Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH MIKROBIOLOGI INDUSTRI

“Fermentasi Metabolit Primer dan Sekunder”


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mikrobiologi Industri
Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Ulfah Utami, M.Si

Disusun Oleh :
Hilda Khulatus Sarifah (18620050)
Zuhroh Widdatur R. (18620052)
Alvinna Tunggal Dewi (18620063)
Putri Annisa (18620066)
Isabella Darapuspita S. (18620067)
Sayyidatul Kholifah (18620077)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kekuatan dan petunjuk untuk
menyelesaikan tugas Makalah Mikrobiologi Industri dengan judul “Fermentasi Metabolit
Primer dan Sekunder” ini. Tanpa pertolongan-Nya kami sekelompok tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun berdasarkan tugas dari proses pembelajaran mata kuliah
Mikrobiologi Industri yang sedang kami laksanakan. Makalah ini disusun dengan
menghadapi berbagai rintangan, namun dengan penuh kesabaran kami mencoba untuk
menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan wawasan yang lebih luas dan dapat menjadi
sumbangan pemikiran kepada para pembaca terutama mahasiswa biologi. Penyusun sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan yang lebih
baik lagi.

Malang, April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................iv
DAFTAR TABEL......................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................2
1.3 Tujuan...................................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................................3
2.1 Fermentasi Metabolit Primer................................................................................3
2.2 Fermentasi Metabolit Sekunder...........................................................................24
BAB 3 PENUTUP....................................................................................................36
3.1 Simpulan..............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Profil asam-asam amino........................................................................................6
Gambar 2.2 Hasil Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis................................................8
Gambar 2.3 Perubahan warna hasil fermentasi.........................................................................9
Gambar 2.4 Kurva Grafik Pertumbuhan..................................................................................10
Gambar 2.5 Hasil uji kualitatif aktivitas proteolitik isolat bakteri Bacillus sp........................16
Gambar 2.6 Grafik hubungan waktu produksi terhadap aktivitas enzim protease Bacillus sp.
B1 pada suhu 37°C dan agitasi 150 rpm..................................................................................17
Gambar 2.7 Grafik pertumbuhan E.gossypii selama 120 jam..................................................19
Gambar 2.8 Kurva standar riboflavin dalam 0,002 M asam asetat dengan R2 0,9989...........20
Gambar 2.9 Produksi riboflavin oleh E. Gossypii menggunakan sumber karbon glukosa
dengan konsentrasi berbeda kontrol tanpa glukosa; □ glukosa 10 g/L; Δ glukosa 20 g/L..............21
Gambar 2.10 Produksi riboflavin oleh E. gossypii menggunakan sumber karbon ikandengan
konsentrasi berbeda. kontrol tanpa ikan; □ ikan 10 g/L; Δ ikan 20 g/L...............................................22
Gambar 2.11 Produksi riboflavin oleh E. gossypii menggunakan sumber karbon glukosa 10 g/L dan
ikan dengan konsentrasi berbeda. kontrol; □ ikan 5 g/L; Δ ikan 10 g/L; x ikan 15 g/L; x ikan 20g/L..23
Gambar 2.12 Model metabolisme produksi riboflavin menggunakan A. Gossypii.............................23
Gambar 2.13 Hasil Uji aktivitas cairan kultur isolat P301......................................................28
Gambar 2.14 Diameter zona hambat radikal (termasuk diameter galian 6 mm) terhadap
S.aureus dari cairan kultur hari ke 1-3 (a), 4-6 (b), 7-9 (c), 10-14 (d) dan 15-20(e)...............30
Gambar 2.15 Profil optimasi waktu produksi metabolit sekunder dari isolat P301................30
Gambar 2.16 Kurva Uji Anti makan Ekstrak Daun Pangi Berdasarkan Tingkat Konsentrasi
terhadap Larva Plutella xylostella ..........................................................................................33

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kandungan proksimat pada talas kukus dan tape talas............................................4
Tabel 2.2 Presentase asam-asam amino pada talas kukus dan tape talas.................................5
Tabel 2.3 Hasil Presentase kadar etanol dan gula reduksi pada glukosa 10%........................12
Tabel 2.4 Hasil presentase kadar etanol dan gula reduksi pada glukosa 15%........................13
Tabel 2.5 Hasil Presentase kadar etanol dan gula reduksi pada glukosa 20%........................14
Tabel 2.6 Nilai aktivitas enzim protease Bacillus sp. B1 dengan berbagai variasi waktu
produksi...................................................................................................................................17
Tabel 2.7 Hasil Penampakan Cairan Kultur...........................................................................................28
Tabel 2.8 Diameter zona hambat radikal terhadap S.aureus..................................................29
Tabel 2.9 Pemberian Perlakuan Ekstrak Daun Pangi masing-masing untuk P. xylostella.....33
Tabel 2.10 Hasil Uji Fotokimia..............................................................................................34
Tabel 2.11 Senyawa penyusun fraksi 3 berdasarkan database NIST02.L..............................35

v
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Metabolisme merupakan suatu proses pembentukan atau penguraian zat di dalam sel
yang di sertai dengan adanya perubahan energi. Proses – proses ini terjadi di dalam sel dapat
berupa pembentukan zat ataupun penguraian zat menjadi zat yang lebih sederhana. Proses
pembentukan zat terjadi pada proses fotosintesis , kemosintesis, sintesis lemak, dan sintesis
protein. Proses penguraian zat dapat berupa respirasi sel dan fermentasi sel (Wirahadikusumah,
1985).

Metabolit primer adalah suatu metabolit atau molekul produk akhir atau produk antara
dalam proses metabolisme makhluk hidup, yang fungsinya sangat esensial bagi kelangsungan
hidup organisme tersebut, serta terbentuk secara intraseluler. Mikroorganisme menghasilkan
metabolit primer seperti etanol dan metabolit sekunder misalnya antibiotik. Metabolit primer
diproduksi pada waktu yang sama dengan pembentukan sel baru, dan kurva produksinya
mengikuti kurva pertumbuhan populasi secara parallel (Hogg, 2005).
Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang dihasilkan tumbuhan yang tidak
memiliki fungsi langsung pada fotosintesis, pertumbuhan atau respirasi, transport solut,
translokasi, sintesis protein, asimilasi nutrien, diferensiasi, pembentukan karbohidrat, protein dan
lipid. Metabolit sekunder seringkali hanya dijumpai pada satu spesies atau sekelompok spesies
berbeda dengan metabolit primer (asam amino, nukelotida, gula, lipid) yang dijumpai hampir di
semua kingdom tumbuhan (Mastuti, 2016).

Metabolit primer memiliki fungsi yang esensial dan jelas bagi kelangsungan hidup organisme
penghasilnya (merupakan komponen esensial tubuh misalnya asam amino, vitamin, nukleotida,
asam nukleat dan lemak). Sedangkan proses metabolisme sekunder menghasilkan senyawa
dengan aktivitas biologis tertentu seperti alkaloid, terpenoid, flavonoid, tannin dan steroid.
Senyawa hasil metabolisme diproduksi sebagai benteng pertahanan tumbuhan dari pengaruh
buruk lingkungan atau serangan hama penyakit. Metabolit sekunder tidak memiliki fungsi
khusus dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Senyawa-senyawa tersebut lebih
dibutuhkan untuk eksistensi kelangsungan hidup tanaman itu di alam (Safiudin , 2014 ).

1
Berdasarkan telaah pustaka diatas, pada makalah ini akan dijabarkan tentang cara kerja
metabolism primer berupa asam amino, etanol,enzim, dan vitamin serta metabolisme sekunder
berupa antibiotik dan biopestisida dalam peranannya untuk kehidupan sehari-hari.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Bagaimana proses metabolisme primer (asam amino, etanol, enzim, vitamin) ?
2. Bagaimana proses metabolism sekunder (antibiotik, pestisida)?
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Mengetahui proses metabolisme primer (asam amino, etanol, enzim, vitamin)
2. Mengetahui proses metabolism sekunder (antibiotik, pestisida)

2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Proses Metabolisme Primer
a. Kajian Asam Amino pada Fermentasi Talas (Colocasia esculenta L. Schott)
(Darmayanti dkk., 2017)
Umbi-umbian merupakan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan pada bagian yang
berada di dalam tanah. Potensi alam Indonesia yang kaya akan berbagai jenis tumbuhan
umbi-umbian, upaya pemanfaatannya sudah berkembang pada masyarakat tradisional
sejak dulu. Menurut Koswara (2014) talas diketahui mengandung berbagai nutrisi seperti
karbohidrat, protein, lemak, Vitamin A, Vitamin C, Vitamin B1, kalsium, fosfor, dan
besi. Kandungan nutrisi terbesar dalam talas adalah karbohidrat dan protein. Dalam setiap
100 g talas mentah mengandung energi (98 kal), protein (1,9 g), lemak (0,2 g),
karbohidrat (23,7 g), kalsium (28,0 mg), fosfor (61 mg), besi (1,0 mg), vitamin A (3 RE),
vitamin C (4,0 mg), vitamin B1 (0,13mg), air (73 g), bahan dapat dimakan (85 %).
Menurut Onayemi dan Nwigwe (1987) talas memiliki kadar lemak yang rendah, pati
yang mudah dicerna, tiamin, riboflavin, niasin serta protein dan asam-asam amino
esensial.
Talas mengandung protein terbesar di keluarga umbi-umbian Protein umum dijumpai
pada produk hewan maupun produk tumbuhan. Protein merupakan polimer dari kurang
lebih 20 jenis asam amino yang berbeda yang disambungkan dengan ikatan peptida.
Asam amino dengan ikatan peptida ini akan membentuk struktur primer protein. Asam
amino terbagi menjadi dua kelompok, yaitu asam amino non-esensial dan asam amino
esensial. Sebanyak 12 jenis asam amino non-esensial diproduksi oleh tubuh, sedangkan 8
asam amino merupakan jenis asam amino esensial yang harus didapatkan melalui
makanan. Selain mengandung nutrisi, tanaman talas juga mengandung antinutrisi seperti
kristal kalsium oksalat, yang menimbulkan rasa gatal dan iritasi pada kulit, mulut,
tenggorokan serta saluran cerna (Koswara, 2014).
Talas memiliki sifat mudah mengalami kerusakan setelah dipanen, baik secara fisik,
kimia maupun mikrobiologi. Untuk mengurangi kerusakan, talas sebaiknya diolah agar
memiliki umur simpan yang lebih lama dan aman dikonsumsi. Umbi talas biasanya
diolah dengan berbagai cara seperti dikukus, direbus, ataupun digoreng. Selain itu talas

3
juga dapat diolah menjadi tepung talas maupun difermentasi menjadi tape talas. Tape
talas merupakan salah satu produk pangan peran penting karena mudah dicerna sistem
pencernaan manusia, memiliki properti sensoris yang unik, serta mengandung nutrien
yang bermanfaat bagi kesehatan (Lu, 2010). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kadar protein serta jenis asam amino yang terdapat pada tape talas (Colocasia
esculenta L. Schott.).
Pembuatan tape talas dilakukan menurut metode dari Koswara (2014). Tahapan
pembuatan tape talas meliputi sortasi, pengupasan kulit talas, pemotongan talas (ukuran 2
x 2 x 2 cm), pengukusan selama 20 menit, pendinginan selama 45 menit, penambahan
ragi sebanyak 0,1%, pencampuran dan fermentasi selama 36 jam. Kadar air dan kadar abu
diukur dengan metode thermogravimetri, kadar protein kasar diukur dengan
menggunakan metode Kjeldahl (AOAC, 2012). Kadar lemak diukur dengan metode
Sohxlet (AOAC, 2012). Analisis kandungan asam-asam amino dilakukan dengan
peralatan High Performance Liquid Chromatography menurut metode dari AOAC (1995)
dan manual ICI instrument (1985). Prosedur meliputi preparasi sampel dan analisis
sampel.
Penelitian terhadap kadar protein dan proksimat dari talas sebelum fermentasi (talas
kukus) dan talas sesudah fermentasi (tape talas), diperoleh hasil seperti ditunjukkan pada
tabel 2.1. Kadar protein, lemak, kadar air dan kadar abu pada tape talas lebih tinggi
dibandingkan dengan talas sebelum difermentasi (talas kukus), sedangkan kadar
karbohidrat dan serat pada tape talas mengalami penurunan. Kadar protein pada talas
kukus sebesar 0,767%, dan mengalami peningkatan setelah difermentasi menjadi 0,870%.

Tabel 2.1 Kandungan proksimat pada talas kukus dan tape talas

4
Kadar asam amino pada talas sebelum fermentasi (talas kukus) dan talas sesudah
fermentasi (tape talas) dianalisis dengan peralatan HPLC. Adapun kadar asam-asam
amino pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Presentase asam-asam amino pada talas kukus dan tape talas
Dari tabel 2.2 terlihat bahwa talas mengandung 13 jenis asam amino, 4 diantaranya
merupakan jenis asam amino esensial yaitu: valin, fenilalanin, isoleusin, dan lisin. Secara
umum kandungan asam amino pada talas sebelum fermentasi (talas kukus) dan sesudah
fermentasi (tape talas) berbeda. Pada tape talas kadar asam amino lebih tinggi
dibandingkan dengan talas sebelum difermentasi (Tabel 2.2). Dari hasil analisis dengan
HPLC diperoleh kromatogram yang menunjukkan profil asam-asam amino pada talas
sebelum fermentasi (talas kukus) dan sesudah fermentasi (tape talas), seperti dapat dilihat
pada Gambar 2.1.

5
Gambar 2.1 Profil asam-asam amino
Hasil penelitian menunjukkan bahwa talas memiliki kadar protein kasar sebesar
0,767% b/b pada talas kukus dan meningkat menjadi 0,870% b/b setelah difermentasi
menjadi tape talas. Menurut Sahlin (1999) selama proses fermentasi terjadi peningkatan
signifikan terhadap fraksi-fraksi terlarut dari suatu produk pangan. Penambahan ragi
NKL (starter) pada proses fermentasi tape menyebabkan terjadinya peningkatan kadar
protein. Dari uraian di atas, talas yang diolah menjadi tape talas (talas fermentasi) dapat
dijadikan sebagai pangan alternatif sumber asam-asam amino baik asam amino esensial
maupun non esensial. Talas yang difermentasi (tape talas) memiliki kadar protein kasar
yang lebih tinggi dibandingkan talas yang tidak difermentasi (talas kukus). Kadar protein
pada tape talas berbanding lurus dengan kadar asam aminonya. Secara umum konsentrasi
asam-asam amino pada tape talas lebih tinggi dibandingkan dengan talas kukus. Asam
amino yang terdapat pada tape talas sebanyak 13 jenis, yaitu: asam aspartat, asam
glutamat, serin, histidin, glisin, treonin, arginin, alanin, tirosin, valin, fenilalanin,
isoleusin, dan lisin di mana 4 jenis diantaranya merupakan asam amino esensial (valin,
fenilalanin, isoleusin, dan lisin).
b. Uji Potensi Fermentasi Etanol dari Beberapa Isolasi Yeast (Sabrina, 2016)
Eksplorasi yeast sebagai agen biofermentor masih sangat kurang padahal yeast
memiliki potensi yang amat baik dalam mengubah glukosa menjadi etanol. Yeast tanah
merupakan salah satu jenis yeast yang berpotensi tinggi sebagai agen biofermentor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi isolat yeast tanah yang telah diisolasi
menggunakan metode SDN (Soil Drive Nutrient) yang bertujuan untuk mengetahui
konsentrasi glukosa terbaik dalam memproduksi etanol. Penelitian ini terdapat beberapa
tahapan yakni antara lain:

6
a. Subkultur Isolat Yeast
Peneliti mengisolasai yeast menggunakan medium YMEA steril dituangkan
ke dalam tabung reaksi sebanyak ± 5 ml. Tabung reaksi tersebut diletakkan pada
posisi miring dan didinginkan sampai medium memadat, kemudian disimpan pada
suhu ruang. Selanjutnya, 5 isolat yeast diinokulasikan pada medium YMEA slant
menggunakan jarum ose dan diinkubasi selama 2-4 hari pada suhu ruang.
Keberhasilan subkultur ditandai dengan tumbuhnya isolat yeast pada medium
YMEA. Isolat yeast ini dikulturkan pada medium YMEA dan YMB dengan metode
gores 16 selama 48-72 jam. Hasil isolasi tersebut menunjukkan bahwa hanya terdapat
2 isolat yang mampu tumbuh yaitu Kloeckera sp. dan Debaryomyces sp., sedangkan
isolat Candida sp. 1., Candida sp.2., dan Lindnera tidak mampu tumbuh. Terdapat
beberapa penyebab tidak tumbuhnya ketiga isolat yeast antara lain faktor ekstrinsik
dan faktor intrinsik. Beberapa faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan
yeast tanah meliputi pH, materi organik, suhu, kelembaban dan nutrisi tanah.
Terdapat faktor internal yang juga turut mempengaruhi kemampuan tumbuh isolat
yeast, seperti genetik sel yang juga memberikan pengaruh terhadap kemampuan
pertumbuhan yeast tanah yang merupakan genus baru. Faktor lain seperti fisiologis
sel dan metabolisme sel yang berbeda-beda pada tiap genus juga dapat menjadi
penyebab kemampuan tumbuh yeast pada tiap genus berbeda-beda.
b. Uji Konfirmasi Yeast (Makroskopis dan Mikroskopis)
Pengamatan karakter makroskopis dilihat berdasarkan kenampakan koloni
yang tumbuh pada medium YMEA yang meliputi; warna koloni, bentuk tepi koloni,
elevasi, permukaan koloni dan tekstur koloni. Hasil yang didapatkan anataralain
yakni koloni yeast Kloeckera sp. dengan ciri elevasi convex, entired margin, dried
surface dan berwarna putih kekuningan. Sedangkan pada isolat Debaryomyces sp.
memiliki ciri elevasi: raise, margin: undulate, dried surface dan koloni isolat yang
berwarna kuning pudar. Warna koloni yang telah diamati ialah putih kekuningan dan
kuning pudar. Menurut Purwanto, (2004) beberapa koloni yeast memiliki warna
khusus seperti kuning, oranye, dan merah. Namun warna putih atau tidak berpigmen
sampai warna krem adalah karakteristik kebanyakan yeast. Isolat yeast hanya
memiliki dua bentuk elevasi yaitu raised dan flat. Tepi koloni yeast beragam seperti

7
entire, filiform, dan undulate. Sedangkan bentuk tepi koloni yeast meliputi smooth,
entire, undulating, lobed, erose, atau membentuk filamen memanjang.
Pengamatan karakter mikroskopis dilakukan saat isolat yeast telah berumur
48 jam dengan menggunakan mikroskop dan pewarnaan laktofenol. Pewarnaan
laktofenol digunakan untuk melihat karakteristik reproduksi generatif seperti
pembentukan askospora, teliospora, dan basidiospora. Selain itu juga untuk melihat
reproduksi vegetatif sel yeast yang meliput pembentukan budding dengan tipe
multipolar, bipolar, unipolar dan fusi, pembentukan spora aseksual meliputi
arthospora, blastospora, dan clamydiospora. Setelah diberikan perlakuan dapat
diketahui bahwa isolat Kloeckera sp. yang teramati memiliki bentuk lonjong
menggelondong, seragam dan single cell dan beberapa sel ditemukan berpasangan.
Sedangkan isolat Debaryomyces sp. memiliki ciri bentuk membulat, single cell.

Gambar 2.2 Hasil Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis


c. Uji Potensi Fermentasi Glukosa
Uji fermentasi gula dilakukan dengan cara 1 ml isolat yeast dari medium
YMB yang telah berumur 24-48 jam diambil lalu diinokulasikan ke dalam media uji
fermentasi yang mengandung glukosa pada tabung yang berbeda. Kemudian tabung
dihomogenkan dan dilakukan inkubasi selama 72 jam pada temperatur 25-280C.
Hasil positif jika terdapat perubahan warna pada medium dan munculnya gelembung
gas pada tabung Durham. Warna media berubah yang awalnya berwarna biru
menjadi kuning karena formasi asam dan gas yang dihasilkan. Pengujian tahap ini
menunjukkan respon positif karena terlihat pada kedua tabung isolat, baik Kloeckera

8
sp. dan Debaryomyces sp. muncul gelembung gas dan terjadi perubahan warna dari
yang sebelumnya berwarna hijau menjadi kuning bening.
Perubahan warna medium mejadi kuning disebabkan karena terdapatnya
indikator bromthymol blue (BTB) dalam medium. Penambahan indikator BTB ke
dalam medium yang mengalami fermentasi menyebabkan perubahan karbohidrat
menjadi asam dalam keadaan aerob, yang membuat pH menurun dan indikator BTB
berubah warna menjadi kuning. Pada media glukosa juga terbentuk gelembung pada
tabung durham yang diletakkan terbalik didalam tabung media artinya hasil
fermentasi berbentuk gas. Indikator BTB dalam larutan asam berwarna kuning dan
dalam larutan basa berwarna biru (Winn, 2006).

Gambar 2.3 Perubahan warna hasil fermentasi


d. Kurva Pertumbuhan Kloeckerasp. Dan Debaryomyces sp.
Pengamatan ini data didapat dari hasil langkah-langkah yakni: diambil 1 ose isolat
yeast kemudian disuspensikan kedalam pada 100 mL air fisiologis steril 0,85% (NaCl
dan aquades), diukur nilai ODnya menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 600 nm hingga mencapai nilai OD = 0,5 [10]. Selanjutnya kultur diambil
20 ml dan ditambahkan ke medium YMB sebanyak 180 ml kemudian diinkubasi
dalam rotary shaker dengan kecepatan 130 rpm pada suhu ruang. Setiap 24 jam
dihitung OD kultur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang
600nm selama 8 hari. Data OD yang didapatkan kemudian dibuat kurva
pertumbuhannya sehingga umur starter dapat ditemukan. Setelah dilaksanakan
tahapan tersebut diketahui kurva yang tertera. Kurva tersebut diketahui bahwa pada
kedua isolat yeast sedang berada pada fase log (eksponensial). Hal ini terlihat dari
grafik yang dalam posisi garis naik mulai jam 0 hingga jam ke 144 (pada Kloeckera
sp.) dan pada jam 0 hingga jam 72 (pada Debaryomyces sp.).

9
Gambar 2.4 Kurva Grafik Pertumbuhan
Pada grafik kurva pertumuhan, sel yeast tidak tampak berada pada fase lag
(adaptasi). Menurut Madigan and J. M. Martinko, (2006), tidak adanya fase lag pada
grafik kurva pertumbuhan dapat disebabkan karena tidak adanya fase adaptasi yang
dilakukan yeast, hal ini dikarenakan komposisi medium yang sama saat subkultur
dan mngukur OD. Kemungkinan lain adalah bahwa isolat yeast telah melewati fase
lag dan sedang berada pada fase log saat pengukuran OD sehingga tidak muncul fase
lag pada grafik pertumbuhan kedua isolat yeast. Sedangkan pada fase log didapatkan
kurva yang relatif cepat karena waktu fase log dipengaruhi oleh komposisi medium,
faktor lingkungan dan jumlah sel per unit volume.
e. Pengukuran Kadar Etanol dan Pengukuran Kadar Gula Reduksi
Pengukuran kadar etanol dilakukan menggunakan piknometer. Piknometer adalah
alat yang digunkaan untuk mengukur nilai massa jenis atau densitas dari fluida. Cara
kerja menggunakan piknometer pertama-tama yaitu dengan menimbang massa
piknometer yang kosong dan kering menggunakan timbangan analitik. Hasilnya
dianggap sebagai W1. Setelah itu mengisi piknometer menggunakan akuades, lalu
ditutup. Piknometer dan akuades ditimbang, berat yang didapat adalah W2. Berat
akuades (W) dihitung dengan cara W2-W1.
Piknometer kering diisi dengan hasil fermentasi, permukaan luar piknometer
dikeringkan dan ditimbang. Hasil yang didapat adalah W3. Berat etanol hasil

10
fermentasi adalah W3-W1=L. Berat air (L) dihitung dengan specific gravity atau spg=
L/W. Nilai spg ditentukan menggunakan tabel AOAC (Analysis of Association of
Official Analitical Chemists) dan selanjutnya persentase etanol dihitung.
Sedangkan untuk pengukuran kadar gula reduksi, Pengukuran kadar gula reduksi
dilakukan dengan menggunakan metode DNS. Larutan Asam 3,5-dinitrosalisilat
(DNS) dibuat terlebih dahulu dengan menimbang 1 gr NaOH, dilarutkan dengan 60
ml akuades, ditambah 18,2 gr Na-K Tartrat, 1 gr asam 3,5-dinitrosalisilat
(ditambahkan perlahan lahan sambil diaduk hingga larut sempurna), kemudian
ditambah 0,2 gr fenol untuk menstabilkan warna dan 0,05 gr Na2SO3. Lalu
dipindahkan kedalam labu ukur, kemudian diencerkan dengan akuades hingga
mencapai 100 mL, kemudian kocok hingga homogen.
Pereaksi DNS yang telah dibuat ditambahkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 4
mL yang berisi 1 mL supernatan sampel hasil hidrolisis. Larutan tersebut dipanaskan
dalam air mendidih selama 2 menit untuk mempercepat reaksi yang ditandai dengan
perubahan warna larutan menjadi lebih pekat, kemudian dipindahkan ke dalam air es
untuk menghentikan reaksi. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang
gelombang 540 nm untuk memperoleh nilai OD. Nilai OD yang didapat dimasukkan
ke dalam persamaan regresi yang dihasilkan dari pembuatan kurva standar glukosa
untuk memperoleh nilai kadar gula reduksi. Pengukuran kadar gula reduksi dilakukan
setiap hari selama 4 hari. Setelah dilakukan perlakuan tersebut maka didapat hasil
dari masing masing persentase Isolat Kloeckera sp dan Debaryomyces sp. sebagai
berikut :
1. Kadar Etanol dan Gula Reduksi Isolat Kloeckera sp. dan Debaryomyces sp.
pada Konsentrasi 10%
Hasil yang didapatkan pada isolat Kloeckera sp. dengan konsentrasi
glukosa 10% mampu menghasilkan kadar etanol sebesar 0,8% sedangkan
isolat Debaryomyces sp. tidak dapat menghasilkan etanol sama sekali.
Menurut Natsir, (2003), yeast mampu membelah dengan cepat dan konstan
mengikuti kurva pertumbuhan logaritmik. Umumnya fase log terjadi saat sel
yeast berumur 24 jam. Pada fase log jumlah sel yeast yang hidup masih lebih
banyak daripada jumlah sel yang mati. Kadar gula reduksi berbanding terbalik

11
dengan kadar etanol, karena apabila yeast mampu menghasilkan etanol maka
kadar gula dalam medium pertumbuhannya semakin sedikit akibat dikonsumsi
oleh isolat yeast. Gula dalam medium pertumbuan yeast, selain digunakan
pertumbuhan selnya juga digunakan untuk menghasilkan metabolit primer
berupa etanol pada proses fermentasi. Sedangkan pada isolat Debaryomyces
sp. tidak terdapat etanol yang dihasilkan. Hal ini dapat dimungkinkan karena
konsentrasi gula pada medium yang terlalu sedikit, sehingga isolat yeast
Debaryomyces sp. hanya dapat memanfaatkan gula untuk pertumbuhannya
saja, tidak mencukupi untuk menghasilkan metabolit primer berupa etanol.

Tabel 2.3 Hasil Presentase kadar etanol dan gula reduksi pada glukosa
10%
2. Kadar Etanol dan Gula Reduksi Isolat Kloeckera sp. dan Debaryomyces sp.
pada Konsentrasi 15%
Hasil dari penelitian diketahui bahwa isolat yang mampu menghasilkan
etanol paling besar dengan konsentrasi gula 15% ialah yeast Debaryomyces
sp. yaitu sebesar 22,95%. Pada isolat yeast Kloeckera sp. tidak menghasilkan
etanol pada jam ke-24, namun kemudian mampu menghasilkan etanol sebesar
0,7% pada jam ke-48. Idealnya, semakin banyak atau pekat kadar gula yang
terdapat dalam medium, maka semakin baik pula yeast dalam menghasilkan
etanol. Namun, isolat Kloeckera sp. tidak mampu menghasilkan etanol pada
jam 24, hal ini dapat dimungkinkan karena gula yang terdapat dalam medium
pertumbuhan hanya dapat dimanfaatkan yeast untuk memenuhi kebutuhan
dalam pertumbuhan sel dan aktivitas intrasel, namun tidak mampu
menghasilkan metabolit primer berupa etanol. Menurut Cheng et all, (2009),
konsentrasi glukosa akan menurun selama fermentasi, bertepatan dengan

12
peningkatan produksi sel dan etanol. Hal ini disebabkan sel-sel mengkonsumsi
glukosa dalam sistem untuk meningkatkan pertumbuhan sel dan produksi
etanol. Jumlah konsumsi gula oleh juga berhubungan dengan produksi etanol.
Ketika yeast memproduksi etanol, maka gula yang di konsumsi akan lebih
tinggi dari pada saat tidak memproduksi etanol. Namun, pada jam ke-48, yeast
Kloeckera sp. mampu menghasilkan etanol sebesar 0,7%, walaupun hanya
sedikit bila dibandingkan dengan etanol yang dihasilkan oleh Debaryomyces
sp.. Walker, (1993), menyatakan bahwa tidak semua gula yang terdapat pada
medium pertumbuhan yeast dimanfaatkan untuk produksi etanol, akan tetapi
ada sebagian gula yang digunakan untuk metabolisme intraseluler, seperti
sintesis enzim, DNA dan lainnya. Pada isolat Debaryomyces sp. mampu
menghasilkan kadar etanol sebesar 22,95% mulai jam ke-24. Selain itu, nilai
gula reduksi pada jam ke-24 juga mengalami penurunan yaitu sebesar 4,332%.
Hal tersebut dapat menandakan bahwa isolat yeast Debaryomyces sp.
mengkonsumsi gula tidak hanya untuk pertumbuhan sel dan metabolisme
intraselnya, namun juga untuk menghasilkan metabolit primer. Alasan lain
yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah kondisi sel yeast Debaryomyces
sp. yang diduga sedang berada pada fase eksponensial, sehingga
dimungkinkan kemampuan yeast tersebut untuk mengkonsumsi nutrisi pada
medium berada pada tingkat maksimumnya.

Tabel 2.4 Hasil presentase kadar etanol dan gula reduksi pada glukosa 15%
3. Kadar Etanol dan Gula Reduksi Isolat Kloeckera sp. dan Debaryomyces sp.
pada Konsentrasi 20%
Berdasarkan data hasil yang diperoleh, diketahui bahwa isolat Kloeckera
sp. pada jam ke-24 tidak mampu menghasilkan etanol, begitu pula dengan

13
isolat Debaryomyces sp.. Pada jam berikutnya, yaitu jam ke-48 isolat
Kloeckera sp. mampu menghasilkan etanol sebesar 20,85%. Dan pada isolat
Debaryomyces sp. jam ke-48, mampu menghasilkan kadar etanol sebesar
20,1%. Namun, isolat Kloeckera sp. mampu meningkatkan hasil etanolnya
pada jam ke-72 hingga 30,75%. Sedangkan etanol yang dihasilkan oleh isolat
Debaryomyces sp. tidak mengalami pertambahan. Salah satu hal yang dapat
menjadi penyebab kedua isolat tersebut tidak mampu menghasilkan kadar
etanol pada jam ke-24 ialah kondisi fisiologis sel yeast yang ada dalam
medium pertumbuhan. Kondisi substrat yang kaya akan gula menyebabkan
kepekatan dalam medium pertumbuhan, sehingga hal ini dapat menyebabkan
sel yeast mengalami kesulitan dalam mengubah gula menjadi metabolit
primer. Kepekatan glukosa dengan konsentrasi 20% dapat menyebabkan sel
mengalami inhibisi antara substrat dengan produk. Selain itu juga dapat
dimungkinkan karena kondisi lingkungan selama proses fermentasi
berlangsung dan kualitas bahan medium pertumbuhan.

Tabel 2.5 Hasil Presentase kadar etanol dan gula reduksi pada glukosa 20%
Terjadi kenaikan jumlah kadar etanol pada jam ke-72 pada isolat
Kloeckera sp., dari 20,85% menjadi 30,75%. Sedangkan pada isolat
Debaryomyces sp. produksi etanol pada jam ke-48 sebesar 20,1% dan tidak
mengalami kenaikan. Kenaikan produksi etanol dapat dimungkinkan karena
isolat Kloeckera sp. sedang mengalami pertumbuhan yang sangat cepat yang
menyebabkan pertumbuhan sel-sel baru menjadi lebih cepat sehingga
mempengaruhi konsumsi gula dan produksi metabolit primernya. Selain itu
juga dapat dikarenakan isolat Kloeckera sp. cenderung mengkonsumsi gula
untuk pertumbuhannya lebih sedikit bila dibandingkan dengan isolat

14
Debaryomyces sp. sehingga mampu menghasilkan etanol dengan jumlah
besar, walaupun kadar gula pada substrat pertumbuhannya sama. Berbeda
dengan Debaryomyces sp. yang membutuhkan lebih banyak isolat gula untuk
pertumbuhannya dibanding untuk memproduksi metabolit primer.
c. Uji Aktivitas Enzim Protease dari Isolat Bacillus sp. Galur Lokal Riau (Yuniati,
2015)
Protease merupakan enzim proteolitik yang mengkatalisis pemutusan ikatan peptida
pada protein. Protease dibutuhkan secara fisiologi untuk kehidupan organisme pada
tumbuhan, hewan maupun mikroorganisme. Mikroorganisme merupakan sumber enzim
yang paling potensial dibandingkan tanaman dan hewan. Penggunanan mikroorganisme
lebih menguntungkan karena pertumbuhannya cepat, dapat tumbuh pada substrat yang
murah, lebih mudah ditingkatkan hasilnya melalui pengaturan kondisi pertumbuhan dan
rekayasa genetik. Beberapa genus bakteri yang diketahui mampu menghasilkan protease
di antaranya Bacillus, Lactococcus, Streptomyces, dan Pseudomonas (Rao dkk., 1998).
a. Uji kualitatif aktivitas proteolitik
Isolat Bacillus sp. B1 diremajakan pada media Nutrient Broth (NB) selama 24 jam
pada 37°C. Uji kualitatif aktivitas enzim protease dilakukan dengan cara
menginokulasikan isolat Bacillus sp. B1 pada media Skim Milk Agar (SMA) dan uji
positif.
b. Produksi dan optimasi waktu produksi enzim protease
Inokulum disipakan dengan cara menambahkan satu ose isolat pada 50 mL NB dan
diinkbasi dalam shaker incubator dengan kecepatan agitasi 120 rpm pada suhu 37°C
selama 24 jam. Inokulum kemudian diinokulasikan pada media produksi Horikoshi.
Inkubasi dilakukan dalam shaker incubator dengan kecepatan agitasi 150 rpm pada suhu
37°C dengan variasi waktu produksi 6, 12, 18, 24, 30, dan 36 jam.
c. Isolasi ekstrak kasar enzim
Enzim protease yang terdapat dalam media produksi dipisahkan dari sel isolatnya
dengan cara sentrifugasi dalam keadaan dingin dengan kecepatan 9500 rpm selama 10
menit. Supernatan disaring dengan filter glass fiber (Whatman GF/C) dan disterilisasi
dengan Corning sterile syringe filter 0,45 µm.
d. Uji aktivitas enzim protease

15
Ekstrak kasar enzim yang telah diisolasi selanjutnya ditentukan aktivitas
proteolitiknya. Sebanyak 1 mL ekstrak kasar enzim ditambahkan pada substrat kasein
0,65% (0,65 gr kasein dalam 100 mL bufer K-Pospat 0,05 M pH 7,5). Campuran reaksi
diinkubasi pada 37°C selama 10 menit. Terminasi reaksi dilakukan melalui penambahan
5 mL reagen TCA 110 mM, dan diinkubasi kembali pada 37°C selama 30 menit.
Sebanyak 2 mL filtrat dipisahkan dengan cara sentrifugasi pada 10000 rpm selama 10
menit. Sebanyak 5 mL Na2CO3 dan 1 mL reagen Folin Ciocalteau ditambahkan ke
dalam filtrat dan diinkubasi pada 37°C selama 30 menit. Absorbansi campuran diukur
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm.
e. Penentuan kadar protein
Kadar protein dalam ekstrak kasar enzim ditentukan menggunakan metode Lowry
dengan bovine serum albumin sebagai standar. Uji positif ditunjukkan dengan adanya
zona bening di sekitar koloni bakteri pada media SMA. Hasil uji kualitatif menunjukkan
bahwa isolat Bacillus sp. B1 merupakan bakteri proteolitik karena mampu menghasilkan
enzim protease yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri.
Isolat Bacillus sp. B1 yang terbukti memiliki aktivitas proteolitik kemudian dijadikan
sebagai starter pada proses produksi enzim protease. Aktivitas proteolitik isolat Bacillus
sp. B1 pada media SMA ditunjukkan pada Gambar 2.5. Protein yang terdapat pada media
selektif SMA bertindak sebagai induser bagi enzim protease. Zona bening yang
dihasilkan merupakan hasil hidrolisis substrat protein yang terkandung dalam media
SMA oleh enzim protease yang dihasilkan oleh isolat bakteri.

Gambar 2.5 Hasil uji kualitatif aktivitas proteolitik isolat bakteri Bacillus sp. B1 (a)
dan kontrol (b) pada media SMA

16
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Bacillus sp. B1 menunjukkan waktu produksi
optimal pada 30 jam dengan aktivitas 19,9194 x 10-3 Unit/mL

Tabel 2.6 Nilai aktivitas enzim protease Bacillus sp. B1 dengan berbagai variasi
waktu produksi
Isolat Bacillus sp. B1 mengalami kenaikan aktivitas dari 6 jam inkubasi pertama hingga
mencapai waktu produksi optimalnya yaitu 30 jam. Setelah mencapai waktu produksi
optimalnya, isolat Bacillus sp. B1 mengalami penurunan aktivitas enzim.

Gambar 2.6. Grafik hubungan waktu produksi terhadap aktivitas enzim protease Bacillus sp. B1
pada suhu 37°C dan agitasi 150 rpm

Aktivitas spesifik enzim protease diperoleh dengan cara membagi hasil aktivitas
enzim protease dengan kadar proteinnya. Kadar protein enzim protease ditentukan dengan
metode Lowry. Aktivitas spesifik enzim protease Bacillus sp. B1 yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 0,2523 ± 0,0050 Unit/mg protein. Aktivitas spesifik enzim
menunjukkan kemurnian suatu enzim. Semakin tinggi aktivitas spesifik enzim, maka
semakin tinggi pula tingkat kemurnian enzim tersebut. Hal ini disebabkan kahilangan
protein nonenzim pada beberapa tahap pemisahan yang dilalui dalam pemurnian enzim

17
(Wijaya, 2002). Aktivitas spesifik juga mengindikasikan bahwa protein yang dihasilkan oleh
mikroba ke media tumbuh merupakan protein target yang diinginkan.
d. Optimasi Produksi Riboflavin (Vitamin B2) dengan Substrat Ikan
menggunakan Eremothecium gossypii (Syarifuddin Idrus, 2012)
Riboflavin atau lebih populer dengan sebutan vitamin B2 merupakan vitamin yang
digunakan sebagai nutrisi, terapi dan juga sebagai pakan tambahan hewan ternak. Studi
lingkungan dan teknoekonomi menunjukkan bahwa produksi riboflavin melalui proses
fermentasi terus meningkat disebabkan karena lebih murah biaya produksinya, limbah yang
dihasilkan lebih sedikit, dan energi untuk produksi lebih rendah. Beberapa studi telah
membuktikan bahwa dua fungi dari class ascomycetes yaitu E. ashbyii dan E. (Ashbya)
gossypii melalui proses fermentasi dapat menghasilkan riboflavin lebih banyak daripada
mikroorganisme lainnya seperti Saccharomyces cerevisiae, Candida famata, atau Bacillus
subtilis. E. ashbyii dan E. (Ashbya) gossypii dengan mempergunakan molase dan glukosa
sebagai sumber karbon dapat memproduksi riboflavin sebanyak 20 g/L, jumlah ini jauh
lebih besar bila dibandingkan dengan Bacillus subtilis (0,1 g/L), Candida flareri (0,6 g/L)
dan Candida guilliermondii (0,2 g/L) (Alosta 2007).
Ikan yang mengandung asam lemak diharapkan dapat menjadi sumber karbon untuk
produksi riboflavin secara fermentasi, mengingat E. (Ashbya) gossypii mampu memotong
lipid (lemak) sebagai sumber karbon melalui alur asam lemak dan menyimpannya sebagai
alur pembentukan riboflavin disamping pembentukan riboflavin melalui alur glukosa (Lim
et.al. 2001). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi
produksi riboflavin (vitamin B2) dengan substrat ikan tak layak konsumsi sebagai sumber
karbon. Produksi riboflavin dilakukan secara fermentasi menggunakan E. gossypii.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
1. Mikroorganisme
E. gossypii (Ashby et Nowell) Kurtzman (ATCC 10895) di tumbuhkan pada
medium potato dekstrosa agar (PDA). Kemudian medium dituangkan kedalam 5
tabung gelas masing 4 mL, tabung gelas dan sisa medium dalam botol pereaksi di
sterilkan pada autoclave temperatur 121°C, 103 kPa selama 30 menit. E. gossypii
ditumbuhkan pada medium, kemudian diinkubasi selama 5 hari pada 37°C dan
disimpan pada 4°C untuk dua bulan penggunaan.

18
2. Komposisi Medium Produksi
Medium produksi dibuat terdiri dari peptone 5.0 g/L; yeast extract 5.0 g/L; malt
extract 5.0 g/L; potassium hydrogen phosphate (K2HPO4) 0.2 g/L; magnesium
sulphate (MgSO4.7H2O) 0.2 g/L. Sebagai sumber karbon digunakan glukosa dengan
konsentrasi 10.0 – 20.0 g/L. Secara simultan akan ditambahkan daging ikan sebanyak
10.0 - 20.0 g/L pada proses produksi.
3. Optimasi Produksi Riboflavin
Penentuan kurva pertumbuhan terlebih dahulu dilakukan untuk mengamati pase
mid-log Eremothecium gossypii dengan menggunakan sumber karbon glukosa.
Sebanyak 5 mL sampel dianalisa setiap 24 jam untuk memonitor biomassa.
4. Analisis Riboflavin
Untuk menentukan konsentrasi riboflavin, 0.5 ml broth kultur dicampur dengan
4.5 ml air suling dan disentrifugasi pada 1000 g selama 10 menit. Supernatan
dipisahkan, dan diuji menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 445
nm.
-Kurva Pertumbuhan Eremothecium gossypii

Gambar 2.7 Grafik pertumbuhan E. gossypii selama 120 jam.


Optimasi pertumbuhan Eremothecium gossypii yang dilakukan dengan biomassa
awal sebanyak 0,06 g/L memiliki laju pertumbuhan (growth rate) maksimum sebesar
0,03 mg/L. Grafik pertumbuhan (Gambar 2.7) memperlihatkan bahwa lag phase atau
phase permulaan tidak terdapat pada kurva sebagaimana pada pola grafik pertumbuhan

19
pada umumnya. Phase stasioner berada pada 72 jam sampai 120 jam, waktu ini
digunakan sebagai acuan untuk produksi riboflavin pada kisaran 3-5 hari. Waktu
pertengahan (mid-log phase) antara phase awal pertumbuhan sampai akhir phase log
adalah 36 jam. waktu pertengahan (mid-log phase) antara phase awal pertumbuhan
sampai akhir phase log adalah 36 jam. Waktu pertengahan sebagai acuan inokulum
penghasil riboflavin dan juga merupakan starter kultur dengan kondisi tumbuh terbaik,
karena enzim-enzim yang berperan pada pertumbuhan telah memproduksi metabolit
primer yang sangat dibutuhkan untuk tumbuhn.
Kurva Standar Riboflavin

Gambar 2.8 Kurva standar riboflavin dalam 0,02 M asam asetat dengan R2 0,9989 yang akan
digunakan untuk menghitung konsentrasi riboflavin hasil fermentasi.
Analisis riboflavin dilakukan secara spektrofotometer pada panjang gelombang
445 nm, panjang gelombang ini diperoleh dari hasil scan riboflavin pada konsentrasi 50
mg/L. Kurva standar (Gambar 2.8) dibuat untuk mengukur konsentrasi riboflavin hasil
fermentasi, dari perhitungan linearitas diperoleh nilai R2 sebesar 0,9989 yang
menandakan tingkat keakuratan kurva sangat tinggi.
Produksi Riboflavin Menggunakan Glukosa

20
Gambar 2.9 Produksi riboflavin oleh E. gossypii menggunakan sumber karbon glukosa dengan
konsentrasi berbeda. ◊ kontrol tanpa glukosa; □ glukosa 10 g/L; Δ glukosa 20 g/L.
Pada 24 jam waktu fermentasi tidak dijumpai adanya riboflavin, hal ini disebabkan
karena riboflavin yang ada pada waktu 0 jam digunakan kembali oleh E. gossypii untuk
tumbuh. Pada 48 jam waktu fermentasi mulai dijumpai sedikit konsentrasi riboflavin.
Waktu optimum produksi riboflavin dijumpai pada 72 jam yang memiliki konsentrasi
tertinggi 40,5 mg/L dengan penggunaan glukosa 10 g/L, pengunaan glukosa 20 g/L
hanya mencapai 32 mg/L, dan kontrol tanpa glukosa tidak terlihat adanya riboflavin.
Tingginya produksi riboflavin pada 10 g/L glukosa dari 20 g/L disebabkan karena pada
20 g/L substrat terlalu berlebih sehingga waktu untuk mencapai kondisi stasioner untuk
memproduksi metabolit sekunder menjadi lebih panjang. Pada kontrol tanpa glukosa
riboflavin yang diproduksi akan dipergunakan kembali untuk menjadi sumber karbon
sehingga riboflavin tidak dijumpai. Pada 96 jam dan 120 jam waktu fermentasi terlihat
bahwa produksi riboflavin mulai menurun hal ini disebabkan karena riboflavin yang
diproduksi mulai digunakan kembali oleh E. gossypii sebagai tambahan sumber karbon
mengingat sumber karbon glukosa menipis seiring waktu fermentasi.
Produksi Riboflavin Menggunakan Ikan

21
Gambar 2.10 Produksi riboflavin oleh E. gossypii menggunakan sumber karbon
ikandengan konsentrasi berbeda. ◊ kontrol tanpa ikan; □ ikan 10 g/L; Δ ikan 20 g/L.
Waktu optimum fermentasi berada pada 72 jam dengan jumlah riboflavin lebih besar
pada 10 g/L ikan sebesar 24,8 mg/L, sedangkan pada 20 g/L ikan mencapai 18,6 mg/L.
Pada 96 jam dan 120 jam waktu fermentasi terlihat bahwa produksi riboflavin menjadi
lebih sedikit hal ini disebabkan karena riboflavin hasil produksi digunakan kembali oleh E.
gossypiisebagai tambahan sumber karbon mengingat sumber karbon ikan mulai berkurang
seiring waktu fermentasi.
Produksi Riboflavin Menggunakan Glukosa dan Ikan

22
Gambar 2.11 Produksi riboflavin oleh E. gossypii menggunakan sumber karbon glukosa 10 g/L
dan ikan dengan konsentrasi berbeda. ◊ kontrol; □ ikan 5 g/L; Δ ikan 10 g/L; x ikan 15 g/L; x
ikan 20g/L.
Penggunaan sumber karbon glukosa dan ikan bersama-sama ternyata menghasilkan
riboflavin lebih banyak dari penggunaan glukosa maupun ikan secara terpisah. Waktu optimum
berada pada 72 jam waktu fermentasi dengan jumlah riboflavin yang diproduksi sebesar 51,2
mg/L untuk jumlah ikan yang ditambah sebesar 10 g/L. Hasil ini lebih besar dari hasil
penambahan ikan pada 5 g/L, 15 g/L dan 20 g/L. Pada 96 jam dan 120 jam waktu fermentasi
terlihat bahwa produksi riboflavin mulai menurun hal ini disebabkan karena riboflavin yang
diproduksi mulai digunakan kembali oleh E. gossypii sebagai tambahan sumber karbon.

23
Gambar 2.12 Model metabolisme produksi riboflavin menggunakan A. gossypii
Bila ditinjau dari pathway pembentukan riboflavin oleh Eremothecium gossypii,
terdapat dua jalur pembentukan riboflavin (Gambar 6), jalur pertama dari jalur glukosa
yang akan diubah menjadi 3-phosphoglycerate (3PG) kemudian melalui pathway piruvat di
mitokondria akan diubah menjadi guanin triphosphat (GTP) yang merupakan starter
pembentukan riboflavin. Jalur kedua yaitu dari jalur trigliserida (lemak) yang oleh lipase
akan diubah menjadi asam lemak, melalui sitoplasma lemak akan dibawa menuju
peroxisome diubah menjadi malate dan kemudian menjadi guanin triphosphat. sehingga
terlihat bahwa pada waktu optimal 72 jam penggunaan substrat glukosa dan ikan
memproduksi riboflavin (51,2 mg/L) lebih besar dari waktu optimal 72 jam dengan
substrat glukosa (40,5 mg/L) maupun ikan (24,8 mg/L).

2.2 Proses Metabolisme Sekunder


a. Aktivitas Cairan Kultur Bakteri Penghasil Antibiotik (Isolat P301) terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Optimasi Waktu Produksi Metabolit
Sekunder
Multiresistensi bakteri terhadap antibiotik menimbulkan masalah yang serius pada
pengobatan penyakit infeksi. Oleh karena itu, pencarian antibiotik baru merupakan hal
yang harus dilakukan untuk mengatasi hal tersebut (Oskay, et al, 2004). Mikroorganisme
penghasil antibiotik tersebar dalam berbagai golongan, meliputi bakteri, Actinomycetes
dan fungi. Salah satu habitat dari mikroba tersebut adalah tanah. Populasi mikroba tanah
banyak ditemukan di daerah rizosfer, yaitu lapisan tanah yang mengikuti sistem
perakaran tanaman (Dakora, et al, 2002). Banyak mikroba rizosfer yang menjadi sumber
penghasil antibiotik. Isolat P301 merupakan bakteri penghasil antibiotik yang diisolasi
dari rizosfer tanaman padi. Isolat P301 telah diskrining aktivitasnya dengan metode agar
block dan menunjukan mampu menghambat S. aureus. Namun, isolat ini belum diuji
lebih lanjut tentang kemampuannya menghasilkan antibiotik dalam media cair. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas cairan kultur isolat P301
terhadap S. aureus maupun waktu fermentasi optimal untuk produksi metabolit sekunder
(antibiotik). Lama fermentasi yang optimal didasarkan pada aktivitas penghambatan
supernatan cairan kultur terhadap bakteri uji. Waktu produksi metabolit sekunder (lama

24
fermentasi) yang optimal dapat diperoleh dengan melakukan optimasi waktu produksi
metabolit sekunder. Optimasi waktu produksi metabolit sekunder dapat ditentukan
dengan membuat grafik hubungan antara waktu inkubasi dengan diameter zona hambat
(Rante, et al, 2010).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sterilisasi dan Pembuatan Kultur Starter
Alat-alat yang disterilkan diantaranya erlenmeyer 250 mL yang berisi media Starch
Nitrate Broth (SNB) sebanyak 50 mL dan magnet stirer, erlenmeyer 500 mL yang berisi
media SNB sebanyak 100 mL dan magnetic stirer, pinset, tabung Eppendorf, alat-alat
gelas seperti corong dan gelas ukur. Kedua erlenmeyer ditutup dengan kertas payung
dengan rapat, pinset dibungkus dengan kertas payung, tabung eppendorf dimasukkan
dalam toples kaca yang diatasnya ditutup dengan alumunium foil, untuk alat-alat gelas
dibungkus menggunakan kertas payung. Sterilisasi yang menggunakan autoclave pada
suhu 121˚C selama 20 menit diantaranya erlenmeyer yang sudah berisi media SNB,
pinset, tabung eppendorf. Sedangkan untuk sterilisasi yang menggunakan oven pada suhu
171˚C selama 2 jam yaitu alat-alat gelas.
Selanjutnya pembuatan starter dilakukan dengan cara memasukkan 1 koloni isolat P301
ke dalam erlenmeyer yang berisi media SNB sebanyak 50 mL yang sudah disterilkan .
kultur starter diinkubasi pada suhu kamar selama 5 hari dengan pengadukan
menggunakan Termoline.
2. Preparasi Kultur Uji
Preparasi kultur uju dilakukan dengan cara memasukkan 10 mL starter ke dalam
erlenmeyer yang berisi 100 mL media SNB yang sudah disterilkan. Selanjutnya
dilakukan inkubasi selama 20 hari dengan pengadukan menggunakan Thermolyne.
Selama inkubasi, setiap hari diambil 1 mL kultur dan dimasukkan ke dalam tabung
Eppendorf dan diberi label, lalu disimpan dalam freezer. Selanjutnya, semua kultur dalam
Eppendorf tersebut dikeluarkan dari freezer dan didiamkan di kulkas sampai mencair.
Kultur uji yang sudah mencair, kemudian disentrifugasi menggunakan SORVALL
Biofage primo R dengan kecepatan 5000 G selama 40 menit untuk diambil supernatnnya.
Supernatan ini disebut sampel cairan kultur
3. Pembuatan Stok Bakteri S. aureus

25
Diambil 1 ose bakteri S. auereus dari stok biakan murni lalu dalam 1 mL BHI, diinkubasi
pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Selanjutnya diambil 1 ose dari kultur cair tersebut dan
digoreskan pada media agar TSA. Biakan diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam.
Setelah bakteri tumbuh disimpan pada suhu 4°C sebagai stok bakteri.
4. Pembuatan Suspensi Bakteri S. aureus
Satu ose dari stok bakteri disuspensikan ke dalam media cair BHI 1 mL, diinkubasi pada
suhu 37°C selama 18-24 jam. Suspensi bakteri diambil 100 μL dimasukkan ke dalam
tabung berisi 1 mL BHI lalu diinkubasi selama 3-5 jam pada suhu 37°C.
5. Pengujian Aktivitas Cairan Kultur Isolat P301 terhadap S. aureus
Cawan petri yang berisi media Agar Mueler Hinton diolesi secara merata dengan
suspensi bakteri S. aureus. Setelah itu dibuat galian pada media Mueller Hinton dengan
menggunakan alat pembolong (cork corer) berdiameter 0,6 cm. Sebanyak 50 μL kultur
starter dimasukkan ke dalam galian dan diinkubasi pada 37°C selama 18-24 jam untuk
diamati diameter zona hambatnya.
6. Optimasi Waktu Produksi Metabolit Sekunder
Optimasi dilakukan dengan metode sama dengan uji aktivitas cairan kultur. Cairan kultur
harian yang diambil selama 20 hari diuji aktivitasnya terhadap S. aureus. Setelah itu,
setiap galian diisi dengan cairan kultur kurang lebih sebanyak 50μL sesuai dengan urutan
harinya. Setelah semua galian diisi media disimpan di kulkas selama 2 jam, kemudian
diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam untuk diamati zona hambatnya. Profil
optimasi waktu produksi metabolit sekunder dibuat berdasarkan hubungan antara waktu
inkubasi dengan diameter zona hambat.
7. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mengukur diameter zona hambat di sekitar cawan petri
yang diisi cairan kultur isolat P301 terhadap pertumbuhan S. aureus. Optimasi waktu
produksi metabolit sekunder dianalisis dengan membuat grafik hubungan antara waktu
inkubasi dengan diameter zona hambat yang dihasilkan.
Penelitian lanjutan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan menghasilkan antibiotik
dari isolat P301 terhadap S. aureus bila dikultur pada media cair SNB (Starch Nitrate Both).
Selain itu, penelitian tentang optimasi waktu produksi metabolit sekunder isolat P301 sebagai
penghasil antibiotik adalah untuk menentukan lama waktu fermentasi yang terbaik untuk

26
memproduksi metabolit sekunder (antibiotik). Setelah melalui banyak metode yang digunakan
dapat dihasilkan sebagai berikut:
1. Preparasi Cairan Kultur Isolat P301
Penelitian ini media yang digunakan untuk mengkultur isolat P301 adalah SNB.
Media SNB mempunyai kadnungan sumber karbon dan mineral. Sumber karbon media
SNB berasal dari souble starch yang mengandung sejumlah C yang beragam dari pati dan
gliserol (Ali et al, 2009). Sumber nitrogen anorganik (NO3-) berasal dari KNO3, mineral-
mineral yang berasal dari magnesium, natrium, besi, kalium yang merupakan komposisi
dari media SNB.
Kultur isolat P301 ini diinkubasi pada suhu kamar karena suhu optimum untuk
pertumbuhan Actinomycetes adalah pada suhu sekitar 25-35°C (Sulistyani, 2006). selama
proses kultur terjadi perubahan warna kultur, yaitu dari tidak berwarna (pada hari ke-0)
hingga kuning kecoklatan mulai hari ke-9. Secara keseluruhan hasil pengamatan harian
warna kultur isolat P301 dirangkum pada Tabel 2.7. Dari hasil Tabel 2.7 terlihat bahwa
pada hari ke kedua media SNB berwarna kuning pucat dan sudah mengalami kekeruhan
serta terdapat butiran-butiran halus yang tersebar didasar media. Hal ini menunjukkan
adanya pertumbuhan bakteri. Perubahan warna tersebut terjadi hingga inkubasi hari ke-20
yaitu dari warna kuning pucat berubah menjadi warna coklat kehitaman. Oleh karena itu,
perubahan warna yang terjadi pada cairan kultur isolat P301 juga disebabkan karena
isolat P301 mengeluarkan pigmen warna kuning hingga kecoklatan. Hal ini juga sesuai
dengan hasil penelitian sebelumya yang menunjukkan bahwa isolat P301 mempunyai
pigmen terdifusi berwarna kuning pada media SNA. Perubahan warna cairan kultur isolat
P301 tersebut juga diikuti dengan bertambahnya jumlah pelet atau tingkat kekeruhan dari
hari ke hari. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sel bakteri yang dari hari ke hari
semakin bertambah akibat adanya pertumbuhan sel, dan kemudian jumlah tersebut
konstan setelah hari ke-10.
Selama inkubasi, setiap hari dilakukan pengambilan kultur hingga hari ke-20.
Selanjutnya cairan kultur disentrifugasi, tujuan dilakukan sentrifugasi ini adalah untuk
memisahkan antara supernatan dengan endapan atau biomassa dari kultur yang diperoleh.
Supernatan ini disebut sampel cairan kultur yang akan digunakan untuk menguji aktivitas
dai cairan kultur isolat P301 terhadap S. aureus.

27
Tabel 2.7 Hasil Penampakan Cairan Kultur
2. Uji Aktivitas Cairan Kultur Isolat P301 terhadap S. aureus
Uji aktivitas cairan kultur isolat P301 terhadap S. aureus ditujukan untuk mengetahui ada
tidaknya senyawa antibiotik dalam cairan kultur tersebut yang dapat menghambat
pertumbuhan S. aureus. Hasil penelitian menunjukkan adanya zona hambat (jernih) pada
media dengan diameter 12,00 mm. Hasil uji aktivitas cairan kultur ini dapat dilihat pada
Gambar 2.13. Zona hambat terbentuk karena senyawa antibitik dalam cairan kultur
berdifusi ke dalam agar dan menyebabkan tidak tumbuh atau terhambatnya pertumbuhan
S. aureus. Hasil penelitian terhadap potensi antibiotik isolat P301 dengan metode agar
block menunjukkan penghambatan yang tinggi yaitu dengan zona hambatan 20,0 mm.
Tujuan utama uji aktivitas cairan kultur pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah cairan kultur yang dihasilkan menunjukkan aktivitas antibiotik terhadap S.
aureus. Hal ini dilakukan karena kemampuan produksi antibiotik pada media padat tidak
selalu sama dengan bila dikultur pada media cair. Hasil penelitian Moncheva et al dan
Sulistiyani juga menunjukkan bahwa hasil uji positif (aktif) pada metode agar block
tidak selalu menghasilkan aktivitas juga pada cairan kulturnya. Oleh karena itu, bila hasil
uji aktivitas dengan metode agar block menunjukkan mampu menghambmat bakteri
tertentu, hasilnya belum tetntu sama dengan hasil uji dengan metode galian.

Gambar 2.13 Hasil Uji aktivitas cairan kultur isolat P301

28
Tabel 2.8 Diameter zona hambat radikal terhadap S.aureus
3. Optimasi Waktu Produksi Metabolit Sekunder
Profil optimasi waktu produksi metabolit sekunder dapat digunakan untuk
menentukan jangka waktu (durasi) yang tepat (optimal) dalam melakukan fermentasi
untuk memproduksi antibiotik (Nanjwade et al, 2010). Pada penelitian ini, optimasi
waktu produksi metabolit sekunder ditentukan dengan membuat grafik hubungan antara
waktu inkubasi dengan diameter zona hambat pertumbuhan S. aureus dari tiap cairan
kultur yang diambil tiap hari. Gambaran hasil optimasi disajikan pada Gambar 2.14 dan
Gambar 2.15. Pada gambar 2.14, tampak jelas bahwa zona hambat yang berupa jernih
melingkar di sekeliling galian mulai nampak pada hari ke-3. Dengan bertambahnya hari
inkubasi, zona tersebut semakin melebar hingga hari ke-11 dan kemudian konstan.
Pertambahan lebar zona hambat menunjukkan bahwa jumlah antibiotik dalam cairan
kultur menjadi semakin besar.
Hasil pengukuran diameter zona hambat radikal terhadap S. aureus menunjukkan
bahwa pada hari ke-3 cairan kultur isolat P301 sudah menghasilkan metabolit sekunder
berupa antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus dengan diameter
zona hambat sebesar 0,70 cm. Ukuran diameter tersebut dari hari ke hari semakin
bertambaha dan produksi antibiotik tertinggi mulai hari ke-11 dengan diameter zona
hambat sebesar 2,175 cm. Produksi antibiotik tampak konstan setelah diinkubasi selama
11 hari, sehingga waktu panen antibiotik yang optimal yaitu setelah diinkubasi selama 11
hari. Oleh karena itu, durasi fermentasi yang baik untuk memproduksi antibiotik dari
isolat P301 adalah 11 hari.
Durasi fermentasi menjadi salah satu hal yang harus ditetapkan untuk
mendapatkan produk metabolit sekunder maupun produk lain yang diinginkan secara

29
optimal. Antibiotik yang merupakan metabolit sekunder banyak dihasilkan pada akhir
fase eksponensial dan fase stasioner (Darwis dan Sukara, 1989). Optimasi-optimasi yang
lain masih diperlukan, karena produksi antibiotik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
komponen media dan kondisi kultur, seperti agitasi, aerasi, pH, dan temperatur yang
berbeda-beda untuk setiap organisme. Komponen media yang berpengaruh adalah
struktur kimia media dan konsentrasinya.
Sumber karbon nitrogen biasanya memberikan pengaruh dalam produksi antibiotik.
Agitasi akan mempengaruhi aerasi dan pencampuran nutrient dalam media fermentasi,
sehingga hasil metabolit dapat ditingkatkan melalui peningkatan agitasi (Augustine et al,
2005). Oleh karena itu penelitian ini masih perlu dilanjutkan dengan optimasi berbagai
kondisi tesebut, sehingga data diperoleh kondisi fermentasi yang paling optimal. Setiap
isolat mikroba penghasil antibiotik memerlukan kondisi yang berbeda-beda dalam
memproduksi antibiotik.

Gambar 2.14 Diameter zona hambat radikal (termasuk diameter galian 6 mm) terhadap
S.aureus dari cairan kultur hari ke 1-3 (a), 4-6 (b), 7-9 (c), 10-14 (d) dan 15-20(e)

Gambar 2.15 Profil optimasi waktu produksi metabolit sekunder dari isolat P301

30
b. Kajian Biopestisida dari Ekstrak Daun Pangi (Pangium sp.)
Senyawa anti makan adalah suatu zat yang jika diujikan terhadap serangga akan
menghentikan nafsu makan secara sementara atau permanen. Penelusuran tumbuh-
tumbuhan yang dapat menghasilkan biopestisida, seperti anti makan (antifeedant) untuk
mengendalikan hama serangga, sangat menarik perhatian para peneliti di seluruh dunia.
Hal ini disebabkan karena dalam perlindungan tanaman, senyawa anti makan tidak
membunuh, mengusir atau menjerat serangga hama, tetapi hanya menghambat selera
makan dari serangga tersebut, sehingga tanaman pangan atau tanaman komoditi dapat
terlindungi. Selain itu, senyawa anti makan sangat spesifik terhadap serangga sasaran,
karena tidak mengganggu serangga lain sehingga tidak berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup organisme lainnya (Salaki, 2012).
Beberapa senyawa anti makan yang telah berhasil diisolasi dari tumbuhan,
diantaranya adalah senyawa isopimpinolin, bergapten, santotoksin, dan japonin dari daun
Orixa japonica yang aktif anti makan terhadap Spodoptera littura. Isolasi dari plubagin,
suatu senyawa naftokuinon dari Plumbago capenensis yang berpotensi sebagai anti
makan terhadap ulat tentara (Army worm) dari Afrika. Selain itu lima senyawa turunan
kromen yang secara struktur berkaitan dengan benzopuran telah berhasil diisolasi dari
salah satu species tumbuhan pada famili Astaceae, yang mana senyawa ini bersifat racun
kontak dan antimakan terhadap Spodoptera littoralis (Salaki, 2012).
Pangi (Pangium edule Reinw) merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang
berpotensi untuk dikembangkan pada lahan agroforestry. Pangi merupakan jenis
komoditas kelompok nabati, yang semua bagian pada tanaman pangi dapat
dimanfaatkan. Buah atau biji tanaman pangi memiliki nilai ekonomi karena dapat
dijadikan sayur ataupun kue tradisional, selain itu batang sebagai bahan kontruksi
sedangkan biji dan daunnya dapat dimanfaatkan (Nawir, 2017). Pangi merupakan salah
satu tumbuhan baik akar, batang, daun, buah dan biji memiliki banyak manfaat. Pangi
adalah salah satu sumber daya alam hayati hutan Indonesia yang memiliki kandungan
senyawa alami antimikroba. Pada daun, buah dan biji pangi memiliki kandungan
senyawa kimia yang besifat racun dengan taraf konsentrasi tertentu. Biji pangi yang
mengandung lemak jika difermentasi akan menghasilkan lemak siklik tidak jenuh yaitu
asam hidrokarpat, khaulmograt dan goulat. Selain itu, biji pangi terkandung senyawa

31
asam sianida, saponin, flavonoid, alkaloid, tanin dan polifenol. pangi juga dapat
digunakan sebagai insektisida hayati. Zat-zat toksik pada kandungan Biji pangi
dimungkinkan dapat digunakan untuk membunuh beberapa hama serangga yang tidak
menguntungkan bagi manusia (Sampe dan TH. Watuguly, 2016)
Penelitian mengenai penggunaan biopestisida terhadap serangga Plutella
xylostella dilakukan oleh Salaki, Evie, dan Jantje (2012). Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Entomologi Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado,
mencakup ekstraksi senyawa daun pangi dan uji anti makan senyawa tersebut.
Untuk mengekstraksi senyawa aktif anti makan
Masing-masing serbuk daun pangi sebanyak 5500 g dimaserasi dengan 15 L metanol
dan n-heksana sampai semua komponen terekstraksi. Ekstrak metanol dan n-heksana yang
diperoleh, disaring kemudian diuapkan dengan menggunakan penguap putar vakum sampai
diperoleh ekstrak kental metanol dan n-heksana. Ekstrak kental metanol dilarutkan kembali
dengan metanol kemudian dipartisi dengan n-heksana 12 X 20 mL sehingga diperoleh
ekstrak n-heksana dan ekstrak metanol. Ekstrak n-heksana dan ekstrak metanol diuapkan
hingga diperoleh ekstrak kental n-heksana dan ekstrak kental metanol. Kedua ekstrak
kemudian diuji anti makan. Ekstrak kental dengan aktivitas antimakan terbesar dilanjutkan
pada proses pemisahan dan pemurnian.
Uji hayati anti makan
Uji hayati anti makan dilakukan sesuai metode Qin dkk., 2004. Untuk mengetahui
golongan senyawa aktif anti makan terhadap ekstrak kental dilakukan dengan mengambil
masing-masing ekstrak untuk dibuat konsentrasi 1% (b/v), 5% (b/v), dan 10% (b/v). Larutan
uji ini dioleskan merata pada bagian belakang dari media uji (daun kubis) dengan
menggunakan kuas pada paruh kiri sedangkan pelarut pada paruh kanan sebagai kontrol, lalu
dikeringkan. Pelarut yang digunakan untuk kontrol sesuai dengan pelarut dari ekstrak
kentalnya. Daun media uji dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah diberi lapisan kain
kasa atau kapas basah untuk kelembaban. Daun ditutup dengan petri yang lebih kecil yang
diberi lubang ditengahnya dengan diameter 3,5 cm. Di atas penutup daun diletakkan 5 ekor
larva P. xylostella yang telah dipuasakan selama empat jam, kemudian diinkubasi pada suhu
kamar selama 24 jam, Setelah 24 jam daun media uji diambil dan dilakukan perhitungan

32
luas daun yang dikomsumsi hewan uji. Uji aktivitas anti makan terhadap fraksi hasil kolom
kromatografi maupun isolat dilakukan dengan cara yang sama.
Hasil dari penelitian ditunjukkan pada grafik berikut:

Tabel 2.9 Pemberian Perlakuan Ekstrak Daun Pangi masing-masing untuk P.


xylostella

Gambar 2.16 Kurva Uji Anti makan Ekstrak Daun Pangi Berdasarkan Tingkat
Konsentrasi terhadap Larva Plutella xylostella
Pengamatan menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,1% (b/v), jumlah sektor yang
dimakan oleh larva adalah 151 sektor kemudian pada konsentrasi 5% (b/v), jumlah sektor yang
dimakan menurun pada 91 sektor dan konsentrasi 10% (b/v), jumlah sektor yang dimakan
menunjukkan penurunan jauh yaitu 42 sektor. Dari hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa
penurunan jumlah sektor yang dimakan oleh larva sebanding dengan kenaikan konsentrasi
ekstrak yang diujikan. Hal ini menjelaskan bahwa ekstrak daun pangi dapat menjadi antifeedant
bagi P. xylostella. Hasil uji penghambatan aktivitas makan disimpulkan bahwa ekstrak heksana

33
pada sampel daun pangi dalam keadaan segar memiliki aktivitas yang tinggi terutama pada
konsentrasi 10% (Salaki, dkk, 2012).
Uji statistik menunjukkan bahwa variasi konsentrasi berpengaruh pada terhadap peng-
hambatan aktivitas makan larva P. xylostella. Pengaruh konsentrasi 10% (b/v) berbeda nyata
dengan kedua konsentrasi dan kontrol. Sedangkan, konsentrasi 5% (b/v) tidak berbeda nyata
dengan konsentrasi 10% (b/v) tetapi berbeda nyata ter- hadap konsentrasi 1% dan kontrol
(Salaki, dkk, 2012).
Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Antifeedant dari Daun Pangi juga dilakukan oleh
Mahardika, dkk (2014) dengan cara maserasi dan hasil ekstraksi kemudian diidentifikasi dengan
uji fitokimia dan kromatografi. Sebanyak 500 g serbuk kering daun pangi diekstrak dengan cara
maserasi selama 24 jam dengan menggunakan pelarut n-heksana sampai semua serbuk terendam.
Proses ekstraksi dilakukan sebanyak 3×1000 mL. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan
dengan menggunakan penguap putar vakum (rotary evaporator) sampai diperoleh ekstrak kental
n- heksana. Ekstrak kental n-heksana kemudian diuji aktivitas antifeedantnya dengan
menggunakan Plutella xylostella sebagai bioindikator dan dilanjutkan dengan proses pemisahan
dan pemurnian. Pemisahan dan pemurnian terhadap ekstrak aktif antifeedant dilakukan dengan
teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan kromatografi kolom. Fraksi hasil pemisahan
kromatografi kolom diuji kembali aktivitas antifeedantnya sehingga didapat fraksi yang memiliki
aktivitas antifeedant tertinggi. Isolat aktif antifeedant ini lalu diidentifikasi dengan uji fitokimia
dan kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS).
Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Uji Fitokimia Pereaks Perubahan yang terjadi Ket.
i
Flavonoid HCl + Mg Tidak ada (hijau-hijau) -
Alkaloid Meyer Tidak ada endapan -
Wagner Tidak ada endapan -
Saponin Ditambah air lalu dikocok Tidak timbul busa -
Steroid/Triterpeno Libierman Buchard + H2SO4 Hijau-merah ungu +
id pekat (Triterpenoid)
Tanin HCl 2M Tidak ada (hijau-hijau) -
Tabel 2.10 Hasil Uji Fotokimia

34
No Puncak Waktu % M+ Senyawa dugaan
. senyawa Retensi Area
1. Puncak 1 4,87 7,01 136 α – pinen
2. Puncak 2 6,45 4,96 120 Trimetilbenzena
3. Puncak 3 16,29 4,13 125 asam triflorotetradecilasetat
4 Puncak 4 18,54 4,91 207 Nonadekena
5. Puncak 5 21,38 6,07 280 13-hexyloxacyclotridec-10-en-2-
on
6. Puncak 6 21,73 47,74 278 Phytol
7. Puncak 7 22,42 4,28 283 3-eicosene
8. Puncak 9 25,43 6,35 279 asam
diisooktilbenzendikarboksilat
Tabel 2.11 Senyawa penyusun fraksi 3 berdasarkan database NIST02.L.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ekstrak
n- heksana daun pangi memiliki aktivitas antifeedant dengan nilai aktivitas antifeedant sebesar
47,23%, 66,83% dan 67,72% berturut-turut pada konsentrasi 0,1%(b/v), 5%(b/v) dan
10%(b/v). Dari hasil identifikasi menggunakan kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS),
isolat aktif n- heksana daun pangi mengandung minimal 11 senyawa dengan 8 senyawa yang
berhasil terindentifikasi yaitu α – pinen; trimetilbenzena; asam triflorotetradecilasetat;
nonadekena; 13- hexyloxacyclotridec-10-en-2-on; phytol; 3- eicosene; asam
diisooktilbenzendikarboksilat. Senyawa phytol diketahui memiliki aktivitas antifeedant terhadap
tumbuhan Callicarpa Japonica.

35
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Fermentasi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar protein. Talas yang


difermentasi (tape talas) memiliki kadar protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan talas
yang tidak difermentasi (talas kukus). Kadar protein pada tape talas berbanding lurus dengan
kadar asam aminonya. Secara umum konsentrasi asam-asam amino pada tape talas lebih
tinggi dibandingkan dengan talas kukus. Asam amino yang terdapat pada tape talas sebanyak
13 jenis, yaitu: asam aspartat, asam glutamat, serin, histidin, glisin, treonin, arginin, alanin,
tirosin, valin, fenilalanin, isoleusin, dan lisin di mana 4 jenis diantaranya merupakan asam
amino esensial (valin, fenilalanin, isoleusin, dan lisin).
2. Kenaikan produksi etanol dapat dimungkinkan karena isolat Kloeckera sp. sedang mengalami
pertumbuhan yang sangat cepat yang menyebabkan pertumbuhan sel-sel baru menjadi lebih
cepat sehingga mempengaruhi konsumsi gula dan produksi metabolit primernya. Selain itu
juga dapat dikarenakan isolat Kloeckera sp. cenderung mengkonsumsi gula untuk
pertumbuhannya lebih sedikit bila dibandingkan dengan isolat Debaryomyces sp. sehingga
mampu menghasilkan etanol dengan jumlah besar, walaupun kadar gula pada substrat
pertumbuhannya sama. Berbeda dengan Debaryomyces sp. yang membutuhkan lebih banyak
isolat gula untuk pertumbuhannya dibanding untuk memproduksi metabolit primer.
3. Isolat Bacillus sp. B1 merupakan bakteri proteolitik yang ditandai dengan terbentuknya zona
bening di sekitar koloni bakteri pada media SMA. Isolat Bacillus sp. B1 memiliki waktu
produksi optimal pada 30 jam dengan aktivitas enzim (19,9194 ± 0,0015)x10-3 Unit/mL dan
aktivitas spesifik sebesar 0,2523 ± 0,0050 Unit/mg protein.
4. Penggunaan substrat ikan sebagai sumber karbon untuk produksi riboflavin dapat dilakukan
melalui proses fermentasi menggunakan E. gossypii. Waktu optimal yang dibutuhkan untuk
produksi riboflavin berada pada 72 jam. Penggunaan substrat glukosa sebagai sumber karbon
optimal pada 10 g/L dengan jumlah riboflavin yang diperoleh sebesar 40,5 mg/L. Penggunaan
ikan sebagai sumber karbon optimal pada 10 g/L dengan jumlah riboflavin 24,8 mg/L.
Penggunaan substrat campuran glukosa dan ikan sebagai sumber karbon optimal pada 10 g/L
dengan jumlah riboflavin yang dihasilkan sebesar 51,2 mg/L.
5. Cairan kultur Isolat P301 mampu menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Pemanenan antibiotik yang optimal dapat dilakukan setelah diinkubasi minimal selama
11 hari berdasarkan uji aktivitas terhadap Staphylococcus aureus.
6. Ekstrak n- heksana daun pangi memiliki aktivitas antifeedant dengan nilai aktivitas
antifeedant sebesar 47,23%, 66,83% dan 67,72% berturut-turut pada konsentrasi 0,1%(b/v),
5%(b/v) dan 10%(b/v). Dari hasil identifikasi menggunakan kromatografi gas-spektroskopi
massa (GC-MS), isolat aktif n- heksana daun pangi mengandung minimal 11 senyawa dengan

36
8 senyawa yang berhasil terindentifikasi yaitu α – pinen; trimetilbenzena; asam
triflorotetradecilasetat; nonadekena; 13- hexyloxacyclotridec-10-en-2-on; phytol; 3- eicosene;
asam diisooktilbenzendikarboksilat. Senyawa phytol diketahui memiliki aktivitas antifeedant
terhadap tumbuhan Callicarpa Japonica.

37
DAFTAR PUSTAKA
Ali A. 2009. Skrining dan Karakterisasi parsial senyawa antifungi dari actinomycetes asal limbah
padat sagu terdekomposisi. Berkala Penelitian Hayati 14:219-25
Alosta H.A. 2007. Riboflavin Production by Encapsulat Candida Flareri. Oklahoma State
University.
Augustine SK, Bhavsar SP, Kapadis BP. 2005. Production of growth dependent metabolite
active against dermatophytes by Streptomyces rochei AK 39. Indian Journal of Medicine
121:164-170
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists.
Washington DC.
AOAC. 2012. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists.
Washington DC.
Cheng, Ngoh Gek., Hasan, Masitah., Kumoro, Andri Chahyo., Ling, Chew Fui., Tham,
Margaret., 2009. Production of Ethanol by Fed-Batch Fermentation. Pertanika J.SCi &
Technol 17 (2):399-408
Dakora FD, Donald AP. 2002. Root axsudates as mediators of mineral acquisition in low-
nutrient environments. Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Plant
and Soil 245: 35-47
Darwis AA dan Sukara E.1989. Teknik Mikrobial. Bogor: PAU IPB
Hogg, S., 2005, Essential Microbiology. England: John Willey & Sons Ltd
Idrus, S. 2012. OPTIMASI PRODUKSI RIBOFLAVIN (VITAMIN B2) DENGAN SUBSTRAT
IKAN MENGGUNAKAN Eremothecium gossypii. Majalah BIAM, vol. 13 (1).
J.C.F Walker. 1993. Primary Wood Pcocessing Principles and Practice. Chapman and Hall.
London.
Koswara, S. 2014. Modul Teknologi Pengolahan Umbi-umbian, Bagian 1: Pengolahan Umbi
Talas. Seafast Center IPB.
Lu, Y. 2010. The Development of a Cured, Fermented Sheepmeat Sausage Design to Minimise
Species and Pastoral-diet Flavours. Thesis. AUT University.

38
Mahardika, Ida B.P, dkk. 2014. Identifikasi Senyawa Aktif Antifeedant Dari Ekstrak Daun Pangi
(Pangium Sp) Dan Uji Aktivitasnya Terhadap Ulat Kubis (Plutella xylostella). Jurnal
Kimia. Vol. 8, No. 2.
Mastuti, R. 2016. Modul Metabolit Sekunder dan Pertahanan Tumbuhan. Malang: Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Brawijaya
M. T. Madigan and J. M. MartinkO. 2006. Brock: Biology of Microorganisms, 11th ed. USA:
Pearson Prentice Hall, pp: 705
Nanjwade BK, Chandrashekhara S, Goudanavar PS, Shamarez AM, Manvi FV. 2010.
Production of antibiotics from soil-isolated actinomycetes and evaluation of their
antimicrobial activities. Tropical Journal of Pharmaceutical Research August 9(4):373-7
Natsir. 2003. Mikrobiologi Farmasi Dasar. Universitas Hasanudin: Makassar
Nawir, Munawwarah, dkk. 2017. Pemanfaatan Tanaman Pangi (Pangium Edule Reinw) pada
Lahan Agroforestri Desa Watu Toa Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng.
Jurnal Hutan dan Masyarakat, Vol. 9, No. 2.
Onayemi, O. and Nwigwe, N.C. 1987. Effect of processing on the oxalate content of cocoyam.
Foof Technology 20: 293-295.
Oskay M, Terner U, Azeri C. 2004. Antibacterial activity of some actinomycetes isolate from
farming soils of Turkey. African Journal of Biotechnology 3(9): 441-6
Purwanto. 2004. Aktivitas Fermentasi Alkoholik Cairan Buah. Jurnal Universitas Widya
Mandala Madiun. No. 1 th. XXXII/ISSN 0854-1981
Qin, W.Q., Z.Q. Peng, and B. Ling. 2004. Oviposition deterring and anti–feeding effect of
extracts of 20 tropical plants on diamondback moth (Plutella xylostella). Chinese Journal
of Tropical Crops. 1: 49– 53.
Rao, M.B., Tanksale, A.M., Ghatge, M.S., dan Deshpande, V.V. 1998. Molecular and
biotechnological aspects of microbial proteases. Microbiology and Molecular Biology
Reviews. 62:597-635.
Rante H, Murti YB, Alam G. 2010. Purifikasi dan Karakterisasi senyawa antibakteri dari
Actinomycetes asosiasi spons terhadap bakteri patogen resisten. Majalah Farmasi
Indonesia 21(3): 158-165

39
Sahlin, P. 1999. Fermentation as a Method of Food Processing: Production of Organic Acids,
pH-Development and Microbial Growth in Fermenting Cereals. Thesis. Lund Institute of
Technology.
Salaki, Christina L. dkk. 2012. Biopestisida Dari Ekstrak Daun Pangi (Pangium sp.) Terhadap
Serangga Plutella Xylostella Di Sulawesi Utara. Eugenia. Vol. 18, No. 3.

Saifudin, A. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder Teori, Konsep, dan Teknik Pemurnian.
Yogyakarta : Deepublish
Sulistyani TR. 2006. Isolasi dan Karakterisasi Antibiotik dari Isolat Actinomycetes Tanah Pulau
Timor Bagian Barat (NTT). Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Sampe, Viesta dan Th. Watuguly. 2016. Efektivitas Ekstrak Biji Pangi (Pangium Edule Reinw)
terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Anopheles. Biopendix. Vol. 2, No. 2.
Wijaya, S. 2002. Isolasi kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma harzianum.
Jurnal Ilmu Dasar. 3: 30-35.
Winn Jr, Washington C., et al. 2006. Koneman’s Color Atlas and Textbook of Diagnostic
Microbiology, 6th Ed, USA, Lippincott Williams & Wilkins, p 251-259
Wirahadikusumah, M. 1985. Biokimia: Metabolisme Energi, Karbohidrat, dan Lipid. Bandung:
ITB.
Yuniati, R., Nugroho, T. T., & Puspita, F. 2015. Uji Aktivitas Enzim Protease dari Isolat Bacillus
sp. Galur Lokal Riau. JOM FMIPA. 1(2):116-123

40

Anda mungkin juga menyukai