Anda di halaman 1dari 7

Abd.

Rasyid Dani (M1A120001)


Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan,
Universitas Halu Oleo
Kendari, 2022

Konservasi Ex-Situ dan In-Situ Sumber Daya Hayati

Berkurangnya salah satu jenis akan berpengaruh terhadap bentuk


keanekaragaman hayati lainnya. Terputusnya daur-daur kehidupan dalam
lingkungan akan menimbulkan gangguan yang dapat membawa dampak sangat
jauh terhadap ekosistemnya, komponen jenis dan plasma nutfah yang
terkandungnya.
Perlunya konservasi terhadap bahan genetika pada pohon-pohon hutan
merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Usaha konservasi pohon hutan
mengikuti dua pendekatan umum yaitu konservasi in-situ dan ex-situ. Konservasi
in-situ diterapkan dengan melindungi tegakan-tegakan dari kepunahan atau
mengelola tegakan dilindungi agar komponen genetika yang diinginkan tetap
terpelihara. pelestarian ex-situ adalah pengembangan sumber daya hayati di luar
habitatnya (Anwar dan Santoso, 2020).
Konservasi ex situ sangat mahal baik dalam pembangunannya maupun dalam
pemeliharaannya. Karena konservasi ex situ dirancang untuk melayani program
breeding dan bioteknologi, sehingga sedapat mungkin sumberdaya genetik yang
dihimpunnya selengkap mungkin dengan biaya yang serendah mungkin. Kedua hal
yang relatif kontradiktif ini merupakan salah satu tantangan konservasi ex situ yang
perlu dipertimbangkan; disamping kondisi erosi genetik yang disadari sangat
kurang menguntungkan bagi program breeding dan bioteknologi (Soekotjo, 2011).
Menurut Kuspriyanto (2015), Konservasi in-situ (di dalam kawasan) adalah
konservasi flora fauna dan ekosistem yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar
tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Kegiatan
ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut
beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi in-situ dilakukan dalam bentuk
kawasan suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan
lautan lindung.
Perdagangan Flora dan Fauna

Perdagangan ilegal satwa liar terjadi dengan berbagai macam faktor.


Penyebab terjadinya perdagangan ilegal satwa liar seperti faktor ekonomi,
lingkungan, satwa sebagai hiburan, bahan narkoba dan konversi hutan menjadi
perkebunan sawit. Perdagangan ilegal satwa liar memiliki kendala serta hambatan
dalam penegakan nya oleh pemerintah. Kesenjangan dan tantangan utama
penegakan hukum dalam perdagangan ilegal satwa liar meliputi cakupan hukum,
deteksi dan pelaporan, penangkapan dan penahanan pelaku, pendaftaran kasus dan
tuntutan yang diberikan kepada pelaku serta implementasi dan penegakan UU
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Menurut Slamet dan Guntur (2019), Profauna menegaskan bahwa selain
akibat berkurang dan rusaknya habitat satwa, perdagangan ilegal satwa liar adalah
alasan lain yang mendorong kepunahan satwa-satwa liar dan endemik di Indonesia
dengan kata lain perdagangan ilegal satwa liar telah menjadi suatu kejahatan serius
Terdapat berbagai alasan pembenaran mengapa satwa liar menjadi begitu berharga
seperti sulitnya mendapatkan satwa-satwa liar di alam liar. Satwa liar dianggap
eksostis sehingga diburu untuk diekspolitasi hidup-hidup atau dalam keadaan mati
karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Potret perdagangan ilegal satwa liar yang saat ini hadir tidak semenakutkan
kasus yang ada di tengah-tengah masyarakat. Perdagangan ilegal satwa liar hadir di
sekitar kita sebagai hal yang dianggap wajar dan banyak di antara kita yang masih
memelihara satwa-satwa liar termasuk satwa-satwa yang dilindungi dihalaman
rumah dengan berbagai alasan, seperti ingin menunjukan kecintaan terhadap satwa
dengan memeliharanya, menegaskan hobi, dan menjadikannya sebagai status sosial
dikarenakan kelangkaan satwa-satwa liar tersebut. Memelihara satwa liar yang
dilindungi merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan merupakan
tindakan kejahatan yang dapat di pidana. Konsep yang benar dalam menyayangi
satwa liar adalah dengan membiarkan satwa liar hidup dihabitatnya dan menjaga
keutuhan ekosistem satwa liar serta menanamkan konsep ini kepada anak-anak
sejak usia dini agar kelak anak-anak memahami dan mengapresiasi satwa liar yang
dilindungi menjadi bagian penting dari keutuhan ekosistem habitat.
Eksploitasi terhadap keanekaragaman hayati, penebangan liar, konversi
kawasan hutan menjadi areal lain, perburuan dan perdagangan liar adalah beberapa
faktor yang menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati. Tercatat sekitar
240 spesies tanaman dinyatakan langka, diantaranya banyak yang merupakan
spesies budidaya. Paling sedikit 52 spesies keluarga anggrek, 11 spesies rotan, 9
spesies bambu, 9 spesies pinang, 6 spesies durian, 4 spesies pala, dan 3 spesies
mangga. Dari catatan lain untuk dunia flora, juga diketahui sekitar 36 spesies kayu
di Indonesia terancam punah, termasuk kayu ulin di Kalimantan Selatan, sawo
kecik di Jawa Timur, Bali Barat dan Sumbawa, kayu hitam di Sulawesi, dan kayu
pandak di Jawa. Pakis haji (Cycas rumphii) yang pernah populer sebagai tanaman
hias kini sulit ditemukan di alam, demikian pula Pakis hias (Ponia sylvestris),
Anggrek jawa (Phalaenopsis javanica) dan sejenis rotan (Ceratobulus glaucescens)
kini hanya tinggal beberapa batang di pantai selatan (Hikmat dan Kusmana, 2015).
Dalam dunia perdagangan satwa liar ilegal mencapai US $ 20 Miliar per
tahun. Sedangkan di Indonesia khusus untuk perdagangan ilegal trenggiling dalam
satu tahun dapat merugikan negara sebesar Rp 8,23. Kerja sama lainnya yang
dilakukan oleh Indonesia adalah kerja sama dengan organisasi internasional, salah
satunya adalah kerja sama dengan Rezim Internasional Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) melalui Keppres
No. 43 tahun 1978. Manfaat Indonesia meratifikasi CITES di antaranya yaitu
adanya sistem kontrol terhadap perdagangan tumbuhan dan satwa liar, artinya
kontrol perdagangan tidak hanya di negara pengirim, tetapi juga di negara
penerima. Perdagangan ilegal ke luar negeri yang lolos dari Indonesia kemungkinan
besar tidak akan lolos di negara penerima. Manfaat lainnya yaitu akan ada bantuan
berupa financial dan technical co-operation dari CITES. Upaya pengembangan
kapasitas CITES di Indonesia berfokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan
satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa
liar yang berada pada hutan Indonesia (Irjayani, 2016).

Konservasi Hayati dan Karbon Trade

Dari segi keanekaragaman hayati, Indonesia diuntungkan oleh posisinya


yang berada di antara dua benua yang memiliki sejarah biogeografi yang sangat
berbeda dan dengan keanekaragaman hayati yang juga sangat berbeda, yaitu Benua
Asia dan Australia. Posisi di antara dua benua tersebut menjadikan keanekaragaman
hayati Indonesia merupakan perpaduan antara keanekaragaman hayati kedua benua
tersebut. Selain itu, wilayah negara Indonesia yang berupa gugusan pulau-pulau
yang masing-masing memiliki karakteristik habitat yang unik meningkatkan.
Keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia merupakan potensi sumberdaya
plasma nutfah yang merupakan bahan dasar untuk pengembangan bioteknologi
dalam rangka menghasilkan varietas atau kultivar unggul. Para ahli di bidang
konservasi sejak dulu telah melakukan ekplorasi dalam rangka pengungkap potensi
sumberdaya keanekaragaman hayati Indonesia. Dari sekitar 30 jenis durian yang
diperkirakan tersebar di Asia Tenggara (Ngakan, 2018).
Selama ini konservasi dipahami hanya sebatas aspek perlindungan dan
pengawetan, sedangkan aspek pemanfaatannya kurang memadai. Makna
konservasi yang sebenarnya adalah pemanfaatan yang optimal untuk kesejahteraan
masyarakat yang berkelanjutan Upaya konservasi sangat penting bagi
keberlangsungan sumber daya hayati. Upaya konservasi antara lain dengan
budidaya tanaman lokal baik mandiri maupun dengan bantuan pemerintah,
penerapan kearifan lokal, pembentukan organisasi masyarakat peduli hutan.
Seharusnya kita sebagai bagian dari masyarakat berkewajiban mengambil peran
untuk ikut serta melestarikan sumber daya hayati karena kita bergantung dan
memanfaatkan sumber daya hayati (Rohman et al., 2015).
Menurut Husen (2018), Pemerintah Indonesia, melalui Tim Koordinasi
Perundingan Perdagangan Karbon Antarnegara (TKPPKA) yang beranggotakan
berbagai kementerian dan badan yang terlibat dalam upaya pengurangan emisi gas
rumah kaca nasional, telah melakukan konsultasi dan fasilitasi bagi para
pengembang proyek potensial bersamaan dengan proses studi kelayakan. Dalam hal
ini, ada perusahaan swasta Jepang di Indonesia yang terlibat dalam kerjasama
perdagangan karbon dan perusahaan tersebut melakukan mitigasi untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca, yaitu PT. Primatexco Indonesia yang terletak di
kota Batang, Jawa Tengah dan Ebara Refrigeration Equipment dan Systems, Nippon
Koei.
Mekanisme JI merupakan mekanisme penurunan emisi karbon yang
dilakukan melalui kerjasama antar negara Annex 1. Negara anggota Annex 1 dapat
menurunkan emisi karbonnya melalui proyek pengurangan emisi karbon yang
berlokasi di negara Annex 1. Satuan penurunan emisi karbon yang digunakan dalam
skema ini disebut Emission Reduction Units (ERUs) yang setara dengan 1 ton CO2
(Irama, 2010).
Kebijakan Konservasi Sumberdaya Hayati

Pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia dilindungi secara hukum


menurut undang-undang terkait. Terdapat sekitar 10 materi undang-undang yang
terkait dengan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia, diantaranya: (i)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (ii) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman
Hayati); (iii) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (iv) Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant
Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya
Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian); (v) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman (Mahipal, 2018).
Menurut Jadda (2019, Konservasi sumber daya alam merupakan upaya
pemeliharaan lingkungan hidup hal ini diatur dalam Bab VI Pemeliharaan Pasal 57
(1). Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: a. konservasi sumber
daya alam; b. pencadangan sumber. Ayat 2 menyebutkan, konservasi sumber daya
alam meliputi kegiatan: a. perlindungan sumber daya alam; b. pengawetan sumber
daya alam; dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. Sedangkan Ayat 3
menyebutkan bahwa pencadangan sumber daya alam merupakan sumber daya alam
yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu, kemudian dalam ayat 5
mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi
atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Fahriji (2015), Kebijakan konservasi yang justru memutus
hubungan kultural masyarakat dengan alamnya akan menerima resistensi tinggi dan
berdampak pada pencapaian tujuan konservasi itu sendiri. Penghargaan terhadap
hubungan kultural ini melahirkan hak biokultural masyarakat sebagai pengampu
lingkungannya. hak biokultural dapat diartikan sebagai hak yang berasal dari
hubungan antara komunitas dengan lingkungannya. Hak biokultural ini diperlukan
agar komunitas dapat menjalankan perannya sebagai pengampu ekosistem dan
sumber daya alam. Undang-undang lain terkait konservasi sumber daya hayati
seperti UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup,17 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,18 UU No 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan19 dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau Pulau Kecil20secara normatif semuanya telah menyinggung
peran masyarakat dan kearifan lokal dalam kegiatan konservasi, meskipun belum
konkrit mengatur bagaimana Pengejawan tahan kearifan lokal ini dalam praktek
konservasi.

Studi Kasus Kebijakan Konservasi Sumberdaya Hayati


Instrumen Kebijakan Untuk Mengatasi Konflik Di
Kawasan Hutan Konservasi
(Purwawangsa, 2017)

Pendahuluan :
Berdasarkan Undang-undang No 41 tahun 1999, Hutan Konservasi
diartikan sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi
pokok pengawetan. Konflik di kawasan hutan konservasi adalah perpaduan dari
berbagai faktor-faktor internal dan eksternal. Pada dasarnya konflik hadir karena
adanya perbedaan tujuan, dan jika perbedaan tersebut menimbulkan masalah, maka
akan dianggap sebagai konflik kepentingan.
Beberapa contoh kasus kerusakan hutan konservasi yang sudah terjadi
diantaranya adalah di kawasan Besitang, di (TN) Gunung Leuser, Suaka
Margasatwa Langkat Timur Laut, dikawasan (TN) Tesso Nilo-Riau, yang diduduki
perambah sawit dari wilayah perbatasan Sumatera Utara-Riau, perambahan kopi di
TNBukit Barisan Selatan, eks peserta program PHBM di (TN) Gunung Ciremai-
Jawa Barat, pendudukan di (TN) Kutai, Kalimantan Timur, dan perambahan coklat
di (TN) Rawa Aopa Watumohai-Sulawesi Tenggara.
Rumusan Masalah :
Dalam banyak kasus, instrumen kebijakan yang dipakai oleh pemerintah
untuk menyelesaikan konflik adalah dengan menggunakan instumen hukum,
dengan mengabaikan akar permasalahan yang sesungguhnya dari konflik yang ada.
Tujuan :
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menentukan tipologi konflik dikawasan
hutan konservasi, mengetahui akar permasalahan perambahan dikawasan hutan
konservasi dan merumuskan instrumen kebijakan dalam mengatasi perambahan di
kawasan hutan konservasi berdasarkan akar permasalahan yang ada.
Metodologi :
Metode yang akan digunakan adalah studi literatur yang bersumber dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jurnal, dan hasil penelitian, serta
sumber-sumber lain yang relevan. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan
perpaduan antara metode kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan
melalui pembacaan terhadap tabel frekuensi. Kelemahan metode ini yang hanya
membaca data dilengkapi dengan analisis kualitatif.
Pembahasan :
Tipologi Konflik di Taman Nasional Gunung Leuser :
Pada awalnya konflik yang berujung perambahan di (TN) Gunung Leusur
khususnya yang berada di Kabupaten Langkat dipicu oleh kesalahan kebijakan
dimasa lalu, dimana pemerintah memberikan izin pembinaan habitat dengan cara
menebang pohon kepada PT. Raja Garuda Mas selama 7 tahun. Dalam kasus di
(TN) Leuser, karena lemahnya pengawasan dan adanya pembiaran dari pemerintah,
maka para pengungsi, perambah, pemodal dan pihak-pihak lain yang terkait, telah
melakukan konsolidasi sosial, sehingga diantara mereka sudah terjalin kerjasama
yang saling menguntungkan. Hal tersebut disebabkan karena penegakan hukum
tidak dibarengi dengan pendekatan partisipatif dan penggalangan dukungan
masyarakat setempat (yang tidak turut merambah) untuk turut menjaga kawasan.
Selain itu terdapat kekosongan penegakan hukum sejak akhir 2007 sampai 2010
dan baru pada akhir tahun 2011 dilakukan lagi.
Analisis dan Alternatif Solusi/Penanganan :
Dalam konteks kebijakan kehutanan, kompilasi dan pengolahan data untuk
tujuan pengambilan keputusan sangat penting bagi semua pemangku kepentingan
yang terlibat dalam pembuatan kebijakan kehutanan. Dalam konteks penerapan
kebijakan dikawasan konservasi, merumuskan kebijakan yang dapat
mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dan pemerintah adalah tidak mudah,
karena seringkali nilai-nilai dan kepentingan keduanya berbeda.
Dengan demikian, meskipun pemerintah secara formal memperoleh hak
terhadap kawasan konservasi, namun belum mempunyai power untuk dapat
memperoleh manfaat dari hak yang dimilikinya. Dengan kata lain, meskipun suatu
kawasan dijadikan sebagai kawasan konservasi, belum tentu dapat mengeluarkan
masyarakat yang telah beraktivitas di kawasan tersebut, sepanjang masyarakat
mempunyai power untuk terus memperoleh manfaat dari kawasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar dan Santoso. 2020. Penampilan tanaman konservasiex-situ eboni


(diospyros celebica bakh.). Berita Biologi. 6 (2).
Fajrini, R. 2015. Hak Biokultural Masyarakat Dalam Kebijakan Konservasi
Sumber Daya Hayati. Jurnal hukum lingkungan. 2 (2).
Hikmat dan Kusmana. 2015. Keanekaragaman hayati flora di indonesia. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 5 (2).
Husem, A. F. 2018. Implementasi perdagangan karbon indonesiajepang dalam
skema joint crediting mechanism (jcm) 2013-2015 (studi kasus: pt.
Primatexco indonesia dan ebara refrigeration equipment, nippon koei).
eJournal Ilmu Hubungan Internasional. 6 (1).
Irama, A. B. 2020. Perdagangan karbon di indonesia: kajian kelembagaan dan
keuangan negara. Info Artha. 4 (1).
Irjayani, F. 2016. Implementasi convention on international trade in endangered
species of wild flora and fauna oleh indonesia (kasus penanganan
perdagangan ilegal trenggiling di indonesia tahun 2005-2013). Journal of
International Relations. 2 (6).
Jadda, A. T. 2019. Tinjauan hukum lingkungan terhadap perlindungan dan
pengelolaan keanekaragaman hayati. 3 (1).
Kuspriyanto. 2015. Upaya konservasi keanekaragaman hayati dikawasan lindung
di indonesia. Metafora. 1 (2).
Mahipal. 2017. Instrumen kebijakan untuk mengatasi konflik di kawasan hutan
konservasi. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. 4 (1).
Ngakan, O. P. 2018. Konservasi keanekaragaman hayati untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan di indonesia. Prosiding Semnas Biodiversity
Conservation.
Rohman, F., E. K. Mumpuni dan Susilo. 2015. Peran Masyarakat dalam Upaya
Konservasi. Seminar nasional xii pendidikan biologi FKIP UNS.
Slamet dan Guntur. 2019. Kajian kriminologi perdagangan ilegal satwa liar.
Recidive. 8 (2).
Soekotjo. 2011. Konservasi ex situ cendana (santalum album l.): aplikasi dan
tantangannya. Edisi Khusus Masalah Cendana NTT Berita Biologi. 5 (5).

Anda mungkin juga menyukai