Anda di halaman 1dari 24

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampah kulit singkong adalah sampah organik yang mudah terurai secara alami. Sampah

kulit singkong setelah pengupasan harus segera diolah agar tidak membusuk. Kulit singkong

mengandung air sehingga mikroorganisme mudah tumbuh dan membuat kulit singkong cepat

membusuk (White et al., 2022). Kulit singkong memiliki kandungan karbohidrat tinggi, yaitu

sekitar 72,49%-85,99% sehingga dapat digunakan sebagai bahan tambahan pakan ternak. Selain

itu, sampah kulit singkong juga dapat dimanfaatkan sebagai olahan kuliner berupa keripik kulit

singkong yang memiliki nilai jual tinggi dan menguntungkan serta menambahkan pendapatan

masyarakat (Indriyati et al, 2022).

Bioetanol merupakan etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen gula,

pati atau selulosa seperti singkong dan tetes tebu. Etanol umumnya digunakan dalam industri

sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras seperti sake atau

gin, dan bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi

menjadi tiga grade yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90-94 %, netral dengan kadar

alkohol 96-99,5 %, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi, dan

grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99,5 – 100 % (Hendrawati et al., 2019).

Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) menggunakan bantuan

ragi/yeast terutama jenis Saccharomyces cerevisiae. Pemisahan bioetanol selanjutnya dilakukan

dengan destilasi (Khaidir et al., 2012).

Bioetanol menjadi salah satu energi alternatif yang dipertimbangkan sebagai pengganti bahan

bakar atau pensubstitusi minyak bumi. Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar bertujuan

untuk menurunkan emisi gas berbahaya (CO, NO, dan SO2) dan menghasilkan gas rumah kaca

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
yang sangat rendah bila dibandingkan dengan pembakaran minyak bumi (Karman, 2012).

Pencampuran bahan bakar bensin dengan bioetanol lebih baik. Hal ini disebabkan penguapan

etanol yang cepat dalam masuknya ke silinder dan membuat pencampuran yang lebih baik

sehingga dapat menurunkan kadar emisi gas buang yang di keluarkan (Ghazikhani et al., 2014).

Fermentasi adalah suatu proses pengubahan suatu zat menjadi zat lain yang dilakukan oleh

mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur, dalam keadaan tertentu, dan yang dapat terjadi dalam

kondisi aerob dan/atau anaerob. Produk spesifik yang dihasilkan dari proses fermentasi tertentu

ditentukan oleh jenis mikroorganisme, pengolahannya kondisi, dan zat di mana fermentasi

berlangsung (Guine et al ., 2021). Fermentasi dapat menumbuhkan pertumbuhan mikroba

pembentuk asam dan alkohol serta menekan pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik (Dali,

2013).

Destilasi adalah cara pemisahan zat cair dari campurannya berdasarkan perbedaan titik didih

atau berdasarkan kemampuan zat untuk menguap (Kusumo et al., 2017). Dimana zat cair

dipanaskan hingga titik didihnya, serta mengalirkan uap ke dalam alat pendingin (kondensor)

dan mengumpulkan hasil pengembunan sebagai zat cair(Arif et al., 2016). Kondensor digunakan

air yang mengalir sebagai pendingin. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukanlah praktikum

yang berjudul Bioetanol.

1.2 Tujuan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka tujuan dari praktikum ini adalah untuk

mengetahui bioetanol sebagai bioenergi yang terbarukan, untuk mengetahui kegunaan bioetanol,

untuk membuat bioetanol berbahan dasar limbah pertanian berbahan baku karbohidrat kompleks.

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit Singkong

Sampah kulit singkong adalah sampah organik yang mudah terurai secara alami. Sampah

kulit singkong setelah pengupasan harus segera diolah agar tidak membusuk. Karena kulit

singkong mengandung air sehingga mikroorganisme mudah tumbuh dan membuat kulit singkong

cepat membusuk (White et al., 2022). Menurut Richana (2012) kulit singkong bagian dalam

mengandung protein, serat kasar, lemak kasar, kalsium dan fosfor serta memiliki kandungan pati

yang cukup tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar bioetanol. Pati kulit ubi kayu sangat

potensial dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol karena jumlahnya yang melimpah

dan mudah diperoleh. Pada tahun 2015, luas panen ubi kayu di Provinsi Bengkulu mencapai

3.573 ha dengan produksi sebesar 80.309 ton (BPS, 2017). Berdasarkan uraian kulit singkong di

atas maka dapat dilihat, seperti gambar 1.

Gambar 1. Kulit Singkong (Pratiwi, 2018)

Kulit singkong memiliki kandungan karbohidrat tinggi, yaitu sekitar 72,49%-85,99%

sehingga dapat digunakan sebagai bahan tambahan pakan ternak. Selain itu, sampah kulit

singkong juga dapat dimanfaatkan sebagai olahan kuliner berupa keripik kulit singkong yang

memiliki nilai jual tinggi dan menguntungkan serta menambahkan pendapatan masyarakat

(Indriyati et al, 2022). Kulit singkong adalah limbah argoindustri pengolahan ketela pohon

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
seperti industi tepung tapioka, industri fermentasi, dan industri pokok makanan. Komponen

kimia pati pada kulit singkong adalah 44 – 59 % (Richana, 2013).

2.2 Bioetanol

Bioetanol merupakan etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen gula,

pati atau selulosa seperti singkong dan tetes tebu. Etanol umumnya digunakan dalam industri

sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras seperti sake atau

gin, dan bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi

menjadi tiga grade yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90-94 %, netral dengan kadar

alkohol 96-99,5 %, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi, dan

grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99,5 – 100 % (Hendrawati et al., 2019). Etanol

(C2H5OH) merupakan suatu senyawa kimia berbentuk cair, jernih tak berwarna, beraroma khas,

berfase cair pada temperatur kamar, dan mudah terbakar. Etanol memiliki karakteristik yang

menyerupai bensin karena tersusun atas molekul hidrokarbon rantai lurus. Bioetanol merupakan

etanol (C2H5OH) yang dapat dibuat dari substrat yang mengandung karbohidrat (turunan gula,

pati, dan selulosa) (Lovisia, 2022).

Gambar 2. Bioetanol (Arini, 2018)

Bioetanol salah satu bahan bakar alternatif yang mempunyai kelebihan dibandingkan BBM.

Berdasarkan siklus karbon, bioetanol dianggap lebih ramah lingkungan karena CO2 yang

dihasilkanakan diserap oleh tanaman, selanjutnya tanaman tersebut digunakan sebagai bahan

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
baku pembuatan bahan bakar, dan seterusnya sehingga tidak terjadi akumulasi karbon di

atmosfer (Widyastuti, 2019).

2.2.1 Kegunaan bioetanol

Bioetanol memiliki karakteristik mudah menguap, mudah terbakar, larut dalam air, tidak

karsinogenik, dan tidak berdampak negatif pada lingkungan. Bioetanol mempunyai manfaat

untuk dikonsumsi manusia sebagai minuman beralkohol. Bioetanol juga dapat dimanfaatkan

sebagai bahan bakar dengan kandungan minimal 10 % etanol (Seftian et al., 2012). Biaya

produksi bioetanol tergolong murah karena sumber bahan baku berasal dari limbah pertanian

yang memiliki nilai ekonomis yang rendah (Novia et al., 2014).

Bioetanol menjadi salah satu energi alternatif yang dipertimbangkan sebagai pengganti

bahan bakar atau pensubstitusi minyak bumi. Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar

bertujuan untuk menurunkan emisi gas berbahaya (CO, NO, dan SO2) dan menghasilkan gas

rumah kaca yang sangat rendah bila dibandingkan dengan pembakaran minyak bumi. Disamping

itu, penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar tambahan juga dapat menurunkan emisi senyawa

organik hidrokarbon, benzena karsinogenik, butadiena dan emisi partikel yang dihasilkan dari

pembakaran minyak bumi (Karman, 2012). Pencampuran bahan bakar bensin dengan bioetanol

lebih baik. Hal ini disebabkan penguapan etanol yang cepat dalam masuknya ke silinder dan

membuat pencampuran yang lebih baik sehingga dapat menurunkan kadar emisi gas buang yang

di keluarkan (Ghazikhani et al., 2014).

2.2.2 Standar mutu bioetanol

Pemanfaatan bioetanol diarahkan untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

bauran energi nasional (national energy mix) terutama sebagai bahan bakar pencampur ataupun

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
pensubstitusi bensin. Pemerintah melalui Dewan Standarisasi Nasional (DSI) telah menetapkan

Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bioetanol dengan tujuan melindungi konsumen (dari

segi mutu), produsen, dan mendukung perkembangan industri bioetanol. Di Indonesia kadar

etanol minimum yang digunakan sebagai bahan bakar jenis bioetanol sebesar (94,0 - 99,5%)

(Simanjuntak et al., 2019). Standar Nasional Indonesia (SNI) bioetanol disusun oleh Panitia

Teknis Energi Baru dan Terbarukan (PTEB) melalui tahapan - tahapan baku tata cara perumusan

standar nasional. Penyusunan SNI bioetanol Terdenaturasi untuk gasohol ini dilakukan dengan

memperhatikan standar sejenis yang sudah berlaku di negara-negara lain yang pemakaian

bioetanolnya sudah luas dan mencapai tahap komersial. Faktor lain yang juga diperhatikan

adalah keberagaman bahan baku bioetanol di tanah air (Badan Standar Indonesia, 2012).

Berdasarkan uraian standar mutu bioetanol di atas maka dapat dilihat, seperti Tabel 1. berikut.

Tabel 1. Standar Mutu Bioetanol sebagai Bahan Bakar SNI DT 27-0001- 2006

Sumber : BSN (2006)

SNI ini disusun oleh Panitia Teknis Perumusan Standar Nasional Indonesia 27-04: Bioenergi

melalui proses/prosedur perumusan standar dan terakhir dibahas dalam Forum Konsensus Panitia

Teknis Bioenergi di Bali pada tanggal 1 Desember 2011, yang dihadiri oleh anggota panitia

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
teknis dan narasumber terkait. SNI bioetanol ini merupakan revisi dari SNI 7390:2008, bioetanol

terdenaturasi untuk gasohol, yang disusun dengan memperhatikan masukan dari konsumen,

produsen dan penyalur serta standar sejenis yang sudah berlaku di negara-negara lain yang

pemakaian bioetanolnya sudah luas dan mencapai tahap komersial. Secara substansial perubahan

dari SNI 7390:2008 adalah perubahan syarat kadar metanol, penambahan denaturan baru

denatonium benzoat, perubahan kadar air, perubahan kadar klorin, dan penghapusan parameter

pH.

2.3 Produksi Bioetanol

2.3.1 Hidrolisis

Hidrolisa adalah suatu proses antara reaktan dengan air agar suatu senyawa pecah atau

terurai. Reaksi ini merupakan reaksi orde satu, karena air yang digunakan berlebih, sehingga

perubahan reaktan dapat diabaikan. Asam yang biasa digunakan adalah asam asetat, asam fosfat,

asam klorida dan asam sulfat. Asam sulfat banyak digunakan di Eropa dan asam klorida banyak

digunakan di Amerika. Laju proses hidrolisa akan bertambah oleh konsentrasi asam yang tinggi.

Selain dapat menambah laju proses hidrolisa, konsentrasi asam yang tinggi juga akan

mengakibatkan terikatnya ion-ion pengontrol seperti SiO2, fosfat, dan garam-garam seperti Ca,

Mg, Na, dan K dalam pati (Mardina et al., 2014). Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia

dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya (Rayana et al.,

2014). Hidrolisis asam adalah hidrolisis dengan menggunakan asam yang dapat mengubah

polisakarida menjadi monosakarida. Asam akan bersifat sebagai katalisator yang dapat

membantu dalam proses pemecahan karbohidrat menjadi gula. Hidrolisis dengan asam bertujuan

untuk memecah ikatan lignin, selulosa, dan hemiselulosa agar selulosa dan hemiselulosa mudah

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
didegradasi menjadi glukosa (Gafiera et al., 2019). Berdasarkan uraian hidrolisis di atas maka

dapat dilihat, seperti gambar 3.

Gambar 3. Reaksi Hidrolisis Secara Asam (Handayani et al., 2016).

Hidrolisis asam merupakan proses yang dilakukan secara acak atau tidak spesifik. Beberapa

asam yang umum digunakan untuk hidrolisis kimiawi antara lain asam sulfat (H 2SO4), asam

perklorat (HClO4) dan HCl. Komponen yang terlarut pada hidrolisis polisakarida dengan katalis

asam adalah xilosa, glukosa, selobiosa, furfuraldehid, hidroksimetilfurfural, dan asam-asam

organik seperti asam format, asam levulinat, serta asam asetat (Rohpanae dan Hadi, 2020).

Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer.

Biasanya asam yang digunakan pada proses ini adalah HCl atau H2SO4 (Handayani et al., 2016).

2.3.2 Fermentasi

Fermentasi adalah suatu proses pengubahan suatu zat menjadi zat lain yang dilakukan oleh

mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur, dalam keadaan tertentu, dan yang dapat terjadi dalam

kondisi aerob dan/atau anaerob. Produk spesifik yang dihasilkan dari proses fermentasi tertentu

ditentukan oleh jenis mikroorganisme, pengolahannya kondisi, dan zat di mana fermentasi

berlangsung (Guine et al ., 2021). Fermentasi dapat menumbuhkan pertumbuhan mikroba

pembentuk asam dan alkohol serta menekan pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik (Dali,

2013). Berdasarkan uraian fermentasi di atas maka dapat dilihat fermentasi pada gambar 4.

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
Gambar 4. Fermentasi Alkohol (Falaah dan Kusumayanti, 2021).

Pada proses fermentasi mikroorganisme tumbuh dan berkembang secara aktif mengubah

bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

proses fermentasi adalah jenis organisme, suhu, pH awal fermentasi, inokulum, substrat, dan

kandungan nutrisi medium (Muslihah,2012). Produksi bioetanol dimulai dari fermentasi

sederhana bahan-bahan yang mengandung gula/ nira, bahan-bahan yang mengandung pati/

polisakarida hingga bahan-bahan berkayu Tahap fermentasi merupakan tahap pemecahan gula-

gula sederhana menjadi etanol dengan melibatkan enzim dan ragi. Fermentasi dilakukan pada

kisaran suhu 27 – 320C, pada tahap ini dihasilkan gas CO2 sebagai by product (Loupatty, 2014).

2.3.3 Destilasi

Destilasi adalah suatu proses pemurnian yang didahului dengan penguapan senyawa cair

dengan cara memanaskannya, kemudian mengembunkan uap yang terbentuk. Prinsip dasar dari

denstilasi adalah perbedaan titik dari zat-zat cair dalam campuran zat cair tersebut sehingga zat

(senyawa) yang memiliki titik didih terendah akan menguap terlebih dahulu, kemudian apabila

didinginkan akan mengembun dan menetes sebagai zat murni (destilat) (Wahyudi dan

Gusmarwani, 2017). Destilasi adalah cara pemisahan zat cair dari campurannya berdasarkan

perbedaan titik didih atau berdasarkan kemampuan zat untuk menguap (Kusumo et al., 2017).

Dimana zat cair dipanaskan hingga titik didihnya, serta mengalirkan uap ke dalam alat pendingin

(kondensor) dan mengumpulkan hasil pengembunan sebagai zat cair (Arif et al., 2016).

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
Kondensor digunakan air yang mengalir sebagai pendingin. Berdasarkan uraian destilati di atas

maka dapat dilihat destilasi pada gambar 5.

Gambar 5. Alat Destilasi Bioetanol (Larata et al., 2021)

Destilasi bioethanol dapat dilakukan menggunakan alat destilasi sederhana (Setiawan, 2018).

Filtrat dari semua perlakuan hasil hidrolisis dan fermentasi didestilasi dengan cara memanaskan

filtrat didalam labu destilasi pada suhu 780C, uap yang dihasilkan didinginkan menggunakan

kondesor menghasilkan destilat cair, dimana kandungan air (Titik Didih 100 0C) yang ada akan

tertinggal didalam labu. Destilat yang diperoleh ditampung kedalam vial berukuran 100 mL.

Destilasi dilakukan dengan didasarkan pada perbedaan titik didih dari dua zat yang akan

dipisahkan, yakni etanol dan air, dimana air memiliki titik didih 100 oC sedangankan etanol

memiliki titik didih sekitar 78 oC. Hal ini karena pada rentang suhu tersebut terjadi pengubahan

zat (khususnya etnaol) dari cairan ke gas. Gas hasil penguapan ini selanjutnya masuk ke saluran

(selang) menuju kondensor sehingga terjadi kondensasi (pengubahan gas menjadi cair) (Latara et

al ., 2021).

2.4 Ragi Tapai

Ragi tape atau yang sering disebut sebagai “ragi” adalah starter untuk membuat tape ketan

atau tape singkong. Ragi mengandung mikroorganisme yang dapat mengubah karbohidrat (pati)

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
menjadi gula sederhana (glukosa) yang selanjutnya diubah lagi menjadi alkohol. Selain itu, ragi

tape juga menghasilkan enzim Fitase (Islami, 2018). Menurut (Berlian et al., 2016) proses

fermentasi tape melibatkan penambahan mikroorganisme untuk membuat beras ketan menjadi

produk yang dinginkan. Khamir Saccharomyces cerivisiae yang berfungsi mengubah karbohidrat

(pati) menjadi gula dan alkohol. Proses tersebut juga menyebabkan tekstur tape menjadi lunak

dan empuk. Berdasarkan uraian ragi tape di atas maka dapat dilihat ragi tape pada gambar 6.

Gambar 6. Ragi Tape (Islami, 2018)

Mikrobia dari ragi tape khususnya yang memproduksi enzim amilolitik (Amylomyces rouxii,

Rhizopus sp., Aspergillus sp., Mucor sp. dan Bacillus sp.) dimaksudkan untuk mendegradasi pati

ketela pohon mukibat menjadi glukosa yang kemudian langsung dikonversi menjadi bioetanol

oleh Saccharomyces cerevisiae dari ragi roti (Kurniawan et al., 2014). Ragi tape merupakan ragi

yang banyak digunakan sebagai bahan dalam pembuatan tape. Proses fermentasi pada tape

berasal dari karbohidrat seperti umbi-umbian, beras ketan, beras putih, dan lainnya yang

terfermentasi dengan ragi menghasilkan cairan tape yang mengandung alkohol, berwarna putih

dan jika dilihat akan tampak berlendir, serta memiliki rasa keasaman yang manis. Ragi tape

sangat banyak digunakan dalam fermentasi untuk memperoleh bioethanol, dan biasanya

berbentuk seperti bulat pipih, berwarna putih dengan tekstur halus (Maharani et al., 2021).

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
2.5 Ragi Roti

Mikroba utama pada ragi roti adalah Saccharomuces cereviceae. Ragi akan merombak gula

membentuk gas karbondioksida dan alkohol. Gas karbondioksida akan terperangkap pada

adonan yang menyebabkan adonan mengembahang dan menghasilkan roti yang empuk (Sitepu,

2019). Ragi roti (bakery yeast) merupakan jenis pakan alternatif yang dapat digunakan apabila

kultur fitoplankton tidak mencukupi, sehingga kebutuhan pakan rotifera dapat dipenuhi, atau

dapat ditambahkan emulsi bahan pengkaya lainnnya seperti Scott’s, dan vitamin (Khaeriyah,

2014). Berdasarkan uraian ragi roti di atas maka dapat dilihat ragi roti pada gambar 7.

Gambar 7. Ragi Roti (Lestari, 2015)

Ragi roti mengandung Saccharomyces cerevisiae yang telah mengalami seleksi, mutasi atau

hibridasi untuk meningkatkan kemampuannya dalam memfermentasi gula dengan baik dalam

adonan dan mampu tumbuh dengan cepat (Kurniawan et al., 2014). Ragi roti instan adalah ragi

instan yang digunakan sebagai bahan pengembang untuk fermentasi pembuatan adonan kue, roti,

donat, dan lain – lain. Ragi dapat dibedakan dari tekstur bentuk dan kadar kelembapannya. Jika

semakin tinggi kadar kelembapannya, maka semakin pendek masa tahan pertumbuhannya. Ragi

roti instan merupakan ragi kering yang banyak dijual dipasaran dan sangat mudah didapat,

sehingga menjadi salah satu alternatif pengganti untuk fermentasi bioetanol yang memiliki

ketahanan yang lama dengan struktur butiran kecil yang kasar (Maharani et al., 2021).

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
III METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu

Praktikum ini telah dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian (PHP)

Fakultas Pertanian Universitas Riau Pekanbaru. Dilaksanakan pada Rabu, 25 Oktober 2023

pukul 13.00 WIB sampai dengan 14.40 WIB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kulit singkong, ragi tapai, ragi roti dan

akuades.

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat tulis, timbangan analitik, pisau/gunting,

blender, gelas ukurm 1 set rangkaian alat destilasi, kain saring, wadah, botol fermentasi, pH

meter, Hand refractometer alcohol.

3.3 Cara Kerja

Dicuci kulit sinkong untuk memisahkan kulit yang putih dari kulit luarnya. Dipotong kecil-

kecil kulit singkong menggunakan pisau/gunting. Dihaluskan kulit singkong menggunakan

blender hingga menjadi bubur, dengan perbandingan air dan kulit singkong yaitu 3 : 1 (750 ml :

250 g). Dimasak bubur kulit singkong di atas kompor hingga mendidih selama 15 menit sambil

diaduk agar tidak menggumpal dan gosong. Didinginkan bubur kulit singkong pada suhu ruang.

Disaring dan diperas untuk diambil sebanyak 500 ml. Dimasukkan ke dalam botol fermentasi

dan dipasteurisasi terlebih dahulu, kemudian didinginkan. Ditambahkan ragi (ragi tapai dan ragi

roti) ke dalam masing-masing botol sebanyak 3% b/v total bahan yaitu 15 g, kemudian ditutup

dan diaduk hingga homogen. Dilakukan fermentasi secara anaerob selama 5 hari pada suhu

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
ruang. Didistilasi hingga diperoleh bioetanol Dilakukan pengamatan terhadap kadar etanol,

derajat keasman (pH), dan sensori deskripif (aroma dan warna).

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kadar Etanol

Etanol pada produk makanan dan minuman hasil proses fermentasi yaitu hasil yang diperoleh

dari peragian karbohidrat yang berkataliskan enzim. Satu tipe enzim mengubah karbohidrat

menjadi glukosa kemudian menjadi etanol, tipe yang lain menghasilkan cuka (asam asetat),

dengan etanol sebagai perantara. Peragian/fermentasi dilakukan dengan bantuan sebagian spesies

ragi tertentu seperti Saccharomyces Cerevisiae (Hermanto et al., 2020). Fermentasi bioetanol

dapat didefinisikan sebagai proses penguraian gula menjadi bioetnol dan karbondioksida yang

disebabkan enzim yang dihasilkan oleh massa sel mikroba (Sulaiman et al., 2021). Berdasarkan

uraian di atas maka hasil pengamatan kadar etanol bioetanol dari kulit singkong sebagai berikut.

Tabel 2. Kadar Etanol Bioetanol dari Kulit Singkong


Perlakuan Kadar Etanol (%)
Penyimpanan hari ke-5 30
Penyimpanan hari ke-7 40

Berdasarkan hasil pengamatan kadar etanol pada Tabel 2. di atas kadar etanol pada lama

penyimpanan hari ke-5 memiliki kadar etanol sebesar 30% dan pada lama penyimpanan hari ke-

7 memiliki kadar etanol sebesar 40%. Semakin lama fermentasi maka kadar etanol yang

dihasilkan semakin tinggi karena pertumbuhan mikroba yang semakin cepat (Prismasiswa,

2014).

Proses fermentasi yang digunakan mengacu pada paparan Bestari et al. (2013), yang

menyatakan bahwa semakin lama waktu fermentasi, kadar bioetanol akan semakin meningkat

sampai batas waktu tertentu dan kemudian akan terjadi penurunan. Hal ini dikarenakan pada

waktu 6 hari perkembangan mikrobia sudah maksimum sedangkan pada waktu fermentasi lebih

dari 6 hari kadar etanol akan turun. Selain melihat dari proses fermentasi, adapun proses destilasi

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
yang dilakukan akan memengaruhi hasil kadar etanol. Kadar glukosa yang diperoleh masih

terlalu kecil dikarenakan proses destilasi yang dilakukan masih sederhana serta proses fermentasi

yang belum optimal. Kadar glukosa yang diperoleh pada penelitian ini, salah satunya juga

disebabakan tidak adanya pemberian nutrient pada bakteri pengurai sehingga kurang bekerja

secara optimal dalam mengubah glukosa menjadi bioetanol (Sulaiman et al., 2021).

4.2 Derajat Keasaman

Derajat keasaman merupakan suatu parameter yang digunakan untuk menyatakan tingkat

keasaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. Kadar pH diukur pada skala

0 sampai 14 (Astria, 2014). Pengukuran derajat keasaman menggunakan pH meter digital yang

telah dilengkapi buffer yang berfungsi menstabilkan indikator pengukuran pH. Pengukuran

derajat keasaman sampel dapat dilakukan setelah alat pH meter digital selesai dikalibrasi atau

stabil. Pengukuran dilakukan dengan cara mencelupkan alat pH meter digital ke dalam bioetanol

yang akan diukur. Alat bekerja secara otomatis mengukur dan menampilkan nilai pH dalam

angka digital (Mailool et al., 2013). Berdasarkan uraian di atas maka hasil pengamatan derajat

keasaman bioetanol kulit singkong sebagai berikut.

Tabel 3. Derajat Keasaman Bioetanol dari Kulit Singkong


Perlakuan Derajat Keasaman (pH)
Penyimpanan hari ke-5 4,52
Penyimpanan hari ke-7 4,58

Berdasarkan hasil pengamatan derajat keasaman bioetanol pada Tabel 3. di atas derajat

keasaman pada perlakuan lama penyimpanan hari ke-5 memiliki pH sebesar 4,52 dan pada

perlakuan lama penyimpanan hari ke-7 memiliki pH sebesar 4,58. Hal ini ternyata disebabkan

oleh kecenderungan perubahan nilai pH pada media fermentasi disebabkan sel khamir yang

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
mengubah amonia menjadi NH4+ sebagai sumber nitrogen, maka semakin banyak biomassa dan

bertambahnya waktu fermentasi akan menyebabkan pH semakin rendah (Hanidah et al., 2018).

Derajat keasaman medium mempengaruhi kadar ethanol yang dihasilkan dalam

memfermentasi glukosa yang berasal dari perombakan amilum S. crasifolium. Derajat keasaman

merupakan kondisi asam basa medium fermentasi yang berhubungan dengan aktivitas

pertumbuhan mikroorganisme. pH yang terlalu rendah (asam) atau terlalu tinggi (basa) dapat

memicu tingkat kematian sel mikroba. Tingkat kematian mikroorganisme yang tinggi akan

berpengaruh terhadap kecepatan fermentasi, karena jumlah mikroba akan berkurang dalm

mengurai glukosa menjadi ethanol (Taslim et al,. 2017).

4.3 Aroma

Aroma merupakan bau dari produk , bau sendiri adalah suatu respon ketika senyawa volatil

dari makanan yang masuk ke rongga hidung dan dirasakan oleh sistem olfaktori (Tarwendah,

2017). Senyawa aroma bersifat volatil, sehingga mudah mencapai sistem penciuman di bagian

atas hidung, dan perlu konsentrasi yang cukup untuk dapat berinteraksi dengan satu atau lebih

reseptor

penciuman. Pada umumnya, aroma yang dapat diterima oleh hidung dan otak merupakan

campuran empat macam aroma, yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 2008).

Berdasarkan uraian di atas maka hasil pengamatan aroma bioetanol dari kulit singkong sebagai

berikut.

Tabel 4. Aroma Bioetanol dari Kulit Singkong


Perlakuan Aroma
Penyimpanan hari ke-5 Aroma Khas
Penyimpanan hari ke-7 Aroma Khas

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 4. di atas aroma bioetanol dari kulit singkong

pada perlakuan lama penyimpanan hari ke-5 dan hari ke-7 memiliki aroma yang sama, yaitu

aroma khas bioetanol. Bioetanol memiliki sifat tidak berwarna namun memiliki aroma yang

khas. sifatnya yang tidak beracun sehingga banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi

dan industri makanan-minuman. Bioetanol merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair

dari pengolahan tumbuhan) di samping biodiesel (Moeksin et al., 2016).

Bioetanol umumnya digunakan sebagai bahan bakar atau bahan baku dalam industri,

karakteristik aroma produk akhir memiliki pengaruh penting pada penggunaan dan aplikasi

lainnya. Selama proses fermentasi dan pemurnian, berbagai senyawa dapat dihasilkan yang

memberikan aroma khas pada bioetanol (Ernes, 2014). Bahan baku yang digunakan dalam

produksi bioetanol memiliki peran kunci dalam pembentukan aroma (Saputra, 2015).

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
V KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa Bioetanol

mempunyai manfaat untuk dikonsumsi manusia sebagai minuman beralkohol. Bioetanol juga

dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dengan kandungan minimal 10 % etanol. Bioetanol

berbahan dasar kulit singkong dengan lama penyimpanan 5 dan 7 hari memiliki kadar etanol

30% dan 40% yang menggunakan fermentasi dari ragi roti dan ragi tape, serta memiliki nilai

derajat keasaman 4,52 dan 4,58.

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
DAFTAR PUSTAKA

Arif, A. B., Diyono, W., Budiyanto, A., dan Richana, N. 2016. Analisis rancangan faktorial tiga
faktor untuk optimalisasi produksi bioetanol dari molases tebu. J. Informatika Pertan. ;
25(1):145-154
Arini , S, C. 2018. Begini Dampak ke Kendaraan Kalau Pakai Bensin Campur Sawit
"Begini Dampak ke Kendaraan Kalau Pakai Bensin Campur
Sawit" https://finance.detik.com/energi/d-6202456/begini-dampak-ke-kendaraan-kalau-
pakai-bensin-campur-sawit. Diakses pada 01 November 2023, 04.18.
Astria, F., Subito, M., dan Nugraha, D.W., 2014, Rancang Bangun Alat Ukur Ph Dan Suhu
Berbasis Short Message Service (SMS) Gateway, Jurnal MEKTRIK, Vol. 1 No. 1, hal 47-
55.
Berlian, Z., dan Aini, F. 2016. Uji kadar alkohol pada tapai ketan putih dan singkong melalui
fermentasi dengan dosis ragi yang berbeda. Jurnal Biota, 2(1), 106-111.
Bestari A, Sutrisno E, Sumiyati S. 2013. PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP
KADAR BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT PISANG KEPOK DAN RAJA. J Tek
Lingkungan, 2(3):1–6.
Dali, F. A. 2013. Karakterisasi bakteri asam laktat yang diisolasi selama fermentasi
bakasang. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 16(2).
Ernes, A. 2014. Optimasi fermentasi bagas tebu oleh (Zymomonas mobilis) CP4 (NRRL B-
14023) untuk produksi bioetanol. Jurnal AGRITECH. 34: 247-256.
Falaah, M., & Kusumayanti, H. 2021. Proses Fermentasi pada Produksi Bioetanol Dedak Padi dengan
Hidrolisis Enzimatis. METANA, 17(2), 81-87.

Gafiera, I. N., Swetachattra, F. P., Hardjono, H., 2019, Pengaruh Penambahan Nutrisi Urea
dalam Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang Kepok dengan Proses Fermentasi, Jurnal
Distilat, Vol. 5, No. 9, 195–199.
Ghazikhani, M. Hatami, M. Safari, B. dan Ganji, D.D. 2014 Experimental investigation of
exhaust temperature and deliveryratio effect on emissions and performance of a gasoline–
ethanol two-stroke engine. Case Studies in Thermal Engineering, 2, 82-90
Guiné, R. P., Barroca, M. J., Coldea, T. E., Bartkiene, E., dan Anjos, O. 2021. Apple fermented
products: An overview of technology, properties and health effects. Processes, 9(2), 223.
Handayani, S.S., Hadi, S., dan Patmala, H. 2016. Fermentasi Glukosa Hasil Hodrolisis Buah
Kumbi Untuk Bahan Baku Bioetanol. Jurnal Pijar MIPA. Vol 11 No 1. Hal 30.
Hendrawati, T. Y., Ramadhan, A. I., dan Siswahyu, A. 2019. Pemetaan Bahan Baku Dan
Analisis Teknoekonomi Bioetanol Dari Singkong (Manihot Utilissima) Di Indonesia. Jurnal
Teknologi, 11(1), 37-46.

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
Hermanto, D., Andayani, I. A. S., Honiar, R., Shofiyana, L. M., dan Ismillayli, N. 2020.
Penentuan kandungan etanol dalam makanan dan minuman fermentasi tradisional
menggunakan metode kromatografi gas. Chempublish Journal, 5(2), 105-115.
Islami, R. 2018. Pembuatan ragi tape dan tape. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Agrokompleks, 2.
Juwita, R. dan Syarif, L. R. 2012. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Katalisator Asam terhadap
Sintesis Furfural dari Sekam Padi. Jurnal Konversi Vol.1 No.1. 37
Karman, J. 2012. Teknologi dan Proses Pengelolahan Biomassa. Bandung: Alfabeta.
Khaeriyah, A. 2014. Optimasi Pemberian Kombinasi Fitoplankton dan Ragi dengan Dosis yang
Berbeda Terhadap Pertumbuhan rotifer (Branchionus plicatilis sp.). Jurnal Balik Diwa. 5 (1):
14-19
Kurniawan, T. B., Bintari, S. H., dan Susanti, R. 2014. Efek interaksi ragi tape dan ragi roti
terhadap kadar bioetanol ketela pohon (Manihot utilissima, Pohl) varietas
Mukibat. Biosaintifika: Journal of Biology & Biology Education, 6(2), 128-136.
Kusumo, F., dan Milano, J. 2017. Optimization of bioethanol production from sorghum grains
using artificial neural networks integrated with ant colony. Industrial Crops and Products. 97
: 146-155
Latara, A., Mustofa, M., dan Botutihe, S. 2021. Destilasi Bioetanol dari Nira Aren dengan
Variasi Waktu Pengadukan pada Proses Fermentasi. Jurnal Teknologi Pertanian Gorontalo
(JTPG), 6(2), 30-35.
Lestari, D, S. 2015. Mengenal Ragi Bahan Baku Utama
https://lifestyle.okezone.com/read/2015/02/20/298/1108467/mengenal-ragi-bahan-baku-
utama-roti . diakses pada 01 November 2023.
Loupatty, V. D. 2014. Pemanfaatan Bioetanol sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti
Minyak Tanah. Majalah Biam, 10(2), 50-59.
Lovisia, E. 2022. Bioetanol dari Singkong sebagai Sumber Energi Alternatif. SPEJ (Science and
Physic Education Journal), 6(1), 8-14.
Maharani, M. M., Bakrie, M., dan Nurlela, N. 2021. Pengaruh Jenis Ragi, Massa Ragi Dan
Waktu Fermentasi Pada Pembuatan Bioetanol Dari Limbah Biji Durian. Jurnal
Redoks, 6(1), 57-65.
Mailool, J.C., Molenaar, R., Tooy, D., Longdong, I.A., 2013. PRODUKSI BIOETANOL DARI
SINGKONG (Manihot utilissima) DENGAN SKALA LABORATORIUM. Cocos 2, 1–11.
Mardina, P., Prathama, H. A., dan Hayati, D. M. 2014. Pengaruh waktu hidrolisis dan
konsentrasi katalisator asam sulfat terhadap sintesis furfural dari jerami padi. Konversi, 3(2),
1-8.

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
Moeksin, R., Comeriorensi, L., dan Damayanti, R. 2016. Pembuatan bioetanol dari eceng
gondok (Eichhornia crassipes) dengan perlakuan fermentasi. Jurnal Teknik Kimia, 22(1),
9-17.
Muslihah, S., 2012. Pengaruh penambahan urea dan lama fermentasi yang berbeda terhadap
kadar bioetanol dari sampah organik (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim).
Rayana, M., Chairul, C., Hafidawati, H., 2014, Variasi Pengadukan dan Waktu pada Pembuatan
Bioetanol dari Pati Sorgum dengan Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak (SSF),
Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Riau, Vol. 1, No. 1, 1–8.
Rohpanae, G., dan Hadi, V. 2020. Pembuatan bioetanol dari kulit petai (parkia speciosa hassk)
menggunakan metode hidrolisis asam dan fermentasi saccharomyces
cerevisiae. TEKNOSAINS: Jurnal Sains, Teknologi Dan Informatika, 7(2), 119-128.
Saputra, B. 2015. Analisis pengaruh ph dan lama fermentasi terhadap kadar etanol hasil
hidrolisis jerami padi. Skripsi. UB. Malang.
Seftian, D., Antonius, F., dan Faizal, M. 2012. Pembuatan etanol dari kulit pisang menggunakan
metode hidrolisis enzimatik dan fermentasi. Jurnal Teknik Kimia 18(1):10-16.
Setiawan, T. 2018. Rancang Bangun Alat Destilasi Uap Bioetanol Dengan Bahan Baku Batang
Pisang, Jurnal Media Teknologi , 4(2): 119-128.
Simanjuntak, A. Y. M., dan Subagyo, R. 2019. Analisis Hasil Fermentasi Pembuatan Bioetanol
dengan Variasi Waktu Menggunakan Bahan (Singkong, Beras Ketan Hitam dan Beras Ketan
Putih). Scientific Journal of Mechanical Engineering Kinematika, 4(2), 79-90.
Sitepu, K. M. 2019. Penentuan Konsentrasi Ragi pada Pembuatan Roti (Determining of Yeast
Concentration on Bread Making). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Agrokompleks, 71-
77.
Sulaiman, D., Syahdan, S., dan Ulva, S. M. 2021. Analisis uji karakteristik bioetanol dari pisang
hutan terhadap variasi massa ragi. Jurnal Kumparan Fisika, 4(3), 169-176.
Sulaiman, D., Syahdan, S., dan Ulva, S. M. 2021. Analisis uji karakteristik bioetanol dari pisang
hutan terhadap variasi massa ragi. Jurnal Kumparan Fisika, 4(3), 169-176.
Tarwendah PI. 2017. Studi Komparasi Atribut Sensoris dan Kesadaran Merek Produk Pangan.
Jurnal Pangan dan Agroindustri 5(2):66- 73.
Taslim, M., Mailoa, M., & Rijal, M. (2017). Pengaruh pH, dan lama fermentasi terhadap
produksi ethanol dari Sargassum crassifolium. BIOSEL (Biology Science and Education):
Jurnal Penelitian Science dan Pendidikan, 6(1), 13-25.
Wahyudi, J. J., dan Gusmarwani, S. R. 2017. Pemurnian Bioetanol Fuel Grade dari Crude
Ethanol (Variabel Distilasi-Ekstraksi). Jurnal Inovasi Proses, 2(2), 43-48.
Widyastuti, P. 2019. Pengolahan limbah kulit singkong sebagai bahan bakar bioetanol melaui
proses fermentasi. Jurnal Kompetensi Teknik. 11(1): 41-46.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor : Embrio Press.

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
LAMPIRAN

Lampiran 1. Cara Kerja Pembuatan Bioetanol

Kulit ubi kayu, ragi tapai,


ragi singkong, dan akuades

Dicuci kulit sinkong untuk memisahkan kulit yang putih dari kulit luarnya

Dipotong kecil-kecil kulit singkong menggunakan pisau/gunting

Direndam dengan air selama 24 jam dan air diganti setiap 8 jam

Dihaluskan kulit singkong menggunakan blender hingga menjadi bubur,


dengan perbandingan air dan kulit singkong yaitu 3:1 (750 ml : 250 g)

Dimasak bubur kulit singkong di atas kompor hingga mendidih selama 15


menit sambil diaduk agar tidak menggumpal dan gosong

Didinginkan bubur kulit singkong pada suhu ruang, disaring dengan ayakan
80 mesh.

Dimasukkan ke dalam botol fermentasi dan dipasteurisasi terlebih dahulu,


kemudian didinginkan

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI
Dimasukkan ke dalam botol fermentasi dan dipasteurisasi terlebih dahulu,
kemudian didinginkan

Dimasukkan ke dalam botol fermentasi dan dipasteurisasi terlebih dahulu,


kemudian didinginkan

Ditambahkan ragi (ragi tapai dan ragi roti) ke dalam masing-masing botol
sebanyak 3% b/v total bahan yaitu 15 g, kemudian ditutup dan diaduk
hingga homogen.

Ditambahkan ragi (ragi tapai dan ragi roti) ke dalam masing-masing botol
sebanyak 3% b/v total bahan yaitu 15 g, kemudian ditutup dan diaduk
hingga homogen.

Dilakukan fermentasi secara anaerob selama 5 hari pada suhu ruang,


Didistilasi hingga diperoleh bioetanol

Dilakukan pengamatan terhadap kadar etanol, derajat keasman (pH), dan


sensori deskripif (aroma dan warna)

Bioetanol

FINA YUNISA
MUTIARA RIYANTO PUTRI

Anda mungkin juga menyukai