1. Latar Belakang
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wilayah sangat strategis ditinjau dari
berbagai aspek, baik aspek politik, sosial-budaya, ekonomi, maupun ekologi. Hal ini
sangat berkaitan dengan kedudukan dan peranan DIY sebagai pusat pendidikan,
pariwisata, jasa dan perdagangan, serta kebudayaan. Di samping itu, secara geografis
DIY memiliki karakteristik wilayah ekologis yang khas. Dimana, wilayah DIY terbagi ke
dalam beberapa wilayah ekoregion. Wilayah laut DIY termasuk ke dalam Ekoregion
Samudera Hindia Selatan Jawa (Kulon Progo, Bantul). Wilayah daratan DIY termasuk ke
dalam Ekoregion Kompleks Dataran Vulkanik Bantul – Nganjuk – Probolinggo (Bantul,
Gunungkidul, Kulon Progo, Sleman, Yogyakarta), Ekoregion Kompleks Perbukitan
Struktural Wonosari – Trenggalek (Bantul, Gunungkidul, Sleman), Ekoregion Kompleks
Perbukitan Karst Gunungkidul (Bantul, Gunungkidul), dan Ekoregion Kompleks Dataran
Organik/Koral Jawa (Gunungkidul).
Ragam wilayah ekoregion DIY membentuk habitat tertentu yang memberikan
nilai ekologis penting, sehingga DIY pada akhirnya memiliki profil keanekaragaman hayati
relatif lengkap pada berbagai tingkatan keanekaragaman hayati. DIY memiliki tipe
ekosistem vulkan, ekosistem karst, ekosistem dataran tinggi, ekosistem dataran rendah,
ekosistem pantai, ekosistem perairan tawar, ekosistem mangrove, dan ekosistem gumuk
pasir. Keanekaragaman ekosistem tersebut memberikan tingkat kekayaan spesies asli
(native species) yang relatif tinggi.
Secara umum, bagi bangsa Indonesia, keanekaragaman hayati telah
menempatkan bangsa ini sebagai negara yang sangat penting di dunia. Menempati 1,32
% dari luas permukaan tanah di bumi, Indonesia ternyata menjadi habitat 10 % jenis
tumbuhan berbunga, 12 % binatang menyusui, 16 % reptilia dan amfibia, 17 % burung, 25
% ikan, dan 15 % serangga yang ada di dunia. Dari 515 jenis mamalia besar dunia, 36 %
endemik di Indonesia, dari 33 jenis primata terdapat 18 % endemik, dari 78 jenis burung
paruh bengkok terdapat 40 % endemik, dan dari 121 jenis kupu-kupu dunia, 44 %
endemik di Indonesia (Mc Neely et al., 1990).
Indonesia juga menempati peringkat satu pusat keanekaragaman hayati dunia
dari kultivar tanaman budidaya dan ternak. Jenis-jenis kayu perdagangan, buah-buahan
tropis (durian, duku, salak, rambutan, pisang), tanaman rempah, anggrek, bambu, rotan,
kelapa, dan lain-lain, sebagian besar berasal dari Indonesia. Beberapa jenis tumbuhan,
seperti pisang dan kelapa, telah menyebar ke seluruh dunia. Tentu, keanekaragaman
hayati tersebut telah memberikan peran berharga bagi masyarakat Indonesia, sekaligus
menjadi aset pembangunan yang sangat penting.
Saat ini kondisi keanekaragaman hayati, khususnya di wilayah perkotaan
mengalami tantangan konservasi yang luar biasa berat. Hilangnya keanekaragaman
hayati telah mengalami masa kritis. Dalam publikasi LIPI (2014) menyatakan, Sulawesi
mengalami kemerosotan jenis endemik hingga 83-94 %. Jenis ikan pada daerah aliran
sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane periode tahun 1910-2009 telah hilang hingga 75,6
% atau sebanyak 102 jenis. Ancaman kehilangan keanekaragaman hayati tersebut,
diakibatkan oleh perubahan habitat, masuknya spesies asing invasif, pencemaran,
eksplotasi berlebihan dan perubahan iklim (climate change). Penebangan hutan alam,
kebakaran, dan ekspansi hutan tanaman pulp dan kertas, serta kelapa sawit yang pesat
telah menciptakan areal monokultur yang luas, yang mengancam keanekaragaman hayati
dan memberikan tekanan terhadap perubahan iklim. Di pihak lain, pencemaran air, tanah,
dan udara telah menimbulkan kerusakan habitat yang luar biasa.
Ancaman terhadap keanekaragaman hayati di DIY tentu memiliki kompleksitas
permasalahan yang relatif berat. Pertumbuhan wilayah yang cepat dan pesat, telah
mendorong pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi. Peningkatan populasi
penduduk merupakan awal dari munculnya permasalahan lingkungan, karena menuntut
peningkatan penyediaan infrastruktur wilayah. Fenomena semacam ini pada akhirnya
akan berakibat pada perubahan lingkungan alami yang lebih menekankan pada aspek
ekonomi daripada aspek pengelolaan lingkungannya. Pembangunan kota seringkali
mengorbankan ekosistem alami dan proporsi ruang terbuka hijau yang secara nyata
merupakan sumber keanekaragaman hayati.
Di tengah ancaman yang besar terhadap keanekaragaman hayati, keberpihakan
terhadap perlindungan dan pengelolaan hayati, baik di tingkat nasional maupun daerah,
tampaknya menunjukkan perkembangan yang baik. Kesadaran menempatkan
keanekaragaman hayati sebagai pilar sumberdaya pembangunan ekonomi dan
pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable development) untuk kesejahteraan
masyarakat pada generasi saat ini dan mendatang, telah mendorong komitmen politik,
serta keselarasan kebijakan dan koordinasi teknis pada tingkat pengelolaan dari pusat ke
daerah. Secara nasional, berbagai pihak telah merumuskan Strategi dan Rencana Aksi
Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003 – 2020 (Indonesia Biodiversuty Strategy and
Action Plan/IBSAP). Penyusunan IBSAP ini dimaksudkan sebagai panduan bagi semua
pihak dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di tingkat nasional. Perumusan IBSAP
tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Induk
Pengelolaan (RIP) Keanekaragaman Hayati. RIP Keanekaragaman Hayati merupakan
dokumen perencanaan yang terpadu/komprehensif, efektif dan partisipatif di setiap tingkat
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu, sebagai kewajiban
perundang-undangan, mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah,
Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta perlu menyusun Rencana Induk
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati berdasarkan Profil Keanekaragaman Hayati DIY.
Keberadaan Profil Kehati DIY dan Rencana Induk Pengelolaan Kehati DIY, dapat
dijadikan pedoman bagi pemangku kepentingan dalam pengelolaan kehati di DIY. Tetapi
ini juga sekaligus merupakan tantangan, bagaimana kedua hal tersebut dapat
tersosialisasikan dengan baik, khususnya kepada khalayak umum, sehingga substansi
dari potensi kehati di DIY dari berbagai aspek dapat dipahami oleh masyarakat, yang
selanjutnya akan menimbulkan rasa memiliki, dan akan bermuara pada munculnya
kesadaran untuk ikut mengelola dan memanfaatkan kehati yang ada dengan berbasis
pada pemanfaatan berkelanjutan, pelestarian dan pengawetan, serta konservasi dalam
pengertian yang luas.
Salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut adalah pembuatan guide visual
pelestarian kehati berbasis kelokalan khas DIY di kawasan desa budaya, yang
diwujudkan dalam bentuk buku ensiklopedia keanekaragaman kehati di DIY.
4. Lokasi Pekerjaan
Pekerjaan dilaksanakan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan lokus
kabupaten/kota, kapanewon/Kemantren, dan kalurahan-kalurahan/desa budaya di DIY
5. Sumber Pendanaan
Pekerjaan ini dibiayai dari sumber pendanaan Dana Keistimewaan Yogyakarta
Urusan Kebudayaan, Tahun Anggaran 2022
7. Data Dasar
Data dasar menggunakan Profil Keanekaragaman Hayati DIY Tahun 2016
8. Standar Teknis
Standar teknis keluaran dari pekerjaan ini adalah:
a. Data morfologi keanekaragaman hayati tingkat spesies berbasis kelokalan khas DIY
b. Data foto kehati tingkat spesies, baik data primer maupun sekunder
c. Data sebaran lokasi geografis
9. Studi-Studi Terdahulu
-
10. Referensi Hukum
Referensi hukum yang digunakan adalah:
a. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3
Jo Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah istimewa Yogyakarta;
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya;
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Convention on Biological Diversity;
d. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
e. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009;
g. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on
Biosafety to the Convention on Biological Diversity;
h. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
i. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
j. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta;
k. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah beserta
perubahannya;
l. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa;
m. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar;
n. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk
Rekayasa Genetik;
o. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 29 tahun 2009 tentang Pedoman
Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah;
p. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2012 tentang Taman
Keanekaragaman Hayati;
q. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang
Dilindungi
r. Peraturan Daerah DIY Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan
s. Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian habitat Alami.
12. Keluaran
a. Data dasar keanekaragaman hayati tingkat spesies berbasis kelokalan khas DIY di
kawasan desa budaya, dengan fokus utama aspek ekologi
b. Data foto keanekaragaman hayati tingkat spesies
17. Personil
Budiyanto, S.Hut
NIP. 197410112005011011