PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Kawasan Konservasi atau kawasan yang dilindungi ditetapkan
oleh pemerintah berdasarkan berbagai macam kriteria sesuai dengan
kepentingannya. Tiap negara mempunyai kategori sendiri untuk penetapan
kawasan yang dilindungi, dimana masing-masing negara memiliki tujuan dan
perlakuan yang mungkin berbeda-beda. Namun, di tingkat internasional dinaungi
oleh WCPA (World Commission on Protected Areas) yang dulunya bernama
CNPPA(Commision on National Parks and Protected Areas)yaitu sebuah komisi
dibawah IUCN (The Worlf Conservation Union) yang memiliki tanggung jawab
menjaga lingkungan konservasi di dunia, baik untuk kawasan darat maupun
perairan (Kemenhut, 2013).
Istilah hutan konservasi merujuk pada suatu kawasan hutan yang diproteksi
atau dilindungi. Proteksi atau perlindungan tersebut bertujuan untuk melestarikan
hutan dan kehidupan yang ada di dalamnya agar bisa menjalankan fungsinya
secara maksimal. Hutan konservasi merupakan hutan milik negara yang dikelola
oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi
Alam, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pengertian hutan
konservasi menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
adalah sebagai berikut: Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keeanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya (Adia, 2011). Kawasan konservasi dalam kategori nasional
mencakup dua kelompok besar, yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA). Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari Cagar Alam dan
Suaka Margasatwa, bertujuan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan
dan pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Kemenhut, 2013).
Cagar Alam (stricly nature reserve and wilderness area) adalah suatu kawasan
yang diterapkan untuk menjaga agar suatu spesies, habitat, kondisi geologi,
ekosistem, juga proses ekologis agar tetap seperti apa adanya, tanpa campur
tangan manusia dengan tujuan utama untuk kepentingan ilmiah atau pemantauan
lingkungan. Pengelolaan dalam cagar alam hanya berupa monitoring (termasuk
riset) dan pengamanan saja (sehingga sering dikenal sebagai zero mmanajemen).
Kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan dalam Cagar Alam sangat terbatas,
terutama yang berkaitan dengan kepentingan ilmiah serta bukan kegiatan yang
sifatnya ekstaktif (mengambil sesuatu yang berupa fisik dari kawasan). Biasanya
tumbuhan dan satwa dalam kawasan cagar alam merupakan asli daerah tersebut,
tidak didatangkan dari luar. Perkembangannya pun dibiarkan alami apa adanya.
Pengelola hanya memastikan hutan tersebut tidak diganggu oleh aktivitas
manusia yang menyebabkan kerusakan (Kemenhut, 2013) Kawasan Cagar Alam
Situ Patengan sebagai hutan konservasi sangat ditentukan oleh vegetasi yang
menutupi kawasan tersebut dimana keberadaan vegetasi dapat digambarkan
dengan menganalisis struktur vegetasi. Menurut Dansereau (1974 dalam Kainde
dkk., 2011)
struktur vegetasi dapat didefinisikan sebagai organisasi individu-individu
tumbuhan dalam ruang yang membentuk tegakan dan secara lebih luas
membentuk tipe vegetasi atau asosiasi tumbuhan. Kekayaan biota Cagar Alam
Situ Patengan masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas dan
masyarakat lebih mengenal Cagar Alam Situ Patengan sebagai kawasan wisata
saja. Padahal kawasan hutan yang terhampar di Kec. Ciwidey, Kab. Bandung ini
menyimpan flora langka dan satwa liar yang dilindungi. Hasil survey pendahuluan
dan informasi masyarakat menyatakan bahwa Kawasan Cagar Alam Situ Patengan
dimanfaatkan juga oleh warga sekitar untuk dijadikan sebagai tempat perlintasan
atau jalan yang menghubungkan antar perumahan penduduk dengan kebunnya.
Bahkan karena Cagar Alam tersebut berada disamping Situ Patengan, warga
sekitar memanfaatkannya sebagai lahan pemancingan dengan melintasi Cagar
Alam Situ Patengan, sehingga menjadi faktor penyebab terjadinya fragmentasi
kawasan. Fragmentasi jika dibiarkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem
yang ada dalam kawasan tersebut seperti
terganggunya keberadaan satwa, akan punahnya tumbuhan tertentu dan
terjadinya pemadatan tanah. Turner (1996 dalam Rasnovi (2006) menyatakan
bahwa beberapa faktor dalam mekanisme hubungan fragmentasi dengan
kepunahan antara lain adanya berbagai macam pengaruh dari gangguan manusia
baik selama deforestasi berlangsung maupun setelahnya, berkurangnya ukuran
populasi, berkurangnya laju imigrasi, efek tepi hutan, perubahan struktur
komunitas, dan masuknya spesies-spesies eksotik. Keanekaragaman hayati di
Indonesia yang berlimpah menuntut sebuah tempat untuk melindungi dan
melestarikan keragaman tersebut. Kawasan konservasi vegetasi merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai arti penting bagi kehidupan
secara menyeluruh, mencakup ekosistem dan keanekaragaman, untuk
meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, manfaat sumber daya
alam serta nilai sejarah dan budaya secara berkelanjutan. kondisi kawasan lindung
Jawa Barat mengalami degradasi yang serius baik kualitas maupun kuantitasnya,
penyusutan luas dan meningkatnya lahan kritis akibat tekanan pertumbuhan
penduduk, alih fungsi lahan, konflik penguasaan pemanfaatan lahan serta
berkurangnya rasa kepedulian dan kebersamaan (Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat No. 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung).
Komunitas tumbuhan atau vegetasi mempunyai peranan penting dalam
ekosistem. Kehadiran vegetasi pada suatu kawasan akan memberikan dampak
positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala lebih luas. Vegetasi berperan
penting dalam ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbodioksida
dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia, biologis tanah dan
pengaturan tata air dalam tanah. Secara umum vegetasi memberikan dampak
positif terhadap ekosistem, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur
dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada setiap kawasan (Mufti, 2012).
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sebagai salah satu
bentuk optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam bagi terwujudnya kemakmuran
rakyat berkelanjutan, juga tidak bisa terhindar dari situasi diatas, oleh karena itu
perlu dilakukan upaya–upaya analisa dan evaluasi peraturan perundangan di
bidang konservasi agar sasaran konservasi dapat segera diwujudkan. Menyadari
bahwa keanekaragaman hayati merupakan anugerah Tuhan YME yang tidak ada
taranya dan merupakan sumberdaya bagi generasi masa kini dan masa depan
maka kelestariannya dalam jangkapanjang harus dijamin melalui perlakuan
konservasi yang memadahi. Guna menjamin terwujudnya kelestarian sumberdaya
alam tersebut bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, perlu diatur bahwa
sumberdaya alam tersebut harus mendapat perlindungan secara proporsional
dengan pemanfaatan yang berkelanjutan.Secara sosial konservasi keanekaragaman
hayati merupakan keseimbangan perlakuan perlindungan dimana pemanfaatan
yang berkelanjutan masih dimungkinkan sehingga keberadaannya tetap bisa
dipertahankan dan dapat dimanfaatkan secara lestari bagi kemakmuran
masyarakat baik generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.
Secara yuridis dewasa ini telah ada undang-undang yang mengatur tentang
konservasi sumberdaya alam hayati yaitu UU No 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang pada dekade
sembilan puluhan dirasakan cukup efektif untuk melindungi ekosistem dan
spesies Indonesia. Undang-undang ini, yang menggantikan beberapa produk
peraturan kolonial prakemerdekaan, telah berumur lebih dari 20 tahun, dan selama
masa tersebut telah terjadi banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional
seperti berubahnya sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi dan demokratisasi serta berubahnya peraturan perundang-undangan
sektoral, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa
kebijakan internasional dalam kegiatan konservasi, sebagaimana tertuang dalam
hasil-hasil konvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati, atau hasil-hasil
kesepakatan baik bilateral, regional maupun multilateral.
Kondisi diatas, serta memperhatikan tantangan kedepan seperti menguatnya
tekanan masyarakat dan tekanan ekonomi untuk pembangunan terhadap
keanekaragaman hayati akibat dari meningkatnya jumlah penduduk yang
memerlukan percepatan pembangunan di segala sektor, maka diperlukan legislasi
nasional mengenai konservasi keanekaragaman hayati yang mempunyai
kemampuan tinggi dalam melindungi keanekaragaman hayati secara efektif serta
menjamin kemanfaatan bagi masyarakat sehingga dipandang perlu untuk
melakukan perubahan UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan Hak asasi Manusia sesuai dengan tugas dan pokok kerjanya dalam
membina dan mengembangkan hukum melaksanakan kegiatan ini melalui metode
analisa dan evaluasi hukum dengan membentuk sebuah tim.
pada hakekatnya merupakan salah satu pihak berkepentingan (stake holder)
yang sangat menentukan serta berkewajiban dan berhak memanfaatkan serta
menjaga kelestarian kawasan mangrove, secara berkelanjutan. Oleh karena itu
pemberdayaan kawasan mangrove memerlukan peran serta masyarakat mulai
tahap identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pengamanan, evaluasi, dan
pemanfaatan hasil yang bersumber dari kawasan mangrove.
Untuk mendorong perkembangan peran serta masyarakat secara positif dan
konstruktif, dalam pemberdayaan mangrove, diperlukan upaya-upaya pembinaan
masyarakat yang melibatkan semua pihak, khususnya pemerintah dan lembaga-
lembaga non pemerintah serta masyarakat itu sendiri. Betapa pentingnya peranan
vegetasi di sebuah kawasan, maka penyelamatan vegetasi perlu dilakukan, untuk
menjaga vegetasi pada suatu kawasan maka perlu diketahui struktur dan
komposisi vegetasinya. Widiastuti, (2008) mengatakan menyelamatkan
keanekaragaman vegetasi berarti mengambil langkah untuk melindungi gen,
spesies, habitat, dan ekosistem. Cara yang paling baik untuk mempertahankan
spesies adalah dengan mempertahankan habitatnya. Konservasi pada tingkat
komunitas merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk melestarikan spesies.
BAB2
PEMBAHASAN
2.1 pengertian Konservasi
Konservasi diartikan sebagai pengelolaan biosfer secara bijaksana bagi
keperluan manusia, sehingga menghasilkan manfaat secara berkelanjutan bagi
generasi kini dan menetapkan potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
generasi mendatang . Kegiatan konservasi adalah sangat positif, yang mencakup
pengawetan perlindungan, dan pemanfaatan secara lestari, rehabilitasi, dan
peningkatan mutu lingkungan alam.
Konservasi dan pembangunan berkelanjutan saling mempengaruhi,
sehingga pembangunan berkelanjutan di banyak negara mengalami hambatan
akibat tidak diperhatikannya atau di implementasikannya usaha konservasi secara
tepat. Tujuan konservasi adalah menyiapkan prinsip dan alat untuk melestarikan
keragaman biologi Kegiatan konservasi difokuskan pada keragaman ekosistem,
keragaman spesies, dan keragaman genetik. Konservasi ekosistem dapat
disamakan dengan istilah konservasi in situ, sedangkan konservasi spesies di luar
habitatnya disebut konservasi ex situ. Selain itu, konservasi juga berkaitan dengan
unsur sosial ekonomi penduduk. Penduduk (manusia) memiliki interaksi dengan
alam, dua diantaranya adalah melindungi dan merusak.
kenyataan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungannya,
karena pemenuhan kebutuhan diperoleh dari lingkungan dengan memanfaatkan
lahan. Perencanaan dalam konservasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan,
yaitu: pendekatan habitat atau ekosistem dan pendekatan spesies menurut
Damayatanti (2011). Konservasi dengan pendekatan habitat (wilayah terproteksi,
misalnya kawasan suaka alam, taman nasional) berupaya agar contoh yang
mewakili tipe habitat dan ekosistem dipelihara dengan baik, sehingga spesies yang
tinggal di dalam habitat tersebut akan terpelihara.
Cara konservasi semacam ini sangat sederhana, karena tidak memerlukan
pengetahuan tentang status dan distribusi spesies, akan tetapi sulit diketahui
kecukupan habitat bagi populasi yang berstatus langka ataupun populasi yang
benar-benar sudah terancam. Pendekatan spesies berupaya untuk melindungi
spesies tertentu atau spesies prioritas, umumnya yang berstatus spesies langka
yang kritis oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), misalnya
badak, komodo dan orang utan, untuk hewan langka, serta bunga bangkai untuk
tumbuhan. Terdapat beberapa jenis kelompok spesies yang dilindungi, dua
diantaranya adalah flagship species atau spesies kunci, yaitu satwa yang menjadi
ikon. Keberadaannya mampu menggalang aksi, meningkatkan kesadartahuan dan
dukungan bagi upaya konservasi dalam skala luas. Misalnya, harimau, gajah,
badak, penyu dan orangutan. Foot print impacted spesies atau spesies yang
populasinya terancam akibat konsumsi yang tidak berkelanjutan, seperti
eksploitasi, perburuan atau penangkapan berlebih. Contohnya adalah hiu dan kayu
ramin.
1. Konservasi di tingkat ekosistem
Keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia disebabkan letaknya
pada persilangan pengaruh antara benua Asia dan Australia. Sebelah barat
wilayah Indonesia (Sumatra, Kalimantan dan Jawa) dipengaruhi oleh sifat-sifat
tumbuhan dan hewan Oriental. Sementara, seluruh pulau Papua, Australia dan
Tasmania masuk dalam kawasan yang dipengaruhi oleh biogeografi Australia.
Sedangkan Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku merupakan peralihan antara
keduanya, sehingga bersifat unik dengan tumbuhan dan hewan yang sama sekali
berbeda dengan Oriental maupun Australia. Bappenas pada tahun 1993
mengidentifikasi sedikitnya 47 jenis ekosistem alam khas di Indonesia, yang
masih dapat terbagi lagi ke dalam lebih dari 90 tipe ekosistem yang lebih
spesifik. Ekosistem yang paling kaya keragaman hayatinya adalah hutan hujan
tropis yang walaupun hanya meliputi 7% permukaan bumi, namun mengandung
paling sedikit 50% s.d. 90% dari semua spesies tumbuhan dan satwa yang ada di
dunia.
Perlindungan setiap tipe ekosistem di sebanyak-banyaknya lokasi dapat
melindungi lebih banyak lagi keanekaragaman spesies dan genetik. Tidak ada
teori yang dapat menjelaskan berapa luasan atau proporsi ideal kawasan
konservasi dalam suatu wilayah atau negara. Konvensi Keanekaragaman Hayati
(“CBD”) mendesak negara anggota untuk paling tidak mencadangkan 10% dari
wilayah daratannya menjadi kawasan dilindungi, dimana secara global saat ini
telah ada sekitar 10-15% kawasan konservasi.
Perlindungan ekosistem saat ini banyak berbenturan dengan kebutuhan
lahan bagi pembangunan ekonomi, sehingga kita tidak dapat melindungi semua
tipe ekosistem sebanyak-banyaknya di dalam jejaring kawasan yang dilindungi
(kawasan konservasi).
Dalam kondisi banyak ekosistem penting yang tidak dapat atau sulit
dimasukkan ke dalam sistem atau jaringan kawasan konservasi, diperlukan sistem
pengelolaan yang dapat melindungi ekosistem penting tersebut dan
keanekaragaman hayatinya tanpa mengorbankan tujuan pemanfaatan lahan
Pelindungan ekosistem tersebut bertujuan untuk melindungi keterwakilan,
memelihara keseimbangan, ketersambungan dan kemantapan ekosistem di dalam
suatu jejaring kawasan konservasi yang mempunyai batas-batas jelas, yang
ditetapkan dan secara hukum mengikat untuk melindungi keanekaragaman hayati
beserta jasa ekosistem dan nilai-nilai budaya.
Dalam pedoman perencanaan kawasan konservasi, IUCN memberikan
arahan bahwa kawasan konservasi telah menjadi tonggak bagi interaksi antara
manusia dan alamnya.42 Menurut IUCN, sekarang kawasan konservasi menjadi
satu-satunya harapan yang kita punya untuk mencegah terjadinya kepunahan
spesies endemik atau spesies terancam punah.
2.Konservasi di tingkat spesies
Ancaman terbesar dalam konservasi spesies adalah kepunahan. Sampai jumlah
tertentu, kepunahan spesies secara alami dapat ditoleransi. Namun, tidak ada
seorang pun yang dapat menduga berapa banyak kehilangan spesies yang dapat
menyebabkan bumi ini kolaps, dan dalam berapa lama. Berdasarkan status
populasi terkait dengan ancaman terhadap kepunahan dan tekanan pada populasi
spesies dari kerusakan habitat dan perdagangan spesies, maka spesies perlu
diklasifikasikan ke dalam status perlindungan yang secara hukum mengikat agar
tindakan perlindungannya dapat efektif.
Pada tingkat internasional, Konvensi Perdagangan Internasional Spesies
Terancam (“CITES”)46 membagi status perlindungan spesies ke dalam 3 kagori,
yaitu spesies Appendix I, Appendix II, serta spesies non-appendix yang tidak
dikontrol melalui CITES. Spesies yang termasuk Apppendix I dilarang
diperdagangkan secara internasional.Pada tingkat nasional, UU KSDAHE48
hanya membagi status perlindungan spesies ke dalam dua kategori saja, yaitu
spesies dilindungi dan spesies tidak dilindungi. Spesies yang dilindungi
merupakan spesies yang terancam punah, dengan pengaturan dan sanksi pidana
yang cukup mamadai untuk menimbulkan efek jera. Namun spesies yang tidak
dilindungi, yaitu spesies-spesies yang dianggap belum terancam punah, tidak
diatur ketentuan dan sanksinya.
Terlepas dari kekurangan yang ada pada legislasi nasional dalam
mengklasifikasikan status perlindungan spesies, konservasi di tingkat spesies
harus mampu mengatur pemulihan populasi di habitat alami spesies terancam
punah dan mengendalikan pemanfaatan spesies-spesies yang belum terancam
punah. Juga diperlukan kontrol perdagangan bagi spesies yang belum terancam
punah namun tingkat perdagangannya tinggi, sejak dari penangkapan, transportasi
sampai ekspornya. Hal tersebut diperintahkan oleh CITES bagi spesies-spesies
Appendix II, bahwa perdagangan spesies Appendix II tidak boleh merusak
populasi di alam (non-detriment).