Anda di halaman 1dari 12

Manajemen Kawasan Pesisir

Dosen Pengampu : Ikha Safitri, S.Pi., M.Si.

Disusun oleh:

1. Ibnu Haikal Rayhan H1081211037


2. Putri Dwi Anggraeni H1081211025
3. Novida Wahyuni H1081211031
4. Andhika Supeza H1081211011
5. Hanna Elfera Simorangkir H1081211044

Program Studi Ilmu Kelautan


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Tanjungpura
Pontianak
2024
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecamatan Mempawah Hilir memiliki letak geografis yang berbatasan
langsung dengan Laut Natuna dan berpotensi untuk pengembangan wilayah
pesisir sebagai penunjang ekonomi masyarakat setempat. Wilayah ini juga
merupakan wilayah pesisir dimana sumber daya hayati seperti, hutan mangrove,
pantai berpasir, pantai berbatu, dan lamun menjadi sumber daya alam yang
potensial di wilayah tersebut. Kecamatan Mempawah Hilir memiliki potensi hutan
mangrove seluas 371,33 ha, sebagian hutan mangrove menjadi objek wisata di
Desa Pasir yang mempunyai kawasan hutan bakau yang masih terjaga dan
merupakan salah satu desa di wilayah Wisata Mempawah Mangrove Park (MMP),
yaitu wisata berkonsep edukasi yang dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat pesisir. Desa Pasir juga memiliki potensi besar di ekosistem pesisir
seperti kawasan organik bakau dimana ia menunjang kehidupan masyarakat
setempat.
Hutan mangrove memiliki keunikan tersendiri sebagai wisata alam, yang
dimana keindahan alami dari hutan bertemu dengan keindahan alam pantai dan
laut dengan flora-fauna khas yang hanya bisa ditemui di ekologi hutan mangrove
(Marjayanti, 2020). Hutan mangrove disebut juga sebagai fragile ecosystem
karena ekosistem ini mudah rusak. Faktor alam yang dapat mengakibatkan
kerusakan mangrove yaitu adanya abrasi dan hama tanaman. Lahan yang
dimanfaatkan tanpa memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan menjadi sebab
kerusakan hutan mangrove. Pemanfaatan melebihi daya dukung lingkungan
mengakibatkan terjadinya tekanan terhadap lingkungan tersebut (Gumilar, 2012).
Rendahnya perhatian terhadap rehabilitasi mangrove dapat mengakibatkan
terjadinya bencana yang lebih besar. Selain mangrove, gastropoda juga
merupakan salah satu ekosistem yang memiliki permasalahan dan potensi yang
besar di Mempawah. salah satunya gastropoda berperan penting dalam rantai
makanan. Selain itu, biota ini merupakan bioindikator kualitas suatu perairan.
Berdasarkan uraian diatas penelitian ini, maka perlu dilakukan analisis potensi dan
permasalahan ekologis yang ada di wilayah pesisir Mempawah

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimana potensi ekologis di Mempawah, Kalimantan Barat?
b. Bagaimana permasalahan ekologis di Mempawah, Kalimantan Barat?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
a. untuk mengetahui potensi ekologis di Mempawah, Kalimantan Barat.
b. untuk mengetahui permasalahan ekologis di Mempawah, Kalimantan
Barat.

1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi
tentang pemahaman potensi dan permasalahan ekologis di wilayah pesisir
Mempawah dan dari informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
maupun instansi daerah terkait pengembangan ekologis di wilayah pesisir.
BAB II
POTENSI KAWASAN PESISIR

2.1 Potensi
Kabupaten Mempawah memiliki potensi wisata alam yang beraneka ragam
salah satunya ialah kita dapat menjumpai mangrove dengan luasan mangrove
sekitar 371,33 ha. Berdasarkan hasil observasi, potensi wilayah di pesisir
Mempawah terdapat kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, serta
memiliki kawasan konservasi hutan mangrove. Namun, masih terdapat
permasalahan yang dijumpai dalam kajian ekonomi pesisir Mempawah dari aspek
sosial yaitu rendahnya ekonomi kualitas SDM, kurangnya pemahaman terhadap
nilai sumberdaya, dan belum adanya manajemen distribusi. Dari aspek fisik yaitu
adanya kerusakan fisik habitat serta kurangnya sarana dan prasarana. Serta dari
aspek kelembagaan permasalahannya ialah kurangnya keterlibatan masyarakat
dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan wilayah pesisir, sehingga
program di wilayah pesisir tidak dapat berjalan secara optimal (Witarsa, 2015).
Rendah perhatian terhadap rehabilitasi mangrove dapat mengakibatkan
terjadinya bencana yang lebih besar. Peningkatan salinitas dan berkurangnya
sedimen berakibat kematian spesies yang hidup di hutan mangrove. Selain itu,
kurangnya perhatian terhadap upaya rehabilitasi mangrove dapat mengakibatkan
terjadinya bencana yang lebih besar (Lewis et al., 2016).

2.2.1 Potensi Ekologis


a. Mangrove
Lahan mangrove di Kabupaten Mempawah tersebar di Kecamatan Siantan,
Sungai Pinyuh, Sungai Kunyit, dan Mempawah Hilir dengan luas keseluruhan
1.521,39 Ha. Kecamatan Mempawah Hilir memiliki lahan mangrove seluas
371,33 ha. Pada tahun 1980, terjadi abrasi yang kuat di pesisir Mempawah. Hal
ini mengakibatkan hilangnya lahan mangrove. Semantara itu, upaya dari
pemerintah untuk menanggulanginya yaitu dengan memasang seawall. Tahun
2011, dibentuk Organisasi Mempawah Mangrove Conservation (MMC) di Desa
Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, tepatnya pada tanggal 21 Desember 2011.
Pengesahan organisasi ini tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Badan
Lingkungan Hidup Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Pontianak
kegiatan dari organisasi tersebut fokus pada reboisasi mangrove di Desa Pasir.
Hasil dari reboisasi lahan mangrove di wilayah tersebut dapat dilihat dari
tumbuhnya hutan mangrove yang saat ini dikenal sebagai obyek wisata Mangrove
MMC.
Hutan Mangrove merupakan ekosistem alami yang ditemukan baik di pantai
tropis maupun subtropis. Kawasan mangrove didominasi oleh beberapa jenis
pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang baik pada daerah pasang-
surut maupun pantai berlumpur. Ekosistem mangrove mempunyai sifat yang unik
dan khas, serta memiliki fungsi dan manfaat yang beraneka ragam makhluk hidup.
Vegetasi hutan mangrove umumnya ditumbuhi tanaman mangrove dari family
Rhizophoraceae, Combretaceae, Meliaceae, Sonneratiaceae, Euphorbiaceae dan
Sterculiaceae, selanjutnya ke arah darat umumnya ditumbuhi oleh jenis paku-
pakuan (Acrostichum aureum).
Hutan mangrove sebagai ekosistem alamiah memiliki nilai ekologis dan
ekonomis penting. Fungsi penting ekologis hutan mangrove antara lain sebagai
tempat mencari makan (feeding grounds), tempat pemijahan (spawning grounds),
dan tempat pengasuhan (nursery grounds) bagi berbagai biota laut. Sedangkan
dari aspek nilai ekonomis, hutan mangrove menyediakan berbagai bahan dasar
baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri, seperti kayu bakar, arang,
kertas dan rayon. Ekosistem hutan mangrove termasuk ke dalam tipe sistem
fragile sehingga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Keberadaannya
yang bersifat open access pada kawasan tertentu semakin memicu peningkatan
eksploitasi oleh manusia yang pada akhirnya memberikan dampak negatif
terhadap kualitas dan kuantitasnya.
Adapun beberapa jenis mangrove yang berada di kawasan pesisir
Mempawah Desa Pasir yaitu :
1. Avicenniaceae
2. Rhizophora ceae
3. Arecaceae
4. Combretaceae
b. Gastropoda
Desa Bakau Besar Laut Kabupaten Mempawah merupakan salah satu
ekosistem mangrove alami yang selalu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat
untuk menunjang kebutuhan hidup seperti, kegiatan pertambakan, ekowisata dan
kawasan industri. Aktivitas ini memberi dampak negatif terhadap perubahan
lingkungan dan biota yang hidup di sekitar mangrove. Kelimpahan dan
keanekaragaman dari gastropoda dapat digunakan sebagai indikator adanya
tekanan ekologi yang terjadi pada ekosistem mangrove.
Kelimpahan gastropoda yang ada di kawasan mangrove di Desa Bakau Besar Laut
Mempawah sebagai berikut :
1. Cerithidea cingulata (152)
2. Cerithidea obtussa (36)
3. Nerita violacea (4)
4. Cerithidae weyersi (153)
5. Littoria scabra (9)
6. Strombus mutabilis (8)
7. Littoria undolata (12)
c. Kepiting Biola
Kepiting biola (Uca spp.) merupakan salah satu biota khas mangrove.
Kepiting biola berperan penting dalam menjaga keseimbangan rantai makanan
dan siklus nitrogen dalam ekosistem mangrove (Natania, 2017). Saat ini
ekosistem mangrove semakin terdesak oleh kencenderungan meningkatnya
kebutuhan untuk menggunakan lahan, untuk memenuhi kebutuhan manusia
sehingga mengancam kelestarian di dalamnya (Muniarti, 2010).
Adapun beberapa jenis kepiting biola di kawasan pesisir Mempawah Desa Pasir :
1. Uca Forcipata
2. Uca Rosea
3. Uca Dussumeiri
4. Uca Paradussumeiri
5. Uca Crassipes
6. Uca Tetragonon
7. Uca Acuta
8. Uca Annulipes
Kondisi tanah yang ada di Kawasan Mangrove di Desa Pasir dekat dengan pesisir
laut dan muara sungai kecil. Dampak dari kondisi tersebut menyebabkan tanah
banyak mengandung air dan lahan yang sedikit ditumbuhi vegetasi mangrove.
Di Desa Pasir juga terdapat berbagai macam kerang antara lain yaitu :
1. Anadara granosa
2. Meretrix meretrix
3. Corbula contracta
d. Belangkas
Belangkas selain diketahui sebagai fosil hidup (living fossil), biota ini juga
merupakan komponen penting komunitas makrobentos pada perairan pesisir
dengan substrat berpasir halus atau berlumpur dan dapat ditemukan di area estuari
serta pantai selama non monsoon (spawning season) (Manca et al. 2017). Selain
itu juga berdasarkan studi yang dilakukan oleh Chabot dan Watson (2010),
belangkas menetap di laut dalam secara pasif dengan mengubur diri dengan pasir
selama monsoon (non-spawning season).
Adapun beberapa jenis belangkas yang ditemui di perairan Mempawah
Mangrove Park
1. Thacypleus gigas
2. Thacypleus Tridentatus
3. Carcinoscorpius rotudincauda

2.2 Potensi Ekonomi


Letak geografis Kabupaten Mempawah yang memiliki kawasan pesisir
memanjang membuat lokasi lebih strategis untuk bongkar muat kapal barang.
Tingginya ketersediaan lahan dan potensi sumber daya alam yang melimpah
juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi
Kabupaten Mempawah. Selain itu, dukungan kebijakan pembangunan baik
dari lingkup nasional maupun lingkup provinsi, memberikan peluang
pelaksanaan pembangunan KSP Sungai Kunyit akan lebih mudah. Dengan
adanya Kawasan Pelabuhan Kecamatan Sungai Kunyit dan sekitarnya
diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan baru di Kabupaten Mempawah.
Adapun tantangan pengembangan infrastruktur adalah kebutuhan untuk
mempercepat pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur, ketimpangan
intra wilayah Kabupaten Mempawah, pengembangan sumberdaya manusia
yang masih terbatas dan sistem pengelolaan kawasan yang masih tumpang
tindih.
Mengacu pada peran dan fungsi pengembangan KSP Sungai Kunyit,
maka konsep ruang Kabupaten Mempawah diarahkan pada integrasi
pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang memadukan kegiatan
ekonomi utama, yaitu: Port development, Industrial estate dan Urban and
recreational development. Hal ini diterapkan dalam kerangka konsep
pengembangan integrated seaport development dengan memperhatikan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Seaport development adalah konsep
pengembangan kawasan pelabuhan sebagai pusat kegiatan ekonomi dan
pendukungnya. Pengembangan seaport development di Kawasan Sungai Kunyit
diarahkan pada:
• Pengembangan baru (development)
• Fungsi campuran (mixed-used): pelabuhan, kawasan industri, permukiman,
komersial dan pariwisata
• Dikembangkan dengan menggunakan 3 pilar pembangunan berkelanjutan
(fisik/lingkungan, ekonomi, sosial).
Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Perpres No.3 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis penetapan pengembangan Pelabuhan/Terminal
Kijing sebagai salah satu proyek strategis nasional. RTRW Provinsi Kalimantan
Barat Tahun 2014-2034 juga menetapkan beberapa kebijakan dalam mendukung
perwujudan KSP Sungai Kunyit, antara lain:
• Penetapan PKL Sungai Kunyit sebagai kawasan perkotaan yang melayani
satu atau beberapa kecamatan;
• Rencana pengembangan terminal barang di Sungai Kunyit sebagai pusat
distribusi barang dari/menuju Pelabuhan;
• Jalan Kolektor Primer (K1) yang melewati Sungai Pinyuh – Mempawah –
Sungai Duri – Singkawang – Sambas akan dikembangkan menjadi jalan Arteri
Primer
• Rencana jaringan kereta api lintas Utara, yaitu rute Pontianak – Sungai
Pinyuh – Mempawah – Singkawang – Pemangkat – Sambas – Aruk;
• Rencana jaringan kereta api khusus, yaitu rute Toho – Sungai Kunyit
(pertambangan);
• Rencana pengembangan PLTU Gambut Mempawah sebesar 3 x 67 MW (2017);
dan
• Rencana pengembangan pelabuhan utama yang merupakan pelabuhan
İnternasional, yaitu Pelabuhan Pontianak di Kota Pontianak & Terminal
Temajok sebagai bagian dari Pelabuhan Pontianak yang dikembangkan di
Kecamatan Sungai Kunyit Kabupaten Mempawah
2.3 Potensi Sosial Budaya
Kearifan lokal adalah budaya yang terbentuk melalui peristiwa,
pengalaman dan petuah dari nenek moyang terdahulu sehingga budaya tersebut
memiliki nilai-nilai luhur yang harus dipegang teguh oleh masyarakat. Menurut
Fajarini (2014) “Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan
serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka”.
Nilai sosial-budaya adalah nilai yang dijunjung tinggi dalam kelompok
masyarakat dan menjadi ciri khas atas masyarakat itu sendiri. Nilai sosial
merupakan interaksi manusia dengan individu maupun kelompok secara luas
kemudian menghasilkan suatu kebaikan, ketulusan dan kebahagiaan. Pada
perayaan tradisi robo-robo di sekolah semua peserta didik, guru dan petugas
sekolah berbaris duduk di lapangan saling berhadapan, memanjatkan doa kepada
Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari musibah dan diberikan keselamatan,
selanjutnya menyantap bekal makanan yang dibawa masing masing, tak ayal juga
saling bertukar makanan sembari bergurau dengan suka cita hingga proses selesai.
Dengan adanya tradisi budaya roborobo tersebut dapat mempererat tali
silaturahmi dan kesatuan antar kerabat atau saudara warga sekolah.
Robo-robo merupakan upacara adat yang dilakukan dalam rangka
mengenang napak tilas kedatangan Ratu Agung Putri Kesumba bersama suaminya
Pangeran Mas Surya Negara Opu Daeng Manambon dalam rangka meneruskan
tahta kerajaan Bangkule Rajank (Mempawah Tua). Robo-robo juga
diselenggarakan sebagai ucapan rasa syukur terhadap Allah SWT atas nikmat
yang dilimpahkan kepada kita semua. Prosesi puncak pelaksanaan robo-robo jatuh
pada hari Rabu pada pekan terakhir di bulan Safar.
Festival robo-robo sudah menjadi ciri khas budaya Kabupaten Mempawah
pada khususnya karena berkaitan dengan sejarah daerah mereka. Seluruh
masyarakat termasuk semua sekolah dari tingkat menengah atas sampai sekolah
dasar turut memeriahkan perayaan tradisi robo-robo.
BAB III
PERMASALAHAN KAWASAN PESISIR

3.1 Permasalahan Pengelolaan


Kerusakan wilayah pesisir Kabupaten Mempawah tepatnya Kecamatan
Sungai Kunyit terjadi karena adanya abrasi pantai dengan lebar rata-rata berkisar
antara 250-1.250 m dalam kurun waktu 20 tahun (Bapedalda Kalimantan
Barat, 2003). Dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar adalah
penurunan produksi perikanan. Berdasarkan data Dinas Perikanan Kalimantan
Barat dalam BPS Kalimantan Barat 2002, jumlah hasil perikanan di sekitar
muara sungai dan rawa-rawa tahun 1997 yaitu 24.000 ton, sedangkan
produksinya tahun 2001 menurun menjadi 14.000 ton. Hal ini berarti, dalam
kurun waktu 4 tahun telah terjadi penurunan produksi perikanan sebesar
10.000 ton atau sekitar 2.500 ton per tahun.
Rusaknya ekosistem mangrove berdampak terhadap berkurangnya
keanekaragaman hayati dan populasi biota laut yang menjadi sumber mata
pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Sungai Kunyit selain bertani.
Selain itu, dampak tidak langsung dari kerusakan ekosistem mangrove adalah
penurunan kualitas air. Hal ini disebabkan karena hilangnya adsorben bahan
pencemar (polutan).

3.2 Permasalahan Ekowisata Mangrove


Desa Pasir memiliki potensi mangrove yang cukup baik di beberapa titik.
Desa Pasir merupakan salah satu kelurahan yang dijadikan sebagai kelurahan
ekowisata yaitu Mempawah Mangrove Park (MMP) di Kota Mempawah.
Pembangunan ekowisata mangrove sangat penting bagi hutan mangrove dan
keberlangsungan hidup manusia serta mencegah meluasnya kerusakan pada
daerah pesisir pantai. Dengan adanya ekowisata ini diharapkan dapat mendorong
perkembangan dan pelestarian hutan mangrove yang merupakan daerah yang
memiliki nilai yang tinggi. Pihak pengelola dan masyarakat lokal juga dapat
mengembangkan objek wisata sekaligus melestarikan hutan mangrove.
Pemanfaatan ekosistem mangrove untuk konsep wisata (ekowisata) sejalan
dengan pergeseran minat wisatawan dari old tourism yaitu wisatawan yang hanya
datang melakukan wisata saja tanpa ada unsur pendidikan dan konservasi menjadi
new tourism yaitu wisatawan yang datang untuk melakukan wisata yang di
dalamnya ada unsur pendidikan dan konservasi. Untuk mengelola dan mencari
daerah tujuan ekowisata yang spesifik alami dan kaya akan keanekaragaman
hayati serta dapat melestarikan lingkungan hidup. (Rutana, 2011) Mempawah
Mangrove Park (MMP), sebuah lokasi wisata hutan mangrove yang ada di
Kabupaten Mempawah tepatnya di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir.
Sebelum adanya kawasan hutan mangrove, pulau Penibung dan lokasi Mempawah
Mangrove Park ini adalah satu daratan, namun karena abrasi menjadikan jalurnya
hilang. Sehingga pada tahun 2011, sebuah lembaga yang bernama Mempawah
Mangrove Conservation (MMC) bersama dengan masyarakat setempat menanam
mangrove, setelah 6 tahun berjalan sampai saat ini berhasil memanfaatkan lokasi
tersebut sebagai kawasan ekowisata. Menurut Daryanto (2013: 64) menyatakan
bahwa konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau
melindungi alam. Konservasi merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya.
Tujuan berdirinya untuk mengembalikan daratan kembali yang mana
daerah tersebut sebelumnya adalah daratan pasir setengah abrasi sehingga dalam
hal ini salah satu lembaga yaitu Mempawah Mangrove Conservation (MMC)
memiliki tujuan untuk membuat daratannya kembali maka dari itulah menanam
hutan bakau (Mangrove) menjadi kawasan konservasi. Mempawah Mangrove
Conservation (MMC) menjadikan sebagai ekowisata yang berbasis konservasi dan
edukasi yang dinamakan Mempawah Mangrove Park (MMP). Mempawah
Mangrove Park (MMP) merupakan sebuah wisata berkonsep edukasi dan
konservasi yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir. Selain
sebagai tempat wisata, hutan mangrove juga dapat dijadikan tempat belajar dan
semua itu dapat berimbas meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir. Selama ini
masyarakat pesisir hanya mengetahui penggunaan hutan mangrove digunakan
sebagai kayu bakar saja, namun dengan adanya Mempawah Mangrove Park ini
mencoba merubah mindset tersebut yang mana beberapa mangrove bisa
dimanfaatkan buahnya, serta ada manfaat lainnya dari mangrove yaitu untuk
konservasi alam dan dapat dibangun sebagai ekowisata.
Dalam pembangunan ekowisata, di samping sektor ekologi, pariwisata
juga mempengaruhi aspek ekonomi yang berkaitan dengan mata pencaharian
masyarakat dan sosial budaya masyarakat sekitar. Datangnya seseorang atau
sekelompok orang yang berasal dari daerah yang berbeda secara otomatis
membawa budaya yang baru dan berbeda, budaya mereka masing-masing yang
lambat laun dapat mempengaruhi sistem sosial budaya asli masyarakat Desa Pasir.

3.3 Tingginya tingkat salinitas


TDS (Total Dissolved Solid) di Kecamatan Mempawah Timur,
Mempawah Hilir dan Sungai Pinyuh mencapai 1000 mg/l yang secara umum
mendeskripsikan tingkat salinitas yang tinggi. TDS tersusun dari senyawa organik
dan anorganik yang larut dalam air seperti gula dan garam mineral. Kondisi
perairan di wilayah pesisir ditandai indikasi pencemaran kimia dilihat dari jumlah
rata-rata Dissolved Oxygen (DO) 4,85 mg/l yang seharusnya >5 mg/l, amonia
0,32 yang seharusnya 0,3 mg/l dan Kecamatan Sungai Pinyuh timbal 0,239 mg/l
dimana seharusnya 0,008 mg/l.

DAFTAR PUSTAKA

Fajarini, U. (2014) ‘Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter’, SOSIO


DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 1(2), pp. 123 –130. doi:
10.15408/sd.v1i2.1225.

Gumilar, 1. 2012. Partisipasi Masyarakat Pesisir Dalam Pengelolaan Ekosistem


Hutan Mangrove Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika
Indonesia, 3(2), 244417.
Khairuddin, Benny dkk. (2016). Status Keberlanjutan dan Strategi Pengelola
Ekosistem Mangrove Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat,
12(1), 26.

Lewis, R., C.Milbrandt, E., Brown, B., W.Kraussn, K., S.Rovai, A., W.Beever, J.,
L.Flynn, L. 2016. Stress in Mangrove Forest : Early Detection and
Preemptive Rehabilitation are Essetial

Marjayanti, A. (2020). Analisis Potensi Objek Wisata Mempawah mangrove Park


di Desa Pasir Kabupaten. JeLAST: Jurnal PWK, Laut, Sipil, Tambang , 5-
6

Muniarti, D.C. 2010. Keanekaragaman Uca spp. dari Segara-Anakan, Cilacap,


Jawa Tengah Sebagai pemakan deposit. Fauna Indonesia. 9. 19-23.

Natania, T. 2017. Struktur komunitas kepiting biola (Uca spp.) di ekosistem


mangrove Desa Kahpayu Pulau Enggano. Program studi ilmu kelautan dan
perikanan. Bengkulu:---.

Rumalean, A. S., & Purwanti, F. (2019). Struktur komunitas hutan mangrove pada
kawasan Mempawah mangrove park di Desa Pasir Mempawah Hilir.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 11(1), 221-230.
Sari, A., Aritonang, A. B., & Helena, S. (2020). Kelimpahan dan
Keanekaragaman Gastropoda di Kawasan Mangrove Desa Bakau Besar
Laut Kabupaten Mempawah. Jurnal Laut Khatulistiwa, 3(3), 97-104.

Sari, I. P., & Prayogo, H. (2018). Keanekaragaman Jenis Kepiting Biola (Uca
spp.) di Hutan Mangrove “Mempawah Mangrove Park” Desa Pasir
Kecamatan Mempawah Hilir Kabupaten Mempawah. Jurnal Hutan
Lestari, 6(4).

Utami, R., Apriansyah, A., & Putra, Y. P. Keanekaragaman dan Kelimpahan


Bivalvia di Perairan Desa Pasir, Kabupaten Mempawah. Jurnal Laut
Khatulistiwa, 2(2), 54-59.

Anda mungkin juga menyukai