Anda di halaman 1dari 14

BAB1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Kawasan Konservasi atau kawasan yang dilindungi ditetapkan
oleh pemerintah berdasarkan berbagai macam kriteria sesuai dengan
kepentingannya. Tiap negara mempunyai kategori sendiri untuk penetapan
kawasan yang dilindungi, dimana masing-masing negara memiliki tujuan dan
perlakuan yang mungkin berbeda-beda. Namun, di tingkat internasional dinaungi
oleh WCPA (World Commission on Protected Areas) yang dulunya bernama
CNPPA(Commision on National Parks and Protected Areas)yaitu sebuah komisi
dibawah IUCN (The Worlf Conservation Union) yang memiliki tanggung jawab
menjaga lingkungan konservasi di dunia, baik untuk kawasan darat maupun
perairan (Kemenhut, 2013).
Istilah hutan konservasi merujuk pada suatu kawasan hutan yang diproteksi
atau dilindungi. Proteksi atau perlindungan tersebut bertujuan untuk melestarikan
hutan dan kehidupan yang ada di dalamnya agar bisa menjalankan fungsinya
secara maksimal. Hutan konservasi merupakan hutan milik negara yang dikelola
oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi
Alam, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pengertian hutan
konservasi menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
adalah sebagai berikut: Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keeanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya (Adia, 2011). Kawasan konservasi dalam kategori nasional
mencakup dua kelompok besar, yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA). Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari Cagar Alam dan
Suaka Margasatwa, bertujuan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan
dan pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Kemenhut, 2013).
Cagar Alam (stricly nature reserve and wilderness area) adalah suatu kawasan
yang diterapkan untuk menjaga agar suatu spesies, habitat, kondisi geologi,
ekosistem, juga proses ekologis agar tetap seperti apa adanya, tanpa campur
tangan manusia dengan tujuan utama untuk kepentingan ilmiah atau pemantauan
lingkungan. Pengelolaan dalam cagar alam hanya berupa monitoring (termasuk
riset) dan pengamanan saja (sehingga sering dikenal sebagai zero mmanajemen).
Kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan dalam Cagar Alam sangat terbatas,
terutama yang berkaitan dengan kepentingan ilmiah serta bukan kegiatan yang
sifatnya ekstaktif (mengambil sesuatu yang berupa fisik dari kawasan). Biasanya
tumbuhan dan satwa dalam kawasan cagar alam merupakan asli daerah tersebut,
tidak didatangkan dari luar. Perkembangannya pun dibiarkan alami apa adanya.
Pengelola hanya memastikan hutan tersebut tidak diganggu oleh aktivitas
manusia yang menyebabkan kerusakan (Kemenhut, 2013) Kawasan Cagar Alam
Situ Patengan sebagai hutan konservasi sangat ditentukan oleh vegetasi yang
menutupi kawasan tersebut dimana keberadaan vegetasi dapat digambarkan
dengan menganalisis struktur vegetasi. Menurut Dansereau (1974 dalam Kainde
dkk., 2011)
struktur vegetasi dapat didefinisikan sebagai organisasi individu-individu
tumbuhan dalam ruang yang membentuk tegakan dan secara lebih luas
membentuk tipe vegetasi atau asosiasi tumbuhan. Kekayaan biota Cagar Alam
Situ Patengan masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas dan
masyarakat lebih mengenal Cagar Alam Situ Patengan sebagai kawasan wisata
saja. Padahal kawasan hutan yang terhampar di Kec. Ciwidey, Kab. Bandung ini
menyimpan flora langka dan satwa liar yang dilindungi. Hasil survey pendahuluan
dan informasi masyarakat menyatakan bahwa Kawasan Cagar Alam Situ Patengan
dimanfaatkan juga oleh warga sekitar untuk dijadikan sebagai tempat perlintasan
atau jalan yang menghubungkan antar perumahan penduduk dengan kebunnya.
Bahkan karena Cagar Alam tersebut berada disamping Situ Patengan, warga
sekitar memanfaatkannya sebagai lahan pemancingan dengan melintasi Cagar
Alam Situ Patengan, sehingga menjadi faktor penyebab terjadinya fragmentasi
kawasan. Fragmentasi jika dibiarkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem
yang ada dalam kawasan tersebut seperti
terganggunya keberadaan satwa, akan punahnya tumbuhan tertentu dan
terjadinya pemadatan tanah. Turner (1996 dalam Rasnovi (2006) menyatakan
bahwa beberapa faktor dalam mekanisme hubungan fragmentasi dengan
kepunahan antara lain adanya berbagai macam pengaruh dari gangguan manusia
baik selama deforestasi berlangsung maupun setelahnya, berkurangnya ukuran
populasi, berkurangnya laju imigrasi, efek tepi hutan, perubahan struktur
komunitas, dan masuknya spesies-spesies eksotik. Keanekaragaman hayati di
Indonesia yang berlimpah menuntut sebuah tempat untuk melindungi dan
melestarikan keragaman tersebut. Kawasan konservasi vegetasi merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai arti penting bagi kehidupan
secara menyeluruh, mencakup ekosistem dan keanekaragaman, untuk
meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, manfaat sumber daya
alam serta nilai sejarah dan budaya secara berkelanjutan. kondisi kawasan lindung
Jawa Barat mengalami degradasi yang serius baik kualitas maupun kuantitasnya,
penyusutan luas dan meningkatnya lahan kritis akibat tekanan pertumbuhan
penduduk, alih fungsi lahan, konflik penguasaan pemanfaatan lahan serta
berkurangnya rasa kepedulian dan kebersamaan (Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat No. 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung).
Komunitas tumbuhan atau vegetasi mempunyai peranan penting dalam
ekosistem. Kehadiran vegetasi pada suatu kawasan akan memberikan dampak
positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala lebih luas. Vegetasi berperan
penting dalam ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbodioksida
dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia, biologis tanah dan
pengaturan tata air dalam tanah. Secara umum vegetasi memberikan dampak
positif terhadap ekosistem, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur
dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada setiap kawasan (Mufti, 2012).
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sebagai salah satu
bentuk optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam bagi terwujudnya kemakmuran
rakyat berkelanjutan, juga tidak bisa terhindar dari situasi diatas, oleh karena itu
perlu dilakukan upaya–upaya analisa dan evaluasi peraturan perundangan di
bidang konservasi agar sasaran konservasi dapat segera diwujudkan. Menyadari
bahwa keanekaragaman hayati merupakan anugerah Tuhan YME yang tidak ada
taranya dan merupakan sumberdaya bagi generasi masa kini dan masa depan
maka kelestariannya dalam jangkapanjang harus dijamin melalui perlakuan
konservasi yang memadahi. Guna menjamin terwujudnya kelestarian sumberdaya
alam tersebut bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, perlu diatur bahwa
sumberdaya alam tersebut harus mendapat perlindungan secara proporsional
dengan pemanfaatan yang berkelanjutan.Secara sosial konservasi keanekaragaman
hayati merupakan keseimbangan perlakuan perlindungan dimana pemanfaatan
yang berkelanjutan masih dimungkinkan sehingga keberadaannya tetap bisa
dipertahankan dan dapat dimanfaatkan secara lestari bagi kemakmuran
masyarakat baik generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.
Secara yuridis dewasa ini telah ada undang-undang yang mengatur tentang
konservasi sumberdaya alam hayati yaitu UU No 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang pada dekade
sembilan puluhan dirasakan cukup efektif untuk melindungi ekosistem dan
spesies Indonesia. Undang-undang ini, yang menggantikan beberapa produk
peraturan kolonial prakemerdekaan, telah berumur lebih dari 20 tahun, dan selama
masa tersebut telah terjadi banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional
seperti berubahnya sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi dan demokratisasi serta berubahnya peraturan perundang-undangan
sektoral, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa
kebijakan internasional dalam kegiatan konservasi, sebagaimana tertuang dalam
hasil-hasil konvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati, atau hasil-hasil
kesepakatan baik bilateral, regional maupun multilateral.
Kondisi diatas, serta memperhatikan tantangan kedepan seperti menguatnya
tekanan masyarakat dan tekanan ekonomi untuk pembangunan terhadap
keanekaragaman hayati akibat dari meningkatnya jumlah penduduk yang
memerlukan percepatan pembangunan di segala sektor, maka diperlukan legislasi
nasional mengenai konservasi keanekaragaman hayati yang mempunyai
kemampuan tinggi dalam melindungi keanekaragaman hayati secara efektif serta
menjamin kemanfaatan bagi masyarakat sehingga dipandang perlu untuk
melakukan perubahan UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan Hak asasi Manusia sesuai dengan tugas dan pokok kerjanya dalam
membina dan mengembangkan hukum melaksanakan kegiatan ini melalui metode
analisa dan evaluasi hukum dengan membentuk sebuah tim.
pada hakekatnya merupakan salah satu pihak berkepentingan (stake holder)
yang sangat menentukan serta berkewajiban dan berhak memanfaatkan serta
menjaga kelestarian kawasan mangrove, secara berkelanjutan. Oleh karena itu
pemberdayaan kawasan mangrove memerlukan peran serta masyarakat mulai
tahap identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pengamanan, evaluasi, dan
pemanfaatan hasil yang bersumber dari kawasan mangrove.
Untuk mendorong perkembangan peran serta masyarakat secara positif dan
konstruktif, dalam pemberdayaan mangrove, diperlukan upaya-upaya pembinaan
masyarakat yang melibatkan semua pihak, khususnya pemerintah dan lembaga-
lembaga non pemerintah serta masyarakat itu sendiri. Betapa pentingnya peranan
vegetasi di sebuah kawasan, maka penyelamatan vegetasi perlu dilakukan, untuk
menjaga vegetasi pada suatu kawasan maka perlu diketahui struktur dan
komposisi vegetasinya. Widiastuti, (2008) mengatakan menyelamatkan
keanekaragaman vegetasi berarti mengambil langkah untuk melindungi gen,
spesies, habitat, dan ekosistem. Cara yang paling baik untuk mempertahankan
spesies adalah dengan mempertahankan habitatnya. Konservasi pada tingkat
komunitas merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk melestarikan spesies.
BAB2
PEMBAHASAN
2.1 pengertian Konservasi
Konservasi diartikan sebagai pengelolaan biosfer secara bijaksana bagi
keperluan manusia, sehingga menghasilkan manfaat secara berkelanjutan bagi
generasi kini dan menetapkan potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
generasi mendatang . Kegiatan konservasi adalah sangat positif, yang mencakup
pengawetan perlindungan, dan pemanfaatan secara lestari, rehabilitasi, dan
peningkatan mutu lingkungan alam.
Konservasi dan pembangunan berkelanjutan saling mempengaruhi,
sehingga pembangunan berkelanjutan di banyak negara mengalami hambatan
akibat tidak diperhatikannya atau di implementasikannya usaha konservasi secara
tepat. Tujuan konservasi adalah menyiapkan prinsip dan alat untuk melestarikan
keragaman biologi Kegiatan konservasi difokuskan pada keragaman ekosistem,
keragaman spesies, dan keragaman genetik. Konservasi ekosistem dapat
disamakan dengan istilah konservasi in situ, sedangkan konservasi spesies di luar
habitatnya disebut konservasi ex situ. Selain itu, konservasi juga berkaitan dengan
unsur sosial ekonomi penduduk. Penduduk (manusia) memiliki interaksi dengan
alam, dua diantaranya adalah melindungi dan merusak.
kenyataan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungannya,
karena pemenuhan kebutuhan diperoleh dari lingkungan dengan memanfaatkan
lahan. Perencanaan dalam konservasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan,
yaitu: pendekatan habitat atau ekosistem dan pendekatan spesies menurut
Damayatanti (2011). Konservasi dengan pendekatan habitat (wilayah terproteksi,
misalnya kawasan suaka alam, taman nasional) berupaya agar contoh yang
mewakili tipe habitat dan ekosistem dipelihara dengan baik, sehingga spesies yang
tinggal di dalam habitat tersebut akan terpelihara.
Cara konservasi semacam ini sangat sederhana, karena tidak memerlukan
pengetahuan tentang status dan distribusi spesies, akan tetapi sulit diketahui
kecukupan habitat bagi populasi yang berstatus langka ataupun populasi yang
benar-benar sudah terancam. Pendekatan spesies berupaya untuk melindungi
spesies tertentu atau spesies prioritas, umumnya yang berstatus spesies langka
yang kritis oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), misalnya
badak, komodo dan orang utan, untuk hewan langka, serta bunga bangkai untuk
tumbuhan. Terdapat beberapa jenis kelompok spesies yang dilindungi, dua
diantaranya adalah flagship species atau spesies kunci, yaitu satwa yang menjadi
ikon. Keberadaannya mampu menggalang aksi, meningkatkan kesadartahuan dan
dukungan bagi upaya konservasi dalam skala luas. Misalnya, harimau, gajah,
badak, penyu dan orangutan. Foot print impacted spesies atau spesies yang
populasinya terancam akibat konsumsi yang tidak berkelanjutan, seperti
eksploitasi, perburuan atau penangkapan berlebih. Contohnya adalah hiu dan kayu
ramin.
1. Konservasi di tingkat ekosistem
Keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia disebabkan letaknya
pada persilangan pengaruh antara benua Asia dan Australia. Sebelah barat
wilayah Indonesia (Sumatra, Kalimantan dan Jawa) dipengaruhi oleh sifat-sifat
tumbuhan dan hewan Oriental. Sementara, seluruh pulau Papua, Australia dan
Tasmania masuk dalam kawasan yang dipengaruhi oleh biogeografi Australia.
Sedangkan Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku merupakan peralihan antara
keduanya, sehingga bersifat unik dengan tumbuhan dan hewan yang sama sekali
berbeda dengan Oriental maupun Australia. Bappenas pada tahun 1993
mengidentifikasi sedikitnya 47 jenis ekosistem alam khas di Indonesia, yang
masih dapat terbagi lagi ke dalam lebih dari 90 tipe ekosistem yang lebih
spesifik. Ekosistem yang paling kaya keragaman hayatinya adalah hutan hujan
tropis yang walaupun hanya meliputi 7% permukaan bumi, namun mengandung
paling sedikit 50% s.d. 90% dari semua spesies tumbuhan dan satwa yang ada di
dunia.
Perlindungan setiap tipe ekosistem di sebanyak-banyaknya lokasi dapat
melindungi lebih banyak lagi keanekaragaman spesies dan genetik. Tidak ada
teori yang dapat menjelaskan berapa luasan atau proporsi ideal kawasan
konservasi dalam suatu wilayah atau negara. Konvensi Keanekaragaman Hayati
(“CBD”) mendesak negara anggota untuk paling tidak mencadangkan 10% dari
wilayah daratannya menjadi kawasan dilindungi, dimana secara global saat ini
telah ada sekitar 10-15% kawasan konservasi.
Perlindungan ekosistem saat ini banyak berbenturan dengan kebutuhan
lahan bagi pembangunan ekonomi, sehingga kita tidak dapat melindungi semua
tipe ekosistem sebanyak-banyaknya di dalam jejaring kawasan yang dilindungi
(kawasan konservasi).
Dalam kondisi banyak ekosistem penting yang tidak dapat atau sulit
dimasukkan ke dalam sistem atau jaringan kawasan konservasi, diperlukan sistem
pengelolaan yang dapat melindungi ekosistem penting tersebut dan
keanekaragaman hayatinya tanpa mengorbankan tujuan pemanfaatan lahan
Pelindungan ekosistem tersebut bertujuan untuk melindungi keterwakilan,
memelihara keseimbangan, ketersambungan dan kemantapan ekosistem di dalam
suatu jejaring kawasan konservasi yang mempunyai batas-batas jelas, yang
ditetapkan dan secara hukum mengikat untuk melindungi keanekaragaman hayati
beserta jasa ekosistem dan nilai-nilai budaya.
Dalam pedoman perencanaan kawasan konservasi, IUCN memberikan
arahan bahwa kawasan konservasi telah menjadi tonggak bagi interaksi antara
manusia dan alamnya.42 Menurut IUCN, sekarang kawasan konservasi menjadi
satu-satunya harapan yang kita punya untuk mencegah terjadinya kepunahan
spesies endemik atau spesies terancam punah.
2.Konservasi di tingkat spesies
Ancaman terbesar dalam konservasi spesies adalah kepunahan. Sampai jumlah
tertentu, kepunahan spesies secara alami dapat ditoleransi. Namun, tidak ada
seorang pun yang dapat menduga berapa banyak kehilangan spesies yang dapat
menyebabkan bumi ini kolaps, dan dalam berapa lama. Berdasarkan status
populasi terkait dengan ancaman terhadap kepunahan dan tekanan pada populasi
spesies dari kerusakan habitat dan perdagangan spesies, maka spesies perlu
diklasifikasikan ke dalam status perlindungan yang secara hukum mengikat agar
tindakan perlindungannya dapat efektif.
Pada tingkat internasional, Konvensi Perdagangan Internasional Spesies
Terancam (“CITES”)46 membagi status perlindungan spesies ke dalam 3 kagori,
yaitu spesies Appendix I, Appendix II, serta spesies non-appendix yang tidak
dikontrol melalui CITES. Spesies yang termasuk Apppendix I dilarang
diperdagangkan secara internasional.Pada tingkat nasional, UU KSDAHE48
hanya membagi status perlindungan spesies ke dalam dua kategori saja, yaitu
spesies dilindungi dan spesies tidak dilindungi. Spesies yang dilindungi
merupakan spesies yang terancam punah, dengan pengaturan dan sanksi pidana
yang cukup mamadai untuk menimbulkan efek jera. Namun spesies yang tidak
dilindungi, yaitu spesies-spesies yang dianggap belum terancam punah, tidak
diatur ketentuan dan sanksinya.
Terlepas dari kekurangan yang ada pada legislasi nasional dalam
mengklasifikasikan status perlindungan spesies, konservasi di tingkat spesies
harus mampu mengatur pemulihan populasi di habitat alami spesies terancam
punah dan mengendalikan pemanfaatan spesies-spesies yang belum terancam
punah. Juga diperlukan kontrol perdagangan bagi spesies yang belum terancam
punah namun tingkat perdagangannya tinggi, sejak dari penangkapan, transportasi
sampai ekspornya. Hal tersebut diperintahkan oleh CITES bagi spesies-spesies
Appendix II, bahwa perdagangan spesies Appendix II tidak boleh merusak
populasi di alam (non-detriment).

2.2 Pengertian Zonasi Pada Kawasan Konservasi


Terkait dengan zonasi, suatu kawasan konservasi bisa dibedakan dalam
dua tipe, ialah: kawasan tanpa pemanfaatan dan kawasan dimana sebagian
wilayah di dalamnya bisa dimanfaatkan secara terbatas. Pada kasus yang pertama,
kawasan konservasi dikatakan hanya mempunyai satu zona, sedangkan kawasan
kedua paling tidak ada dua wilayah yang berbeda, zona dimana segala bentuk
pemanfaatan dilarang dan sebagian lagi dimana pemanfaatan terbatas masih
memmungkinkan untuk dilakukan. (Hasni, 2010)
Zona bisa didefinisikan sebagai suatu wilayah fungsional tertentu dengan
batas wilayah yang jelas dan mempunyai tujuan tertentu yang diimplementasikan
melalui aturan atau ketentuan tertentu. Sebagai contoh, wilayah larang-ambil yang
sudah kita diskusikan pada bab sebelumnya, ialah suatu wilayah yang mempunyai
tujuan fungsional untuk merpebaiki habitat dan stok ikan, dengan aturan
pelarangan untuk melakukan kegiatan pengambilan (ekstraktif). Zonasi bisa
didefinisikan sebagai usaha (termasuk teknik rekayasa) untuk membagi suatu
wilayah pada kawasan konservasi menjadi beberapa zona fungsional yang
berbeda.
Istilah zonasi banyak digunakan dalam sistem penataan ruang, seperti
ketentuan pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 juga membahas zonasi khususnya di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Perairan laut kita dibagi paling
tidak menjadi 3 (tiga) wilayah administrasi yang berbeda, ialah: wilayah
Administrasi Kabupaten/Kotamadya sampai batas 4 mil pertama dari pantai,
wilayah kewenangan propinsi antara 4 – 12 mil dari pantai, dan wilayah
kewenangan nasional yang berada diluar wilayah 12 mil dari pantai. Contoh lain
dari zonasi ialah Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99
tentang jalur-jalur penangkapan ikan – istilah jalur pada keputusan ini mempunyai
pengertian yang hampir sama dengan zona. Melalui ketentuan tersebut, wilayah
penangkapan ikan di laut dibagi menjadi 4 (empat) jalur, ialah:
1. Jalur Ia, ialah perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada saat
surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut;
2. Jalur Ib, ialah perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam)
mil laut;
3. Jalur II, ialah meliputi perairan di luar Jalur Ia dan Ib, sampai dengan 12 (dua
belas) mil laut ke arah laut dan
4. Jalur III, ialah meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai
dengan batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI);
Penentuan zonasi atau jalur-jalur penangkapan ikan ini bertujuan untuk
mengatur kegiatan penangkapan ikan oleh berbagai jenis alat tangkap yang
berbeda, agar tidak terjadi tumpang tindih, dan untuk menjaga kelestarian stok
sumber daya ikan. Dengan demikian, dalam zonasi, paling tidak ada tiga hal
dasar, ialah: wilayah dengan batas yang jelas, tujuan dibentuknya zonasi, dan
aturan dalam satu zona.
1. Zonasi Pada Kawasan Konservasi
Pembentukan kawasan konservasi (perairan) pada dasarnya bertujuan (utama)
untuk melindungi spesies/habitat keanekaragaman hayati dan mempertahankan
pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan. Beberapa tujuan ikutan lainnya
yang muncul setelah tujuan utama ialah: penelitian ilmiah, pendidikan, pariwisata
dan rekreasi (lihat juga berbagai tujuan pembentukan kawasan konservasi pada
Tabel 6.3). Karena perbedaan dalam tujuannya, kawasan konservasi bisa
dibedakan paling tidak dalam 6 (enam) kategori, seperti yang disajikan pada
IUCN. Perbedaan tersebut bisa dilihat secara lebih detail melalui zonasi. Jadi
zonasi bisa juga digunakan sebagai salah satu alat untuk mengenali kategori
kawasan konservasi.
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998, wilayah di
dalam kawasan konservasi bisa dibedakan menjadi 4 (empat) zona, ialah:
• Zona inti;
• Zona rimba;
• Zona pemanfaatan; dan
• Zona lain sesuai dengan tujuan kawasan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa salah satu kriteria penunjukkan suatu kawasan
sebagai Taman Nasional bisa dilakukan jika wilayah di dalamnya bisa dibagi
menjadi: zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona lain sesuai dengan
tujuan kawasan. Dengan demikian, paling tidak, kawasan taman nasional harus
dikelola dengan prinsip zonasi.
Kriteria dari zona inti ialah sebagai berikut: a. Mempunyai keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; b. Mewakili formasi biota
tertentu dan atau unit-unit penyusunnya; c. Mempunyai kondisi alam, baik biota
maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia; d.
Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan
yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; e.
Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi; f. Mempunyai komunitas
tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang
keberadaannya terancam punah.
2.3 pembinaan habitat dan daerah penyangga
Menurut Nurrochmat et al ( 2016), salah satu fungsi kebijakan yang paling
penting adalah untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan (opsi)
tindakan dan prioritas yang diwujudkan dalam program-program, agar efektif
mencapai tujuan tertentu. Sumberdaya hutan yang lestari tidak dapat dicapai
hanya dengan mempraktikan teknik pengelolaan sumberdaya secara benar, tetapi
perlu didukung oleh dan dapat dicapai melalui kebijakan yang sesuai. Kebijakan
yang tidak sesuai dapat mendorong terjadinya eksploitasi berlebih sumberdaya
alam.
Oleh karena itu, kebijakan pemberian izin pembinaan habitat dengan cara
penebangan pohon perlu dievaluasi , karena telah menyebabkan terbukanya
kawasan dan dapat dijadikan modus oleh perusahaan untuk melakukan
penebangan illegal. Oleh karena itu untuk mengatasi terulangnya kejadian dimasa
Pembenahan ekternal yang bisa dilakukan adalah dengan cara memperkuat
kemitraan, penggalangan sumber dana para pihak, peningkatan konsultasi dan
koordinasi, pembangunan media komunikasi bersama, pengamanan kawasan,
penegakan hukum, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, penyuluhan
kehutanan, pengembangan jasa lingkungan, pembangunan pusat riset,
pengembangan wisata alam, pengembangan daerah penyangga serta
pemberdayaan masyarakat.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2015), langkah
yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan
melakukan pembenahan internal dan eksternal. Pembenahan internal yang bisa
dilakukan diantaranya adalah pengembangan organisasai kelembagaan,
pemantapan kebijakan pengelolaan, peningkatan kapasitas personil dan
penambahan staf, penyusunan prosedur kerja (SOP) dan petunjuk teknis ,
peningkatan sarana dan prasarana, pengukuhan tata batas kawasan, penataan
zonasi, dan pembangunana pusat data. Hal ini erat kaitannya dengan instrument
administrasi dan fiskal.
Contoh kawasan konservasi yang telah melakukan kemitraan atau kolaborasi
dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah diantaranya Taman Nasional
Kayan Mentarang (TNKM). Kolaborasi antara pengelola TNKM dengan
masyarakat adalah melegalkan kegiatan tradisional di hutan adat milik masyarakat
Dayak yang bermukim di dalam kawasan. Perjanjian kesepakatan tersebut
tertuang dalam Forum Masyarakat Adat (FoMMA) sebagai wadah penampung
aspirasi masyarakat adat tentang perlindungan hutan, kelestarian hutan,
perlindungan hak adat serta kesejahteraan masyarakat adat.
Selanjutnya, perwakilan para pemangku kepentingan TNKM yang terdiri dari
FoMMA, pemerintah pusat dan daerah menyatu dalam bentuk forum Dewan
Penentu Kebijakan TNKM.
. menurut Falah, (2012) Taman Nasional lainnya yang juga
mengimplemntasikan kolaborasi (TN) Bunaken dengan Dewan Pengelola (TN)
Bunaken (DPTNB), (TN) Gunung Gede Pangrango dan (TN) Gunung Halimun
Salak (Gede Pahala) serta (TN) Komodo dengan Komodo Collaborative
Management Board. (Falah, 2012).
UU KSDHAE mengatur mengenai perlindungan sistem penyangga kehidupan
(P1) yang ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. P1 dilakukan dengan menetapkan:76 wilayah tertentu sebagai
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; pola dasar pembinaan
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengaturan cara pemanfaatan
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Sampai saat ini peraturan
pemerintah yang diamanatkan oleh undang-undang untuk menindaklanjuti P1
tidak pernah dapat dibuat karena materi perlindungan sistem penyangga
kehidupan yang sangat luas, sifatnya yang lintas sektor dan telah banyak diatur
oleh undang-undang lain. Sifat lintas sektor tersebut tercermin dari isu prioritas
WCS dari proses ekologis esensial dan sistem penyangga kehidupan yang
meliputi: penurunan kualitas dan kuantitas lahan pertanian dan lahan
peternakan/grazing land; erosi tanah dan degradasi daerah tangkapan hujan dan
daerah aliran sungai; penggurunan; hilangnya sistem perlindungan perikanan;
deforestasi; perubahan iklim dan polusi udara; perencanaan lingkungan yang tidak
memadai dan alokasi sumber daya – yang tidak rasional.( Bappenas, 2003)
Selama 30 tahun lebih tiga pilar WCS telah banyak berkembang dan
mengerucut menjadi pembangunan berkelanjutan, tetapi menjadi kegiatan yang
sangat beragam, mulai dari perlindungan sistem pertanian tanaman pangan,
perlindungan daerah aliran sungai, penanggulangan dan pencegahan perubahan
iklim, penanggulangan penggurunan dan perusakan lahan, perlindungan
lingkungan hidup, penangulangan pencemaran, perusakan pesisir dan pulau kecil
dan sebagainya. Perlindungan sistem penyangga kehidupan terlalu besar untuk
dapat diliput dalam satu undang-undang konservasi. Berbagai aspek mengenai
sistem penyangga kehidupan telah diatur di dalam undang-undang sektoral. Hal
tersebut menjadikan kerangka P1, Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan
UU KSDHAE, menjadi tidak operasional (Campese, J.dkk . 2009)

Anda mungkin juga menyukai