Anda di halaman 1dari 9

PROSES FERMENTASI HIDROLISAT JERAMI PADI

UNTUK MENGHASILKAN BIOETANOL


Asyeni Miftahul Jannah
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya

ABSTRAK
Jerami Padi merupakan limbah pertanian yang selama ini masih belum banyak dimanfaatkan
menjadi produk yang mempunyai nilai tambah. Jerami Padi yang termasuk biomassa mengandung
lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti bioetanol.
Jerami padi mengandung bahan polisakarida (lebih kurang 39% selulosa dan 27,5% hemiselulosa), setelah
jerami padi dihidrolisis menggunakan H 2 SO 4 , hidrolisat jerami padi tersebut difermentasi. Fermentasi
merupakan kegiatan mikrobia pada bahan pangan sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikroba
yang umum digunakan adalah ragi roti (yeast). Selain ragi, faktor yang mempengaruhi proses fermentasi
jerami padi menjadi bioetanol antara lain : suhu, pH, ketersediaan oksigen dan kadar gula.
Kata kunci: hidrolisis, fermentasi, ragi roti, ragi tape, bioetanol
I.

PENDAHULUAN
Sebelumnya etanol dibuat dari gula, lalu
beralih ke pati-patian. Tetapi karena berkopetensi
dengan pangan dan pakan, maka etanol dari gula
dan pati rasanya tidak memungkinkan lagi karena
kebutuhan pangan dan pakan lebih penting.
Banyak dugaan, terutama dari Eropa dan Amerika,
menyebutkan bahwa konversi bahan pangan/pakan
menjadi etanol menjadi salah satu penyebab
naiknya harga-harga pangan dan pakan.
Maka dari itu dicari sumber bahan baku
alternatif dan yang paling potensial adalah
biomassa lignoselulosa. Lignoselulosa dipilih
karena tidak berkopetensi dengan pangan maupun
pakan, tersedia melimpah, murah dan terbarukan.
Sejak awal abad ke 18 penelitian tentang
biokonversi lignoselulosa mulai dilakukan. Mulai
aktif di tahun 70-an, dan semakin intens di abad
21 ini. Sebagai sumber daya alam yang
terbarukan, akhir-akhir ini biomassa mendapatkan
perhatian yang cukup serius untuk dijadikan bahan
bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil.
(isroi.wordpress.com)
Kim and Dale (2004) menyebutkan
bahwa rasio jerami/panen adalah 1.4 (berdasarkan
pada berat kering massa). Artinya setiap produksi
1 ton akan menghasilkan jerami 1.4 ton. Misal
produksi rata-rata beras di Jawa Barat adalah 6 ton
maka jeraminya kurang lebih sebanyak 8.4 ton

44

(berat kering). Moiorella (1985) menyebutkan


bahwa setiap kg panen dapat menghasilkan antara
1-1.5 kg jerami padi. Data dari Moiorella rasanya
lebih akurat. (isroi.wordpress.com)
Data dari BPS menyebutkan bahwa
produksi beras nasional pada tahun 2006 kurang
lebih sebanyak 54.7 juta ton dari 11.9 juta ha
sawah. Berdasarkan data dari Moiorella maka
jumlah jerami diperkirakan mencapai 54.7 sampai
82.05 juta ton (OD) jumlah yang sangat besar.
(isroi.wordpress.com)
Potensi etanol dari jerami padi menurut
Kim and Dale (2004) adalah sebesar 0.28 L/kg
jerami. Sedangkan kalau dihitung dengan cara
Badger (2002) adalah sebesar 0.20L/kg jerami.
Dari data ini bisa diperkirakan berapa potensi
etanol dari jerami padi di Indonesia, yaitu:
berdasarkan perhitungan menurut Kim and Dale
(2004) dengan menggunakan bahan baku jerami
padi sebanyak 54,70 juta ton dapat menghasilkan
etanol sebanyak 15,316 juta liter dan bahan baku
jerami padi sebanyak 82,05 juta ton dapat
menghasilkan etanol sebanyak 22,974 juta liter.
Sedangkan perhitungan menurut Badger (2002)
dengan menggunakan bahan baku jerami padi
sebanyak 54,316 juta ton dapat menghasilkan
etanol sebanyak 10,940 juta liter dan bahan baku
jerami padi sebanyak 82,05 juta ton dapat
menghasilkan etanol sebanyak 16,410 juta liter.

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

(isroi.wordpress.com/2008/04/28)
II. PROSES BIOETHANOL
Bioetanol (C 2 H 5 OH) adalah cairan
biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat
menggunakan
bantuan
mikroorganisme. Etanol atau Etil Alcohol (lebih
dikenal dengan alkohol, dengan rumus kimia
C 2 H 5 OH) adalah cairan tak berwarna dengan
karakteristik antara lain mudah menguap, mudah
terbakar, larut dalam air, tidak karsinogenik, dan
jika terjadi pencemaran tidak memberikan dampak
lingkungan yang signifikan. Penggunaan etanol
sebagai bahan bakar bernilai oktan tinggi atau
aditif peningkat bilangan oktan pada bahan bakar
sebenarnya sudah dilakukan sejak abad 19. Mulamula etanol digunakan untuk bahan bakar lampu
pada masa sebelum perang saudara di Amerika
Serikat. Kemudian pada tahun 1860 Nikolous Otto
menggunakan bahan bakar etanol dalam
mengembangkan mesin kendaraan dengan siklus
Otto.
Etanol dan air membentuk larutan
azeotrop. Karena itu pemurnian etanol yang
mengadung air dengan cara penyulingan bisa
hanya mampu menghasilkan etanol dengan
kemurnian 96%. Etanol murni (absolute)
dihasilkan pertama kali pada tahun 1796 oleh
Johan Tobias Lowitz yaitu dengan cara menyaring
alkohol hasil distilasi melalui arang.
Pada tahun 1985 Brazil mengeluarkan
program pencampuran 20% bioetanol dengan
bensin untuk menghemat 40% konsumsi bensin.
Kelebihan-kelebihan bioetanol dibandingkan
bensin:
1. Bioetanol aman digunakan sebagai bahan
bakar, titik nyala etanol tiga kali lebih tinggi
dibandingkan bensin.
2. Emisi hidrokarbon lebih sedikit.
Kekurangan-kekurangan bioetanol dibandingkan
bensin:
1. Mesin dingin lebih sulit melakukan starter.
2. Bioetanol bereaksi dengan logam seperti
magnesium dan aluminium.
Sebagai alternatif digunakan campuran bioetanol
dengan bensin. Sebelum dicampur, bioetanol
harus dimurnikan hingga 100%. Campuran ini
dikenal
dengan
sebutan
gasohol.
(http://skadrongautama.blogspot.com)
Etanol dapat dibuat dengan beberapa cara sebagai
berikut :
1.
Etanol
untuk
konsumsi
umumnya
dihasilkan dengan proses fermentasi atau
peragian bahan makanan yang mengandung
pati atau karbohidrat, seperti beras dan

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

umbi. Alkohol yang dihasilkan dari proses


fermentasi biasanya berkadar rendah. Untuk
mendapatkan alkohol dengan kadar yang
lebih tinggi diperlukan proses pemurnian
melalui penyulingan atau distilasi. Etanol
untuk keperluan industri dalam skala lebih
besar dihasilkan dari fermentasi tetes, yaitu
hasil samping dalam industri gula tebu atau
gula bit.
2.
Melalui sintesa kimia melalui reaksi gas
etilen dan uap air dengan asam sebagai
katalis. Katalis yang dipakai misanya asam
fosfat. Asam sulfat dapat juga dipakai
sebagai katalis, namun dewasa ini sudah
jarang dipakai.
Seperti kita ketahui, etanol dikategorikan dalam 2
kelompok utama : (Rama Prihandana, dkk, 2007)
a Etanol 95 96 % v/v, disebut etanol
berhidrasi yang dibagi dalam :
1. Technical / raw spirit grade,
digunakan untuk bahan bakar
spiritus, desinfektan dan pelarut
2. Industrial grade, digunakan untuk
bahan baku industri dan pelarut.
3. Pot able grade, untuk minuman
berkualitas tinggi.
b Etanol > 99,5% v/v, digunakan untuk
bahan bakar. Jika dimurnikan lebih lanjut
dapat digunakan untuk keperluan farmasi
dan pelarut di laboratorium analisis.
Etanol ini disebut Fuel Grade Ethanol
(FGE) atau anhidrous ethanol (etanol
anhidrat) atau etanol kering, yakni
ethanol yang bebas air atau hanya
mengandung air minimal.
Standar Nasional Indonesia (SNI)
Bioetanol Terdenaturasi yang disahkan dengan
Nomor SNI DT 27-0001-2006, tanggal 27
desember 2006.Penyusunan SNI Bioetanol
terdenaturasi untuk gasohol dilakukan untuk
memperhatikan standar sejenis yang telah berlaku
di
negara-negara
lain
yang
pemakaian
bioetanolnya sudah luas dan mencapai tahap
komersial. Dimana sfesifikasi nya dapat dilihat
pada tabel.1 dibawah ini:

No
1

Tabel. 1
Sfesifikasi Standar Bioetanol
Terdenaturasi untuk Gasohol
Sifat
Unit,
Sfesifikasi)
Min/Maks
Kadar
%-v, min
99,4
(sebelum
etanol
denaturan))
94,0
(setelah
denaturan)

45

2
3
4
5
6

8
9
10

11

Kadar
metanol
Kadar air
Kadar
denaturan
Kadar
tembaga
Keasaman
sebagai
CH 3 COOH
Tampakan

Kadar ion
klorida
Kandungan
belerang
Kadar getah
(gum),
dicuci
pH

Mg/l,
maks
%-v, maks
%-v, min
%-v, maks
Mg/kg,
maks
Mg/l,
maks

Mg/l,
maks
Mg/l,
maks
Mg/100
ml, maks

300
1
2
5
0,1
30

Jernih
dan
terang, tidak ada
endapan
dan
kotoran
40
50
5,0

6,5-9,0

2.1. PRETREATMENT
Pretreatment biomassa lignoselulosa
harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang
tinggi dimana penting untuk pengembangan
teknologi biokonversi dalam skala komersial
(Mosier, et al., 2005). Pretreatment merupakan
tahapan yang banyak memakan biaya dan
berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan
proses. Sebagai contoh pretreatment yang baik
dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan
dalam proses hidrolisis (Wyman, Dale, Elander,
Holtzapple, Ladisch, & Lee, Coordinated
development of leading biomass pretreatment
technologies, 2005) (Wyman, Dale, Elander,
Holtzapple, Ladisch, & Lee, Comparative sugar
recovery data from laboratory scale application of
leading pretreatment technologies to corn stover,
2005). Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula
yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa
pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan
pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari
hasil teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij,
2005). Tujuan dari pretreatment adalah untuk
membuka struktur lignoselulosa agar selulosa
menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang
memecah polymer polisakarida menjadi monomer
gula. Tujuan pretreatment secara skematis
ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.

46

Gambar 1. Skema Tujuan Pretreatment Biomassa


Lignoselulosa (Mosier, et al., 2005).
2.2. HIDROLISIS
Setelah melewati pretreatment, kemudian
jerami padi dihidrolisis selama 30 menit.
Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida
di dalam biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa
dan hemiselulosa menjadi monomer gula
penyusunnya. Hidrolisis sempurna selulosa
menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa
menghasilkan beberapa monomer gula pentose
(C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis dapat dilakukan
secara kimia (asam) atau enzimatik.
Di dalam metode hidrolisis asam,
biomassa lignoselulosa dipaparkan dengan asam
pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu
tertentu, dan menghasilkan monomer gula dari
polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa asam
yang umum digunakan untuk hidrolisis asam
antara lain adalah asam sulfat (H 2 SO 4 ), asam
perklorat, dan HCl. Asam sulfat merupakan asam
yang paling banyak diteliti dan dimanfaatkan
untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat
dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam pekat dan
hidrolisis asam encer (Taherzadeh & Karimi,
2007). Hidrolisis asam pekat merupakan teknik
yang sudah dikembangkan cukup lama. Braconnot
di tahun 1819 pertama menemukan bahwa
selulosa bisa dikonversi menjadi gula yang dapat
difermentasi dengan menggunakan asam pekat
(Sherrad and Kressman 1945 in (Taherzadeh &
Karimi, 2007).
Hidrolisis asam pekat menghasilkan gula
yang tinggi (90% dari hasil teoritik) dibandingkan
dengan hidrolisis asam encer, dan dengan
demikian akan menghasilkan ethanol yang lebih
tinggi (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005).
Hidrolisis asam encer dapat dilakukan pada suhu
rendah. Namun demikian, konsentrasi asam yang
digunakan sangat tinggi (30 70%).
2.3. FERMENTASI
Fermentasi berasal dari bahasa latin
Ferfere yang berarti mendidihkan (Muljono

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

Judoamidjojo, Teknologi Fermentasi). Seiring


perkembangan teknologi, definisi fermentasi
meluas menjadi semua proses yang melibatkan
mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk
yang disebut metabolit primer dan sekunder dalam
suatu lingkungan yang dikendalikan. Pada
mulanya istilah fermentasi digunakan untuk
menunjukan proses pengubahan glukosa menjadi
etanol yang berlangsung secara anaerob. Namun,
kemudian istilah fermentasi berkembang lagi
menjadi seluruh perombakan senyawa organik
yang dilakukan mikroorganisme.
Ahli Kimia Perancis, Louis Pasteur adalah
seorang zymologist pertama ketika di tahun 1857
mengkaitkan ragi dengan fermentasi. Ia
mendefinisikan fermentasi sebagai "respirasi
(pernafasan) tanpa udara".
Pasteur melakukan penelitian secara hatihati dan menyimpulkan, "Saya berpendapat
bahwa fermentasi alkohol tidak terjadi tanpa
adanya organisasi, pertumbuhan dan multiplikasi
sel-sel secara simultan..... Jika ditanya,
bagaimana proses kimia hingga mengakibatkan
dekomposisi dari gula tersebut... Saya benarbenar tidak tahu".
Ahli kimia Jerman, Eduard Buchner,
pemenang Nobel Kimia tahun 1907, berhasil
menjelaskan bahwa fermentasi sebenarnya
diakibatkan oleh sekeresi dari ragi yang ia sebut
sebagai zymase.
Penelitian yang dilakukan ilmuan Carlsberg
(sebuah perusahaan bir) di Denmark semakin
meningkatkan pengetahuan tentang ragi dan
brewing (cara pembuatan bir). Ilmuan Carlsberg
tersebut dianggap sebagai pendorong dari
berkembangnya biologi molekular.
Dari beberapa peneliti didapat angkaangka yang menunjukan bahwa proses fermentasi
tunduk kepada hukum konservasi zat seperti pada
reaksi-reaksi kimia biasa. Oleh J. L. Gay-Lussac
(1810), (Encycl. Brit. Vol .9 1960) penelitian
dilanjutkan dan disimpulkan bahwa persamaan
fermentasi pembuatan Alkohol adalah:

2CO 2 + 2C 2 H 6 O
C 6 H 12 O 6
Fermentasi merupakan kegiatan mikrobia
pada bahan pangan sehingga dihasilkan produk
yang dikehendaki. Mikrobia yang umumnya
terlibat dalam fermentasi adalah bakteri, khamir,
dan kapang. Contoh bakteri yang digunakan dalam
fermentasi adalah Acetobacter Xuylinm pada
pembuatan nata decoco, Acetobacter Aceti pada
pembuatan asam asetat. Contoh khamir dalam
fermentasi adalah Saccharomyces Cerevisiae
dalam pembuatan alkohol sedangkan contoh

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

kapang adalah Rhizopus sp pada pembuatan


tempe, Monascus Purpureus pada pembuatan
anggur
dan sebagainya. Fermentasi dapat
dilakukan menggunakan kultur murni ataupun
alami serta dengan kultur tunggal ataupun kultur
campuran. Fermentasi menggunakan kultur alami
umumnya dilakukan pada proses fermentasi
trodisional yang memanfaatkan mikroorganisme
yang ada di lingkungan.
Pembentukan ethanol sistem batch,
diawali dengan kondisi aerob kemudian
dilanjutkan dengan kondisi anaerob. Jika kondisi
anaerob dimulai terlalu dini maka sel yang ada
tidak cukup banyak untuk melakukan fermentasi
secara bagus. Bahkan untuk mewujudkan kondisi
aerob perlu diadakan aerasi sebentar supaya
nantinya tidak banyak kehilangan hasil (Crueger,
1984).
Beberapa
faktor
penting
yang
mempengaruhi hasil ethanol dan efisiensinya,
yaitu (1) kondisi fisiologis inokulum mikroba
yang ditambahkan ke dalam media, (2) kondisi
lingkungan selama proses fermentasi berlangsung,
dan (3) kualitas bahan media. Kondisi fisiologis
(seed) tergantung pada kondisi pertumbuhan
optimal yang spesifik bagi mikroba yang
digunakan. Faktor lingkungan yang paling
penting, yaitu pH dan suhu. Sedangkan faktor lain
(1) buffer capacity, (2) tingkat kontaminasi di
awal pertumbuhan, (3) kepekatan gula, (4)
konsentrasi alkohol, (5) pemilihan strain khamir,
(6) kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan khamir,
dan (7) jumlah oksigen yang tersedia (Stark dalam
Alico, 1982). (www.kapetseram.com)
Proses fermentasi hidrolisat selulosa
sama seperti proses fermentasi etanol pada
umumnya. Mikroba yang umum digunakan adalah
ragi roti (yeast). Setelah hidrolisat difermentasi
selama beberapa waktu, maka tahap berikutnya
adalah purifikasi ethanol.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi :
1. Ragi
Bila dilihat dari jenisnya, maka terdapat
beberapa jenis mikroorganisme yang banyak
digunakan dalam proses fermentasi diantaranya
adalah khamir, kapang dan bakteri, tetapi tidak
semua mikroorganisme tersebut dapat digunakan
secara langsung masih diperlukan seleksi untuk
menjamin berlangsungnya proses fermentasi.
Pemilihan mikroorganisme biasanya didasarkan
pada jenis substrat (bahan) yang digunakan
sebagai medium, misalnya untuk menghasilkan
bioetanol digunakan khamir Saccharomyces
cereviseae untuk mengoksidasi alkohol menjadi
asam asetat digunakan bakteri Acetobacter.

47

Seleksi ini bertujuan untuk mendapatkan


mikroorganisme yang mampu tumbuh dengan
cepat dan mempunyai toleransi tinggi terhadap
konsentrasi gula yang tinggi. Sehingga dapat
menghasilkan kadar bioetanol yang dikehendaki.
Kadar etanol dalam ubi kayu sebesar 95,9%, kadar
etanol ini dapat tercapai dengan penambahan
massa ragi (Saccharomyces cereviseae) sebesar 45
gr (Maryani; 2008).
Ragi atau fermen merupakan zat yang
menyebabkan fermentasi. Mikroorganisme yang
digunakan di dalam ragi umumnya terdiri atas
berbagai bakteri dan fungi (khamir dan kapang),
yaitu Rhizopus, Aspergillus, Mucor, Amylomyces,
Endomycopsis,
Saccharomyces,
Hansenula
anomala, Lactobacillus, Acetobacter, dan
sebagainya..
Ada tiga jenis ragi yang umum dikenal,
yaitu ragi tapai yang berbentuk padatan bulat pipih
berwarna putih, ragi roti berbentuk butiran, dan
ragi tempe berbentuk bubuk. Umumnya,
mikroorganisme pada ragi dibiarkan tumbuh pada
bahan pengisi berupa beras/tepung beras/bahan
lain yang mengandung karbohidrat tinggi,
kemudian dikeringkan. Ragi roti dan ragi tapai
mengandung
khamir
yang
sama,
yaitu
saccharomyces cereviciae. Bedanya, ragi tapai
dibuat dengan menambahkan bumbu-bumbu dan
mikroorganisme lain sehingga tidak hanya khamir
tapi ada juga beberapa jenis bakteri lain.
Ragi dikenal sebagai bahan yang umum
digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan
etanol dalam bir, anggur, dan minuman beralkohol
lainnya. Ragi (yeast) merupakan semacam tumbuh
- tumbuhan bersel 1 yang tergolong dalam
keluarga cendawan. (http://id.wikipedia.org/wiki/)
Ada 2 jenis ragi yaitu:
1) Ragi kering
Berbentuk butiran kecil - kecil dan bubuk
halus. Jenis ragi yang butirannya halus dan
berwarna
kecokelatan
ini
umumnya
digunakan dalam pembuatan roti.
2) Ragi padat
Berbentuk bulat pipih, beraroma tajam dengan
aroma alkohol yang sangat khas.
Manfaat dan penggunaannya:
1) Ragi padat, selain dimanfaatkan untuk
fermentasi pembuatan tapai terkadang juga
untuk mengempukan ikan atau membuat
pindang bandeng. Dalam penggunaannya, ragi
padat harus dihaluskan sebelum ditaburkan
dalam bahan lainnya.
2) Ragi kering yang terbentuk butiran dan bubuk
ini bisa membuat adonan roti menjadi

48

mengembang, empuk dan mulur. Untuk


pemakaiannya, ragi kering bentuknya butiran
harus dicampur dengan air hangat dan gula
agar terbentuk adonan biang sebelum
dicampur dengan adonan tepung.
Dari penelitian Elevri dan putra; 2006,
Sel S. cerevisiae yang diamobilisasi adalah sel
pada usia pertengahan fase log karena jumlah sel
yang hidup optimal dan aktif mengkonversi
substrat menjadi produk. Untuk mengetahui waktu
pemanenan biomassa pada pertengahan fase log,
pertumbuhan S. cerevisiae diamati sebagai fungsi
waktu sehingga didapatkan kurva pertumbuhannya
yang dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini:

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan S. Cerevisiae


2. Suhu
Suhu selama proses fermentasi sangat
menentukan jenis mikroorganisme dominan yang
akan tumbuh. Umumnya diperlukan suhu sekitar
O

20-30 C untuk pertumbuhan mikroorganisme.


O

Bila suhu kurang dari 20-30 C pertumbuhan


mikroorganisme penghasil asam akan lambat
sehingga dapat terjadi pertumbuhan produk.
3. Oksigen
Ketersediaaan oksigen harus diatur
selama proses fermentasi. Hal ini berhubungan
dengan sifat mikroorganisme yang digunakan.
Contoh khamir dalam pembuatan anggur dan roti
biasanya membutuhkan oksigen selama proses
fermentasi berlangsung, sedangkan untuk bakteribakteri penghasil asam tidak membutuhkan
oksigen selama proses fermentasi berlangsung.
4. Pengaruh pH
Biasanya bakteri dapat tumbuh pada pH
4-8. khamir biasanya lebih senang dalam pH 3-6,
kapang 3-7 dan sel-sel kariotik yang lebih tinggi
6,5-7,5. sebagai konsekuensinya maka pH dapat

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

digunakan untuk menjaga agar kontaminan


minimal. Umpamanya fermentasi khamir pada pH
3 tidak akan terkontaminasi bakteri. (Muljono
Judoamidjojo, Teknologi Fermentasi)
5. Kadar Gula
Gula yang ditambahkan pada hidrolisat
jerami padi bertujuan untuk memperoleh kadar
etanol yang lebih tinggi, tetapi bila kadar gula
terlalu tinggi maka aktifitas khamir dapat
terhambat. Kadar gula yang optimum untuk
aktifitas pertumbuhan khamir adalah 10 sampai 18
persen. (Iroi; 2008)
Hidrolisat jerami padi yang bersifat asam
didinginkan sampai suhu 300C. Sebelum
difermentasi ditambahkan NaOH terlebih dahulu
agar pH nya mencapai sekitar 4-5, setelah
ditambahkan NaOH larutan hidrolisat tersebut
diletakkan pada fermentor kemudian ditambahkan
yeast dan temperatur dijaga konstan pada 300C,
dan membutuhkan ketelitian agar tidak
terkontaminasi oleh mikroba lain karena itu
keseluruhan rangkaian proses harus dilakukan
dengan kondisi bebas kontaminasi (Washito,
1981).
Beberapa spesies mikroba dari kelompok
yeast/khamir,
bakteri
dan
fungi
dapat
memfermentasi karbohidrat menjadi ethanol
dalam kondisi bebas oksigen (Lynd, 1996).
Mikroba melakukan fermentasi tersebut untuk
mendapatkan energi dan untuk tumbuh.
Berdasarkan reaksi kimia fermentasi, hasil
maksimum teoritis dari setiap kg gula adalah 0.51
kg ethanol dan 0.49 kg CO2.
Mekanisme pembentukan bioetanol dari jerami
padi:
+ H 2 O , H 2 SO 4

(C 6 H 10 O 5 ) n 3C 5 H 10 O 5
C 6 H 12 O 6 (www.risvank.com)
3C 5 H 10 O 5
C 6 H 12 O 6

5C 2 H 5 OH + 5CO 2

2C 2 H 5 OH + 2CO 2

Media
yang
digunakan
didalam
fermentasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Mengandung nutrisi yang dibutuhkan
bagi pertumbuhan sel saccharomycess
cerevicea.
b. Mengandung
nutrisi
yang
dapat
digunakan sebagai sumber energi bagi sel
saccharomycess cerevicea.
c. Tidak mengandung zat yang menghambat
pertumbuhan sel

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

d.

Tidak terdapat kontaminan yang dapat


meningkatkan
persaingan
dalam
penggunaan substrat.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berhentinya pertumbuhan mikroba antara lain:
1. Penyusutan konsentrasi nutrisi yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba
karena habis terkonsumsi
2. Produk
akhir
metabolisme
yang
menghambat
pertumbuhan
mikroba
karena terjadinya inhibisi dan represi.
2.4. PEMURNIAN
Dalam pembuatan etanol dari jerami
padi, pemurnian merupakan tahapan akhir proses.
Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari
beer (sebagian besar adalah air dan etanol) titik
didih etanol murni adalah 78oC sedangkan air
adalah 100oC (kondisi standar). Dengan
memanaskan larutan pada suhu rentang 78-90oC
akan mengakibatkan sebagian besar etanol
menguap. Proses distilasi akan meningkatkan
kandungan ethanol hingga 95%. Sisa air yang
masih ada dihilangkan dengan proses dehidrasi
hingga kandungan ethanol mencapai 99.5%.
Udara di distilasi menjadi komponenkomponen seperti oksigen untuk penggunaan
medis dan helium untuk pengisi balon. Distilasi
juga telah lama digunakan sejak lama untuk
pemekatan alkohol dengan penerapan panas
terhadap larutan hasil fermentasi untuk
menghasilkan minuman suling.
Distilasi dapat dilakukan dengan 2 macam cara
yaitu: (Sudirman, 2007)
1. Pembentukan
uap
dengan
cara
mendidihkan
larutan
yang
akan
dipisahkan dimana uap kemudian
diembunkan
tanpa
dikembalikan
kekolaom distilasi.
2. Pembentukan
uap
dengan
cara
mendidihkan
larutan
yang
akan
dipisahkan dimana uap kemudian
diembunkan dan dikembalikan sebagian
kekolom agar terjadi kontak antara uap
yang naik keatas dengan embun yang
dikembalikan.
Distilasi atau penyulingan adalah suatu
metode pemisahan bahan kimia berdasarkan
perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap
(volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran
zat di didihkan sehingga menguap, dan uap ini
kemudian didinginkan kembali kedalam bentuk
cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah
akan menguap lebih dulu.

49

Uap yang dikeluarkan dari campuran


disebut uap bebas, kondensat yang jatuh sebagai
destilat dan bagian cairan yang tidak menguap
sebagai residu. Apabila yang diinginkan adalah
bagian campuran yang tidak teruapkan dan bukan
distilatnya, maka proses tersebut biasanya
dinamakan evaporasi. Dalam hal ini seringkali
bukan pemisahan sempurna yang dikehendaki
melainkan peningkatan konsentrasi bahan- bahan
yang terlarut dengan cara menguapkan sebagian
pelarut.
Jika suatu larutan yang terdiri dari dua
buah larutan komponen yang cukup mudah
menguap misalnya larutan benzene-toluene
dididihkan, maka fase uap yang terbentuk akan
mengandung komponen yang lebih mudah
menguap dalam jumlah yang relative banyak
dibandingkan dengan fase cair. Jika ada perbedaan
titik didih merupakan syarat utama supaya
pemisahan dengan distilasi dapat dilakukan.
Titik didih suatu cairan bergantung pada
tekanan. Apabila tekanan sekeliling meningkat,
titik didih akan naik dan apabila tekanan sekeliling
berkurang, titik didih akann turun (sifat ini
dimanfaatkan pada penguapan pada kondisi
vakum, misalnya pada distilasi vakum).
2. 6. 1 Distilasi vakum
Distilasi vakum terutama digunakan
untuk secara hati-hati, memisahkan campuran
yang peka terhadap suhu. Dalam hal ini tekanan
rendah (tekanan absolute) yang dipilih tergantung
pada titik didih yang diinginkan, namun pada
instalasi teknik jarang yang kurang dari 1 mbar.
Pengoperasian sebuah instalasi sebuah
distilasi vakum dilihat dari segi peralatan (pompa
vakum, sambungan kedap vakum, penampang
yang lebih besar) namun dari segi penggunaan
energi, akan lebih mahal dari pada operasi dengan
alat tekanan normal. Lagi pula kerena beda suhu
yang diizinkan lebih kecil, yang berarti laju
perpindahan panas lebih kecil, maka untuk
kerjanya lebih rendah.
Tekanan terendah yang mungkin dicapai
dalam alat penguap (yang berarti titik didih yang
paling rendah) tidak hanya bergantung pada
vakum maksimum yang dapat dihasilkan pompa
vakum, melainkan terutama tergantung pada
kerugian tekanan di dalam kolom. Kerugian ini
sedapat mungkin bernilai kecil, karena tekanan
dalam alat penguap harus mengatasi kerugian
tekanan dalam kolom. Adapun peralatan distilasi
vakum yang digunakan adalah terlihat pada
gambar 3 dibawah ini.

50

Gambar 3. destilasi vacum


2. 6. 2 Distilasi Atmosferik
Distilasi pada umumnya dilakukan secara
kontinu atau tak kontinu. Pada tekanan normal
atau vakum. Pada distilasi atmosferik, yang paling
sering dilakukan adalah operasi tak kontinu.
Dalam hal ini campuran yang akan dipisahkan
dimasukkan ke dalam alat penguap (umumnya alat
penguap labu) dan dididihkan.
Pendidihan terus dilangsungkan hingga
sejumlah tertentu komponen yang mudah
menguap terpisahkan. Selama pendidihan, fraksi
komponen yang mudah menguap dalam cairan
bertambah besar, sehingga komposisi distilat yang
dihasilkan juga berubah terus.
Peristiwa yang terjadi pada distilasi atmosferik
adalah: (Sudirman,2007)
1. Penguapan komponen yang mudah
menguap dari campuran dalam alat
penguap.
2. Pengeluaran uap yang terbentuk melaui
sebuah pipa uap yang lebar dan kosong,
tanpa perpindahan panas dan perpindahan
massa yang disengaja atau dipaksakan,
yang dapat menyebabkan kondensat
mengalir kembali ke alat penguap.
3. Tetes cairan yang sukar menguap yang
ikut terbawa dalam uap dipisahkan
dengan bantuan siklon dan disalurkan
kembali ke dalam alat penguap.
4. Kondensasi uap dalam sebuah kondenser.
5. Pendinginan lanjut dari distilat panas
dalam sebuah alat pendingin.
6. Penampungan distilat dalam sebuah
bejana (penampung).
7. Pengeluaran residu (secara pertaian atau
kontinu) dari alat penguap.

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

8.
9.

Pendinginan lanjut dari residu yang


dikeluarkan.
Penampungan residu dalam sebuah
bejana.

Adapun Rangkaian Alat Distilasi


Atmosferik dapat dilihat pada gambar 4 dibawah
ini:

Gambar 4 Peralatan distilasi atmosferik


(//id.wikipedia.org/wiki/)

2.4. KROMATOGRAFI GAS


Gas kromatografi adalah suatu proses
dimana suatu campuran menjadi komponenkomponennya oleh fase gas yang bergerak
melewati suatu lapisan serapan (sorben) yang
stasioner. Di dalam kromatografi diperlukan
adanya dua fase yang tidak salaing bercampur,
yaitu fase diam dan fase bergerak. Fase diam nya
disini dapat berupa suatu zat padat yang
ditempatkan di dalam suatu kolom atau dapat juga
berupa cairan terserap (teradsorbsi) berupa lapisan
yang tipis pada butir-butir halus suatu zat padat
pendukung yang ditempatkan di dalam kolom.
Fase geraknya dapat berupa gas (gas pembawa)
atau cairan.
Campuran yang akan dipisahkan
komponen-komponennya, dimasukkan ke dalam
kolom yang mengandung fase diam. Dengan
bantuan fase gerak, komponen- komponen
campuran itu kemudian dibawa bergerak melalui
fase diam didalam kolom. Perbedaan ataraksi dan
afinitas antara komponen-komponen itu bergerak
dengan kecepatan berbeda melalui kolom. Akibat

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

adanya
perbedaan
kecepatan,
komponenkomponen itu terpisah satu sama lain.
GC terdiri dari :
1. Tangki gas pembawa. Gas yang bertindak
sebagai fase gerak disebut juga gas pembawa
atau carier gas. Gas pembawa yang biasa
digunakan seperti helium (He), dan nitrogen
(N).
2. Alat pengatur tekanan (regulator), regulator
digunakan untuk mengatur tekanan gas-gas
yang digunakan.
3. Injection Port adalah cabang untuk
memasukkan
cuplikan
dengan
cara
penyuntikan.
4. Kolom, tempat terjadinya proses pemisahan
komponen-komponen cuplikan.
Kolom ini
ditempatkan di dalam oven bersuhu tinggi,
sehingga komponen- komponen cuplikan
tetap berupa uap.
5. Detector. Untuk mendeteksi komponenkomponen yang keluar dari kolom. Detector
ini akan mengirimkan isyarat listrik ke alat
pencatat (recorder).
6. Recorder (alat pencatat yang berfungsi untuk
mencatat isyarat-isyarat)
7. Recorder yang banyak digunakan pada saat
ini disebut integrator yang mempunyai
fasilitas yang lebih lengkap daripada recorder
biasa.
III. KESIMPULAN
Jerami padi yang banyak dianggap
masyarakat sebagai limbah pertanian ternyata
dengan perlakuan khusus dapat dimanfaatkan
sebagai bioetanol, yaitu energi alternatif dengan
melibatkan bantuan mikroba ragi, sedangkan pada
proses pemurniannya menggunakan distilasi
vakum pada kondisi suhu set point 500C dan
tekanan nya 200 mmHg. Perlakuan akhir pada
proses ini adalah menganalisa produk bioetanol
yang dihasilkan dengan menggunakan alat gas
kromatografi.
IV. DAFTAR PUSTAKA
................., 2009. Bioetanol Sebagai Energi
Alternetif yang Kompetitif. Online di
http://skadrongautama.blogspot.com.
Diakses 10 juli 2009.
..................,
Info
Bioetanol.
Oline
di
www.kapetseram.com.
Diakses
27
Desember 2008
Isroi. 2008. Potensi Biomassa Lignoselulosa di
Indonesia
sebagai
Bahan
Baku
Bioetanol:JERAMI PADI. Online di

51

http://isroi.wordpress.com. Diakses 06
juni 2009.
Isroi. 2008. Topik Penelitian Bioethanol, Topik
Penelitian Paling Hot Saat Ini. Online di
http://isroi.wordpress.com/2008/11/16/.
Diakses 06 juni 2009.
Judoamidjojo, Muljono, Darwis, Abdul Aziz, dan
Said, Endang Gumbira. Teknologi
Fermentasi. Rajawali Pers. Jakarta
Maryani, 2007. Pembuatan Etanol dari Ubi Kayu
(Cassava) secara Fermentasi. Politeknik
Negeri Sriwijaya. Palembang.
Prihandana, Rama, Noerwijayari K, Adinuari P G,
Setiadi S, dan Hendroko R. 2007.
Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa
Depan. AgroMedia. Jakarta
Wijaya, Prabu P. 2007. Pembuatan Bioetanol dari
Nira Aren secara Fermentasi. Laporan
Akhir tahun 2007. Politeknik Negeri
Sriwijaya. Palembang.

52

Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010

Anda mungkin juga menyukai