ilegal terhadap satwa langka termasuk
bekantan sangat sulit dibendung. Bahkan transaksi ilegal ini menyebar
hingga transaksi online. Kelompok kriminal dan pedagang ilegal
mengeksploitasi teknologi dan beroperasi secara anonim di internet.
Koalisi Global merupakan salah satu bentuk upaya untuk menghentikan
perdagangan online satwa liar yang diluncurkan oleh World Wildlife Fund
8
(WWF), TRAFFIC, dan International Fund for Animal Welfare. Koalisi
Global ini diikuti oleh 78 raksasa teknologi, e-commerce, dan beberapa
media sosial.
Di Indonesia sendiri sebenarnya larangan transaksi satwa langka yang
dilindungi sudah diatur di dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, aturan
tersebut sudah cukup lama dan perlu asesmen baru agar sanksi sebanding
dengan keuntungan yang diraup pelaku agar menimbulkan efek jera.
Selain itu, perlu peranan Psikolog, aktivis peduli satwa langka, dan
pemerintah agar bisa memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai
larangan transaksi jual beli satwa langka. Selain itu, pemerintah daerah
setempat perlu kreatif untuk menciptakan lapangan pekerjaan sebagai
salah satu solusi mengurangi perdagangan ilegal ini.
9
DAFTAR PUSTAKA
Sahabuddin, H., Harisuseno, D., & Yuliani, E. (2014). Analisa Status Mutu Air
dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Wanggu Kota Kendari.
Jurnal Teknik Pengairan, 5(1), 19–28.
Sinaga, E., Setia, T. M., Saribanon, N., Makur, K. P., Wicaksono, G.,
Wigatiningrum, T., & Koritelu, M. C. (2015). Konservasi Bekantan
Berbasis Masyarakat di Pulau Bunyu. Jakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Nasional.
10