Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil PT Energi Agro Nusantara (Enero)

2.1.1 Sejarah

Pada 2 Agustus 2010, Kementrian Perindustrian Republik Indonesia dan

The New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO)

Jepang menandatangani perjanjian Government to Government (G to G) yang

dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) tentang Kerjasama

Proyek Pembangunanan Pabrik Bioethanol dengan Bahan Baku Tetes Tebu yang

berlokasi di kawasan Pabrik Gula Gempolkrep Mojokerto. Selanjutnya, Proyek

Pembangunan Pabrik Bioethanol ini diterushibahkan kepada PT Perkebunan

Nusantara X (PTPN X) pada 4 Oktober 2010. Setelah proyek pembangunan

selesai, PTPN X secara resmi menetapkan Pabrik Bioethanol menjadi Anak

Perusahaan dengan nama PT Energi Agro Nusantara (Enero) pada tanggal 5 Juni

2013 (Anonim, 2017).

2.1.2 Visi, Misi dan Tujuan Perusahaan

PT Energi Agro Nusantara merupakan sebuah perusahaan penghasil fuel

grade bioethanol dengan kadar 99,5% sebagai bahan campuran untuk bahan

bakar. Perusahaan ini memiliki visi yaitu, menjadi perusahaan energi terbarukan

terkemuka di Indonesia. Berdasarkan visi yang dimiliki, PT Energi Agro

Nusantara memiliki beberapa misi, yaitu (Anonim, 2017):

1. Menyediakan produk Energi Terbarukan berkualitas tinggi dan ramah

lingkungan.
2. Mengembangkan usaha melalui peningkatan Produksi, Inovasi, dan

Diversifikasi.

3. Meningkatkan daya saing melalui Kompetensi SDM (Sumber Daya

Manusia), Effisiensi, dan Implementasi tata kelola Perusahaan yang baik.

Perusahaan ini juga memiliki slogan yang berbunyi “Be a Leader in Renewable

Energy”.

Perusahaan ini didirikan dengan tujuan sebagai berikut (Anonim, 2017):

1. Memproduksi energi terbarukan sebagai pengganti energi dari bahan bakar

fosil yang semakin terbatas jumlahnya.

2. Mendukung program mandatory pemerintah di bidang energi terbarukan.

3. Memanfaatkan dan memberikan nilai tambah tetes tebu (molases) menjadi

bioethanol.

4. Menghasilkan diversifikasi produk ikutan (CO2, Biogas, Pupuk Organik Cair,

Yeast Mud) demi meningkatkan keuntungan perusahaan sehingga turut

memberikan kontribusi yang optimal pada semua pemangku kepentingan.

2.1.3 Bisnis

PT. Perkebunan Nusantara X (PTPN X) adalah Anak Perusahaan BUMN

(Badan Usaha Milik Negara) dengan industri gula sebagai produk utama dan

beberapa produk lainnya seperti tembakau, Rumah Sakit, Kedelai Edamame,

Pupuk, Karung, Bioethanol dll. PT. Energi Agro adalah salah satu

anakperusahaan PTPN X .

Bahan baku yang digunakan oleh PT Enero didapat dari sebelas Pabrik Gula

di Wilayah PTPN X berupa tetes tebu (molasses). Unit produksi industri gula

yang dimiliki PTPN X sebanyak 11 Unit Pabrik Gula (PG) yang tersebar di
wilayah Jawa Timur, yaitu PG Kremboong, PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG

Gempolkrep, PG Djombang Baru, PG Tjoekir, PG Lestari, PG Meritjan,

PG Pesantren Baru, PG Ngadirejo dan PG Modjopanggoong (Anonim, 2017).

Produksi utama PT Enero merupakan fuel grade ethanol, sedangkan produk

samping berupa spentwash (vinasse) diolah dengan proses anaerobik dan

menghasilkan biogas untuk membangkitkan tenaga listrik sebesar 2 mW yang

dimanfaatkan untuk proses produksi. Kemudian, spentwash (vinasse) sesudah

proses anaerobic diolah menjadi pupuk organik cair untuk tanaman tebu dan non

tebu.

Berikut merupakan Peta Wilayah Kerja PT Perkebunan Nusantara X.

Gambar 2.1 Peta Wilayah Kerja PT Energi Agro Nusantara

Sumber: Anonim, (2017)


2.1.4 Struktur Manajemen Perusahaan

Berikut adalah struktur manajemen perusahaan PT Energi Agro Nusantara

(Anonim, 2017).

Gambar 2.2 Struktur Manajemen Perusahaan PT Energi Agro Nusantara

Sumber: Anonim, (2017)

2.2 Limbah Cair

2.2.1 Pengertian Limbah Cair

Secara umum dapat dikemukakan bahwa limbah cair adalah cairan

buangan yang berasal dari rumah tangga dan industri serta tempat-tempat umum

lainnya dan mengandung bahan atau zat yang dapat membahayakan kesehatan

manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan hidup (Kusnoputranto, 1985).

Begitupun dengan Metcalf dan Eddy (2003), mendefinisikan limbah berdasarkan

titik sumbernya sebagai kombinasi cairan hasil buangan rumah tangga

(permukiman),instansi perusahaaan, pertokoan, dan industri dengan air tanah, air

permukaan, dan air hujan.

Sedangkan menurut Sugiharto (1987) limbah cair adalah limbah yang

berwujud cair. Limbah cair terlarut dalam air, selalu berpindah, dan tidak pernah
diam. Contoh limbah cair adalah air bekas mencuci pakaian, air bekas pencelupan

warna pakaian, dan sebagainya.

2.3 Sumber Air Limbah

Menurut Alaerts dan Santika (1984), sumber penghasilan atau penyebab

air limbah yang secara umum dikelompokkan menjadi 3 yang terdiri atas:

1. Air Limbah Domestik

Air limbah yang berasal dari kegiatan penghunian, seperti rumah tinggal,

hotel, sekolahan, kampus, perkantoran, pertokoan, pasar dan fasilitas-fasilitas

pelayanan umum. Air limbah domestik dapat dikelompokkan menjadi, air

buangan kamar mandi, air buangan WC atau air kotor dan tinja, serta
air

buangan dapur dan cucian.

2. Air Limbah Industri

Air limbah yang berasal dari kegiatan industri, seperti pabrik industri

logam, tekstil, kulit, pangan (makanan dan minuman), industri kimia, dan lainnya.

3. Air Limbah Limpasan dan Rembesan Air Hujan

Air limbah yang melimpas di atas permukaan tanah dan meresap kedalam

tanah sebagai akibat terjadinya hujan.

2.4 Komposisi Air Limbah

Air limbah mempunyai komposisi yang bervariasi dari setiap tempat dan

setiap tempat dan setiap saat sesuai dengan sumber asalnya. Akan tetapi, secara

garis besar zat yang terdapat di dalam air limbah terdiri dari air (99,9%) dan

bahan padatan (0,1%). Bahan padatan ini terbagi atas zat organik yaitu protein
(65%), karbohidrat (25%), dan zat anorganik (butiran, garam, metal). Kandungan

zat organik dan zat anorganik dalam air limbah tergantung pada jumlah air yang

digunakan (Sugiharto, 1987). Komposisi air limbah ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Air Limbah

Air (99,9%) Padatan (0,1%)

Organik: Anorganik:

Protein, Karbohidrat, Butiran, Garam, Metal


Lemak

Gambar 2.3 Komposisi Air Limbah

Sumber: Sugiharto (1987)

2.5 Teknologi Produksi Bioetanol

Bioetanol diperoleh dari hasil fermentasi bahan yang mengandung gula.

Secara umum, produksi bioetanol mencakup tiga rangkaian proses, yaitu

persiapan bahan baku, fermentasi dan pemurnian. Bagan alir proses produksi

bioetanol dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gula Pati Bahan Lignoselulosa

Penanakan Pengolahan awal

Sakarifikasi Sakarifikasi
(hidrolisis) ringan (hidrolisis) berat

Fermentasi alkoholik
dan pemisahan Bioetanol
Gambar 2.4 Diagram Alir Tahapan Produksi Bioetanol

Sumber: Thay Kong (2010)

2.5.1 Karakteristik Air Limbah Bioetanol

Pembuangan air limbah langsung ke lingkungan akan sangat

membahayakan karena kemungkinan adanya bahan-bahan berbahaya dan beracun

ataupun kandungan limbah yang ada tidak mampu dicerna oleh mikroorganisme

yang ada di lingkungan (Hidayat, 2016).

Pengetahuan tentang karakteristik limbah menjadi sangat penting, dalam

upaya mengurangi bahaya limbah cair pada lingkungan. Pengetahuan karakteristik

limbah ini diperlukan untuk melakukan proses pengolahan dengan baik dan benar.

Karakteristik limbah umunya dikelompokkan dalam karakteristik fisik, kimia, dan

biologis. Karakteristik fisik mencakup suhu, warna, bau, dan kekeruhan.

Karakteristik kimia mencakup BOD, COD, kesadahan, dan pH. Sedangkan

karakteristik biologis adalah ragam organisme yang ada pada limbah tersebut

(Hidayat, 2016).

Air Limbah pada dasarnya adalah air yang mengandung banyak polutan.

Polutan inilah yang menjadikan air tersebut dapat atau tidak digunakan untuk

berbagai keperluan. Polutan dalam air limbah padat dikelompokkan dalam

(Hidayat, 2016).

1. Substansi terlarut yang mencakup bahan organik mudah dirombak dan

sulit dirombak serta bahan anorganik

2. Koloid, banyak yang berupa bahan organik ataupun anorganik yang

membentuk partikel kecil ataupun minyak yang berupa tetesan dan tidak

terendapkan
3. Padatan, padatan tersuspensi mencakup partikel organik dan anorganik.

Partikel organik misalnya mikroorganisme sedangkan artikel anorganik

misalnya pasir, lempung, mineral, dan sebagainya

Guna mengurangi bahaya limbah cair bagi lingkungan maka dilakukan

proses pengolahan. Proses pengolahan akan berlangsung dengan baik apabila

sebelumnya telah melalui tahap penelitian dan pengembangan. Dalam penelitian

seringkali digunakan limbah secara langsung dengan tambahan perlakuan seperti

pengenceran, pengaturan, pH, ataupun lainnya. (Hidayat, 2016)

Kadangkala digunakan pula limbah sintesis, yaitu limbah yang ditentukan

komposisinya untuk mengetahui kemampuan khusus dari inoculum yang akan

diterapkan ke lingkungan. Karakteristik limbah cair biasanya dinyatakan dalam

BOD,COD, dan parameter-parameter lain seperti TSS, DO, pH, suhu, dan

substansi lain sesuai sumber limbah. (Hidayat, 2016).

2.6 Proses Pengolahan Air Limbah

Proses pengolahan air limbah menurut Siregar (2005) terdiri atas:

1. Pengolahan secara fisik, merupakan proses pengolahan dengan melakukan

removal bahan pencemar secara fisik. Unit pengolahannya meliputi screening,

communitor, grit removal, mixing, sedimentasi, dan filtrasi.

2. Pengolahan secara kimiawi, merupakan proses pengolahan dimana proses

removal atau konversi kontaminan melalui penambahan bahan kimia dalam air

buangan. Unit pengolahan meliputi presipitasi, gas transfer, desinfeksi, dan

karbon aktif.

3. Pengolahan secara biologis, merupakan proses pengolahan dengan melakukan

removal kontaminan dalam air limbah melalui aktivitas biologis

mikroorganisme. Pengolahan ini terutama digunakan untuk penghilangan

bahan organik yang biodegradable dalam air limbah. Pengolahan biologis

dapat dibedakan menurut pemakaian oksigennya, antara lain:

a) Proses aerobik, yaitu activated sludge, aerated lagoon, aerobic digester, dan

trickling filter.

b) Proses anaerobik, yaitu anaerobic digestion, anaerobic filter, dan anaerobic

ponds.

c) Proses fakultatif, yaitu facultative lagoon dan maturation ponds.

2.7 Parameter Kualitas Limbah Hasil Bioetanol

Baku Mutu Lingkungan (Environmental Quality Standard) berfungsi

sebagai suatu tolok ukur untuk mengetahui apakah telah terjadi kerusakan atau

pencemaran lingkungan. Gangguan terhadap tata lingkungan dan ekologi diukur

menurut besar kecilnya penyimpangan dari batas-batas yang telah ditetapkan

sesuai dengan kemampuan atau daya tenggang ekosistem lingkungan.

Kemampuan lingkungan sering diistilahkan beragam-ragam, seperti; daya

tenggang, daya dukung, daya toleransi, dan lain-lain. ( Siahaan, 2004).

Berikut ini merupakan tabel parameter kualitas air limbah untuk industri

bioetanol berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2013.


Gambar 2.5 Baku Mutu Air Limbah

Sumber: Anonim (2013)

2.8 Kecelakaan Kerja

2.8.1 Pengertian Kecelakaan Kerja

Suma’mur (1996) dalam Djatmiko (2016) mengartikan kecelakaan adalah

kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan. Kecelakaan akibat kerja adalah

kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja atau sedang melakukan pekerjaan

di suatu tempat kerja. Kecelakaan kerja dapat dikategorikan atas dua golongan,

yaitu kecelakaan industri (on the job accident) yang artinya kecelakaan tersebut

terjadi berkaitan dengan pekerjaannya. Sedangkan, golongan kecelakaan

kompensasi (off the job accident) adalah kecelakaan yang tidak berhubungan

langsung dengan pekerjaannya. Perbedaan antara keduanya adalah kecelakaan

industry mendapat kompensasi dan masuk dalam data statistik.

Oleh karena itu, diperlukan adanya sistem manajemen resiko dan

kecelakaan kerja dalam suatu perusahaan atau industri. Sistem yang tepat untuk

diadakan adalah Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3),

sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan Pasal 86 yang mengatur perlindungan pada pekerja dan Pasal 87

yang mengatur tentang ketentuan menengenai penerapan Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

2.8.2 Metode Pencegahan Kecelakaan Kerja

Menurut Suma’mur (1996) dalam Djatmiko (2016), metode dalam

melakukan pencegahan kecelakaan agar kecelakaan yang sama tidak terulang lagi

adalah:

1. Identifikasi Bahaya

Kegiatan identifikasi bahaya dapat diperoleh dengan kegiatan inspeksi di

tempat kerja mengenai K3, mendapatkan laporan dari operator dan laporan dalam

jurnal-jurnal teknis.

2. Perancangan dari lingkungan kerja

Perlu diperhatikan rancangan pekerjaan (job design), memodifikasi

peralatan penyingkiran bahaya di tempat kerja, dan pemberian alat pengaman

pada mesin yang menimbulkan bahaya. Selain itu, perlu juga diperhatikan kondisi

ruang kerjanya.

3. Tunjangan dari pimpinan perusahaan

Pimpinan perusahaan perlu secara jelas dan tegas menunjang gerakan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di dalam perusahaannya.

4. Melakukan pengendalian risiko

a. Membiasakan diri untuk melakukan sistem kerja yang aman sesuai dengan

SOP.
b. Pelatihan untuk para karyawan. Pelatihan perlu diberikan kepada

karyawan yang melakukan pekerjaan dan bekerja di tempat yang memiliki

kemungkinan kecelakaan yang tinggi.

2.9 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

2.9.1 Pengertian dan Tujuan K3

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menurut Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum No: 09/PER/M/2008 adalah pemberian perlindungan kepada

setiap orang yang berada di tempat kerja, yang berhubungan dengan pemindahan

bahan baku, penggunaan peralatan kerja konstruksi, proses produksi dan

lingkungan sekitar tempat kerja (Anonim, 2008). Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (K3) merupakan hal yang penting bagi suatu perusahaan, karena dampak

kecelakaan dan penyakit kerja juga merugikan perusahaan baik secara langsung

maupun tidak langsung. Pada dasarnya pengertian dari K3 mengarah pada

interaksi pekerja dengan mesin atau peralatan yang digunakan, interaksi pekerja

dengan lingkungan kerja, dan interaksi pekerja dengan mesin danlingkungan kerja

(Kusuma dan Darmastuti, 2010).

Tujuan umum dari upaya K3 ini adalah menciptakan tempat kerja yang

aman untuk melindungi pekerja, aset produksi, dan lingkungan sekitar, seperti

yang telah tercantum pada Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1970 mengenai syarat

keselamatan kerja.

2.9.2 Syarat Pelaksanaan

Terdapat landasan hukum yang menjelaskan tentang beberapa persyaratan

dalam pelaksanaan K3. Pada Pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menyebutkan teradapat 18 syarat-syarat

K3 yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan, yaitu (Anonim, 1970):

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan

2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.

3. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.

4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu

kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.

5. Memberi pertolongan pada kecelakaan.

6. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.

7. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu,

kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar

atau radiasi, suara dan getaran.

8. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik

maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.

9. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.

10. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik.

11. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.

12. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban.

13. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara

dan proses kerjanya.

14. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman

atau barang.

15. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.


16. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan

penyimpanan barang.

17. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.

18. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang

bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

2.10 Potensi Bahaya

2.10.1 Pengertian

Pendapat Tarwaka (2014) dalam Saputra (2015) tentang potensi bahaya

adalah setiap proses produksi, peralatan atau mesin dan tempat kerja yang

digunakan untuk menghasilkan suatu produk selalu mengandung potensi bahaya

tertentu, yang apabila tidak mendapatkan perhatian secara khusus dapat

menyebabkan kecelakaan kerja. Menurut Ramli (2010) dalam Suryani, dkk.

(2012), bahaya di tempat kerja terjadi ketika ada interaksi antara unsur – unsur

produksi yaitu manusia, peralatan, material, proses dan metoda kerja. Material

yang digunakan baik sebagai bahan baku, bahan antara atau hasill produksi

mengandung berbagai macam bahaya sesuai dengan sifat dan karakteristiknya

masing – masing.

Identifikasi bahaya digunakan untuk mengetahui potensi bahaya dalam

setiap pekerjaan dan proses kerja. Identifikasi bahaya dilakukan bersama

pengawas pekerjaan atau petugas K3. Identifikasi bahaya menggunakan teknik

yang sudah dibakukan, misalnya seperti Check List, JSA, JSO,What If, Hazops,

dan sebagainya. Semua hasil identifikasi bahaya harus didokumentasikan dengan


baik dan dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan setiap kegiatan (Susihono

dkk., 2013).

2.10.2 Klasifikasi

Secara terminologi, bahaya dalam keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

diklasifikasikan menjadi 2, yaitu (Ratnasari, 2009):

1. Bahaya Keselamatan Kerja (Safety Hazard)

Merupakan jenis bahaya yang berdampak pada timbulnya kecelakaan yang

dapat menyebabkan luka (injury) hingga kematian, serta kerusakan property

perusahaan. Dampaknya bersifat akut. Jenis bahaya keselamatan antara lain:

a. Bahaya Mekanik, disebabkan oleh mesin atau alat kerja mekanik seperti

tersayat, terjatuh, tertindih, dan terpeleset.

b. Bahaya Elektrik, disebabkan peralatan yang mengandung arus listrik

c. Bahaya Kebakaran, disebabkan oleh substansi kimia yang bersifat

flammable (mudah terbakar).

d. Bahaya peledakan, disebabkan oleh substansi kimia yang sifatnya

explosive.

2. Bahaya Kesehatan Kerja (Health Hazard)

Merupakan jenis bahaya yang berdampak pada kesehatan, menyebabkan

gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja. Dampaknya bersifat kronis. Jenis

bahaya kesehatan antara lain:

a. Bahaya Fisik, antara lain kebisingan, getaran, radiasi ion dan non-pengion,

suhu ekstrim, dan pencahayaan.

b. Bahaya Kimia, antara lain yang berkaitan dengan material atau bahan

seperti antiseptik, aerosol, insektisida, dust, mist, fumes, gas, dan vapor.
c. Bahaya Ergonomi, antara lain repetitive movement, static posture, manual

handling, dan postur janggal.

d. Bahaya Biologi, antara lain yang berkaitan dengan makhluk hidup yang

berada di lingkungan kerja yaitu bakteri, virus, protozoa, dan fungi (jamur)

yang bersifat patogen.

e. Bahaya Psikologi, antara lain beban kerja yang terlalu berat, hubungan dan

kondisi kerja yang tidak nyaman.

2.11 Risiko

2.11.1 Pengertian

Risiko adalah sesuatu yang mengarah pada ketidakpastian atas terjadinya

suatu peristiwa selama selang waktu tertentu yang mana peristiwa tersebut

menyebabkan suatu kerugian yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dari

suatu perusahaan. Bentuk risiko tersebut seharusnya dipahami dan dikelola secara

efektif oleh organisasi sebagai bagian dari strategi sehingga dapat menjadi nilai

tambah dan mendukung pencapaian tujuan organisasi. Berdasarkan pengertian

risiko tersebut, dapat diketahui potensi bahaya K3 terdapat dalam berbagai

tingkatan dan bentuk, tergantung dari peluang bahaya yang ada. Untuk itu,

diperlukan sistem yang dapat mencegah peningkatan risiko dan potensi bahaya.

Secara umum manajemen risiko didefinisikan sebagai proses, mengidentifikasi,

mengukur dan memastikan risiko dan mengembangkan strategi untuk mengelola

risiko tersebut. Manajemen risiko dapat membawa pengaruh positif dalam hal

memilih proyek, menentukan lingkup proyek, membuat jadwal yang realistis dan

estimasi biaya yang baik (Sumajouw dan Sompie, 2014).


2.11.2 Identifikasi

Tahap pertama dalam kegiatan manajemen risiko adalah identifikasi risiko.

Identifikasi risiko adalah usaha untuk mengetahui, mengenal dan memperkirakan

adanya risiko pada suatu sistem operasi, peralatan, prosedur, unit kerja (Sepang

dkk., 2013). Kegunaan dari identifikasi risiko adalah (Sepang dkk., 2013):

1. Mengetahui potensi bahaya.

2. Mengetahui lokasi bahaya.

3. Menunjukan suatu bahaya pada pengendali.

4. Menunjukan suatu bahaya tidak akan menimbulkan akibat.

5. Sebagai bahan analisa lebih lanjut.

2.11.3 Tahapan Proses Manajemen Risiko

Menurut Sumajouw dan Sompie (2014) proses yang dilalui dalam

manajemen risiko adalah:

1. Perencanaan manajemen risiko

2. Identifikasi risiko

3. Analisis risiko kualitatif.

Proses ini dilakukan dengan menyusun risiko berdasarkan efeknya terhadap

tujuan proyek. Skala pengukuran yang digunakan dalam analisa kualitatif

adalah Australian Standard/New Zealand Standard (AS/NZS).

4. Analisis risiko kuantitatif

Proses identifikasi secara numerik probabilitas dari setiap risiko dan

konsekuensinya terhadap tujuan proyek.

5. Perencanaan respon risiko

6. Pengendalian dan monitoring risiko


Proses mengawasi risiko yang sudah diidentifikasi, memonitor risiko yang

tersisa, dan mengidentifikasikan risiko baru, memastikan pelaksanaan risk

management plan dan mengevaluasi keefektifannya dalam mengurangi

risiko.

Skema dari tahap manajemen resiko dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.6 Skema tahapan manajemen resiko

Sumber: (Anonim, 2004 dalam Soputan, 2014)

2.12 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

2.12.1 Pengertian

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor:

PER.05/MEN/1996 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(SMK3) merupakan bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan meliputi

struktur organisasi, perencanaan, tanggungjawab, pelaksanaan prosedur, proses,

dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan dan

pemeliharaan kebijakan dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan

kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif

(Anonim, 1996).
Penilaian penerapan SMK3 dilakukan melalui audit SMK3 yang kemudian

dilaporkan kepada Menteri dengan tembusan disampaikan kepada menteri

pembina sektor usaha, gubernur, dan bupati/walikota sebagai bahan pertimbangan

dalam upaya peningkatan SMK3 (Anonim, 2012).

2.12.2 Tujuan dan Manfaat

Menurut Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 tentang penerapan

SMK3 (Anonim, 2012) bertujuan untuk:

a. Meningkatkan efektivitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang

terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi.

b. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja

dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat

pekerja/serikat buruh, menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan

efisien untuk mendorong produktivitas.

Menurut Rudi Suardi (2007) dalam Sitorus (2010) manfaat dari Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), yaitu:

a. memberikan perlindungan karyawan

b. memperlihatkan kepatuhan terhadap peraturan

c. mengurangi biaya

d. membuat sistem manajemen yang efektif

e. meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan perusahaan

2.12.3 Penerapan SMK3

Menurut Rudi Suardi (2007) dalam Sitorus (2010) terdapat beberapa

tahap dalam penerapan SMK3 di suatu perusahaan, yaitu:

1. Menyatakan Komitmen
Pernyataan komitmen dan penetapan kebijakan untuk menerapkan sebuah

SMK3 dalam organisasi harus dilakukan oleh manajemen puncak, bukan

hanya dalam bentuk kata-kata tetapi juga harus dengan tindakan nyata agar

dapat diketahui, dipelajari, dihayati dan dilaksanakan oleh seluruh staf dan

karyawan perusahaan.

2. Menetapkan Cara Penerapan SMK3

Perusahaan dapat menggunakan jasa konsultan untuk menerapkan SMK3.

Namun, perusahaan/organisasi dapat juga untuk tidak menggunakan jasa

konsultan dalam menerapkan SMK3, jika organisasi yang bersangkutan

memiliki personel yang cukup mampu untuk mengorganisasikan dan

mengarahkan orang.

3. Membentuk Kelompok Kerja

Anggota kelompok kerja tersebut terdiri atas seorang wakil dari setiap unit

kerja. Hal ini penting sebab merekalah yang paling bertanggung jawab

terhadap unit kerja yang bersangkutan.

4. Menetapkan Sumber Daya

Sumber daya ini mencakup orang atau personel, perlengkapan, waktu dan

dana. Orang yang dimaksud adalah beberapa orang yang diangkat secara

resmi di luar tugas-tugas pokoknya dan terlibat penuh dalam proses

penerapan. Waktu yang diperlukan tidaklah sedikit terutama orang yang

terlibat dalam penerapan. Sementara dana yang diperlukan adalah untuk

membayar konsultan (bila menggunakan konsultan), lembaga sertifikasi, dan

biaya untuk pelatihan karyawan di luar perusahaan.

5. Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan

pernyataan komitmen manajemen melalui ceramah, surat edaran atau

pembagian buku-buku yang terkait dengan SMK3.

Anda mungkin juga menyukai