Dosen Pengampu:
Dr. Sri Warjiyati, S.H., M.H.
Disusun oleh:
Safin Wahyu Firdana (C04219039)
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan, terima kasih Penulis ucapkan atas bantuan Tuhan yang telah
mempermudah dalam pembuatan makalah ini, hingga akhirnya terselesaikan tepat
waktu. Tanpa bantuan dari Tuhan, Penulis bukanlah siapa-siapa. Selain itu, Penulis
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, serta pasangan
yang sudah mendukung hingga titik terakhir ini.
Untuk pembuatan makalah ini, Penulis menyadari jika mungkin ada sesuatu
yang salah dalam penulisan, seperti menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak
sama dengan pengetahuan pembaca lain. Penulis mohon maaf jika ada kalimat atau
kata-kata yang salah. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Tuhan.
Penulis,
i
DAFTAR ISI
Rumusan
Masalah ............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
...............................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................16
B. Daftar
Pustaka..........................................................................17
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kenyataan pahit ini, tidak hanya terjadi di belahan dunia tertentu tapi sudah
menjadi masalah global. Richard Stewart dan James E Krier mengelompokkan
masalah lingkungan dalam tiga hal:1 pertama, pencemaran lingkungan
(pollution); kedua, penggunaan atau pemanfaatan lahan yang salah (land
misuse); dan ketiga, pengerukan secara berlebihan yang menyebabkan habisnya
sumber daya alam (natural resource depletion). Jika ditarik benang lurus, maka
terganggunya kualitas lingkungan, seperti habisnya sumber daya alam, tercemar
serta rusaknya lingkungan, tidak terlepas dari pemanfaatan sumber daya alam
yang serampangan dan berlebihan (over exploitation of natural resources).
1
Richard Stewart and James E Krier, Environmental Law and Policy (New York The
Bobbs Merril co.Inc.:, Indianapolis, 1978), 3-5.
2
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan dalam Pencemaran Lingkungan
Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Buku V: Sektoral (Bina Cipta, Bandung, 1986),
77.
1
samping menimbulkan kerusakan alam, pencemaran juga akan mengakibatkan
berbagai kerusakan bagi alam dan makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Jika dilihat dari penjelasan di atas, maka dapat dikatakan tata nilai yang
menyebabkan meningkatnya pencemaran dan perusakan lingkungan adalah
masih dianutnya etika lingkungan yang anthropocentric. Etika ini
menempatkan kepentingan manusia di atas kepentingan makhluk lainnya. Oleh
karena itu, segala sesuatu yang ada di alam dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia semata. Dalam
pendekatan antroposentrisme, seringkali dianggap posisi manusia berada di
luar dan terpisah dari lingkungannya. Oleh karena menganggap bahwa
keberadaan lingkungan tersebut diperuntukkan semata-mata untuk kepentingan
manusia, kita sering kali lupa memeliharanya.7 Selain nilai anthropocentric,
kepedulian manusia untuk menjunjung keberlanjutan hidup dan alam yang
tercermin dalam nilai nilai kearifan lokal yang menjunjung konsep
pemeliharaan lingkungan, juga mulai pudar seiring dengan meningkatnya
tuntutan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Bertolak dari realitas yang ada, sudah saatnya bagi umat manusia untuk
lebih memperhatikan dan menjaga bumi yang kita pijak karena sampai dengan
saat ini belum ada planet lain yang dapat menyediakan kehidupan dan
keselamatan seperti bumi dan seluruh isinya. Pendeknya, bumi dan seluruh
sumber daya alam yang ada di dalamnya tidak dapat dijadikan sebagai objek
untuk pemenuhan kebutuhan dan kesenangan manusia belaka, tapi harus
ditempatkan sebagai subjek yang setara dengan manusia karena keselamatan
manusia sekarang dan anak cucu kita sangat tergantung pada kelakuan manusia
saat ini. Sayangnya kualitas lingkungan dunia, seperti yang akan dikemukakan
pada sub-bab berikut, sudah sangat kritis sehingga memerlukan kerja ekstra
keras jika kita ingin mewariskan bumi yang lebih baik pada anak cucu kita.
B. Rumusan Masalah
Dari berbagai bahasan diatas, maka bisa dirumuskan beberapa pokok
masalah yang menjadi titik utama, diantaranya sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan hukum lingkungan?
2. Bagaimana perkembangan hukum lingkungan di Indonesia??
3. Apa faktor penyebab terjadinya kerusakan lingkungan?
4. Apa upaya pemerintah untuk menghentikan pengerusakan lingkungan dan
ekosistem?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Di Indonesia, sejumlah prinsip yang dijelaskan di awal bab ini telah
diadopsi oleh hampir seluruh peraturan perundang-undangan nasional di
Indonesia. Di antaranya dapat kita lihat pada sejumlah ‘UU Lingkungan Hidup
Indonesia’ berikut:
Uraian dan makna prinsip Dworkin di atas, jika dikaitkan dengan prinsip
hukum lingkungan global, dimaknai sebagai prinsip-prinsip hukum, baik dalam
konteks nasional, regional, dan internasional. Dalam konteks ini, integrasi
prinsip hukum lingkungan global harus dimuat dalam konstitusi suatu negara.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai bagian terintegrasi dari masyarakat dunia,
sepatutnyalah menuangkan prinsip-prinsip tersebut, bukan hanya dalam UUD
Tahun 1945, tetapi juga dalam bentuk undang-undang (selanjutnya disingkat
UU).
4
St. Munadjat Danputro, Hukum dan Lingkungan (Bandung: Binacipta, 1984), 46-48.
5
Ronald Dworkin, Theory of Content, dalam S.H.R. Otje Salman dan A.F. Snto, “Teori
Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali” (Bandung: Refika
Aditama, cet. Ke-1, 2004), 93-94.
4
kata lain, tidak terdapat pertentangan penggunaan frasa prinsip hukum dan
frasa asas hukum.6
6
Hans Kelsen, “Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (Bandung, Nmedia dan
Nuansa, 2006), 50-51.
7
Laode Syarif, “Hukum Lingkungan”, Teori, Legilasi dan Studi Kasus, 65.
5
Terkait dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup dalam Pasal 28H Ayat 1
maupun Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945, Mukhlis dan Mustafa Lutfi, berpendapat
“terdapat 2 konsep yang berkaitan dengan ide ekosistem, yaitu perekonomian
nasional berdasar demokrasi ekonomi, harus mengandung prinsip
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.” Hal ini diartikan bahwa alam
memiliki kekuasaan dan hak-hak asasinya sendiri yang tidak boleh dilanggar
oleh siapa pun (inalienable rights). Pengaturan hak asasi di bidang lingkungan
hidup telah mengharuskan bagi setiap individu dan negara untuk menjamin
terpenuhinya hak bagi setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Pengaturan hak asasi di bidang lingkungan hidup hakikatnya
merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi yang dimiliki oleh setiap
orang (individu). Selanjutnya akan dijelaskan lebih detail pada bab berikutnya
tentang tentang hak atas lingkungan.
Dalam konteks ini, lebih lanjut alam dimaknai dan diakui memiliki
kedaulatannya sendiri. Sehingga di samping rakyat sebagai manusia yang
dianggap berdaulat, alam juga berdaulat. Inilah hakikat yang dimaksudkan
dengan prinsip kedaulatan lingkungan, yang juga terkandung dalam UUD
1945.8
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan), yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan perundang-undangan,
dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk.
Kegunaan pajak adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Dengan demikian, pajak dapat diartikan sebagai peralihan kekayaan dari rakyat
kepada pemerintah melalui kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
kelebihannya dapat digunakan untuk simpanan publik (public saving), yang
merupakan sumber utama untuk membiayai investasi publik (public
investment).9
Namun demikian, pajak lingkungan tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai
satu mekanisme proteksi dan preventif yang optimal. Hal ini bisa dilihat pada
mekanisme pajak lingkungan yang diterapkan dalam upaya konservasi satwa
8
Ibid, 89.
9
Rochmat Soemitro,Pajak dan Pembangunan (Eresco, Bandung, 1974), 8.
6
liar atau dilindungi. Jepang sebagai salah satu negara importir gading besar di
dunia pernah membuka pasar lebar-lebar untuk impor gading, termasuk gading
yang berasal dari Afrika. Dalam rangka pertimbangan lingkungan hidup, yaitu
agar tidak terjadi pembunuhan secara besar-besaran terhadap gajah di Afrika,
Jepang berupaya mengontrol level penjualan dengan mengenakan pajak
penjualan yang sangat tinggi. Kemudian yang terjadi adalah bahwa meskipun
harganya tinggi, permintaan akan gading dan turunannya tidak reda, bahkan
semakin tinggi. Gading semakin mantap statusnya sebagai barang mewah. Hal
ini terjadi karena income per capita masyarakat Jepang sangat tinggi, sehingga
peningkatan harga tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap aspek
permintaan.10
7
upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam
ketentuan hukum lingkungan yang berlaku secara umum dan individual,
melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, kepidanaan, dan
keperdataan.
8
Penegakan hukum lingkungan administrasi sebagai bagian dari
penegakan hukum administrasi harus memenuhi 4 unsur sebagaimana
dinyatakan oleh Philipus M Hadjon, yang meliputi:
1. Legitimasi
2. Instrumen Yuridis
3. Norma Hukum Administrasi
4. Kumulasi Sanksi
9
3. Peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
PPLH dan/atau PPLHD melakukan pengawasan sebagai upaya
melindungi dan pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada:
1. laporan pelaksanaan izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan/atau
2. pengaduan masyarakat.
10
Adapun jenis-jenis tindak pidana:
1. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
Pasal 98 Ayat 1
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
11
f. baku mutu gangguan, dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
12
menduga bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup.
Pasal 99 Ayat 1
“Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
Ayat berikutnya, yakni Ayat 2 dan 3 mengatur juga mengenai delik yang
dikualifisir oleh akibat. Delik kealpaan menyebabkan pencemaran lingkungan
atau perusakan lingkungan diperberat ancaman pidananya jika mengakibatkan
luka dan/atau bahaya kesehatan dan luka berat atau mati seperti tercantum
dalam Pasal 99 Ayat 2 dan 3 UUPPLH.
Pasal 99 Ayat 2
“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.
Pasal 99 Ayat 3
“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah)”.
3. Tindak Pidana Lingkungan yang mengatur sanksi pidana yang dijatuhkan
terhadap pelanggaran kewajiban
Pasal 101 UUPPLH
“Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat 1 Huruf g,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pengaturan dalam Pasal 101 UUPPLH memidana pelaku yang melanggar
kewajiban yang diatur undang-undang, dalam hal ini kewajiban/perizinan yang
berkaitan dengan pelepasan dan/atau peredaran produk rekayasa genetik ke media
lingkungan. Pasal ini bisa disebut tindak pidana administrasi (administrative penal
13
law) karena pemidanaan didasarkan pada ketidaktaatan pada proses administrasi
(perizinan) dalam pelepasan atau peredaran produk rekayasa genetik.
14
pelaku melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, tetapi
pelaku tidak memiliki izin lingkungan.
Pasal 115 UUPPLH
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Dalam menjalankan tugas pengawasan dan penegakan hukum lingkungan,
setiap pejabat yang berwenang mendapat perlindungan hukum dalam setiap
aktivitasnya. Hukum juga mengatur kewajiban bagi masyarakat untuk tunduk dan
patuh pada proses hukum. Pasal 115 UUPPLH menjamin pelaksanaan penegakan
hukum tersebut. Pasal tersebut juga mengancam pidana kepada setiap orang yang
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan
tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai
negeri sipil. Pasal ini bisa diterapkan kepada semua pihak yang menolak bekerja
sama dalam penegakan hukum lingkungan.
4. Perbuatan pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal yang dituntut jaksa
Pasal 41
(1) “Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Pasal 45
“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”.
Pasal 47
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum Pidana dan undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan
hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau
2. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, dan/atau
3. perbaikan akibat tindak pidana, dan/atau
4. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/ atau
5. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau
6. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian yang dijelaskan diatas maka penulis dapat
mengemukakan beberapa kesimpulan bahwa, hukum lingkungan adalah hukum
yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), dimana lingkungan
mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah
perbuatannya yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan memengaruhi
kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.
perkembangan hukum di dunia internasional yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat di Indonesia. Seperti halnya konsep citizen law suit yang sangat relevan
bagi kebutuhan warga negara. Dalam sistem hukum di Indonesia, mekanisme
citizen lawsuit atau action popularis belum diatur.60 Padahal konsep ini sudah
lama dikenal dan berlaku di negara-negara yang menganut sistem hukum common
law. Citizen lawsuit pada intinya adalah mekanisme bagi warga negara untuk
menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi
hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan
hukum, sehingga citizen lawsuit diajukan pada lingkup peradilan umum, dalam hal
ini perkara perdata. Citizen lawsuit, serta hak gugat (standing) adalah isu yang
sensitif di masyarakat, namun selalu menjadi wacana publik yang tidak pernah
selesai diperdebatkan. Karena menyangkut kepentingan masyarakat maupun warga
negara. Terjadinya kerusakan lingkungan dikarenakan dua faktor, yaitu faktor alam
dan faktor perbuatan manusia. (1) Faktor alam; terjadi karena adanya bencana
alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. (2) Selain faktor alam ,
faktor manusia juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hidup seperti
contoh membuang sampah sembarangan, pembuangan limbah industri, menebang
hutan secara liar. Diantara kasus tersebut yang disebabkan oleh manusia akan
terkena sanksi berupa hukum atau denda yang sesuai. Adapun upaya pemerintah
dalam mengatasi kerusakan hutan,
1. Mengeluarkan UU pokok Agraria No.5 Tahun 1960 yang mengatur tentang
tata Guna tanah.
2. Menerbitkan UU No. 4 tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok
pengelolaan lingkungan hidup.
16
3. Memberlakukan Peraturan pemerintah RI No. 24 tahun 1986, tentang AMDAL
(Analisa Mengenai Dampak Lingkungan).
4. Pada tahun 1991 pemerintah membentuk badan Pengendalian Lingkungan.
5. Upaya pelestarian lingkungan hidup oleh Masyarakat bersama Pemerintah.
B. Daftar Pustaka
Richard, Stewart and James, E Krier. 1978. Environmental Law and Policy. New
York: The Bobbs Merril co.Inc, Indianapolis.
Munadjat, Danusaputro. 1986. Hukum Lingkungan dalam Pencemaran Lingkungan
Melandasi Sistem Hukum Pencemaran. Bandung: Bina Cipta.
Laode, Syarif. “Hukum Lingkungan”. Jakarta: Pustaka Jaya. 2009.
Munadjat, Danputro. 1984. Hukum dan Lingkungan. Bandung: Binacipta.
Ronald, Dworkin. 2004. Theory of Content, dalam S.H.R, Otje, Salman, Teori
Hukum. “Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali”. Bandung:
Refika Aditama.
Hans, Kelsen. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nuansa
Media.
Rochmat, Soemitro. 1974. Pajak dan Pembangunan. Bandung: Cipta Karya.
Siti, Sundari, Rangkuti. 2001. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional. Surabaya: Budaya Pustaka.
17