Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TEKNOLOGI AIR DAN BUANGAN INDUSTRI

LANDASAN HUKUM MENGENAI LINGKUNGAN HIDUP

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknologi Air dan Buangan Industri

Dosen Pembimbing: Dr.


Masrullita, S,Si.,MT

Disusun Oleh:
Kelompok 3 (A3)
Anggi Dwi Safitri NIM.180140079
Humaira Vebyca NIM.180140082
M. Syarif Hidayatullah NIM.180140083
T. Maimul Fidar NIM.180140089
Eva Diana NIM.180140097
Thea Rizki Aprilia NIM.180140104
Sausan Munira NIM.180140106

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena atas limpahan
nikmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul
“Landasan Hukum Mengenai Lingkungan Hidup”. Makalah ini disusun untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah “Teknologi Air dan Buangan Industri” yang
telah diberikan.

Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunan makalah ini masih jauh


dari kesempurnaan, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Hal ini tidak lain
karena keteerbatasan kami dalam mencari sumber yang dapat dijadikan sebagai
referensi dan juga keterbatasan pengetahuan yang kami miliki. Kami sangat
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca. Oleh karena itu,
kepada semua pihak kiranya dapat memberikan kritik dan saran demi perbaikan
penulisan makalah ini.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bukit Indah, 4 Maret 2020

Penyusun

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................4
1. Latar Belakang ..................................................................................................4
2. Rumusan Masalah .............................................................................................5
3. Tujuan ................................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................6
2.1 Definisi Lingkungan Hidup ...........................................................................6
2.1.1 Prinsip Lingkungan Hidup ....................................................................7
2.1.2 Peraturan Tentang Lingkungan Hidup.................................................8
2.2 Baku Mutu Lingkungan dan Pencemaran Kualitas Lingkungan ..............10
2.2.1 Jenis-jenis Baku Mutu Lingkungan ....................................................12
2.2.2 Baku Mutu Lingkungan.......................................................................13
2.2.3 Baku Mutu Udara ................................................................................13
2.3 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).............................................14
2.3.1 Identifikasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)..................15
2.3.2 Karakterisasi B3 Menurut PP 74/2001 ................................................18
2.3.3 Uji Toksisitas........................................................................................18
2.3.4 Uji LC-50..............................................................................................19
2.3.4 LD-50....................................................................................................21
2.3.5 Uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure)......................22
2.4 Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ......................................24
BAB III PENUTUP .....................................................................................................27
1. Kesimpulan ......................................................................................................27
2. Saran ................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam
segala aspek dan matranya sesuai dengan wawasan nusantara. Dalam rangka
mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum
seperti diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup, berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu
dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan
generasi masa depan. Untuk itu perlu dipandang untuk melaksanakan pengelolaan
lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang
terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Dalam penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup, harus
memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan
global serta perangkat hukum Internasional. yang berkaitan dengan lingkungan
hidup. Kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa,
sehingga perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan terjadi bila daur
materi dalam lingkungan hidup mengalami perubahan sehingga keseimbangan
dalam hal struktur maupun fungsinya terganggu. Ketidakseimbangan struktur dan
fungsi daur materi terjadi karena proses alam atau juga karena perbuatan manusia.
Dalam abad modern ini banyak kegiatan atau perbuatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan teknologi sehingga banyak
menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam usaha merubah lingkungan hidup
manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya dapat menimbulkan masalah
yang disebut pencemaran.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apasaja landasan-landasan hukum mengenai lingkungan hidup?
2. Apasaja Baku Mutu Lingkungan dan Pencemaran Kualitas Lingkungan?
3. Bagaimana cara menidentifikasi dalam menentukan limbah B3?

3. Tujuan
1. Mengetahui landasan-landasan hukum mengenai lingkungan hidup.
2. Mengetahui baku mutu lingkungan dan pencemaran kualitas lingkungan.
3. Mengetahui cara identifikasi dalam penentuan limbah B3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lingkungan Hidup


Lingkungan hidup menurut para ahli dapat diartikan dengan berbagai
macam pengertian seperti yang dilakukan oleh ahli hukum lingkungan N.H.T
Siahaan berikut ini. Salah satu faktor keterancaman bagi lingkungan hidup
menurut ahli hukum lingkungan seperti N.H.T. Siahaan adalah kehadiran
pembangunan mungkin tidak akan menyumbang kerusakan tata ekologi separah
yang terjadi sekarang, bila paradigma atas pembangunan itu dilihat sebagai
hubungan yang tidak bertolak belakang dengan persoalan lingkungan. Akan
tetapi, justru pembangunan ditafsirkan sebagai tujuan dari segalanya karena
kecenderungan pada pembangunan itu dapat menyelesaikan kemiskinan,
keterbelakangan dan masalah- masalah sosial ekonomi lainnya.
Sedangkan pengertian lain mengenai lingkungan hidup adalah semua
benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat
manusia dan makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya.
Lingkungan hidup, sering disebut sebagai lingkungan adalah istilah yang dapat
mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di bumi atau
bagian dari bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang
berlebihan.
Kemudian Menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi sebagai
berikut :
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.”18 Sehingga dari banyaknya pengertian tersebut diatas dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa lingkungan hidup merupakan semua makhluk baik
yang hidup maupun mati yang tinggal di alam dengan kehidupannya yang
saling
bersinggungan dan mempengaruhi demi berlangusngnya hidup mereka masing-
masing. Selama ini, pengelolaan lingkungan hidup cenderung hanya pada
pemanfaatan lingkungan hidup sebagai objek pembangunan, maka dengan adanya
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan
dapat memberikan keseimbangan dalam rangka upaya untuk mempertahankan
fungsi lingkungan hidup sebagai sebuah ekosistem.

2.1.1 Prinsip Lingkungan Hidup


Lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga pengertian lingkungan hidup
hampir mencakup semua unsur ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa di bumi ini.
Itulah sebab lingkungan hidup termasuk manusia dan perilakunya merupakan
unsur lingkungan hidup yang sangat menentukan. Namun, tidak dapat dipungkiri
bahwa lingkungan saat ini oleh sebagian kalangan dianggap tidak bernilai, karena
lingkungan hidup (alam) hanya sebuah benda yang diperuntukkan bagi manusia.
Dengan kata lain, manusia merupakan penguasa lingkungan hidup, sehingga
lingkungan hidup hanya dipersepsikan sebagai Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan
lingkungan guna mempertahankan kehidupan untuk mencapai kesejahteraan dan
kelestarian lingkungan. Istilah pengelolaan dapat memiliki suatu arti yaitu
mengendalikan, menyelenggarakan pemerintahan dan sebagainya. Dalam setiap
rencana kegiatan, penanggungjawab kegiatan dan atau usaha akan selalu dibebani
oleh suatu instrumen perlindungan yang disebut dengan izin, dalam rangka menata
ketertiban sebagai instrumen yuridis preventif. Untuk memberikan kepastian
hukum, hampir semua izin bentuknya tertulis dan isinya merupakan suatu
keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit dan individual. Pengertian
konkrit disini berarti bahwa izin diberikan atas dasar peraturan yang bersifat
abstrak, umum. Dengan diterbitkan izin, terhadap kegiatan tertentu, maka aturan
tersebut menjadi bersifat konkrit dan individu. Keputusan orang yang memberi
izin harus dilakukan oleh orang yang berwenang. Dalam konteks ini, peraturan
umum biasanya telah menunjuk terhadap siapa yang berwenang dalam sistem
perizinan. Perizianan harus diterbitkan oleh
badan/pejabat yang berwenang kepada orang yang berkepentingan, dalam hal ini
adalah pemohon. Dengan demikian keputusan terhadap perizinan dialamatkan
kepada pemohon, sehingga bentuk dari izin itu bersifat individual.

2.1.2 Peraturan Tentang Lingkungan Hidup


Pengaturan hukum lingkungan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu :
a. Pengaruh konferensi stockholm dalm pembentukan perundang-undangan
lingkungan nasional.
Lingkungan hidup dalam perspektif teoritis dipandang sebagai bagian
mutlak dari kehidupan manusia, tidak terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri.
Oleh karena itu menurut Munadjat Danusaputro mengatakan bahwa manusia
dalam hidupnya harus melindungi dan mengamankan lingkungan hidup agar dapat
terselenggara secara teratur dan pasti serta dapat diikuti dan ditaati oleh semua
pihak. Perlindungan dan pengamanan perlu dituangkan dalam bentuk peraturan
hukum, sehingga akan lahir hukum yang berorientasi kepada kepentingan alam
(nature’s interest oriented law). Hukum yang melindungi dan mengamankan
kepentingan alam, artinya berupa keharusan untuk melindungi dan mengamankan
alam dari kemerosotan mutu dan kerusakannya. Dengan kata lain, keharusan
menjaga kelestariannya yang diatur oleh aturan hukum yang disebut hukum
lingkungan. Landasan penting oleh negara-negara dalam pengelolaan lingkungan
dan pengaturan hukumnya melalui perangkat perundang-undangan yang
dikehendakinya. Bahkan dalam pandangan Daud Silalahi, pengaruh konferensi
stockholm terhadap gerakan kesadaran lingkungan tersermin dari perkembangan
dan peningkatan perhatian terhadap permasalahan lingkungan dan terberntuknya
perundangundangan nasional di bidang lingkungan hidup termasuk di Indonesia.
b. Konsep hukum lingkungan klasik dan modern di Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara peserta konferensi stockholm tersebut,
telah membuktikan komitmennya untuk mengaktualisasi hasilhasil konferensi
terutama menghasilkan perundang-undangan nasional yang menjadi pengaturan
hukum lingkungan di Indonesia. Meskipun pengaturan hukum lingkungan modern
dianggap baru terbentuk setelah lahirnya Deklarasi stockholm 1972, menurut Daud
Silalahi, pengaturan hukum lingkungan dalam arti sempit, seperti masalah
lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal, lingkungan alam tertentu,
perlindungan binatang liar dan kawasan, tempat terdapat jenis binatang dan
tanaman bagi kepentingan ilmu pengetahuan sudah dikenal.
Pembangunan ekonomi, di samping menimbulkan manfaat berupa
peningkatan taraf hidup masyarakat, dapat juga menimbulkan kerugian ekonomis
melalui kemerosotan mutu lingkungan, melalui pencemaran dan perusakan
lingkungan bila dilaksanakan tanpa memasukkan pertimbangan lingkungan dalam
perencanaan kegiatan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan hari ini umumnya
terjadi karena tidak dimasukkannya pertimbangan lingkungan (environmental
considerations) dalam perencanaan kegiatan. Dalam mengatasi pembangunan
ekonomi yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan, masyarakat Internasional
melalui Deklarasi Rio 1992 sepakat melaksanakan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Prinsip ini hanya membolehkan pembangunan bila
tidak menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan, yang dapat
menimbulkan kerugian pada generasi yang akan datang Dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, sebagian
besar kewenangan pengelolaan lingkungan dan pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan lingkungan
di Indonesia bersifat sentralistik. Namun dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun
2014 terjadi pergeseran kewenangan pengelolaan lingkungan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 10 Ayat 1.
Menurut pasal ini, semua kewenangan dalam bidang pemerintahan adalah
kewenangan daerah kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di
bidang lain. Berdasarkan Pasal 10 Ayat 1 ini, kewenangan pengelolaan
lingkungan hidup menjadi kewenangan daerah. Adapun yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan lingkungan hidup hanya berupa
kewenangan yang bersifat universal.
2.2 Baku Mutu Lingkungan dan Pencemaran Kualitas Lingkungan
Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat
atau bahan pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan
gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuhan atau benda lainnya.
Menurut pengertian secara pokok, baku mutu adalah peraturan pemerintah
yang harus dilaksanakan yang berisi spesifikasi dari jumlah bahan pencemar yang
boleh dibuang atau jumlah kandungan yang boleh berada dalam media ambien.
Secara objektif, baku mutu merupakan sasaran ke arah mana suatu pengelolaan
lingkungan ditujukan. Kriteria baku mutu adalah kompilasi atau hasil dari suatu
pengolahan data ilmiah yang akan digunakan untuk menentukan apakah suatu
kualitas air atau udara yang ada dapat digunakan sesuai objektif penggunaan
tertentu.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai
aktivitas industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap
pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
Pada saat ini, pencemaran terhadap lingkungan berlangsung di mana-mana dengan
laju yang sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan sudah
semakin berat dengan masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia
termasuk logam berat.

Baku mutu untuk mencegah berlimpahnya limbah sehingga mengakibatkan


baku mutu lingkungan tidak memenuhi syarat penghidupan bagi manusia.
Kemampuan lingkungan sering diistilahkan dengan daya dukung lingkungan, daya
toleransi dan daya tenggang, atau istilah asingnya disebut carrying
capacity.Sehubungan dengan batu mutu lingkungan, ada istilah nilai ambang batas
yang merupakan batas-batas daya dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau
kemampuan lingkungan. Nilai ambang batas tertinggi atau terendah dari
kandungan zat-zat, makhluk hidup atau komponen-komponen lain dalam setiap
interaksi yang berkenaan dengan lingkungan khususnya yang mempengaruhi mutu
lingkungan. Jadi jika terjadi kondisi lingkungan yang telah melebihi nilai ambang
batas (batas
maksimum dan minimum) yang telah ditetapkan berdasarkan baku mutu
lingkungan maka dapat dikatakan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar.
Adanya peraturan perundangan (nasional maupun daerah) yang mengatur
baku mutu serta peruntukan lingkungan memungkinkan pengendalian pencemaran
lebih efektif karena toleransi dan atau keberadaan unsur pencemar dalam media
(maupun limbah) dapat ditentukan apakah masih dalam batas toleransi di bawah
nilai ambang batas (NAB) atau telah melampaui. Dasar hukum baku mutu
lingkungan terdapat dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1982 Pasal 15 yang
berbunyi sebagai berikut: “Perlindungan lingkungan hidup dilakukan berdasarkan
baku mutu lingkungan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.”
Adapun penjelasannya sebagai berikut:“Agar dapat ditentukan telah terjadi
kerusakan lingkungan hidup perlu ditetapkan baku mutu lingkungan, baik
penetapan kriteria kualitas lingkungan hidup maupun kualitas buangan atau
limbah. Kriteria dan pembakuan ini dapat berbeda untuk setiap lingkungan,
wilayah atau waktu mengingat akan perbedaan tata gunanya. Perubahan keadaan
lingkungan setempat serta perkembangan teknologi akan mempengaruhi kriteria
dan pembakuan yang telah ditetapkan.”
Apabila pada suatu saat ada industri yang membuang limbahnya ke
lingkungan dan telah memenuhi baku mutu lingkungan, tetapi kualitas lingkungan
tersebut mengganggu kehidupan manusia, maka yang dipersalahkan bukan
industrinya. Apabila hal tersebut terjadi, maka baku mutu lingkungannya yang
perlu dilihat kembali, hal ini mengingat penjelasan dari Undang-undang No. 4
Tahun 1984 Pasal 15, seperti tersebut di atas.
Adapun langkah-langkah penyusunan baku mutu lingkungan:
1. Identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang harus
dilindungi (objektif sumber daya tersebut tercapai).
2. Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan
pengolahan dari berbagai informasi ilmiah.
3. Merumuskan baku mutu ambien dari hasil penyusunan kriteria.
4. Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dilepas ke dalam lingkungan
yang akan menghasilkan keadaan kualitas baku mutu ambien yang telah
ditetapkan.
5. Membentuk program pemantauan dan penyempurnaan untuk menilai
apakah objektif yang telah ditetapkan tercapai.

2.2.1 Jenis-jenis Baku Mutu Lingkungan


Sehubungan dengan fungsi baku mutu lingkungan maka dalam hal
menentukan apakah telah terjadi pencemaran dari kegiatan industri atau pabrik
dipergunakan dua buah sistem baku mutu lingkungan yaitu:
a. Effluent Standar
Effluent Standard merupakan kadar maksimum limbah yang diperbolehkan
untuk dibuang ke lingkungan.
b. Stream Standard
Stream Standard merupakan batas kadar untuk sumberdaya tertentu, seperti
sungai, waduk, dan danau. Kadar yang diterapkan ini didasarkan pada
kemampuan sumberdaya beserta sifat peruntukannya. Misalnya batas kadar
badan air untuk air minum akan berlainan dengan batas kadar bagi badan
air untuk pertanian.
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam
keputusannya No. KEP-03/MENKLH/II/1991 telah menetapkan baku mutu air
pada sumber air, baku mutu limbah cair, baku mutu udara ambien, baku mutu
udara emisi dan baku mutu air laut.
Dalam keputusan tersebut yang dimaksud dengan:
1. Baku mutu air pada sumber air, disingkat baku mutu air, adalah batas kadar
yang diperolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam air, namun
air tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
2. Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada
sumber air, sehingga tidak menyebabkan dilampauinya baku mutu air;
3. Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat
atau bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan
gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan benda;
4. Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat
atau bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara,
sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien;
5. Baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain yang ada atau harus ada, dan zat atau bahan pencemar yang
ditenggang adanya dalam air laut.

2.2.2 Baku Mutu Lingkungan


Baku mutu air dan baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan oleh
gubernur dimaksudkan untuk melindungi peruntukan air di daerahnya. Dengan
demikian harus diperhatikan dalam setiap kegiatan yang menghasilkan limbah cair
dan yang membuang limbah cair tersebut ke dalam air pada sumber air. Limbah
cair harus memenuhi persyaratan:
1. Mutu limbah cair yang dibuang ke dalam air pada sumber air tidak boleh
melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan.
2. Tidak mengakibatkan turunnya kualitas air pada sumber air penerima
limbah.
Hal tersebut mengharuskan agar setiap pembuangan limbah cair ke dalam
air pada sumber air, mencantumkan kuantitas dan kualitas limbah.

2.2.3 Baku Mutu Udara


Baku mutu udara ambien dan emisi ditetapkan dengan maksud untuk
melindungi kualitas udara di suatu daerah. Baku mutu udara ambien dan emisi
limbah gas yang dibuang ke udara harus mencantumkan secara jelas dalam izin
pembuangan gas. Semua kegiatan yang membuang limbah gas ke udara ditetapkan
mutu emisinya dalam pengertian:
1. Mutu emisi dari limbah gas yang dibuang ke udara tidak melampaui baku
mutu udara emisi yang telah ditetapkan.
2. Tidak menyebabkan turunnya kualitas udara.
Baku mutu udara ambien terdiri dari 9 jenis:
1. Sulfur dioksida
2. Karbon monoksida
3. Oksida nitrogen
4. Oksida
5. Hidrogen sulfida
6. Hidrokarbon
7. Amoniak
8. Timah hitam/timbal
9. Debu

2.3 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999
Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, limbah merupakan
sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun
yang karena sifat atau konsentrasinya, jumlanya, baik secara langsung maupun
tidak langsung dapat mencemarkan dan merusak lingkungan hidup sehingga dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain. Apabila limbah mengandung salah satu pencemar yang
terdapat Peraturan Pemerintah, dengan konsentrasi sama atau lebih besar maka
limbah tersebut merupakan limbah B3. Bila nilai konsentrasi zat pencemar lebih
kecil dari nilai ambang batas maka dilakukan uji toksikologi.
Limbah beracun adalah limbah yang mengandung pencemar yang bersifat
racun bagi manusia atau lingkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit
yang serius apabila masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
Penentuan sifat beracun untuk mengidentifikasi limbah ini dapat mengunakan
baku mutu konsentrasi Toxicity Characteristic Leaching Procedur (TCLP)
pencemar organik dan anorganik dalam limbah sebagaimana yang tercantum
dalam PP No.85 tahun 1999.
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) yang dibuang langsung
kedalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia serta mahkluk hidup lainnya. Mengingat resiko tersebut, perlu
diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat meminimalkan limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun (B3) dari luar wilayah Indonasia. Pemerintah Indonesia
dalam pengawasan perpindahan lintas batas limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3) telah meratifikasi Konvensi Basel pada tanggal 12 juli 1993 dengan
keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1993.

Gambar 2.1. Alur Terbentuknya B3

2.3.1 Identifikasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)


Tujuan identifikasi B3:
1. Mengklasifikasi/mengidentifikasi apakah limbah tersebut termasuk limbah
B3 atau bukan.
2. Mengetahui sifat dan karakteristik limbah sehingga dapat mengetahui
metode pengelolaannya.
3. Menganalisis potensi bahayanya terhadap lingkungan, dan makhluk hidup
lainnya.

Langkah-langkah identifikasi limbah B3:


1. Mencocokkan limbah dengan daftar jenis limbah B3 sebagaimana PP No.
85 tahun 1999.
2. Apabila tidak cocok dengan daftar jenis limbah B3, diperiksa apakan
limbah tersebut memiliki karakteristik: mudah terbakar, mudah meledak,
bersifat reaktif, bersifat korosif, infeksius dan beracun.
3. Apabila kedua tahapan tersebut diatas telah dilakukan dan tidak memenuhi
ketentuan limbah B3 maka dilakukan uji toksikologi.
Untuk mengidentifikasi limbah sebagai limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3) diperlukan uji karakteristik dan uji toksikologis atas limbah tersebut.
Pengujian ini meliputi karakterisasi limbah atas sifat-sifat mudah meledak dan
atau mudah terbakar dan atau bersifat reaktif, dan atau beracun dan atau
menyebabkan infeksi, dan atau berisfat korosif.
Uji toksikologi digunakan untuk mengetahui nilai akut dan atau kronik
limbah. Penentuan sifat akut limbah dilakukan dengan uji hayati untuk mengetahui
hubungan dosis respon antara limbah dengan kematian hewan uji untuk
menetapkan nilai Lethal Dose Fifty (LD-50) adalah dosis limbah yang
menghasilkan 50% respons kematian pada populasi hewan uji. Sedangkan sifat
kronis limbah B3 ditentukan dengan cara mengevaluasi sifat zat pencemar yang
terdapat di dalam limbah dengan menggunakan metodelogi tertentu (PP No 85
tahun 1999).
Penentuan yang lebih spesifik terhadap kandungan bahan organik dan
anorganik yang diklasifikasikan sebagai komponen aktif B3, ditentukan dengan
metoda Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP). Identifikasi limbah
B3 berdasarkan karakteristiknya dapat dibagi seperti dijelaskan sebagi berikut:
1. Mudah meledak
2. Mudah terbakar
3. Limbah reaktif
4. Limbah beracun
5. Korosif
6. Limbah infeksi
7. Uji toksikologi
Gambar 2.2 Skema Identifikasi Limbah B3

Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:


1. Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada
pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang
stabil dan mudah menguap
2. Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan
flokulasi
3. Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan
dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa
lumpur dari hasil proses tersebut
4. Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan
digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang
dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.
Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total
solids residue (TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids
(VR), kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat
B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun,
serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn,
Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya.
Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg
dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri
kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah
hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun
dalam konsentrasi rendah.

2.3.2 Karakterisasi B3 Menurut PP 74/2001


Penjelasan PP 74/2001 menguraikan secara singkat klasifikasi B3 sebagai
berikut:
a. Explosive (mudah meledak)
b. Oxidizing (pengoksidasi)
c. Flammable (mudah menyala)
• Extremely flammable
• Highly flammable
• Flammable
d. Toxic (beracun)
e. Harmful (berbahaya)
f. Corrosive (korosif)
g. Irritant (bersifat iritasi
h. Dangerous to the Environment (berbahaya bagi lingkungan)

2.3.3 Uji Toksisitas


Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat
toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk
pemantauan rutin suatu limbah. Suatu senyawa kimia dikatakan bersifat “racun
akut” jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu
singkat. Suatu senyawa kimia disebut bersifat “racun kronis” jika senyawa
tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu panjang (karena
kontak yang berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit) (Pradipta
2007).
Ada tiga cara utama bagi senyawa kimia untuk dapat memasuki tubuh,
yaitu melalui paruparu (pernafasan), mulut, dan kulit. Melalui ketiga rute tersebut,
senyawa yang bersifat racun dapat masuk ke aliran darah, dan kemudian terbawa
ke jaringan tubuh lainnya. Yang menjadiperhatian utama dalam toksisitas adalah
kuantitas/dosis senyawa tersebut. Sebagian besar senyawa yang berada dalam
bentuk murninya memiliki sifat racun (toksik). Sebagai contohnya adalah senyawa
oksigen yang berada pada tekanan parsial 2 atm adalah bersifat toksik. Konsentrasi
oksigen yang terlalu tinggi dapat merusak sel (Pradipta 2007).
Uji toksisitas akut sangat penting untuk mengukur dan mengevaluasi
karakteristik toksik dari suatu bahan kimia. Uji ini dapat menyediakan informasi
tentang bahaya kesehatan manusia yang berasal dari bahan kimia yang terpapar
dalam tubuh pada waktu pendek melalui jalur oral. Data uji akut juga dapat
menjadi dasar klasifikasi dan pelabelan suatu bahan kimia (Anonim, 1998).
Toksisitas akut didefinisikan sebagai kejadian keracunan akibat pamaparan
bahan toksik dalam waktu singkat, yang biasanya dihitung menggunakan nilai
LC50 atau LD50. Nilai ini didapatkan melalui proses statistik dan berfungsi
mengukur angka relatif toksisitas akut bahan kimia (Anonim, 1998). Toksisitas
akut dari bahan kimia lingkungan dapat ditetapkan secara eksperimen
menggunakan spesies tertentu seperti mamalia, bangsa unggas, ikan, hewan
invertebrata, tumbuhan vaskuler dan alga (Hodgson dan Levi, 1997). Uji toksisitas
akut dapat menggunakan beberapa hewan mamalia, namun yang dianjurkan untuk
uji LD50 diantaranya tikus, mencit dan kelinci (Anonim, 1998).

2.3.4 Uji LC-50


LC-50 (Median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabka
kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik
dan perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC-50 48 jam,
LC-
50 96 jam (Dhahiyat dan Djuangsih 1997 diacu dalam Rossiana 2006) sampai
waktu hidup hewan uji.
Berdasarkan kepada lamanya, metode penambahan larutan uji dan maksud
serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut (Rosianna
2006)
:
1. Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term
bioassay), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati jangka
panjang (long term bioassay).
2. Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan,
yaitu uji hayati statik (static bioassay), pergantian larutan (renewal
biossay), mengalir (flowtrough bioassay). Klasifikasi menurut maksud dan
tujuan penelitian adalah pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau
satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan
pertumbuhan organisme uji.
Untuk mengetahui nilai LC-50 digunakan uji statik. Ada dua tahapan
dalam penelitian (Rossiana 2006), yaitu:
1. Uji Pendahuluan: Untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu
konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50%
dan kematian terkecil mendekati 50%.
2. Uji Lanjutan: Setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan
konsentrasi akut berdasarkan seri logaritma konsentrasi yang dimodifikasi
oleh Rochini dkk (1982) diacu dalam Rossiana (2006). Adapun kriteria
toksisitas suatu perairan ditunjukkan pada tabel 2.1:
Tabel 2.1. Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC-50 pada lingkungan perairan.
Tingkatan Racun Nilai (LC-50)(ppm)
Racun tinggi <1
Racun sedang > 1 dan < 100
Racun rendah >100
2.3.4 LD-50
LD singkatan dari "Lethal Dose". LD-50 adalah jumlah material, diberikan
sekaligus, yang menyebabkan kematian 50% (satu setengah) dari kelompok hewan
uji. LD50 adalah salah satu cara untuk mengukur potensi jangka pendek keracunan
(toksisitas akut) dari suatu material. Toksikologi dapat menggunakan berbagai
jenis hewan, tetapi paling sering pengujian dilakukan dengan tikus dan tikus. Hal
ini biasanya dinyatakan sebagai jumlah bahan kimia dikelola (misalnya, miligram)
per
100 gram (untuk hewan yang lebih kecil) atau per kilogram (untuk ujian mata
pelajaran lebih besar) dari berat tubuh hewan uji. LD50 dapat ditemukan untuk
setiap rute entri atau administrasi tetapi kulit (dioleskan pada kulit) dan oral
(diberikan melalui mulut) metode administrasi adalah yang paling umum.
LD50 merupakan tolak ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk
menyatakan kisaran dosis letal. Ada beberapa pendapat yang menyatakan tidak
setuju, bahwa LD50 masih dapat digunakan untuk uji toksisitas akut. Namun ada
juga beberapa kalangan yang masih setuju, dengan pertimbangan:
a. Jika lakukan dengan baik, uji toksisitas akut tidak hanya mengukur LD50,
tetapi juga memeberikan informasi tentang waktu kematian, penyebab
kematian, gejala – gejala sebelum kematian, organ yang terkena efek, dan
kemampuan pemulihan dari efek nonlethal.
b. Hasil dari penelitian dapat digunakan untuk pertimbangan pemilihan design
penelitian subakut.
c. Tes LD50 tidak membutuhkan banyak waktu.
d. Hasil tes ini dapat langsung digunakan sebagai perkiraan risiko suatu
senyawa terhadap konsumen atau pasien.

Pada dasarnya, nilai tes LD50 yang harus dilaporkan selain jumlah hewan
yang mati, juga harus disebutkan durasi pengamatan. Bila pengamatan dilakukan
dalam 24 jam setelah perlakuan, maka hasilnya tertulis “LD50 24 jam”. Namun
seiring perkembangan, hal ini sudah tidak diperhatikan lagi, karena pada umumnya
tes LD-50 dilakukan dalam 24 jam pertama sehingga penulisan hasil tes “LD50”
saja sudah cukup untuk mewakili tes LD50 yang diamati dalam 24 jam. Bila
dibutuhkan, tes ini dapat dilakukan lebih dari 14 hari. Contohnya, pada senyawa
tricresyl phosphat, akan memberikan pengaruh secara neurogik pada hari 10 – 14,
sehingga bila diamati pada 24 jam pertama tidak akan menemukan hasil yang
berarti. Dan jika begitu tentu saja penulisan hasil harus deisertai dengan durasi
pengamatan.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai LD-50 antara lain
spesies, strain, jenis kelamin, umur, berat badan, gender, kesehatan nutrisi, dan isi
perut hewan coba. Teknis pemberian juga mempengaruhi hasil, antara lain waktu
pemberian, suhu lingkungan, kelembaban, sirkulasi udara. Tidak luput kesalahan
manusia juga dapat mempengaruhi hasil ini. Sehingga sebelum melakukan
penelitian, ada baiknya kita memeperhatikan faktor – faktor yang mempengaruhi
hasil ini.
Secara umum, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa tersebut.
Begitu pula sebaliknya, semakin besar nilai LD50, semakin rendah toksisitasnya.
Hasil yang diperoleh(dalam mg/kgBB) dapat digolongkan menurut potensi
ketoksikan akut senyawa uji menjadi beberapa kelas, seperti yang terlihat pada
tabel berikut :
Tabel 2.2. Tingkat racun menurut PP 74/2001.
No Kelompok LD-50 (mg/kg)
1 Extremely toxic (amat sangat beracun) ≤1
2 Highly toxic (sangat beracun) 1-50
3 Moderately toxic (beracun) 51-500
4 Slighly toxic (agak beracun) 501-5000
5 Practically non-toxic (praktis tidak beracun) 5001-15000
6 Relatively harmlless (relatif tidak berbahaya) >15.000

2.3.5 Uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure)


Toxicity Characteristic Leaching Procedure atau TCLP adalah salah satu
evaluasi toksisitas limbah untuk bahan-bahan yang dianggap berbahaya dan
beracun dengan penekanan pada nilai leachate. Leachate adalah cairan yang keluar
dari suatu cairan yang terkontaminasi oleh zat-zat pencemar yang ditimbulkan dari
suatu limbah yang mengalami proses pembusukan. Menurut EPA leachate adalah
suatu cairan yang mencakup semua komponen di dalam cairantersebut sehingga
cairan tersebut tersaring dari limbah berbahaya. Leachate telah dihasilkan sejak
manusia pertama kali melakukan penggalian timbunan sampah untuk
menyelesaikan persampahan. Tentu saja pada tahapan ini jumlah leachate yang
dihasilkan sangat kecil dan bercampur dalam suatu tanah liat. Risiko yang didapat
jika tidak adanya suatu drainase baik dan pengolahan limbah cair dapat
menyebabkan suatu dampak yaitu penyakit bagi manusia akibat timbulnya
leachate tersebut.
Leachete merupakan parameter yang sangat menentukan kualitas terhadap
hasil solidifikasi yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu
untuk menentukan kualitas lindi adalah dengan Toxicity Characteristic Leaching
Prosedur (TCLP). Analisa ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan bagi
kesehatan dan lingkungan mengingat bahan tambahan yang digunakan adalah
limbah sisa berupa limbah TA 5, alumina dan sand blasting yang mengandung
unsur-unsur logam berat. Untuk itu dilakukan uji leached (TCLP) terhadap produk
batu bata. Pada umumnya uji ini ditunjukan terutama untuk melihat potensi
toksisitas leaching dari logam berat.
Tujuan pengujian TCLP adalah untuk mengetahui tingkat imobilisasi
logam berat pada limbah Hasil pengujian TCLP baik sebelum disolidifikasi
maupun sesudah disolidifikasi memberikan hasil yang baik karena hasil pengujian
menunjukkan bahwa logam berat dapat diimobilisasi kecuali pada logam berat
seng (Zn) pada karakteristik limbah sandblasting melebihi standar yang ditetapkan
PP No 85 tahun 1999 yaitu melebihi 50 mg/l.
Uji TCLP adalah uji yang dikembangkan oleh US-EPA, yang merupakan
simulasi terburuk kondisi landfill, yang menyebabkan terjadinya pencemaran pada
air tanah, yang airnya digunakan secara rutin. Simulasi transportasi ini,
menghasilkan batas aman yang memperhitungkan probabilitas terjadinya toksisitas
kronik non-kanker maupun kanker. Namun dalam versi Indonesia, bila ambang
batas TCLP tidak terlampaui, penghasil penghasil limbah masih tetap diharuskan
melakukan uji toksisitas akut maupun kronis.
Gambar 2.3. Ambang batas uji TCLP

2.4 Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)


Jenis-jenis proses pengolahan limbah secara fisik dan kimia antara lain :
1. Proses pengolahan secara kimia :
a. Reduksi-Oksidasi
b. Elektrolisasi
c. Netralisasi
d. Presipitasi / Pengendapan
e. Solidifikasi / Stabilisasi
f. Absorpsi
g. Penukaran ion, dan
h. Pirolisa

2. Pengolahan limbah secara fisik


a. Pembersihan gas: Elektrostatik presipitator, Penyaringan partikel, Wet
scrubbing, dan Adsorpsi dengan karnbon aktif.
b. Pemisahan cairan dengan padatan : Sentrifugasi, Klarifikasi, Koagulasi,
Filtrasi, Flokulasi, Floatasi, Sedimentasi, dan Thickening.
c. Penyisihan komponen-komponen yang spesifik : Adsorpsi, Kristalisasi,
Dialisa, Electrodialisa, e, Leaching, Reverse osmosis, Solvent extraction,
dan Stripping.

Pemilihan teknologi alternatif proses pengolahan limbah B3 dapat dilihat pada


Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Alternatif Proses Pengolahan Limbah B3


Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode
yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning,
solidification/Stabilization, dan incineration. Salah satu teknologi pengolahan
limbah B3 ialah chemical conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning
ialah:
1. Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur.
2. Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur.
3. Mendestruksi organisme pathogen.
4. Memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih
memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses
digestion.
5. Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan
aman dan dapat diterima lingkungan.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari hasil tinjauan pustaka maka dapat disimpukan adalah sebagai berikut:
1. Lingkungan hidup adalah semua benda, daya, dan kondisi yang terdapat
dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia dan makhluk hidup berada
dan dapat mempengaruhi hidupnya. Lingkungan hidup, sering disebut
sebagai lingkungan adalah istilah yang dapat mencakup segala makhluk
hidup dan tak hidup di alam yang ada di bumi atau bagian dari bumi, yang
berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang berlebihan.
2. Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat
atau bahan pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan
gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuhan atau benda lainnya.
3. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung pencemar yang bersifat
racun bagi manusia atau lingkungan yang dapat menyebabkan kematian
atau sakit yang serius apabila masuk kedalam tubuh melalui pernafasan,
kulit atau mulut. Penentuan sifat beracun untuk mengidentifikasi limbah ini
dapat mengunakan baku mutu konsentrasi Toxicity Characteristic
Leaching Procedur (TCLP) pencemar organik dan anorganik dalam limbah
sebagaimana yang tercantum dalam PP No.85 tahun 1999.

2. Saran
Dalam penulisan makalah penulis harus lebih banyak membaca referensi
lain, baik dalam bentuk buku maupun jurnal ilmiah. Karena tulisan yang akan
ditulis oleh seorang penulis merupakan buah hasil membaca penulis tersebut.
Penulis juga harus lebih sering melatih diri untuk menulis sebuah karya tulis
ilmiah untuk melatih kemampuan dalam menulis.
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, Enri. 2010. Diktat Pengelolaan B3. Bandung. FTSL ITB

Anonim. 2012. http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2012/12/31/pengolahan-


limbah-b3-bahan-berbahaya-dan-beracun-521057.html. Diakses Tanggal
3 Maret 2020.
Nisa. 2011. http://3diyanisa3.blogspot.com/2011/05/lethal-concentration-
50- lc50.html. Diakses Tanggal 3 Maret 2020.
Danusaputro, St. Munadjat, 1986, Hukum Lingkungan dalam Pencemaran
Lingkungan Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Buku V : Sektoral,
Bandung: Bina Cipta.
Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah, 2007, Pengelolaan Limbah Industri
Pangan, Jakarta: Departeman Perindustrian.

Erwin, Muhammad, 2008, Hukum Ling kungan dalam Sistem Kebijaksanaan


Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama.
Rahmadi, Takdir, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai