Anda di halaman 1dari 28

Makalah Ilmu Lingkungan :

“PERMASALAH LINGKUNGAN LOKAL”

(Diajukan sebagai tugas mata kuliah ilmu lingkungan)

OLEH

MEGAWATI K. DANIAL
432417048
S1-BIOLOGI 2017

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA UNIVERSITAS NEGERI


GORONTALO

TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan rahmatnya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini. Penulis juga tidak lupa
mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengasuh mata kuliah ini yang
telah membimbing penulis untuk memperdalam ilmu tentang Pengetahuan
Lingkungan. Makalah ini dibuat dengan tujuan, untuk bisa mengetahui berbagai
masalah yang terjadi di lingkungan sekitar kita.

Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan oleh penulis guna untuk penyempurnaan makalah ini.

Gorontalo, 27 November 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

 Halaman

KATA PENGANTAR ..........................................................................................I


DAFTAR ISI ........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang......................................................................................1
1.2.Rumsan Masalah...................................................................................2
1.3.Tujuan....................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Pengrtian Lingkungan Hidup...............................................................5
2.2. Pengaruh Manusi dan Lingkungan Hidup............................................ 7
2.3. Isu atau Permasalahan Lingkungan
Lokal.............................................9
2.4. Contoh dan Dampak Permasalhan Lingkungan
Lokal.........................10
2.5. Study Kasus Permasalahan Lingkungan Lokal...................................13

BB III PENUTUP
Kesimpulan...............................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Lingkungan merupakan bagian terpenting dan mendasar dari kehidupan


manusia. Sejak dilahirkan manusia sudah berada dalam lingkungan baru dan
asing baginya. Dari lingkungan baru inilah sifat dan perilaku manusia terbentuk
dengan sendirinya. Lingkungan yang baik akan membentuk pribadi yang baik,
sementara lingkungan yang buruk akan membentuk sifat dan perilaku yang
buruk pula. Anak-anak berkembang dari suatu hubungan interaksi antara
kondisi dalam diri dan kondisi lingkungan luar. Artinya, lingkungan memiliki
hubungan dengan manusia. Lingkungan dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku manusia. Sebaliknya, kehidupan manusia juga akan mempengaruhi
lingkungan hidupnya (Budi Juliardi, 2014: 182).
Persoalan lingkungan mulai menjadi topik dunia ketika manusia mulai
merasakan dampaknya yang semakin meluas yakni terlihat pada banyaknya
bencana yang terjadi di muka bumi ini akibat berbagai aktivitas manusia itu
sendiri seperti banjir, pencemaran air akibat limbah industri, dan lain
sebagainya. Masalah lingkungan hidup sebenarnya sudah lama terjadi bahkan
tanpa campur tangan manusia. Kerusakan dan pencemaran lingkungan makin
dipercepat karena meningkatnya aktivitas manusia dan sifat manusia yang
serakah.
Masalah lingkungan merupakan isu nyata yang sudah menjadi
perbincangan ramai dalam Konferensi PBB mengenai lingkungan hidup yang
diadakan di Stockholm, Swedia 15 Juni 1972. Di tahun yang sama pada tanggal
15-18 Mei, Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan
Nasional oleh Universitas Pajajaran membahas isu mengenai masalah
lingkungan hidup untuk pertama kalinya di Indonesia. Kenyataan mengenai

4
laju pertumbuhan populasi penduduk yang kian tahun kian meningkat
merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam masalah lingkungan.
Pertumbuhan penduduk membuat pembangunan dan industri semakin
diperlukan sementara itu pembangunan dan industri juga memberikan dampak
yang negatif terhadap lingkungan yang kemudian akan berimbas kepada
manusia. Permasalahan lingkungan dapat dikategorikan masalah lingkungan
lokal, nasional, regional dan global. Pengkategorian tersebut berdasarkan pada
dampak dari permasalahan lingkungan, apakah dampaknya hanya lokal,
nasional, regional atau global. Bila kita melihat bumi secara utuh maka bumi
merupakan satu sistem yang utuh dan tidak bisa dipisah-pisahkan.

2. 1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai


berikut :

1. Mengetahui Pengertian lingkungan hidup?


2. Bagaimana Pengaruh Manusia terhadap Lingkungannya ?
3. Apa Isu atau Permasalahan Lingkungan Lokal ?
4. Apa saja contoh dan Dampak Permasalahan Lingkungan Lokal ?
5. Bagaimana Study Kasus Permasalahan Banjir ?

3.1. Tujuan

1. Dapat mengetahui Pengertian Lingkungan Hidup.


2. Dapat mengetahu Bagaimana Pengaruh Manusia terhadap Lingkungan.
3. Dapat mengetahui Isu atau Permasalahan Lingkungan Lokal
4. Dapat mengetahui apa saja contoh dan Dampak Permasalahan Lingkungan
Lokal.
5. Dapat mengetahui Study Kasus Permasalahan Banjir.

5
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Lingkungan Hidup
Hamparan laut biru yang luas, dataran, bukit-bukit, pegunungan, langit
yang biru yang disinari matahari, semuanya merupakan lingkungan alam.
Lingkungan hidup mencakup lingkungan alam yang meliputi lingkungan fisik,
biologi, dan budaya. Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 4 tahun 1982 yang
disempurnakan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997
pasal 1 menyebut pengertian lingkungan hidup sebagai berikut “Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Menurut Esa (2010), Masalah lingkungan telah menjadi isu yang menjadi
perhatian penting bagi berbahai pihak pada beberapa tahun terakhir. Permasalahan
lingkungan disebabkan oleh faktor alam dan manusia, namun aktivitas manusia
memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap lingkungan, salah satunya
menyebabkan pencemaran (Tivani, 2016).
Dalam situasi sistem dunia yang semakin mengglobal saat ini, isu
mengenai lingkungan hidup juga semakin bersifat transnasional. Keberlanjutan
dan kelestarian lingkungan menjadi pembahasan yang sangat kompleks dalam
ranah hidup manusia karena dampak – dampak dari permasalahan lingkungan ini
dapat dengan jelas ditemukan tidak hanya pada satu kawasan tertentu tapi saling
berkaitan antara satu dengan lainnya (mis. perubahan iklim, degradasi lingkungan,
hujan asam, banjir, krisis energi, dsb.) (Betsill & Bulkeley, 2010).
Lingkungan hidup sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut merupakan suatu sistem yang meliputi lingkungan alam hayati,
lingkungan alam nonhayati, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial. Semua
komponen-komponen lingkungan hidup seperti benda, daya, keadaan, dan

6
makhluk hidup berhimpun dalam satu wadah yang menjadi tempat berkumpulnya
komponen itu disebut ruang.

2.2. Pengaruh Manusia terhadap Lingkungannya


            Manusia dengan pengetahuannya mampu mengubah keadaan lingkungan
sehingga meguntungkan dirinya, untuk memenuhi kebutuhannya. Awalnya
perubahan itu dalam lingkungan yang kecil dan pengaruhnya sangat terbatas. Pada
zaman Neolitikum kira-kira 12.000 tahun yang lalu, nenek moyang kita dari
berburu kemudian memelihara hewan buruannya. Dari manusia pemburu berubah
menjadi manusia pemelihara, dari manusia nomadis berubah menjadi manusia
menetap. Mulailah berkembang cara bercocok tanam. Ekosistem sekarang ini
dalah ekosistem baru yang diciptakan manusia, sesuai dengan kebutuhan manusia.
Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan manusia untuk mengubah
lingkungan semakin besar. Sehingga, manusia ingin menguasai alam. Alam yang
awalnya tetap dapat mempertahankan keseimbangan sekarang keseimbangan itu
hilang dan timbul kerusakan di mana-mana karena, ulah tangan manusia.
(Maskoeri Jasin, 1988:132).
Menurut Hisein (1995), Dalam suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin
suatu interaksi yang harmonis dan seimbang antar komponen-komponen
lingkungan hidup. Stabilitas keseimbangan dan keserasian interaksi antar
komponen lingkungan tersebut tergantung pada usaha manusia. Karena manusia
adalah komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi
lingkungan. Begitu juga sebaliknya, lingkungan pun mempengaruhi manusia.
Sehingga terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antar manusia dan
lingkungan hidupnya. Inilah yang merupakan interaksi antara manusia dan
lingkungan.
Menurut Listiawati (2013), Aktivitas manusia yang menimbulkan
kerusakan lingkungan diantaranya penambangan batu dan pasir secara ilegal
sehingga beresiko tanah longsor, illegal logging, pengalihan lahan hutan menjadi
perkebunan, eksploitasi flora dan fauna yang berlebihan serta penggunaan
teknologi yang tidak ramah lingkungan.

7
Berbagai kerusakan ditimbulkan manusia, sekarang ini banyak manusia
yang menyadari pentingnya alam untuk kelangsungan hidup mereka. Perlahan
manusia memperbaiki alam yang telah rusak dan mengurangi hal-hal yang
merugikan alam. Manusia melakukan upaya penyelamatan hutan dan makhluk
hidup lain yang menggantungkan kehidupannya pada alam. Namun, banyak pula
manusia yang terus mencemari alam tanpa memikirkan resiko yang ditimbulkan
ke depan. Mengembalikan keseimbangan alam merupakan pekerjaaan yang sulit
dan selalu menginginkan terciptanya lingkungan hidup seperti yang diharapkan.

2.3. Isu atau Masalah Lingkungan Lokal


Menurut Keumurur (2008), Permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi
dunia maupun Indonesia banyak disebabkan oleh sikap dan perilaku manusia
terhadap lingkungan hidupnya. Perilaku individu terhadap lingkungan
mencerminkan literasi lingkungan mereka (Pe’er, Goldman, & Yavetz, 2007).
Alasan yang mendasari terjadinya masalah lingkungan secara lokal maupun global
erat hubungannya dengan gaya hidup manusia dan aktivitas mereka yang
melibatkan lingkungan alam. Kebutuhan atas berkembangnya kesadaran dan
kemampuan untuk mencegah masalah lingkungan merupakan hal yang penting
untuk keberlanjutan masa depan dan kualitas hidup, dalam hal ini pendidikan pada
umumnya dan pendidikan lingkungan bisa menjadi solusi (Erdogan & Ok, 2011).
Isu lingkungan lokal merupakan hal yang sangat mudah dilihat bahwa
Indonesia masih mempunyai kesadaran yang rendah terhadap isu lingkungan
terutama masyarakatnya yang kebanyakan masih terlalu terfokus pada usaha
untuk bertahan hidup dan mendapatkan kehidupan yang lebih layak secara
ekonomi sehingga mereka melakukan segala upaya untuk mendapatkan uang lebih
meskipun hal ini berarti mereka harus mengancam lingkungan dan alam. Kegiatan
ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan kini masyarakat mulai
merasakan imbas atas apa yang mereka lakukan terhadap alam. Berbagai macam
isu lingkungan muncul di berbagai wilayah di Indonesia dan tentu saja banyak
masyarakat yang merasakan derita baik secara langsung maupun tidak langsung
atas kerusakan alam yang terjadi di wilayah mereka. Boleh saja kita tidak
memberikan tanggapan serius terhadap isu lingkungan global seperti kerusakan

8
lapisan ozon karena pada dasarnya daerah yang terimbas pertama kali bukan
Indonesia melainkan kutub bumi meskipun kemudian tentu ada imbas besar yang
akan dirasakan oleh rakyat Indonesia. Kini, banyak peristiwa yang membawa
derita yang harus dialami oleh banyak orang di daerah asalnya masing-masing dan
hal ini terjadi bukan tanpa sebab yang berkaitan dengan ulah manusia terhadap
alam.
Saat ini masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Sebagaimana
telah diketahui bersama bahwa lapisan ozon kini semakin menipis. Dengan terus
menipisnya lapisan itu, sangat dikhawatirkan bila lapisan itu tidak ada atau
menghilang sama sekali dari alam semesta ini. Tanpa lapisan ozon sangat banyak
akibat negatif yang akan menimpa makhluk hidup di muka bumi ini, antara lain:
penyakit-penyakit akan menyebar secara menjadi-jadi, cuaca tidak menentu,
pemanasan global, bahkan hilangnya suatu daerah karena akan mencairnya es
yang ada di kutub Utara dan Selatan. Jagat raya hanya tinggal menunggu masa
kehancurannya saja. Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi
masalah ini. Para ilmuwan memberikan berbagai masukan untuk mengatasi
masalah ini sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Para sastrawan pun tak
ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah yang telah santer
belakangan ini.

2.4. Contoh dan Dampak Masalah Lingkungan Lokal

1. Dampak kebakaran hutan.


Dampak dari pembakaran hutan adalah memberikan kontribusi CO2
diudara, hilangnya keanekaragaman hayati, ekonomi hasil hutan dan Asap. Asap
yang dihasilkan dapat menganggu kesehatan (system pernafasan) dan dapat
mengganggu aktivitas lainnya seperti penerbangan. Dampak asap ini tidak hanya
bersifat local akan tetapi bisa berdampak pada Negara lain.Contoh kebakaran
hutan asapnya sampai ke Negara singapura dan Malaysia.
Menurut Sutarno (2015), Pengubahan fungsi sejumlah hutan menjadi
lahan perkebunan khususnya kelapa sawit yang terjadi di pulau Kalimantan
menyebabkan deforestasi huran. Pulau Kalimantan kehilangan sekitar 2/3 tutupan

9
hutannya dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Pengubahan fungsi hutan
menyebabkan terjadinya kerusakan habitat spesies yang tinggal di dalamnya.
Kerusakan habitat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati seperti
yang dilaporkan dalam Living Planet Report 2014 oleh World Wildlife Fund
(WWF) internasional menyebutkan bahwa selama kurun waktu antara 1970 dan
2010, populasi mamalia, reptil, amfibi, burung dan ikan di seluruh dunia turun 52
persen (Fajar, 2014).

2. Sampah di Perkotaan dan di Pemukiman.


Sampah - sampah di perkotaan dan di pemukiman sudah sangat
meresahkan warga dikarenakan tempat pembuangannya yang belum juga tertata
rapi dengan bau yang sangat menggangu serta masih kurang nya kesadaran
masyrakat akan sampah, membuat masyrakat membuang sampah tidak pada
tempatnya, contoh: sungai, parit, tepi jalan. Produksi sampah dari waktu ke waktu
selalu mengalami peningkatan, baik sampah dari pasar, rumah tangga, industri
maupun pertanian.
Menurut Chandra (2010). Masalah sampah saat ini menjadi salah satu isu
yang paling sering dibicarakan baik oleh pemerintah, peneliti maupun badan
organisasi ditingkat internasional, nasional maupun lokal. Kendala dalam
pengelolaan sampah adalah kurangnya koordinasi antar instansi terkait, lemah
sistem/peraturan tentang pengelolaan sampah dan kurangnya kepedulian
masyarakat.
Dampak negatif sampah:
-          Dampak terhadap Kesehatan.
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan
sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa
organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat
menjadi sumber penyebaran penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat
ditimbulkan adalah terjangkitnya penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan
cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat
bercampur air minum, penyakit demam berdarah dapat juga meningkat dengan
cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.

10
-          Dampak terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi
Dampaknya akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan
bagi masyarakat, bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena
sampah bertebaran dimana-mana. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat
menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum
seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain. Infrastruktur lain dapat juga
dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, seperti tingginya
biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan sampah
kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan.
Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaiki.
3.      Kekeringan
Kekeringan adalah kekurang air yang terjadi akibat sumber air tidak dapat
menyediakan kebutuhan air bagi manusia atau mahluk hidup lainnya. Kekeringan
dan banjir yang berkepanjangan akibat perubahan iklim dan pengelolaan tata air
yang tidak baik sehingga kapasitas air tanah terlalu rendah atau terlalu tinggi
menyebabkan produksi padi turun secara signifikan (Ruminta & Handoko, 2016).
Dampak kekeringan:
Dampak dari kekeringan bisa menyebabkan gangguan pada kesehatan,
keterancaman pangan.
4.      Banjir
Banjir merupakan fenomena alam ketika sungai tidak dapat menampung
limpaan air hujan karena proses infiltrasi mengalmi penurunan.Hal tersebut terjadi
karena daerah hijau sebagai penahan larian air hujan berkurang.
Dampak banjir:
Dampak dari banjir menyebabkan gangguan kesehatan, keterkendalaan
kegiatan aktivitas manusia, penurunan produktivitas. Dampak banjir merupakan
dampak lokal, akan tetapi bisa juga menjadi skala nasional seperti banjir dijakarta
yang menghambat aktivitas nasional karena bandara terisolasi.
5. Longsor

11
Longsor yang terjadi di Aceh tengah menyebabkan terkurungnya ribuan
warga kecamatan Rusip Antara.  Longsor adalah terkikisnya daratan oleh air
lairan (run off) karena penahan air larian (daerah hijau) berkurang.
Dampak longsor:
Dampak dari longsor bisa berdampak terjadinya kerusakan tempat tinggal
atau tempat kegiatan aktivitas seperti ladang, sawah dan juga bisa menganggu
transportasi kegiatan perekonomian. Dampaknya sangat dirasakan bagi daerah
lokal dan ada kemungkinan berantai kedaerah lainnya.
6. Erosi Pantai (Abrasi).
Erosi di kawasan Ujong Mangki Kecamatan Bakongan dan Ujong Pulo
Rayek kecamatan Bakongan Timur Kabupaten aceh selatan kian meluas, bahkan
rumah warga yang berada di pesisir pantai mulai terkikis ombak.
Erosi adalah terkikisnya lahan daratan pantai akibat gelombang air laut.
Erosi ini terjadi karena kurangnya vegetasi seperti bakau yang biasa tumbuh di
bibir pantai. Kurangnya vegetasi ini disebabkan karena kurangnya kesadaran
masyarakat akan kelestarian pantai.
Dampak erosi pantai:
Dampak erosi pantai berdampak lokal dan dapat menyebabkan kerusakan
tempat tinggal, dan hilang potensi ekonomi seperti kegiatan pariwisata.
7. Intrusi Air Laut
Masuknya air laut (asin) mengisi ruang bawah tanah akibat air tanah telah
banyak digunakan oleh manusia dan tidak adanya tahanan intrusi air laut seperti
kawasan mangrove.
Dampak intrusi air laut:
Dampak dari intrusi air laut adalah terjadinya kekurangan stok air tawar,
nmenganggu kesehatan.
2.5. Study Kasus Permasalahan Lingkungan Lokal

Contoh 1:
EMBUNG SEBAGAI ALTERNATIF CADANGAN AIR
PADA SAWAH TADAH HUJAN
(Study Kasus Kecamatan Kroya Kabupaten Indramayu)

12
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang terletak di
Provinsi Jawa Barat sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur
berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon, sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Sumedang, Majalengka, dan Cirebon dan sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Subang.
Kecamatan Kroya Kabupaten Indramayu Jawa Barat, memliki luas sekitar
37,16 Km2 dan sebagian besar lahan di daerah ini merupakan sawah tadah hujan.
Mata pencaharian utama masyarakat adalah petani, umumnya komoditi yang
terdapat di daerah ini adalah padi sawah. Pada umumnya rata-rata produksi di
Kecamatan Kroya adalah 4-5 ton/ha. Sawah tadah hujan bergantung pada pasokan
air hujan dan akan mengalami kekeringan dimusim kemarau panjang, sehingga
menurunkan perekonomian masyarakat.
Selin itu topografi Kecamatan Kroya yang relatif datar sehingga air yang
turun akan lebih banyak limpas dari pada terserap kedalam tanah, hal tersebut
dapat dilihat dari bentangan lanskapnya sebagian besar pesawahan dan
permukiman. Sumber air di Kecamatan Kroya adalah mata air dan irigasi. Jika
menggunakan air tanah, maka biaya yang dikeluarkan cukup besar dan perlu
pemeliharaan daerah tangkapan air agar air tanah terus banyak, selanjutnya
mengandalkan irigasi sulit dijadikan satu-satunya alternatif dikarenakan luas lahan
sawah yang besar sedangkan pasokan air tidak dapat memenuhi.
Kabupaten Indramayu memiliki luas wilayah 204.011 ha yang terdiri dari
pemukiman seluas 26.094 ha (12,8 %), lahan sawah 110.913 ha (54,4 %), hutan
29.420 ha (14,4 %), dan selebihnya adalah tegalan, ladang, perkebunan, tambak
dan lain-lain. Topografi Kabupaten Indramayu relatif datar dengan kemiringan
lahan sebagian besar antar 0-2 % seluas 203.259 ha. Kondisi ini sangat sulit untuk
drainase terutama pada musim hujan sehingga tidak jarang terjadi banjir di
sebagian wilayah di Kabupaten Indramayu.
Rata-rata curah hujan selama periode 10 tahun (1994-2003) dari stasiun
pengamatan di wilayah Dinas Pengairan Indramayu adalah 1.417 mm, terendah
1.038 mm di Sumurwatu dan tertinggi 1.942 mm di Indramayu (Bambang. Dkk

13
2005). Sedangkang menurut Setiadi dan Sulistijanti (2017) mengatakan, “Curah
hujan di Kabupaten Indramayu dalam kurun waktu Januari 2010 hingga Desember
2016 mengalami penurunan di empat bulan awal tahun dan empat bulan terakhir
perlahan intensitasnya meningat, curah hujan tertinggi pada bulan Januari 2017
sebesar 610 mm dan terendah pada bulan Agustus tahun 2014 sebesar 18 mm”.
Kabupaten Indramayu merupakan daerah sentra produksi padi terbesar di
Jawa Barat pada tahun 2012-2016 dengan rata-rata produksi sebanyak
1.401.811ton (BPS, 2017 dalam Nuraisah dan Kusumo, 2019). Namun produksi
hasil padi sawah dibeberapa daerah di Kabupaten Indramayu masih tergolong
belum maksimal hal
tersebut disebabkan terkendala sulitnya pasokan air untuk mengairi sawah-sawah
para petani atau masih mengandalkan turunnya hujun (sawah tadah hujan)
terutama saat musim tanam yang kedua khsusunya di Kecamatan Kroya.
Kecamatan Kroya, memliki luas sekitar 37,16 Km2 dan sebagian besar lahan di
daerah ini merupakan
sawah tadah hujan. Berdasarkan wawancara dengan beberapa petani di Desa
Kroya menyatakan bahwa kurang maksimalnya hasil panen padi salah satunya
adalah kurang pasokan air yang memadahi terutama ketika musim tanam yang
kedua.
Selain itu hujan tahun 2019 belum dapat diandalkan karena hujan tidak
intens/setiap hari, tentu ini akan mempengaruhi hasil panen nanti. Sehingga jika
hujan tidak berkelanjutan suplai air untuk sawah tidak ada, sungai sering tidak ada
air dan pasokan air yang dikirim dak bertahan lama, hal tersebut
mengkhawatirkan akan mempengaruhi hasil panennya. Topografi Kecamatan
Kroya yang relative datar menyebabkan air yang turun akan lebih banyak limpas
dari pada terserap kedalam tanah, hal tersebut dapat dilihat dari bentangan
lanskapnya sebagian besar pesawahan dan permukiman. Sumber air di Kecamatan
Kroya adalah mata air dan irigasi. Jika menggunakan air tanah, maka biaya yang
dikeluarkan cukup besar dan perlu pemeliharaan daerah tangkapan air agar air
tanah terus banyak, selanjutnya mengandalkan irigasi sulit dijadikan satu-satunya

14
alternative dikarenakan luas lahan sawah yang besar sedangkan pasokan air tidak
dapat memenuhi.
Alternatif yang mungkin dilakukan adalah pembuatan bak penampung air
hujan atau lebih dikenal dengan embung. Embung merupakan sebuah
penampungan air (reservoir) yang digunakan untuk menyediakan air bersih,
pertanian dan ternak dalam skala terbatas dan dapat digunakan pada saat musim
kemarau. Hal tersebut didukung pula berdasarkan data-data dan informasi
narasumber, bahwa solusi alternatif untuk meminimalisir kekurangan pasokan air
di sawah tadah hujan agar petani tidak merasakan kekeringan ketika waktu tanam
dimulai dan pasokan air berkurang adalah bak penampung air hujan (embung).
Diharapkan dibuatnya kolam atau waduk kecil (embung) dapat menampung air
hujan ketika musim hujan dan digunakan ketika musim kemarau, selain itu
embung juga dapat mencegah/mengurangi luapan air hujan dan menekan resiko
banjir.
Embung Penampung Air Hujan
Menurut Budi (2011) mengatakan bahwa tersedianya air selama masa
pertanaman padi sawah merupakan syarat mutlak bagi kesuburan tanah. Air
tersedia di dalam tanah maupun berasal dari air hujan tidak selamanya mencukupi
kebutuhan tanaman pada selama pertumbuhan. Oleh sebab itu pengaturan
penggunaan air pengairan selama pertanaman padi sawah secara efisien sangat
diperlukan guna mencapai keuntungan yang sebesara-besarnya (Kompas, 1978
dalam Mardikanto, 1994 dalam Utama, 2011).
Selanjutnya Utama (2011) mengatakanbahwa manfaat embung adalah:
a. Menyediakan untuk air tanaman di musim kemarau.
b. Meningkatkan produktifitas lahan, masa pola tanam dan pendapatan
petani di lahan tadah hujan.
c. Mengaktifkan tenaga kerja petani pada musim kemarau sehingga
mengurangi urbanisasi dari desa ke kota.
d. Mencegah atau megurangi luapan air di musim hujan dan menekan resiko
banjir.

15
e. Memperbesar peresapan air ke dalam tanah. Kolam embung akan
menyimpan air di musim hujan dan kemudian air dimanfaatkan oleh
masyarakat desa hanya selama musim kemarau untuk memenuhi
kebutuhan dengan urutan prioritas penduduk, ternak, kebun dan sawah.
Jumlah kebutuhan tersebut akan mempengaruhi tinggi tubuh embung dan
kapasitas embung (Kasiro, dkk., 1997 dalam Utama, 2011).
Selanjutnya Arsyad, 2008 dalam Utama, 2011) menjelaskan bahwa embung
umumnya di bangun di sekitar lahan petani dan dimaksudkan untuk:
1) Menurunkan volume aliran permukaan sekaligus meningkatkan cadangan
air tanah,
2) Mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya
angkutnya menurun, dan
3) Mensuplai air pada musim kemarau.

Pengertian Kekeringan
Hisdal (2000), Menyampaikan bahwa Kekeringan berbeda dengan
kegersangan, karena kekeringan merupakan fenomena sementara dan dapat
dicirikan sebagai penyimpangan dari kondisi normal. Dampak yang mungkin
terjadi akibat dari bencana kekeringan merupakan suatu hal yang tidak dapat
diukur dan diketahui secara pasti. Ditambah karakteristik dan akibat dampak yang
ditimbulkan dari kekeringan itu sendiri bermacam-macam (Sutarja et al., 2013).
Kekeringan menurut Beran dan Roider (1985) dalam buku Hisdal (2000)
yang berjudul Drought Event Definition bahwa karakteristik utama kekeringan
adalah terjadinya penurunan ketersediaan air dalam jangka waktu yang tertentu
dan didaerah tertentu. Menurut World Meteorological Organization (2012) dalam
Supratono (2016), kekeringan merupakan salah satu variasi iklim yang lazim, dan
dapat terjadi di segala zona iklim.
Indonesia merupakan negara yang sering dilanda berbagai macam
bencana. Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

16
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. Salah satu bencana alam yang sering terjadi
di Indonesia adalah bencana kekeringan.

Perubahan iklim merupakan ancaman bagi orang yang bermata


pencaharian petani tanaman padi dan mengancam ketahanan pangan suatu Negara
(Government of Republic of Indonesia, 2007; UNFCCC, 2007). Dampak
perubahan iklim sudah menjadi kenyataan pada sector pertanian di Indonesia
(Handoko, 2007; Naylor et al., 2007). Indikasi perubahan iklim tersebut antara
lain oleh adanya kenaikan suhu udara, kekeringan, bencana banjir, bergesernya
musim hujan (musim hujan makin pendek) (Aldrian, 2007), peningkatan muka air
laut, dan peningkatan kejadian iklim ekstrim (Ruminta & Handoko, 2016).

Dalam beberapa tahun terakhir ini pergeseran musim hujan menyebabkan


bergesernya musim tanam dan panen komoditi pangan (padi dan palawija).
Sedangkan banjir dan kekeringan menyebabkan gagal tanam, gagal panen, dan
bahkan menyebabkan puso (Ruminta & Handoko, 2016). Perubahan iklim yang
terjadi dapat bersifat merugikan akibat perubahan iklim yang ekstrim dan
kompleks, salah satu dampaknya adalah meningkatnya kejadian kekeringan
sehingga produksi tanaman pertanian berkurang (Harmoni, 2005). Studi terkait
kekeringan sudah lama tidak diperhatikan karena kurangnya metode yang
konsisten untuk analisis kekeringan (Hisdal, 2000). Terdapat berbagai macam
pendapat mengenai bencana kekeringan Pada UU No. 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, bencana kekeringan dijelaskan secara spesifik yaitu
kondisi ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup,
pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Salah satu langkah yang dapat
dilakukan adalah dengan meramalkan kejadian yang akan terjadi yang
berlandaskan suatu teori, misalnya dengan melakukan analisis kerentanan suatu
wilayah terhadap terjadinya bencana kekeringan. Kerentanan adalah sejauh mana
suatu sistem dapat mengalami, dan tidak mampu mengatasi, dampak buruk dari

17
perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrim (IPCC, 2007).
Kerentanan merupakan fungsi dari tingkat keterpaparan (E), sensitivitas (S), dan
kemampuan adaptasi (AC) dari suatu sistem. Terdapat empat tipe kerentanan,
yaitu kerentanan fisik, ekonomi, sosial dan mental.
Faktor Terjadinya Kekeringan

Kekeringan pada dasarnya adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu
daerah untuk berbagai kegiatan, kelompok-kelompok dan sektor lingkungan
dalam masa berkepanjangan, dapat mencapai beberapa bulan hingga tahunan
(Wilhite dan Svoboda, 2000 dalam UNDP, 2011). Kejadian ini muncul bila suatu
wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim
kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah
akan habis akibat penguapan, transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Situasi demikian dapat ditinjau secara klimatologi maupun hidrologis. Tinjauan
secara klimatologis dapat dilakukan melalui penilaian terhadap Suhu Permukaan
Tanah dan tinjauan secara hidrologis melalui penilaian Indeks Standar Curah
Hujan.

 Pasokan Air
Faktor pokok penyebab kekeringan adalah curah hujan dan peningkatan
kebutuhan air (Tjasyono, 2004). Input curah hujan sangat sedikit dan bahkan tidak
ada ketika kemarau panjang sehingga tidak ada pasokan airtanah dan air
permukaan (Rijanta dkk.,2014). Kekeringan agro-hidrologi dapat diartikan
kurangnya pasokan air permukaan dan air tanah sehingga tidak mampu
memenuhi/mempengaruhi kebutuhan tanaman dan masyarakat pada periode
waktu tertentu. Dalam kajian indeks bahaya kekeringan agro-hidrologi, pemilihan
faktor yang digunakan dan bobot kepentingan didasarkan pada konsep air tersedia.
Intensitas hujan yang rendah pada musim kemarau sangat mempengaruhi
terjadinya kekeringan, setiap penyimpangan curah hujan secara langsung akan
mempengaruhi tingkat kedalaman air tanah (Dileep et al., 2007).
 Tekstur tanah

18
Tekstur tanah memiliki keterkaitan dalam hal kapasitas memegang air yang
mempengaruhi ketersediaan air dalam tanah. Pengelompokan tekstur tanah (Tabel
4) didasarkan pada klasifikasi tekstur tanah untuk penilaian kemampuan lahan
menurut Arsyad (2006). Tekstur tanah dapat meningkatkan atau mengurangi efek
kekeringan, karena perbedaan dalam aerasi memegang air (Berger et al., 2012).
Tekstur tanah menentukan jumlah air yang dapat diikat pada berbagai kondisi
kadar lengas tanah; semakin baik daya ikat air tanah akan semakin baik untuk
kebutuhan dan ketersediaan air bagi masyarakat dan tanaman (air tanah dipompa
oleh perakaran tanaman). Jenis tanaman, kerapatan penutupan dan penutupan
tanaman berpengaruh langsung terhadap jumlah air pada permuakan tanah di
dalam DAS (Indarto, 2010). Ketika vegetasi mengalami kekeringan, NDVI
menurun dan suhu kanopi meningkat, WSVI menurun. Oleh karena itu, WSVI
dapat mencerminkan kekeringan efektif (Zhao et al., 2005 dalam Sivakumar et
al., 2005).
 Jarak ke sumber air
Jika muka air tanah cukup dalam, maka kapasitas akuifernya relatif kecil,
sehingga daerah tersebut akan mudah mengalami kekeringan, demikian pula
sebaliknya. Kedalaman air tanah mencerminkan kapasitas akuifer untuk
menyimpan air dan mengalirkan ke sungai. Sungai mempunyai peranan yang
sangat penting dalam fungsinya sebagai tempat mengalirkan air. Semakin dekat
dengan sumber air maka daerah tersebut kecil kemungkinan mengalami kejadian
kekeringan. Air permukaan tanah dan air tanah yang mengalir ke sungai
berhubungan langsung dengan tekstur tanah dalam pola gerakan air (Indarto,
2010).
 Suhu Permukaan tanah
Terjadinya kekeringan didukung oleh kelembapan nisbi yang rendah,
angin kencang, dan suhu yang tinggi.
 Jenis penggunaan lahan
Contoh 1.
Model Revitilasisasi Pasar Tradisional Terapung Untuk Menunjang
Ligistik Wilayah Pedalaman

19
Studi Kasus Sungai Barito

Banjarmasin adalah wilayah dengan jumlah sungai se-banyak 103 buah,


salah satunya digunakan untuk pasar terapung. Tetapi kondisi Pasar Terapung
tidak.seramai dahulu, seiring dengan berkembangnya zaman pasar terapung ini
mulai mengalami penurunan, baik dari sisi luas kawasan, jumlah penjual,
transaksi jual beli dan lain-lain. Sementara itu Banjarmasin merupakan kota
terpadat pertama yang berada di Provinsi Kalimantan Selatan. Jumlah penduduk
di Banjarmasi pada tahun 2016 mencapai 684.183 jiwa, dengan angka
pertumbuhan penduduk rata rata sebesar 2,42% setiap tahun. Selain itu
perekonomian Kota Banjarmasin juga mengalami pertumbuhan setiap tahunnya.
Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Kota Banjarmasin meningkat sebesar
6,28% dibanding tahun sebelumnya dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,79%.
Dari kondisi penduduk dan ekonomi masyarakat Kota Banjarmasin yang
meningkat dan permasalah penurunan aktivitas pasar apung maka diperlukan
perbaikan atau revitalisasi pasar apung yang berada di wilayah aliran sungai
barito, yang berguna untuk menunjang perdagangan logistik di sekitar aliran
Sungai Barito
Banjarmasin yang merupakan ibukota dari Kalimantan Selatan yang
memiliki julukan sebagai kota seribu sungai. Letak Banjarmasin yang dilewati
oleh sungai barito dan Martapura, menjadikan sungai sebagai pusat dari aktivitas
warga. Karena sejak dahulu, sungai menjadi sumber kehidupan masyarakat
Banjarmasin, menjadikan kegiatan pasar pun dilakukan secara terapung di sungai.
Kegiatan pasar yang dilakukan terapung di  sungai tersebut dijadikan suatu
ikon yang khas dari daerah Banjarmasin, yang mana kegiatan tersebut biasa
dikenal dengan pasar terapung. Pasar terapung yang terkenal di daerah
Kalimantan Selatan, yakni pasar terapung kuin di Banjarmasin.

Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas
sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Para
pedagang dan pembeli menggunakan jukung, sebutan perahu dalam bahasa
Banjar. Pasar ini mulai setelah shalat Subuh sampai selepas pukul 07:00 pagi.

20
Matahari terbit memantulkan cahaya di antara transaksi sayur-mayur dan hasil
kebun dari kampung-kampung sepanjang aliran sungai Barito dan anak-anak
sungainya.

Suasana pasar terapung yang unik dan khas adalah suasana berdesak-
desakan antara perahu besar dan kecil saling mencari pembeli dan penjual yang
selalu berseliweran kian kemari dan selalu oleng dimainkan gelombang sungai
Barito. Pasar terapung tidak memiliki organisasi seperti pada pasar di daratan,
sehingga tidak tercatat berapa jumlah pedagang dan pengunjung atau pembagian
pedagang bersarkan barang dagangan.Para pedagang wanita yang berperahu
menjual hasil produksinya sendiri atau tetangganya disebut dukuh, sedangkan
tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali disebut
panyambangan. Keistemewaan pasar ini adalah masih sering terjadi transaksi
barter antar para pedagang berperahu, yang dalam bahasa Banjar disebut
bapanduk, sesuatu yang unik dan langka.

Selain itu selama ini pasar terapung merupakan salah satu ikon khas
Banjarmasin yang dapat menarik banyak perhatian pengunjung karena memiliki
keunikan dan latar belakang budayanya yang masih tinggi. Pengunjungnya pun
bukan hanya dari dearah Banjarmasin, melainkan dari banyak kota – kota besar
lainnya bahkan pengunjung dari luar negeri (contohnya turis dari Australia). dapat
dikatakan bahwa pasar terapung ini merupakan salah satu aset wisata daaerah
yang khas dan unik yang masih kental mengandung unsur – unsur kebudayaan
rakyat di daerahnya. Selain sebagai budaya, pasar terapung nyatanya juga
berpengaruh terhadap perekonomian banua (istilah untuk Wilayah Kalimantan
Selatan). Tercatat bahwa pada tahun 2008 Kalimantan Selatan mampu menarik 24
ribu wisatawan asing.

Pasar terapung yang dulu memikat banyak orang kini mulai terpinggirkan
oleh perkembangan zaman. Dan kini nasib dari si pasar terapung mulai
memprihatinkan dan tak diperdulikan. Pasar terapung yang indah kini memiliki

21
beberapa masalah yang mungkin dampaknya akan membuat kepunahan pasar
tradisional di daerah "seribu sungai" ini.

Kepunahan dari pasar tradisional di daerah “seribu sungai” ini


dikarenakan:

1) Pertumbuhan jalan darat di sekitar lokasi pasar itu sudah begitu pesat,
sehingga warga yang tadinya berbelanja hanya melalui sungai kini bisa
melalui darat. Yang mengakibatkan warga akan lebih memilih untuk
berbelanja di darat karena aksesnya yang lebih mudah.
2) Air sungai yang luar biasa pekat dan kotor yang diakibatkan dari
banyaknya tumpukan sampah dan tumbuhan enceng gondok yang dapat
mempersulit para pedagang di dipasar terapung tersebut.
3)  Menyempitnya area sungai yang diakibatkan dari banyaknya pinggiran
sungai yang dijadikan sebagai pemukiman–pemukiman warga dan
terjadinya pendangkalan sungai akibat banyaknya sampah – sampah yang
ada di aliran sungai tersebut.
4) Angkutan kapal penyeberangan persis membelah kawasan Pasar terapung.
Mengakibatkan Jika kapal tersebut melewati kawasan para pedagang
khususnya ibu-ibu pengayuh sampan menjadi takut oleng sampannya,
sehingga enggan melakukan aktivitas jual beli di kawasan itu.

Adapun solusi yang dapat dilakukan dari berbagai permasalahan di atas


yaitu sebagai berikut :

 Seharusnya pemerintah lebih memikirkan pembangunan infrastruktur yang


lebih baik, dimana adanya keseimbangan antara pembangunan di daerah
daratan maupun di daerah sungai. Sehingga dapat memberikan keuntungan
baik bagi pelaku ekonomi di daerah darat maupun di daerah sungai.
 Menumbuhkan kesadaran warga untuk menjaga kelestarian dan kebersihan
sungai, dengan tidak membuang sampah sembarangan dan menjaga
kelestarian dari sungai. Sehingga sungai masih dapat dijadikan sebagai
salah satu tempat untuk melakukan aktivitas sehari – hari.

22
 Pemerintah dan aparat yang berwenang seharusnya dapat mengawasi
bahkan menbuat peraturan agar tidak semakin banyak berdirinya
pemukiman warga yang ada di pinggiran sungai yang akan mengakibatkan
sebagian lahan dari bantaran sungai beralih fungsi menjadi pemukiman
warga. Sehingga sungai masih memiliki luas asalnya tanpa adanya
penyempitan luas sungai, yang juga akan mempermudah aktivitas yang
dilakukan di atas aliran sungai tersebut.
 Mengatur jalur angkutan kapal penyeberangan, sehingga tidak akan
menggangu aktifitas perdagangan di pasar terapung tersebut. Dan para
pedagang pun merasa lebih aman apabila adanya pembagian jalur –jalur
lalu lintas di aliran sungai.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Masalah lingkungan telah menjadi isu yang menjadi perhatian penting
bagi berbahai pihak pada beberapa tahun terakhir. Permasalahan lingkungan
disebabkan oleh faktor alam dan manusia, namun aktivitas manusia memiliki
pengaruh yang lebih besar terhadap lingkungan, salah satunya menyebabkan
pencemaran Aktivitas manusia yang menimbulkan kerusakan lingkungan
diantaranya penambangan batu dan pasir secara ilegal sehingga beresiko tanah
longsor, illegal logging, pengalihan lahan hutan menjadi perkebunan, eksploitasi
flora dan fauna yang berlebihan serta penggunaan teknologi yang tidak ramah
lingkungan.

Berbagai kerusakan ditimbulkan manusia, sekarang ini banyak manusia


yang menyadari pentingnya alam untuk kelangsungan hidup mereka. Perlahan

23
manusia memperbaiki alam yang telah rusak dan mengurangi hal-hal yang
merugikan alam.

Dapat disimpulkan penyebab dan dampak lingkungan lokal :

-    Kekeringan : kekeringan adalah kekurangan air yang terjadi akibat sumber air
tidak dapat menyediakan kebutuhan air bagi manusia dan makhluk hidup yang
lainnya. Dampak: menyebabkan ganggungan kesehatan, keterancaman pangan.

-    Banjir : merupakan fenomena alam ketika sungai tidak dapat menampung


limpahan air hujan karena proses influasi mengalami penurunan. Itu semua dapat
terjadi karena hijauan penahan air larian berkurang. Dampak: ganggungan
kesehatan, penyakit kulit, aktivitas manusia terhambat, penurunan produktifitas
pangan, dll.

-    Longsor: adalah terkikisnya daratan oleh air larian karena penahan air
berkurang. Dampaknya : terjadi kerusakan tempat tinggal, ladang, sawah,
mengganggu perekonomian dan kegiatan transportasi

-    Erosi pantai : terkikisnya lahan daratan pantai akibat gelombang air laut.
Dampak : menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan hilangnya potensi ekonomi
seperti kegiatan pariwisata.

-    Instrusi Air Laut : air laut (asin) mengisi ruang bawah tanah telah banyak
digunakan oleh manusia dan tidak adanya tahanan instrusi air laut seperti kawasan
mangrove. Dampaknya: terjadinya kekurangan stok air tawar, dan mengganggu
kesehatan.

24
Daftar Pustaka
Aldrian, E. (2007). Decreasing trends in annual rainfalls over Indonesia: A threat
for the national water resource?. Jakarta: Badan Meteorology dan
Geofisika. Retrievedfrom https://scholar.google.com/scholar?oi=b
ibs&cluster=2604969414494181069&btn I=1&hl=id
Badan Pusat Statistik. (2014). Produksi Padi Menurut Provinsi (ton) Tahun 1993-
2015.
Betsill, Michele M & Herriet Bulkeley. 2010. Cities and the Multilevel
Governance of Global Climate Change, dalam Global Governance. Vol.
12 No.2
Budi K. 2010. Mata Air Brantas Menyusut Drastis. http://entertainment.
kompas.com/read/2010/03/22/2118 4259/Mata.Air.
Brantas.Menyusut.Dras tis Tanggal akses 02 Maret 2013 jam 15.15 WIB Hisdal,
H., Tallaksen, L. M., Peters, E., Stahl, K., & Zaidman, M. (2000).
Drought event definition. ARIDE Technical Rep, 6.

25
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2011. Kekeringan Picu Krisis
Pangan. http://www.bnpb.go.id/website/asp/berita_list.asp . (diakses 29
Januari 2012).
Challinor, A., Wheeler, T., Garforth, C., Craufurd, P., & Kassam, A. (2007).
Assessing the vulnerability of food crop systems in Africa to climate
change. Climatic Change, 83(3), 381–399.
https://doi.org/10.1007/s10584-007- 9249-0
Erdogan, M., & Ok, A. (2011). An Assessment of Turkish Young Pupils’
Environmental Literacy: A Nationwide Survey. International Journal of
Science Education, 33(17), 2375–2406.
http://doi.org/10.1080/09500693.2010.550653
Esa, N. (2010). Environmental Knowledge, Attitude and Practices of Student
Teachers. International Research in Geographical and Environmental
Education, 19(1), 39–50. http://doi.org/10.1080/10382040903545534
Fajar, J. (2014). Laporan WWF Setengah Keanekaragaman Hayati Dunia Hilang.
Retrieved December 28, 2016, from
http://www.mongabay.co.id/2014/09/30/laporan-wwf-setengah-
keanekaragaman-hayati-dunia-hilang/
Government of Republic of Indonesia. (2007). Indonesia Country Report:
Climate Variability and Climate Changes, and Their Implication. Jakarta:
Ministry of Environment Republic of Indonesia.
Geneva: World Meteorological Organizat Bambang, dkk. (2005). Pengelolaan
Sumber Daya Lahan dan Air di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Handoko, I. (2007). Relationship between crop developmental phases and air
temperature and its effect on yield of the wheat crop (Triticum aestivum
L.) grown In Java Island, Indonesia. BIOTROPIA, 14(1), 51–61.
http://dx.doi.org/10.11598/btb.2007.14. 1.24
Husein, M. H. (1995). Lingkungan Hidup. Masalah Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya. Bumi Aksara. Jakarta
Harmoni, A. (2005, August). Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Iklim. In
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005. Universitas Gunadarma.

26
IPCC. (2007): Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability.
Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change,
IPCC, A. (2007). Intergovernmental panel on climate change. Climate change
2007: Synthesis report.
Kumurur, V. A. (2008). Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Mahasiswa
Pascasrjana Ilmu Lingkungan Terhadap Lingkungan Hidup Kota Jakarta.
Ekoton, 8(2), 1–24.
Listiawati, N. (2013). Pelaksaan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan
oleh Beberapa Lembaga. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 19(3),
430–450.
M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson
(Eds). , Cambridge, UK: Cambridge University Press. 976pp.
Nuraisah, G., & Kusumo, R. A. B. (2019). Dampak perubahan iklim terhadap
usahatani padi di desa Wanguk kecamatan Anjatan kabupaten Indramayu.
Mimbar Agribisnis: Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan
Agribisnis, 5(1), 60-71.
Pe’er, S., Goldman, D., & Yavetz, B. (2007). Environmental Literacy in Teacher
Training: Attitudes, Knowledge, and Environmental Behavior of
Beginning Students. The Journal of Environmental Education, 39(1), 45–
59. http://doi.org/10.3200/JOEE.39.1.45-59
Rijanta, R., Hizbaron, D. R., dan Baiquni, M. 2014. Modal Sosial dalam
Manajemen Bencana. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutarno. (2015). Makalah Utama : Biodiversitas Indonesia : Penurunan dan Upaya
Pengelolaan untuk Menjamin Kemandirian bangsa. Pros Sem Nas Masy
Biodiv Indon, 1(1), 1–13. http://doi.org/10.13057/psnmbi/m010101
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Setiadi, B.T., dan Sulistijanti, W. (2017). Peramalan Curah Hujan Dengan Metode
Seasonal Autoregressive Integrated Moving Average (Sarima) Untuk
Optimalisasi Produksi Pertanian Di Kabupaten Indramayu Tahun 2017.
Majalah Ilmiah Median, 10(1).

27
Tjasyono, B. H. K. 2004. Klimatologi Edisi Kedua. Bandung: Penerbit ITB.
Tivani, I. (2016). Pengembangan LKS Biologi Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Karakter Peduli
Lingkungan. Jurnal Inovasi Pendidikan IPA, 2(1), 35–45.
Utama, S. B. (2011). Partisipasi petani terhadap program pembangunan embung
dan sumur resapan dalam memenuhi ketersediaan air pada musim
kemarau di Desa Mangunrejo Kecamatan Pulokulon Kabupaten
Grobogan.
[WMO] World Meteorologi Organization. 2012. Standardized Precipitation
Index, User Guide. WMO-No. 1090, Geneva.

World Meteorological Organization (WMO). (2012). International Glossary of


Hydrology, WMO no.385. Secretariat of the World Meteorological
Organization.
World Meteorological Orga-nization. (2012). Standardized Precipitation Index
User Guide. WMO-No.090. Geneva, (iD).
World Meteorological Organization. 2012. Standardized Precipitation Index User
Guide (WMO-No. 1090).

28

Anda mungkin juga menyukai