Anda di halaman 1dari 21

HUKUM LINGKUNGAN

Dosen Pengampu:
Dr. Sri Warjiyati, S.H., M.H.
Disusun oleh:
Safin Wahyu Firdana (C04219039)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

PRODI HUKUM TATANEGARA

SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan, terima kasih Penulis ucapkan atas bantuan Tuhan yang telah
mempermudah dalam pembuatan makalah ini, hingga akhirnya terselesaikan tepat
waktu. Tanpa bantuan dari Tuhan, Penulis bukanlah siapa-siapa. Selain itu, Penulis
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, serta pasangan
yang sudah mendukung hingga titik terakhir ini.

Banyak hal yang akan disampaikan kepada pembaca mengenai “Hukum


Lingkungan”. Dalam hal ini, Penulis ingin membahas mengenai hukum lingkungan di
Indonesia. Zaman sekarang, tidak sedikit kaum milennial yang menyepelekan aturan
hukum lingkungan ini. Namun, ada jugap pejabat atau tokoh masyarakat yang
mengabaikannya mereka kurang patuh terhadap aturan tersebut. sehingga yang
dibutuhkan para orang tua adalah ilmu tambahan mengenai hal parenting terhadap
suatu aturan hukum.

Untuk pembuatan makalah ini, Penulis menyadari jika mungkin ada sesuatu
yang salah dalam penulisan, seperti menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak
sama dengan pengetahuan pembaca lain. Penulis mohon maaf jika ada kalimat atau
kata-kata yang salah. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Tuhan.

Surabaya, 28 April 2020

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................

Latar Belakang Masalah ..................................................................1

Rumusan
Masalah ............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
...............................................................................

A. Integrasi Prinsip-prinsip Lingkungan Global dalam Hukum


Nasional
Indonesia.....................................................................3
B. Integrasi Prinsip Lingkungan Global dalam UUD
1945.............5
C. Konsep Pajak Lingkungan.........................................................6
D. Sistem Penegakan Hukum Lingkungan.....................................7
E. Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi...........................8
F. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan...................................10

BAB III PENUTUP..........................................................................................

A. Kesimpulan..............................................................................16
B. Daftar
Pustaka..........................................................................17

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, hilangnya keanekaragaman


hayati di darat dan di lautan, penipisan lapisan ozon, pemanasan global dan
perubahan iklim, kekeringan, naiknya permukaan laut, tercemarnya udara dan
timbulnya macam penyakit baru adalah hanya sebagian kecil dari akibat
kerusakan lingkungan yang makin hari semakin mengancam kelangsungan
hidup seluruh makhluk bumi. Pendeknya permasalahan lingkungan semakin
hari semakin menakutkan, karena seiring dengan perkembangan industri dan
pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol khususnya di negara-
negara berkembang. Kualitas lingkungan dunia semakin memprihatinkan
bahkan ada yang tidak dapat diperbaiki dan dipulihkan kembali seperti
(irreversible environment damage).

Kenyataan pahit ini, tidak hanya terjadi di belahan dunia tertentu tapi sudah
menjadi masalah global. Richard Stewart dan James E Krier mengelompokkan
masalah lingkungan dalam tiga hal:1 pertama, pencemaran lingkungan
(pollution); kedua, penggunaan atau pemanfaatan lahan yang salah (land
misuse); dan ketiga, pengerukan secara berlebihan yang menyebabkan habisnya
sumber daya alam (natural resource depletion). Jika ditarik benang lurus, maka
terganggunya kualitas lingkungan, seperti habisnya sumber daya alam, tercemar
serta rusaknya lingkungan, tidak terlepas dari pemanfaatan sumber daya alam
yang serampangan dan berlebihan (over exploitation of natural resources).

Menurut Munadjat Danusaputro, pencemaran lingkungan dijelaskan sebagai


berikut: “Pencemaran adalah suatu keadaan, dalam mana suatu zat atau energi
diintroduksikan ke dalam suatu lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh
proses alam sendiri dalam konsentrasi sedemikian rupa, hingga menyebabkan
terjadinya perubahan dalam keadaan termaksud mengakibatkan lingkungan itu
tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan dan
keselamatan hayati”.2 Dari penjelasan Munadjat Danusaputro tersebut,
pencemaran mengakibatkan tidak berfungsinya lingkungan dalam mendukung
kehidupan manusia. Dapat dikatakan pula, pencemaran yang terjadi secara
terus-menerus akan mengakibatkan timbulnya kerusakan lingkungan. Di

1
Richard Stewart and James E Krier, Environmental Law and Policy (New York The
Bobbs Merril co.Inc.:, Indianapolis, 1978), 3-5.
2
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan dalam Pencemaran Lingkungan
Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Buku V: Sektoral (Bina Cipta, Bandung, 1986),
77.

1
samping menimbulkan kerusakan alam, pencemaran juga akan mengakibatkan
berbagai kerusakan bagi alam dan makhluk hidup yang ada di dalamnya.

Indonesia harus memasukan cultural heritage sebagai kajian baru dari


hukum lingkungan karena Indonesia memiliki warisan budaya warisan budaya
yang sangat kaya dan sejumlah bentang alam yang memiliki nilai intrinsik dan
nilai lingkungan (intrinsic and environmental values) yang sangat penting.

Jika dilihat dari penjelasan di atas, maka dapat dikatakan tata nilai yang
menyebabkan meningkatnya pencemaran dan perusakan lingkungan adalah
masih dianutnya etika lingkungan yang anthropocentric. Etika ini
menempatkan kepentingan manusia di atas kepentingan makhluk lainnya. Oleh
karena itu, segala sesuatu yang ada di alam dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia semata. Dalam
pendekatan antroposentrisme, seringkali dianggap posisi manusia berada di
luar dan terpisah dari lingkungannya. Oleh karena menganggap bahwa
keberadaan lingkungan tersebut diperuntukkan semata-mata untuk kepentingan
manusia, kita sering kali lupa memeliharanya.7 Selain nilai anthropocentric,
kepedulian manusia untuk menjunjung keberlanjutan hidup dan alam yang
tercermin dalam nilai nilai kearifan lokal yang menjunjung konsep
pemeliharaan lingkungan, juga mulai pudar seiring dengan meningkatnya
tuntutan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhannya.

Bertolak dari realitas yang ada, sudah saatnya bagi umat manusia untuk
lebih memperhatikan dan menjaga bumi yang kita pijak karena sampai dengan
saat ini belum ada planet lain yang dapat menyediakan kehidupan dan
keselamatan seperti bumi dan seluruh isinya. Pendeknya, bumi dan seluruh
sumber daya alam yang ada di dalamnya tidak dapat dijadikan sebagai objek
untuk pemenuhan kebutuhan dan kesenangan manusia belaka, tapi harus
ditempatkan sebagai subjek yang setara dengan manusia karena keselamatan
manusia sekarang dan anak cucu kita sangat tergantung pada kelakuan manusia
saat ini. Sayangnya kualitas lingkungan dunia, seperti yang akan dikemukakan
pada sub-bab berikut, sudah sangat kritis sehingga memerlukan kerja ekstra
keras jika kita ingin mewariskan bumi yang lebih baik pada anak cucu kita.

B. Rumusan Masalah
Dari berbagai bahasan diatas, maka bisa dirumuskan beberapa pokok
masalah yang menjadi titik utama, diantaranya sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan hukum lingkungan?
2. Bagaimana perkembangan hukum lingkungan di Indonesia??
3. Apa faktor penyebab terjadinya kerusakan lingkungan?
4. Apa upaya pemerintah untuk menghentikan pengerusakan lingkungan dan
ekosistem?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Integrasi Prinsip-prinsip Lingkungan Global dalam Hukum Nasional Indonesia

Integrasi prinsip-prinsip hukum lingkungan global dalam hukum nasional


Indonesia diadopsi melalui dua mekanisme yakni: (i) melalui ratifikasi
internanional hard law instruments dibidang lingkungan hidup, (ii) melalui
adopsi langsung dengan memasukan prinsip-prinsip tersebut dalam peraturan
perundangundangan lingkungan nasional Indonesia.

Berikut ini akan dijelaskan sejauh mana prinsip-prinsip yang telah


dijelaskan pada sub-bab sebelumnya telah diadopsi oleh peraturan perundang-
undangan nasional. Prinsip-prinsip hukum lingkungan global sebagaimana
dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, seharusnya diintegrasikan ke dalam
kebijakan hukum lingkungan nasional suatu negara. Makna pengintegrasian ini
untuk menunjukkan sifat universalitas prinsip-prinsip lingkungan yang bersifat
global. Integrasi ini hendak memberikan kekuatan hukum bagi pelaksanaan
prinsip-prinsip lingkungan global tersebut ke dalam produk peraturan
perundang-undangan nasional suatu negara.

Integrasi prinsip-prinsip hukum lingkungan global ke dalam hukum dan


kebijakan hukum lingkungan suatu negara tidak dipandang sebagai suatu
produk asimilasi yang ditujukan untuk merugikan kepentingan nasional suatu
negara. Proses integrasi yang dilakukan sesungguhnya hendak menunjukkan
sifat universalitas prinsip-prinsip hukum lingkungan yang dimaksud dengan
menuangkannya dalam produk hukum tertinggi suatu negara, yang dikenal
dengan sebutan konstitusi.

Penuangan prinsip-prinsip hukum lingkungan ke dalam konstitusi suatu


negara dipandang sebagai puncak keberpihakan negara terhadap persoalan
lingkungan secara global. Meskipun demikian, sebelum dituangkan ke dalam
pasal-pasal konstitusi suatu negara, beberapa negara telah menuangkan
normanorma, prinsip-prinsip, dan atau asas-asas ke dalam bentuk peraturan
perundangundangan di bawah konstitusi suatu negara. Di Indonesia, sebelum
amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945), yang mencantumkan norma lingkungan
hidup ke dalam Konstitusi Indonesia, norma-norma atau asas-asas atau prinsip-
prinsip lingkungan hidup.3

telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, yang dikenal


dengan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3
Laode Syarif, “Hukum Lingkungan”, Teori, Legilasi dan Studi Kasus (Jakarta: Pustaka
Jaya, 2009), 60

3
Di Indonesia, sejumlah prinsip yang dijelaskan di awal bab ini telah
diadopsi oleh hampir seluruh peraturan perundang-undangan nasional di
Indonesia. Di antaranya dapat kita lihat pada sejumlah ‘UU Lingkungan Hidup
Indonesia’ berikut:

a. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup, (tidak berlaku lagi)
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (tidak berlaku lagi), maupun dalam
c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH).

Perlu di ingat bahwa kata principle dalam bahasa Inggris diterjemahkan


menjadi asas dalam bahasa Indonesia. Menurut Munadjat Danputro, konsep
atau istilah “prinsip hukum” pada dasarnya dapat digunakan sama dengan “asas
hukum” dan “dasar hukum” dengan pengertian ada hierarki tertentu dari
prinsip dimaksud.4

Lebih lanjut Ronald Dworkin mengatakan prinsip hukum merupakan


“pertimbangan moral tentang apa yang benar dan apa yang buruk, yang
meliputi prinsip tentang political morality dan political organization. Prinsip-
prinsip tersebut membenarkan pengaturan secara konstitusional, prinsip yang
membenarkan metode melakukan penafsiran menurut undang-undang, dan
prinsip tentang hak asasi manusia yang substantif untuk membenarkan isi
keputn pengadilan”.5

Uraian dan makna prinsip Dworkin di atas, jika dikaitkan dengan prinsip
hukum lingkungan global, dimaknai sebagai prinsip-prinsip hukum, baik dalam
konteks nasional, regional, dan internasional. Dalam konteks ini, integrasi
prinsip hukum lingkungan global harus dimuat dalam konstitusi suatu negara.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai bagian terintegrasi dari masyarakat dunia,
sepatutnyalah menuangkan prinsip-prinsip tersebut, bukan hanya dalam UUD
Tahun 1945, tetapi juga dalam bentuk undang-undang (selanjutnya disingkat
UU).

Terkait penggunaan istilah prinsip, sebagaimana disebutkan dalam


beberapa ketentuan internasional dan istilah asas yang digunakan dalam
konstitusi dan undang-undang (Indonesia), maka pemahaman yang dapat
dikonstruksi adalah prinsip hukum lingkungan yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah asas-asas hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik
yang tertuang dalam bentuk nasional, regional, maupun internasional. Dengan

4
St. Munadjat Danputro, Hukum dan Lingkungan (Bandung: Binacipta, 1984), 46-48.
5
Ronald Dworkin, Theory of Content, dalam S.H.R. Otje Salman dan A.F. Snto, “Teori
Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali” (Bandung: Refika
Aditama, cet. Ke-1, 2004), 93-94.

4
kata lain, tidak terdapat pertentangan penggunaan frasa prinsip hukum dan
frasa asas hukum.6

B. Integrasi Prinsip Lingkungan Global dalam UUD 1945

UUD 194566 merupakan supremasi konstitusi dan hierarki


perundangundangan dalam suatu sistem hukum yang mengandung
konsekuensi. Konsekuensinya, semua ketentuan perundang-undangan yang
telah ada dan yang akan dibentuk, termasuk perubahan ketentuan perundang-
undangan, materi muatannya harus bersumber pada ketentuan dalam UUD
1945. Tujuannya agar terdapat kesesuaian norma sebagai satu kesatuan sistem
hukum.

UUD 1945 sebagai satu kesatuan sistem, mengatur format ketatanegaraan


di bidang politik dan pemerintahan, ekonomi dan dunia usaha, kesejahteraan
sosial dan budaya, penataan sistem dan aparatur hukum, hak asasi manusia, dan
luar negeri.68 Dalam hubungan ini, perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara umum dalam UUD 1945 memperoleh legitimasi sebagai
perwujudan hak konstitusional yang sangat mendasar, sebab merupakan
perwujudan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM).

Penjabaran “tugas pemerintah” sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan


UUD 1945, juga dapat ditemukan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang
menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”72 Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 mengisyaratkan “tugas pemerintah”
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya lingkungan
hidup. Dalam konteks ini, secara jelas dan tegas disebutkan kontrak yang
terjadi antara hak umum (negara) dan hak pribadi (warga negara) dalam
memanfaatkan lingkungan hidup, termasuk sumber daya di dalamnya. Dengan
kata lain, negara wajib melindungi dan menjaga lingkungan hidup agar rakyat
menjadi makmur dan sejahtera.

Dalam konteks penjabaran Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, sebagaimana


disebutkan di atas, S.K. Wandell73 berpendapat lain. Menurutnya, Pasal 33
Ayat 3 UUD 1945 lebih memfokuskan pada siapa yang memperoleh
keuntungan atas eksploitasi sumber daya alam Indonesia, bukan fokus terhadap
perlindungan. Dalam hal ini, negara tidak berkewajiban untuk melindungi
lingkungan, akan tetapi negara menitikberatkan pada pada pengawasan
pemanfaatan sumber daya alam Indonesia.7

6
Hans Kelsen, “Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (Bandung, Nmedia dan
Nuansa, 2006), 50-51.
7
Laode Syarif, “Hukum Lingkungan”, Teori, Legilasi dan Studi Kasus, 65.

5
Terkait dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup dalam Pasal 28H Ayat 1
maupun Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945, Mukhlis dan Mustafa Lutfi, berpendapat
“terdapat 2 konsep yang berkaitan dengan ide ekosistem, yaitu perekonomian
nasional berdasar demokrasi ekonomi, harus mengandung prinsip
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.” Hal ini diartikan bahwa alam
memiliki kekuasaan dan hak-hak asasinya sendiri yang tidak boleh dilanggar
oleh siapa pun (inalienable rights). Pengaturan hak asasi di bidang lingkungan
hidup telah mengharuskan bagi setiap individu dan negara untuk menjamin
terpenuhinya hak bagi setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Pengaturan hak asasi di bidang lingkungan hidup hakikatnya
merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi yang dimiliki oleh setiap
orang (individu). Selanjutnya akan dijelaskan lebih detail pada bab berikutnya
tentang tentang hak atas lingkungan.

Dalam konteks ini, lebih lanjut alam dimaknai dan diakui memiliki
kedaulatannya sendiri. Sehingga di samping rakyat sebagai manusia yang
dianggap berdaulat, alam juga berdaulat. Inilah hakikat yang dimaksudkan
dengan prinsip kedaulatan lingkungan, yang juga terkandung dalam UUD
1945.8

C. Konsep Pajak Lingkungan

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan), yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan perundang-undangan,
dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk.
Kegunaan pajak adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Dengan demikian, pajak dapat diartikan sebagai peralihan kekayaan dari rakyat
kepada pemerintah melalui kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
kelebihannya dapat digunakan untuk simpanan publik (public saving), yang
merupakan sumber utama untuk membiayai investasi publik (public
investment).9

Jika mengulang pembahasan tentang Pigouvian Tax sebelumnya, klaim


ekonomi atas konsep pajak ini adalah pencemaran harus dikenakan pajak dan
pajak ini akan mencerminkan biaya-biaya sosial yang timbul dari suatu
pencemaran. Sehingga, penerapan pajak yang efektif membutuhkan analisis
dan informasi yang optimal dari pemerintah sebagai dasar penetapan tingkatan
pajaknya.

Namun demikian, pajak lingkungan tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai
satu mekanisme proteksi dan preventif yang optimal. Hal ini bisa dilihat pada
mekanisme pajak lingkungan yang diterapkan dalam upaya konservasi satwa
8
Ibid, 89.
9
Rochmat Soemitro,Pajak dan Pembangunan (Eresco, Bandung, 1974), 8.

6
liar atau dilindungi. Jepang sebagai salah satu negara importir gading besar di
dunia pernah membuka pasar lebar-lebar untuk impor gading, termasuk gading
yang berasal dari Afrika. Dalam rangka pertimbangan lingkungan hidup, yaitu
agar tidak terjadi pembunuhan secara besar-besaran terhadap gajah di Afrika,
Jepang berupaya mengontrol level penjualan dengan mengenakan pajak
penjualan yang sangat tinggi. Kemudian yang terjadi adalah bahwa meskipun
harganya tinggi, permintaan akan gading dan turunannya tidak reda, bahkan
semakin tinggi. Gading semakin mantap statusnya sebagai barang mewah. Hal
ini terjadi karena income per capita masyarakat Jepang sangat tinggi, sehingga
peningkatan harga tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap aspek
permintaan.10

D. Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan


mengubah gaya hidup manusia. Perubahan ini berdampak penting terhadap
lingkungan hidup yang seharusnya dijaga daya dukungnya agar dapat
digunakan sebagai sumber daya pembangunan yang berkelanjutan.
Industrialisasi, selain menghasilkan produk yang bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat, juga menimbulkan dampak. Misalnya, industri menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media
lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan
kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lain. Dengan menyadari
potensi dampak negatif dari pembangunan, maka perlu dikembangkan upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan melalui berbagai instrumen
kebijakan lingkungan.

pengelolaan lingkungan hidup dimulai dengan menetapkan kebijakan


dalam produk legislation berbentuk undang-undang. Kemudian dijabarkan
dalam suatu regulation sebagai produk hukum pelaksanaan dari undang-
undang. Produk hukum pelaksanaan sistem perundang-undangan di Indonesia
dapat berbentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri,
dan/atau Peraturan Daerah. Upaya melaksanakan kebijakan yang telah
ditetapkan dalam legislasi dan regulasi untuk mencegah pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan manusia, perlu diatur kebijakan
tentang perizinan. Kebijakan tentang perizinan ini berfungsi sebagai sarana
preventif. Pelaksanaan perizinan di bidang lingkungan harus dikontrol atau
diawasi sebagai upaya preventif dalam penegakan hukum.

Hal penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan


masyarakat dan pelaku usaha dalam melaksanakan peraturan perundang-
undangan dan perizinan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah penegakan hukum. Penegakan hukum lingkungan merupakan
10
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional
(Surabaya, Edisi Ketiga), 139-140.

7
upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam
ketentuan hukum lingkungan yang berlaku secara umum dan individual,
melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, kepidanaan, dan
keperdataan.

Ruang lingkup penegakan hukum lingkungan hidup yang meliputi


penegakan hukum administrasi, pidana dan perdata ini sudah dinormakan
dalam 3 jenis undang-undang lingkungan hidup yang pernah berlaku di
Indonesia. Ketiga undang-undang itu, yaitu UndangUndang No. 4 Tahun 1982
tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dicabut dengan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan terakhir dicabut dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

E. Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi

a. Ruang Lingkup Penegakan Hukum Administrasi

Ketentuan hukum lingkungan banyak didominasi oleh ketentuan hukum


administrasi yang berupa norma kewenangan, perintah, larangan, izin dan
dispensasi. Norma-norma tersebut mengikat pemerintah dalam
melaksanakan kewenangan untuk melindungi dan mengelola lingkungan
hidup. Norma-norma tadi juga mengikat warga masyarakat dan/atau pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan dan/usaha yang dapat menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup. Salah satu norma kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah dalam upaya melindungi dan mengelola
lingkungan adalah norma kewenangan pemerintah untuk mengatur penaatan
dan penegakan hukum administrasi, yaitu penegakan hukum secara
langsung tanpa prosedur peradilan dan bila perlu dengan paksaan fisik untuk
menyesuaikan situasi faktual dengan norma-norma yang ada.

Penegakan hukum administrasi dalam perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup merupakan bagian dari ruang lingkup hukum administrasi.
Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan hidup merupakan
sarana hukum lingkungan yang dimiliki oleh pemerintah untuk mencapai
kepatuhan. Penegakan hukum administrasi di bidang pengelolaan
lingkungan atau disebut penegakan hukum lingkungan administrasi sebagai
bagian dari kajian hukum administrasi.

8
Penegakan hukum lingkungan administrasi sebagai bagian dari
penegakan hukum administrasi harus memenuhi 4 unsur sebagaimana
dinyatakan oleh Philipus M Hadjon, yang meliputi:
1. Legitimasi
2. Instrumen Yuridis
3. Norma Hukum Administrasi
4. Kumulasi Sanksi

Legitimasi merupakan keabsahan tindak pemerintah dalam


menegakkan hukum lingkungan administrasi. Unsur yang harus dipenuhi
oleh pemerintah dalam menegakkan hukum lingkungan administrasi
meliputi: wewenang, substansi dan prosedur. Wewenang penegakan hukum
lingkungan administrasi ada di tangan pemerintah dan pemerintah daerah.
Dasar wewenang itu adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ditindaklanjuti
dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 02
Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut
dengan Permen LH.

Penegakan hukum administrasi dalam perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup secara substansi meliputi pengawasan lingkungan hidup
dan penerapan sanksi administratif. Pengenaan sanksi administratif adalah
penerapan perangkat sarana hukum administrasi yang bersifat pembebanan
kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara
yang dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas
dasar ketidaktaatan terhadap peraturan perundangundangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau ketentuan dalam
izin lingkungan.

Pengawasan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 71 UU PPLH


dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Wali Kota untuk
mengetahui, memastikan, dan menetapkan tingkat ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam izin
lingkungan dan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam mencapai efisiensi dan efektivitas,
pengawasan lingkungan hidup dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan
hidup dan pejabat pengawas lingkungan hidup daerah.
Penerapan sanksi adminsitratif harus didasarkan pada prosedur yang
tepat. Artinya penerapan sanksi administratif kepada penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan harus didasarkan pada hasil pengawasan yang
dilakukan oleh PPLH dan/ atau PPLHD ditemukan pelanggaran terhadap:
1. Izin lingkungan,
2. Izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan/atau

9
3. Peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
PPLH dan/atau PPLHD melakukan pengawasan sebagai upaya
melindungi dan pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada:
1. laporan pelaksanaan izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan/atau
2. pengaduan masyarakat.

F. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan


Perbuatan pidana (criminal act) adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan
hukum. Larangan tersebut disertai ancaman sanksi berupa pidana tertentu bagi
pelanggarnya. Lebih lanjut Moeljatno menegaskan, perbuatan pidana tersebut
dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Untuk adanya perbuatan pidana,
haruslah diatur terlebih dahulu perbuatan apa yang dilarang dalam suatu
peraturan perundangundangan. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana,
selain seseorang melakukan perbuatan pidana, orang tersebut harus mempunyai
kesalahan. Maksim yang terkenal dalam sistem pertanggungjawaban pidana
ialah “actus non facit reum, nisi mens sit rea” yang berarti pertanggungjawaban
pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana, akan tetapi harus
ada kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela. Bentuk kesalahan dalam
ilmu hukum pidana terbagi menjadi dua, yakni suatu perbuatan yang dilandasi
dengan kesengajaan dan kealpaan.
Sanksi hukum pidana identik dengan pemberian nestapa dan merupakan
sanksi hukum yang dipandang paling berat dari sanksi hukum lain, misalnya
sanksi administrasi maupun keperdataan. Dengan alasan tersebut hukum
pidana merupakan ultimum remidium atau jalan terakhir yang dijatuhkan
ketika sanksi hukum lain dirasa tidak efektif.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengatur ketentuan pidana dalam
Bab XV tentang Ketentuan Pidana. Secara umum kualifikasi delik pidana
lingkungan yang terdapat dalam UUPPLH berdasarkan Pasal 97 UUPPLH
dikategorikan sebagai kejahatan. Pengkategorian delik kejahatan tersebut
membawa beberapa konsekuensi dalam penegakannya, yakni.
1. adanya konsep percobaan dan penyertaan dalam setiap deliknya,
2. penghitungan kadaluarsa yang lebih lama daripada pelanggaran,
3. ancaman pidana perampasan kemerdekaan berupa penjara.

10
Adapun jenis-jenis tindak pidana:
1. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
Pasal 98 Ayat 1
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

Dari rumusan Pasal 98 Ayat 1 UUPPLH dapat dianalisis menjadi beberapa


unsur. Pertama, bentuk kesalahan dalam pasal ini adalah “sengaja”, yang
berarti harus dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan beserta akibatnya
dikehendaki oleh pelaku (teori kehendak). Atau, pelaku mengetahui tentang
perbuatannya dan akibat yang akan timbul (teori pengetahuan), serta pelaku
menyadari kemungkinan besar perbuatannya akan menimbulkan akibat yang
dilarang (kesengajaan sebagai kemungkinan).
Kedua, rumusan delik pidana dalam Pasal 98 Ayat 1 dirumuskan secara
materiil. Hal tersebut dari terlihat dari frasa “…melakukan perbuatan yang
mengakibatkan…”. Pasal tersebut menekankan bahwa kejahatan yang dilarang
adalah akibatnya, tanpa mempermasalahkan bagaimana cara melakukan
perbuatan. Delik materiil mensyaratkan adanya hubungan kausalitas antara
perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang terjadi.
Baku mutu lingkungan hidup sendiri, menurut Pasal 1 Angka 13 UUPPLH
diartikan sebagai: “Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber
daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”
Lebih jauh Pasal 20 UUPPLH menyatakan penentuan pencemaran
lingkungan hidup diukur dari baku mutu lingkungan hidup, yang salah satunya
meliputi baku mutu udara ambien, baku mutu air dan baku mutu air laut.
Pasal 20 UUPPLH
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku
mutu lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air,
b. baku mutu air limbah,
c. baku mutu air laut,
d. baku mutu udara ambien,
e. baku mutu emisi,

11
f. baku mutu gangguan, dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi

Pasal 98 Ayat 2 dan 3 UUPPLH


“Rumusan Pasal 98 Ayat 2 dan 3 UUPPLH dalam pengetahuan hukum pidana
disebut sebagai delik yang dikualifisir, yaitu delik biasa yang ditambah unsur-
unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Unsur-unsur tersebut
meliputi cara, objek, maupun akibat yang khas dari perbuatan tersebut.
Perbuatan dalam Pasal 98 Ayat 2 dan 3 UUPPLH bisa disebut delik yang
dikualifisir oleh akibat jika perbuatan yang diatur dalam Pasal 98 Ayat 1
UUPPLH tersebut mengakibatkan luka dan/atau membahayakan kesehatan dan
mengakibatkan luka berat atau mati.”
Pasal 98 Ayat 2
“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).”
Pasal 98 Ayat 3
“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).”
Luka berat menurut Pasal 90 KUHP diartikan sebagai:
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut,
1. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaannya, 3. kehilangan salah satu panca indera,
2. Mendapat cacat berat, lumpuh,
3. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih,
4. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
2. Delik Kealpaan Menyebabkan Pencemaran Lingkungan atau Perusakan
Lingkungan
Pengaturan dalam Pasal 99 UUPPLH secara umum memiliki kesamaan
dengan unsur yang terdapat dalam Pasal 98 UUPPLH. Perbedaan mendasar
terletak pada bentuk kesalahan. Pasal 99 mensyaratkan kealpaan sebagai unsur
kesalahan. Berbeda dari kesalahan, kealpaan diartikan melakukan tindakan
tanpa praduga atau sikap hati-hati. Padahal seyogianya pelaku melakukannya.
Bentuk kesalahan kealpaan ini dianggap lebih ringan daripada sengaja. Dalam
pasal ini harus dibuktikan pelaku seharusnya dapat menduga berdasarkan
kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang dia miliki untuk dapat

12
menduga bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup.

Pasal 99 Ayat 1
“Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
Ayat berikutnya, yakni Ayat 2 dan 3 mengatur juga mengenai delik yang
dikualifisir oleh akibat. Delik kealpaan menyebabkan pencemaran lingkungan
atau perusakan lingkungan diperberat ancaman pidananya jika mengakibatkan
luka dan/atau bahaya kesehatan dan luka berat atau mati seperti tercantum
dalam Pasal 99 Ayat 2 dan 3 UUPPLH.
Pasal 99 Ayat 2
“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.
Pasal 99 Ayat 3
“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah)”.
3. Tindak Pidana Lingkungan yang mengatur sanksi pidana yang dijatuhkan
terhadap pelanggaran kewajiban
Pasal 101 UUPPLH
“Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat 1 Huruf g,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pengaturan dalam Pasal 101 UUPPLH memidana pelaku yang melanggar
kewajiban yang diatur undang-undang, dalam hal ini kewajiban/perizinan yang
berkaitan dengan pelepasan dan/atau peredaran produk rekayasa genetik ke media
lingkungan. Pasal ini bisa disebut tindak pidana administrasi (administrative penal

13
law) karena pemidanaan didasarkan pada ketidaktaatan pada proses administrasi
(perizinan) dalam pelepasan atau peredaran produk rekayasa genetik.

Pasal 102 UUPPLH


“Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3, tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 Ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
Pengaturan dalam Pasal 102 UUPPLH memiliki karakteristik pidana
administrasi (administrative penal law). Pasal ini mengatur tentang pemidanaan
terhadap pelaku yang mengelola limbah B3 tanpa izin. Untuk menjadi delik pidana,
cukup dibuktikan pelaku mengolah limbah yang termasuk B3 dan pelaku tidak
dapat menunjukkan perizinan atas aktivitas tersebut. Yang dimaksud mengolah di
sini adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
Pasal 105 UUPPLH
“Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat 1 Huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
Pasal 69 Ayat 1 Huruf c mengatur larangan memasukkan limbah dari luar
negeri ke-dalam Indonesia. Pasal 105 UUPPLH merupakan mekanisme pidana
yang digunakan untuk mengefektifkan larangan tersebut melalui pemidanaan
pelaku yang melakukan perbuatan seperti diatur dalam Pasal 69 Ayat 1 Huruf c.
Untuk dapat dipidana berdasarkan Pasal 105 UUPPLH harus dapat dibuktikan
pelaku memasukkan limbah ke dalam negeri.
Pasal 109 UUPPLH
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Ayat 1, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 36 Ayat 1 UUPPLH mengatur kewajiban bagi setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, atau UKLUPL
wajib memiliki izin lingkungan. Pasal 109 UUPPLH ini mengatur sanksi pidana
bagi pelaku yang melanggar kewajiban perizinan sesuai Pasal 36 Ayat 1 UUPPLH
tersebut. Untuk dapat dipidana menggunakan pasal ini harus dapat dibuktikan

14
pelaku melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, tetapi
pelaku tidak memiliki izin lingkungan.
Pasal 115 UUPPLH
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Dalam menjalankan tugas pengawasan dan penegakan hukum lingkungan,
setiap pejabat yang berwenang mendapat perlindungan hukum dalam setiap
aktivitasnya. Hukum juga mengatur kewajiban bagi masyarakat untuk tunduk dan
patuh pada proses hukum. Pasal 115 UUPPLH menjamin pelaksanaan penegakan
hukum tersebut. Pasal tersebut juga mengancam pidana kepada setiap orang yang
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan
tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai
negeri sipil. Pasal ini bisa diterapkan kepada semua pihak yang menolak bekerja
sama dalam penegakan hukum lingkungan.
4. Perbuatan pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal yang dituntut jaksa
Pasal 41
(1) “Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Pasal 45
“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”.
Pasal 47
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum Pidana dan undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan
hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau
2. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, dan/atau
3. perbaikan akibat tindak pidana, dan/atau
4. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/ atau
5. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau
6. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian yang dijelaskan diatas maka penulis dapat
mengemukakan beberapa kesimpulan bahwa, hukum lingkungan adalah hukum
yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), dimana lingkungan
mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah
perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan memengaruhi
kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.
perkembangan hukum di dunia internasional yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat di Indonesia. Seperti halnya konsep citizen law suit yang sangat relevan
bagi kebutuhan warga negara. Dalam sistem hukum di Indonesia, mekanisme
citizen lawsuit atau action popularis belum diatur.60 Padahal konsep ini sudah
lama dikenal dan berlaku di negara-negara yang menganut sistem hukum common
law. Citizen lawsuit pada intinya adalah mekanisme bagi warga negara untuk
menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi
hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan
hukum, sehingga citizen lawsuit diajukan pada lingkup peradilan umum, dalam hal
ini perkara perdata. Citizen lawsuit, serta hak gugat (standing) adalah isu yang
sensitif di masyarakat, namun selalu menjadi wacana publik yang tidak pernah
selesai diperdebatkan. Karena menyangkut kepentingan masyarakat maupun warga
negara. Terjadinya kerusakan lingkungan dikarenakan dua faktor, yaitu faktor alam
dan faktor perbuatan manusia. (1) Faktor alam; terjadi karena adanya bencana
alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. (2) Selain faktor alam ,
faktor manusia juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hidup seperti
contoh membuang sampah sembarangan, pembuangan limbah industri, menebang
hutan secara liar. Diantara kasus tersebut yang disebabkan oleh manusia akan
terkena sanksi berupa hukum atau denda yang sesuai. Adapun upaya pemerintah
dalam mengatasi kerusakan hutan,
1. Mengeluarkan UU pokok Agraria No.5 Tahun 1960 yang mengatur tentang
tata Guna tanah.
2. Menerbitkan UU No. 4 tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok
pengelolaan lingkungan hidup.

16
3. Memberlakukan Peraturan pemerintah RI No. 24 tahun 1986, tentang AMDAL
(Analisa Mengenai Dampak Lingkungan).
4. Pada tahun 1991 pemerintah membentuk badan Pengendalian Lingkungan.
5. Upaya pelestarian lingkungan hidup oleh Masyarakat bersama Pemerintah.

B. Daftar Pustaka
Richard, Stewart and James, E Krier. 1978. Environmental Law and Policy. New
York: The Bobbs Merril co.Inc, Indianapolis.
Munadjat, Danusaputro. 1986. Hukum Lingkungan dalam Pencemaran Lingkungan
Melandasi Sistem Hukum Pencemaran. Bandung: Bina Cipta.
Laode, Syarif. “Hukum Lingkungan”. Jakarta: Pustaka Jaya. 2009.
Munadjat, Danputro. 1984. Hukum dan Lingkungan. Bandung: Binacipta.
Ronald, Dworkin. 2004. Theory of Content, dalam S.H.R, Otje, Salman, Teori
Hukum. “Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali”. Bandung:
Refika Aditama.

Hans, Kelsen. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nuansa
Media.
Rochmat, Soemitro. 1974. Pajak dan Pembangunan. Bandung: Cipta Karya.
Siti, Sundari, Rangkuti. 2001. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional. Surabaya: Budaya Pustaka.

17

Anda mungkin juga menyukai