Anda di halaman 1dari 18

Makalah

DEHIDRASI ETANOL DENGAN TEKNOLOGI MEMBRAN (PERVAPORASI)

Kelompok 3 : Irmaya Pratiwi (432 10 016) Clemensia Keban (432 10 019) Auliya Ulhaq (432 10 022) Ratna Mahmuda (432 10 023)

2-D4 Teknologi Kimia Industri

JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI UJUNG PANDANG 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bioetanol adalah etanol hasil fermentasi biomassa oleh mikroorganisme. Biomassa yang biasa digunakan adalah yang berasal dari bahan yang mengandung gula atau pati seperti tebu, jagung, singkong, ubi jalar, ubi kayu, dan sagu. Bioetanol selain dapat diproduksi dari bahan baku yang mengandung gula dan pati, bioetanol juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa; namun adanya lignin mengakibatkan proses produksinya menjadi lebih sulit dan mahal sehingga etanol dari sumber selulosa pada saat ini belum cukup layak di Indonesia. Etanol merupakan senyawa hidrokarbon tidak berwarna yang mudah sekali terbakar sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan bakar. Kebutuhan yang semakin meningkat dan fenomena kelangkaan bahan bakar minyak pada tahun-tahun belakangan ini telah memberikan dampak yang sangat luas di berbagai sektor kehidupan. Sektor yang paling cepat terkena dampaknya adalah sektor transportasi. Fluktuasi suplai dan harga minyak bumi menggambarkan bahwa jumlah cadangan minyak yang ada di bumi semakin menipis. Minyak bumi adalah bahan bakar yang tidak bisa diperbarui sehingga harus ada bahan bakar pengganti sebagai antisipasi menipisnya bahan bakar fosil. Indonesia harus mengimpor minyak, baik dalam bentuk minyak mentah maupun dalam bentuk produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM) seperti minyak solar, premium, minyak bakar dan minyak tanah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia. Jumlah import yang semakin tinggi dan semakin meningkatnya harga minyak dunia diperkirakan akan semakin berat beban dan biaya yang harus ditanggung pemerintah Indonesia dalam pengadaan minyak nasional. Indonesia sebagai negara yang mempunyai potensi sumber bahan bakar alam (biofuel) berpeluang untuk mengembangkan energi alternatif terbarukan antara lain bioetanol. Pengembangan biofuel didukung dengan dikeluarkannya Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Bioetanol berpotensi untuk dikembangkan karena ramah lingkungan. Bahan baku pembuatan bioetanol dapat berasal dari bahan yang mengandung gula, pati atau selulosa. Bioetanol yang dibuat dari bahan berpati dihasilkan dengan melakukan fermentasi glukosa menjadi etanol menggunakan bantuan mikroba, dalam hal ini Saccharomyces cereviseae.

Etanol telah digunakan manusia sejak zaman prasejarah sebagai bahan pemabuk dalam minuman beralkohol. Residu yang ditemukan pada peninggalan keramik yang berumur 9000 tahun dari Cina bagian utara menunjukkan bahwa minuman beralkohol telah digunakan oleh manusia prasejarah dari masa Neolitik. Etanol dan alkohol membentuk larutan azeotrop. Karena itu pemurnian etanol yang mengandung air dengan cara penyulingan biasa hanya mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian 96%. Etanol murni (absolut) dihasilkan pertama kali pada tahun 1796 oleh Johan Tobias Lowitz yaitu dengan cara menyaring alkohol hasil distilasi melalui arang. Etanol pertama kali dibuat secara sintetik pada tahun 1826 secara terpisah oleh Henry Hennel dari Britania Raya dan S.G. Srullas dari Perancis. Pada tahun 1828, Michael Faraday berhasil membuat etanol dari hidrasi etilena yang dikatalisis oleh asam. Proses ini mirip dengan proses sintesis etanol industri modern. Dewasa ini, cadangan bahan bakar dari minyak bumi yang semakin berkurang menjadikan etanol sebagai bahan bakar primadona terus meningkat seiring dengan kebutuhan manusia akan etanol sebagai bahan bakar. Kabar gembira untuk para pengembang etanol yang ada di Indonesia, pemurnian etanol yang selama ini menggunakan teknologi destilasi yang cukup rumit dan memakan cost produksi yang tinggi, kini dapat digantikan dengan sebuah alat mungil yang disebut sebagai membran pervaporasi. Adalah Dr I Gede Wenten MSc, dosen Teknologi Kimia Institut Teknologi Bandung yang merupakan salah satu Ahli Teknologi Membran, memanfaatkan polivinilalkohol dan kitosan sebagai bahan baku membran. Keduanya bersifat hidrofilik alias tidak menyerap air sehingga selektif terhadap air dan tidak mudah mengembang. Yang digunakan adalah membran tidak berpori sehingga hanya uap air yang mampu melewatinya, sedangkan larutan etanol ditolak oleh membran. Metode yang digunakan bernama pervaporasi. Cara ini dapat memisahkan semua campuran uap-cair dengan berbagai konsentrasi. Sepintas terlihat seperti filtrasi dengan membran. Sebab, pervaporasi merupakan proses pemisahan suatu campuran dengan perubahan bentuk dari cair menjadi uap pada sisi membran. Letak perbedaannya, teknik pemisahan berbasis membran ini bekerja berdasarkan mekanisme difusi larutan.

B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini ada beberapa pokok masalah yang akan dibahas, secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut. Apa yang dimaksud dengan pervaporasi? Bagaimana cara kerja pervaporasi untuk memurnikan etanol? Apa keuntungan pervaporasi dibansingkan dengan teknik pemurnian etanol lainnya?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioetanol Bioetanol adalah etanol hasil fermentasi biomassa oleh mikroorganisme. Biomassa yang biasa digunakan adalah yang berasal dari bahan yang mengandung gula atau pati seperti tebu, jagung, singkong, ubi jalar, ubi kayu, dan sagu. Bioetanol selain dapat diproduksi dari bahan baku yang mengandung gula dan pati, bioetanol juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa; namun adanya lignin mengakibatkan proses produksinya menjadi lebih sulit dan mahal sehingga etanol dari sumber selulosa pada saat ini belum cukup layak di Indonesia. Etanol merupakan senyawa hidrokarbon tidak berwarna yang mudah sekali terbakar sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan bakar. Kebutuhan yang semakin meningkat dan fenomena kelangkaan bahan bakar minyak pada tahun-tahun belakangan ini telah memberikan dampak yang sangat luas di berbagai sektor kehidupan. Sektor yang paling cepat terkena dampaknya adalah sektor transportasi. Fluktuasi suplai dan harga minyak bumi menggambarkan bahwa jumlah cadangan minyak yang ada di bumi semakin menipis. Minyak bumi adalah bahan bakar yang tidak bisa diperbarui sehingga harus ada bahan bakar pengganti sebagai antisipasi menipisnya bahan bakar fosil. Indonesia harus mengimpor minyak, baik dalam bentuk minyak mentah maupun dalam bentuk produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM) seperti minyak solar, premium, minyak bakar dan minyak tanah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia. Jumlah import yang semakin tinggi dan semakin meningkatnya harga minyak dunia diperkirakan akan semakin berat beban dan biaya yang harus ditanggung pemerintah Indonesia dalam pengadaan minyak nasional. Indonesia sebagai negara yang mempunyai potensi sumber bahan bakar alam (biofuel) berpeluang untuk mengembangkan energi alternatif terbarukan antara lain bioetanol. Pengembangan biofuel didukung dengan dikeluarkannya Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Bioetanol berpotensi untuk dikembangkan karena ramah lingkungan. Bahan baku pembuatan bioetanol dapat berasal dari bahan yang mengandung gula, pati atau selulosa. Bioetanol yang dibuat dari bahan berpati dihasilkan dengan melakukan fermentasi glukosa menjadi etanol menggunakan bantuan mikroba, dalam hal ini Saccharomyces cereviseae. Etanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, campuran bahan bakar untuk kendaraan. Mengingat pemanfaatan etanol/bioetanol beraneka ragam, sehingga grade etanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk etanol/bioetanol yang mempunyai grade 90-96,5% volume dapat digunakan pada industri, sedangkan etanol/bioetanol yang

mempunyai grade 96-99,5% volume dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade etanol/bioetanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga etanol/bioetanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Alkohol dengan kadar air sangat rendah (<1%) tersebut sering juga dikenal dengan istilah alkohol kering (anhydrous alcohol). Untuk mendapatkan bioetanol dengan kemurnian setinggi itu diperlukan teknologi recovery atau pemurnian cukup handal untuk memisahkan etanol/bioetanol dari air yang terkandung didalamnya.

B. Etanol Dalam proses konversi, karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzim; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi etanol/bioetanol secara sederhana disajikan pada reaksi 1 dan 2. H2O + (C6H10O5)n N C6H12O6.(1) (C6H12O6)n 2 C2H5OH + 2 CO2...(2) Selain etanol/bioetanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan etanol/bioetanol dari selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi etanol/bioetanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun

etanol/bioetanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan etanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi etanol masih perlu dilakukan. Secara singkat teknologi proses produksi etanol/bioetanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakarifikasi, dan fermentasi Etanol memiliki berat jenis sebesar 0,7937 g/mL (15oC) dan titik didih sebesar 78,32oC pada tekanan 766 mmHg. Etanol larut dalam air dan eter dan mempunyai panas

pembakaran 328 Kkal (Paturau, 1981). Menurut Paturau (1981), fermentasi etanol membutuhkan waktu 30-72 jam. Prescott and Dunn (1981) menyatakan bahwa waktu fermentasi etanol yang dibutuhkan adalah 3 hingga 7 hari. Frazier and Westhoff (1978) menambahkan suhu optimum fermentasi 25-30oC dan kadar gula 10-18 %. Etil-Alkohol (CH3CH2OH) dikenal juga dengan nama alkohol adalah suatu cairan tidak berwarna dengan bau yang khas. Di dalam perdagangan kualitas alkohol di kenal dengan beberapa tingkatan. a. Alkohol Teknis (96,5GL) Digunakan terutama untuk kepentingan industri sebagai bahan pelarut organik, bahan baku maupun bahan antara produksi berbagai senyawa organik lainnya. Alkohol teknis biasanya terdenaturasi memakai -1 % piridin dan diberi warna memakai 0,0005% metal violet. b. Alkohol Murni (96,0 96,5 GL) Digunakan terutama untuk kepentingan farmasi dan konsumsi misal untuk minuman keras. c. Alkohol Absolut ( 99,7 99,8 GL) Digunakan di dalam pembuatan sejumlah besar obat-obatan dan juga sebagai bahan antara didalam pembuatan senyawa-senyawa lain skala laboratorium. Alkohol jenis ini disebut Fuel Grade Ethanol (F.G.E) atau anhydrous ethanol yaitu etanol yang bebas air atau hanya mengandung air minimal. Alkohol absolut terdenaturasi banyak digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dan motor bensin lainnya. 1. Pembuatan Etanol secara Fermentasi Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi etanol dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini biasanya alkohol dengan kadar 810 persen volume. Bahan baku untuk pembuatan etanol secara fermentasi ini dapat berasal dari pati, selulosa dan juga bahan-bahan yang mengandung gula. Reaksi pembuatan etanol dengan fermentasi sebagai berikut: Enzim (C6H12O5)n + nH2O Pati nC6H12O6 Glukosa

Yeast C6H12O6 Glukosa 2 CH3CH2OH + 2 CO2 Etanol

Etanol yang diperoleh dari proses fermentasi biomassa (tanaman) dan melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi) lebih dikenal dengan istilah Bioetanol. Bahan baku yang sering digunakan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu sebagai berikut: Bahan bergula (sugary materials) : Tebu dan sisa produknya (molase, bagase), gula bit, tapioca, kentang manis, sorghum manis, dll. Bahan-bahan berpati (starchy materials) : tapioka, maizena, barley, gandum, padi, dan kentang. Jagung dan ubikayu Bahan-bahan lignoselulosa (lignosellulosic material) : sumber selulosa dan lignoselulosa berasal dari limbah pertanian dan kayu. Dari berbagai bahan baku tersebut akan dipilih bahan baku yang paling efisien untuk dibuat bioetanol. Salah satu pertimbangan yang sering digunakan adalah besarnya konversi biomassa menjadi bioetanol seperti yang disajikan pada 1.

Tabel 1. Konversi Biomassa Menjadi Bioetanol Sumber Berat (kg) 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Kandungan Pati (kg) 240 -300 150 200 600 700 120 160 450 520 110 Jumlah Bioetanol (liter) 166,5 125 400 90 250 67 Perbandingan Hasil 6,5 : 1 8:1 2,5 : 1 12 : 1 4:1 15 : 1

Ubi Kayu Ubi Jalar Jagung Sagu Tetes Tebu

Tabel 1. menunjukkan bahwa bahan baku yang memilki efisiensi tertinggi adalah jagung, kemudian disusul dengan tetes tebu dan ubi kayu, sedangkan tebu memiliki efisiensi paling rendah. Hal ini terlihat menunjang dan ada hubungannya dengan kebijakan Amerika yang memilih jagung sebagai bahan baku produksi bioetanol bukan tetes tebu atau gula. Namun biaya pengolahan bioetanol dari jagung atau bahan berpati biasanya relatif mahal karena membutuhkan proses dan peralatan tambahan sebelum proses fermentasi. Diagram alir perbandingan proses pembuatan bioetanol berdasarkan perbedaan bahan baku dapat dilihat pada gambar berikut..

Gambar 1. Diagram Alir Fermentasi Etanol dari Berbagai Bahan Baku Pertimbangan lain dalam pemilihan bahan baku adalah ketersediaan bahan baku yang dikaitkan dengan potensi produktivitas tanaman tersebut. Tabel menunjukkan bahwa selama ini tebu dan ubi kayu merupakan tanaman penghasil bioetanol dengan produktivitas tertinggi. Beet juga memiliki produktivitas yang cukup tinggi namun di Indonesia tanaman ini sulit tumbuh secara optimal karena iklim yang tidak sesuai sehingga meskipun produtivitasnya tinggi beet tidak dijadikan sebagai sumber bahan baku bioethanol.

Tabel 2. Potensi Tanaman Penghasil Bioetanol Jenis Tanaman Jagung Ubi Kayu Tebu Ubi Jalar Sorgum Sweet Sorgum Kentang Beet Hasil Panen (Ton/Ha/Tahun) 1 -6 10 50 40 120 10 40 3 12 20 60 10 35 20 - 100 Jumlah Etanol (L/Ha/Tahun) 400 2.500 2.000 7.000 3.000 8.500 1.200 5.000 1.500 5.000 2.000 6.000 1.000 4.500 3.0 8.000

2. Pemurnian Alkohol Pemurnian bioetanol dapat dilakukan dengan cara kimia dan fisika. Cara kimia dengan menggunakan batu gamping. Sedangkan cara fisika ditempuh dengan proses penyerapan menggunakan zeolit sintetis. Cara kimia cocok diaplikasikan bagi produsen bioetanol skala kecil. Batu gamping adalah batu yang terbuat dari pengendapan cangkang kerang dan siput, foraminifera atau ganggang. Batu itu berwarna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, cokelat, atau hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya. Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan kapur adalah aragonit. Batu gamping merupakan mineral metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit. Mineral lainnya siderit, ankarerit, dan magnesit, tapi ketiganya berjumlah sangat sedikit. Batu gamping bersifat higroskopis, artinya mempunyai kemampuan untuk menyerap air, sehingga batu gamping mampu mengurangi kadar air dalam bioetanol. Perbandingan batu gamping untuk 7 liter bioetanol diperlukan 2-3 kg batu gamping. Campuran itu didiamkan selama 24 jam sambil sesekali diaduk. Selanjutnya, campuran diuapkan dan diembunkan menjadi cair kembali sebagai etanol berkadar 99% atau lebih. Bioetanol inilah yang bisa dicampur dengan bensin atau digunakan murni. Walaupun prosesnya sangat mudah, tapi penggunaan batu gamping memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya jumlah etanol yang hilang sangat tinggi, mencapai 30%, karena gamping juga menyerap alkohol. Alkohol itu tidak dapat keluar karena terikat pada pori-pori gamping.

Alternatif lain, pemurnian bioetanol dengan zeolit sintetis. Proses pemurnian itu menggunakan prinsip penyerapan permukaan. Zeolit adalah mineral yang memiliki pori-pori berukuran sangat kecil. Sampai saat ini ada lebih dari 150 jenis zeolit sintetis. Di alam, zeolit terbentuk dari abu lahar dan materi letusan gunung berapi. Zeolit juga bisa terbentuk dari materi dasar laut yang terkumpul selama ribuan tahun. Zeolit sintetis berbeda dengan zeolit alam. Zeolit sintetis terbentuk setelah melalui rangkaian proses kimia. Namun, baik zeolit sintetis maupun zeolit alam berbahan dasar kelompok alumunium silikat yang terhidrasi logam alkali dan alkali tanah (terutama Na dan Ca). Struktur zeolit berbentuk seperti sarang lebah dan bersifat negatif. Sifat pori-porinya yang negatif bisa dinetralkan dengan penambahan ion positif seperti sodium. Kedua zeolit itu sama-sama memiliki kemampuan menyerap air. Pada zeolit alam, air yang sudah terserap perlahan-lahan dilepaskan kembali; sedangkan pada zeolit sintetis, air akan terikat kuat. Zeolit sintetis yang paling sederhana adalah zeolit A. Artinya, perbandingan antara molekul silika, alumina, dan sodium adalah 1:1:1. Penggunaan zeolit 3 dianjurkan untuk pemurnian bioetanol, maksudnya zeolit yang berukuran 3 angstrom (1 angstrom = 1,0 x10-10 m red). Dibandingkan zeolit alam dan sintetis lainnya, zeolit sintetis 3 memiliki beberapa keunggulan. Di antaranya ruang terbuka pada pori-porinya mencapai 47% lebih banyak, memiliki kemampuan untuk menukar molekul sodium, dan mampu mengikat air. Zeolit sintetis bisa menyerap dan mengikat air, karena partikel air lebih kecil

daripada partikel etanol. Partikel air berukuran 3 angstrom sehingga dapat diserap zeolit, sedangkan partikel etanol yang berukuran lebih besar 4,4 angstrom tidak bisa diserap oleh zeolit. Karena itu ketika etanol 95% dilewatkan pada sebuah tabung berisi zeolit, kadar etanol bisa meningkat karena airnya diikat oleh zeolit. Proses itu terjadi karena pori-pori zeolit bersifat molecular shieves. Artinya, molekul zeolit hanya bisa dilalui oleh partikel-partikel berukuran tertentu. Proses pemurnian bioetanol dengan zeolit sintetis dinamakan juga proses molecular shieves. Penggunaan zeolit sintetis memiliki beberapa kelebihan dibandingkan batu gamping yaitu waktu yang dibutuhkan lebih pendek, hanya 12 jam; etanol yang hilang pun hanya 10%. Kelemahan dari penggunaan zeolit sintetis adalah harga yang jauh lebih mahal dibandingkan batu gamping. Selain itu, zeolit sintetis belum diproduksi di Indonesia sehingga penggunaan zeolit sintetis lebih cocok untuk perusahaan besar.

BAB III PEMBAHASAN

A. Pervaporasi, sebagai Salah Satu Teknik Pemisahan berdasarkan Membran Pemisahan berdasarkan membrane satu diantaranya adalah pervaporasi. Pervaporasi adalah proses pemisahan yang mengontakkan campuran larutan secara langsung dengan salah satu sisi dari membran, sedangkan produknya yaitu permeat atau pervaporat, dikeluarkan dalam fasa uap dari sisi membran yang lain. Pervaporasi merupakan teknik pemisahan menggunakan membran yang saat ini berkembang dan dianggap dapat menjadi alternatif pengganti proses distilasi pada campuran azeotropik serta dehidrasi pelarut. Hal ini terutama terlihat dari penggunaan energi yang sangat efisien. Dalam pervaporasi, campuran cairan yang akan dipisahkan dikontakkan dengan salah satu sisi membran dan permeatnya dikeluarkan pada tekanan uap rendah dari sisi membran yang lain. Berdasarkan sifat difusi larutan, pervaporasi berlangsung tiga tahap: (1) Penyerapan permean dari campuran cairan ke dalam membran; (2) Difusi permean melalui membran, dan (3) Desorpsi permean menjadi fasa uap Membran merupakan suatu lapisan tipis yang memisahkan dua fasa dan bertindak sebagai pembatas selektif terhadap perpindahan materi. Membran tidak hanya bertindak sebagai material yang pasif, tetapi lebih tepat dianggap sebagai material fungsional. Operasi membran merupakan suatu operasi yang membagi umpan menjadi dua aliran yaitu permeat yang berisi material-material yang dapat melalui membran dan retentat yang merupakan material yang tidak mampu melewati membran. Operasi membran dapat digunakan untuk memekatkan atau memurnikan larutan atau suspensi (pelarut zat terlarut atau pemisahan partikel) dan untuk memisahkan suatu campuran. Pemisahan berdasarkan membran berpotensi penting karena lebih sedikit energi yang digunakan dan lebih ekonomis dibandingkan dengan teknologi pemisahan lainnya.

Terdapat dua tipe membran pervaporasi untuk campuran etanol-air, yang pertama yaitu permselektif air dan kedua yaitu permselektif etanol. Membran permselektif etanol baik digunakan untuk konsentrasi etanol rendah dan membran permselektif air baik digunakan

untuk umpan dengan konsentrasi etanol tinggi seperti pada dehidrasi etanol dan turunannya. Khususnya dalam proses dehidrasi etanol umpan yang mengandung konsentrasi etanol tinggi atau kondisi azeotropik (95 %) akan tertahan oleh membran yang memiliki karakter hidrofilik tinggi serta permselektif terhadap air sehingga pada bagian permeat akan mengandung konsentrasi air lebih banyak dibandingkan dengan bagian retentat. Pada beberapa tahun terakhir, penelitian mengenai pervaporasi ditekankan pada pengembangan membran polimer baru yang mempunyai faktor pemisahan tinggi dan laju permeasi yang optimum dengan stabilitas yang baik terhadap campuran yang akan dipisahkan. Beberapa membran permselektif untuk air telah dicoba dari polimer hidrofilik, seperti poli(asam akrilat)-nilon 6, poli (akrila t-co-s tirena), poli(4-vinilpiridinacoakrilonitril), nafion, dan poli(vinil alkohol). Polivinil alkohol (PVA) adalah salah satu pilihan yang mungkin untuk proses pemisahan campuran etanol-air berkaitan dengan sifat-sifatnya, seperti hemat biaya, mempunyai stabilitas kimia, kemampuan membentuk film, dan sangat hidrofilik. Namun demikian, PVA mempunyai suatu kelemahan yaitu stabilitas yang rendah dalam air. Dengan demikian, PVA harus dibuat tidak dapat larut dalam air dengan cara reaksi modifikasi seperti mencampur, grafting, atau ikat silang, untuk membentuk membran yang stabil dengan sifat mekanik yang baik dan mempunyai permeabilitas yang selektif terhadap air.

B. Cara Kerja Pervaporasi Cara kerja pervaporasi dalam memurnikan etanol adalah sebagai berikut. Bioetanol berkadar 95% dipanaskan pada suhu 75oC sehingga air dalam bioetanol berubah menjadi uap air. Dengan tekanan 5 bar vakum, etanol dan uap air masuk ke membran berkecepatan 1,5 x 10-4m/s. Di dalam membran filtrasi, dua zat yang berbeda fasa itu mengalami difusi alias perpindahan zat dari konsentrasi tinggi ke rendah. Dalam teknik pervaporasi ini uap air akan melewati membran. Sedangkan bioetanol ditolak karena membran tidak berpori. Pori itu diibaratkan pintu, Nah, karena membran tak berpori, terowongan itu tanpa pintu keluar. Dampaknya bioetanol tak dapat melewatinya. Hanya gas yang bisa menerobos. Selektivitas dan laju pemisahan pervaporasi sangat bergantung pada karakteristik membran, konfigurasi modul, dan desain proses. Itu artinya jenis membran yang digunakan mesti berkarakter mampu menyeleksi gas dan etanol yang masuk. Di ujung membran, uap air diserap oleh vakum. Selanjutnya uap air masuk ke gelas bertadah wadah berisi nitrogen cair. Nitrogen cair dipilih karena memiliki titik didih pada suhu -195,80C. Dengan suhu yang sangat dingin, nitrogen cair mempunyai kemampuan membekukan bahan organik lebih efektif daripada pendingin berbahan amonia ataupun freon. Itu sebabnya saat menyentuh larutan nitrogen cair, uap air kembali menjadi air. Sedangkan etanol tidak melewati membran, cairannya langsung dialirkan ke gelas penadah etanol murni. Karena semua uap air yang terkandung sudah diserap, dengan metode ini dipastikan bioetanol yang dihasilkan fuel grade etanol alias sesuai standar mutu bahan bakar yang berkadar etanol 99,8.

Diagram alir proses pervaporasi bioetanol

Bioetanol 95%

Pemanasan T = 75oC

Etanol dan uap air hasil pemanasan masuk ke dalam membran filtrasi Uap air akan keluar melewati membran dan dimasukkan dalam wadah berisi nitrogen cair, sehingga uap air kembali menjadi air kembali.

Filtrasi P = 5 bar v = 1,5 x 10-4 m/s

Fuel Grade Etanol 99,8%

termometer

Pengatur tekanan

Sel pevaporasi

Feed

Pompa vakum

Penjebak dingin

Pompa Perangkat seri dengan Pengendalian Suhu

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Pervaporasi

Pengaruh Penambahan Zat Pengikat Silang pada Membran Pada pervaporasi yang menggunakan membran polivinil alkohol (PVA) untuk dehidrasi etanol, zat pengikat silang memegang peranan yang sangat penting untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Pengaruh yang pertama, zat pengikat silang ini memberikan ketahanan yang lebih terhadap membran, sehingga laju permeasinya lebih kecil. Yang kedua, zat pengikat silang dapat mengatur sifat hidrofilik atau hidrofobik dari material membrane. Pengaruh Penambahan Asam Malat (MA) sebagai Zat Pengikat Silang pada Membran PVA dalam pervaporasi untuk konsentrasi etanol umpan 95% dengan variasi suhu umpan dengan laju permeasi berkurang dengan bertambahnya kandungan MA dalam membran PVA, sedangkan faktor pemisahan meningkat dengan bertambahnya kandungan MA dalam membran PVA. Pengaruh Suhu Umpan pada Pervaporasi Pengaruh suhu umpan terhadap faktor pemisahan dan laju permeasi. Dengan meningkatnya suhu umpan, laju permeasi menjadi semakin meningkat, sedangkan faktor pemisahannya semakin berkurang. Jadi, ketika suhu tinggi, tingkat difusi molekul yang dapat menyerap, baik terisolasi maupun terasosiasi, akan tinggi pula, sehingga laju permeasi total menjadi lebih tinggi dan faktor pemisahannya menjadi lebih rendah. Meskipun faktor pemisahan yang diperoleh pada suhu 25C (suhu kamar) tinggi, tetapi laju permeasinya rendah. Oleh karena itu, suhu 35C merupakan suhu operasi terbaik yang memiliki keseimbangan antara laju permeasi dan faktor pemisahan. Pengaruh Konsentrasi Etanol Umpan pada Pervaporasi Dehidrasi campuran etanol-air dengan pervaporasi dilakukan dengan variasi konsentrasi etanol umpan 80%. 85%, 90%, dan 95% menggunakan membran PVA/MA rasio 85/15 pada suhu 35C. Faktor pemisahan berkurang dengan berkurangnya konsentrasi etanol umpan. Faktor pemisahan tertinggi terjadi pada konsentrasi etanol umpan 95%. Sedangkan pada laju permeasi terjadi sebaliknya. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui pengujian derajat pengembangan. Pada konsentrasi etanol yang rendah, tindakan pemlastisan dari air akan meningkatkan permeasi etanol dengan cara menurunkan energi yang dibutuhkan untuk jalannya difusi etanol ke dalam membran, sehingga menghasilkan berkurangnya faktor pemisahan. Pada etanol dengan konsentrasi tinggi, pengurangan fraksi berat air dalam umpan, menyebabkan berkurangnya pengembangan pada membran. Dengan demikian, laju permeasi berkurang dan faktor pemisahan meningkat dengan berkurangnya konsentrasi air dalam umpan. D. Keuntungan Teknik Pervaporasi

Dibandingkan dengan cara konvensional berupa destilasi dan dehidrasi, teknologi membran lebih efektif untuk meningkatkan kadar etanol. Ketika proses destilasi, bioetanol membentuk azeotrop. Artinya, antara etanol dan air yang terkandung sulit dipisahkan. Destilasi dengan meninggikan kolom sekali pun, air sulit diceraikan dari etanol. Memang masih ada sebuah cara untuk menarik air yaitu dengan menambahkan zat toluen. Toluen sohor sebagai pelarut air. Ketika zat itu ditambahkan sesuai dengan kadar air yang terkandung, air akan tertarik. Namun, tetap saja masih ada air tersisa. Celakanya sebagian zat toluen itu juga bercampur dengan bioetanol menjadi kontaminan. Sebaliknya, teknologi membran mempunyai beberapa keistimewaan seperti menghasilkan bioetanol berkualitas tinggi. Selain itu produsen juga mudah mengoperasikan, ramah lingkungan, dan ukuran alat yang lebih kecil. Satu lagi keistimewaan membran: hemat energi. Alat berkapasitas 50 liter per hari, membran hanya membutuhkan energi listrik sebesar 1.000 watt. Artinya biaya itu jauh lebih murah ketimbang teknologi gamping. Gamping alias kalsium karbonat acap dimanfaatkan sebagai penyerap air untuk mengatrol kadar etanol. Pelaksanaannya memang mudah, namun bukan cuma air yang terserap, tetapi juga bioetanol. Kehilangan bioetanol akibat serapan gamping mencapai 30%. Di negara-negara maju, teknologi pervaporasi berkembang sangat pesat dan telah diterapkan besar-besaran dalam skala industri. Namun di Indonesia, teknologi membran relatif baru sehingga penerapannya dalam skala industri masih terbatas

BAB III PENUTUP


Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa: Teknologi pervaporasi merupakan salah satu teknik pemisahan berdasarkan membran yang memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan teknik pemisahan lainnya. Salah satunya dalam pemurnian etanol, metode pervaporasi dapat memurnikan etanol hingga 99,8%. Prinsip kerja dari alat pervaporasi dalam pemurnian etanol dari bahan baku bioetanol 95% adalah : Pemanasan bahan baku (bioetanol). Filtrasi uap air yang terbentuk dari hasil pemanasan oeh membran PVA. Penampungan produk berupa etanol murni, dan pengembunan uap air menjadi air sehingga dapat digunakan kembali dalam proses produksi.

Keuntungan teknologi membrane untuk dehidrasi etanol adalah: menghasilkan bioetanol berkualitas tinggi, pengoperasiannya mudah, ramah lingkungan, ukuran alat yang lebih kecil, hemat energy, hemat baiaya.

DAFTAR PUSTAKA

Mulder, M. 1996. Basic Principle of Membrane Technology. Second Edition. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht. Porter, MC. 1990. Handbook of Idustrial Membrane Technology. Noyes Publication. New Jersey. Isiklan, N. and O. Sanli. 2005. Separation Characteristic of Acetic Acid-Water Mixtures by Pervaporation Using Poly(vinil alcohol) Membrans Modified with Malic Acid. Journal Chemical Engineering and Processing. 44:1019-1027. Huang, R. Y. M. & Feng, X. 1997. Liquid Separation by Membran Pervaporation: a Review. American Chemical Society. 36:1048-1066. http://www.chem_is_try.org http://www.wikipedia.co.id http://www.beritabumi.or.id

Anda mungkin juga menyukai