Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Adanya krisis energi di dunia telah mendorong kita untuk mendapatkan bahan bakar alternatif sebagai pengganti bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Bahan bakar alternatif yang layak dikembangkan adalah bahan bakar yang bersifat renewable atau terbarukan, ramah lingkungan, dan efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan energi yang berasal dari bahan biomassa dan disebut dengan energi biomassa. Energi biomassa ini bersumber dari bahan organik yang sangat beragam jenisnya. Biomassa dapat digunakan untuk sumber energi langsung maupun dapat diolah atau dikonversikan menjadi bahan bakar. Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri dari pembakaran langsung dan konversi biomassa menjadi bahan bakar. Hasil konversi biomassa ini dapat berupa biogas, bioetanol, biodiesel, ataupun arang. Untuk bioetanol dan biodiesel ini dalam jangka panjang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak. Harga bahan bakar minyak yang terus meningkat dan cadangan minyak dunia yang makin terbatas telah mendorong upaya untuk mendapatkan bahan bakar alternatif. Berbagai faktor seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, kesadaran akan biosekuriti untuk meningkatkan pendapatan domestik, kesadaran untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dan potensi untuk meningkatkan pengembangan regional sangat mempengaruhi peningkatan minat untuk memproduksi bahan bakar nabati. Bioetanol dan biodiesel adalah energi alternatif yang banyak diproduksi di dunia sampai saat ini. Laporan menunjukkan bahwa produksi bioetanol dunia mengungguli produksi biodiesel karena bioetanol lebih ramah lingkungan. Brasil merupakan Negara penghasil bioetanol terbesar di dunia selama dekade terakhir, walaupun produksi Amerika Serikat mulai mendekati level

produksi Brasil. Perbedaan utamanya adalah struktur biaya produksi yang lebih rendah di Brasil karena menggunakan bahan baku tebu, sedangkan di Amerika Serikat lebih banyak menggunakan bahan baku tepung dan jagung. Minat untuk mendapatkan bahan bakar alternatif di Indonesia akhirakhir ini juga meningkat, karena Indonesia adalah negara penghasil sekaligus pengimpor minyak bumi. Oleh karena itu, penelitian untuk mencari energi alternative sangat penting untuk menopang kemandirian energi. Produksi etanol nasional ditargetkan 150 juta liter per tahun dengan bahan baku ubi kayu atau tebu. Untuk dapat memproduksi bioetanol sebanyak itu, dibutuhkan areal tebu minimal 600.000 ha. Upaya percepatan bisa dilakukan di antaranya di Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Percepatan produksi etanol sekaligus dapat menghemat devisa Negara hingga Rp16 triliun per tahun dan menghasilkan pendapatan dari pajak hingga Rp7,50 triliun, serta membuka lebih banyak lapangan pekerjaan. 1.2. Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan masalah sebagai berikut : Bagaimana cara untuk membuat energi alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan serta dapat diperbaharui dengan memanfaatkan biomassa ?

1.3. Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah untuk menemukan sumber energi alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan serta dapat diperbaharui. 1.4. Manfaat Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah masyarakat dapat menikmati bahan bakar minyak yang lebih murah dan ramah lingkungan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Biomassa Menurut Surendro (2010:5) biomassa merupakan sumber energi terbarukan dan tumbuh sebagai tanaman. Sumber-sumber biomassa adalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. Sisa-sisa hasil pertanian, seperti ampas tebu, batang dan serat jagung. Sisa-sisa hutan, misalnya serbuk gergaji industri pengolahan kayu. Sampah perkotaan, misalnya kertas-kertas bekas dan dedaunan kering. Lumpur sisa pulp. Sumber-sumber masa depan, seperti tanaman eneri yang khusus ditanam. 6. Jenis tanaman lain yang tidak mengandung pati maupun gula yang dipakai untuk memproduksi bioetanol. Potensi energi biomassa sebesar 49,81 GW antara lain bersumber dari produk samping hasil pengolahan beberapa tanaman perkebunan dan pertanian, seperti: kelapa sawit, penggilingan padi, kayu, plywood, pabrik gula, kakao, dan lain-lain. Saat ini, jumlah energi biomassa yang telah dimanfaatkan hanya sebesar 445 MW dari total potensi energi biomassa yang ada atau setera dengan 0.604%. Potensi energi terbarukan di Indonesia disajikan pada tabel berikut.

2.2. Bioetanol (C2H5OH) Menurut Siregar (1988:7) Etanol (alkohol) adalah nama suatu golongan senyawa organik yang mengandung unsur C, H dan O. Etanol dalam ilmu kimia disebut sebagai etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH. Rumus umum dari alkohol adalah R -OH. Secara struktur alkohol sama dengan air, namun salah satu hidrogennya digantikan oleh gugus alkil. Gugus fungsional alkohol adalah gugus hidroksil, OH. Pemberian nama alkohol biasanya dengan menyebut nama alkil yang terikat pada gugus OH, kemudian menambahkan nama alkohol.

Menurut Endah (2007:4) Karakteristik etanol meliputi: berupa zat cair, tidak berwarna, berbau spesifik, mudah terbakar dan menguap, dapat bercampur dengan air dalam segala perbandingan. Secara garis besar penggunaan etanol adalah sebagai pelarut untuk zat organik maupun anorganik, bahan dasar industri asam cuka, ester, spiritus, dan asetaldehid. Selain itu etanol juga digunakan untuk campuran minuman serta digunakan sebagai bahan bakar yang terbarukan. Pembuatan etanol dalam industri ada 2 macam yaitu: 1) cara non fermentasi (sintetik), suatu proses pembuatan alkohol yang tidak menggunakan enzim ataupun jasad renik, 2) cara fermentasi, merupakan proses metabolisme dimana terjadi perubahan kimia dalam substrat karena aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba (Endah;4:2007). Pembuatan etanol secara sintetik yaitu mengkombinasikan etana dan air pada tekanan tinggi. 70 atm C2H5OH (Raymond;8:1974). 300C Sedangkan cara fermentasi, etanol diproduksi dari bahan baku yang mengandung karbohidrat dengan bantuan enzim zimase yang terdapat pada mikroba. C6H12O6
Zymase 2CO2 +

dengan

cara

C2H6 + H2O

2C2H5OH (Raymond;8:1974).

Etanol yang diproduksi melalui proses fermentasi menggunakan mikroba disebut bioetanol. Proses pembuatan bioetanol terdiri dari tiga langkah meliputi: pengubahan polisakarida menjadi gula sederhana, fermentasi dan terakhir adalah destilasi (proses pemurnin etanol) (Morris dan Armada:9:2006). Menurut Yulneriwarni (7:2010) bioetanol dapat diproduksi dari berbagai macam bahan baku yang berbeda dan dikelompokkan menjadi tiga meliputi: bahan bersukrosa (gula tebu, gula bit dan shorgum), bahan berpati (jagung, kentang, gandum), bahan berselulosa (kayu, rumput,kulit nanas) (Prados dan Fito:7:2010). Bahan berselulosa lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan bioetanol adalah jerami padi dan alang-alang melalui fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae. Bahan baku bioetanol di Amerika Serikat 90% berasal dari jagung, sedangkan di Brasil yang merupakan produsen etanol terbesar di dunia bahan baku berasal dari gula tebu. Etanol juga dapat diproduksi dari gandum, kentang, gula bit dan lain sebagainya (Moris dan Armada:3:2006). Menurut Riyanti (2009:4) saat ini di Indonesia bioetanol di produksi dari tetes tebu, ubi kayu maupun jagung sehingga bersaing dengan kebutuhan untuk pangan, pakan dan bahan baku industri lain. Satu diantara alternatif bahan baku untuk pembuatan bioetanol adalah biomassa berselulosa. Potensi limbah pertanian yang tersedia di Indonesia berupa limbah biomassa hasil pertanian (jerami padi, jagung dan lainnya), limbah kehutanan (sisa biomassa setelah diambil kayunya), limbah industri hasil kehutanan dengan

pertanian (sisa biomassa kertas, pabrik gula dan lainnya), maupun sampah rumah tangga (hijauan, kertas dan lainnya). Potensi biomassa sebagai bahan baku bioetanol bervariasi sesuai dengan kandungan bahan penyusun yang dapat dikonversi menjadi gula sederhana yaitu selulosa dan hemiselulosa. Produk pertanian yang berpotensi sebagai penghasil biomassa meliputi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar dan lainnya), tanaman hortikultura (kentang, tomat, cabai dan lainnya), tanaman perkebunan (karet, minyak palem, kelapa sawit, kakao, kopi, teh, tebu, dan tembakau) dan tanaman kehutanan. Menurut Morris dan Amanda (2006:5) selulosa merupakan komponen utama dinding sel tanaman yang tersusun dari monomer glukosa sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Berdasarkan sumber perolehannya selulosa dibedakan menjadi tiga macam yaitu: sampah pertanian (jerami gandum, daun jagung, tongkol jagung, jerami padi dan bagasse), sisa hasil hutan (kayu yang telah mati dan pohon-pohon kecil) dan sampah padat (kertas, kayu dan bahan organik lainnya). Bahan berselulosa lebih murah dibanding jagung namun untuk mengubahnya menjadi gula sangat sulit. Selulosa terdiri dari gula berikatan rantai panjang. Pengubahan selulosa menjadi gula pada umumnya dengan menggunakan asam encer atau pekat.

BAB III PEMBAHASAN


3.1. Siklus Metabolisme Etanol pada Mikroorganisme Di dalam sel organisme, gula yang dapat difermentasi akan diubah menjadi senyawa antara (intermediate) umum, piruvat, melalui tiga siklus utama, yaitu Emden-Meyerhoff-Parnas (EMP), Entner-Doudoroff (ED), dan siklus pentosa fosfat (Gambar 1). Siklus metabolisme yang umum digunakan oleh mikroorganisme untuk memecah gula adalah siklus EMP (atau lebih terkenal dengan nama glikolisis). Siklus ini bisa terjadi pada kondisi aerobik maupun anaerobik, dan menghasilkan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) melalui fosforilasi substrat. Siklus ED sangat mirip dengan EMP, dan kedua siklus berpusat pada piruvat. Namun, siklus EMP menghasilkan 2 mol ATP per mol glukosa yang digunakan, sementara siklus ED hanya menghasilkan 1 mol ATP. Sebagai konsekuensinya, biomassa lebih banyak dihasilkan pada siklus EMP. Oleh karena itu, organisme dengan siklus ini tidak diharapkan untuk produksi etanol. Zymomonas mobilis, misalnya, menggunakan siklus ED, menghasilkan etanol lebih tinggi (510%) dan produktivitas etanol lebih tinggi (2,50 kali), tetapi menghasilkan biomassa yang lebih rendah dibandingkan dengan

Saccharomycess cerevisiae, yang mempunyai siklus EMP. Meskipun demikian, kedua mikroorganisme tersebut mengandung siklus homoetanol yang sangat efisien, yang mengubah piruvat menjadi asetaldehida dengan menggunakan piruvat dekarboksilase (PDC), selanjutnya menjadi etanol dengan

menggunakan alkohol dehidrogenase (ADH) (Gambar 3) (Cueger dan Cueger 1989; Ingram et al. 1999). Sebagian besar bakteri mempunyai siklus EMP dan pentosa fosfat (atau heksosa monofosfat), meskipun beberapa di antaranya menggunakan siklus EMP daripada siklus ED. Perbedaan yang nyata dari siklus pentosa fosfat jika bekerja simultan dengan siklus EMP atau ED adalah pada senyawa antaranya (fruktosa- 6-fosfat dan gliseraldehida-3-fosfat) dari katabolisme gula pentosa dari siklus pentosa

fosfat dapat masuk ke siklus EMP dan ED, yang kemudian akan diubah menjadi piruvat (Gambar 1).

Mikroorganisme yang mempunyai pentosa fosfat dan siklus EMP atau ED dapat menggunakan gula pentosa dan heksosa. Di samping tiga siklus utama, beberapa bakteri juga memfermentasi gula menjadi etanol dan CO2 melalui siklus fermentasi heterolaktik (atau fosfoketolase). Organisme yang bersifat homolaktik (seperti bakteri asam laktat) menghasilkan piruvat melalui siklus EMP dan sebagian besar mereduksinya menjadi asam laktat dengan menggunakan laktat dehidrogenase (LDH). Organisme yang bersifat

heterolaktik (seperti Bacillus) menghasilkan xilulosa-5-fosfat melalui siklus heterolaktik dan mengubah senyawa antara pentosa terfosforilasi ini menjadi asam laktat dan etanol (melalui piruvat) (Gambar 1). Siklus heterolaktik ini bersama dengan siklus ED menghasilkan 1 mol ATP per 1 mol glukosa yang digunakan.

3.2. Proses Produksi Bioetanol dari Jagung dan Tebu Biji jagung mengandung tepung sekitar 60%. Tepung dapat diekstrak dengan cara penggilingan biji dengan menggunakan proses secara kering atau basah. Tepung kemudian dibuat gelatin melalui proses pemasakan, kemudian dihidrolisis secara enzimatis untuk memproduksi glukosa dan selanjutnya difermentasi untuk menghasilkan etanol. Proses ini biasanya terdiri atas tujuh tahap, yaitu penggilingan, pengubahan dalam bentuk cair, sakarifikasi, fermentasi, distilasi, dehidrasi, dan denaturasi. Proses ini banyak digunakan di Amerika Serikat.

Tebu adalah tanaman tropis yang dapat mengakumulasikan sukrosa pada batangnya. Cairan sukrosa dapat diekstrak dengan pengepresan batang yang kemudian difermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan etanol. Proses ini biasanya membutuhkan lima tahap, yaitu penggilingan, pengepresan, fermentasi, distilasi, dan dehidrasi. Negara penghasil etanol terbesar, Brasil, mengadopsi proses ini. Limbah pengepresan yang biasanya Tebu adalah tanaman tropis yang dapat mengakumulasikan sukrosa pada batangnya. Cairan sukrosa dapat diekstrak dengan pengepresan batang yang kemudian difermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan etanol. Proses ini biasanya membutuhkan lima tahap, yaitu penggilingan, pengepresan, fermentasi,

distilasi, dan dehidrasi. Negara penghasil etanol terbesar, Brasil, mengadopsi proses ini. Limbah pengepresan yang biasanya disebut bagase dimanfaatkan untuk memproduksi panas untuk proses distilasi cairan fermentasi melalui pembakaran. Tanah di Brasil cocok untuk pertumbuhan tanaman tebu. Teknologi ini sudah sangat lanjut, tidak seperti teknologi produksi etanol dari biomassa (materi berbahan lignoselulosa). Sekarang ini hampir semua etanol diproduksi melalui fermentasi glukosa dari jagung (Amerika Serikat) atau sukrosa dari tebu (di Brasil). 3.3. Produksi Etanol dengan Menggunakan Biomassa Berlignoselulosa Penggunaan bahan baku berlignoselulosa untuk produksi bioetanol mendapatkan perhatian khusus untuk mendorong pengembangan usaha energi terbarukan dan juga untuk menekan biaya produksi karena harganya murah. Penggunaan bahan baku ini akan mengurangi kekhawatiran akan persaingan penggunaan tanaman untuk pangan. Bahan baku ini sering kali tersedia secara lokal. Penggunaan biomassa sebagai bahan baku energi juga berperan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, karena CO2 yang dilepaskan dari degradasi biomassa alam akan tersedia sebagai karbon dalam energi, sehingga meniadakan emisi gas rumah kaca. Walaupun demikian, proses produksi bioetanol dengan bahan baku berlignoselulosa belum mapan, karena kandungan lignin yang bersifat rekalsitran terhadap proses fermentasi. Pengurangan gas rumah kaca melalui produksi etanol dari bahan baku berlignoselulosa ditampilkan pada Gambar 4. Etanol yang diproduksi dari bahan baku selulosa, tebu, dan penggunaan biodiesel dari limbah minyak sayur dapat mereduksi gas rumah kaca paling banyak. Dilihat dari senyawa penyusunnya, biomassa merupakan materi kompleks yang terbentuk dari tiga fraksi organik utama dengan komposisi berdasarkan bobot keringnya sebagai berikut: selulosa (3550%), hemiselulosa (2035%), dan lignin (1220%) (Wyman 1996). Selain itu, bahan berlignoselulosa mengandung mineral dalam jumlah kecil dan berbagai materi yang disebut ekstraktif. Selulosa terdiri atas glukosa yang berantai panjang, yang dapat dipecah melalui reaksi hidrolisis dengan air dengan dikatalis oleh enzim yang disebut selulosa, atau dengan menggunakan asam. Meskipun

10

demikian, ikatan hidrogen mengikat kuat rantai selulosa dalam bentuk struktur kristal, yang menghalanginya pecah menjadi glukosa. Hemiselulosa adalah suatu rantai yang amorf dari campuran gula, biasanya berupa arabinosa, galaktosa, glukosa, manosa, dan xilosa, juga komponen lain dalam kadar rendah seperti asam asetat. Rantai hemiselulosa lebih mudah dipecah menjadi komponen gula penyusunnya dibandingkan dengan selulosa. Lignin bukan merupakan struktur yang dibentuk oleh gula, tetapi merupakan materi yang dibentuk oleh fenol-propena.

Metode perlakuan awal merupakan cara untuk pelarutan dan pemisahan satu atau lebih empat komponen utama biomassa (hemiselulosa, selulosa, lignin, dan ekstraktif lain) untuk membuat komponen biomassa lebih sesuai untuk perlakuan secara kimiawi atau biologi. Hidrolisis (proses sakarifikasi)

11

memecah ikatan hidrogen dalam fraksi hemiselulosa dan selulosa menjadi komponen gula: pentosa dan heksosa. Gula-gula ini kemudian difermentasi menjadi bioetanol. Setelah proses perlakuan awal, ada dua tipe proses untuk menghidrolisis biomassa untuk fermentasi menjadi etanol. Proses yang umum digunakan adalah hidrolisis secara kimiawi (hidrolisis secara lemah dan kuat) dan hidrolisis secara enzimatis. Ada metode lain tanpa menggunakan bahan kimia atau enzim, walaupun jarang digunakan secara komersial, yaitu penggunaan sinar gamma atau iradiasi dengan elektron, atau iradiasi dengan microwave.

Proses enzimatis dan kimiawi memerlukan perlakuan awal untuk meningkatkan kerentanan materi selulosa. Metode dengan menggunakan kombinasi hidrolisis asam lemah, suhu tinggi, dan tekanan pada selulosa murni akan menghasilkan 50% gula. Kelebihan metode ini adalah reaksi berlangsung cepat. Karena gula dengan atom C5 lebih mudah didegradasi dibandingkan dengan atom C6, dianjurkan menggunakan proses dua tahap; tahap pertama dilakukan dengan menggunakan proses yang lemah (mild), untuk mengekstrak

12

gula C5, kemudian menggunakan proses yang lebih keras untuk mendapatkan atom C6. Pada dekade mendatang, diproyeksikan produksi bioetanol dengan menggunakan bahan baku berlignoselulosa akan meningkat. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan pemecahan hambatan teknologi yang signifikan (mengurangi biaya perlakuan awal, meningkatkan kualitas enzim, rekayasa genetik mikroorganisme) yang akan membuka peluang peningkatan nilai produk-produk fermentasi dan tanaman penghasil biomassa yang tinggi. Energi yang dihasilkan dari bahan berlignoselulosa bervariasi menurut jenis tanaman, karena perbedaan komposisi kandungannya. Konversi energi yang dihasilkan oleh etanol dari berbagai tanaman dirangkum dalam Tabel 2. Tanaman yang digunakan tidak hanya terbatas yang mengandung tepung atau gula sederhana. Walaupun proses ini belum diaplikasikan dalam skala industri, hasil skala pilot plant mengindikasikan bahwa penggunaan bahan dari selulosa memungkinkan dapat menghasilkan etanol sekitar 70 galon per ton berat kering, hanya sedikit lebih rendah dari etanol yang diproduksi dari jagung. Dengan rasio net energy balance yang lebih besar, peluang untuk menggunakan bahan tanaman seperti rumput Panicum virgatum, Miscanthus Miscanthus x gigantenum, dan beberapa spesies tanaman lainnya bergantung pada teknologi untuk memproses bahan selulosa yang masih harus terus dikembangkan. 3.4. Bioteknologi Tanaman untuk Bahan Baku Bioetanol Hal yang tidak kalah menjadi perhatian adalah bahan tanaman sebagai sumber lignoselulosa. Beberapa kendala masih dihadapi dalam penggunaannya sebagai bahan baku etanol, yaitu mahalnya enzim selulase dan biaya perlakuan awal untuk memecah lignoselulosa menjadi senyawa antara dan

menghilangkan lignin agar enzim selulase dapat bekerja memecah selulosa. Kombinasi kedua biaya tersebut menjadikan harga etanol dari bahan baku biomassa (lignoselulosa tanaman) menjadi dua atau tiga kali lebih tinggi dari harga etanol dari jagung. Hal tersebut mendorong perekayasaan tanaman dan komposisi biomassa tanaman untuk bioetanol. Hasil penelitian komposisi berbagai biomassa berlignoselulosa, seperti rumput, jerami dan tanaman lain, telah banyak dilaporkan dan dapat mengefisienkan proses produksi etanol dari baku tersebut. Bioteknologi dan

13

pemuliaan tanaman untuk bahan baku bioetanol telah dilaporkan pula. Genomik dan transgenik tanaman rumput switchgrass (Panicum virgatum) telah banyak diteliti untuk digunakan sebagai tanaman energi di Amerika Serikat (Bouton 2007). Rekayasa genetik tanaman untuk menghasilkan selulase dan hemiselulase telah pula dilakukan untuk menurunkan proses perlakuan awal. Biosintesis lignin (monolignols) telah dipelajari dan gen-gen yang berperan dalam menurunkan kadar lignin seperti gen o-metiltransferase telah diekspresikan pada beberapa tanaman model seperti tembakau, alfalva, arabidobsis, poplar, dan aspen. Modifikasi lignin juga banyak dilakukan dalam rekayasa genetik tanaman. Program ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan komposisi kimiawinya, menurunkan rekalsitran kandungan ligninnya, dan meningkatkan kadar polisakaridanya. Pemanfaatan tanaman berlignoselulosa sebagai bahan baku energi alternatif juga dapat membuka kesempatan kerja baru di pedesaan. Hal ini akan berperan pula dalam aspek sosial dan menjaga kesinambungan pasokan bahan baku. Aplikasi bioproses untuk menangani limbah agroindustri tidak hanya akan menyediakan bahan baku alternatif, tetapi juga membantu memecahkan masalah pembuangan limbah. Dengan keunggulan inovasi bioteknologi, khususnya di bidang enzim dan teknologi fermentasi, beberapa kesempatan baru akan tumbuh untuk memanfaatkan biomassa berselulosa. 3.5. Potensi Penggunaan Biomassa untuk Produksi BBN Produksi etanol nasional pada tahun 2006 dilaporkan mencapai 200 juta liter, sedangkan kebutuhan etanol nasional pada tahun 2007 diperkirakan 900 juta kiloliter (Surendro 2006). Pada tahun 1982, BPPT telah mengawali pembangunan pabrik etanol di Tulang Bawang, Lampung, berkapasitas 15.000 liter etanol/hari dan setiap harinya memerlukan sekitar 90 ton ubi jalar dan atau ubi kayu (BPPT 2005). Peningkatan kebutuhan BBN juga ikut mendorong berkembangnya industri etanol di Indonesia. Saat ini terdapat sembilan perusahaan dengan kapasitas produksi total 133.632 kiloliter. Dari sembilan perusahaan tersebut, hanya dua perusahaan yang memproduksi etanol dengan spesifikasi untuk bahan bakar/bioetanol, yaitu PT Bukitmanikam Subur

14

Persada di Lampung dan PT Indo Acidama Chemical di Surabaya. Total kapasitas produksi kedua perusahaan tersebut mencapai 93.282 kiloliter per tahun. Saat ini, di Indonesia, bioetanol diproduksi dari tetes tebu, ubi kayu maupun jagung, sehingga bersaing dengan kebutuhan untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri lain sehingga pasokan bahan baku tidak kontinu. Salah satu alternatif bahan baku pembuatan bioetanol adalah biomassa berselulosa.

Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang berlimpah dan murah dan berpotensi mendukung industri BBN seperti etanol dan butanol. Selain dikonversi menjadi BBN, biomassa berselulosa juga dapat mendukung industri kimia seperti asam organik, aseton, dan gliserol. Biomassa mempunyai peluang untuk dimanfaatkan sebagai BBN dilihat dari kandungan energi dari selulosa yang bisa dikonversi menjadi gula sederhana dan kemudian difermentasi menjadi bioetanol. Potensi limbah pertanian yang tersedia di Indonesia berupa limbah biomassa hasil pertanian (jerami padi, jagung, dan lainnya), limbah kehutanan (sisa biomassa setelah diambil kayunya), limbah industri hasil kehutanan dan pertanian (pabrik kertas, pabrik gula, dan lainnya), maupun sampah rumah tangga (hijauan, kertas, dan lainnya).

15

Potensi biomassa sebagai bahan baku etanol bervariasi sesuai dengan kandungan bahan penyusun yang dapat dikonversi menjadi gula sederhana, yaitu selulosa dan hemiselulosa. Kandungan berbagai jenis biomassa disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan rata-rata kandungan selulosa (42%) dan hemiselulosa pada kayu, dengan hasil secara teoritis maksimum dari etanol, diperkirakan akan dihasilkan 0,32 g etanol per g kayu. Perhitungan ini berdasarkan pada asumsi jika semua kandungan selulosa dan hemiselulosa dapat diubah menjadi gula, dan konversi gula ke etanol 0,51 g/g. Produk pertanian yang berpotensi sebagai penghasil biomassa menurut data dari BPS meliputi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, dan lainnya), tanaman hortikultura (kentang, tomat, cabai, dan lainnya), tanaman perkebunan (karet, minyak palem, sawit, kakao, kopi, teh, tebu, tembakau), dan tanaman kehutanan. Dalam produksi biomassa semua jenis tanaman tersebut belum tersedia. Namun berdasarkan data produksi tanaman tersebut, dapat diperkirakan jumlah biomassa yang dihasilkan dari indeks panennya. Salah satu limbah pertanian di Indonesia yang belum dimanfaatkan adalah jerami padi. Sebagian petani memanfaatkan jerami sebagai mulsa pada saat menanam palawija. Hanya sebagian kecil petani menggunakan jerami sebagai pakan ternak, terutama pada musim kering karena sulitnya mendapatkan hijauan. Karena itu, jerami sering menjadi permasalahan bagi petani sehingga sering dibakar. Produksi jerami padi dapat mencapai 1215 t/ha/panen, bervariasi bergantung pada lokasi dan varietas padi yang ditanam. Setiap jenis tanaman bahkan setiap varietas mempunyai indeks panen yang berbeda. Sebagai contoh, indeks panen tanaman padi adalah sekitar 0,50. Untuk memperkirakan total produksi biomassa, uraian berikut akan memberikan sedikit gambaran. Berdasarkan data BPS, produksi beras nasional pada tahun 2007 sekitar 57,15 juta ton GKG (gabah kering giling) dari 11,90 juta ha sawah. Jika dihitung berdasarkan indeks panen ratarata tanaman padi 0,50 (dari kisaran 0,400,55) maka produksi jerami diperkirakan mencapai 54,70 juta ton. Jika dihitung secara kasar, dengan asumsi potensi kandungan gula dari selulosa dan hemiselulosa pada jerami 50% (27,50 ton), dan hasil

16

secara teoritis dari gula ke etanol 0,51 g/g, maka potensi etanol dari jerami padi sekitar 0,27 g/g atau total 7.425 ton. Jumlah itu hanya berasal dari limbah biomassa tanaman padi. Menghitung produksi semua limbah biomassa pertanian di Indonesia sangat rumit, karena ketiadaan data biomassa, dan indeks panen masing-masing tanaman berbeda. Produksi tanaman Indonesia tahun 2007 dan perkiraan produksi biomassanya disajikan pada Tabel 4. Peluang yang lain adalah memanfaatkan lahan marginal atau lahan tidur untuk mengusahakan tanaman bahan baku bioetanol yang mudah ditanam dan atau tanpa harus ada masukan. Sekitar 14% lahan di Indonesia dilaporkan sebagai lahan yang tidak diusahakan. 3.6. Tantangan Penggunaan Biomassa untuk Produksi Bioetanol Pencanangan target produksi bioetanol 1% dari kebutuhan premium bersubsidi di Indonesia pada tahun 2010, yaitu sebesar 214.541 kiloliter/tahun, sulit dicapai karena kapasitas produksi semua produsen hanya sekitar 100.000 kiloliter. Di Indonesia, bioetanol diproduksi bahan berkarbohidrat seperti ubi kayu, jagung, dan gula (tebu) atau limbah tebu (molases) sehingga berkompetisi dengan pemanfaatannya untuk pangan, pakan, dan industri. Oleh karena itu, bahan baku dari limbah pertanian menjadi pilihan lain. Namun, penggunaan biomassa limbah berbahan lignoselulosa untuk produksi etanol skala komersial masih menghadapi beberapa tantangan. Tantangan pertama adalah teknologi konversi biomassa menjadi etanol yang belum efisien, baik proses sakarifikasi (pengubahan bahan biomassa lignoselulosa menjadi gula sederhana), maupun proses fermentasi campuran gula sederhana hasil degradasi biomassa menjadi etanol. Proses sakarifikasi masih perlu diperbaiki agar lebih efisien dengan menggunakan enzim hasil rekayasa yang lebih efisien dalam mendegradasi bahan berlignoselulosa. Selain itu, mikroba yang berperan dalam fermentasi masih perlu ditingkatkan kemampuannya untuk dapat menggunakan campuran gula sederhana hasil hidrolisis biomassa, dengan mendorong penelitian di bidang biologi molekuler. Diharapkan tantangan ini dapat dijawab melalui penelitian di bidang bioteknologi dan rekayasa genetik. Ketersediaan biomassa limbah pertanian

17

dalam jumlah yang besar dan kontinu juga merupakan tantangan tersendiri dalam pengelolaan limbah pertanian. Tantangan nonteknis dapat berupa kesadaran akan lingkungan dan kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan bahan bakar terbarukan, seperti kebijakan pajak dan alokasi dana untuk penelitian. Adanya peraturan pelaksanaan yang mendukung penggunaan etanol di dalam negeri dapat mempercepat pengembangan produksi etanol untuk bahan bakar. Di Indonesia, sebagian besar etanol masih digunakan sebagai bahan baku pada industri alkohol, rokok atau plastik. Semestinya ada kebijakan yang mengatur industri memasok etanol untuk kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) dan penggunaan etanol untuk

menggantikan BBM. DMO akan membantu menstabilkan harga etanol di dalam negeri. Produsen saat ini lebih tertarik menjual etanol ke luar negeri karena harganya tinggi. Sementara itu, penggunaan etanol di dalam negeri juga rendah karena harganya lebih tinggi dibanding BBM bersubsidi. Limbah pertanian perlu dikelola dengan baik. Data konkret mengenai jumlah limbah yang dihasilkan dan pemanfaatannya di seluruh Indonesia sulit diperoleh. Demikian pula luas lahan marginal karena datanya tersebar pada berbagai instansi terkait.

18

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Biomassa dapat digunakan untuk sumber energi langsung maupun dapat diolah atau dikonversikan menjadi bahan bakar. Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri pembakaran langsung dan konversi biomassa menjadi bahan bakar. Hasil konversi biomassa ini dapat berupa biogas, bioetanol, biodiesel, ataupun arang. Untuk bioetanol dan biodiesel ini dalam jangka panjang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak. Bioetanol merupakan salah satu jenis bahan bakar alternatif yang prospektif pada masa depan. Sebagai bahan bakar alternatif, contohnya bioetanol dapat digunakan untuk campuran bensin (gasolin) dan kemudian disebut sebagai gasohol BE-10, artinya dalam setiap satuan volume bahan bakar yang digunakan kandungan premiumnya 90% dan bioetanol 10%. 4.2. Saran Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai limbah biomassa yang berlimpah (walaupun data pasti belum ada), yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi alternatif bioetanol yang ramah lingkungan. Selain itu, lahan marginal dan lahan kering yang diabaikan juga berpotensi untuk mengembangkan tanaman tahan kekeringan, seperti sorgum dan rumputrumputan, yang dapat dimanfaatkan biomassanya. Peningkatan kesadara akan bahaya polusi lingkungan, penanganan limbah biomassa, penelitian dan pengembangan juga perlu didorong untuk dapat menyukseskan produksi bioetanol di Indonesia. Penelitian dalam bidang bioteknologi perlu didukung untuk membuka peluang penggunaan dan rekayasa genetik untuk perbaikan karakter mikroba penghasil etanol dan pengguna limbah berlignoselulosa. Penelitian untuk mencari dan memperbaiki sifat tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku bioetanol juga berperan penting.

19

Semua hal tersebut dapat berjalan dengan lancar bila disertai dukungan dan kebijakan pemerintah.

20

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Perkembangan Industri Biofuel di Indonesia. Indonesian Commercial Newsletter. http://www.datacon.co.id/Biofuel2008Ind.html. Diakses pada hari Kamis 13 Juni 2013. BPPT. 2005. Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel dan Bioetanol pada Sektor Transportasi di Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. BPS. http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table1_2007.shtml. [20 Mei 2009]. Departemen Pertanian. 2007. Statistik Pertanian 2007. Jakarta : Departemen Pertanian. Detikfinance. 2009. Kapasitas bioetanol tak cukup penuhi mandatori.

http://www.detikfinance.com/read/2009/05/27/125557/1137936/4/kapas itas-bioethanol-tak-cukuppenuhi-mandatori. Diakses pada hari Kamis 13 Juni 2013. Knauf, M. and M. Moniruzzaman. 2004. Lignocellulosic biomass processing: A perspective. Intl. Sugar J. 106(1263): Halaman 214. Surendro, H. 2006. Jakarta. Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Anda mungkin juga menyukai